TINJAUAN PUSTAKA
2.1.1 Definisi
Neuropati merupakan terminologi yang sangat luas, dimana saraf tepi mengalami
gangguan fungsi atau perubahan patologi yang disebabkan berbagai faktor. Menurut
konsensus internasional pada tahun 1998, neuropati diabetik adalah keadaan dimana
saraf tepi mengalami gangguan fungsi akibat kerusakan seluler maupun molekuler
2011).
Definisi nyeri neuropatik menurut Kelompok Studi Nyeri PERDOSSI tahun 2011
dan International Association for the Study of Pain (IASP) tahun 2015 yaitu nyeri
yang ditimbulkan atau disebabkan oleh lesi atau gangguan primer pada susunan saraf
somatosensoris. Definisi NND untuk praktek klinis cukup sederhana yaitu adanya
nyeri yang disebabkan langsung oleh disfungsi saraf perifer pada penderita DM tanpa
adanya penyebab lain (Tesfaye dkk., 2010; Boulton & Voleykite, 2011; PERDOSSI,
Rasa nyeri merupakan sensasi yang dirasakan bersifat individual, dan penderita
menyatakan gejala nyeri yang dirasakan dengan cara yang berbeda-beda. Nyeri
8
9
Neuropati perifer merupakan komplikasi paling sering yang dialami penderita DM,
diperkirakan dialami oleh sekitar 50% penderita DM. Gejala khas dari neuropati
perifer yaitu nyeri, penurunan secara signifikan pada rasa raba, getar, proprioseptif
pada tungkai dan adanya kinestesia. Timbulnya gejala ini disebabkan adanya lesi
pada sel saraf berupa apoptosis dan inhibisi regenerasi saraf (Boulton & Voleykite,
Nyeri neuropati diabetik merupakan bagian dari neuropati perifer, lebih sering
terjadi pada penderita DM tipe 2 dibanding tipe 1. Awitan NND berbeda dengan
nyeri nosiseptif, yaitu NND memiliki awitan yang tidak jelas dan perkembangan
Ada 3 gejala khas pada NND yaitu disestesia, parestesia dan nyeri otot.
Disestesia merupakan rasa tidak nyaman yang abnormal, terjadi baik secara spontan
(tanpa stimulus) maupun dengan stimulus. Alodinia, hiperalgesia dan nyeri spontan
merupakan bagian dari disestesia. Alodinia yaitu nyeri yang timbul akibat stimulus
yang normalnya tidak menyakitkan. Hiperalgesia yaitu rasa nyeri yang meningkat
adanya rasa nyeri walau tanpa adanya stimulus yang menyebabkan nyeri. Disestesia
merupakan keluhan dengan rasa seperti terbakar yang berat dan rasa gatal. Parestesia
seperti tertusuk jarum, tersetrum listrik dan teriris benda tajam. Nyeri otot yang kerap
10
dirasakan penderita berupa nyeri yang dalam dan terasa tumpul disertai rasa kaku
atau kram pada otot (PERDOSSI, 2011; Kirby, 2013; Yoo dkk., 2013).
Ciri-ciri utama nyeri neuropatik adalah gejala hiperalgesia, alodinia dan nyeri
spontan. Keluhan NND yang sering dikeluhkan penderita yaitu sensasi tidak
tetapi banyak pula yang tidak mengeluhkan gejala NND sampai nyeri dirasakan
cukup keras. Rasa nyeri dapat timbul menetap atau paroksismal. Rasa nyeri
meningkat saat malam hari, saat berjalan, berdiri, dan dalam kondisi kelelahan fisik
dan psikis. Rasa nyeri berkurang jika beristirahat. Bila diberikan stimulus berulang
maka rasa nyeri akan tetap dirasakan walaupun stimulus sudah tidak ada lagi. Nyeri
neuropati diabetik bersifat kronik, kualitas dan kuantitas nyeri yang dirasakan makin
lama akan makin meningkat seiring dengan lamanya penyakit, hiperglikemia tidak
2015).
