Anda di halaman 1dari 31

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Nyeri Neuropati Diabetik

2.1.1 Definisi

Neuropati merupakan terminologi yang sangat luas, dimana saraf tepi mengalami

gangguan fungsi atau perubahan patologi yang disebabkan berbagai faktor. Menurut

konsensus internasional pada tahun 1998, neuropati diabetik adalah keadaan dimana

saraf tepi mengalami gangguan fungsi akibat kerusakan seluler maupun molekuler

yang etiologinya karena penyakit DM (PERDOSSI, 2011; Boulton & Voleykite,

2011).

Definisi nyeri neuropatik menurut Kelompok Studi Nyeri PERDOSSI tahun 2011

dan International Association for the Study of Pain (IASP) tahun 2015 yaitu nyeri

yang ditimbulkan atau disebabkan oleh lesi atau gangguan primer pada susunan saraf

somatosensoris. Definisi NND untuk praktek klinis cukup sederhana yaitu adanya

nyeri yang disebabkan langsung oleh disfungsi saraf perifer pada penderita DM tanpa

adanya penyebab lain (Tesfaye dkk., 2010; Boulton & Voleykite, 2011; PERDOSSI,

2011; Hanpaa dkk., 2015).

2.1.2 Gejala Klinis

Rasa nyeri merupakan sensasi yang dirasakan bersifat individual, dan penderita

menyatakan gejala nyeri yang dirasakan dengan cara yang berbeda-beda. Nyeri

8
9

adalah pengalaman psikologis individual yang menimbulkan rasa tidak nyaman.

Neuropati perifer merupakan komplikasi paling sering yang dialami penderita DM,

diperkirakan dialami oleh sekitar 50% penderita DM. Gejala khas dari neuropati

perifer yaitu nyeri, penurunan secara signifikan pada rasa raba, getar, proprioseptif

pada tungkai dan adanya kinestesia. Timbulnya gejala ini disebabkan adanya lesi

pada sel saraf berupa apoptosis dan inhibisi regenerasi saraf (Boulton & Voleykite,

2011; Feldman, 2015).

Nyeri neuropati diabetik merupakan bagian dari neuropati perifer, lebih sering

terjadi pada penderita DM tipe 2 dibanding tipe 1. Awitan NND berbeda dengan

nyeri nosiseptif, yaitu NND memiliki awitan yang tidak jelas dan perkembangan

keluhannya memberat secara bertahap (Azhari dkk., 2010).

Ada 3 gejala khas pada NND yaitu disestesia, parestesia dan nyeri otot.

Disestesia merupakan rasa tidak nyaman yang abnormal, terjadi baik secara spontan

(tanpa stimulus) maupun dengan stimulus. Alodinia, hiperalgesia dan nyeri spontan

merupakan bagian dari disestesia. Alodinia yaitu nyeri yang timbul akibat stimulus

yang normalnya tidak menyakitkan. Hiperalgesia yaitu rasa nyeri yang meningkat

setelah mendapat rangsangan yang normalnya menyakitkan. Nyeri spontan yaitu

adanya rasa nyeri walau tanpa adanya stimulus yang menyebabkan nyeri. Disestesia

merupakan keluhan dengan rasa seperti terbakar yang berat dan rasa gatal. Parestesia

merupakan rasa abnormal baik spontan maupun dicetuskan, keluhannya berupa

seperti tertusuk jarum, tersetrum listrik dan teriris benda tajam. Nyeri otot yang kerap
10

dirasakan penderita berupa nyeri yang dalam dan terasa tumpul disertai rasa kaku

atau kram pada otot (PERDOSSI, 2011; Kirby, 2013; Yoo dkk., 2013).

Ciri-ciri utama nyeri neuropatik adalah gejala hiperalgesia, alodinia dan nyeri

spontan. Keluhan NND yang sering dikeluhkan penderita yaitu sensasi tidak

menyenangkan seperti tersetrum listrik, terbakar, terasa panas, tertembak, ditusuk,

ditikam, disobek, diikat, alodinia, hiperalgesia dan disestesia (Kirkman, 2012).

Umumnya penderita NND segera mengeluh tentang gejala yang dirasakannya,

tetapi banyak pula yang tidak mengeluhkan gejala NND sampai nyeri dirasakan

cukup keras. Rasa nyeri dapat timbul menetap atau paroksismal. Rasa nyeri

meningkat saat malam hari, saat berjalan, berdiri, dan dalam kondisi kelelahan fisik

dan psikis. Rasa nyeri berkurang jika beristirahat. Bila diberikan stimulus berulang

maka rasa nyeri akan tetap dirasakan walaupun stimulus sudah tidak ada lagi. Nyeri

neuropati diabetik bersifat kronik, kualitas dan kuantitas nyeri yang dirasakan makin

lama akan makin meningkat seiring dengan lamanya penyakit, hiperglikemia tidak

terkontrol, adanya gangguan metabolik seperti obesitas, hipertensi, dislipidemia dan

kemungkinan rendahnya kadar vitamin D serum (Huizinga, 2007; Herrmann dkk.,

2015).

Lebih dari setengah penderita NND mengalami rasa nyeri dan tidak nyaman yang

berlokasi pada ekstremitas terutama ekstemitas bawah yaitu jari-jari kaki sampai

lutut, simetris kanan dan kiri serta dapat juga dirasakan pada jari-jari tangan secara

simetris pula. Distribusi keluhan menyerupai gambaran kaos kaki dan sarung tangan

(stocking and gloves) atau dikenal sebagai distal symmetrical polyneuropathy.


11

Distribusi lokasi nyeri yang khas ini terjadi karena lesi saraf perifer terjadi pertama

kali pada akson saraf sensoris terpanjang yang melayani kaki (Gow & Moore, 2014).

Gambar 2.1 Distal symmetrical polyneuropathy


(Tanenberg, 2009)

Gejala NND yang sangat mengganggu dapat meningkatkan kecemasan, depresi,

gangguan tidur dan disabilitas dalam mobilisasi. Sekitar sepertiga penderita NND

dengan keluhan yang berat memerlukan alat bantu dalam berjalan seperti tongkat dan

kursi roda. Risiko jatuh juga lebih tinggi pada penderita NND daripada tanpa NND.

