Anda di halaman 1dari 81

MAKALAH JURNAL READING

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT MULUT


“ORAL ULCERS AS AN INITIAL PRESENTATION OF JUVENILE
PHEMPHIGUS: A CASE REPORT”

NAILATUL HUSNA 160112190087


EVA ISTIKOMAH KUSUMA WARDANI 160112190088

UNIVERSITAS PADJADJARAN
FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
BANDUNG
2020
MAKALAH JURNAL READING
DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT MULUT
“ORAL ULCERS AS AN INITIAL PRESENTATION OF JUVENILE
PHEMPHIGUS: A CASE REPORT”

NAILATUL HUSNA 160112190087


EVA ISTIKOMAH KUSUMA WARDANI 160112190088

UNIVERSITAS PADJADJARAN
FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
BANDUNG
2020
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI iii


DAFTAR TABEL v
DAFTAR GAMBARvi
BAB I PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang (Nailatul Husna) 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4
2.1 Imunologi (Nadhira Fathir) 4
2.1.1 Imunitas Bawaan (Innate Immunitiy) 6
2.1.2 Imunitas Adaptif (Adaptive or Acquired Immunity) 7
2.1.3 Reaksi Sistem Imun terhadap Infeksi 7
2.2 Imunodefisiensi (Nailatul Husna) 10
2.2.1 Imunodefisiensi Primer 10
2.2.2 Imunodefisiensi Sekunder 16
2.3 Penyakit Autoimun (Eva Istikomah Kusuma Wardani) 18
2.3.1 Systemic Lupus Eritematous (SLE) 18
2.3.2 Skleroderma 26
2.3.3 Idiophatic Inflammantory Myopathies (Zaski Fatma Tribumi)
31
2.3.4 Rheumatid Arthritis 36
2.3.5 Mixed Connective Tissue Diasease (MCTD) 43
2.4 Jenis Lesi Oral (Nailatul Husna) 45
2.5 Pemfigus Vulgaris (Eva Istikomah Kusuma Wardani) 48
2.5.1 Definisi 50
2.5.2 Etiologi 50
2.5.3 Patofisiologi 52
2.5.4 Gambaran dan Gejala Klinis 53
2.5.5 Diagnosis 54
2.5.6 Diagnosis Banding 56
2.5.7 Perawatan 57

iii
2.6 Manifestasi Oral Pemfigus Vulgaris (Nailatul Husna) 60
BAB III LAPORAN KASUS 63
3.1 Kasus (Nailatul Husna) 63
3.1.1 Introduction 63
3.1.2 Laporan Kasus 64
BAB IV PEMBAHASAN 68
4.1 Diskusi Kasus (Eva Istikomah Kusuma Wardani) 68
BAB V SIMPULAN 72
5.1 Simpulan (Eva Istikomah Kusuma Wardani) 72
DAFTAR PUSTAKA 73
DAFTAR TABEL

Tabel II-1 Diagnosa Banding dari Gambaran Ulser Rongga Mulut (Chen, 2016). .6

v
DAFTAR GAMBAR

Gambar II-1 Lesi Kulit Awal pada Pemfigus vulgaris (Greenberg, 2008)............13

Gambar II-2 Ulser Irreguler pada Mukosa Bukal (Greenberg, 2008)....................20

Gambar II-3 Erosi pada Bibir Bawah (Bascones, 2010)........................................20

Gambar II-4 Keterlibatan Free dan Attached Gingiva (Bascones, 2010)..............21

Gambar III-1 Oral Ulser dengan Krusta dan Jaringan Nekrotik............................24

Gambar III-2 Vesikel dan Bula yang Menyebar di Lengan dan Badan.................24

Gambar III-3 DIF Menunjukkan IgG Terdeposit di Substansi Interseluler pada

Epidermis..........................................................................................26

vi
BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang (Nailatul Husna)

Tubuh memiliki sistem imun yang berfungsi untuk melindungi dari paparan

lingkungan luar dan juga infeksi. Apabila sistem imun tidak mampu untuk

melindungi bahkan menyerang tubuh, maka dapat terjadi suatu penyakit

autoimun. Beberapa contoh penyakit autoimun yaitu Sjogren’s syndrome, lupus,

diabetes melitus type 1, autoimmune thyroiditis, pemfigus.1

Pemfigus adalah penyakit autoimun inflamasi kronis yang ditandai dengan

adanya bula pada kulit dan mukosa. Terdapat 0,5-3,2 kasus yang dilaporkan

dalam satu tahun per 100.000 populasi. Pemfigus dibagi lagi menjadi Pemfigus

vulgaris, pemfigus vegetans, pemfigus foliaceus, pemfigus eritematosus, pemfigus

paraneoplastic (PNP) dan pemfigus karena obat-obatan. Pemfigus vulgaris adalah

jenis pemfigus yang paling banyak ditemukan, yaitu sebanyak 80% kasus.2

Pemfigus vulgaris (PV) adalah suatu penyakit autoimun dimana

autoantibodi, immunoglobulin G, secara langsung menyerang keratin di bagian

epidermis. Gambaran umum yang terjadi pada PV adalah vesikel atau bula yang

lembek pada seluruh mukosa mulut, badan, paha dan bagian-bagian ekstremitas.

Pemfigus vulgaris biasanya terjadi pada rentang usia 40-60 tahun. 3 Tidak menutup

kemungkinan bahwa PV dapat muncul pada anak-anak dan remaja kurang dari 18

tahun, disebut dengan Juvenile pemphigus vulgaris (JPV). JPV memiliki

gambaran histopatologi dan imunopatologi mirip dengan PV yang terjadi pada

orang dewasa.4

1
Juvenile pemphigus vulgaris (JPV) sangat jarang terjadi. Penyakit ini

menyerang orang dari berbagai etnis serta mengenai wanita dan laki-laki dalam

jumlah yang sama. Sebaliknya, pemfigus vulgaris pada orang dewasa cenderung

sedikit lebih dominan pada wanita. Pada pasien JPV titer autoantibodi pada tes

imunofluoresensi menunjukkan hasil positif, demikian pula pemfigus vulgaris

pada orang dewasa. Titer autoantibodi pada tes imunofluoresensi tidak langsung,

tampaknya memiliki korelasi dengan tingkat keparahan penyakit pada PV dan

JPV.4

Pemfigus vulgaris pada dewasa dan remaja (JPV) memiliki gambaran klinis

yang mirip. Kebanyakan pasien JPV memiliki lesi mukosa dan kulit, lesi mukosa

biasanya muncul terlebih dahulu dari lesi kulit.4 Lesi oral merupakan manifestasi

awal pada pemfigus vulgaris, yaitu 50-90% kasus. Pada pasien yang mengalami

onset awal lesi oral, biasanya terjadi 2-6 bulan sampai muncul lesi pada kulit.

Beberapa penelitian menunjukkan perbedaan prevalensi lesi oral sebagai

manifestasi awal PV diantara wilayah geografis yang berbeda, 66% di Bulgaria,

83% di Italia, dan 92% di Israel. Deteksi dari lesi oral selama waktu berjalannya

penyakit dapat mendukung penegakkan diagnosa awal dan perawatan,

meningkatkan prognosis pasien. Pemfigus vulgaris merupakan penyakit kronis,

dengan tingkat keparahan yang progresif, dapat mengancam jiwa jika tidak

dilakukan perawatan karena kondisi dehidrasi, hilangnya protein dan infeksi yang

opportunistik.5

Manifestasi oral pemfigus vulgaris menunjukkan bahwa lesi dapat muncul

dimana saja pada mukosa oral, namun mukosa bukal adalah bagian yang paling

2
sering terkena, serta bagian palatum dan mukosa lingual dan labial. Gingiva

adalah bagian yang paling jarang terdapat lesi, namun apabila terdapat manifestasi

pada gingiva dapat terjadi deskuamatif gingivitis.2

Makalah ini selanjutnya akan membahas mengenai oral ulser sebagai

manifestasi awal pada kasus Juvenile pemphigus vulgaris.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Imunologi (Nadhira Fathir)

Imunologi adalah ilmu yang mempelajari tentang kekebalan atau pertahanan

tubuh. Sedangkan,imunitas atau kekebalan adalah perlindungan terhadap suatu

penyakit, khususnya penyakit infeksi. Sel-sel dan molekul-molekul yang terlibat

di dalam imunitasakanmembentuk suatu sistem imun. Sistem imun adalah sistem

multiaspek yang menangkal agen asing dari lingkungan. Fungsi utama sistem

imun adalah perlindungan terhadap infeksi. Sistem imun terdiri dari dua bagian,

yaitu:1

1. Pertahanan garis pertama

Pertahanan garis pertama tubuh merupakan bagian yang dapat terlihat secara

langsung dan berada pada permukaan tubuh sepeti kulit, air mata, air liur,

bulu hidung, keringat, cairan mukosa, dan rambut.6

2. Pertahanan garis kedua

Pertahanan garis kedua tubuh merupakan bagian yang tidak dapat

terlihatsecara langsung yang berada dalam tubuh, seperti:6

1) Sumsum tulang: Area di dalam tubuh di mana sebagian besar sel

sistem imun diproduksi sebagai sel yang belum matang atau sel induk.

2) Sel induk (Stem cells): Sel-sel ini memiliki potensi untuk

berdiferensiasi dan menjadi sel-sel yang berbeda dari sistem imun.

3) Timus: Suatu organ yang menginstruksikan limfosit yang belum

matang untuk menjadi limfosit-T yang matang.

4
4) Sel-B: Limfosit ini muncul di sumsum tulang dan berdiferensiasi

menjadi sel plasma yang pada gilirannya menghasilkan imunoglobulin

(antibodi).

5) Sel-T sitotoksik: Limfosit ini matang dalam timus dan bertanggung

jawab untuk membunuh sel yang terinfeksi.

6) Sel-T pembantu: Limfosit khusus ini “membantu” sel-T dan sel-B

lainnya untuk menjalankan fungsinya.

7) Sel Plasma: Sel-sel ini berkembang dari sel-B dan merupakan sel yang

membuat imunoglobulin untuk serum dan sekresi.

8) Imunoglobulin: Molekul protein yang sangat khusus dan dikenal juga

sebagai antibodi. Variasi imunoglobulin sangat luas sehingga dapat

diproduksi untuk mencocokkan semua mikroorganisme yang mungkin

ada di lingkungan. Terdapat lima antibodi utama, yaitu IgG, IgA, IgM,

IgD dan IgE.

9) Sel NK (Natural Killer): Sel yang berasal dari sumsum tulang dan

terdapat dalam aliran darah dan jaringan dalam jumlah yang sedikit.

Fungsi utamanya adalah pertahanan melawan virus.

10) Neutrofil (Sel PMN atau Polimorfonuklear): Suatu jenis sel yang

ditemukan dalam aliran darah yang dengan cepat membunuh

mikroorganisme.

11) Monosit: Suatu jenis sel fagosit yang ditemukan dalam aliran darah

dan berkembang menjadi makrofag ketika bermigrasi ke jaringan.

5
12) Sitokin: Protein yang sangat penting dalam tubuh dan berfungsi

sebagai hormon untuk sistem imun. Sitokin diproduksi sebagai respon

terhadap ancaman dan dapat menjadi sistem komunikasi jaringan

untuk sistem imun.

13) Sel Dendritik: Sel yang penting untuk menunjukkan adanya antigen ke

sel-sel sistem imun.

Respon imun diklasifikasikan menjadi dua sistem fungsional, yaitu sistem

imun bawaan dan sistem imun spesifik atau adaptif. Sistem imun atau imunitas

bawaan dapat menyerangagen asing dengan cara yang tidak spesifik, sedangkan

respon imun adaptif sangat spesifik dan bertarget. Namun, respon adaptif

membutuhkan beberapa hari untuk berkembang setelah pengenalan antigen,

sedangkan respon bawaan dapat bekerja secara langsung.1 Inti dari kedua respon

imun ini adalah kemampuan untuk membedakan agen asing yang masuk ke dalam

tubuh dengan jaringan kita sendiri yang perlu dilindungi. Karena kemampuan

mereka untuk merespon dengan cepat, respon bawaan biasanya yang pertama

merespon saat terjadi invasi antigen.Respon awal ini berfungsi untuk

mengingatkan dan memicu respon adaptif, yang memerlukan waktu beberapa hari

untuk diaktifkan sepenuhnya.6

II.1.1 Imunitas Bawaan (Innate Immunitiy)

Imunitas bawaan mengacu pada mekanisme pertahanan tidak spesifik yang

mulai berperan segera atau dalam beberapa jam dari masuknya antigen dalam

tubuh. Respon imun bawaan diaktifkan oleh sifat kimia dari antigen. 7 Respon

imun bawaan terdiri dari physical barrier, seperti kulit atau mukosa yang

6
dilindungi oleh berbagai peptida dan molekul antimikroba yang disekresikan, dan

circulating cellsyang memiliki reseptor untuk mengenali berbagai macam

patogen. Di dalam rongga mulut, mukosa yang ditutupi dengan lapisan

musinmerupakan bagian dari physical barrier. Selain menghalangi penetrasi

patogen, sel-sel pada mukosa oral juga menghasilkan peptida antimikroba yang

membunuh atau membatasi jumlah organisme. Dalam rongga mulut, saliva

berperan penting dalam imunitas bawaan. Beberapa protein saliva memiliki sifat

antimikroba, imunomodulator, dan antiinflamasi.1

II.1.2 Imunitas Adaptif (Adaptive or Acquired Immunity)