Lebih dari setengah penderita NND mengalami rasa nyeri dan tidak nyaman yang
berlokasi pada ekstremitas terutama ekstemitas bawah yaitu jari-jari kaki sampai
lutut, simetris kanan dan kiri serta dapat juga dirasakan pada jari-jari tangan secara
simetris pula. Distribusi keluhan menyerupai gambaran kaos kaki dan sarung tangan
Distribusi lokasi nyeri yang khas ini terjadi karena lesi saraf perifer terjadi pertama
kali pada akson saraf sensoris terpanjang yang melayani kaki (Gow & Moore, 2014).
gangguan tidur dan disabilitas dalam mobilisasi. Sekitar sepertiga penderita NND
dengan keluhan yang berat memerlukan alat bantu dalam berjalan seperti tongkat dan
kursi roda. Risiko jatuh juga lebih tinggi pada penderita NND daripada tanpa NND.
mortalitas. Angka mortalitas yang tinggi disebabkan karena adanya infeksi pada
ulkus, risiko jatuh yang lebih tinggi, dosis obat analgetik yang berlebihan dan
kemungkinan terjadi bunuh diri akibat depresi berat (Ziegler, 2009; Yoo dkk., 2013).
12
melibatkan banyak faktor risiko. Faktor risiko NND terbagi 2 yaitu yang tidak dapat
dimodifikasi dan yang dapat dimodifikasi. Faktor risiko yang tidak dapat
dimodifikasi yaitu usia lanjut, faktor genetik yaitu gen polimorfisme aldose
reduktase, dan lama menderita DM. Faktor risiko NND yang dapat dimodifikasi dan
memegang peranan penting yaitu faktor metabolik dan vaskular. Faktor metabolik
dislipidemia, obesitas, dan konsumsi alkohol yang tinggi. Dari semua faktor risiko
metabolik, yang paling berperan adalah hiperglikemia kronis. Sangat kuat relasi
antara perkembangan dan progresifitas NND dengan kontrol glikemia pada DM tipe 1
dan 2. Durasi dan beratnya hiperglikemia berkaitan dengan tingkat keparahan derajat
Faktor risiko NND lainnya yaitu DM dengan ulkus di kaki, penyakit ginjal dan
hati kronis, infeksi HIV/AIDS dan morbus Hansen, neuropati jebakan, keganasan,
gula darah pada penderita DM selama tiga dekade. Terbentuk melalui jalur non
enzimatik akibat dari hemoglobin normal terpapar oleh kadar glukosa yang tinggi
dalam plasma. Buruknya kontrol glukosa darah dapat dinilai dari tingginya nilai
13
HbA1c. Kadar HbA1c tinggi berkaitan dengan hilangnya serat saraf bermielin
yang merupakan salah satu gejala NND (Vincent dkk., 2009; Smith dkk., 2013).
Usia lanjut sebagai salah satu faktor risiko terjadinya NND. Jumlah kasus yang
didiagnosis NND dari tahun 2005-2050 pada usia diatas usia 65 tahun diperkirakan
akan meningkat 4,5 kali, dibandingkan yang berusia dibawah 65 tahun hanya
meningkat 3 kali lipat. Hal ini disebabkan karena pada usia lanjut insiden menderita
DM tipe 2 akan makin meningkat, yang dipengaruhi oleh menurunnya aktivitas fisik,
peningkatan resistensi insulin, gangguan fungsi pankreas terkait usia dan gangguan
Lama menderita DM menjadi salah satu faktor risiko mayor terjadinya NND.
Awitan terjadinya NND berkorelasi positif dengan durasi menderita DM. Selama 25
tahun menderita DM didapatkan insiden NND sebanyak 50%. Tingkat keparahan dari
2015).
kadar vitamin D serum. Neurotropin utama yang terkait dengan NND yaitu nerve
(NT-3) dan calcitonin gene related peptide (CGRP) (Aloe dkk., 2012; Rahimi dkk.,
2014).