Pada akhirnya NND menurunkan kualitas hidup, meningkatkan morbiditas dan

mortalitas. Angka mortalitas yang tinggi disebabkan karena adanya infeksi pada

ulkus, risiko jatuh yang lebih tinggi, dosis obat analgetik yang berlebihan dan

kemungkinan terjadi bunuh diri akibat depresi berat (Ziegler, 2009; Yoo dkk., 2013).
12

2.1.3 Faktor Risiko NND

Proses terjadinya komplikasi mikrovaskular termasuk NND pada penderita DM

melibatkan banyak faktor risiko. Faktor risiko NND terbagi 2 yaitu yang tidak dapat

dimodifikasi dan yang dapat dimodifikasi. Faktor risiko yang tidak dapat

dimodifikasi yaitu usia lanjut, faktor genetik yaitu gen polimorfisme aldose

reduktase, dan lama menderita DM. Faktor risiko NND yang dapat dimodifikasi dan

memegang peranan penting yaitu faktor metabolik dan vaskular. Faktor metabolik

terdiri dari hiperglikemia, abnormalitas kadar insulin, dan defisiensi neurotropin.

Faktor vaskular contohnya merokok, riwayat penyakit kardiovaskular, hipertensi,

dislipidemia, obesitas, dan konsumsi alkohol yang tinggi. Dari semua faktor risiko

metabolik, yang paling berperan adalah hiperglikemia kronis. Sangat kuat relasi

antara perkembangan dan progresifitas NND dengan kontrol glikemia pada DM tipe 1

dan 2. Durasi dan beratnya hiperglikemia berkaitan dengan tingkat keparahan derajat

neuropati (Boulton dkk., 2011; Kheyami, 2014).

Faktor risiko NND lainnya yaitu DM dengan ulkus di kaki, penyakit ginjal dan

hati kronis, infeksi HIV/AIDS dan morbus Hansen, neuropati jebakan, keganasan,

mengkonsumsi obat-obatan dan riwayat terpapar toksin pestisida, merkuri,

organofosfat, dan timbal (Azhary dkk., 2010).

Glycosylated hemoglobin (HbA1c) telah digunakan untuk memonitor kontrol

gula darah pada penderita DM selama tiga dekade. Terbentuk melalui jalur non

enzimatik akibat dari hemoglobin normal terpapar oleh kadar glukosa yang tinggi

dalam plasma. Buruknya kontrol glukosa darah dapat dinilai dari tingginya nilai
13

HbA1c. Kadar HbA1c tinggi berkaitan dengan hilangnya serat saraf bermielin

diameter besar yang menyebabkan menurunnya kecepatan konduksi saraf motorik

yang merupakan salah satu gejala NND (Vincent dkk., 2009; Smith dkk., 2013).

Usia lanjut sebagai salah satu faktor risiko terjadinya NND. Jumlah kasus yang

didiagnosis NND dari tahun 2005-2050 pada usia diatas usia 65 tahun diperkirakan

akan meningkat 4,5 kali, dibandingkan yang berusia dibawah 65 tahun hanya

meningkat 3 kali lipat. Hal ini disebabkan karena pada usia lanjut insiden menderita

DM tipe 2 akan makin meningkat, yang dipengaruhi oleh menurunnya aktivitas fisik,

peningkatan resistensi insulin, gangguan fungsi pankreas terkait usia dan gangguan

proliferasi sel beta pankreas (Kirkman, 2012; Ash, 2015).

Lama menderita DM menjadi salah satu faktor risiko mayor terjadinya NND.

Awitan terjadinya NND berkorelasi positif dengan durasi menderita DM. Selama 25

tahun menderita DM didapatkan insiden NND sebanyak 50%. Tingkat keparahan dari

NND berbanding lurus dengan lamanya menderita DM dan keparahan DM (Feldman,

2015).

Defisiensi neurotropin merupakan faktor risiko NND, yaitu berperan dalam

terjadinya degenerasi saraf. Defisiensi neurotropin dapat disebabkan oleh rendahnya

kadar vitamin D serum. Neurotropin utama yang terkait dengan NND yaitu nerve

growth factor (NGF). Defisiensi NGF menyebabkan penurunan transport aksonal

retrograde, penurunan ekspresi neuropeptida seperti substance P (SP), neurotrophin-3

(NT-3) dan calcitonin gene related peptide (CGRP) (Aloe dkk., 2012; Rahimi dkk.,

2014).
14

Merokok merupakan salah satu faktor risiko terjadinya NND. Pada penderita DM

yang merokok berpeluang 3 kali lipat lebih tinggi menderita NND dibanding dengan

yang tidak merokok. Merokok menyebabkan arteri menyempit dan kaku, mengurangi

aliran darah menuju tungkai dan kaki sehingga terjadi lesi iskemik sekunder dan

merusak integritas saraf perifer, yang pada akhirnya memicu terjadinya NND. Jika

ada ulkus pada penderita DM maka akan susah sembuh, disamping itu penderita DM

yang merokok akan sulit untuk mengatur dosis insulin dan mengontrol gula darah

(Eliasson, 2005).

Hipertensi berkaitan dengan kejadian NND, hipertensi menyebabkan gangguan

aliran darah pada pembuluh darah yang melayani saraf, sehingga menyebabkan atropi

aksonal, penipisan selubung mielin, gangguan pada sel Schwann dan menurunkan

kecepatan konduksi saraf (Gregory dkk., 2012).

Dislipidemia merupakan faktor risiko independen dalam terjadinya NND.

Dislipidemia menyebabkan NND terjadi lebih awal pada penderita DM tipe 2

dibanding DM tipe 1 karena profil lipid penderita DM tipe 2 umumnya lebih tinggi

pada fase awal. Kadar Low-Density Lipoprotein (LDL) tinggi lebih erat kaitannya

dengan terjadinya NND dibandingkan dengan hiperglikemia. Kaitan antara

dislipidemia dan obesitas dengan kejadian NND dapat dilihat dari suatu penelitian

analisis multivariat yang dilakukan oleh Smith dan Singleton tahun 2013, didapatkan

obesitas dan tingginya kadar trigliserida berkaitan dengan hilangnya akson

berdiameter kecil yang tidak berselubung mielin, peningkatan resistensi insulin dan

aterosklerosis. Kadar lipid yang tinggi juga mengakibatkan banyaknya vitamin D


15

yang menumpuk pada sel lemak sehingga menurunkan kadar vitamin D yang beredar

dalam sirkulasi sistemik (Vincent dkk., 2009; Smith & Singleton, 2013).

Obesitas meningkatkan risiko terjadinya NND. Obesitas menyebabkan

komplikasi neuropati sensori dan otonom. Kerusakan saraf perifer pada penderita DM

disebabkan karena kompresi mekanik oleh masa lemak pada serat saraf. Semakin

tinggi tingkat obesitas, maka kompresi serat saraf semakin berat dan meningkatkan

keluhan pada penderita NND (Straub dkk., 2014).

