Anda di halaman 1dari 64

JETri, Volume 9, Nomor 2, Februari 2010, ISSN 1412-0372

Susunan Dewan Penyunting Jurnal Teknik Elektro


“JETri” FTI-Universitas Trisakti

Penanggung Jawab : Ketua Jurusan Teknik Elektro


Pimpinan Redaksi : Yuli Kurnia Ningsih
Wakil Pimpinan Redaksi : Raymond T.
Bendahara : Susan Sulaiman
Redaksi Pelaksana : Rudy S. W.
Ferrianto Gozali
Gunawan Tjahjadi
Syamsir Abduh
Irda Winarsih
Henry Chandra
Penyunting Teknis : Mirza
Sekretariat : Ani S.

Mitra Bestari : Dr. Eko Adhi Setiawan, ST, MT (UI)


Ir. Ferrianto Gozali, MSCS
Prof. Ir. Samuel H.T., MSc (Usakti)
Ir. Djiteng Marsudi (PLN)
Dr. Ir. Engelin Shinta Julian, MT (Usakti)
Prof. Ir. Syamsir Abduh, PhD (Usakti)
Prof. Dr. Ir. R.J. Widodo, MSc (ITB)
Prof. Dr. Dali S. Naga (Univ. Negeri Jakarta)
Dr. Ir. Tjandra Susila, MEng (Pasca Sarjana Usakti)
Publikasi : Lim Ek Bien

Alamat penerbit : Jurusan Teknik Elektro-FTI


Universitas Trisakti Kampus A
Jl. Kyai Tapa No. 1 Jakarta 11440
Telp. : 5663232 Pesawat 8413 Fax 5605841
E-mail : Redaksi_jetri@trisakti.ac.id
WEB : http://blog.trisakti.ac.id

Jurnal Teknik Elektro terbit 2 (dua) kali dalam setahun pada bulan Februari dan
Agustus. Penerbit menerima karangan ilmiah berupa hasil penelitian, survei dan
telaah pustaka yang erat kaitannya dengan IPTEK bidang Teknik Elektro.
Pedoman penulisan dapat dilihat pada halaman belakang.
JETri, Volume 9, Nomor 2, Februari 2010, ISSN 1412-0372

Daftar Isi

Halaman
PENERAPAN MODULASI DPSK PADA TRANSMISI
SERAT OPTIK
Harumi Yuniarti & Bambang Cholis 1

ANALISIS HASIL PENERAPAN BASE TRANSCEIVER


STATION HIGH CAPACITY PADA GLOBAL SYSTEM
FOR MOBILE
Suhartati Agoes & Nelly 13

PENGATUR KETINGGIAN AIR OTOMATIS


Kiki Prawiroredjo, Ignatius Melvin Susantio 25

ANALISA PENGARUH PEMBEBANAN TERHADAP


SUSUT UMUR TRANSFORMATOR TENAGA (STUDI
KASUS TRAFO GTG 1.3 PLTGU TAMBAK LOROK
SEMARANG)
Riana Naiborhu 45
JETri, Volume 9, Nomor 2, Februari 2010, ISSN 1412-0372

Editorial

Beberapa topik analisis pendayagunaan konsep dan teknologi


kelistrikan dalam berbagai bidang penggunaannya atau aplikasinya (Teknik
Tenaga Listrik, Telekomunikasi, Kendali, Elektronika dan Teknik
Komputer) menyertai terbitan jurnal JETri kali ini.
Unjuk kerja penggunaan serat optik pada transmisi besaran suara
dan atau non-suara (data, gambar, grafik dan video) yang berupa perbesaran
kapasitas dan kecepatan perpindahan data, peningkatan, ketelitian dan
kerahasiaan penerimaan data dan lain sebagainya; sangatlah ditentukan oleh
perbaikan kualitas signal sebagai representasi data di saluran
komunikasinya (wave condition) dan teknik pemodulasiannya dengan
menggunakan metode modulation Mach Zehnder sebagai contoh bahasan.
Implementasi konsep dan teknologi High Capacity Base
Transceiver Station (Hi-Cap BTS) pada jaringan komunikasi bergerak
seluler dapat meningkatkan kapasitas saluran data untuk berbagai aplikasi
dan lalu lintas data sebesar empat kali dan pada kemampuan BTS pada
umumnya. Hal ini terlihat pada perbaikan beberapa parameter transmisi
datanya: Traffik Rate (TR), Drop Call Rate (DCR), Handover Success Rate
(HOSR) dan Stand-alone Dedicated Control Channel Succes Rate (SDSR).
Penggunaan sistem pengaturan berbasis teknologi Mikrokontroller,
misaknya Atmega 8535(L) Microcontroller, semakin bervariasi dalam
kehidupan sehari-hari; seperti pada pengaturan pengisian tangki
penyimpanan air (toren) secara bertahap (5 tingkatan) dengan menggunakan
dua motor dalam rangka percepatan waktu pengisiannya.
Pengaturan pembenanan pada transformator tenaga di unit-unit
pembamgkitan tenaga listrik sepeti misalnya di PLTGU Tambak Lorok
Semarang, ternyata dapat memperpanjang umur kerja transformator yang
bersangkutan; disamping pengaturan suhu ruang operasi, kualitas oli yang
digunakan beserta daya isolasi kumparan pada trafo tersebut.
Dengan mamahami berbagai hasil analisis topik-topik pada terbitan
JETri kali ini, maka fungsi dan peranan jurnal ilmiah ini makin
berdayaguna bagi para Pembacanya yang berkepentingan.

Jakarta, Februari 2010


Tim Redaksi Jetri
JETri, Volume 9, Nomor 2, Februari 2010, ISSN 1412-0372

PEDOMAN PENULISAN ARTIKEL ILMIAH

I. Kriteria umum penilaian artikel ilmiah yang akan diterbitkan :


1. Merupakan karya asli penulis,belum pernah diterbitkan.
2. Berupa hasil penelitian atau non penelitian (konseptual) mempunyai relevansi yang
aktual khususnya bidang ilmu Teknik Elektro.
3. Tulisan dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris, dengan bahasa ilmiah, tata bahasa
yang baku, sederhana, jelas dan komunikatif, diketik dalam MS word.
II. Format Penulisan.
1. Artikel hasil penelitian maupun konseptual memuat Judul, Nama Penulis, Abstract,
Keywords, Pendahuluan, Landasan Teori, Metodologi, Hasil Penelitian atau
Pembahasan, Kesimpulan dan Saran serta Daftar Pustaka.
2. Panjang artikel maksimal 15 lembar, 1 spasi, termasuk gambar, tabel dan grafik.
3. Ukuran kertas: A4, satu muka. Margin: atas & kiri = 3 cm, bawah & kanan = 2 cm.
4. Mode huruf yang digunakan Times New Roman
5. Ukuran dan tipe huruf sbb: Judul (huruf kapital, 14 pt, bold), Nama Penulis lengkap
tanpa gelar (11 pt, italic), Posisi, Jurusan, Nama Institusi (11 pt, normal), Abstract (9 pt,
italic, English word,max 100 kata), Keywords (9 pt, italic, English word), Sub Judul (11
pt, normal, bold), Isi Tulisan (11 pt, normal).
6. Kata-kata asing ditulis dengan huruf miring.
7. Gambar dan tabel diberi nomor urut dan judul. Judul gambar ditulis di bawah tengah,
judul tabel ditulis di atas tengah.
8. Rujukan ditulis dengan menuliskan nama pengarang, tahun terbit dan halaman
bersangkutan, di dalam tanda kurung. Contoh: (Stallings, 2001: 15).
9. Daftar pustaka diberi nomor urut berdasarkan urutan abjad nama pengarang. Contoh sbb:
a. Buku: Strunk, W.,Jr. & White, E.B. 1997. The Elements of Style. New York: Macmillan.
(Nama pengarang. Tahun terbit. Judul buku (tulis miring). Tempat terbit: Nama
Penerbit).
b. Majalah: Huda, M. 13 Mei 1991. Menyiasati Krisis Listrik. Jawa Pos: hal. 3 (Nama
pengarang. Tanggal terbit. Judul tulisan tidak miring. Nama Majalah ditulis miring:
Halaman).
c. Jurnal/paper: Pangaribuan,T. 1992. Perkembangan Kompetensi Kewacanaan di LPTK.
Disertasi. Malang: Program Pascasarjana IKIP MALANG. (Nama penulis. Tahun. Judul
ditulis miring. Disertasi. Tempat dan Instansi).
d. Internet: Hitcock, S. The Calm before the Strom, (Online), (http://journal.ecs.soton.ac.
diakses 12 Juli 1996: 16.30 WIB). (Nama pengarang. Judul. (Online), alamat sumber,
tanggal diakses, waktu akses).
10. Sistem penomoran Arab: 1, 2, 3 dst. (contoh: 1. Pendahuluan, 2. Landasan Teori)
III. Ketentuan Lain
1. Dikirim dalam bentuk 2 eksemplar, hard copy & disket 3,5" berlabel nama, alamat dan
judul.
2. Dewan Penyunting tidak bertanggung-jawab terhadap implikasi tulisan yang dimuat.
3. Dewan Penyunting mempunyai hak mengedit redaksionalnya tanpa mengubah arti.
4. Perbaikan naskah setelah diedit hanya diberikan 2X (dua kali) koresponden.
5. Penulis yang naskahnya dimuat, akan mendapatkan 1 (satu) buah jurnal dan 2 (dua) buah
cetak lepas artikel yang bersangkutan.
JETri, Volume 9, Nomor 2, Februari 2010, Halaman 1 - 12, ISSN 1412-0372

PENERAPAN MODULASI DPSK PADA


TRANSMISI SERAT OPTIK

Harumi Yuniarti & Bambang Cholis


Dosen-Dosen Fakultas Teknologi Industri, Universitas Trisakti
harumiwo@yahoo.com, bcholis@yahoo.com

Abstract
Nowadays the implementions of the transmission modulation techniques (high channel
capacity) in optical fibres have been widely developed, one of the successful key factors of
this system is the application of digital modulation techniques and the adjustment of
modulation pattern. Modulation pattern of adjustment measures on the operational
requirements of the system was made possible by the utilization of techniques Apol RZ-DPSK
(Alternate Polarization Return-to-Zero Differential Phase Shift Keying). It is considered
likely because it can reduce the effects of inter-channel non-linearity, noise and
simultaneously demonstrates increasing system margins.

Keywords: ASK, FSK, PSK, DPSK, NRZ-DPSK, RZ-DPSK, Apol RZ-DPSK

1. Pendahuluan
Sistem komunikasi transmisi serat optik berkembang pesat baik
berupa komunikasi suara, video dan data. Pemanfaatan serat optik pada
sistem transmisi merupakan nilai tambah dari suatu teknologi handal yang
berkapasitas kanal besar, kecepatan tinggi, penerimaan data yang lebih
akurat, teliti dapat dipercaya dan terjamin kerahasiaannya. Faktor kunci
teknik pencapaian hasil tersebut, diataranya melalui perbaikan sinyal
dengan menyesuaian pola modulasi yang digunakan.