14
Merokok merupakan salah satu faktor risiko terjadinya NND. Pada penderita DM
yang merokok berpeluang 3 kali lipat lebih tinggi menderita NND dibanding dengan
yang tidak merokok. Merokok menyebabkan arteri menyempit dan kaku, mengurangi
aliran darah menuju tungkai dan kaki sehingga terjadi lesi iskemik sekunder dan
merusak integritas saraf perifer, yang pada akhirnya memicu terjadinya NND. Jika
ada ulkus pada penderita DM maka akan susah sembuh, disamping itu penderita DM
yang merokok akan sulit untuk mengatur dosis insulin dan mengontrol gula darah
(Eliasson, 2005).
aliran darah pada pembuluh darah yang melayani saraf, sehingga menyebabkan atropi
aksonal, penipisan selubung mielin, gangguan pada sel Schwann dan menurunkan
dibanding DM tipe 1 karena profil lipid penderita DM tipe 2 umumnya lebih tinggi
pada fase awal. Kadar Low-Density Lipoprotein (LDL) tinggi lebih erat kaitannya
dislipidemia dan obesitas dengan kejadian NND dapat dilihat dari suatu penelitian
analisis multivariat yang dilakukan oleh Smith dan Singleton tahun 2013, didapatkan
berdiameter kecil yang tidak berselubung mielin, peningkatan resistensi insulin dan
yang menumpuk pada sel lemak sehingga menurunkan kadar vitamin D yang beredar
dalam sirkulasi sistemik (Vincent dkk., 2009; Smith & Singleton, 2013).
komplikasi neuropati sensori dan otonom. Kerusakan saraf perifer pada penderita DM
disebabkan karena kompresi mekanik oleh masa lemak pada serat saraf. Semakin
tinggi tingkat obesitas, maka kompresi serat saraf semakin berat dan meningkatkan
NND pada peminum alkohol yaitu terjadinya defisiensi mikronutrisi yaitu tiamin,
penurunan penyerapan tiamin pada intestinal, penurunan cadangan tiamin di hati dan
sitokin yang mengaktivasi protein kinase C (PKC) (Chopra & Tiwari, 2012).
Penyebab lesi saraf tepi pada penderita NND sangat kompleks. Nyeri neuropati
diabetik muncul oleh karena adanya lesi kronik pada saraf tepi. Patogenesis
aksonal dominan terjadi pada bagian distal dan dimulai dari akson yang terpanjang,
awalnya terjadi pada kaki lalu meluas ke bagian atas sampai ke lutut, sampai jari-jari
saraf bermielin ukuran besar yang melayani persepsi raba, tekan, vibrasi,
proprioseptif dan fungsi motorik, sedangkan serat saraf bermielin ukuran kecil dan
yang tidak bermielin melayani persepsi suhu, nyeri dan fungsi otonom. Pada
tepi. Hal inilah yang membuktikan adanya demielinisasi (Azhary dkk., 2010; Meliala,
peningkatan kadar glukosa pada saraf 4 kali lipat yang terjadi secara persisten
(Kirkman, 2012).
17
memasuki jalur poliol. Pada jalur poliol glukosa di saraf perifer diubah menjadi
mielin, putusnya ikatan akson-glial dan degenerasi saraf. Hal ini menyebabkan
gangguan fungsi dan struktur saraf perifer yang akhirnya menimbulkan keluhan
dan berubah bentuk menjadi advanced glycation end product (AGE). Advanced
18
yaitu receptors for advanced glycation end product (RAGE). Mekanisme AGE
mekanisme lainnya yaitu lipid dan protein AGE ekstraseluler terikat pada
yang menyebabkan stres oksidatif dan cedera sel neuron (Azhary dkk., 2009;
Cherney, 2014).
(Ziegler,2009;Kheyami,2014).
Gambar 2.3 Peranan AGE dan RAGE pada NND (Azhary dkk., 2009)
19
pada serum penderita DM. Sirkulasi auto antibodi ini secara langsung melawan
serat saraf motorik dan sensorik. Hal ini dapat diketahui secara tidak langsung
pada saraf suralis, saraf skiatika, saraf vagus dan saraf simpatis pascaganglion
3. Dislipidemia
yang menyebabkan terjadinya cedera saraf adalah sebagai berikut (Vincent dkk.,
Asam lemak bebas menyebabkan lipotoksik pada sel saraf dan sel Schwann.