Imunitas adaptif mengacu pada respon imun spesifik antigen. Respon imun

adaptif lebih kompleks daripada respon imun bawaan. Antigen pertama harus

diproses dan dikenali. Setelah antigen telah dikenali, sistem kekebalan adaptif

menciptakan pasukan sel-sel kekebalan yang dirancang khusus untuk menyerang

antigen tersebut. Imunitas adaptif juga berperan sebagai "memori" yang membuat

respon selanjutnya di masa depan terhadap antigen spesifik yang lebih

efisien.3Sistem imun adaptif berfungsi saat lahir, tetapi belum sempurna untuk

respon memori yang optimal. Setiap pajanan infeksi dapat menyebabkan sel-sel

menjadi lebih aktif sehingga respon terhadap pajanan kedua terhadap infeksi yang

sama lebih cepat dan lebih besar.6

II.1.3 Reaksi Sistem Imun terhadap Infeksi

Reaksi terhadap infeksi bakteri dimulai dari bekerjanya sistem imun

pertahanan garis pertama. Kulit dan mukosa bertindak sebagai penghalang fisik

untuk membantu mencegah infeksi. Ketika kulit atau mukosa rusak karena

7
penyakit, peradangan atau cedera, bakteri dapat masuk ke dalam tubuh. Bakteri

yang menginfeksi biasanya dilapisi dengan komplemen dan antibodi begitu

mereka memasuki jaringan, dan memungkinkan neutrofil untuk dengan mudah

mengenali bakteri sebagai agen asing. Kemudian, neutrofil menelan bakteri dan

menghancurkannya.Ketika antibodi, komplemen, dan neutrofil berfungsi normal,

proses ini secara efektif dapat langsung membunuh bakteri. Namun, ketika jumlah

bakteri berlebihan atau adanya kesalahan dalam produksi antibodi, komplemen,

dan / atau neutrofil, infeksi bakteri berulang dapat terjadi.6

Dalam beberapa kasus, bakteri dihancurkan oleh kerja sama antara sel

fagosit, antibodi dan komplemen. Bakteri dilapisi dengan antibodi spesifik dan

komplemen. Sel fagositik kemudian mulai menyerang bakteri dengan menempel

pada molekul antibodi dan komplemen. Setelah menempel pada bakteri, sel

fagosit mulai menelan bakteri dengan memperluas diri di sekitar bakteri dan

menelannya. Setelah mikroba dicerna, kantong enzim atau bahan kimia dibuang

ke dalam vakuola (tempat neutrofil membunuh mikroba atau bakteri).6

8
Gambar 1 Reaksi sistem imun terhadap infeksi bakteri

Cara tubuh untuk bertahan terhadap virus berbeda dengan bakteri. Virus

hanya dapat bertahan hidup dan berkembang biak di dalam sel. Hal ini

memungkinkan virus untuk "bersembunyi" dari sistem imun. Ketika virus

menginfeksi sel, sel melepaskan sitokin untuk mengingatkan sel lain terhadap

infeksi. "Peringatan" ini umumnya mencegah sel-sel lain dari terinfeksi. Sel T

yang bersirkulasi dan sel NK menjadi aktif terhadap invasi virus dan bermigrasi

ke area yang terinfeksi virus. Hal ini adalah mekanisme yang dapat menimbulkan

kerusakan terhadap sel host. Namun demikian, ini adalah proses yang efisien

untuk menyerang virus.Pada saat yang sama saat limfosit T membunuh virus,

sistem imun juga menginstruksikan limfosit B untuk membuat antibodi. Ketika

tubuh terkena virus yang sama untuk kedua kalinya, antibodi membantu

9
mencegah infeksi. Sel-T memori juga diproduksi dan dengan cepat merespon

infeksi kedua, yang juga mengarah pada infeksi yang lebih ringan.6

II.2 Imunodefisiensi (Nailatul Husna)

Imunodefisiensi merupakan suatu ketidakmampuan individu dalam

merespon imun tubuh secara normal. Imunodefisiensi dapat terjadi karena

keturunan atau pola bawaan khusus, infeksi sekunder seperti dari HIV, atau akibat

dari penyakit lain seperti kanker, diabetes, dan kecanduan alkohol. Transplantasi

organ atau stem sel, terapi kanker dan beberapa perawatan untuk penyakit

autoimun yang berbeda-beda dapat menyebabkan imunosupresi mendalam.

Imunodefisiensi selanjutnya dibagi menjadi dua yaitu imunodefisiensi primer dan

sekunder.1

II.2.1 Imunodefisiensi Primer

Imunodefisiensi primer merujuk pada beragam gangguan yang ditandai

dengan berkurang atau hilangnya fungsi dari satu atau lebih komponen pada

sistem imun tubuh. Imunodefisiensi primer berbeda dengan imunodefisiensi

sekunder yang dapat terjadi karena infeksi sekunder dari bakteri atau virus, akibat

dari penyakit lain, malnutrisi atau pengobatan menggunakan obat imunosupresi.8

Imunodefisisensi primer dapat dibedakan atas gangguan sistem imun bawaan

(gangguan fagositik), dan gangguan sistem imun adaptif (kombinasi defisiensi sel

T dan sel B, defisiensi sel T, dan defisiensi sel B).1

1. Gangguan sistem imun bawaan (gangguan fagositik)

Respon imun bawaan merupakan garis pertahanan pertama terhadap

organisme yang berpotensi menyerang tubuh. Hal tersebut mampu membuat

10
tubuh mengenali organisme patogen dengan baik sehingga dapat menghindari

ancaman. Respon imun bawaan terdiri dari beberapa sel dan protein

diantaranya fagosit (neutrofil dan makrofag), sel dendritik dan protein

komplemen. Fagosit berfungsi dalam proses fagositosis yaitu proses penelanan

orgnisme patogen yang menyerang tubuh, sedangkan protein komplemen

berperan mengidentifikasi antigen asing dan sebagai mantel sehingga antigen

asing tersebut rentan terhadap fagosit. Ketika terjadi kegagalan atau kecacatan

dalam setiap komponen sistem imun bawaan, maka dapat terjadi

imunodefisiensi primer.8

2. Gangguan sistem imun adaptif

Sel T dan sel B adalah sel utama dari sistem imun adaptif. Sel T berfungsi

untuk mengatur respon sel yang dimediasi sistem imun. Sel B berfungsi

memediasi produksi antibodi. Ketika terjadi kecacatan pada sel T dan sel B

maka dapat menyebabkan beberapa gangguan.

1) Kombinasi defisiensi sel T dan sel B (Combined Immunodeficiensies/CID)

Gangguan atau imunodefisiensi sel T terjadi ketika ada kecacatan atau

ketidakmampuan berkembang, berdeferensiasi dan pematangan pada sel T.

Sedangkan gangguan atau imunodefisiensi sel B terjadi ketika terdapat

kecacatan yang berkaitan dengan pengembangan dan pematangan sel B

(defisiensi antibodi). Oleh karena produksi antibodi sel B membutuhkan

perantara fungsi sel T, maka dapat terjadi suatu gangguan kombinasi

defisiensi sel T dan sel B yang biasa disebut Combined

immunodeficiencies/CID. Ketika CID mengalami bentuk paling parah

11
maka disebut Severe combined immunodeficiencies/SCID dimana terjadi

kekurangan sel T fungsional dan fungsi kekebalan tubuh.2 Anak-anak yang

lahir dengan SCID ini terbukti mengalami imunokompromais. Tanpa

perawatan, kejadian meninggal karena infeksi dapat terjadi sebelum anak

menginjak usia 1 tahun. Anak-anak yang mengalami SCID memiliki

sedikit atau tidak ada sirkulasi sel B dan sel T, sehingga mereka rentan

terkena infeksi bakteri, virus dan jamur. Kecacatan genetik yang dapat

menyebabkan SCID diklasifikasikan menjadi empat kategori, yaitu

adenosine deaminase deficiency (ADA), mutasi pada subunit γc dari

reseptor sitokin, mutasi pada gen rekombinasi aktivasi 1 atau 2 (RAG1 /

RAG2), dan mutasi pada rantai CD3δ dan CD3ε. Terdapat beberapa

komplikasi oral pada anak-anak dengan SCID yaitu apthous-like

ulcerations, kandidiasis, dan infeksi herpes.1

Kombinasi defisiensi sel T dan sel B juga dapat menyebabkan

Wiskott-Aldrich syndrome (WAS). WAS memiliki karakteristik berupa

trombositopenia, mikrositik platelet, eksem, infeksi berulang dan

peningkatan penyakit autoimun dan keganasan. Manifestasi klinis WAS

dapat muncul setelah bayi baru lahir, terlihat gambaran petechiae, memar

dan diare yang berdarah. Gangguan utama yang terjadi pada Wiskott-

Aldrich syndrome adalah gangguan genetik yang meliputi transduksi sinyal

permukaan sel imun terhadap aktin sitoskeleton. Keparahan

imunodefisiensi pada WAS berbeda-beda pada setiap keluarga, bergantung

12
pada lokasi mutasi gen. Mutasi gen mempengaruhi sel T dan sel B, serta

trombosit.1

Penyakit lain yang juga berkaitan dengan kombinasi defisiensi sel T

dan sel B yaitu Ataxia-Telangiectasia. Berkurangnya pelepasan sel T oleh

kelenjar timus menunjukkan mekanisme imunodefisiensi pada penyakit

ini. Pasien dengan infeksi berulang diberikan pemberian imunoglobulin

secacara intravena.1

2) Defisiensi sel T

Penurunan jumlah sel T dapat menyebabkan terjadinya DiGeorge

syndrome (velocardiofacial syndrome). Setelah produksi di sumsum

tulang, progenitor limfosit T bermigrasi ke dalam kelenjar timus untuk

selanjutnya mengalami seleksi dan diferensiasi. Sebelum memasuki

kelenjar timus, limfosit T tidak menunjukkan reseptor sel T, tanda CD4

atau CD8. Selama proses di dalam kelenjar timus sel T memperoleh

molekul CD4 atau CD8, dan sel T autoreaktif dihapus atau dihilangkan

melalui proses seleksi negatif. Anak-anak dengan DiGeorge syndrome

tidak mampu untuk mengembangkan timus lengkap sekunder menjadi

delesi hemizigot 22q11.2. Oleh karena itu, terdapat perkembangan

abnormal pada jaringan fasial dan neural crest, yang akhirnya

menyebabkan penyimpangan perkembangan kelenjar timus, kelenjar

paratiroid, pembuluh darah besar jantung, dan kompleks kraniofasial.1

DiGeorge syndrome adalah jenis klasik gangguan sel T. Kurangnya

jumlah sirkulasi sel T yang memadai (CD4 dan CD8) menyebabkan

13
kondisi imunodefisiensi yang memiliki karakteristik terjadi peningkatan

kerentanan terhadap infeksi virus dan jamur. Keparahan dari defisiensi sel

T bergantung pada tingkat hipoplasia kelenjar timus.1

Apabila gen yang mengkode protein esensial MHC (major

histocompatibility complex) bermutasi atau hilang, maka akan terjadi

penurunan baik sel termediasi dan juga respon humoral. Imunodefisiensi

yang berhubungan dengan kerusakan ini biasa disebut bare lymphocyte

syndrome. Pasien tidak dapat memperlihatkan antigen MHC kelas I secara

benar, kurang memadainya presentasi dari antigen peptida terhadap sel T

CD8. Hal tersebut menyebabkan aktivasi sel T sitotoksis yang tidak

adekuat. Kerusakan pada MHC kelas II akan menyebabkan penurunan sel

T CD4 yang membutuhkan molekul ini untuk proses pematangan.

Walaupun jumlah sel B normal pada pasien dengan kerusakan MHC,

tingkat serum imunoglobulin berkurang seiring dengan sel T yang gagal

meghasilkan antigen untuk sel B. Candida albicans, virus herpes simpleks

dan organisme patogen oportunistik lainnya dapat menginfeksi rongga

mulut pada pasien yang mengalami kerusakan MHC.1

3) Defisiensi sel B

Gangguan defisiensi sel B (defisiensi antibodi) merupakan jenis yang

paling umum dari imunodefisiensi, yaitu sekitar 50% dari total kasus

imunodefisiensi primer. Pada pasien yang mengalami defisiensi sel B,

bakteri ekstraseluler terutama Streptococcus pneumoniae dan

Haemophilus influenzae seringkali menyebabkan gangguan pernapasan

14
dan infeksi sinus. Hal tersebut menjelaskan pentingnya antibodi dalam

menjadi sistem pertahanan tubuh. Penurunan resistensi terhadap infeksi

bakteri adalah gambaran utama pasien yang mengalami defisiensi sel B,

sehingga seringkali pasien mengalami infeksi odontogenik dan ulser pada

rongga mulut.1,8

Pasien dengan defisiensi humoral seringkali mengalami penurunan

atau tidak adanya kadar serum imunoglobulin, namun dapat juga memiliki

kadar normal atau meningkat dengan fungsi yang abnormal. Gangguan

yang termasuk dalam kategori ini meliputi agammaglobulinemia X-linked

(XLA) dikelnal juga sebagai agammaglobulinemia bruton’s, common

variable immunodeficiencies (CVID), dan selektif defisiensi IgA.8

Agammaglobulinemia X-linked (XLA) adalah hasil mutasi pada gen

bruton tirosin kinase (Btk), yang bertanggung jawab untuk menengahi

pengembangan dan pematangan sel B. Kelainan ini ditandai dengan

berkurangnya sirkulasi sel B, serum IgG, IgA dan IgM. Common variable

immunodeficiencies (CVID) merupakan gangguan heterogen yang ditandai

dengan berkurangnya konsentrasi IgG, rendahnya tingkat IgA dan/atau

IgM, serta rendah atau tidak adanya respon terhadap sistem imun.