Salah satu teknik modulasi yang digunakan pada jaringan sistem


komunikasi serat optik telah dikembangkan dengan format NRZ–OOK
(Non-Return-to-Zero On-Off Keying), sebagai format dasar. Seiring
perkembangan teknologi, NRZ-OOK pun dianggap kurang memuaskan
terutama dalam hal performansi dan toleransinya terhadap efek-efek linier
maupun non-linier yang merupakan bagian penting dari sistem ini. Berbagai
usaha dilakukan untuk mendapatkan sistem format modulasi yang
memenuhi kebutuhan pengiriman data yang semakin besar. Salah satunya
dengan menggunakan suatu modulator eksternal (Mach Zehnder) yang
dapat menghasilkan berbagai macam format modulasi. Modulator Mach
Zehnder menghasilkan beberapa jenis format modulasi optik. Beberapa
modulasi yang dihasilkan mampu menjawab kebutuhan performansi yang
lebih baik guna mengimbangi pesatnya perkembangan teknologi, baik dari
JETri, Volume 9, Nomor 2, Februari 2010, Halaman 1 - 12, ISSN 1412-0372

segi kecepatan data maupun kebutuhan serta kualitas sinyal yang baik.
Untuk mengetahui format mana dari keluaran Mach Zehnder yang memiliki
performansi yang lebih baik, telah dilaporkan pula bahwa beberapa format
modulasi yang dihasilkan modulator Mach Zehnder yaitu NRZ-DPSK (Non-
Return-to-Zero Differential Phase Shift Keying) dan RZ-DPSK.(Return-to-
Zero Differential Phase Shift Keying)

2. Teknik Modulasi
Proses penumpangan sinyal-sinyal informasi (optik) ke dalam
sinyal pembawa (carrier), sehingga dapat ditransmisikan ke tujuan, disebut
modulasi optik. Modulasi optik atau modulasi cahaya adalah teknik
modulasi yang menggunakan berkas cahaya berupa pulsa-pulsa cahaya
sebagai sinyal pembawa informasi. Berkas cahaya yang digunakan disini
adalah berkas cahaya yang dihasilkan oleh suatu sumber cahaya (laser atau
LED). Dibandingkan dengan modulasi konvensional, modulasi cahaya
memiliki keunggulan dalam hal ketahanan terhadap noise yang sangat
tinggi, karena sinyal tidak dipengaruhi medan elektromagnet. Di samping
itu, sistem ini memungkinkan adanya bitrate hingga mencapai ratusan
gigabit per detik. Dalam modulasi optik, sinyal dapat dimodulasi
amplitudonya yang dikenal dengan modulasi intensitas (Intensity
Modulation) berupa Amplitudo Shift Keying (ASK) / On-Off Keying (OOK).
Selain itu, berkas cahaya dapat juga dimodulasi frekuensinya atau lebih
tepat modulasi panjang gelombang (Wavelength Modulation). Dan yang
ketiga adalah dimodulasi fasanya (Phasa Modulation).

2.1. Modulasi Digital


Modulasi digital merupakan proses penumpangan sinyal digital (bit
stream) ke dalam sinyal carrier. Modulasi digital sebetulnya adalah proses
mengubah-ubah karakteristik dan sifat gelombang pembawa (carrier)
sedemikian rupa sehingga bentuk hasilnya (modulated carrier) memeliki
ciri-ciri dari bit-bit (0 atau 1) yang dikandungnya. Dengan mengamati
modulated carriernya diketahui urutan bitnya disertai clock (timing,
sinkronisasi). Melalui proses modulasi digital sinyal-sinyal digital setiap
tingkatan dapat dikirim ke penerima dengan baik. Transmini digital telah
menggantikan transmisi analog, hal ini disebabkan transmisi digital
memungkinkan pemrosesan sinyal lebih mudah, kualitas transmisi yang
lebih baik serta lebih kebal terhadap noise (gangguan). Pada dasarnya
dikenal 3 prinsip atau sistem modulasi digital yaitu: ASK, FSK, dan PSK
(Afrizal Y., dkk, 2006: np).

2
Harumi Yuniarti & Bambang Cholis.Teknik Modulasi Transmisi Serat Optik

2.1.1. Amplitude Shift Keying


Amplitude Shift Keying (ASK) atau pengiriman sinyal berdasarkan
pergeseran atau mengubah-ubah amplitude. Dalam proses modulasi ini
kemunculan frekuensi gelombang pembawa tergantung pada ada atau tidak
adanya sinyal informasi digital. Keuntungan yang diperoleh dari metode ini
adalah bit per baud (kecepatan digital) lebih besar. Sedangkan kesulitannya
adalah dalam menentukan level acuan yang dimilikinya, yakni setiap sinyal
yang diteruskan melalui saluran transmisi jarak jauh selalu dipengaruhi oleh
redaman dan distorsi lainnya. Metoda ASK hanya menguntungkan untuk
hubungan jarak dekat. Faktor noise harus diperhitungkan dengan teliti,
seperti juga pada sistem modulasi AM. Noise menindih puncak bentuk-
bentuk gelombang yang berlevel banyak sukar mendeteksi dengan tepat
menjadi level ambangnya. Gambar 1. merupakan Amplitudo Shift Keying.

1 0 0 1

Gambar 1. Amplitudo Shift Keying

ASK disebut juga On-Off Keying (OOK) yang memodulasi sinyal


optik dengan perubahan amplitudo antara “0” dan “1” sementara frekuensi
konstan dan tak ada lompatan fasa.

2.1.2. Frequncy Shift Keying


Frequency Shift Keying (FSK) atau pengiriman sinyal melalui penggeseran
frekuensi. Metoda ini merupakan suatu bentuk modulasi yang
memungkinkan gelombang modulasi menggeser frekuensi output
gelombang pembawa. Pergeseran ini terjadi antara harga-harga yang telah
ditentukan semula dengan gelombang output yang tidak mempunyai fasa
terputus-putus. Dalam proses modulasi ini besarnya frekuensi gelombang
pembawa berubah-ubah sesuai dengan perubahan ada atau tidak adanya
sinyal informasi digital. FSK merupakan metode modulasi yang paling
populer. Dalam proses ini gelombang pembawa digeser ke atas dan ke
bawah untuk memperoleh bit 1 dan bit 0. Gambar 2. merupakan Frequensi
Shift Keying.

3
JETri, Volume 9, Nomor 2, Februari 2010, Halaman 1 - 12, ISSN 1412-0372

1 0 0 1

f1 f0 f0 f1

Gambar 2. Frequensi Shift Keying

2.1.3. Phase Shift Keying


Phase Shift Keying (PSK) atau pengiriman sinyal melalui pergeseran fasa.
Metoda ini merupakan suatu bentuk modulasi fasa yang memungkinkan
fungsi pemodulasi fasa gelombang termodulasi di antara nilai-nilai diskrit
yang telah ditetapkan sebelumnya. Dalam proses modulasi ini fasa dari
frekuensi gelombang pembawa berubah-ubah sesuai dengan perubahan
status sinyal informasi digital. Sudut fasa harus mempunyai acuan kepada
pemancar dan penerima. Akibatnya, sangat diperlukan stabilitas frekuensi
pada pesawat penerima. Guna memudahkan untuk memperoleh stabilitas
pada penerima, kadang-kadang dipakai suatu teknik yang koheren dengan
PSK yang berbeda-beda. Hubungan antara dua sudut fasa yang dikirim
digunakan untuk memelihara stabilitas. Fasa yang ada dapat dideteksi bila
fasa sebelumnya telah diketahui. Hasil dari perbandingan ini dipakai
sebagai patokan (referensi). Untuk transmisi Data atau sinyal Digital
dengan kapasitas, lebih efisien dipilih system modulasi PSK ( SHARP
GP2D12, 2005: np). Gambar 3. merupakan Phase Shift Keying.

1 0 0 1

s1 s0 s0 s1

Gambar 3. Phase Shift Keying

4
Harumi Yuniarti & Bambang Cholis.Teknik Modulasi Transmisi Serat Optik

Pada PSK (Phase Shift Keying) jika terjadi loncatan fasa π


menandakan biner 1 sedangkan biner 0 jika tidak terjadi loncatan fasa.
Sementara untuk DPSK (Differensial Phase Shift Keying) biner 1 ditandai
dengan terjadinya loncatan fasa (perbedaan fasa) π, sedangkan jika tidak
terjadi perbedaan fasa menandakan biner 0. Jadi apabila berturutan biner 1
muncul dua kali, maka akan terjadi berturut-turut loncatan fasa sebesar π
seperti Gambar 4.

0 0 1 1 0 1 0 0 0 1

Gambar 4. Defferential Phase Shift Keying

2.2. Modulator Optik


Modulator optik berfungsi memodulasi cahaya dengan cara
mengubah-ubah amplitudo, frikuensi, fasa, atau intensitas cahaya sehingga
mampu membawa sinyal info. Berdasarkan tempat terjadinya modulasi, ada
2 macam modulasi optik, sehingga dengan sendirinya ada 2 macam
modulator, yaitu modulator internal (internal modulator) dan modulator
eksternal (external modulator). Modulator internal memodulasi cahaya di
dalam perangkat sumber cahayanya, sedangkan modulator eksternal
memodulasi cahaya di luar perangkat sumber cahayanya.

2.2.1. Modulator Internal (Sumber Cahaya)


Ada dua sumber cahaya yang dikenal dalam komunikasi optik:
Light Emitting Diode (LED) dan Illuminating Laser Diode (ILD) yang lebih
sering disebut laser. Laser mempunyai kriteria yang lebih baik dan lebih
cocok untuk sistem yang digunakan daripada LED sebagai sumber cahaya.
Hal ini dianggap Laser lebih kompatible dengan fiber optik jenis single
mode sehingga sangat cocok digunakan untuk komunikasi jarak jauh.

5
JETri, Volume 9, Nomor 2, Februari 2010, Halaman 1 - 12, ISSN 1412-0372

2.2.2. Modulator Eksternal


Modulator eksternal yang digunakan adalah elektro-optik yang
memanfaatkan interaksi sinyal elektrik dengan media interaksi. Interaksi
yang terjadi pada elektro-optik ini adalah terjadinya perubahan indek bias
media interaksi akibat pengaruh medan elektrik yang diberikan kepada
media interaksi tersebut. Jika medan elektrik diberikan kepada media
interaksi optik maka distribusi elektron pada media interaksi akan
terdistorsi dan terpolarisasi sehingga menyebabkan indeks bias media
interaksi berubah secara isotropik sehingga akan mengubah karakteristik
pandu gelombang optik atau karakteristik media interaksi. Dengan
berubahnya karakteristik tersebut maka mode perambatan berkas akan
berubah baik berupa perubahan fasa ataupun panjang gelombang.

Mach Zehnder merupakan jenis modulator eksternal elektro-optik


yang digunakan untuk mempengaruhi berkas cahaya yang melintas dengan
menggunakan medan elektromagnetik tertentu yang dihasilkan oleh pulsa-
pulsa listrik. Atau dengan kata lain modulator ini bekerja berdasarkan
prinsip perpaduan (interferensi) dua berkas cahaya koheren yang
menghasilkan pola garis-garis cahaya (fringe) sesuai dengan besarnya beda
fasa antara dua berkas cahaya tadi. Gambar 5. adalah skema dasar
Interferometer Mach Zehnder. Pada gambar tersebut nampak jelas cara
kerja alat jika dilihat dari arah rambatan cahayanya.

D2

M1 W1 W3
test arm
P

W2 detector
L2

Laser Reference arm


M2

D1
L1

S sumber berkas P titik fokus lensa L2


W1,W2,W3 muka gelombang optik L1 dan L2 lensa kolimator
D1 dan D2 media semi pantul M1 dan M2 cermin pemantul

Gambar 5. Mach Zehnder

6
Harumi Yuniarti & Bambang Cholis.Teknik Modulasi Transmisi Serat Optik

Perbedaan fasa yang terjadi bisa disebabkan dua hal, yaitu


perbedaan fasa karena pemantulan atau perbedaan karena lintasan. Pada
kasus ini perbedaan fasa yang ditimbulkan disebabkan karena perbedaan
lintasan yang ditempuh kedua berkas sinar. Perbedaan fasa akibat pantulan
tidak terjadi, karena pantulan masing-masing berkas sinar sama, yaitu tiap
berkas sama-sama mengalami dua kali pemantulan. Beda fasa antara dua
berkas cahaya pada titik P dapat dinyatakan dalam persamaan:

dimana:
h : selisih jarak antara dua berkas cahaya dalam
interferometer.
n : indeks bias medium perambatan optik.

Pada titik P, tempat bertemunya dua berkas cahaya tadi, akan terjadi pola
dengan titik pusat (fringe) terang jika:

nh = m? 0

m = 0, 1, 2, .......

dan fringe gelap jika:

nh

m= 0,1,2, .....