Kebiasaan mengkonsumsi alkohol dalam jangka panjang akan meningkatkan

risiko terjadinya NND. Insiden terjadinya NND pada penderita DM disertai

mengkonsumsi alkohol kronis cukup tinggi yaitu 25-66%. Mekanisme terjadinya

NND pada peminum alkohol yaitu terjadinya defisiensi mikronutrisi yaitu tiamin,

penurunan penyerapan tiamin pada intestinal, penurunan cadangan tiamin di hati dan

mempengaruhi fosforilasi tiamin. Alkohol juga menyebabkan penurunan ambang

nosiseptor, peningkatan stres oksidatif dan memicu pelepasan proinflamasi seperti

sitokin yang mengaktivasi protein kinase C (PKC) (Chopra & Tiwari, 2012).

2.1.4 Patofisiologi NND

Penyebab lesi saraf tepi pada penderita NND sangat kompleks. Nyeri neuropati

diabetik muncul oleh karena adanya lesi kronik pada saraf tepi. Patogenesis

terjadinya NND merupakan kombinasi degenerasi dan demielinisasi aksonal.

Aksonopati primer diawali oleh degenerasi aksonal kemudian disusul terjadinya

demielinisasi sekunder (Kheyami, 2014).


16

Degenerasi aksonal berupa kehilangan akson pada ganglion radiks dorsalis

(GRD) dan hilangnya neuron-neuron di kornu dorsal medula spinalis. Degenerasi

aksonal dominan terjadi pada bagian distal dan dimulai dari akson yang terpanjang,

awalnya terjadi pada kaki lalu meluas ke bagian atas sampai ke lutut, sampai jari-jari

tangan (Boulton & Voleykite, 2011; Kheyami, 2014).

Demielinisasi aksonal terjadi karena degenerasi sel Schwann, melibatkan serat

saraf bermielin ukuran besar yang melayani persepsi raba, tekan, vibrasi,

proprioseptif dan fungsi motorik, sedangkan serat saraf bermielin ukuran kecil dan

yang tidak bermielin melayani persepsi suhu, nyeri dan fungsi otonom. Pada

pemeriksaan elektromiografi, para ahli menemukan penurunan kecepatan hantar saraf

tepi. Hal inilah yang membuktikan adanya demielinisasi (Azhary dkk., 2010; Meliala,

2011; Kheyami, 2014).

Patofisiologi terjadinya NND pada penderita DM melalui beberapa jalur yaitu:

1. Hiperglikemia kronis dan abnormalitas metabolik

Sel saraf membutuhkan glukosa dalam jumlah yang besar, terutama

konsentrasi glukosa ekstraseluler. Hiperglikemia pada DM menyebabkan

peningkatan kadar glukosa pada saraf 4 kali lipat yang terjadi secara persisten

dan reguler, selanjutnya terjadi peningkatan metabolisme glukosa intrasel yang

akhirnya menyebabkan kerusakan serat saraf. Fenomena ini disebut sebagai

neurotoksisitas glukosa dengan manifestasi klinis berupa neuropati diabetik

(Kirkman, 2012).
17

Saat kadar glukosa tinggi terjadi saturasi heksokinase, kemudian glukosa

memasuki jalur poliol. Pada jalur poliol glukosa di saraf perifer diubah menjadi

sorbitol oleh enzim aldose reduktase. Akumulasi sorbitol menyebabkan toksisitas

dan pembengkakan jaringan karena terjadi peningkatan efek osmotik,

selanjutnya sorbitol dioksidasi menjadi fruktosa oleh enzim sorbitol

dehidrogenase, menyebabkan peningkatan osmolaritas selular, stres oksidatif dan

menurunkan nicotinamide adenine dinucleotide phosphate (NADPH).

Akumulasi sorbitol dan fruktosa menyebabkan retensi natrium, pembengkakan

mielin, putusnya ikatan akson-glial dan degenerasi saraf. Hal ini menyebabkan

gangguan fungsi dan struktur saraf perifer yang akhirnya menimbulkan keluhan

neuropati diabetik (Ziegler, 2009; Yoo dkk., 2013).

Gambar 2.2 Jalur poliol (Yoo dkk., 2013)

Hiperglikemia pada DM menciptakan lingkungan oksidasif dan peningkatan

akumulasi karbondioksida, selanjutnya protein mengalami glikasi non enzimatis

dan berubah bentuk menjadi advanced glycation end product (AGE). Advanced
18

glycation end product menyebabkan disfungsi serat saraf melalui reseptornya

yaitu receptors for advanced glycation end product (RAGE). Mekanisme AGE

mengurangi fungsi biologi protein sehingga menghambat aktivitas neuron,

mekanisme lainnya yaitu lipid dan protein AGE ekstraseluler terikat pada

reseptor di permukaan sel khususnya RAGE sehingga terjadi proses inflamasi

yang menyebabkan stres oksidatif dan cedera sel neuron (Azhary dkk., 2009;

Cherney, 2014).

Hiperglikemia menurunkan fungsi neuron yaitu menurunkan kecepatan

konduksi saraf dan menghambat regenerasi aksonal. Penurunan konduksi saraf

karena terbentuknya P38 Mitogen activated protein kinase (MAPK) yang

merupakan hasil dari oksidasi glukosa yang menyebabkan apoptosis neuron

(Ziegler,2009;Kheyami,2014).

Gambar 2.3 Peranan AGE dan RAGE pada NND (Azhary dkk., 2009)
19

2. Mekanisme sistem imun menyebabkan disfungsi saraf

Peranan sistem imun terhadap disfungsi saraf disebabkan oleh adanya

degenerasi sistem saraf otonom, termasuk adanya sirkulasi antibodi antineuron

pada serum penderita DM. Sirkulasi auto antibodi ini secara langsung melawan

serat saraf motorik dan sensorik. Hal ini dapat diketahui secara tidak langsung

melalui pemeriksaan imunoflouresen dan ditemukan penumpukan auto antibodi

pada saraf suralis, saraf skiatika, saraf vagus dan saraf simpatis pascaganglion

(Yoo dkk., 2013; Zoppini dkk., 2014).

3. Dislipidemia

Dari beberapa penelitian menyatakan adanya hubungan antara dislipidemia

dengan komplikasi mikrovaskular termasuk NND, namun mekanisme lipid

plasma menyebabkan cedera saraf belum jelas diketahui. Mekanisme metabolik

yang menyebabkan terjadinya cedera saraf adalah sebagai berikut (Vincent dkk.,

2009; Smith & Singleton, 2013) :

a. Asam lemak bebas

Asam lemak bebas menyebabkan lipotoksik pada sel saraf dan sel Schwann.