Kelainan ini menyerang laki-laki dan perempuan, biasanya memiliki

harapan hidup lebih lama dari gangguan imunitas lainnya (>10 tahun).8

Gangguan defisiensi antibodi yang lebih ringan, seperti defisiensi

selektif IgA dihubungkan dengan rendahnya kadar serum imunoglobulin

kelas atau subkelas, dan pada beberapa kasus penurunan pada formasi

15
antibodi spesifik. Defisiensi IgA memiliki karakteristik rendah atau tidak

adanya kadar serum IgA dengan kadar IgG dan IgM normal. 8 Penyakit

autoimun seperti lupus (SLE), rheumatoid arthritis dan anemia pernisiosa

adalah penyakit yang sering terjadi karena gangguan defisiensi selektif

IgA.1

II.2.2 Imunodefisiensi Sekunder

Banyak penyakit yang berkaitan dengan penurunan jumlah atau fungsi

komponen-komponen dari sistem imun, menyebabkan meningkatnya insidensi

infeksi. Seperti imunodefisiensi primer, jenis infeksi yang menyerang pasien

imunodefisiensi sekunder bergantung pada komponen tertentu dari sistem imun

yang lemah, walaupun seringkali terjadi kecacatan ganda. Imunodefisiensi

sekunder disebabkan entah dari berkurangnya produksi atau meningkatnya

destruksi sel imun atau karena hilangnya komponen imunitas humoral.1

1. Seluler (terutama neutrofil)

Neutropenia dapat muncul pada beberapa kondisi, termasuk keganasan

hematologi, khususnya ketika keganasan menekan pertumbuhan prekursor

myeloid. Penurunan jumlah neutrofil sering terjadi karena kemoterapi,

transplantasi stem sel, anemia aplastik dan neutropenia autoimun. Terdapat

peningkatan resiko infeksi yang progresif pada pasien dengan jumlah neutrofil

yang rendah (<1000 sel/mm3). Walaupun tidak ada sumber terpercaya yang

menyebutkan efektivitas penggunaan antibiotik profilaksis untuk prosedur

perawatan dental pada pasien neutropenia, namun banyak jurnal yang

16
merekomendasikan pengunaan antibiotik tersebut ketika jumlah neutrofil

pasien <1000 sel/mm3.1

2. Komplemen

Defisiensi yang didapat pada komponen komplemen telah diamati pada

penyakit hati lanjutan dan dikaitkan dengan peningkatan insidensi infeksi

bakteri pada pasien tersebut. Selain itu, disfungsi jalur komplemen telah

ditunjukkan pada beberapa keganasan, seperti leukemia limfositik kronis

(CLL).1

3. Sistem imun adaptif

Beberapa kondisi dengan penurunan jumlah dan/atau fungsi sel T secara

klinis disertai infeksi oportunistik. Infeksi oleh bakteri intraseluler dan jamur

(Pneumocystis carinii), virus (herpes, papiloma) dan parasit (toksoplasma dan

Cryptosporidium) adalah tipikal dari keadaan defisiensi sel T. Kandidiasis

seringkali merupakan tanda awal infeksi HIV. Herpes zoster sering terlihat

pada pasien leukemia limfositik kronis (CLL).1

4. Humoral (antibodi)

Defisiensi imun humoral sekunder dapat diamati pada kondisi yang

dikaitkan dengan peningkatan hilangnya (nephrotic syndrome) atau penurunan

produksi (multiple myeloma, CLL) imunoglobulin. Antibodi sangat penting

dalam memerangi terutama infeksi bakteri ekstraseluler, infeksi virus sebelum

masuk ke dalam sel. Pasien dengan penurunan konsentrasi antibodi darah akan

rentan terhadap infeksi sistemik oleh bakteri tidak berkapsul seperti

Streptococcus pneumoniae, Klebsiella, H. Influenzae.1

17
II.3 Penyakit Autoimun (Eva Istikomah Kusuma Wardani)

Penyakit autoimun merupakan penyakit atau kelainan dimana sistem imun

menyerang tubuh. Penyakit autoimun utamanya berhubungan dengan autoantibodi

atau sel imun, tetapi karakteristik utamanya adalah adanya infiltrasi limfosit pada

organ target. Contohnya pada dieabetes melitus tipe 1, autoimmune thyroiditis,

Sjogren’s sydrome, SLE dan multipel sklerosis. Antibodi sirkulasi dapat dideteksi

secara in vitro dengan mengikat substrat jaringan tubuh yang sesuai. Pada

beberapa kasus, telah terbukti bahwa autoantibodi berperan pada patofisiologi

penyakit (contoh, pemvigus), tetapi pada kasus lain, peran autoantibodi tidak

diketahui dan adanya autoantibodi digunakan untuk diagnosis. Selain itu,

autoantibodi terkadang spesifik untuk satu penyakit autoimun. Mekanisme umum

yang dipercaya menjadi pusat semua penyakit autoimun adalah kegagalan sistem

toleransi periferal yang secara normal mengontrol autoreaktif klon sel T.1

II.3.1 Systemic Lupus Eritematous (SLE)

1. Definisi

Systemic Lupus Eritematous merupakan kelainan inflamasi

autoimun multisistem dimana penyebabnya belum diketahui. Hal

tersebut berhubungan dengan pola dasar penyakit autoimun, dimana

karakteristik utamanya adalah adanya formasi antibodi pada DNA,

dimana dapat merangsang reaksi imun kompleks, pada vaskulitis

tertentu. Di US, SLE memiliki prevalensi antara 12-64 per 100.000

dengan rasio perempuan dan laki-laki 9:1. Selain sistemik dan

cutaneous lupus (chronic discoid lupus), terdapat juga drug-induced

18
lupus. Tidak seperti SLE, drug-induced lupus biasanya akan

mempengaruhi ginjal dan dapat kembali sebagai agen pelindung.1

2. Etiologi

Meskipun etiologi dari SLE belum diketahui, peran genetik dan

faktor lingkungan berhubungan dengan kehilangan progresif dari

toleransi perifer dan produksi autoantibodi dipercaya dalam inisiasi

terjadinya SLE. Defisiensi genetik pada komponen komplemen,

merupakan faktor risiko dari SLE. Sembilan puluh persen orang dengan

homozigot defisiensi C1q akan berkembang menjadi SLE, dan jika

memiliki variasi struktur S dari komplemen reseptor 1 dapat dikatakan

memiliki faktor risiko SLE yang lebih tinggi pada Kaukasian. Faktor

lain yang berperan penting dalam berkembangnya SLE adalah faktor

lingkungan, seperti infeksi, particularly dengan virus Epstein-Barr dan

virus lainnya, terpapar polutan, faktor hormonal, sinar ultraviolet,

merokok, dan kemungkinan diet sebagai faktor risiko terjadinya SLE.

Lebih dari 80 obat, hydralazine, isoniazid, dan procainamide

berhubungan dengan drug-induced lupus. Beberapa kelainan

imunologis telah dijelaskan pada terjadinya SLE. Proses utama pada

patofisiologi adalah adanya formasi kompleks imun dan deposisi pada

organ target, aktivasi komplemen, atraksi sel efektor, dan kerusakan

jaringan target. Limfosit B termasuk dalam beberapa tahap dalam

berkembangnya lupus. Autoreaktif sel B terjadi pada individu normal

dan biasanya dikontrol dengan berbagai mekanisme, termasuk

19
penghapusan klonal, anergi, dan regulasi sel T. Pada pasien dengan

SLE, autoreaktif sel B bersembunyi dalam mekanisme kontrol periferal

dan mulai aktif memproduksi autoantibodi patogen. Produksi

autoantibodi biasanya menunjukkan manifestasi klinis SLE dalam

beberapa tahun.1

Komponen lain dari sistem imun dapat berperan dalam

patogenesis terjadinya SLE. Efisiensi produksi antibodi tidak dapat

terjadi jika tidak ada sel T helper, dan sel T spesifik sebagai antigen

penting yang dapat membantu autoreaktif sel B dan merangsang

produksi antibodi anti-DNA. Beberapa virus dapat berperan dalam

patogenesis SLE. Komplemen memiliki dua peran dalam patogenesis

SLE. Meskipun defisiensi pada komponen komplemen penting

merupakan faktor risiko SLE, aktivasi komplemen mengikuti deposisi

imun kompleks merupakan mekanisme utama yang menyebabkan

kerusakan jaringan target pada SLE, dan berkurangnya komponen

komplemen C3 dan C4 berhubungan dengan berkembangnya penyakit

ini.1

3. Gambaran Klinis

Lupus dikenal sebagai “the great mimic” yaitu SLE dapat

mempengaruhi setiap sistem organ dan menyebabkan gejala klinis yang

berspektrum luas. SLE dapat mempengaruhi kulit sebesar 80% pasien

SLE. Cutaneous lupus dapat terjadi tanpa adanya multisistem. Lesi kulit

dari lupus dapat diklasifikasikan sebagai lesi spesik lupus (mempunyai

20
diagnosa klinis dan gambaran histopatologis) dan non-spesifik lupus.

Tiga subtipe dari lesi kulit spesifik lupus antara lain: akut, subakut, dan

kronis. Cutaneous lupus akut terjadi sekitar 30-50% pasien dan

menunjukkan adanya erupsi eritematous berbentuk seperti kupu-kupu

pada area malar dan sekitar hidung tetapi biasanya pada lipatan

nasolabial.1

Gambar 1. Ruam merah seperti kupu-kupu pada wajah pasien SLE

(sumber : Burket’s Oral Medicine, 2008)

21
Gambar 2. Lesi diskoid lupus pada bibir bawah (sumber : Burket’s

Oral Medicine, 2008)

Bula pada lupus dan papul eritematous lokalisata terjadi pada 15-

20% kasus dan menyebabkan kulit wajah atau kulit kepala sekitar 80%

kasus (Gambar 2). Subtipe umum lainnya, subakut cutaneous lupus

terjadi pada 10-155 pasien dan termasuk papuloskuamosa (psoriasis)

dan erupsi anular-polisistik, biasanya pada daerah trunk dan lengan.

Nonspesifik tetapi sebagai acuan manifestasi kulit dari lupus adalah

umum dan termasuk alopecia, fotosensitif, Raynaud’s phenomenon,

livedo retikularis, urtikaria, eritema, dan cutaneous vaskulitis.1

Keterlibatan ginjal terjadi pada 50-75% pasien sle dan merupakan

penyebab utama terjadinya kecacatan dan kematian. Secara klinis,

penyakit ginjal pada SLE dapat dikategorikan dari asimtomatik

proteinuria sampai rapidly progressive glomerulonephritis dengan

gagal ginjal. Manifestasi pada muskuloskeletal terjadi sekitar 95%

pasien SLE dan artalgia merupakan gejala utama yang terlihat pada

50% kasus. Nonerosif simetris arthtritis adalah yang paling sering

terjadi pada tangan, perut dan lutut merupakan tipe dari SLE.

Keterlibatan sistem saraf pusat terjadi pada 20% pasien SLE dan

biasanya adalah serebral vaskulitis dan kerusakan neuron secara

langsung. Manifestasi SSP termasuk stroke dan transverse mielitis.

Keterlibatan sistem kardiovaskuler pada SLE berupa vaskulitis dan

perikarditis. Manifestasi lainnya yaitu pusing, depresi, dan gejala

22
menyerupai fibromialgia dan dapat di debiliating. Lupus pneumonitis,

pulmonary hemorrhage, diffuse interstitial lung disease, dan hipertensi

terjadi beberapa kali tetapi tidak menyebabkan implikasi serius.

Manifestasi gastrointestinal tidak biasa terjadi tetapi dapat

menyebabkan pankretitis, hepatitis, peritonitis dan enteritis. Manifestasi

pada mata yang paling sering terjadi pada pasien SLE adalah

keratokonjungtivitis.1

4. Manifestasi Oral

Mukosa oral terinfeksi secara signifikan pada pasien lupus. Dua

tipe predominan dari lesi oral adalah lesi diskoid dan ulserasi. Ulserasi

oral telah ditetapkan sebagai kriteria pada diagnosis SLE tetapi terjadi

pada minoritas pasien. Pada sebuah penelitian, prevalensi ulser

orofaringeal adalah 15% pada pemeriksaan awal. Ulser oral dengan

SLE tidak mudah dibedakan dari kondisi oral umum lainnya, seperti

ulser aptosa, meskipun terjadi dengan frekuensi tinggi pada palatum

dan orofaring mempunyai ciri-ciri yang tidak sakit. Secara histologis,

ciri-cirinya adalah adanya infiltrasi limfosit dan pada dasar ulser dan

pada distribusi perivaskular, dimana sama pada penelitian pada lesi

discoid. Lesi oral diskoid sama dengan lesi ini dimana terjadi pada kulit

dan terlihat seperti garis keputihan dan biasanya teradiasi dari daerah

pusat eritematous yang disebut “brush border”. Mukosa bukal, gusi dan

mukosa labial merupakan bagian yang paling umum terinfeksi pada

daerah intraoral.1

23
5. Pemeriksaan

Anemia, leukopenia dan trombositopenia merupakan manifestasi

yang paling umum pada penderita SLE. Anemia merupakan tipe

predominan, leukopenia terjadi pada 50% pasien. Trombositopenia

autoimun juga merupakan tanda umum dan mungkin dapat terjadi

parah. Tingginya nilai sedimentasi eritrosit dengan level protein C-

reaktif merupakan karakteristik dari SLE.1

Meskipun lebih dari 100 antibodi dengan tipe berbeda

berhubungan dengan SLE, penelitian mengatakan tertuju pada beberapa

perlawanan komponen nuklear dan fosfolipid. Antibodi antinuklear

(ANAs) terjadi pada 98% pasien SLE dan merupakan tes diagnosa yang

paling sensitif untuk penyakit ini. Akan tetapi, tes ANA ini mungkin

tidak spesifik dan dapat terjadi pada penyakit autoimun lainnya.

Antibodi DNA anti-double-stranded terjadi pada 50-60% pasien SLE

dan sangat spesifik. Antibodi lainnya yang memiliki spesifik tinggi

tetapi ditemukan dalam persentasi kecil adalah antiribosom P, anti-

smith antigen (anti-sm) dan antinuclear ribonucleoprotein (anti-nRNP).

Beberapa tanda variasi autoantibodi berhubungan dengan tanda klinis

khusus pada SLE. Contohnya, antibodi anti-Ro berhubungan dengan

subacute cutaneous lupus dan neonatal heart block, dan antibodi

antiribosom P berhubungan dengan psikosis dan nefritis lupus. Antibodi

antifosfolipid berhubungan dengan beberapa manifestasi SLE seperti

24
trombositopenia, komplikasi trobosit dan sindrom antifosfolipid serta

kerusakan endotelial yang dapat menyebabkan aterosklerosis.1

Diagnosa SLE berdasarkan pada tanda dan gejala yang sesuai

pada kelainan dari hasil pemeriksaan laboratorium. Adanya empat

temuan positif mempunyai sensitifitas sebesar 70-90% dan spesifisitas

sebesar 90-100% terjadinya SLE.1

6. Perawatan

Kortikosteroid masih menjadi perawatan dasar untuk terapi SLE

dan sangat berguna untuk mengontrol penyakit tersebut. meskipun

efektif pada banyak kasus, penggunaan kortikosteroid jangka panjang

dapat menyebabkan berbagai komplikasi seperti infeksi oportunistik,

steroid-induced diabetes, osteoporosis, nekrosis avaskular dan

hipertensi.1

Pemberian intravenous cyclophosphamide diatur untuk

meringankan induksi yang diikuti pemberian setiap 3 bulan sebagai

perawatan modern dari SLE yang parah, khususnya lupus nefritis.