Dari persamaan diatas, pola interferensi muncul akibat perbedaan


lintasan antara dua berkas cahaya yang masuk dalam interferometer
sehingga menimbulkan perbedaan fasa antara kedua berkas tersebut. Jika
tidak ada perbedaan lintasan antara kedua berkas, maka tidak akan timbul
interferensi karena tidak ada beda fasa antara kedua berkas sehingga
keduanya akan menyatu kembali dengan sempurna. Perbedaan lintasan ini
muncul karena kedua berkas tiba pada titik yang berbeda pada L2 sehingga
keduanya mencapai titik fokus lensa L2 yaitu P dengan menempuh jarak
lintasan yang berbeda pula. Karena pola interferensi yang muncul
tergantung pada parameter n dan parameter h (Zainol A.R., 2008: np).

7
JETri, Volume 9, Nomor 2, Februari 2010, Halaman 1 - 12, ISSN 1412-0372

2.3. Pola Modulasi


Pola modulasi menunjukkan kemiripan dengan yang biasa
diterapkan dalam informasi digital yang datang untuk setiap pembawa
optik. Cara umum yang mudah untuk melaksanakan pada kapasitas besar
sampai pada B Gbit/s (40 G bit/s) adalah dengan ASK (Amplitude shift
keying), yaitu dengan merubah saklar intensitas luaran sinar laser on/off,
tergantung pada simbol yang dipancarkan tanda (1) atau (0) atau sebuah
teknik modulasi dimana tiap simbol biner (1 atau 0) dinyatakan dengan
sebuah nilai khas dari amplitude cahaya seperti Gambar 6., pada kecepatan
yang sama dengan frequensi B GHz [40 GHz]. Operasi ini umumnya
dicapai melalui pengunaan modulator amplitudo sinyal listrik dengan sinyal
optik yang diumpan dengan sinyal laser. Ini menghasilkan modulasi yang
disebut NRZ (Non-Return-to-Zero).

Normalized Optical Eye


Phase
intensity Spectrum Diagram
T-1/B B-1/T T-1/B

π 20
1 π/2 0
NRZ

0,5 0 -20
0 -π/2

π 20
1 π/2 0
RZ

0,5 0 -20
0 -π/2

1 π 20
DPSK

0,5 π/2 0
0 -20
0 -π/2
RZ-DPSK

20
1 π
π/2 0
0,5 0 -20
0 -π/2

Gambar 6. Karakteristik Format Modulasi

8
Harumi Yuniarti & Bambang Cholis.Teknik Modulasi Transmisi Serat Optik

Pola RZ (Return-to-Zero) sering dipandang sebagai ASK masa


depan pengganti NRZ. Pada penggunaan RZ, setiap simbol “1” dinyatakan
sebagai sebuah pulsa yang dapat merupakan variabel waktu. Pulsa ini
umumnya dipotongkan kedalam bentuk gelombang NRZ oleh kerja
modulator amplitudo optik. Karena pola-pola ASK hanya digunakan dalam
produk-produk pada 10 bit/s, DPSK (Differential Phase Shift Keying)
berkemampuan kerja yang lebih baik pada 40 Gbit/s. Informasi dibawa oleh
fasa itu sendiri. Gambar 6. terlihat bentuk gelombang sebuah deret biner 8
bit yang berhubungan dengan intensitas, fasa dan diagram mata yang
termodulasi dengan pola NRZ, spektrum optik (hasil konvensional).

Data DPSK dihasilkan dengan cara melewatkan sinar laser kedalam


sebuah perangkat listrik-optik yang memodulasi fasa optik. Jika
dihubungkan dengan sebuah pulsa (identik dengan sebuah modulator RZ
tetapi digerakkan/ dipicu oleh sebuah pewaktu) untuk membuat data optik
RZ-DPSK (dapat variasikan menggunakan DPSK atau RZ-DPSK), sebuah
trik yang digunakan pada ujung penerima, karena photodioda yang
digunakan untuk mengubah data optik yang menjadi data elektrik pada
dasarnya peka intensitas cahaya. Kebanyakan trik yang lazim adalah deteksi
beragam (differential detection), yaitu perbandingan phasa dari bit yang
ditentukan dengan bit yang berikutnya, sebelum photodioda (jadi D yang
melengkapi PSK dalam DPSK atau dalam RZ-DPSK).

Operasi ini dikerjakan dalam sebuah interferometer fiber pasif


(Mach zehnder) yang salah satu lengannya adalah satu bit lebih panjang
daripada yang lain. Mengingat bahwa deteksi beragam berebut data optik,
dimana hal ini hanya dapat dipulihkan bila dilewatkan kedalam sebuah pre-
coder pada sisi transmiter. Selain itu interferometer memiliki keuntungan
dari adanya dua lengan output yang membawa output-output tersebut saling
melengkapi dari intensitas sinyal yang dibalik. Dengan menyimpangkan
dari receiver lama (conventional) dengan ASK, dan adanya dua photodioda
yang beroperasi paralel (photocurrentnya akan berkurang diujung), adalah
dimungkinkan untuk meningkatkan kekuatan noise ~3dB. Dengan kata lain,
bila level daya optik pada tiap serat input berkurang dengan ~3dB terkait
spesifikasi daya untuk pola ASK, sistem masih dalam tuntutan industri.

3. A Pol RZ-DPSK
Pada PSK (Phase Shift Keying) jika terjadi loncatan fasa π
menandakan biner 1 sedangkan biner 0 jika tidak terjadi loncatan fasa.

9
JETri, Volume 9, Nomor 2, Februari 2010, Halaman 1 - 12, ISSN 1412-0372

Sementara untuk DPSK (Differensial Phase Shift Keying) pada gambar 4,


biner 1 ditandai dengan terjadinya loncatan fasa (perbedaan fasa) π,
sedangkan jika tidak terjadi perbedaan fasa menandakan biner 0. Jadi
apabila berturutan biner 1 muncul dua kali, maka akan terjadi berturut-turut
loncatan fasa sebesar π.

Dalam hal ini level optik dapat dinaikkan terkait spesifikasi daya
untuk pola-pola ASK karena kedua pola tersebut (DPSK dan RZ-DPSK),
memiliki resistensi intrinsik sangat baik terhadap pelemahan rambatan yang
tergantung daya (Power Dependent Propagation Impairements, yang
dikenal sebagai efek nonlinier antar kanal).

Dari eksperimen yang dilaporkan oleh Alcatel-Lucent, resistensi ini


membaik hal ini menunjukkan fakta bahwa cahaya lebih sesuai
(dimodelkan) sebagai sebuah vektor dengan dua buah komponen polarisasi
transversal. Pada Gambar 7. ditunjukkan, dengan menukar-ulang polarisasi
dari bit-bit yang berseberangan kedalam sebuah modulator yang disediakan
dan digerakkan pada setengah frekuensi informasi B, membuat data
pertukar-ulangan polarisasi DPSK (APol RZ-DPSK), hal ini ditunjukkan
bahwa margin-margin sistem dapat dinaikkan . Dimana teknik Apol ini
memerlukan interferometer fiber pasif (Mach Zehnder) didalam perangkat
penerimanya untuk memiliki satu lengan lebih panjang. Semua hal yang
khas ini yang menjadikan APol RZ-DPSK satu dari banyak pola-pola
modulasi yang mempunyai harapan baik untuk sistem berkapasitas besar
(Alcatel Reseach and Inovation, 2005: np).

Gambar 7 Apol RZ-DPSK

10
Harumi Yuniarti & Bambang Cholis.Teknik Modulasi Transmisi Serat Optik

Hasil eksperimen, seperti yang ditunjukkan Gambar 8. (Bigo, S & Charlet,


G., 2005: np).

13

12 Apol RZ-DPSK
2dB
11
Q2 -factor (db)

10

9
RZ-DPSK
8
3.5dB
7

6
Channel power
(2db/div)

Gambar 8. Apol RZ-DPSK efek nonlinier pada serat optik dari bit-bit
(dapat menaikkan ~3,5 dB)

Dengan adanya kenaikkan daya kanal (Channel Power) sebesar 3,5


dB berarti telah terjadi kenaikan intensitas sinyal hingga lebih dari 50% bila
menggunakan teknik Apol RZ-DPSK dibandingkan dengan RZ-DPSK.
Dalam laporannya teknik ini telah dikembangkan pada transmisi 40 kanal
pada 40 GBit/s dengan persyaratan industri dimana jarak yang digunakan
adalah transpasifik. Salah satu faktor kunci teknik dalam pencapaian hasil
ini adalah dengan perbaikan pola modulasi Apol RZ-DPSK (Alternate
Polarization Return-to-Zero Differential Phase Shift Keying). Selain itu
repeater-repeater (perangkat pengulang sinyal) yang bekerja berdasarkan
konsep penguatan Raman (RFA) yang digunakan untuk membatasi
akumulasi noise. Penguat-penguat ini mengharuskan susunan serat yang
khas guna secara efisien mengurangi pelemahan penjalaran sinyal. Repeater
Raman adalah sebuah teknik yang digunakan untuk menaikkan daya dari
sebuah sinyal optik yang datang. Berkas optik berdaya tinggi (dari pompa)
dikirimkan kedalam serat transmisi (transmission fibre) bersama dengan
sinyal optik yang akan ditransmisikan. Sinyal optik memperoleh penguatan
akibat interaksi antara bahan silika serat dan pompa photon. Teknik seperti
ini dapat digunakan untuk mengatasi masalah-masalah pada kapasitas-
kapasitas tinggi dan jarak antar pengulang (repeater) yang lebih panjang,
dibandingkan dengan EDFA (Erbium Doped Fibre Amplitier) yang lazim
digunakan.( Afrizal Y., dkk., 2006: np).

11
JETri, Volume 9, Nomor 2, Februari 2010, Halaman 1 - 12, ISSN 1412-0372

4. Kesimpulan
Langkah penyesuaian pola modulasi pada persyaratan-persyaratan
operasional sistem transmisi serat optik dengan kapasitas kanal besar ini
dimungkinkan secara aktual dengan tujuan untuk memperbaiki performasi
pengiriman sinyal menggunakan teknik transmisi digital, hal ini dilaporkan
dapat mengantisipasi efek non linieritas dan noise yang terjadi antar kanal.
Dalam kaitan ini digunakan Modulator Mach Zehnder untuk menghasilkan
pola modulasi APol RZ-DPSK (alternate Polarization Return to Zero
Defferential Phase Shift Keying). Dari hasil pemanfaatan pola ini
menunjukkan, bahwa dengan adanya kenaikkan daya kanal (Channel
Power) sebesar 3,5 dB, hal ini berarti telah terjadi kenaikan intensitas sinyal
hingga lebih dari 50% untuk transmisi jarak jauh (long houl) dengan
kapasitas besar dan memenuhi kriteria batasan-batasan industri.

Daftar Pustaka
1. Afrizal Y., dkk. 2006. Perancangan dan Implementasi Teknik Modulasi
Digital Menggunakan Binary Phase Shift Keying (BPSK), Disertasi.
2. Alcatel Reseach and Inovation. 2005. Next Generation transponder for
40 Gbit/s WDM system DQPSK and Apol RZ-DPSK.
3. Bigo, S., and Charlet, G. 2005. Technical challenges of 40 Gbit/s in
WDM Submarine Trans-mission.
4. SHARP GP2D12, Modulasi Digital. (online),
(http://backt.blogspot.com/2008/05/modulasi-digital.html, diakses 22
April 2010: 14.20 WIB).
5. Zainol, A.R. 2008. Analisa Perbandingan Sistem Format Modulasi
Optik NRZ-DPSK & RZ-DPSK terhadap NRZ-OOK pada sistem
Lightwave berkecepatan tinggi.