Efek sistemik dari asam lemak bebas yaitu meningkatkan pelepasan sitokin

proinflamasi sehingga terjadi inflamasi pada serat saraf perifer.

b. Oksidasi dan glikasi LDL

Plasma lipoprotein mengalami oksidasi lalu terbentuklah trigliserida dan asam

lemak yang berperan sebagai faktor inflamasi. Selanjutnya terjadi reaksi


20

stres oksidatif akibat aktivasi NADPH oksidase yang menghasilkan radikal

superoksidase.

c. Oksisterol

Oksidasi kolesterol menjadi oksisterol menyebabkan neurotoksik melalui jalur

sel mediasi pada mitokondria.

4. Jalur Poli ADP-ribose polimerase (PARP)

Poli ADP-ribose polimerase adalah enzim yang terdapat pada sel Schwann,

sel endotel dan saraf sensoris. Poli ADP-ribose polimerase distimulasi oleh

radikal bebas dan oksidan, lalu terbentuklah stres oksidatif, sehingga

menyebabkan penurunan kecepatan konduksi saraf, neuropati pada serat saraf

kecil, abnormalitas neurovaskular, retinopati, hiperalgesia, dan alodinia

(Huizinga, 2007).

5. Gangguan mikrovaskular

Gangguan mikrovaskular menyebabkan asupan nutrisi berkurang pada serat

saraf perifer, sehingga terjadi hipoksia pada saraf dan iskemia absolut atau relatif

pada pembuluh darah endoneural dan atau epineural. Secara histopatologi

mikroangiopati epineural berupa penebalan dinding pembuluh darah atau terjadi

oklusi. Penebalan membran kapiler lebih banyak terjadi pada saraf dibandingkan

pada kulit atau otot pada penderita DM, sehingga mikroangiopati lebih sering

terjadi pada saraf. Mikroangiopati merupakan ciri dari NND. Mikroangiopati

menyebabkan penurunan aliran darah pada saraf, meningkatkan resistensi

vaskular, penurunan tekanan oksigen, dan perubahan permeabilitas vaskular, yang


21

pada akhinya menyebabkan penurunan fungsi saraf (Azhary dkk., 2009; Tesfaye

dkk., 2010).

6. Defisiensi faktor pertumbuhan

Faktor pertumbuhan berfungsi untuk memelihara pertumbuhan dan daya

tahan neuron. Terjadinya degenerasi neuron pada NND, disebabkan adanya

defisiensi faktor pertumbuhan seperti nerve growth factor (NGF), insulin like

growth factors (IGFs), dan Neurotrophin 3 (NT-3) (Ziegler, 2009; Gow & Moore,

2014).

Defisiensi NGF menyebabkan neuropati pada serat saraf kecil. Defisiensi

NT-3 menyebabkan neuropati serat saraf besar bermielin, sedangkan defisiensi

IGFs menyebabkan neuropati otonom. Serat saraf kecil berperan dalam sensasi

panas dan nyeri, serat saraf besar berperan dalam proprioseptif, vibrasi dan fungsi

motorik. Neurotropin lain yang berperan dalam patogenesis neuropati yaitu

laminin, saposins, sitokin, dan faktor pertumbuhan lainnya (Arnson dkk., 2009;

Kauffman, 2009).

Nerve growth factor berperan dalam pertumbuhan dan menjaga daya tahan

saraf simpatis dan dorsal root ganglion (DRG). Nerve growth factor juga penting

dalam regulasi sintesis SP pada neuron DRG dewasa. Substance P ditemukan

pada saraf simpatis dan neuron DRG, berperan dalam vasodilatasi, motilitas usus

dan nosiseptif, yang semuanya terganggu pada neuropati diabetik. Pada penderita

NND kadar NGF akan berkurang sehingga menyebabkan disfungsi saraf sensoris

dan otonom. Kadar NGF juga berkurang pada epidermis kulit, hal ini diyakini
22

sebagai patogenesis neuropati perifer pada saraf yang melayani kulit. Insulin like

growth factors memegang peranan dalam terjadinya NND, yaitu dalam menjaga

pertumbuhan dan diferensiasi sel neuron, dimana kadarnya akan berkurang pada

penderita DM (Tanenberg, 2009; Tesfaye dkk., 2010).

7. Inflamasi

Faktor inflamasi seperti C-reactive protein (CRP) dan tumor necrosis factor-

α (TNF-α) terdapat dengan kadar yang tinggi pada penderita DM, hal ini

berkorelasi dengan insiden neuropati diabetik. Reaksi proinflamasi menyebabkan

pelepasan sitokin, terhambatnya produksi neurotropin dan adanya migrasi

makrofag (Kirkman, 2012).

Hiperglikemia menyebabkan penurunan sintesis transforming growth factor-

β1 (TGF-β1) sebagai anti inflamasi dan meningkatkan sintesis nuclear factor

kappa-B (NF-κB) sebagai proinflamasi. Nuclear factor kappa-B mengaktivasi

sintesis enzim inducible nitric oxide (iNOS) yang akhirnya membentuk nitric

oxide (NO). Nitric oxide berperan secara langsung merusak akson dan mielin

menyebabkan cedera saraf dan menimbulkan gejala klinis NND. Mekanisme

inflamasi mengaktivasi NF-κB, menginduksi sitokin pada sel endotelial, sel

Schwann dan neuron sehingga memicu makrofag menuju saraf perifer yang pada

akhirnya menimbulkan NND. Makrofag menyebabkan NND melalui beberapa

mekanisme yaitu produksi reactive oxygen species (ROS), sitokin dan protease,

memicu rusaknya mielin dan menimbulkan kerusakan oksidatif seluler (Kirby,

2013; Kheyami, 2014).


23

Disamping kombinasi patogenesis NND yang telah dijelaskan diatas, diduga

masih ada proses lain yang berperan dalam NND. Mekanisme perifer terjadinya

NND diawali oleh DM kronis yang menyebabkan lesi serabut saraf, sehingga

mengakibatkan terjadinya remodeling dan hipereksitabilitas dari membran.

Bagian paroksismal dari lesi akan tumbuh tunas-tunas baru (sprouting) yang

sebagian diantaranya mampu mencapai organ target dan sebagian lagi tidak,

hingga berakhir sebagai tonjolan-tonjolan yang dinamakan neuroma. Di daerah

neuroma ini berakumulasi ion channel (terutama Na+channel). Disamping ion

channel, juga terdapat molekul-molekul reseptor dan tranduser. Hal tersebut

menjadi penyebab munculnya impuls ektopik, baik yang distimulasi maupun

yang spontan. Di samping Na channel, pada beberapa penderita tampak adanya

alpha-adreno-receptors yang peka terhadap katekolamin dan noradrenalin yang

dilepaskan oleh sistem simpatis. Reseptor ini akan menambah ectopic discharge

(Meliala, 2011; Kirby, 2013).