Disamping efektifitas yang baik, cyclophosphamide cukup berbahaya

karena mempunyai frekuensi tinggi terjadinya hemorrhagic cystitis,

kanker kandung kemih dan kerusakan ovarium. Maka biasanya

diberikan mycophenolate mofetil (MMF) dan azathioprine untuk

menyeimbangkan pemberian cyclophosphamide, dengan efek samping

demam. Untuk mengatasi sel B dapat digunakan rituximab, yaitu

antibodi monoklonal untuk CD20.1

25
II.3.2 Skleroderma

1. Definisi

Skleroderma merupakan kelainan klinis yang mempunyai ciri

adanya penebalan dan fibrosis pada kulit. Bentuk umumnya yaitu

progresif sistemik sklerosis merupakan penyakit jaringan penghubung

multisistem dimana fibrosis menyebar ke organ dalam, seperti jantung,

paru-paru, ginjal dan sistem pencernaan. Prevalensi terjadinya penyakit

ini adalah 18-20 per 1 juta orang, dengan prevalensi wanita 3-4 kali

lipat dari laki-laki. Terdapat dua jenis skleroderma yaitu progresif

sistemik sklerosis (PSS) dan skleroderma lokalisata. PSS dibedakan

menjadi cutaneous skleroderma (Raynaud’s phenomenon) dan difus

cutaneous skleroderma. Pasien yang memiliki skleroderma ringan

biasanya mempunya riwayat Raynaud’s phenomenon jangka panjang

sebelum muncul gejala lainnya. Pasien mengalami penebalan kulit pada

tangan dan secara berkala akan timbul ulser dan esofageal dysmotility.

Penderita difus skleroderma memiliki onset yang lebih akut, dengan

gejala arthritis, sindro tunel carpal, dan bengkak pada tangan dan kaki.

Ciri-ciri lainnya yaitu terjadi penebalan kulit yang luas (dari jari sampai

ke badan), keterlibatan organ dalam (pencernaan dan fibrosis paru-paru)

dan berpotensi mengancam jantung dan gagal ginjal. Skleroderma

lokalisata menunjukkan bahwa skleroderma hanya menyerang kulit

tanpa melibatkan kelainan sistemik. Terdapat dua jenis skeloderma

lokalisata yaitu linear skleroderma dan morfea. Linear skeloderma

26
memiliki ciri adanya ikatan sklerosis yang keras dan hiperpigmentasi

pada ekskremitas atau sisi wajah. Sedangkan morfea memiliki ciri

bercak kecil pada kulit atau bercak kulit yang lebih besar (guttae

morphea) yang keras dan hilangnya fungsi rambut dan kelenjar keringat

(Gambar 3). Skleroderma lokalisata pada tangan disebut akrosklerosis.1

Gambar 3. Morphea pada wajah (sumber : Burket’s Oral Medicine,

2008)

2. Etiologi

Etiologi dari PSS belum jelas, tetapi patogenesis terjadinya PSS

ditandai dengan kerusakan pembuluh darah dan akumulasi kolagen dan

komponen matriks ektraseluller lainnya pada bagian tubuh yang

terlibat. Biopsi kulit pada stage awal menunjukkan adanya ikatan

kolagen pada lapisan bawah kulit dan subkutan atas yang berhubungan

dengan perivaskular dan infiltrasi sel mononuklear interstitial. Proses

27
inflamasi diawali dengan deposisi kolagen. Pada jaringan, sel T

memproses sekresi sitokin seperti IL-4 dan IL-13 yang mengakibatkan

vaskulopati dan fibrosis. Faktor predisposisi terjadinya PSS yaitu

paparan lingkungan seperti pestisida, derivat benzene dan silika.1

3. Gambaran Klinis

Penderita PSS atau skleroderma biasanya mengalami penebalan

kulit yang cepat dan keterlibatan organ dalam. Kelainan pada kulit dan

ginjal terjadi pada 70% pasien difus cutaneous sistemik sklerosis. 55%

pasien mempunyai kelainan jantung, paru-paru dan penyakit pada

saluran pencernaan. Raynaud’s phenomenon merupakan temuan awal

paling sering pada penderita PSS. Terdapat hiperplasia pada arteri pada

pasien skleroderma yang menyerang pembuluh darah. Hampir pada

semua kasus, penebalan kulit pada pasien PSS diawali pada jari dan

tangan. Kemudian menyebar ke leher dan wajah. Pada 90% pasien

skeloderma mengalami keterlibatan saluran pencernaan. Komplikasi

paru-paru terjadi pada 10-15% pasien. Kemudian keterlibatan ginjal

pada pasien skeloderma merupakan komplikasi yang paling

mematikan.1

4. Manifestasi Oral

Tanda klinis skeloderma pada mulut dan rahang hampir sama

dengan tanda yang terjadi pada tubuh. Bibir menjadi kaku, hilangnya

lipatan kulit disekeliling mulut, terlihat seperti wajah memakai masker.

Lidah menjadi keras dan kaku, menyebabkan kesulitan berbicara dan

28
mengunyah. Keterlibatan esofagus dapat menyebabkan disfagia. Oral

telangiektasia sering terjadi pada PSS dan umumnya pada palatum

keras dan bibir. Jika fibrosis terjadi pada otot pengunyahan akan

menyebabkan resorpsi mandibula. Penebalan pada membran

periodontal ditemukan pada 10% pasien skeloderma (Gambar 5).

Hiperplasia gingiva dapat terjadi akibat penggunaan calcium channel

blockers; pemvigus, reaksi lichenoid dapat terjadi karena penggunaan

pennicilamin.1

Gambar 4. Manifestasi

skeloderma. Penebalan pada kulit

dan menyempitnya

rongga mulut pasien skeloderma. Keterlibatan jari dan tangan yang

menyebabkan sulit bergerak dan resorbsi tulang jari. (sumber : Burket’s

Oral Medicine, 2008)

29
Gambar 5. Gambaran radiografi penebalan membran periodontal pada

pasien skeloderma. (sumber : Burket’s Oral Medicine, 2008)

5. Pemeriksaan

Sirkulasi ANAs terjadi pada lebih dari 90% pasien skeloderma.

Bebrapa kasus mempunyai spesifisitas yang tinggi pada penyakit ini.

Anticentromere (ACA) pada 50% pasien; antitopoisomerase I (antitopo

I); antiribonucleic acid (RNA) polimerase I/III; dan anti-Th/To2-36.

Autoantibodi lainnya tidak spesifik untuk skeloderma dapat ditemukan

pada serum, termasuk anti-PM-Scl, anti-U3RNP dan anti-U1RNP.

Adanya autoantibodi dapat diketahui nilai prognosis pasien. ACAs

mempunyai keterlibatan yang kuat dengan progres yang lambat, anti-

topo I dan anti-RNA polimerase I/III ditemukan lebih sering pada

pasien dengan gejala progresif dan difus. Temuan kelainan pada hasil

pemeriksaan laboratorium lainnya adalah anemia, kadar sedimentasi

eritrosit meningkat, dan hipergammaglobulinemia.1

Diagnosis sistemik skeloderma jika adanya karakteristik

penebalan kulit yang berhubungan dengan Raynaud’s phenomena.

Perubahan kulit proksimal skelodermatous terlihat pada dua kriteria

30
(scars pada ujung jari atau hilangnya lapisan distal jari) dapat

diklasifikasikan pasien menderita sistemik sklerosis.1

6. Perawatan

Perawatan dari PSS ini tergantung pada perluasan dan keparahan

dari kulit dan organ yang terlibat. Perawatan dan diagnosa awal sangat

dianjurkan. Calcium channel blockers ditujukan untuk kasus Raynaud’s

phenomenon sedang sampai parah dan d-penicillamine digunakan untuk

mengontrol penebalan kulit dan menurunkan keterlibatan organ dalam.

Obat tersebut mengandung kolagen dan agen immunosupresif.

Cyclophosphamide ditujukan untuk mengatasi penyakit paru-paru

dengan alveolitis. Epoprostenal, treprostenol, bosentan, dan inhaled

iloprost untuk mengatasi hipertensi arteri pulmonal.1

II.3.3 Idiophatic Inflammantory Myopathies (Zaski Fatma Tribumi)

1. Definisi

Idiophatic inflammantorymyopathies merupakan salah satu

kelompok penyakit rheumatic sistemik yang diantaranya seperti

polymyositis, adult dermatomyositis, juvenile dermatomyositis, myositis

yang berhubungan dengan penyakit kanker atau penyakit lain yang

menyerang jaringan ikat, dan Inclusionbody myositis (IBM). Semua

penyakit diatas ditandai dengan adanya kelemahan pada otot simetris

proksimal dan terdapat inflamasi nonsuppuratif yang menyebabkan

adanya peningkatan kadar enzim pada bagian otot rangka. Insidensi dan

prevalensi pada penyakit IIM sulit untuk dipastikan, dikarenakan

31
penyakit ini jarang ditemukan. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa

prevalensi penyakit IIM paling banyak menyerang pada wanita

dibandingkan pria dengan rasio 2 : 1.Polymyositis merupakan bagian

klasifikasi dariIdiophatic inflammantory myopathies yang dapat

menyerang semua jenis umur, tetapi yang paling banyak terkena adalah

individu dengan rentan usia antara 50 hingga 70 tahun.1

2. Etiologi dan Patogenesis

Etiologi dari IIM ini belum diketahui. Tetapi terdapat banyak

faktor yang dapat mempengaruhi proses patogenesis dari penyakit ini

yaitu faktor genetik, lingkungan, dan adanya kelainan pada sistem

imun. Sebagian besar pasien akan membentuk suatu autoantibodi

apabila terdapat suatu antigen yang menyerang tubuh dengan

melibatkan peran protein. Jenis sel yang ditemukan pada bagian yang

terinflamasi memiliki berbagai bentuk dan jenis yang berbeda-beda

tergantung dari faktor etiologi. Pada penyakit polymyositis, peradangan

yang terjadi pada bagian endomysial ditemukan adanya sel T primer,

makrofag , dan beberapa sel natural killer, tetapi tidak melibatkan

adanya sel B. Sedangkan pada penyakit dermatomyositis, bagian

jaringan otot terinfiltrasi oleh banyaknya sel B dan sel T CD 4+ dengan

melibatkan hilangnya kapiler.1

3. Tanda dan Gejala Klinis

Kebanyakan pasien datang sudah dalam keadaan akut ataupun

subakut yang ditandai dengan adanya kelemahan pada otot proksimal

32
yang simetris.Hal ini ditandai dengan sulitnya pasien mengangkat

kepala pada saat keadaan terlentang, pada saat menaiki tangga,

kesulitan untuk berpakaian sendiri, menyisir rambut, dan kesulitan

mengangkat benda.Apabila kelemahan pada jaringan otot ini semakin

parah, maka hal ini dapat menyebabkan kegagalan pernafasan dan bisa

menyebabkan kematian.1

Pada penderita DM atau dermatomyositis, ditemukan beberapa

jenis lesi kulit yang terlihat yaitu jenis makulaviolaceous

eritema.Manifestasi pada kulit yang sering terlihat pada penderita DM ,

yaitu sekitar 70% dari populasi pasien adalah dengan ditemukannya

papula Gottron’s. Terdapat ruam pada pasien DM yang ditandai dengan

adanya eritematosa berwarna kehitaman,kadang diikuti dengan adanya

edema, dapat melibatkan daerah periorbital dan bagian kelopak mata

atas. Perubahan kulit lainnya dapat ditandai dengan adanya

telangiectases dan kondisi Raynaud’s fenomena.1

Gejala klinis lainnya yaitu terdapat adanya kalsinosis pada kulit

yang paling sering terlihat pada anak-anak atauorang dewasa muda.

Fibrosis pada otot juga dapat menyebabkan terjadinya retrognathia yang

mirip dengan scleroderma. Penyakit paru interstitial sekunder sampai

dengan alveolitis fibrosing, kelainan konduksi jantung,edema

konjungtiva, dan kerusakan ginjal juga sering terjadi pada kelainan

penyakit ini.1

33
Gambar Gambaran papula Gottron pada penderita polymiositis

(sumber : Burket’s Oral Medicine, 2008)

4. Manifestasi Oral

Sebuah studi melakukan pemeriksaan terhadaP34 pasien yang

menderita PM dan DM. Kemudian, ternyata ditemukan adanya

manifestasi oral yang disebabkan oleh penyakit PM dan DM, yaitu

ditemukannya beberapa gigi yang keropos, hilang, gigi yang ditambal,

kemudian kebersihan mulut yang burukdan adanya penurunan

kemampuan pengunyahan.Lesi pada mukosa yang paling umum terjadi

adalah ditemukannya telangiectasia.1

Manifestasi lain yang ditemukan pada rongga mulut yaitu terdapat

fibrosis yang terjadi pada kelenjar saliva minor yang ditemukan pada 12

pasien, dan adanya infiltrasike bagian interstitialperivaskular yang

ditemukanpada 8 kasus. Selain itu, Disfagia jugadapat membuat

kesehatan rongga mulut semakin buruk. Kalsinosis pada jaringan lunak

juga dapat terlihat, biasanya ditemukan terutama pada anak-anak.