12
JETri, Volume 9, Nomor 2, Februari 2010, Halaman 13 - 24, ISSN 1412-0372

ANALISIS PENERAPAN BASE TRANSCEIVER


STATION HIGH CAPACITY PADA GLOBAL
SYSTEM FOR MOBILE COMMUCATION

Suhartati Agoes & Nelly*


Dosen Jurusan Teknik Elektro-FTI, Universitas Trisakti

Abstract
High Capacity Base Transceiver Station (Hi-Cap BTS) is one kind of BTS which can hold
increased traffic load rapidly because the numbers Trx at each sector can reach twelve Trx.
Because of the fact, on the other hand the capacity of Hi-Cap BTS Trx are four times more
than generally BTS. This paper discusses about the result and the analysis of Hi-Cap BTS
implementation on BTS Muspasarseni with the first Trx configuration is 4/4/3 be modified to
8/6/3. This case uses four parameters such as traffic, Drop Call Rate (DCR), Handover
Success Rate (HOSR) and Stand-alone Dedicated Control Channel (SDCCH) Success Rate
(SDSR). Based on the analysis that has been performed, traffic rate at sector one, two and
three are increased to 134%, 65%, 4% respectively. DCR rate at sector one, two and three
are decreased to 54%, 39%, 18% respectively. HOSR rate at sector one, two and three are
increased to 10%, 2,6%, 1,5% respectively. SDSR rate at sector one and two are increased
to 2,3%, 2,8%, but SDSR rate at sector three is decreased to 1,2%.

Keywords: BTS Hi-Cap, DCR, HOSR, SDSR

1. Pendahuluan
Transmisi dalam pertelekomunikasian adalah proses pengiriman
informasi berupa suara dan atau data dari pengirim (sender) ke penerima
(receiver). Jika satu kanal sudah terpakai untuk mengalirkan satu
pembicaraan, maka jalur itu tidak dapat digunakan untuk menyalurkan
pembicaraan lain. Jika pembicaraan sudah selesai barulah kanal tersebut
dapat dipakai untuk yang lain. Volum trafik ini berubah-ubah dari waktu ke
waktu, hari ke hari dan bulan ke bulan. Oleh sebab itu dikenal jam sibuk,
hari sibuk dan bulan sibuk (J. E. Flood, 1995: np). Kesibukan berbeda-beda
untuk setiap tempat. Untuk jumlah telepon yang sama, kapasitas sentral
telepon yang dibutuhkan tidak sama. Oleh karena itu dikembangkanlah
suatu teknologi yang dapat mengatasi peningkatan jumlah pelanggan yaitu
dengan sistem Base Transceiver Station High Capacity (BTS Hi-Cap).
Proses BTS Hi-Cap digunakan untuk memecahkan permasalahan blocking
yang lebih dari 4 Trx.

* Alumni Jurusan Teknik Elektro FTI, Universitas Trisakti


JETri, Volume 9, Nomor 2, Februari 2010, Halaman 13 -24, ISSN 1412-0372

2. Arsitektur Jaringan GSM


Network
management
Mobile subsystem.
stations. NMS
MSs Base station subsystem. BSS Network and switching subsysystem. NSS
OMC

BTS

Operation
Ater and
VLR maintenance
MSC center. OMC
(GMSC)
T
BTS R
BSC A HLR AuC
Base U IWF
transceiver + EC
station Base
station
controller
EIR
SMSC

PSPDN PSTN

A-interface
ISDN
BTS
MSC : Mobile (service) switcing center
IWF : Interworking function
TRAU : Transcoder (TC) and rate adaptor unit (RAU)
EC : Echo canceller
VLR : Visitors location register
HLR : Home location register
Radio or air AuC : Authentication center
interface EIR : Equipment identiy register
SMSC : Short message service center
PSPDN : Packet switched public data center
PSTN : Public switched telephone network
ISDN : Integrated service digital network

SIM: subscriber identity module

Gambar 1. Arsitektur Jaringan GSM

14
Suhartati Agoes & Nelly. Analisis Hasil Penerapan Base Transceiver Station High Capacity Pada

Secara umum, network element dalam arsitektur jaringan GSM


dapat dibagi menjadi 3 bagian sebagai berikut:
1. Mobile Station (MS)
2. Base Station Subystem (BSS)
3. Network Sub System (NSS)

Network element di atas akan membentuk sebuah Public Land Mobile


Network (PLMN) (Schiller & Jochen, 2003: np).

3. Quality Of Service
Trend saat ini para network designer membangun jaringan
multiservice yang membawa trafik suara, data dan video, melewati
arsitektur jaringan berbasis paket meningkatnya kebutuhan bandwidth.
Istilah QoS mengacu kepada kemampuan dari jaringan untuk menyediakan
layanan yang lebih baik kepada trafik jaringan tertentu. Secara umum, QoS
menyediakan layanan jaringan yang lebih baik dengan mendukung
bandwidth yang terdedikasi, memperbaiki karakteristik loss, menghindari
dan mengatur kongesti pada jaringan serta mengatur prioritas trafik yang
melewati jaringan.
Sedangkan pengertian trafik adalah kumpulan semua permintaan
pemakaian peralatan telekomunikasi (saluran, alat sambungan, dll)
untuk melakukan proses penyambungan komunikasi.

Jenis-jenis QoS yang digunakan pada analisis BTS Hi-Cap:


a. Drop Call Rate (DCR)
Probabilitas Drop Call merupakan salah satu hal terpenting dari
parameter Quality of Service (QoS) dalam kualitas kinerja jaringan yang
menunjukkan probabilitas kegagalan panggilan
b. Hand Over Success Rate (HOSR)
Hand Over Success Rate (HOSR) merupakan tingkat keberhasilan
perubahan frekuensi operasi secara otomatis saat pelanggan bergerak
memasuki daerah operasi frekuensi/sel yang berbeda sehingga
pembicaraan dapat terus berlangsung pada daerah frekuensi operasi yang
baru, tanpa proses pembangunan ulang panggilan.
c. SDCCH Success Rate (SDSR)
Stand Alone Dedicated Control Channel (SDCCH) Success Rate
(SDSR) merupakan tingkat keberhasilan parameter time slot dalam
membawa informasi signaling dalam call setup. Pada satu Trx terdapat
satu time solt SDCCH.

15
JETri, Volume 9, Nomor 2, Februari 2010, Halaman 13 -24, ISSN 1412-0372

4. Konfigurasi Trx
Berikut ini merupakan Konfigurasi Trx modul BTS Hi-Cap pada
kasus 5 Trx (Nokia UltraSite EDGE BTS, 2001: np), seperti Gambar 2.

Tranceiver RF Receive Dual Duplex


units Multicoupler and Unit
Wideband
Combiner units

TX

RX main X-pol
div WBC Antenna
Duplexer

TX WBC

RX main
div LNA
RX1
DRX1
RX2 RX
Duplexer

DRX2
TX RX3
DRX3
LNA
RX main RX4
div DRX4
RX5
TX DRX5
RX6 DRX
Duplexer

RX main DRX6
div
M6xx LNA

TX
Duplexer

WBC
RX main
div
LNA

Gambar 2. Konfigurasi BTS Hi-Cap dengan 5 Trx

Gambar 3. berikut ini merupakan Konfigurasi Trx modul BTS Hi-


Cap pada kasus 5 Trx

16
Suhartati Agoes & Nelly. Analisis Hasil Penerapan Base Transceiver Station High Capacity Pada

Berikut ini merupakan Konfigurasi Trx modul BTS Hi-Cap pada


kasus 6 Trx (Nokia UltraSite EDGE BTS, 2001: np), seperti Gambar 3.

Tranceiver RF Receive Dual Duplex


units Multicoupler and Unit
Wideband
Combiner units
TX

RX main X-pol
div WBC Antenna

Duplexer
TX WBC

RX main
div LNA
RX1
DRX1
RX2 RX
Duplexer

DRX2
TX RX3
DRX3
LNA
RX main RX4
div DRX4
RX5
TX DRX5
RX6 DRX
Duplexer

RX main DRX6
div
M6xx LNA

TX
Duplexer

WBC
RX main
div
LNA
TX

RX main
div

Gambar 3. Konfigurasi BTS Hi-Cap dengan 6 Trx

Berikut ini merupakan Konfigurasi Trx modul BTS Hi-Cap pada


kasus 8 Trx (Nokia UltraSite EDGE BTS, 2001: np), seperti Gambar 4.

17
JETri, Volume 9, Nomor 2, Februari 2010, Halaman 13 -24, ISSN 1412-0372

Tranceiver RF Receive Multicoupler Dual Duplex


units and Wideband Unit
Combiner units

TX WBC

Duplexer
RX main X-pol X-pol
div WBC
Antenna Antenna
LNA
TX
RX1
RX main
div DRX1
RX2 RX
Duplexer

TX DRX2
RX3
RX main DRX3 LNA
div RX4
DRX4
TX RX5
DRX5
RX main
Duplexer

div RX6 DRX


DRX6
TX LNA
M6xx
RX main
div
Duplexer

TX
RX main
div LNA
WBC
TX
WBC
RX main
div RX1
DRX1 RX
TX RX2
DRX2 DRX
RX main M2xx
div

Gambar 4. Konfigurasi BTS Hi-Cap dengan 8 Trx

5. Keadaan Tilting Antena


Keadaan Tilting Antena BTS Muspasarseni dilakukan sebanyak dua
kali yaitu keadaan lama pada tanggal 1 April 2009 - 29 April 2009 dan
keadaan baru pada tanggal 30 April – 31 Mei 2009. Tilting antena pada dua
keadaan tersebut seperti pada Tabel 1. pada halaman berikut ini.

18
Suhartati Agoes & Nelly. Analisis Hasil Penerapan Base Transceiver Station High Capacity Pada

Tabel 1. Keadaan Tilting Antena BTS Muspasarseni


Sektor Keadaan Lama Keadaan Baru
Satu Mekanikal = 0° Elektrikal = 1° Mekanikal = 2° Elektrikal = 2°
Dua Mekanikal = 0° Elektrikal = 2° Mekanikal = 2° Elektrikal = 2°
Tiga Mekanikal = 2° Elektrikal = 2° Mekanikal = 2° Elektrikal = 3°

6. Kapasitas Trafik
Kapasitas Trafik sebelum dan sesudah penerapan BTS Hi-Cap pada
sektor satu seperti pada Tabel 2.

Tabel 2. Kapasitas Trafik sektor satu sebelum dan sesudah penerapan


Sebelum Penerapan Sesudah Penerapan
Jumlah time slot = 26 time slot Jumlah time slot = 54 time slot
{(7 time slot/Trx)x(4Trx)- 1 BCCH - {(7 time slot/Trx)x(8Trx)- 1 BCCH -
1 GPRS/EDGE} 1 GPRS/EDGE}
GoS = 2% (Tabel Erlang B) GoS = 2% (Tabel Erlang B)
Jumlah Erlang yang ditawarkan 18.38 Jumlah Erlang yang ditawarkan 44
Erlang Erlang

Kapasitas Trafik sebelum dan sesudah penerapan BTS Hi-Cap pada


sektor dua seperti pada Tabel 3.

Tabel 3. Kapasitas Trafik sektor dua sebelum dan sesudah penerapan


Sebelum Penerapan Sesudah Penerapan
Jumlah time slot = 26 time slot Jumlah time slot = 40 time slot
{(7 time slot/Trx)x(4Trx)- 1 BCCH - 1 {(7 time slot/Trx)x(6Trx)- 1 BCCH - 1
GPRS/EDGE} GPRS/EDGE}
GoS = 2% (Tabel Erlang B) GoS = 2% (Tabel Erlang B)
Jumlah Erlang yang ditawarkan 18.38 Jumlah Erlang yang ditawarkan 31
Erlang Erlang

Kapasitas Trafik sebelum dan sesudah penerapan BTS Hi-Cap pada


sektor tiga seperti pada Tabel 4. pada halaman berikut.