Efek sistemik dari asam lemak bebas yaitu meningkatkan pelepasan sitokin
superoksidase.
c. Oksisterol
Poli ADP-ribose polimerase adalah enzim yang terdapat pada sel Schwann,
sel endotel dan saraf sensoris. Poli ADP-ribose polimerase distimulasi oleh
(Huizinga, 2007).
5. Gangguan mikrovaskular
saraf perifer, sehingga terjadi hipoksia pada saraf dan iskemia absolut atau relatif
oklusi. Penebalan membran kapiler lebih banyak terjadi pada saraf dibandingkan
pada kulit atau otot pada penderita DM, sehingga mikroangiopati lebih sering
pada akhinya menyebabkan penurunan fungsi saraf (Azhary dkk., 2009; Tesfaye
dkk., 2010).
defisiensi faktor pertumbuhan seperti nerve growth factor (NGF), insulin like
growth factors (IGFs), dan Neurotrophin 3 (NT-3) (Ziegler, 2009; Gow & Moore,
2014).
IGFs menyebabkan neuropati otonom. Serat saraf kecil berperan dalam sensasi
panas dan nyeri, serat saraf besar berperan dalam proprioseptif, vibrasi dan fungsi
laminin, saposins, sitokin, dan faktor pertumbuhan lainnya (Arnson dkk., 2009;
Kauffman, 2009).
Nerve growth factor berperan dalam pertumbuhan dan menjaga daya tahan
saraf simpatis dan dorsal root ganglion (DRG). Nerve growth factor juga penting
pada saraf simpatis dan neuron DRG, berperan dalam vasodilatasi, motilitas usus
dan nosiseptif, yang semuanya terganggu pada neuropati diabetik. Pada penderita
NND kadar NGF akan berkurang sehingga menyebabkan disfungsi saraf sensoris
dan otonom. Kadar NGF juga berkurang pada epidermis kulit, hal ini diyakini
22
sebagai patogenesis neuropati perifer pada saraf yang melayani kulit. Insulin like
growth factors memegang peranan dalam terjadinya NND, yaitu dalam menjaga
pertumbuhan dan diferensiasi sel neuron, dimana kadarnya akan berkurang pada
7. Inflamasi
Faktor inflamasi seperti C-reactive protein (CRP) dan tumor necrosis factor-
α (TNF-α) terdapat dengan kadar yang tinggi pada penderita DM, hal ini
sintesis enzim inducible nitric oxide (iNOS) yang akhirnya membentuk nitric
oxide (NO). Nitric oxide berperan secara langsung merusak akson dan mielin
Schwann dan neuron sehingga memicu makrofag menuju saraf perifer yang pada
mekanisme yaitu produksi reactive oxygen species (ROS), sitokin dan protease,
masih ada proses lain yang berperan dalam NND. Mekanisme perifer terjadinya
NND diawali oleh DM kronis yang menyebabkan lesi serabut saraf, sehingga
Bagian paroksismal dari lesi akan tumbuh tunas-tunas baru (sprouting) yang
sebagian diantaranya mampu mencapai organ target dan sebagian lagi tidak,
dilepaskan oleh sistem simpatis. Reseptor ini akan menambah ectopic discharge
neuron-neuron tersebut, selain itu pada lesi saraf tepi sering menyebabkan
lesi saraf tepi mungkin pula serabut saraf C yang menuju ke kornu dorsalis mati,
2.1.5 Diagnosis
menimbulkan lesi serat saraf yang bervariasi. Untuk memenuhi klasifikasi NND
pasien membutuhkan penilaian gejala, tanda klinis, tes kuantitatif sensoris, dan
berdasarkan klinis yaitu gejala yang dialami pasien sesuai dengan nyeri neuropati,
lokasi nyeri bersifat distal symmetrical dan keluhan memberat pada malam hari.