34
Terdapat nodul yang terkalsifikasi yang mungkin muncul. Lidah juga

bisamenjadi kaku karena adanya kalsinosis yang parah yang membuat

pasien sulit untuk menelan atau disfagia. Perubahan gingiva juga dapat

terjadi, biasanya ditemukan pada penderita DM yang sudah parah yaitu

pada anak anak yang menderita juvenile DM.1

Gambar Perubahan warna attached gingiva pada penderita

juvenile DM (sumber : Burket’s Oral Medicine, 2008)

5. Tatalaksana

Pengobatan yang dilakukan untuk penderita penyakit ini yaitu

dengan memberikan obat kortikosteroid sistemik dengan dosis yang

tinggi.Dosis yang tinggi diberikan apabila obat steroid ini tidak terlalu

efektif dalam dosis yang rendah.Kemudian selain diberikan obat steroid

dibutuhkan juga obat immunosupresif seperti methotrexate,

azathioprine, cyclosporine, dan immunoglobulin yang di injeksikan

secara intravena.Untuk kasus yang sudah bersifat resisten disarankan

35
untuk diberikan Agen TNF-blocking. Terapi secara fisik juga perlu

dilakukan untuk penderita.1

6. Dental Treatment

Penyakit ini banyak menimbulkan manifestasi pada rongga mulut

yaitu salah satunya adanya lesi pada bagian gingiva.Lesi yang terdapat

pada gingiva harus diobati dengan menggunakan terapi kebersihan yang

standar. Tindakan pencegahan diperlukan untuk semua pasien yang

memakaisteroid jangka panjang dengan dosis yang tinggidan

imunosupresif lainnya.1

II.3.4 Rheumatid Arthritis

Rheumatid arthritis merupakan jenis penyakit yang ditandai

dengan adanya kesimetrisan dan peradangan yang terdapat pada sendi.

Penyakit ini merupakan salah satu penyakit gangguan autoimun yang

paling sering terjadi yaitu sekitar 2% populasi di negara amerika serikat

yang berumur diatas 60 tahun menderita penyakit ini. RA paling banyak

menyerang pada wanita daripada laki laki, namun RA juga bisa menyerang

pada anak usia muda tetapi belum diketahui alasan mengapa RA bisa

terjadi pada anak usia muda. RA merupakan suatu penyakit sistemik yang

ditandai dengan adanya gejala seperti kelelahan,penurunan berat badan,

kekakuan di pagi hari, demam ringan, dan anemia.1

1. Etiologi dan Patogenesis

36
Etiologi dari penyakit ini belum diketahui sama seperti IIM.

Namun, terdapat faktor lain yang berhubungan dengan penyakit ini

yaitu kelainan genetik yang kompleks, faktor imun, dan faktor infeksi.

1) Faktor genetik

Terdapat bukti yang kuat dari kumpulan beberapa studi

menunjukkan bahwa adanya kumpulan gen pada bagian HLA di

kromosom 6 dapat meningkatkan resiko terjadinya Rheumatid

arthritis.Gabungan gen HLA-DRB1 dengan RA dilaporkan masuk

pada beberapa populasi. Kemudian selain gen HLA-DRB1 yang

ditemukan, terdapat gen lain yang dilaporkan melibatkan penyakit

RA yaitu gen PTPN22. Gabungan antara gen PTPN22 dengan RA

ditemukan dari 5 daerah yang memiliki populasi terbesar yaitu

United Kingdom, Spanyol, United States, dan Finlandia. Gen ini

dapat merangsang kerja limfosit yang bekerja sebagai regulator

negatif pada aktivasi sel T.1

Terdapat faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi

penyakit RA yang berhubungan dengan faktor genetik yaitu seperti

merokok, faktor diet,dan faktor infeksi. Penelitian terbaru

membuktikan bahwa orang yang merokok dan yang memiliki gen

spesifik HLA-DRB1 lebih riskan terkena penyakit RA. Penelitian

ini membuktikan adanya hubungan antara gen spesifik HLA-DRB1

dengan merokok.1

2) Faktor Imun

37
Rheumatid arthritis merupakan penyakit yang menyerang

bagian organ pada sendi yaitu jaringan synovial dan bagian

kartilago. Sel sel inflamasi termasuk sel T akan menginfiltrasi

bagian sinovium dari sendi sehingga menyebabkan adanya

pelebaran dari jaringan dan terdapat formasi dari jaringan pannus

yang membuat permukaan artikular dari bagian kartilago tertutupi,

sehingga dapat menyerang bagian tulang. Mediator inflamasi

seperti sitokin TNF-α akan dilepaskan dengan menginvasi sel yang

akan berkontribusi dalam merusak bagian kartilago dan tulang. Sel

B yang berdiferensiasi masuk ke dalam sel plasma juga ditemukan

pada bagian jaringan synovial. Sel ini dapat berpartisipasi pada

proses patofisiologi dari penyakit RA dengan memproduksi sitokin

dan autoantibodi. Autoantibodi yang sering ditemukan pada

penyakit RA adalah faktor rheumatoid. Faktor rheumatoid

merupakan reaksi antibodi yang melawan suatu antigen penentu

dari molekul IgG. 1

3) Faktor Infeksi

Pada beberapa penemuan melaporkan bahwa terdapat

beberapa faktor infeksi yang dapat menimbulkan gejala klinis yang

sama pada penyakit rheumatid arthritis. Contohnya seperti

parvovirus, rubella virus, Epstein-barr virus, borrelia burgdorferi,

dan lainnya. 1

2. Tanda dan Gejala Klinis

38
Penyakit RA merupakan penyakit polyarthritis simetris yang

sering melibatkan bagian proksimal dari sendi interphalangeal pada jari

dan sendi metacarpophalangeal pada tangan.Sendi pada pergelangan

tangan, siku, lutut, dan pergelangan kaki juga dapat terlibat.Beberapa

pasien menunjukkan bahwa semua sendi dapat terserang termasuk sendi

TMJ dan sendi cricoarytenoid pada bagian laring.Sendi yang terlibat

adanya kelainan dapat menimbukan adanya kemerahan, pembengkakan,

adanya rasa hangat, dan disertai adanya atrofi pada otot disekitar area

yang terlibat.

RA dapat menimbulkan gejala klinis lain apabila penyakit ini

terjadi semakin parah yaitu dapat menimbulkan adanya nodul subkutan

dan pembengkakan pada leher. Bagian servikal pada leher yaitu bagian

C1-C2 yang mengalami subluksasi.Selain itu, nodul rheumatoid juga

dapat ditemukan pada bagian paru-paru, pleura, pericardium, sklera,

dan jarang ditemukan pada jantung, mata, dan otak. Komplikasi yang

mungkin dapat terjadi pada penderita RA yaitu dapat menyebabkan

terjadinya kelainan kardiovaskular.1

39
Gambar Manifestasi klinis pada tangan penderita Rheumatoid

arthritis (sumber : Burket’s Oral Medicine, 2008)

3. Manifestasi Oral

Tatalaksana yang dilakukan pada penyakit RA dapat

menimbulkan beberapa manisfetasi pada rongga mulut.Manifestasi

pada rongga mulu yang dapat ditemukan pada penderita RA yaitu

timbulnya stomatitis yang disebabkan karena adanya pengonsumsian

obat methotrexate dan obat antirheumatik lainnya seperti d-

penicillamine dan golongan NSAID. Hiperpigmentasi juga dapat

ditemukan pada rongga mulut yang disebabkan karena penggunaan obat

40
minocycline. Penebalan pada gingiva juga dapat terjadi apabila pasien

sering mengonsumsi cyclosporine.1

Beberapa studi juga melaporkan bahwa periodontitis agresif juga

dapat mengenai penderita penyakit RA.Menurunnya perawatan oral

hygiene pada rongga mulut dan kebiasaan merokok juga dapat

mempengaruhi timbulnya manifestasi oral pada penderita RA.Pada

penderita secondary sjogren’s syndrome biasanya disertai oleh penyakit

sistemik rheumatid arthritis yang dapat menimbulkan manifestasi oral.1

Gambar Oral candidiasis pada lidah pada penderita rheumatid

arthritis disertai Sjogren’s syndrome (sumber : Burket’s Oral

Medicine, 2008)

4. Diagnosis

Terdapat beberapa kriteria yang digunakan untuk mendiagnosa

apakah pasien tersebut menderita penyakit RA atau tidak.Kriteria untuk

mendiagnosa penyakit RA dapat menggunakan tabel yang digunakan

oleh American College of Rheumatology.Diagnosa RA ditegakkan

apabila terdapat 4 kriteria dari 7 kriteria yang ditunjukkan.Berikut

41
merupakan kriteria untuk mendiagnosa penyakit Rheumatid arthtritis

yaitu :1

Gambar Kriteria Diagnosis Rheumatid Arthtritis (sumber : Burket’s Oral

Medicine, 2008)

Terdapat pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk

mendiagnosa penyakit RA yaitu dengan pemeriksaan laboratorium.

Pemeriksaan laboratorium yang diperlukan untuk diagnosa RA adalah

pemeriksaan serum untuk IgA, IgM, IgG , antibodi anti-CCP dan RF,

19 analisis cairan sinovial, foto polos sendi, MRI, dan ultrasound.

5. Tatalaksana

Terapi yang dapat digunakan untuk penyakit RA yaitu salah

satunya terapi farmakologi.Obat yang biasanya sering diberikan yaitu

methotrexate.Obat ini merupakan obat awal yang diberikan untuk terapi

polyarthritis.Obat ini berfungsi untuk menurunkan aktivitas kerja dari

42
penyakit ini.Pasien dengan tingkat keparahan yang tinggi biasanya

dilakukan terapi kombinasi. Terapi kombinasi yang diberikan adalah

pemberian prednisone dengan dosis yang rendah yaitu <10 mg/d.1

Pemberian NSAID juga diperlukanseperti aspirin yang digunakan

untuk mengurangi rasa nyeri dan kekakuan pada sendi.Kemudian

pemberian steroid juga diberikan karena obat ini memiliki keuntungan

untuk mengurangi gejala simptomatis dan tidak memerlukan

montoring, tetapi memiliki konsekuensi jangka panjang yang

serius.Terdapat banyak agen biologi yang berkembang yang digunakan

untuk terapi RA. Obat yang paling sering digunakan yaitu etanercept

dan infliximab, obat ini merupakan agen yag berfungsi untuk

menghentikan aksi dari sitokin yang dihasilkan oleh TNF-α. Obat ini

menggunakan dosis yang disesuaikan dengan tingkat keparahan dari

penyakit RA tersebut. Kemudian terdapat obat Leflunomide, yang

berfungsi untuk mencegah terjadinya sintesis pirimidin dan dapat

mencegah aktivasi dari sel T. Leflunomide dapat menimbulkan efek

samping yaitu seperti diare, sakit pada perut, reaksi alergi, dan

peningkatan enzim transaminase.1

II.3.5 Mixed Connective Tissue Diasease (MCTD)

Penyakit ini merupakan suatu penyakit yang gejala klinisnya

tumpang tindih dengan gejala pada SLE, PSS, dan DM. Prevalensi pada

penyakit ini belum diketahui.1

1. Etiologi, Patogenesis, dan Manifestasi Klinis

43
Pada wanita penyakit MCTD gejala yang timbul baru muncul

pada 2 atau 3 dekade kehidupan.Gejala awalnya biasanya yaitu terdapat

polyarthritis, myositis, raynaud’s fenomena, mild sclerodactyly,

kelainan paru, dan dysmotility esophageal.Manifestasi lain yang

mungkin muncul yaitu serositis, ruam pada kulit, arthritis, meningitis

aseptic, myocarditis, myositis, lymphadenopathy, anemia, leukopenia,

dan kelainan neuropathy pada saraf sensorik trigeminal. Manifestasi

gastrointestinal yang dapat muncul akibat penyakit ini yaitu sama

seperti yang terdapat pada manifestasi scleroderma. Hipertensi pada

paru paru juga merupakan salah satu faktor yang dapat menyebabkan

kematian.1

2. Diagnosis

Adanya komponen autoantibodi terhadap U1-snRNP ( U1 small

nuclar ribonucleoprotein autoantigen) ini merupakan komponen penting

yang dapat mengklasifikasikan kriteria untuk penyakit MCTD. Apabila

terdapat adanya kelainan MCTD pada saat pemeriksaan laboratorium,

maka dapat terdeteksi adanya titer antibodi yang tinggi yaitu

(>1:1000).1

44
II.4 Jenis Lesi Oral (Nailatul Husna)

Banyak ulseratif atau vesikulobula penyakit mulut yang memiliki gambaran

klinis serupa. Mukosa oral yang tipis menyebabkan vesikel dan bula pecah dengan

cepat dan menjadi ulser. Ulser dapat semakin parah karena adanya trauma dari

gigi dan makanan, dan menjadi infeksi sekunder karena adanya flora rongga

mulut. Faktor-faktor tersebut dapat menyebabkan lesi yang memiliki karakteristik

khas pada kulit memiliki penampilan yang tidak spesifik pada mukosa oral.

Diagnosa dari lesi rongga mulut memerlukan pengetahuan dasar dermatologi

karena banyak kelainan yang muncul pada mukosa oral juga menyerang kulit.

Lesi kulit diklasifikasikan berdasarkan gambaran klinis, berikut ini beberapa

istilah yang juga dapat digunakan pada lesi oral 1:

1. Makula

Makula adalah lesi datar berbatas jelas karena perbedaan dengan kulit normal

atau warna mukosa. Dapat berwarna merah karena peningkatan vaskularisasi

atau inflamasi, atau pigmentasi oleh melanin, hemosiderin.

2. Papula

Papula adalah lesi padat yang memiliki peninggian di atas permukaan kulit

atau mukosa kurang dari 1 cm. Dapat muncul pada beberapa penyakit seperti

eritema multiform, lupus erythematous, rubella, sarcoidosis.

3. Plak

Plak merupakan lesi padat yang memiliki peninggian lebih dari 1 cm

45
46

4. Nodul

Nodul ialah lesi yang muncul lebih dalam di dermis atau mukosa. Lesi ini

dapat menonjol di atas kulit atau mukosa

5. Vesikel

Vesikel ialah lesi yang berisi cairan bening, memiliki diameter kurang dari 1

cm

6. Bula

Bula merupakan lesi berisi cairan benin, memiliki diameter lebih dari 1 cm

7. Erosi

Erosi adalah lesi yang terjadi karena rupturnya vesikel atau bula atau trauma

dan umumnya lembap di kulit

8. Pustul

Pustul adalah lesi yang berisi materi purulent atau nanah

9. Ulser

Ulser adalah lesi dengan batas jelas, biasanya cekung dengan kerusakan epitel

yang ditutupi gumpalan fibrin, menyebabkan gambaran putih kekuningan

10. Purpura

Purpura merupakan lesi memar berwarna kemerahan atau ungu yang

disebabkan darah dari pembuluh bocor ke jaringan ikat. Lesi ini tidak pucat

saat diberi tekanan dan diklasifikasikan berdasarkan ukuran sebagai

petechiae (kurang dari 0,5 cm) atau eccymoses.