Akibat timbulnya ectopic discharge, neuron-neuron sensorik di kornu

dorsalis dibanjiri dengan impuls dari perifer, sehingga mengakibatkan sensitisasi

neuron-neuron tersebut, selain itu pada lesi saraf tepi sering menyebabkan

matinya neuron-neuron inhibisi yang dapat menimbulkan nyeri spontan. Pada

lesi saraf tepi mungkin pula serabut saraf C yang menuju ke kornu dorsalis mati,

sehingga akan memicu terjadinya sprouting pada serabut A beta. Sensitisasi

sentral inilah yang menjadi dasar timbulnya hiperalgesia dan alodinia

(Tanenberg, 2009; Meliala, 2011).


24

Gambar 2.4 Patogenesis neuropati pada DM


(Kheyami, 2014)

2.1.5 Diagnosis

Untuk menegakkan diagnosis NND sangat komplek, karena gangguannya

menimbulkan lesi serat saraf yang bervariasi. Untuk memenuhi klasifikasi NND

pasien membutuhkan penilaian gejala, tanda klinis, tes kuantitatif sensoris, dan

pemeriksaan elektrodiagnostik. Nyeri neuropatik diabetik secara praktis ditegakkan

berdasarkan klinis yaitu gejala yang dialami pasien sesuai dengan nyeri neuropati,

lokasi nyeri bersifat distal symmetrical dan keluhan memberat pada malam hari.

Diagnosis klinis ini juga didukung oleh pemeriksaan elektrofisiologi yaitu nerve

conduction studies (NCS) dan quantitative sensory testing (QST) (Arnson dkk., 2009;

Tesfaye dkk., 2010).


25

Pemeriksaan NCS berguna untuk menyingkirkan diagnosis lain selain NND.

Gambaran elektrofisiologi dari NND yaitu degenerasi aksonal simetris pada serat

saraf sensoris dan motorik bagian distal, didapatkan penurunan bahkan

menghilangnya potensial aksi dari nervus sensoris suralis. Pemeriksaan

elektromiografi (EMG) jarum didapatkan denervasi parsial otot ektremitas bawah.

Biopsi saraf sebagai standar diagnosis untuk menegakkan NND, namun karena

keterbatasan dan kesulitan dalam biopsi saraf sehingga dicari alternatif pemeriksaan

lain yang tetap mempunyai nilai akurasi yang tinggi (Boulton & Voleykite., 2011;

Kirby, 2013).

Untuk menegakkan diagnosis NND memerlukan evaluasi yang akurat, sehingga

dibutuhkan alat diagnosis yang juga akurat, cepat dan mudah dikerjakan, bertujuan

untuk membedakan nyeri nosiseptik dan nyeri neuropatik. Alat ukur yang

menggabungkan sistem wawancara dan pemeriksaan fisik mempunyai nilai yang

lebih akurat dibandingkan dengan alat ukur yang mengandalkan wawancara saja

(Benson, 2005; Kirby, 2013).

Ada beberapa alat ukur untuk membedakan nyeri nosiseptik dan neuropatik

misalnya neuropathic pain scale (NPS), neuropathic pain symptom inventory (NPSI),

neuropathic pain questionnaire (NPQ), Leeds assessment of neuropathic symptoms

and signs (LANSS), dan Douleur Neuropathique 4 atau neuropathic pain 4 questions

in French (DN4). Dari beberapa alat ukur diatas yang memiliki tingkat keakuratan

yang cukup tinggi yaitu LANSS dan DN4 (Benson, 2005).


26

Alat ukur pertama yang dikembangkan untuk membedakan antara nyeri

neuropatik dengan nyeri nosiseptik yaitu LANSS. Alat ukur ini memiliki sensitivitas

85% dan spesifisitas 80% dan telah dilakukan uji reliabilitas dalam versi Bahasa

Indonesia pada tahun 2006, didapatkan hasil konsistensi internal antara 0,75 dan 0,88.

Kesepakatan kedua pemeriksa memiliki koefisien kappa 0,76. Leeds assessment of

neuropathic symptoms and signs terdiri dari 7 pertanyaan yang mencakup deskripsi

sensorik dan pemeriksaan sensorik yang sederhana (Benson, 2005; Widyadharma &

Yudiyanta, 2008).

Douleur Neuropathique 4 merupakan alat ukur berupa kuesioner sederhana untuk

membedakan nyeri neuropatik dengan nyeri non neuropatik. Dikembangkan pertama

kali di Prancis oleh French neuropathic pain group. Alat ukur ini terdiri dari 10 jenis

pertanyaan terdiri dari deskripsi tentang gejala sensorik dan pemeriksaan sensorik.

Suatu penelitian menggunakan DN4 membandingkan penderita nyeri neuropatik

dengan penderita non neuropatik. Hasil yang didapatkan yaitu beberapa gejala berupa

parestesia dan disestesia serta hasil pemeriksaan sensorik berupa adanya nyeri karena

stimulus dan defisit sensorik, signifikan lebih sering terjadi pada kelompok nyeri

neuropatik. DN4 memiliki inter rater reliability sebesar 86-98% dengan nilai kappa

cohen antara 0,70-0,96. Kuesioner ini merupakan salah satu alat ukur yang memiliki

sensitivitas dan spesifisitas yang sangat tinggi untuk membedakan nyeri neuropatik

dengan nyeri nosiseptif, dengan berbagai etiologi. Pemeriksaan DN4 memiliki tingkat

akurasi diagnostik yang tinggi untuk mendiagnosis NND, memiliki sensitivitas

sebesar 80% dan spesifisitas 92%. Berdasarkan nilai sensitivitas dan spesifisitas dari
27

DN4 yang signifikan baik, maka penulis menggunakan DN4 sebagai alat ukur untuk

diagnosis NND (Benzon, 2005; Spallone dkk., 2011; Lestari dkk., 2013).

2.2 Vitamin D

Vitamin D adalah molekul sekosteroid, bentuk aktifnya berupa 1,25 di-

hydroxylated yang merupakan hormon aktif pada tubuh manusia. Vitamin D

merupakan hormon prekursor terdapat dalam 2 bentuk yaitu ergokalsiferol atau

vitamin D2 yang ada pada tanaman dan ikan, serta kolekalsiferol atau vitamin D3

yang disintesis di kulit dengan bantuan sinar matahari (Bordelon dkk., 2009; Kulie

dkk., 2009).