Diagnosis klinis ini juga didukung oleh pemeriksaan elektrofisiologi yaitu nerve
conduction studies (NCS) dan quantitative sensory testing (QST) (Arnson dkk., 2009;
Gambaran elektrofisiologi dari NND yaitu degenerasi aksonal simetris pada serat
Biopsi saraf sebagai standar diagnosis untuk menegakkan NND, namun karena
keterbatasan dan kesulitan dalam biopsi saraf sehingga dicari alternatif pemeriksaan
lain yang tetap mempunyai nilai akurasi yang tinggi (Boulton & Voleykite., 2011;
Kirby, 2013).
dibutuhkan alat diagnosis yang juga akurat, cepat dan mudah dikerjakan, bertujuan
untuk membedakan nyeri nosiseptik dan nyeri neuropatik. Alat ukur yang
lebih akurat dibandingkan dengan alat ukur yang mengandalkan wawancara saja
Ada beberapa alat ukur untuk membedakan nyeri nosiseptik dan neuropatik
misalnya neuropathic pain scale (NPS), neuropathic pain symptom inventory (NPSI),
and signs (LANSS), dan Douleur Neuropathique 4 atau neuropathic pain 4 questions
in French (DN4). Dari beberapa alat ukur diatas yang memiliki tingkat keakuratan
neuropatik dengan nyeri nosiseptik yaitu LANSS. Alat ukur ini memiliki sensitivitas
85% dan spesifisitas 80% dan telah dilakukan uji reliabilitas dalam versi Bahasa
Indonesia pada tahun 2006, didapatkan hasil konsistensi internal antara 0,75 dan 0,88.
neuropathic symptoms and signs terdiri dari 7 pertanyaan yang mencakup deskripsi
sensorik dan pemeriksaan sensorik yang sederhana (Benson, 2005; Widyadharma &
Yudiyanta, 2008).
kali di Prancis oleh French neuropathic pain group. Alat ukur ini terdiri dari 10 jenis
pertanyaan terdiri dari deskripsi tentang gejala sensorik dan pemeriksaan sensorik.
dengan penderita non neuropatik. Hasil yang didapatkan yaitu beberapa gejala berupa
parestesia dan disestesia serta hasil pemeriksaan sensorik berupa adanya nyeri karena
stimulus dan defisit sensorik, signifikan lebih sering terjadi pada kelompok nyeri
neuropatik. DN4 memiliki inter rater reliability sebesar 86-98% dengan nilai kappa
cohen antara 0,70-0,96. Kuesioner ini merupakan salah satu alat ukur yang memiliki
sensitivitas dan spesifisitas yang sangat tinggi untuk membedakan nyeri neuropatik
dengan nyeri nosiseptif, dengan berbagai etiologi. Pemeriksaan DN4 memiliki tingkat
sebesar 80% dan spesifisitas 92%. Berdasarkan nilai sensitivitas dan spesifisitas dari
27
DN4 yang signifikan baik, maka penulis menggunakan DN4 sebagai alat ukur untuk
diagnosis NND (Benzon, 2005; Spallone dkk., 2011; Lestari dkk., 2013).
2.2 Vitamin D
vitamin D2 yang ada pada tanaman dan ikan, serta kolekalsiferol atau vitamin D3
yang disintesis di kulit dengan bantuan sinar matahari (Bordelon dkk., 2009; Kulie
dkk., 2009).
memenuhi kebutuhan akan vitamin D 90% dari paparan sinar matahari dalam jumlah
yang cukup dan sisanya didapat dari makanan. Vitamin D3 dapat diproduksi oleh
kulit melalui paparan sinar ultraviolet (UV) B. Untuk mencapai kadar yang
diharapkan, lama paparan sinar matahari yang dianjurkan pada orang berkulit putih
adalah selama 15 menit pada saat siang di musim panas pada kedua sisi tubuh,
Sedangkan pada orang berkulit hitam untuk mencapai kadar vitamin D yang
mencukupi dibutuhkan lebih banyak waktu untuk terpapar matahari yaitu 10-50 kali
lebih lama dari pada orang berkulit putih. Untuk mencapai jumlah vitamin D yang
mencukupi dalam tubuh, tergantung pada kekuatan sinar UVB berupa lokasi tempat
tinggal, lamanya waktu terpapar sinar matahari, dan jumlah pigmen kulit. Sumber
28
sekunder vitamin D berasal dari suplemen dan asupan makanan seperti keju, telur,
susu, hati, ikan, minyak hati ikan, dan jamur shitake (Thorne, 2008; Kaufman, 2009)
Kadar vitamin D yang dapat diukur dalam serum darah adalah 25-hidroxy
vitamin D (25(OH)D) karena bentuk inilah yang paling dominan beredar dalam
yang merupakan bentuk paling aktif dari vitamin D. Holick (2004) menyatakan kadar
minimal 25(OH)D yang diharapkan dalam serum adalah lebih dari 30 ng/ml. Kadar
optimal vitamin D yaitu 30-50 ng/ml, sedangkan pada penderita sakit jantung,
multipel sklerosis, autism, diabetes dan kanker membutuhkan kadar 25(OH)D yang
lebih tinggi yaitu diatas 50 ng/ml. Kadar toksik dari vitamin D yaitu diatas 150 ng/ml.