19
JETri, Volume 9, Nomor 2, Februari 2010, Halaman 13 -24, ISSN 1412-0372

Tabel 4. Kapasitas Trafik sektor satu sebelum dan sesudah penerapan


Sebelum Penerapan Sesudah Penerapan
Jumlah time slot = 19 time slot Jumlah time slot = 19 time slot
{(7 time slot/Trx)x(3Trx)- 1 BCCH - 1 {(7 time slot/Trx)x(3Trx)- 1 BCCH - 1
GPRS/EDGE} GPRS/EDGE}
GoS = 2% (Tabel Erlang B) GoS = 2% (Tabel Erlang B)
Jumlah Erlang yang ditawarkan 12.33 Jumlah Erlang yang ditawarkan 12.33
Erlang Erlang

Penentuan Key Performance Indicator (KPI) berdasarkan ketentuan


pada Tabel 5.
Tabel 5. Ketentuan KPI (kontinyu)
No Ketentuan
1 Keadaan pertama adalah keadaan sebelum penerapan BTS Hi-Cap, yaitu
pada tanggal 1 April – 21 April 2009 (keadaan lama tilting antena sesuai
dengan Tabel 3.10).
2 Keadaan kedua adalah keadaan setelah penerapan BTS Hi-Cap dengan
kondisi tilting antena seperti sebelum penerapan BTS Hi-Cap, yaitu pada
tanggal 22 April – 29 April 2009 (keadaan lama tilting antena sesuai dengan
Tabel 3.10).
3 Keadaan ketiga adalah keadaan setelah dilakukan penerapan BTS Hi-Cap,
yaitu pada tanggal 30 April – 31 Mei 2009 dengan kondisi tilting antena
yang baru (keadaan baru tilting antena sesuai dengan Tabel 3.10).
4 Memenuhi nilai KPI untuk DCR adalah rata-rata DCR setelah penerapan ≤
rata-rata DCR sebelum penerapan + standar deviasi (σ) sebelum penerapan.
Di luar keadaan ini = tidak memenuhi nilai KPI untuk DCR.
5 Memenuhi nilai KPI untuk HOSR adalah rata-rata HOSR setelah penerapan
≥ rata-rata HOSR sebelum penerapan - standar deviasi (σ) sebelum
penerapan. Di luar keadaan ini = tidak memenuhi nilai KPI untuk HOSR.
6 Memenuhi nilai KPI untuk SDSR adalah rata-rata SDSR setelah penerapan
BTS Hi-Cap ≥ rata-rata HOSR sebelum penerapan - standar deviasi (σ). Di
luar keadaan ini = tidak memenuhi nilai KPI untuk SDSR.
7 Threshold adalah nilai standar yang menunjukkan kinerja yang baik dari
suatu parameter. Untuk DCR = 0.3 % ; HOSR = 96.13% ; SDSR = 93.01 %
8 Standar Deviasi (σ) adalah akar kuadrat dari rata-rata hitung dari deviasi
kuadrat setiap data terhadap rata-rata hitungnya dan menunjukkan standar
penyimpangan data terhadap nilai rata-ratanya.

20
Suhartati Agoes & Nelly. Analisis Hasil Penerapan Base Transceiver Station High Capacity Pada

Setelah dilakukan perhitungan didapat KPI Sektor Satu seperti pada


Tabel 6.
Tabel 6. KPI Sektor Satu
DCR HOSR SDSR
σ = 0.0182 σ = 3.8 σ = 1.56
Rata-rata I = 0.6 Rata-rata I = 85.9 Rata-rata I = 94.33
Rata-rata II = 0.88 Rata-rata II = 87.43 Rata-rata II = 93
0.88 > 0.6182 = tidak 87.43 > 82.1 = 93 > 92.77 =
memenuhi memenuhi memenuhi
Rata-rata III = 0.3 Rata-rata III = 96.73 Rata-rata III = 97.6
96.73 > 82.1 = 97.6 > 92.77 =
0.3 < 0.6182 = memenuhi
memenuhi memenuhi

Setelah dilakukan perhitungan didapat KPI Sektor Dua seperti pada


Tabel 7.
Tabel 7. KPI Sektor Dua
DCR HOSR SDSR
σ = 0.035 σ = 2.042 σ = 1.3
Rata-rata I = 0.4 Rata-rata I = 95.23 Rata-rata I = 94.1
Rata-rata II = 0.78 Rata-rata II = 82.23 Rata-rata II = 87.93
0.78 > 0.435 = tidak 82.23 > 93.188 = tidak 87.93 > 92.8 = tidak
memenuhi memenuhi memenuhi
Rata-rata III = 0.3 Rata-rata III = 96.83 Rata-rata III = 97.8
96.83 > 93.188 =
0.3 < 0.435 = memenuhi 97.8 > 92.8 = memenuhi
memenuhi

Setelah dilakukan perhitungan didapat KPI Sektor Tiga seperti pada


Tabel 8.
Tabel 8. KPI Sektor Tiga
DCR HOSR SDSR
σ = 0.034 σ = 0.216 σ = 0.51
Rata-rata I = 0.41 Rata-rata I = 96.93 Rata-rata I = 94
Rata-rata II = 0.3 Rata-rata II = 96.4 Rata-rata II = 94.1
96.4 > 96.714 = tidak 94.1 > 93.49 =
0.3 > 0.444 = memenuhi
memenuhi memenuhi
Rata-rata III = 0.31 Rata-rata III = 95.56 Rata-rata III = 94.4
0.31 < 0.444 = 95.56 > 94.714 = tidak 94.4 > 93.49 =
memenuhi memenuhi memenuhi

21
JETri, Volume 9, Nomor 2, Februari 2010, Halaman 13 -24, ISSN 1412-0372

Gambar 5. Merupakan grafik data statistik trafik DCR


Muspasarseni 1 April – 31 Mei 2009 pada halaman berikut.
Erlang

Tanggal

Trafik Sektor 1 Trafik Sektor 2 Trafik Sektor 3

Gambar 5. Grafik Trafik DCR Muspasarseni

Gambar 6. Merupakan grafik data statistik trafik HOSR


Muspasarseni 1 April – 31 Mei 2009 pada halaman berikut.
Erlang

Tanggal

Trafik Sektor 1 Trafik Sektor 2 Trafik Sektor 3

Gambar 6. Grafik HOSR Muspasarseni

22
Suhartati Agoes & Nelly. Analisis Hasil Penerapan Base Transceiver Station High Capacity Pada

Gambar 7. Merupakan grafik data statistik trafik SDSR


Muspasarseni 1 April – 31 Mei 2009 pada halaman berikut.
Erlang

Tanggal

Trafik Sektor 1 Trafik Sektor 2 Trafik Sektor 3

Gambar 6. Grafik SDSR Muspasarseni

Gambar 8. Merupakan grafik data statistik trafik SDSR BTS


Muspasarseni 1 April – 31 Mei 2009 adalah sebagai berikut:
Erlang

Tanggal

Trafik Sektor 1 Trafik Sektor 2 Trafik Sektor 3

Gambar 8. Grafik SDSR BTS Muspasarseni

23
JETri, Volume 9, Nomor 2, Februari 2010, Halaman 13 -24, ISSN 1412-0372

7. Kesimpulan
1. Pada sektor satu dengan tilting antena Mekanikal 0° menjadi 2°,
Elektrikal 1° menjadi 2° menghasilkan peningkatan nilai trafik sebesar
134%, penurunan nilai DCR sebesar 54%, peningkatan nilai HOSR
sebesar 10%, dan peningkatan nilai SDSR sebesar 2,3%.
2. Pada sektor dua dengan tilting antena Mekanikal 0° menjadi 2°,
Elektrikal tetap 2° menghasilkan peningkatan nilai trafik sebesar 65%,
penurunan nilai DCR sebesar 39%, peningkatan nilai HOSR sebesar
2,6%, dan peningkatan nilai SDSR sebesar 2,8%.
3. Pada sektor tiga dengan tilting antena Mekanikal tetap 2° dan Elektrikal
2° menjadi 3° menghasilkan peningkatan nilai trafik sebesar 4%,
penurunan nilai DCR sebesar 18%, peningkatan nilai HOSR sebesar
1,5%, dan penurunan nilai SDSR sebesar 1,2%.
4. Hasil KPI terbaik adalah sektor dua di mana setiap parameter pada awal
tidak memenuhi dan akhirnya menjadi memenuhi.

Daftar Acuan
1. Channel Configuration”. Training Overview, Siemens. Australia. 2001
2. GSM Advanced System Technique”. Student Text, Ericsson. Singapore.
2000
3. High Capacity BTS”. Planning Guideline, NOKIA Team. Indonesia.
2006
4. J. E. Flood. 1995. Telecommunications Switching, Traffic and
Networks. Prentice Hall.
5. Nahwan. Pengenalan Jaringan GSM/GPRS. (Online),
http://www.stttelkom.ac.id/staf/NMA/index_files/TE4103_11_GSM-
GPRSNetwork.pdf, 9 Desember 2008: 07.30 WIB)
6. Nokia UltraSite EDGE BTS”. White Paper, NOKIA. Finlandia. 2001
7. Schiller, Jochen. 2003. Mobile Communications. Addison Wesley.

24
JETri, Volume 9, Nomor 2, Februari 2010, Halaman 25 - 44, ISSN 1412-0372

PENGATUR KETINGGIAN AIR OTOMATIS

Kiki Prawiroredjo, Ignatius Melvin Susantio*


Dosen Jurusan Teknik Elektro-FTI, Universitas Trisakti

Abstract
The Automatic Water Level Control is a prototype circuit that controls the availability of
water in a tank. The water tank has five water levels to control the pump work. The water
level control system consists of two water containers, one for the water source container and
the other for the water reservoir and two water pumps. The circuit consists of an infrared
system, two relays to activate the water pumps and a 2x16 Liquid sensor to detect the water
level, a microcontroller Atmega 8535(L) to control all the circuit Crystal Display (LCD) to
display the water level in the tank reservoir and the pump condition. After the water level
control circuit has been built and tested, it is known that at the minimum level position that
is 30 cm between sensor and the float, the output voltage of the infrared sensor is 0,85 volt
and the microcontroller will turn on both the water pumps. At the maximum level position
that is 11.5 cm between sensor and the float, the output voltage of the infrared sensor is 2,17
volt and the microcontroller will turn off both of the water pumps.

Keywords: Water level control, infrared sensor, Microcontroller, LCD

1. Pendahuluan
Air merupakan salah satu kebutuhan yang paling pokok bagi
makhluk hidup termasuk manusia. Apa jadinya apabila suatu saat air dari
Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) di daerah perkotaan mati seketika?
Tentu saja banyak orang di kota yang mulai panik. Untuk menanggulangi
masalah tersebut maka banyak orang di daerah perkotaan membuat suatu
bak penampung untuk menampung air dari PDAM baik di kantor maupun
di rumah. Bak penampung dapat diletakkan di bawah tanah ataupun di suatu
bak plastik. Dari bak penampungan, air diisikan ke bak plastik (toren) yang
umumnya diletakkan pada ketinggian yang cukup untuk dapat dialirkan ke
bak-bak di toilet atau shower. Pengisian air dari bak penampungan ke bak
plastik ini membutuhkan waktu yang tidak sebentar, orang harus menunggu
dengan sabar sampai air penuh agar tidak luber. Di gedung-gedung
perkantoran dimana penggunaan air cukup tinggi untuk memenuhi
kebutuhannya maka digunakan toren yang cukup besar yang diletakkan di
lantai paling atas untuk dialirkan ke lantai-lantai di bawahnya. Untuk
mengatur ketersediaan air pada toren maka dirancang suatu prototipe

* Alumni Jurusan Teknik Elektro FTI, Universitas Trisakti


JETri, Volume 9, Nomor 2, Februari 2010, Halaman 25 - 44, ISSN 1412-0372

rangkaian pengatur ketinggian air otomatis yang dikendalikan oleh sebuah


mikrokontroler. Karena toren di gedung perkantoran cukup besar maka
digunakan dua buah pompa air sehingga persediaan air selalu aman.
Rangkaian pengatur ketinggian air otomatis yang dirancang di sini
menggunakan sensor infrared untuk mendeteksi ketinggian air dalam toren
sehingga bagian rangkaian tidak ada yang terhubung dengan air dan
membuat rangkaian ini aman digunakan. Ketinggian air pada toren dibagi
menjadi lima level untuk mendeteksi kapan pompa air menyala satu atau
menyala dua atau kedua pompa harus mati. Kecepatan pengisian air pada
toren untuk level air yang rendah lebih tinggi daripada kecepatan pengisian
air pada level air yang tinggi.