Sumber primer vitamin D berasal dari paparan sinar matahari. Manusia

memenuhi kebutuhan akan vitamin D 90% dari paparan sinar matahari dalam jumlah

yang cukup dan sisanya didapat dari makanan. Vitamin D3 dapat diproduksi oleh

kulit melalui paparan sinar ultraviolet (UV) B. Untuk mencapai kadar yang

diharapkan, lama paparan sinar matahari yang dianjurkan pada orang berkulit putih

adalah selama 15 menit pada saat siang di musim panas pada kedua sisi tubuh,

dilakukan 2 kali seminggu yang akan menghasilkan 10.000 IU vitamin D3.

Sedangkan pada orang berkulit hitam untuk mencapai kadar vitamin D yang

mencukupi dibutuhkan lebih banyak waktu untuk terpapar matahari yaitu 10-50 kali

lebih lama dari pada orang berkulit putih. Untuk mencapai jumlah vitamin D yang

mencukupi dalam tubuh, tergantung pada kekuatan sinar UVB berupa lokasi tempat

tinggal, lamanya waktu terpapar sinar matahari, dan jumlah pigmen kulit. Sumber
28

sekunder vitamin D berasal dari suplemen dan asupan makanan seperti keju, telur,

susu, hati, ikan, minyak hati ikan, dan jamur shitake (Thorne, 2008; Kaufman, 2009)

Kadar vitamin D yang dapat diukur dalam serum darah adalah 25-hidroxy

vitamin D (25(OH)D) karena bentuk inilah yang paling dominan beredar dalam

sirkulasi tubuh. 25-hidroxy vitamin D merupakan prekursor 1,25 dihidroxy vitamin D

yang merupakan bentuk paling aktif dari vitamin D. Holick (2004) menyatakan kadar

minimal 25(OH)D yang diharapkan dalam serum adalah lebih dari 30 ng/ml. Kadar

optimal vitamin D yaitu 30-50 ng/ml, sedangkan pada penderita sakit jantung,

multipel sklerosis, autism, diabetes dan kanker membutuhkan kadar 25(OH)D yang

lebih tinggi yaitu diatas 50 ng/ml. Kadar toksik dari vitamin D yaitu diatas 150 ng/ml.

Defisiensi vitamin D jika kadar serum 25(OH)D dibawah 20 ng/ml sedangkan

isufisiensi vitamin D jika kadar 25(OH)D antara 20-30 ng/ml (Holick, 2004; Palomer

dkk., 2008; Bell, 2012).

Defisiensi vitamin D terjadi pada sekitar 1 milyard orang di seluruh dunia. Sering

terjadi pada usia lanjut, dimana kadar vitamin D akan menurun seiring dengan

bertambahnya usia. Hal ini disebabkan karena pada usia lanjut akan berkurang

mendapat paparan sinar matahari, menurunnya kapasitas kulit dalam memproduksi

vitamin D dan menurunnya asupan makanan yang mengandung vitamin D (Herrmann

dkk., 2015).

Dari suatu penelitian di Eropa didapatkan 36% laki-laki dan 47% perempuan

memiliki kadar vitamin D di bawah 30 ng/mL. Defisiensi vitamin D lebih sering

terjadi pada orang yang berkulit gelap. Peningkatan pigmen kulit akan mengurangi
29

sintesis UVB menjadi vitamin D. Penelitian yang dilakukan oleh Nesby-O Dell dkk

tahun 2002, didapatkan 42% keturunan Afrika Amerika dengan defisiensi vitamin D

dan hanya 4% pada orang yang berkulit putih (Kauffman, 2009; Alkharfy dkk.,

2013).

Defisiensi vitamin D disebabkan oleh banyak hal seperti menurunnya sintesis di

kulit, penurunan asupan dan penyerapan, peningkatan katabolisme, fase menyusui,

obesitas, gangguan kronis pada hati dan ginjal, dan beberapa penyakit tumor.

Populasi yang berisiko tinggi mengalami defisiensi vitamin D sehingga perlu

dilakukan pemeriksaan kadar vitamin D, misalnya pada usia lanjut, ibu menyusui,

berkulit gelap, kurang paparan sinar matahari, memakai obat-obatan yang

mengurangi metabolisme vitamin D seperti anti konvulsan dan glukokortikoid, dan

obesitas dengan indeks massa tubuh diatas 30 kg/m 2 (Leavitt, 2008; Smith, 2009).

Penderita DM yang menderita NND perlu dilakukan pemeriksaan kadar vitamin

D karena defisiensi vitamin D mempunyai peran cukup besar dalam menyebabkan

timbulnya NND. Defisiensi vitamin D menyebabkan NND melalui beberapa

mekanisme yaitu disfungsi endotel, proses inflamasi, sensitisasi perifer dan

degenerasi saraf (Arnson dkk., 2009; Rahimi dkk., 2014; Zoppini dkk., 2014).

2.2.1 Metabolisme Vitamin D

Sumber vitamin D yang utama adalah dari paparan sinar matahari (90%) dan

sisanya bersumber dari asupan makanan. Sinar UVB mengalami sintesis di kulit

sehingga merubah 7-dehidrokolesterol menjadi kolekalsiferol (D3). Sumber vitamin

D dari asupan makanan seperti minyak ikan, daging, susu, telur dan suplementasi
30

vitamin D menjadi bentuk kolekalsiferol (D3) dan ergokalsiferol (D2), selanjutnya

kolekalsiferol dan ergokalsiferol baik dari sintesis paparan sinar matahari dan asupan

makanan akan megalami 2 kali hidroksilasi yaitu metabolisme di hati dan ginjal, yang

pada akhirnya menghasilkan bentuk aktif vitamin D yaitu 1,25(OH)2D3. Proses

hidroksilasi pertama terjadi di hati, menghasilkan bentuk vitamin D yang tidak aktif

yaitu 25(OH)D, sebagian 25(OH)D akan disimpan di sel lemak dan otot dan sebagian

mengalami hidroksilasi kedua di ginjal. Hasil hidroksilasi 25(OH)D di ginjal

sebagian akan mengalami katabolisme menjadi 24(OH)D3 dan sebagian akan

menjadi bentuk aktif dari vitamin D yaitu 1,25(OH)2D3 yang beredar dalam darah.

Vitamin D bentuk aktif yang beredar dalam darah berikatan dengan vitamin D-

binding protein (VDBP) selanjutnya menuju ke jaringan target yaitu vitamin D

receptor (VDR) (Palomer dkk., 2008; Thorne, 2008; Bordelon dkk., 2009).