isufisiensi vitamin D jika kadar 25(OH)D antara 20-30 ng/ml (Holick, 2004; Palomer
Defisiensi vitamin D terjadi pada sekitar 1 milyard orang di seluruh dunia. Sering
terjadi pada usia lanjut, dimana kadar vitamin D akan menurun seiring dengan
bertambahnya usia. Hal ini disebabkan karena pada usia lanjut akan berkurang
dkk., 2015).
Dari suatu penelitian di Eropa didapatkan 36% laki-laki dan 47% perempuan
terjadi pada orang yang berkulit gelap. Peningkatan pigmen kulit akan mengurangi
29
sintesis UVB menjadi vitamin D. Penelitian yang dilakukan oleh Nesby-O Dell dkk
tahun 2002, didapatkan 42% keturunan Afrika Amerika dengan defisiensi vitamin D
dan hanya 4% pada orang yang berkulit putih (Kauffman, 2009; Alkharfy dkk.,
2013).
obesitas, gangguan kronis pada hati dan ginjal, dan beberapa penyakit tumor.
dilakukan pemeriksaan kadar vitamin D, misalnya pada usia lanjut, ibu menyusui,
obesitas dengan indeks massa tubuh diatas 30 kg/m 2 (Leavitt, 2008; Smith, 2009).
degenerasi saraf (Arnson dkk., 2009; Rahimi dkk., 2014; Zoppini dkk., 2014).
Sumber vitamin D yang utama adalah dari paparan sinar matahari (90%) dan
sisanya bersumber dari asupan makanan. Sinar UVB mengalami sintesis di kulit
D dari asupan makanan seperti minyak ikan, daging, susu, telur dan suplementasi
30
kolekalsiferol dan ergokalsiferol baik dari sintesis paparan sinar matahari dan asupan
makanan akan megalami 2 kali hidroksilasi yaitu metabolisme di hati dan ginjal, yang
hidroksilasi pertama terjadi di hati, menghasilkan bentuk vitamin D yang tidak aktif
yaitu 25(OH)D, sebagian 25(OH)D akan disimpan di sel lemak dan otot dan sebagian
menjadi bentuk aktif dari vitamin D yaitu 1,25(OH)2D3 yang beredar dalam darah.
Vitamin D bentuk aktif yang beredar dalam darah berikatan dengan vitamin D-
receptor (VDR) (Palomer dkk., 2008; Thorne, 2008; Bordelon dkk., 2009).
Gen VDR berada di kromosom 12q13.1, terdiri dari 14 ekson. Lokasi VDR ada
di beberapa tempat yaitu sel β pankreas, skeleton (osteoblas dan kondrosit), jantung,
epitel intestinal, hati, otak, kulit (keratinosit), tiroid, paratiroid, kelenjar adrenal,
tubulus renalis dan sel imun (monosit, makrofag dan limfosit T). Kadar VDR paling
banyak ada di intestinal, ginjal, paratiroid dan tulang, sehingga berhubungan dengan
dengan lokasi VDR tersebut (Palomer dkk., 2008; Kulie dkk., 2009; Kheyami, 2014).
berada pada sistem saraf pusat dan perifer pada beberapa organ tubuh. Peningkatan
ekspresi VDR pada NND kemungkinan terjadi karena sintesis yang meningkat atau
dimana ekspresi VDR diregulasi oleh ligans VDR (Martin dkk., 2010; Nostrabadi
Peran utama vitamin D dalam tubuh yaitu menjaga homeostasis regulasi kalsium.