2. Kajian Pustaka
Rangkaian pengatur ketinggian air otomatis yang telah ada selama ini
biasanya hanya mendeteksi dua level ketinggian air pada toren yaitu level
rendah atau level bawah dimana pompa air harus menyala dan level tinggi
atau level atas dimana pompa air harus mati. Pengisian air dengan pompa
tidak diatur kecepatannya walaupun level air sedang rendah sehingga
dibutuhkan waktu yang cukup lama untuk mengisi toren yang kosong.
Selain itu sebagai detektor ketinggian air sering menggunakan batang anti
karat atau pelampung sehingga ada bagian rangkaian yang terhubung
dengan air dimana dalam keadaan lembab lama kelamaan saklar pada
rangkaian bekerja tidak normal.

3. Metode Penelitian
Penelitian dimulai dengan merancang sistem pengisian toren dengan pompa
air yaitu penentuan ketinggian air dan penentuan kapan pompa air bekerja
dan kapan tidak bekerja. Perancangan selanjutnya adalah blok diagram
prototipe rangkaian dan merancang rangkaiannya dengan menggunakan
mikrokontroler ATmega 8535(L) karena telah memiliki internal ADC.
Komponen-komponen penunjangnya yaitu infrared SHARP GP2D12 yang
dapat mendeteksi jarak dari 10 cm sampai 80 cm, rangkaian driver relay IC
ULN2803 yang merupakan rangkaian penguat Darlington dan LCD 2x16
untuk tampilan keadaan ketinggian air pada bak penampung dan keadaan
kerja tidaknya pompa air. Perancangan perangkat lunak dan perakitan
rangkaian dilakukan setelah perancangan rangkaian dan komponen telah
lengkap. Langkah terakhir dari pembuatan prototipe rangkaian adalah
melakukan pengujian dan menganalisis hasil uji tersebut.

26
Kiki Prawiroredjo & Ignatius Melvin Susanto. Pengatur Ketinggian Air Otomatis

Air dari bak tampung dipompakan ke toren dengan pompa air.


Keluaran tegangan dari sensor infrared yang digunakan untuk mendeteksi
ketinggian air pada toren dihubungkan dengan mikrokontroler
ATmega8535(L) untuk diproses sehingga dapat mengatur kerja kedua
pompa yaitu apakah salah satu pompa harus memompa air atau apakah
kedua pompa harus memompa air atau apakah kedua pompa harus mati.
Apabila sensor mendeteksi ketinggian air yang telah ditentukan, maka
ketinggian air dan keadaan kerja pompa akan ditampilkan pada sebuah
LCD. Untuk mendeteksi ketinggian air oleh sensor infrared digunakan
pelampung yang terbuat dari styrofoam agar sinar infrared yang
dipancarkan dapat dipantulkan dan diterima kembali oleh sensor penerima
infrared. Gambar 1. memperlihatkan sistem pengisian air dari bak tampung
ke toren.

Infrared

Input

Toren

Rangkaian
Kontrol Sistem

Display PM1 PM2


Bak Penanpung

Gambar 1. Sistem pengisian air

27
JETri, Volume 9, Nomor 2, Februari 2010, Halaman 25 - 44, ISSN 1412-0372

4. Diagram Blok
Gambar 2. menunjukkan diagram blok dari rangkaian pengatur
ketinggian air otomatis.

Input Proses Output

Sensor Ketinggian Mikrokontroler


Level Air AVR LCD
(IR SHARP GP2D12) Atmega8535(L)

Pompa 1
Driver
Relay dan
Relay

Pompa 2

Gambar 2. Diagram Blok Rangkaian Pengatur Ketinggian Air Otomatis

Bagian input dari diagram blok tersebut adalah sensor infrared


Sharp GP2D12 yang berfungsi mendeteksi ketinggian air dalam bak
penampung. Bagian proses adalah rangkaian mikrokontroler yang mengatur
kerja sistem pengatur ketinggian air secara keseluruhan dan rangkaian
driver relay dan relay berfungsi untuk mengaktifkan atau mematikan kedua
pompa air.

Bagian output dari diagram blok adalah kerja atau tidaknya pompa
air, rangkaian LCD yang berfungsi untuk menampilkan ketinggian air dan
keadaan kerja tidaknya pompa air.

5. Rangkaian Alat
Pada Gambar 3. halaman berikut merupakan rangkaian lengkap alat
pengatur ketinggian air otomatis.

28
Kiki Prawiroredjo & Ignatius Melvin Susanto. Pengatur Ketinggian Air Otomatis

Gambar 3. Diagram Rangkaian Pengatur Ketinggian Air Otomatis

29
JETri, Volume 9, Nomor 2, Februari 2010, Halaman 25 - 44, ISSN 1412-0372

Rangkaian sensor infrared mendeteksi ketinggian pelampung pada


toren dengan cara memancarkan sinar infrared kemudian mendeteksi
pantulannya. Sinar infrared yang diterima kembali oleh sensor ini akan
diproses sehingga menghasilkan keluaran berupa tegangan analog.
Tegangan analog ini akan menjadi input mikrokontroler untuk diproses
melalui 8 bit internal ADC (ATMEL, 2006: 2) dan selanjutnya diproses
oleh perangkat lunak untuk mengetahui ketinggian air pada toren. Pada
Gambar 4. terdapat gambar cara pendeteksian ketinggian air dengan sensor
infrared.

Infrared GP2D12

Pelampung
1

Air
0

Gambar 4. Pendeteksian ketinggian air dengan sensor infrared.

30
Kiki Prawiroredjo & Ignatius Melvin Susanto. Pengatur Ketinggian Air Otomatis

Dalam perancangan, ketinggian air yang diukur adalah jarak antara


pelampung dan sensor infrared. Untuk level 0 jarak pelampung ke sensor
infrared adalah 30 cm, level 1 berjarak 27,5 cm, level 2 berjarak 23,5 cm,
level 3 berjarak 19,5 cm, level 4 berjarak 15,5 cm dan level 5 berjarak 11,5
m. Data pembacaan tegangan analog yang dihasilkan sensor infrared
SHARP GP2D12 pada setiap titik ketinggian air (jarak) sesuai datasheet
dapat dilihat pada kurva karakteristik SHARP GP2D12 (SHARP GP2D12,
2005: 4) yang terdapat pada Gambar 5.

Draft Reflectivity
2.8 White 90%
Gray 18%
2.4
Analog outout voltage V0 (V)

2.0

1.6

1.2

0.8

0.4

0 10 20 30 40 50 60 70 80

Distance to reflective object L (cm)

Gambar 5. Karakteristik tegangan keluaran terhadap jarak deteksi sensor


infrared

Tegangan keluaran dari sensor infrared dihubungkan dengan IC


mikrokontroler ATmega8535(L) pada PORTA.0. Tegangan input analog
yang telah diubah oleh ADC ini juga akan diproses oleh perangkat lunak
pada mikrokontroler untuk menjalankan kerja pompa air dan menampilkan
informasinya pada LCD. Kerja pompa air dirancang sebagai berikut, bila
level air 0, 1 dan 2 kedua pompa air menyala, bila level air 3 dan 4 satu
pompa air menyala dan satu pompa air mati dan pada level air 5 kedua

31
JETri, Volume 9, Nomor 2, Februari 2010, Halaman 25 - 44, ISSN 1412-0372

pompa air mati. Kerja pompa air akan diatur oleh keluaran mikrokontroler
pada PORTC.6 dan PORTC.7.

Keluaran dari PORTC.6 dan PORTC.7 dihubungkan dengan driver


relay yaitu ULN2803 (Widodo, 2009: 77). Driver relay disini
menggunakan transistor sebagai amplifier Darlington yang berfungsi
sebagai penggerak motor pompa air (Boylestadt, 1987 : 439). Driver relay
akan menutup relay (saklar on) apabila diberi pulsa 1 (high). Apabila driver
relay diberikan pulsa 0 (low) maka driver akan membuka relay (saklar off).
Relay yang digunakan adalah normally opened (Wiyono, 2007: 39). Relay
akan menjalankan dan mematikan kerja pompa air.

Penampilan ketinggian air dan kerja pompa pada LCD akan diatur
oleh PORTC.0, PORTC.1, dan PORTD.0-D.7. Apabila sensor mendeteksi
adanya pelampung di level ke-0 dengan jarak 30 cm dari sensor, maka
tegangan keluaran analog dari sensor infrared SHARP GP2D12 sebesar
0,85 volt. Tegangan ini akan diproses oleh mikrokontroler untuk
menghasilkan logika 1 (high) sebesar 5,06 volt pada PORTC.6 dan
PORTC.7. Logika 1 ini akan menjalankan kerja driver relay sehingga relay
akan tertutup dan menjalankan kedua pompa. Tegangan dari sensor infrared
ini juga akan diproses untuk memberitahukan bahwa air di bak penampung
sudah habis dan menunjukkan kedua pompa yang sedang bekerja pada
tampilan LCD.

Apabila sensor mendeteksi adanya pelampung di level ke-1 dengan


jarak 27,5 cm dari sensor, maka tegangan keluaran analog dari sensor
infrared SHARP GP2D12 sebesar 0,98 volt. Tegangan ini akan diproses
oleh mikrokontroler untuk menghasilkan logika 1 (high) sebesar 5,06 volt
pada keluaran mikrokontroler yaitu PORTC.6 dan PORTC.7. Logika 1 ini
akan menjalankan kerja driver relay sehingga relay akan tertutup dan
menjalankan kedua pompa. Tegangan dari sensor infrared ini juga akan
diproses untuk menampilkan level air ke-1 dan menunjukkan kedua pompa
sedang bekerja pada LCD.

Apabila sensor mendeteksi adanya pelampung di level ke-2 dengan


jarak 23,5 cm dari sensor, maka tegangan keluaran analog dari infrared
SHARP GP2D12 sebesar 1,15 volt. Tegangan ini akan diproses oleh
mikrokontroler untuk menghasilkan logika 1 (high) sebesar 5,06 volt pada
keluaran mikrokontroler PORTC.6 dan PORTC.7. Logika 1 ini akan
menjalankan kerja driver relay sehingga relay akan tertutup dan

32
Kiki Prawiroredjo & Ignatius Melvin Susanto. Pengatur Ketinggian Air Otomatis

menjalankan kedua pompa. Tegangan dari sensor infrared ini juga akan
diproses untuk menampilkan level air ke-2 dan menunjukkan kedua pompa
yang sedang bekerja pada LCD.

Apabila sensor mendeteksi adanya pelampung di level ke-3 dengan


jarak 19,5 cm dari sensor, maka tegangan keluaran analog dari infrared
SHARP GP2D12 sebesar 1,44 volt. Tegangan ini akan diproses oleh
mikrokontroler untuk menghasilkan logika 1 (high) sebesar 5,06 volt pada
keluaran mikrokontroler PORTC.6 dan keluaran logika 0 (low) sebesar 0
volt pada keluaran mikrokontroler PORTC.7. Logika 1 ini akan
menjalankan kerja driver relay sehingga relay akan tertutup dan salah satu
pompa bekerja, sedangkan logika 0 akan mematikan kerja driver relay
sehingga satu pompa yang lain mati. Tegangan keluaran sensor infrared
akan diproses untuk menampilkan level air ke-3 dan menunjukkan satu
pompa bekerja dan satu pompa mati pada tampilan LCD.

Apabila sensor mendeteksi adanya pelampung di level ke-4 dengan


jarak 15,5 cm dari sensor, maka tegangan keluaran analog dari infrared
SHARP GP2D12 sebesar 1,80 volt. Tegangan ini akan diproses oleh
mikrokontroler untuk menghasilkan logika 1 (high) sebesar 5,06 volt pada
keluaran mikrokontroler PORTC.6 dan keluaran logika 0 (low) sebesar 0
volt pada keluaran mikrokontroler PORTC.7. Logika 1 ini akan
menjalankan kerja driver relay sehingga relay akan tertutup dan satu pompa
bekerja, sedangkan logika 0 akan mematikan kerja driver relay sehingga
relay akan terbuka sehingga satu pompa mati. Tegangan keluaran sensor
infrared juga diproses untuk menampilkan level air ke-4 dan menunjukkan
satu pompa bekerja dan satu pompa mati pada tamp ilan LCD.