Terdapat beberapa kelainan atau penyakit yang memiliki gambaran oral

ulcer yang berbeda-beda, dirangkum dalam tabel berikut3 :


47

Tabel II-1 Diagnosa Banding dari Gambaran Ulser Rongga Mulut (Chen,
2016)

Penyakit Gambaran Klinis


Infeksi
1. Herpes simpleks virus Lesi vesikel pada lidah, mukosa bukal dan

vermilio border
2. Varicella-zoster virus Papula, vesikel, pustul, krusta secara bersamaan
3. Hand-foot-mouth disease Vesikel pada palatum lunak atau tonsil
4. Oral Kandidiasis Plak putih kekuningan
Keganasan
5. Squamous cell carcinoma Berbatas tegas, hiperkeratosit makula atau papula
6. Melanoma Makula berwarna coklat dengan batas irreguler
Penyakit autoimun
7. Lupus erythematous Ruam berbentuk kupu-kupu, plak bersisik
8. Behcet’s disease Apthous ulser rekuren, ulser genital, mata

(uveitis) atau lesi kulit


9. Reiter’s disease Ulser rongga mulut
Cutaneous disease
10. Pemfigus Benjolan (vesikel/bula) lembek, keterlibatan

mukosa
11. Pemphigoid Bula tegang, pruritus
12. Erythema multiforme Lesi target, keterlibatan membran mukus (ulser

oral, eritem)
13. Lichen planus Pruritus, ungu, poligonal, planar, papula, plak
14. Aphthous stomatitis Satu atau multipel bulat-oval ulser, dangkal, sakit

II.5 Pemfigus Vulgaris (Eva Istikomah Kusuma Wardani)

Pemfigus adalah penyakit autoimun yang meliputi kulit dan mukosa,

ditandai dengan pembentukan bula intraepidermal. Selain itu pemfigus juga

dikenal sebagai penyakit kulit kronis yang serius, ditandai oleh adanya vesikel dan

bula. Penyakit ini tebukti merupakan mekanisme autoimun karena antibodi

interseluler ditemukan dalam epitel kulit dan mukosa mulut dan antibodi sirkulasi

terdapat pada serumnya.6


48

Jenis dari pemfigus adalah pemfigus vulgaris, pemfigus foliaceus,

paraneoplastic pemfigus (PNPP) dan drug-related pemfigus. Pemfigus vegetans

merupakan jenis dari pemfigus vulgaris dan pemfigus erythemateous merupakan

jenis dari pemfigus foliaceus. Pada pemfigus foliaceus, blister/gelembung terjadi

pada lapisan superfisial granular sel. Keterlibatan mukosa bukan ciri pada jenis

foliaceus dan eritematus, dimana antibodi hanya menyerang desmoglen. Obat

yang berhubungan dengan drug-induced pemfigus adalah d-penicilline dan

captopril. Tidak dilanjutkannya pemakaian obat tersebut akan membantu proses

penyembuhan dari penyakit tersebut.5

1. Pemfigus vulgaris

Pemfigus vulgaris merupakan jenis yang paling berat dapat menyebabkan

kematian sebelum era kortikosteroid. Biasanya terjadi pada usia pertengahan

yaitu dekade IV sampai VII dan jarang mengenai usia kurang dari 20 tahun.7

Sekitar 50% dari lesi mulai terjadi di rongga mulut. Vesikel dan bula yang

berbentuk bulat dan tegang cenderung timbul pada kulit yang semula relatif

tampak normal dan dipresipitasi oleh tekanan atau gesekan seperti dari

pengunyahan, gigi tiruan dan lain-lain. Terkadang juga terjadi pada kulit yang

mengalami eritematous. Ukurannya bervariasi dari beberapa milimeter sampai

sentimeter. Lesi berisi cairan encer yang kemudian menjadi purulen.6

2. Pemfigus Vegetans

Jenis ini merupakan suatu varian dari pemfigus vulgaris. Gejalanya tidak

sehebat pemfigus vulgaris. Sering mulai terjadi pada daerah hidung dan mulut,

aksila serta daerah anogenital. Membran mukosa sering kali terkena yang
49

ditandai oleh adanya vegetasi fungoid yang terbentuk pada erosi setelah bula

pecah, terutama mengenai batas vermilion dari merah bibir. Masa fungoid

tertutup oleh eksudat purulen. Secara mikroskopik, terlihat pembentukan

vesikel yang kurang jelas, akantolisis yang moderat dan peradangan yang

menyebabkan pembentukan abses intraepitel yang mengandung sejumlah

eosinofil.6

3. Pemfigus Foliaseus

Gejala pemfigus foliaseus tidak sehebat pemfigus vulgaris dan pemfigus

vegetans. Dapat sembuh setelah bertahun-tahun atau berubah menjadi varian

yang lebih berat. Lesi di mulut jarang ditemukan. Secara mikroskopis, vesikel

tidak begitu jelas dan terdapat pada lapisan prickle. Akantolisis pada sel lapisan

granular dan bagian atas dari rate malphigi.6

4. Pemfigus Eritematus

Merupakan jenis pemfigus yang paling ringan. Secara klinis terlihat bersisik

dan kemerahan. Biasanya terdapat pada muka, kulit kepala dan tubuh bagian

atas. Pada muka lesi terlihat seperti gambaran kupu-kupu. Lesi di dalam rongga

mulut sangat jarang ditemukan, secara histologis mirip dengan pemfigus

foliaseus.6

II.5.1 Definisi

Pemfigus vulgaris merupakan penyakit autoimun dengan manifestasi

berupa kondisi lepuhan pada permukaan kulit dan atau mukosa. Hal ini dapat

terjadi karena kerusakan atau hilangnya adhesi intersel akibat autoantibodi IgG

kadang-kadang IgA dan IgM terutama terhadap desmoglein dapat juga pada
50

desmoglein sehingga menyebabkan pelepasan sel epitel yang dikenal dengan

akantolisis. Perluasan ulserasi yang diikuti ruptur pada lepuhan dapat

menyebabkan rasa sakit, kehilangan cairan dan elektrolit.8

Pemfigus vulgaris berpotensi mengancam jiwa. Penyakit ini dapat

melemahkan kondisi pasien dan sering menyebabkan kematian. Apabila tidak

dirawat dengan tepat, maka lesi akan menetap dan semakin meluas, menyebabkan

kerusakan kulit dan membran mukosa sehingga dapat terjadi kehilangan cairan

dan ketidakseimbangan elektrolit, infeksi, bahkan sepsis.8

II.5.2 Etiologi

Etiologi dari pemfigus vulgaris masih belum dapat dipastikan secara jelas.

Banyak teori yang berdasarkan pada infeksi dan reaksi toksis, tetapi masih belum

terbukti. Faktor genetik merupakan predisposisi yang kuat untuk terjadinya

pemfigus vulgaris. Diperkirakan terdapat mekanisme autoimun, karena

ditemukannya antibodi pada lesi kulit dan mukosa yang terletak pada ruang

interseluler di antara sel-sel epitel. Pemfigus vulgaris sering dihubungkan dengan

penyakit hodgkin, kaposi sarkoma, miastenia gravis, neoplasma seperti limfoma

yang disebut paraneoplastik pemfigus dan penyakit autoimun lainnya seperti

rematoid artritis dan penyakit syorgen. Pemfigus juga dapat disebabkan oleh

terapi obat seperti penisilin, penisilamin, penobarbital dan captropil. Pemfigus

vulgaris merupakan penyakit autoimun terbukti dari hasil terapi, yang

memperlihatkan bahwa pemfigus merespon dengan baik perawatan dengan

kortikosteroid yang merupakan obat imunosupresi.8


51

Sistem imun pada manusia membuat antibodi untuk melawan terjadinya

infeksi pada tubuh. Secara normal, antibodi tidak menyerang tubuh. Akan tetapi,

pada penyakit autoimun seperti pemfigus vulgaris, sistem imun menyebabkan

antibodi melawan jaringan pada tubuh (autoimun).9

1. Autoantibodi pada pemfigus vurgaris menyerang protein yang disebut

desmoglen. Protein tersebut terlihat pada sel di bagian terluar kulit (epidermis)

dan membentuk “glue” yang menahan sel kulit.

2. Ketika autoantibodi terbentuk pada pemfigus vulgaris menyerang protein

desmoglen, sel kulit dan membran mukosa tidak dapat bertahan lama dan akan

berpisah. Hal itu menyebabkan gelembung dan erosi yang menjadi ciri khas

pemfigus vulgaris.

3. Meskipun diketahui bahwa antibodi terhadap desmoglen menyebabkan

pemfigus vulgaris. Hal tersebut masih belum menjelaskan mengapa pada

beberapa orang terbentuk autoantibodi tersebut.

Pemfigus vulgaris menyerang laki-laki dan perempuan sama rata.

Pemfigus vulgaris dapat terjadi pada semua usia tetapi paling sering pada usia 40-

60. Penyakit ini juga bukan merupakan penyakit menular. Pemfigus vulgaris tidak

menular dari generasi ke generasi. Akan tetapi, faktor genetik diduga berperan

penting jika disertai faktor lainnya.9

II.5.3 Patofisiologi

Perubahan yang pertama dapat dilihat adalah terbentuknya rongga kecil

pada lapisan bawah dari lapisan prickle sel epitel yang disebabkan oleh

disintegrasi jembatan interseluler. Disintegrasi ini disebut akantolisis, yaitu


52

hilangnya perlekatan sel ke sel pada lapisan sel epitel. Pada pemfigus vulgaris

terbentuk oedema interseluler dalam lapisan epitelial, hancurnya jembatan

interselular dan melebarnya ruang interselular menyebabkan separasi antar sel.

Dengan meningkatnya cairan, ruang tersebut bertambah besar dan terbentuk bula

di atas lapisan sel basal (suprabasal). Selama proses tersebut, penderita tidak

merasakan kelainan yang khas, vesikel dan bula mudah pecah terutama di dalam

mulut. Setelah bula pecah terjadi rasa sakit yang hebat akibat terbukanya ujung

serabut saraf. Seringkali terjadi perdarahan ke dalam submukosa disertai

terbukanya ujung saraf sensorik.6

Pemfigus vulgaris cenderung progresif dan fatal setelah perjalanan penyakit

rata-rata 18 bulan. Walaupun sudah ditemukan terapinya tetapi penyakit ini tetop

serius., karena dapat menjadi fatal akibat komplikasi yang terjadi setelah

perawatan sistemik dengan prednison dan obat-obat imunosupresan lainnya.

Tanpa perawatan, penyakit dapat menetap dan berakhir fatal dalam beberapa

bulan. Pada awalnya pasien tidak merasakan sakit, tetapi setelah timbul bula pada

daerah yang luas di kulit dan mukosa maka akan tampak gejala umum toksisitas

seperti anemia, hipoalbuminemia, gangguan elektrolit serum dan peningkatan

kecepatan sedimentasi pada kasus-kasus lanjut. Ini disebabkan oleh keseimbangan

nitrogen yang buruk akibat hilangnya protein melalui daerah kulit yang tebuka

dan kesulitan penyerapan nutrisi yang baik karena terkenanya mukosa mulut.

Kematian biasanya terjadi dalam dua tahun sebagai akibat cachexia, toxemia dan

infeksi dalam darah dan paru-paru. Kondisi pasien sangat menyedihkan karena
53

kulit dan mukosanya mengalami erosi dan bau yang tidak sedap serta diperberat

dengan adanya infeksi sekunder.6

II.5.4 Gambaran dan Gejala Klinis

Erosi kulit terasa sakit dan dapat berpengaruh pada kualitas hidup seperti

mengganggu tidur. Lesi mulut dan tenggorokan dapat berpengaruh saat makan

dan minum sehingga menyebabkan turunnya berat badan. Pemfigus vulgaris juga

dapat berpengaruh pada membran mukosa lainnya seperti area genital, yang dapat

menyebabkan sakit saat berhubungan seksual, buang air kecil dan buang air besar,

terasa pengap dan timbul krusta pada hidung, kongjungtiva nyeri, mata merah.

Daerah yang paling sering terinfeksi adalah pada rongga mulut. Rongga mulut

merupakan daerah pertama yang terinfeksi dan lesi kulit biasanya muncul

setelahnya. Bentuk paling umum dari semua tipe pemfigus, lesi awalnya berupa

vesikel atau bula, walaupun lesi pada tahap akhir penyakit dapat bervariasi seperti

erosi, bersisik dan papilamatosa.5

Gambar II-2 Lesi Kulit Awal pada Pemfigus vulgaris (Greenberg, 2008)

Pemfigus vulgaris timbul pada usia pertengahan dan jarang mengenai usia

kurang dari 20 tahun. Seperti halnya lesi mulut manifestasi awal lesi kulit

biasanya sulit didiagnosis karena dapat berupa impetigo atau dermatitis seboroik
54

yang terinfeksi. Setelah manifestasi awal, timbul lesi dalam bentuk bula secara

menyeluruh di kulit setelah 4-12 bulan. Tanda khasnya adalah bentuk bula dengan

dinding tipis yang timbul pada mukosa atau kulit yang semula terlihat normal.5

Tanda khas penyakit dapat diketahui dengan menekan bula yang utuh,

dimana pada pasien dengan pemfigus vulgaris, bula akan membesar dengan

perluasan ke permukaan sekitarnya yang nampaknya normal. Tanda khas yang

lain adalah tekanan pada kulit yang terlihat normal akan menyebabkan timbul lesi

baru, yang disebut tanda Nikolsky, akibat lapisan atas kulit terlepas dari lapisan

basal. Tanda Nikolsky ini umumnya berhubungan dengan pemfigus vulgaris,

tetapi dapat juga terjadi pada epidermolisis bulosa.5

II.5.5 Diagnosis

Diagnosis definitif dapat ditegakkan dengan melakukan pemeriksaan klinis

dan pemeriksaan laboratorium.6

1. Pemeriksaan Klinis

1) Secara Visual

Lesi pada kulit terlihat sebagai bula yang tidak teratur, timbul tiba-tiba,

kadang-kadang dapat berisi darah, tanpa peradangan pada batasnya kecuali

bila telah terjadi infeksi sekunder. Bila vesikel dan bula pecah, akan terlihat

erosi yang dangkal, berwarna merah, mudah berdarah dan kadang-kadang

terjadi jaringan nekrotik diatasnya. Lokasi sering terlihat pada mukosa

bukal, palatum lunak, bibir bawah, lidah dan gingiva. Pada lesi mulut jarang

ditemukan vesikel atau bula yang masih utuh.