Gambar 2.5 Metabolisme vitamin D dalam tubuh


(Leavitt, 2008)
31

Gen VDR berada di kromosom 12q13.1, terdiri dari 14 ekson. Lokasi VDR ada

di beberapa tempat yaitu sel β pankreas, skeleton (osteoblas dan kondrosit), jantung,

epitel intestinal, hati, otak, kulit (keratinosit), tiroid, paratiroid, kelenjar adrenal,

tubulus renalis dan sel imun (monosit, makrofag dan limfosit T). Kadar VDR paling

banyak ada di intestinal, ginjal, paratiroid dan tulang, sehingga berhubungan dengan

homestasis kalsium. Defisiensi vitamin D akan mempengaruhi jaringan target sesuai

dengan lokasi VDR tersebut (Palomer dkk., 2008; Kulie dkk., 2009; Kheyami, 2014).

Vitamin D receptor merupakan reseptor tempat bekerjanya vitamin D, dapat

berada pada sistem saraf pusat dan perifer pada beberapa organ tubuh. Peningkatan

ekspresi VDR pada NND kemungkinan terjadi karena sintesis yang meningkat atau

karena penurunan metabolime. Diperkirakan peningkatan jumlah VDR pada serat

saraf penderita DM dicetuskan oleh multiplikasi yang terjadi dengan sendirinya,

dimana ekspresi VDR diregulasi oleh ligans VDR (Martin dkk., 2010; Nostrabadi

dkk., 2011; Chaychi dkk., 2011).


32

Gambar 2.6 Metabolisme 25(OH)D menjadi 1,25(OH)


dan fungsi vitamin D non skeletal (Kheyami, 2014)

2.2.2 Peranan Vitamin D

Peran utama vitamin D dalam tubuh yaitu menjaga homeostasis regulasi kalsium.

Vitamin D mengontrol penyerapan kalsium di usus kecil dan bekerja sama dengan

hormon paratiroid dalam memediasi mineralisasi sistem skeletal dan menjaga

homeostasis kalsium dalam sirkulasi darah. Jika kadar vitamin D mencukupi dalam

tubuh maka proses peyerapan kalsium di usus kecil menjadi optimal, sehingga dapat

menjaga proses mineralisasi tulang. Kekurangan kalsium dalam tubuh dapat

menimbulkan nyeri kronis di sistem muskuloskeletal seperti nyeri sendi, nyeri tulang

belakang dan nyeri otot (Olliveira dkk., 2013).


33

Vitamin D berperan mengurangi nyeri kronis termasuk NND melalui :

- Hubungan vitamin D dengan proses inflamasi.

Vitamin D meningkatkan pelepasan TGF-β1 dan IL-4 di astrosit dan

mikroglia sehingga menyebabkan penurunan sintesis sitokin proinflamasi di

sel endotel, sel Schwann dan neuron, mengurangi migrasi makrofag ke saraf

perifer sehingga mencegah kerusakan neuron, myelin dan pembuluh darah

yang melayani neuron. TGF-β1 menekan aktivitas beberapa sitokin seperti

interferon-γ, TNF-α, dan beberapa sel T seperti IL-1 dan IL-2 (Straube dkk.,

2009).

- Hubungan vitamin D dengan neurotropin.

Vitamin D berfungsi menghambat dan mengurangi nyeri kronis termasuk

NND dengan meningkatkan sintesis neurotropin di astrosit seperti NGF, IGFs,

BDNF, dan NT-3. Neurotropin berperan dalam mempercepat dan

mempertahankan pertumbuhan saraf perifer, memacu pertumbuhan akson, dan

menjaga plastisitas sinaps neuron. Vitamin D melindungi saraf perifer dengan

cara meningkatkan efek glukokortikoid dan memodulasi homeostasis ion

kalsium neuron. Mikroglia berperan dalam terjadinya NND, dimana vitamin

D mempunyai efek melindungi saraf dengan cara detoksifikasi astrosit

(Kauffman, 2009; Chaychi dkk., 2012).

- Hubungan vitamin D dengan prostaglandin.

Vitamin D menurunkan sintesis NF-κB di ginjal. NF-κB merupakan suatu

mediator proinflamasi, penurunan sintesisnya menyebabkan inhibisi ekspresi


34

COX-2 dan meningkatkan stimulasi 15 Prostaglandin dehidrogenase (15

PGDH) yang berfungsi memecah prostaglandin, sehingga jumlah

prostaglandin menurun. Penurunan prostaglandin meningkatkan ambang nyeri

pada saraf sensoris perifer, menurunkan aksi potensial yang dipicu oleh

depolarisasi dan menurunkan pelepasan SP dan CGRP (Wang dkk., 2014).

- Hubungan vitamin D dengan NO

Vitamin D menghambat sintesis iNOS yaitu suatu enzim yang memproduksi

NO. Nitric oxide adalah neurotransmiter penting di kornu dorsal medula

spinalis yang berperan dalam proses nyeri nosisepsi yang kemudian

berkembang menjadi sensitisasi sentral. Nitric oxide merusak akson dan

myelin dan memicu proses mikroangiopati sehingga menimbulkan gejala

NND. Inhibisi iNOS oleh vitamin D merupakan mekanisme potensial untuk

mengurangi nyeri dan kerusakan saraf pada NND (Ziegler, 2009).

- Hubungan vitamin D dengan sel T-Helper.

Beberapa tipe sel imun berperan dalam terjadinya neuropati perifer dan nyeri

neuropatik. Jika saraf mengalami cedera maka akan dilepaskan neutrofil

dalam jumlah yang banyak, sehingga memicu munculnya gejala nyeri

neuropatik. Neutrofil juga memproduksi beberapa faktor inflamasi seperti

lipooksigenase, NO dan sitokin. Sel mast akan menurunkan migrasi neutrofil

dan monosit menuju saraf yang cedera dan menurunkan pelepasan kemokin

dan mediator lainnya. Vitamin D berperan menurunkan fungsi neutrofil


35

sehingga nyeri neuropatik berkurang (Leavitt, 2008; Martin dkk., 2010;

Kheyami, 2014).

- Hubungan vitamin D dengan mikrovaskular

Peranan vitamin D mengurangi gejala neuropati dan menurunkan

progresivitas komplikasi mikrovaskular dengan menghambat renin

angiotensin aldosteron system (RAAS) di ginjal, sehingga mencegah

vasokontriksi vaskular, mencegah iskemik pada epineural dan endoneural

serta mencegah pembengkakan dan demielinisasi akson. Vitamin D juga

menurunkan reaksi radikal bebas yaitu ROS sehingga mengurangi kerusakan

sel endotel dan mengurangi proses oksidasi seluler sehingga mencegah dan

mengurangi keluhan NND (Kulie dkk., 2009, Bajaj dkk., 2015).