Apabila sensor mendeteksi adanya pelampung di level ke-5 dengan


jarak 11,5 cm dari sensor, maka tegangan keluaran analog dari infrared
SHARP GP2D12 sebesar 2,17 volt. Tegangan ini akan diproses oleh
mikrokontroler untuk menghasilkan logika 0 (low) sebesar 0 volt pada
keluaran mikrokontroler PORTC.6 dan PORTC.7. Logika 0 akan
mematikan kerja kedua pompa. Tegangan keluaran sensor infrared juga
diproses untuk menampilkan level air ke-5 dan menunjukkan kedua pompa
dalam keadaan mati pada tampilan LCD.

6. Diagram Alir Perangkat Lunak


Gambar 6. memperlihatkan diagram alir perangkat lunak dari
rangkaian pengatur ketinggian air otomatis.

33
JETri, Volume 9, Nomor 2, Februari 2010, Halaman 25 - 44, ISSN 1412-0372

START

SYSTEM OFF Y
END

SENSOR MENDETEKSI
PELAMPUNG

Sensor DISPLAY
Mendeteksi Pelampung Y POMPA1 = 1
"AIR HABIS"
Di Level 0 POMPA2 = 1
PM1 = 1, PM2 = 1

Sensor DISPLAY
Mendeteksi Pelampung Y POMPA1 = 1
LEVEL AIR = 1
Di Level 1 POMPA2 = 1
PM1 = 1, PM2 = 1

Sensor Y DISPLAY
Mendeteksi Pelampung POMPA1 = 1
LEVEL AIR = 2
Di Level 2 POMPA2 = 1
PM1 = 1, PM2 = 1

Sensor DISPLAY
Y POMPA1 = 1
Mendeteksi Pelampung LEVEL AIR = 3
Di Level 3 POMPA2 = 0
PM1 = 1, PM2 = 0

Sensor DISPLAY
Mendeteksi Pelampung Y POMPA1 = 1
LEVEL AIR = 4
Di Level 4 POMPA2 = 0
PM1 = 1, PM2 = 0

B A

Gambar 6. Diagram Alir Pengatur Ketinggian Air Otomatis (kontinyu 1)

34
Kiki Prawiroredjo & Ignatius Melvin Susanto. Pengatur Ketinggian Air Otomatis

B A

N Sensor DISPLAY
Y POMPA1 = 0
Mendeteksi Pelampung LEVEL AIR = 5
Di Level 5 POMPA2 = 0
PM1 = 0, PM2 = 0

*
C
N
END SYSTEM ON

SENSOR MENDETEKSI
LEVEL AIR

Y
DISPLAY
LEVEL AIR = 5 LEVEL AIR = 5
PM1 = 0, PM2 = 0

Y
DISPLAY
LEVEL AIR = 4 LEVEL AIR = 5
PM1 = 0, PM2 = 0

Y DISPLAY
LEVEL AIR = 3 LEVEL AIR = 5
PM1 = 0, PM2 = 0

Y DISPLAY
LEVEL AIR = 2 LEVEL AIR = 5
PM1 = 0, PM2 = 0

N
LEVEL AIR = 1

Gambar 6. Diagram Alir Pengatur Ketinggian Air Otomatis (sambungan 1)


dan (kontinyu2)

35
JETri, Volume 9, Nomor 2, Februari 2010, Halaman 25 - 44, ISSN 1412-0372

POMPA1 = 1
POMPA2 = 1

DISPLAY
LEVEL AIR = 1
PM1 = 1, PM2 = 1

**

N
END SYSTEM ON

SENSOR
MENDETEKSI
LEVEL AIR

Y DISPLAY
LEVEL AIR = 1 LEVEL AIR = 1
PM1 = 1, PM2 = 1

Y DISPLAY
LEVEL AIR = 2 LEVEL AIR = 2
PM1 = 1, PM2 = 1

E F

Gambar 6. Diagram Alir Pengatur Ketinggian Air Otomatis (sambungan 2)


dan (kontinyu3)

36
Kiki Prawiroredjo & Ignatius Melvin Susanto. Pengatur Ketinggian Air Otomatis

D
E F

Y DISPLAY
LEVEL AIR = 5 LEVEL AIR = 5
PM1 = 0, PM2 = 0

Y DISPLAY
LEVEL AIR = 5 LEVEL AIR = 5
PM1 = 0, PM2 = 0

N
LEVEL AIR = 5

SENSOR
MENDETEKSI
PELAMPUNG

SENSOR
MENDETEKSI
PELAMPUNG

***
C

Gambar 6. Diagram Alir Pengatur Ketinggian Air Otomatis (sambungan 3)

Gambar 6. merupakan diagram alir keseluruhan pengaturan


ketinggian air dengan sensor infrared berbasis mikrokontroler. Proses start
sampai (*) merupakan diagram alir pengisian toren dalam keadaan kosong.
Sensor infrared akan mendeteksi ketinggian pelampung dalam range pada
setiap levelnya.

37
JETri, Volume 9, Nomor 2, Februari 2010, Halaman 25 - 44, ISSN 1412-0372

Apabila sensor mendeteksi adanya pelampung di range level ke-0


maka akan ditampilkan di LCD dengan tampilan berupa “AIR HABIS” dan
“PM1 = 1 PM2 = 1” dalam dua baris dan kedua pompa akan aktif.

Apabila sensor mendeteksi adanya pelampung di range level ke-1


maka akan ditampilkan di LCD dengan tampilan berupa “ LEVEL AIR = 1”
dan “PM1 = 1 PM2 = 1” dalam dua baris. Apabila sensor tidak mendeteksi
adanya pelampung di range level ke-1 ini, maka proses akan melanjutkan
pendeteksian ke range level 2.

Apabila sensor mendeteksi adanya pelampung di range level ke-2


maka akan ditampilkan di LCD dengan tampilan berupa “ LEVEL AIR = 2”
dan “PM1 = 1 PM2 = 1” dalam dua baris. Apabila sensor tidak mendeteksi
adanya pelampung di range level ke-2 ini, maka proses akan melanjutkan
pendeteksian ke range level 3.

Apabila sensor mendeteksi adanya pelampung di range level ke-3


maka akan ditampilkan di LCD dengan tampilan berupa “ LEVEL AIR = 3”
dan “PM1 = 1 PM2 = 0” dalam dua baris. Apabila sensor tidak mendeteksi
adanya pelampung di range level ke-3 ini, maka proses akan melanjutkan
pendeteksian ke range level 4.

Apabila sensor mendeteksi adanya pelampung di range level ke-4


maka akan ditampilkan di LCD dengan tampilan berupa “ LEVEL AIR = 4”
dan “PM1 = 1 PM2 = 0” dalam dua baris. Apabila sensor tidak mendeteksi
adanya pelampung di range level ke-4 ini, maka proses akan melanjutkan
pendeteksian ke range level 5.

Apabila sensor mendeteksi adanya pelampung di range level ke-5


maka akan ditampilkan di LCD dengan tampilan berupa “ LEVEL AIR = 5”
dan “PM1 = 0 PM2 = 0” dalam dua baris dan proses selanjutnya diteruskan
ke Diagram Alir A. PM disini merupakan menunjukkan kerja pompa air,
apabila PM = 1 maka pompa air aktif (menyala) dan apabila PM = 0 pompa
air tidak aktif (mati). PM1 adalah pompa air 1 dan PM2 adalah pompa air 2.
Apabila sensor belum mendeteksi adanya pelampung di range level ke-5
ini, maka proses akan melanjutkan pendeteksian level air sampai terdeteksi
level 5.

Proses (*) sampai (**) merupakan diagram alir pengosongan toren setelah
toren terisi penuh sampai level 5 dimana sensor mendeteksi level air yang

38
Kiki Prawiroredjo & Ignatius Melvin Susanto. Pengatur Ketinggian Air Otomatis

turun terus sampai ke level 1 tanpa menyalakan pompa. Sensor mendeteksi


ketinggian air di level 1 maka kedua pompa akan dinyalakan dan pengisian
toren dimulai kembali dengan kecepatan pengisian seperti pada waktu
toren masih kosong sesuai diagram alir pada proses (**) sampai (***).

7. Hasil Dan Pembahasan


7.1. Pengujian Sensor Infrared Sharp GP2D12

Tujuan pengujian sensor infrared Sharp GP2D12 ini adalah untuk


mengetahui tegangan keluaran sensor yang terjadi pada jarak atau level
yang dikehendaki apakah sudah sesuai untuk menjadi level tegangan yang
menyatakan ketinggian level air tertentu sebagai input tegangan
mikrokontroler.
Langkah-langkah pengujian yang dilakukan sebagai berikut:
1) Sensor infrared SHARP GP2D12 dihubungkan dengan catu daya 5
Volt.
2) Posisi pelampung ke sensor infrared SHARP GP2D12 diukur dengan
menggunakan mistar.
3) Tegangan kaki keluaran sensor infrared SHARP GP2D12 diukur
dengan menggunakan Voltmeter DC untuk setiap posisi yang telah
ditentukan. Posisi pelampung sama dengan level air yang dijelaskan di
atas.
4) Hasil pengujian dicatat.

Tabel 1. Hasil Pengujian Tegangan Keluaran


Sensor Infrared SHARP GP2D12 pada level 0, 1, 2, 3, 4, dan 5

Level ke- Tegangan (Volt)

5 2,17
4 1,80
3 1,44
2 1,15
1 0,98
0 0,85

39
JETri, Volume 9, Nomor 2, Februari 2010, Halaman 25 - 44, ISSN 1412-0372

Dari hasil pengujian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa


terdapat sedikit perbedaan tegangan antara hasil pengujian dengan data
karakteristik sensor infrared SHARP GP2D1 dari pabrik dengan rata-rata
perbedaan sebesar 3 % yang diperlihatkan pada tabel 2. Tegangan keluaran
ini sesuai untuk menjadi input tegangan mikrokontroler untuk menyatakan
ketinggian air dari level 1 sampai dengan level 5.

Tabel 2. Perbedaan Tegangan Keluaran Antara Hasil Pengujian Dengan


Data Karakteristik Infrared SHARP GP2D12

Level Jarak Sensor Dengan Hasil Data Karakteristik


ke- Penghalang (cm) Pengujian Pabrik

5 11,5 2,17 2,20


4 15,5 1,80 1,85
3 19,5 1,44 1,47
2 23,5 1,15 1,20
1 27,5 0,98 1,00
0 30 0,85 0,90

7.2. Pengujian Rangkaian Driver Relay Dan Relay.


Tujuan pengujian rangkaian relay ini adalah untuk memastikan rangkaian
dapat mengaktifkan pompa air ketika diberi logika 1 (high) dan dapat
menonaktifkan pompa air ketika diberi logika 0 (low) oleh mikrokontroler
ATmega8535(L). Gambar 7. memperlihatkan rangkaian pengujian driver
relay dan relay

Langkah-langkah pengujian:
1) IC ATmega8535(L) yang telah diprogram, dipasang pada rangkaian
pengaturan ketinggian air.
2) Catu daya 5 volt dihubungkan dengan rangkaian pengaturan
ketinggian air.
3) Tegangan keluaran mikrokontroler pada PORTC.6 dan PORTC.7
diukur dengan menggunakan Voltmeter DC.
4) Hasil pengujian dicatat.

40
Kiki Prawiroredjo & Ignatius Melvin Susanto. Pengatur Ketinggian Air Otomatis

RLY1
5VSPDT POMPA

+
220 VAC
ULN2803 -

IN 1 OUT 1
IN 2 OUT 2 RLY2
IN 3 OUT 3 5VSPDT
IN 4 OUT 4 POMPA
IN 5 OUT 5 +
IN 6 OUT 6 220 VAC
IN 7 OUT 7
IN 8 -
OUT 8
GND DIODES

5 VDC

Gambar 7. Rangkaian Pengujian Driver Relay Dan Relay

Hasil pengujian dicatat pada Tabel 3 dan Tabel 4.