2) Uji Nikolsky dan Tanda Nikolsky


55

Tes ini dapat membantu menegakkan diagnosa. Dapat digunakan tongue

blade yang digosokkan atau ditekan pada permukaan palmar dari

pergelangan tangan.

Bila bagian luar dari epitelium terkelupas atau terjadi bula, berarti kohesi

berkurang dan adanya gangguan di antara lapisan epitelium. Vesikel yang

tegang bila diberi tekanan dapat meluas ke lateral yang dikenal dengan

Nikolsky’s Sign. Bila penderita telah mendapat terapi dengan kortikosteroid

maka tes ini mungkin tidak memberikan hasil yang positif.

2. Pemeriksaan Laboratorium

1) Pemeriksaan Imunopatologik

Dengan melakukan pemeriksaan imunopatologik, maka pada penderita

pemfigus vulgaris ditemukan adanya antibodi sirkulasi (IgG) pada

perlekatan interseluler sel-sel epitel. Imunoglobulin dan komplemen juga

dapat ditemukan di sepanjang interseluler junction sel-sel epitel dengan

pemeriksaan mikroskopis imunofluoresensi.

2) Pemeriksaan Sitologi Terhadap Adanya Sel Tzank

Dilakukan dengan eksisi bula yang baru terbentuk di kulit, kemudian cairan

dari vesikel atau bula tersebut dilakukan pewarnaan untuk menentuka

adanya akantolisis epitel superbasal dan adanya sel Tzank. Sel-sel ini

menunjukkan perubahan-perubahan degeneratif. Nukleusnya bulat,

membengkak, hiperkromatik dan dikelilingi oleh sitoplasma eosinofilik

yang jelas.

3) Biopsi
56

Biopsi dilakukan sebaiknya dari lesi kulit timbul. Diambil dari vesikel atau

bula yang berumur kurang dari 24 jam. Tetapi karena lesi tersebut jarang

pada mukosa mulut, maka biopsi diambil dari tepi lesi pada daerah

akantolisis, bila menunjukkan tanda Nikolsky positif, lesi inilah yang

dibiopsi.

II.5.6 Diagnosis Banding

Diagnosis banding pemfigus vulgaris adalah penyaki dermatologis lain

yang menimbulkan manifestasi bula besar pasa mukosa oral seperti dermatitis

hepetiformis. Dermatitis hepetiformis memiliki letak vesikel di subepidermal dan

imunofluoresen berbentuk granular di papilla dermis. Selain itu harus dibedakan

juga dengan pemfigoid bulosa yang merupakan bentuk autoimun dermatosis

bulosa yang jarang terjadi merupakan salah satu penyakit yang harus dibedakan

dengan pemfigus vulgaris juga. Dimana perbedaan dengan pemfigoid bulosa yaitu

gambaran IgG seperti pita di membran basalis ketika dilakukan imunofluoresen

dan letak bula subepidermal. Namun pada kasus, diagnosis banding tidak

dicantumkan karena pasien telah menunjukkan gambaran klinis dan hasil biopsi

yang sesuai dengan pemfigus vulgaris.10

II.5.7 Perawatan

Perawatan atau terapi untuk pemfigus dilakukan secara sistemik dan lokal.6

1. Terapi Sistemik

Tujuan perawatan pada penderita pemfigus adalah untuk memperpanjang

umur dengan menekan timbulnya lesi, bukan sebagai perawatan kuratif

terhadap dermatosisnya. Pemfigus merupakan penyakit yang serius dan


57

kompleks, tanpa penanganan yang hati-hati dapat menyebabkan komplikasi

karena penggunaan dosis tinggi kortikosteroid dalam jangka panjang. Oleh

karena itu perawatan pada penderita pemfigus dilakukan di rumah sakit agar

dapat dilakukan pemeriksaan laboratorium, perawata darurat, observasi dan

pengawasan terhadap pemberian preparat kortikosteroid secara teratur dengan

dosis yang tepat. Dengan demikian diharapkan dapat mengurangi efek samping

dari kortokosteroid.

Obat yang khusus bagi penderita pemfigus vulgaris belum ditemukan

secara pasti karena etiologinya yang masih belum jelas. Selama ini yang

digunakan adalah preparat kortikosteroid sebagai antiinflamasi dan obat-obat

imunosupresif, setelah yakin bahwa pemfigus merupakan suatu penyakit

autoimun. Dengan demikian perawatan ditujukan untuk menekan sistem imun.

Sebenarnya penggunaan preparat kortikosteroid tidak dapat menyembuhkan

penyakit, hanya dapat menghambat perkembangan lebih lanjut dari penyakit

ini. Jenis preparat kortikosteroid yang digunakan bermacam-macam termasuk

derivat-derivatnya. Umumnya dimulai dengan steroid dengan dosis 500-1000

mg hidrokortison atau ekuivalensinya per hari. Jika tidak timbul erupsi baru

dalam 1 minggu, dosisnya dapat dikurangi secara bertahap, sesuai dengan

keparahan kasus dan respon lesi terhadap terapi. Jika erupsi telah terkontrol,

steroid dikurangi 10% per minggu.

Obat-obat agen imunosupresif yang biasa digunakan adalah cyclosporine,

azathioprine (imuran), methorexate dan cyclophosphamide (cytoxan). Dengan

mengkombinasi kortikosteroid (prednisolone atau prednison) dengan agen


58

imunosupresif di atas, maka dapat mengurangi komplikasi. Dosis bertahap dari

agen imunosupresif oral atau intravena dapat mengurangi efek kumulatif dan

efek samping.

Jika lesi meluas ke gingiva maka perlu dilakukan pemeliharaan oral

higiene yang baik untuk mengurangi plak. Tetapi harus dilakukan hati-hati dan

hindari tekanan pada jaringan karena epitelium penderita pemfigus vulgaris

sangat rapuh dan tekanan yang berlebihan dapat menimbulkan erosi.

Pada penderita dengan pemfigus vulgaris berat atau yang berkembang

cepat, biasanya diterapi dengan glukokortikosteroid dosis tinggi. Tetapi

penggunaan dalam jangka panjang mempunyai efek samping yang berbahaya

termasuk perdarahan gastrointestinal, osteoporosis, hiperglikemia, hipertensi

dan reaksi psikotik. Terapi dengan mengkombinasi kortikosteroid

(prednisolone atau prednisone) dengan obat imunosupresif seperti

cyclosporine, azathioprine, methotrexate dan cyclosphamide, maka dosis

kortikosteroid dapat dikurangi sehingga mengurangi komplikasi. Pemberian

dosis obat imunosupresif secara bertahap dapat mengurangi efek kumulatif dan

efek sampingnya. Terapi emas atau gold therapy digunakan terutama pada

pasien dengan komplikasi steroid.

2. Terapi Lokal

Lesi-lesi yang terbuka akibat pecahnya bula biasanya menimbulkan rasa

terbakar dan rasa sakit yang hebat, sehingga sangat mengganggu penderita.

Lesi di dalam rongga mulut menyebabkan rasa sakit terutama waktu berbicara,

mengunyah dan menelan. Karena erosi mulut tampak pertama kali dan paling
59

akhir sembuh, diperlukan terapi lokal untuk mengatasi rasa sakit dan

ketidaknyamanan di mulut. Pemberian obat secara topikal hanya bersifat

penunjang, dapat membantu pengobatan secara sistemik tetapi bukan pengganti

terapi kortikosteroid sistemik.

Obat-obatan yang dapat diberikan secara topikal adalah:

1) Triamcinolone acetanide (kenalog in orabase atau in orahesive) dapat

digunakan untuk mengontrol dan menekan erosi mulut

2) Nuporal lozanges atau 5% xylocaine oinment, dyclonine hydrochloride

(dyclone), benzocaine in orabase, dapat menghilangakan rasa sakit

(anestetik topikal)

Selain itu dihindari obat kumur yang mengiritasi dan antiseptik topikal kuat dan

bahan-bahan kaustik seperti fenol, perat nitrat, camfon dan seng klorida

II.6 Manifestasi Oral Pemfigus Vulgaris (Nailatul Husna)

80-90% pasien pemfigus vulgaris mengalami lesi oral selama perjalanan

penyakit, dengan 60% kasus menunjukkan bahwa lesi oral merupakan manifestasi

awal terjadinya PV. Lesi oral biasanya berbentuk ulser ireguler yang disebabkan

oleh bula yang sangat mudah pecah pada daerah yang tidak terinflamasi. Lapisan

tipis epitelium mengelupas dalam pola ireguler, meninggalkan dasar gundul,

membentuk ulser kronis yang sakit dan berdarah, serta erosi yang sulit pulih. Tepi

lesi akan terus meluas dalam beberapa minggu hingga melibatkan sebagian besar

mukosa mulut. Pasien mengeluhkan sakit dan adanya sensasi terbakar pada

rongga mulut terutama saat makan makanan yang pedas dan asam. Lesi seringkali

muncul pada mukosa bukal, di sepanjang dataran oklusal karena area tersebut
60

mudah mengalami trauma. Palatum, lidah bagian depan, bibir bawah, gingiva

adalah area lain yang sering terlibat.1,5

Gambar II-3 Ulser Irreguler pada Mukosa Bukal (Greenberg, 2008)

Gambar II-4 Erosi pada Bibir Bawah (Bascones, 2010)

Lesi erosi yang banyak dan persisten muncul pada mukosa oral selama stase

awal PV. Terkadang, lesi erosi juga muncul di gingiva, terutama pada area free

gingiva dimana sulit diidentifikasi sebagai lesi “blister”. Pada stase lanjutan PV,

dapat terlihat desquamatif atau erosive gingivitis. Manifestasi oral lainnya

termasuk sialorrhea, halitosis dan pembentukan lanjutan dari krusta yang coklat

atau hitam pada vermilion border.5


61

Gambar II-5 Keterlibatan Free dan Attached Gingiva (Bascones, 2010)

Pemfigus vulgaris dapat menyerang mukosa lain selain mukosa oral, yaitu

mukosa konjungtiva, hidung, faring, laring, esofagus, genital dan anal.

Selanjutnya blister atau benjolan yang melepuh muncul pada kulit secara

asimtomatik. Blister pada kulit cenderung utuh daripada blister pada mukosa yang

mudah pecah karena adanya trauma.5

Lesi oral biasanya muncul beberapa bulan sebelum terbentuknya lesi kulit.

Jika perawatan dilakukan selama waktu periode tersebut, penyakit akan mudah

dikontrol dan meningkatkan kesempatan untuk kesembuhan lebih awal. Rata-rata

waktu dari dimulainya penyakit sampai diagnosis membutuhkan waktu 5 bulan,

karena adanya kandidiasis dapat menutupi gambaran klinis khas dari lesi

pemfigus. Selain itu diagnosa awal juga sering meleset menjadi infeksi herpes.1
BAB III

LAPORAN KASUS

III.1 Kasus (Nailatul Husna)

III.1.1 Introduction

Pemfigus vulgaris (PV) adalah suatu penyakit autoimun yang

memberikan gambaran kulit dan membran mukosa yang melepuh.

Autoantibodi diarahkan langsung menyerang permukaan keratin yang

menyebabkan hilangnya adesi antar sel pada epidermis. PV biasanya

menyerang orang di rentang usia 40-60 tahun. Penyakit ini jarang terjadi

pada anak-anak dan remaja. Pemfigus vulgaris yang menyerang remaja

kurang dari 18 tahun disebut dengan Juvenile pemphigus vulgaris (JPV).

JPV dan PV memiliki gambaran histopatologi, imunopatologi dan klinis

yang mirip. Kebanyakan pasien JPV memiliki lesi mukosa dan kulit,

dimana lesi mukosa oral muncul sebagai manifestasi awal. Penanganan PV

yaitu dengan pemberian kortikosteroid dalam dosis tinggi untuk

mengontrol rasa sakit dan penyebaran lesi selama fase akut. Setelah fase

akut terkontrol, agen immunosupresif (ISAs) digunakan untuk efek hemat

steroid dan untuk mengurangi produksi autoantibodi yang patogen. Pada

kasus ini dilaporkan seorang remaja 17 tahun yang mengalami oral ulcer

kronis dan didiagnosa pemfigus vulgaris berdasarkan penemuan

histopatologi dan imunofluoresensi langsung.

62
III.1.2 Laporan Kasus

Seorang remaja Taiwan berusia 17 tahun, sebelumnya dalam

keadaan sehat, mengalami oral ulser yang sakit selama kurang lebih 3

bulan. Pada awalnya, dia telah didiagnosa hand-foot-mouth disease. Pasien

menerima perawatan suportif seperti pemberian analgesik dan anestesi

lokal spray, tetapi efeknya terbatas dan oral ulser tidak sembuh. Pasien

menyangkal adanya infeksi atau penggunaan obat baru-baru ini. Tidak ada

riwayat keluarga yang pernah mengalami penyakit autoimun sebelumnya.

Pasien memeriksakan kondisinya ke bagian THT. Oral ulser tetap

ada dan muncul refactory mucositis, oleh karena itu prednisolon (0,35

mg/kg/hari) diresepkan selama 1 bulan. Akan tetapi, efek obat terbatas.

Selain itu, beberapa vesikel muncul bersamaan di bagian bibir, leher,

tangan, badan, ekstremitas dan paha sampai pantat.