Rendahnya kadar vitamin D berperan dalam beberapa proses penyakit lainnya

seperti osteoporosis, proses penuaan, penyakit kardiovaskular, hipertensi,

preeklamsia, penyakit jantung kongestif, multiple sklerosis, DM tipe 1 dan tipe 2,

kanker, dan nyeri kronis. Peranan vitamin D sebagai anti inflamasi, neuro protektor

dan imuno modulator yang kuat secara langsung mempengaruhi kadar sitokin tubuh

(Straube dkk., 2009; Olliveira dkk., 2013).

2.3 Vitamin D dan Nyeri Neuropati Diabetik

Beberapa penelitian tentang hubungan antara kadar vitamin D rendah pada

penderita DM tipe 2 dengan kejadian komplikasi mikrovaskular khususnya NND,

menunjukkan adanya hubungan yang signifikan. Vitamin D mempunyai banyak


36

kelebihan dan banyak peran dalam menjaga metabolisme glukosa sehingga dapat

menekan kejadian komplikasi mikrovaskular seperti NND. Beberapa penelitian

tersebut yaitu penelitian di Kuwait pada tahun 2009 menyatakan defisiensi vitamin D

sebagai faktor risiko independen terjadinya NND dikaitkan dengan faktor perancu

seperti durasi menderita DM, HbA1C dan kadar kolesterol LDL (Straube dkk., 2009).

Penelitian meta analisis yang dilakukan oleh Olliveira dkk tahun 2013

mendapatkan hasil bahwa dari 10 penelitian yang dianalisis, lima penelitian

menunjukkan hubungan yang signifikan antara kadar vitamin D rendah dengan nyeri

kronis, tiga penelitian menyatakan adanya perbaikan nyeri setelah diberikan

suplementasi vitamin D dan dua penelitian mendapatkan tidak ada perbaikan nyeri

setelah diberikan suplementasi vitamin D. Hubungan kadar vitamin D rendah dengan

nyeri kronis cukup signifikan, terkait dengan peranan vitamin D sebagai anti

inflamasi yang menurunkan aktivitas proinflamasi seperti sitokin sehingga

mengurangi nyeri.

Penelitian terbaru yang dilakukan oleh Bajaj dkk tahun 2015 di India, melibatkan

158 sampel mendapatkan hasil kadar vitamin D yang rendah signifikan didapatkan

pada penderita DM tipe 2. Kadar vitamin D dibawah 20 ng/dL pada penderita DM

tipe 2 memiliki hubungan yang signifikan dengan kejadian komplikasi mikrovaskular

seperti NND, retinopati, dan nefropati. Dinyatakan vitamin D ikut berperan dalam

metabolisme glukosa dengan cara memperbaiki insulin eksositosis, stimulasi

langsung pada reseptor insulin, memperbaiki ambilan glukosa pada jaringan perifer

dan memperbaiki resistensi insulin. Vitamin D juga mempunyai banyak peran yaitu
37

sebagai pleiotropik yang menekan mediasi sel imun, menstimulasi faktor neurotropik

seperti NGF, sebagai neurotropin, menekan RAAS, mengurangi albuminuria,

imunomodulator, anti inflamasi dan efek anti angiogenik.

Kadar vitamin D yang rendah diyakini sebagai faktor independen terjadinya

NND pada penderita DM. Proses ini melalui beberapa mekanisme yaitu:

1. Disfungsi endotel

Disfungsi endotel terjadi karena defisiensi vitamin D menghambat terjadinya

neoangiogenesis dengan menghambat proliferasi sel endotel Terjadi peningkatan

stres oksidatif dan resistensi vaskular sehingga terjadi mikroangiopati

endoneuron yang berujung pada iskemik saraf. Proses neoangiogenesis terjadi

karena adanya interaksi vitamin D yang dimediasi oleh VDR yang berada pada

sel β pankreas (Kiani dkk., 2013; Bell, 2012; Shehab dkk., 2015).

2. Cedera saraf perifer

Defisiensi vitamin D menyebabkan terjadinya cedera saraf perifer, dimana

terjadi peningkatan PARP, yaitu suatu enzim pada sel Schwan yang

menyebabkan penurunan kecepatan konduksi saraf. Defisiensi vitamin D juga

menstimulasi ekspresi Cyclooxygenase-2 (COX-2) dan meningkatkan pelepasan

prostaglandin sehingga menyebabkan penurunan ambang nyeri dan memicu

terjadinya NND (Nostrabadi dkk., 2011; Chaychi dkk., 2011; Wang dkk., 2014).

3. Proses inflamasi

Proses inflamasi dapat disebabkan karena rendahnya kadar vitamin D dalam

serum. Hal ini merupakan dasar terjadinya aterosklerosis yang pada akhirnya
38

menimbulkan NND. Terjadi peningkatan pelepasan mediator proinflamasi seperti

sitokin, makrofag, CRP, dan TNF-α dan disertai dengan penurunan neurotropin,

yang akan menimbulkan sensitisasi perifer saraf sensoris. Defisiensi vitamin D

juga menurunkan ikatan VDR yang kemudian memicu peningkatan jumlah sel

busa yaitu makrofag yang mengoksidasi LDL (Kaur dkk., 2011; Bajaj dkk.,

2015).

4. Degenerasi saraf

Degenerasi saraf dipengaruhi oleh defisiensi vitamin D, terjadi penurunan

produksi neurotropin seperti NGF, IGFs, Brain Derived Neurotrophic Factors

(BDNF) dan NT-3. Neurotropin merupakan kelompok protein yang berfungsi

memelihara, dan menjaga daya tahan serabut saraf sensoris dan simpatis.

Neurotropin menghambat apoptosis sel saraf, serta menjaga regenerasi akson dan

dendrit, sehingga menjamin serabut saraf dapat berfungsi dengan normal. Kadar

vitamin D yang rendah berkaitan dengan neuropatik dan penyakit

neurodegeneratif lainnya, kemungkinan besar karena terjadi gangguan

mekanisme mediasi NGF (Straube dkk., 2009; Zoppini dkk., 2014).

Kolaborasi beberapa proses tersebut menyebabkan kerusakan struktural dan

fisiologis saraf perifer ditandai dengan munculnya tanda klinis NND dan perubahan

abnormal elektrofisiologis.

Anda mungkin juga menyukai