Vitamin D mengontrol penyerapan kalsium di usus kecil dan bekerja sama dengan
homeostasis kalsium dalam sirkulasi darah. Jika kadar vitamin D mencukupi dalam
tubuh maka proses peyerapan kalsium di usus kecil menjadi optimal, sehingga dapat
menimbulkan nyeri kronis di sistem muskuloskeletal seperti nyeri sendi, nyeri tulang
sel endotel, sel Schwann dan neuron, mengurangi migrasi makrofag ke saraf
interferon-γ, TNF-α, dan beberapa sel T seperti IL-1 dan IL-2 (Straube dkk.,
2009).
pada saraf sensoris perifer, menurunkan aksi potensial yang dipicu oleh
Beberapa tipe sel imun berperan dalam terjadinya neuropati perifer dan nyeri
dan monosit menuju saraf yang cedera dan menurunkan pelepasan kemokin
Kheyami, 2014).
sel endotel dan mengurangi proses oksidasi seluler sehingga mencegah dan
kanker, dan nyeri kronis. Peranan vitamin D sebagai anti inflamasi, neuro protektor
dan imuno modulator yang kuat secara langsung mempengaruhi kadar sitokin tubuh
kelebihan dan banyak peran dalam menjaga metabolisme glukosa sehingga dapat
tersebut yaitu penelitian di Kuwait pada tahun 2009 menyatakan defisiensi vitamin D
sebagai faktor risiko independen terjadinya NND dikaitkan dengan faktor perancu
seperti durasi menderita DM, HbA1C dan kadar kolesterol LDL (Straube dkk., 2009).
Penelitian meta analisis yang dilakukan oleh Olliveira dkk tahun 2013
menunjukkan hubungan yang signifikan antara kadar vitamin D rendah dengan nyeri
suplementasi vitamin D dan dua penelitian mendapatkan tidak ada perbaikan nyeri
nyeri kronis cukup signifikan, terkait dengan peranan vitamin D sebagai anti
mengurangi nyeri.
Penelitian terbaru yang dilakukan oleh Bajaj dkk tahun 2015 di India, melibatkan
158 sampel mendapatkan hasil kadar vitamin D yang rendah signifikan didapatkan
seperti NND, retinopati, dan nefropati. Dinyatakan vitamin D ikut berperan dalam
langsung pada reseptor insulin, memperbaiki ambilan glukosa pada jaringan perifer
dan memperbaiki resistensi insulin. Vitamin D juga mempunyai banyak peran yaitu
37
sebagai pleiotropik yang menekan mediasi sel imun, menstimulasi faktor neurotropik
NND pada penderita DM. Proses ini melalui beberapa mekanisme yaitu:
1. Disfungsi endotel
karena adanya interaksi vitamin D yang dimediasi oleh VDR yang berada pada
sel β pankreas (Kiani dkk., 2013; Bell, 2012; Shehab dkk., 2015).
terjadi peningkatan PARP, yaitu suatu enzim pada sel Schwan yang
terjadinya NND (Nostrabadi dkk., 2011; Chaychi dkk., 2011; Wang dkk., 2014).
3. Proses inflamasi
serum. Hal ini merupakan dasar terjadinya aterosklerosis yang pada akhirnya
38
sitokin, makrofag, CRP, dan TNF-α dan disertai dengan penurunan neurotropin,
juga menurunkan ikatan VDR yang kemudian memicu peningkatan jumlah sel
busa yaitu makrofag yang mengoksidasi LDL (Kaur dkk., 2011; Bajaj dkk.,
2015).
4. Degenerasi saraf
memelihara, dan menjaga daya tahan serabut saraf sensoris dan simpatis.
Neurotropin menghambat apoptosis sel saraf, serta menjaga regenerasi akson dan
dendrit, sehingga menjamin serabut saraf dapat berfungsi dengan normal. Kadar
fisiologis saraf perifer ditandai dengan munculnya tanda klinis NND dan perubahan
abnormal elektrofisiologis.