Pasien memiliki riwayat batuk selama 6-8 minggu, kelelahan dan

kehilangan berat badan (4 kg), serta mengeluhkan oral ulser yang terasa

sakit. Berat badan pasien berada di bawah BMI : 16 kg/m 2 dengan keadaan

pucat pasi. Pemeriksaan wajah menunjukkan multipel oral ulser dengan

krusta dan jaringan nekrotik terdistribusi dari bagian luar bibir sampai

palatum lunak dan palatum keras. Vesikel bulat dan bula yang berisi

serous, sedikit tegang, tersebar melewati lengan dan badan. Diagnosis

banding awal termasuk infeksi virus herpes, HIV, Behcet’s disease, dan

imunodefisiensi. Tes smear tzanck dilakukan dan menghasilkan gambaran

sel raksasa berinti banyak. Dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

63
Gambar III-6 Oral Ulser dengan Krusta dan Jaringan Nekrotik

pada Sekitar Mulut Pasien

Gambar III-7 Vesikel dan Bula yang Menyebar di Lengan dan Badan

Pemeriksaan laboratorium menunjukkan eosinofil (9,2%) dan

diferensiasi predominan limfosit sel darah putih (50,4%), sedimentasi

eritrosit yang memanjang (18mm/jam), pemanjangan protein C-reactif

(1,08 mg/dL), penurunan tingkat immunoglobulin G (IgG) (623 mg/dL),

64
dan titer negatif untuk skrining HIV, antinuklear antibodi, kultur darah,

virus herpes simpleks 1 (HSV-1) IgM, HSV-2 IgM, dan VZV IgM, namun

titer positif untuk virus varicella zooster IgG. Gambaran radiografi

menunjukkan peningkatan infiltrasi kedua paru-paru.

Pasien menerima acyclovir (1500 mg/m2/hari) untuk pengobatan

awal (infeksi chicken pox). Oxacilin (93 mg/kg/hari) juga diberikan untuk

menutup infeksi sekunder oleh bakteri. Intravenous Ig (IVIG; 976

mg/kg/hari) diinjeksikan selama dua hari untuk menangani tingkat IgG

yang rendah yang mungkin berhubungan dengan status nutrisi yang rendah

selama 3 bulan terakhir. Namun, hasilnya tidak begitu memuaskan.

Uveitis diperiksa oleh dokter mata untuk memeriksa Behcet’s

disease, namun hasilnya negatif. Meskipun demikian, Bula yang lebih

lembek muncul di sisi medial bilateral paha selama masa rawat inap. Oleh

karena itu biopsi kulit dilakukan. Temuan histopatologi termasuk

acantholysis dan keratinosit suprabasal. Penilaian DIF (Direct

immunofluorescence) menunjukkan interseluler IgG dan C3 terwarnai

terutama pada lapisan suprabsal epidermis, dengan demikin diagnosa

pemfigus dapat ditegakkan.

65
Gambar III-8 DIF Menunjukkan IgG Terdeposit di Substansi Interseluler

pada Epidermis

CT scan abdomen dilakukan untuk mengetahui paraneoplastik

pemfigus (PNP) karena usia pasien dan adanya bula pada bagian leher dan

pergelangan. Hasil menunjukkan tidak adanya pembesaran kelenjar limfa

pada mediastinum, daerah para-aortic ataupun pada bilateral iliac chain.

Maka dari itu, dilakukan penghentian acyclovir dan pasien diresepkan

metilprednisolon intravena (1,2 mg/kg/hari).

Setelah terapi steroid, kondisi pasien pulih dengan cepat. Oral ulser

dan vesikel sembuh, serta nafsu makan meningkat. Pasien dirujuk ke

spesialis pemfigus vulgaris di National Taiwan University Hospital

(NTUH) untuk perawatan lebih lanjut. Bahkan dengan penggunaan

prednisolon dosis tinggi, beberapa vesikel masih bertahan. Setelah

dilakukan informed consent, pasien diresepkan intravena rituximab (500

mg) mingguan untuk empat dosis sebagai protokol sebelum menggunakan

obat lain dalam mengobati PV di departemen dermatologis NTUH. Saat

ini kondisi pasien sudah terkendali dan tanpa penggunaan obat oral.

66
BAB IV

PEMBAHASAN

IV.1 Diskusi Kasus (Eva Istikomah Kusuma Wardani)

Pemfigus vulgaris merupakan kelompok penyakit kulit autoimun yang

memiliki karakteristik bentuk blister (gelembung) yang terjadi pada epidermis

yang disebabkan karena akantolisis, yaitu hilangnya kohesi antara sel epidermal.

Pemfigus vulgaris biasanya terjadi diawali pada daerah orofaring dan kemudian

menyebar ke daerah yang melibatkan tubuh, kepala dan daerah lipatan tubuh.3

Sekitar 50% hingga 90% kasus pemfigus vulgaris memiliki manifestasi awal

berupa lesi di rongga mulut sekitar 2 hingga 6 bulan sebelum menyebar ke kulit

atau membran mukosa lain, memiliki ciri khas timbulnya bula yang lunak serta

mudah pecah pada kulit dan membran mukosa, terjadi pada pasien berusia antara

30 hingga 60 tahun. Lesi bula pada mukosa rongga mulut memiliki dinding yang

tipis, mudah pecah bila terkena trauma menjadi ulser multipel kronis dan lesi

erosif yang sulit untuk sembuh, apabila terlambat atau tidak dirawat maka dapat

berakibat fatal.14 Pemfigus jarang terjadi pada anak-anak, dengan usia rata-rata 12

tahun pada data presentasi.3 Akan tetapi di India, pasien pemfigus vulgaris lebih

banyak terjadi pada usia muda.15

Stomatitis merupakan gejala yang terjadi pada 50% kasus. Epistaksis dan

serak pada tenggorokan juga terjadi pada daerah yang berhubungan dengan

hidung, faring dan laring. Sebagian besar pasien menunjukan tanda erosi oral

yang sakit, dan pada beberapa kasus ini merupakan satu-satunya manifestasi

klinis. Sebulan sebelum lesi pada kulit terjadi. Hal tersebut sesuai dengan kasus
ini.3 Beberapa penelitian memperlihatkan adanya perbedaan prevalensi lesi oral

sebagai manifestasi awal PV pada daerah-daerah yang berbeda seperti 66% di

Bulgaria, 83% di Italia dan 92% di Israel.14 Diagnosis pemfigus vulgaris sering

tertunda jika hanya lesi oral sebagai manifestasinya, dan indeks kecurigaan akan

berkurang pada pasien muda karena insidensi pemfigus vulgaris yang jarang pada

anak-anak.3

Penyebab pasti timbulnya penyakit ini belum diketahui, namun

kemungkinan yang relevan adalah berkaitan dengan faktor genetik, lebih sering

menyerang pasien yang sudah menderita penyakit autoimun lainnya (terutama

miastenia gravis dan timoma), serta dapat dipicu karena penggunaan penisilin dan

captopril.15 Faktor genetik merupakan predisposisi yang kuat untuk terjadinya

pemfigus vulgaris. Diperkirakan terdapat mekanisme autoimun, karena

ditemukannya antibodi pada lesi kulit dan mukosa yang terletak pada ruang

interseluler di antara sel-sel epitel.3

Lesi kulit pada pasien ini berbeda dengan tipe flaccid bula yang terjadi pada

pemfigus vulgaris. Vesikel dan bula relatif keras. Oleh karena itu, paraneoplastic

phempigus (PNP) telah diduga karena menyerupai PV. Pada PNP, gelembung

keras dengan dikelilingi eritema lebih sering terlihat pada ekskremitas daripada

bagian lainnya. PNP berhubungan dengan non-Hodgkin lyphoma, thymomas,

castleman’s disease, dan chronic lymphocytic lymphoma. Pada pasien muda ini

memiliki vacuolar interface dermatitis pada pemeriksaan histopatologi dan IgG

serta dilengkapi endapan disepanjang zona dasar membran (BMZ) pada temuan
DIF (Direct Immunofluorescence). Hal tersebut yang menyatakan dugaan

pemfigus vulgaris.3

Umumnya terapi pilihan untuk pemfigus vulgaris hingga saat ini adalah

kortikosteroid per oral atau intra vena tergantung tingkat keparahan penyakitnya.

Dapat juga diberikan obat immunosupresan lain seperti Azathioprin sebagai terapi

penyerta bila pemberian kortikosteroid dilakukan dalam waktu yang lama untuk

menghindari adanya efek samping dari steroid.14 Kortikosteroid sistemik, murni

atau dicampur dengan ISA (Immunosupresif Agent) lain merupakan perawatan

utama untuk PV pada anak-anak. Obat ini mengurangi sintesis antibodi.

Prednisolone merupakan agen pertama pada dosis 1-2 mg/kg/hari. Pada kasus ini,

digunakan methylprednisolone (1-2 mg/kg/hari) dan memberikan pengaruh yang

baik. Ulser dan bula mulai hilang. IVIG (Intravenous Ig) (1 g/kg/hari x 2 hari)

telah diberikan sebelum steroid diberikan. Akan tetapi, lesi kulit tidak berkurang

dan terbentuk bula baru lainnya. Dosis IVIG yang digunakan untuk PV adalah 2

g/kg/cycle pada penelitian sebelumnya. Frekuensi pemberian infus adalah setiap

bulan sampai respon klinis yang memuaskan tercapai. Jumlah total siklus

bervariasi dari 19-61 bulan (rata-rata: 28.5 bulan). Indikasi untuk IVIG adalah

kurangnya respon pada prednisolone atau adanya efek samping. Diduga bahwa

satu siklus IVIG tidak cukup untuk mencapai peningkatan klinis. Tetapi secara

kontras, banyaknya IVIG dan kemungkinan adanya kardiovaskuler berhubungan

dengan sindrom hiperviskositas membuat IVIG adalah pilihan untuk pasien yang

memiliki corticosteroid-refractory PV. Berdasarkan keadaan umum bahwa

pemfigus merupakan kelainan autoimun utama autoantibodi bawaan, terapi yang


dapat menghilangkan autoreactive B-cell clones telah diperiksa untuk perawatan

pemfigus. Rituximab, sebuah antibodi monoklonal diberikan untuk melawan

antigen CD20 pada limfosit B, telah menunjukan keberhasilan untuk PV dan

pemfigus foliaceus.3

Kami melaporkan sebuah kasus Juvenile Pemphigus Vulgaris yang

ditunjukan dengan oral ulser parah dan vesikel menyeluruh. Diagnosis ditunda

berhubungan dengan jarangnya penyakit tersebut pada anak-anak. Berdasarkan

kasus ini, penyakit autoimun bula harus disebutkan pada diagnosis banding ketika

pada anak-anak memiliki lesi oral yang parah dan sulit diatasi. PNP harus

dikesampingkan jika terdapat atipikal vesikel dan kemungkinan tidak

ditemukannya keganasan. Steroid merupakan obat utama dari PV dan rituximab

pada kasus yang sulit diatasi dan efek steroid-sparing.


BAB V

SIMPULAN

5.1 Simpulan (Eva Istikomah Kusuma Wardani)

Berdasarkan laporan kasus yang telah dijelaskan dapat disimpulkan bahwa

pemfigus vulgaris merupakan penyakit autoimun dengan manifestasi berupa

kondisi lepuhan pada permukaan kulit dan atau mukosa. Bagian tubuh yang paling

sering terinfeksi adalah pada rongga mulut dan merupakan daerah pertama yang

terinfeksi sebelum munculnya lesi pada kulit. Penyakit ini jarang terjadi pada

pasien anak-anak. Perlu dilakukan beberapa pemeriksaan untuk mendiagnosa

penyakit ini seperti pemeriksaan laboratorium dan CT scan. Steroid merupakan

obat utama dan dianjurkan untuk perawatan penyakit pemfigus vulgaris.


72
DAFTAR PUSTAKA

1. Greenberg MS, Glick M, Ship J. Burket’s Oral Medicine. 11th Ed.


Hamilton: BC Decker Inc; 2008. 509-516 p.
2. Arpita R, Monica A, Venkatesh N, Atul S, Varun M. Oral Pemphigus
Vulgaris : Case Report. Ethiop J Heal Sci. 2015;25(4):367–72.
3. Chen I, Mu S, Tsai D, Chou Y, Wang L, Wang L. Oral Ulcers as an Initial
Presentation of Juvenile Pemphigus : A Case Report. Pediatr Neonatol.
2016;57(4):338–42.
4. Asarch A, Ahmed AR, Gu HM. A Current Review of Juvenile Pemphigus
Vulgaris. Am J Clin Dermatology. 2010;11(1):21–33.
5. Bascones-martinez A, Munoz-corcuera M, Bascones-ilundain C, Esparza-
gómez G. Oral Manifestations of Pemphigus Vulgaris : Clinical
Presentation , Differential Diagnosis and Management. J Clin Exp
Dermatol Res. 2010;1(2):1–4.
6. The Immune System and Primary Immunodeficiency [Internet]. Immune
Deficiency Foundation. Available
from:https://primaryimmune.org/immune-system-and-primary
immunodeficiency
7. Immunology [Internet]. The Biology Project. 2000. Available from:
http://www.biology.arizona.edu/immunology/tutorials/immunology/page3.
html
8. McCusker C, Warrington R. Primary immunodeficiency. Allergy, Asthma
& Clinical Immunology. 2011;7(1 :11):1–8.
9. Tarmidi M, Noegroho H S. Pemfigus Vulgaris Manifestasi di Mulut dan
Penatalaksanaannya. Jurnal Kedokteran Gigi Universitas
Indonesia.2001;8(3):35-43
10. Gorlin R J, Goldman H M. Thomas Oral Pathology 6th ed.St. Louis: CV
Mosby Co.1970:2;673-5.
11. Rezeki S, Setyawati T. Pemfigus vulgaris:Pentingnya Diagnosis Dini,
Penatalaksanaan yang Komprehensif dan Adekuat (Laporan Kasus).
Indonesian Journal of Dentistry.2009;16(1):1-7
12. British Association of Dermatologists. Pemfigus vulgaris. British
Association of Dermatologists Patient Leaflet.2018;
13. Mahadewi K A R, Darmada I G K, Rusyati L M M. Pemfigus Vulgaris
Pada Wanita. SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan kelamin FK Universitas
Udayana. 2014; 10(1)
14. Gunawan I, Setiadhi R. Manifestasi dan Penatalaksanaan Pemfigus Vulgaris
Di Rongga Mulut. Jurnal B-Dent. 2015;2(2):117- 124.

73
74

15. Syuhar M A. A 56 Years Old Man With Pemphigus Vulgaris. J Medula


Unila. 2014;3(2)
75

Anda mungkin juga menyukai