Tabel 3. Hasil Pengujian Driver Relay Dan Relay Pada PORTC.6

PC.6 Keluaran PC.6 (volt) Relay 1


High 5,06 On
Low 0 Off

Tabel 4. Hasil Pengujian Driver Relay Dan Relay Pada PORTC.7

PC.7 Keluaran PC.7 (volt) Relay 2


High 5,06 On
Low 0 Off

41
JETri, Volume 9, Nomor 2, Februari 2010, Halaman 25 - 44, ISSN 1412-0372

Dari hasil pengujian yang telah dilakukan pada tabel 3 dan 4,


tegangan high mikrokontroler adalah sebesar 5,06 volt dan tegangan low
mikrokontroler adalah sebesar 0 volt. Ketika rangkaian relay diberi
tegangan masukan high, relay akan on dan sumber tegangan sebesar 220
volt ac terhubung pada pompa air. Relay akan off ketika diberi tegangan
masukan low dan pompa air tidak terhubung dengan sumber tegangan ac.
Hal ini menunjukan tegangan keluaran mikrokontroler dapat mengatur
driver relay dan relay sehingga dapat menyalurkan sumber tegangan ac
(listrik PLN) ke pompa air sesuai kebutuhan.

7.3. Pengujian Keseluruhan Sistem


Tujuan pengujian keseluruhan sistem ini adalah untuk memastikan
kerja prototipe rangkaian pengaturan ketinggian air sesuai dengan
rancangan perangkat lunak yang telah dibuat.

Langkah-langkah pengujian yang dilakukan sebagai berikut:


1) Toren mula-mula kosong dan prototipe rangkaian dinyalakan.
2) Dicatat hal-hal yang terjadi selama proses pengisian air ke toren oleh
pompa air.
3) Setelah air pada toren penuh dilakukan pengosongan air dengan cepat.
4) Dicatat hal-hal yang terjadi selama proses pengosongan air.

Dari hasil pengujian keseluruhan dicatat bahwa rangkaian pengatur


ketinggian air ini bekerja sesuai diagram alir perangkat lunak yang telah
dibuat. Pompa bekerja dan mati sesuai level air yang telah ditentukan.

Toren yang mula-mula kosong akan terisi air dari level 0 sampai
dengan level 5 dengan dua pompa air bekerja pada level 0, 1 dan 2. Pada
level 3 dan 4 satu pompa air bekerja mengisi toren dan bila air mencapai
level 5 kedua pompa ait akan mati.

Setelah toren terisi penuh air, toren tidak akan pernah kosong dalam
penggunaan airnya dengan catatan sumber air di bak tampung selalu ada.
Bila air pada toren digunakan dan ketinggian air turun sampai batas level 1
maka kedua pompa air akan bekerja sehingga pengisian air terjadi kembali
dengan kecepatan pengisian sesuai pengisian saat toren masih kosong.

Dari pengujian keseluruhan ini diketahui bahwa posisi pelampung


yang bergerak pada saat pengisian dan pengosongan air di dalam toren
menyebabkan sensor infared tidak dapat mendeteksi jarak pelampung

42
Kiki Prawiroredjo & Ignatius Melvin Susanto. Pengatur Ketinggian Air Otomatis

dengan tepat. Pantulan dan penerimaan sinar infrared tidak stabil


menyebabkan tegangan keluaran sensor infrared SHARP GP2D12 yang
digunakan sebagai masukan mikrokontroler ATmega8535(L) berubah-ubah
yang dapat menyebabkan keterlambatan kerja pompa air sehingga pompa
yang seharusnya sudah menyala atau sudah mati pada levelnya tidak terjadi.
Hal ini dapat diperbaiki dengan mengatur kembali parameter tegangan yang
digunakan pada perangkat lunak.

8. Kesimpulan
Setelah melalui proses perancangan serta pengujian alat, maka diambil
beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1) Kerja sistem secara keseluruhan pengaturan ketinggian air otomatis
telah berfungsi sesuai dengan rancangannya.
2) Perbedaan tegangan keluaran pada saat pendeteksian jarak pelampung
oleh sensor infrared SHARP GP2D12 terhadap data karakteristik
terdapat sedikit perbedaan, dengan persen kesalahan rata-rata adalah 3
%. Hal ini terjadi karena adanya perbedaan pada setiap sensor yang
diproduksi, kesalahan membaca data dari karakteristik sensor infrared
SHARP GP2D12, dan kesalahan membaca tegangan pada voltmeter
DC yang digunakan. Tetapi hal ini tidak mengganggu kerja dari pompa
air.
3) Keterlambatan kerja pompa air yaitu belum bekerja atau belum mati
pada levelnya disebabkan karena bergeraknya pelampung pada saat
pengisian dan pengosongan air yang menyebabkan sensor infrared
tidak sesuai dengan yang telah dirancang sebagai mestinya.
4) Untuk pengisian toren yang tinggi disarankan menggunakan sensor
jarak ultrasonik yang dapat mendeteksi jarak sampai 200 cm.

Daftar Pustaka
1. ATMEL, ATmega8535, ATmega8535L. 2006. (Online),
(http:/www.atmel.com/dyn/resources/prod_document/doc2502.pdf,8
Juni 2009, 10:09 WIB).
2. Boylestadt, Robert dan Louis Nashelsky. 1987. Electronic Device and
Circuit Theory. Fourth Edition. USA: Prentice Hall, Inc.
3. SHARP GP2D12, 2005, (Online),
(http://www.sharpsma.com/webfm_send/1203, 2005, 23 April 2012,
10:48 WIB)
4. Widodo, Romy Budhi. 2009. Embedded Sistem Menggunakan

43
JETri, Volume 9, Nomor 2, Februari 2010, Halaman 25 - 44, ISSN 1412-0372

Mikrokontroler dan Pemrograman C. ANDI. Yogyakarta.


5. Wiyono, Didik. 2007. Panduan Praktis Mikrokontroler Keluarga AVR
Menggunakan DT-COMBO AVR-51 Starter Kit Dan DT-COMBO AVR
Exercise Kit. Innovative Electronics. Surabaya.

44
JETri, Volume 9, Nomor 2, Februari 2010, Halaman 45 - 60, ISSN 1412-0372

ANALISIS PENGARUH PEMBEBANAN TERHADAP


SUSUT UMUR TRANSFORMATOR TENAGA:
STUDI KASUS TRAFO GTG 1.3 PLTGU
TAMBAK LOROK, SEMARANG

G. Riana Naiborhu
Dosen Jurusan Teknik Elektro-FTI, Universitas Trisakti

Abstract
Operating temperature of potential transformer design is 20 oC. However it is not applicable
in Indonesia with temperature 30 oC. Because of that, the load of the transformer need to be
adjusted. Operating lifetime will become shorter and loss of life will become greater at higher
temperature. Loss of life of the transformer depends on winding isolation and transformer oil.
Overheating in transformer winding can damage the isolation and increase oil temperature
resulting in degradation of the oil. If the changes occur in a long period, it can decrease the
isolation value of the oil. The final research observes the correlation between load of
transformer and ambient temperature to the loss of life viewed from deterioration transformer
winding insulation and analyze GTG 1.3 PLTGU Tambak Lorok Semarang Transformer loss
of life refer to1972 IEC 354 standard. According the result, 80% of transformer load is
caused minimum 24% loss of life. With IEC 354 standard’s transformer and 20 oC ambient
temperature resulting in minimum 100% loss of life on 100% load. According to 20 load
data, with maximum load of GTG 1.3 PLTGU Tambak Lorok Semarang Transformer loss of
life is 15.69%

Keywords: transformer, ambient temperature, loss of life

1. Pendahuluan
Di masa sekarang kebutuhan listrik semakin meningkat sejalan
dengan berkembangnya teknologi. Perkembangan yang pesat ini harus
diikuti dengan perbaikan kualitas dan keandalan energi listrik yang
dihasilkan. Kualitas dari suatu energi listrik dapat dilihat dari segi ekonomis
dan teknis. Hal-hal yang menyangkut kualitas energi listrik dari segi teknis
yaitu tegangan, frekuensi dan keandalan.

Tegangan dan frekuensi yang dihasilkan oleh pembangkit


mempunyai besaran yang sesuai dengan nilai yang ditentukan. Apabila nilai
dari tegangan dan frekuensi tersebut diluar dari nilai yang ditentukan maka
dikatakan kualitas dari tegangan dan frekuensi tersebut tidak baik.
JETri, Volume 9, Nomor 2, Februari 2010, Halaman 45 - 60, ISSN 1412-0372

Sedangkan keandalan suatu sistem tenaga listrik sangat erat


hubungannya dengan ketersediaan, yaitu jumlah waktu sistem bekerja sesuai
dengan fungsinya, sehingga gangguan yang terjadi pada sistem akan
mengakibatkan turunnya kesinambungan dalam penyaluran energi.

Sistem tenaga listrik merupakan sarana untuk meyalurkan energi


listrik dari pusat pembangkit listrik sampai pada konsumen. Sistem tenaga
listrik terdiri dari tiga kelompok yaitu: a. Pembangkit b. Saluran transmisi c.
Saluran distribusi.

Salah satu peralatan yang sangat penting dalam penyaluaran tenaga


listrik yaitu trafo tenaga. Fungsi transformator tenaga ini adalah suatu
peralatan tenaga listrik yang berfungsi untuk menyalurkan tenaga/daya
listrik dari tegangan tinggi ke tegangan rendah atau sebaliknya
(mentransformasikan tegangan). Oleh karena itu transformator merupakan
peralatan yang sangat penting maka diusahakan agar peralatan ini berusia
panjang dan dapat lebih lama dipergunakan.

Ada banyak faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya


berkurangnya umur transformator antara lain yaitu: pengaruh dari suhu
sekitar (ambient temperatur), suhu minyak trafo, pola pembebanan, kualitas
bahan transformator, kualitas minyak, cuaca, kadar oksigen, kelembapan
udara dan pengelolaan terhadap transformator tersebut. Untuk pengelolaan
transformator berkaitan dengan pemeliharaan rutin yang dilaksanakan, baik
itu pemeliharaan preventif, korektif maupun detektif.

2. Landasan Teori
Tranformator daya adalah suatu peralatan listrik yang berfungsi
untuk menyalurkan daya listrik dari generator bertegangan menengah ke
transmisi bertegangan tinggi dan untuk menyalurkan daya dari transmisi
bertegangan tinggi ke jaringan distribusi bertegangan rendah. Konstruksi
umum dari transformator daya ditunjukkan pada Gambar 1. Pada halaman
berikut.

Arus listrik bolak balik yang mengalir mengelilingi suatu inti besi
maka inti besi itu akan berubah menjadi magnet seperti Gambar 2.a. pada
halaman berikut dan apabila magnet tersebut dikelilingi oleh suatu belitan
maka pada kedua ujung belitan tersebut akan terjadi beda tegangan seperti
Gambar 2.b. pada halaman berikut.

46
Riana Naiborhu. Analisa Pengaruh Pembebanan Terhadap Susut Umur Transformator Tenaga

7
7

6 6

1
1
2

3 4

2 3

a. Trafo kumparan piring. b. Trafo kumparan silinder.

Gambar 1. Konstruksi Transformator Daya. (Arismunandar, 1979: np)

Keterangan: 1) Kumparan tegangan tinggi. 2) Kumparan tegangan rendah. 3)


Inti. 4) Minyak isolasi. 5) Tanki baja. 6) Bushing tegangan tinggi. 7)
Bushing tegangan rendah.

Soft Iron Core

Lines of Force are

Concentrated

+ -

Gambar 2.a. Suatu arus listrik Gambar 2.b. Suatu lilitan


mengelilingi inti besi maka besi itu mengelilingi magnet maka akan
menjadi magnet timbul gaya gerak listrik (GGL)

47
JETri, Volume 9, Nomor 2, Februari 2010, Halaman 45 - 60, ISSN 1412-0372

Apabila kumparan primer dihubungkan dengan tegangan (sumber),


maka akan mengalir arus bolak balik I pada kumparan tersebut. Oleh karena
kumparan menpunyai inti, arus I menimbulkan fluks magnet yang berubah-
ubah pada intinya. Akibat adanya fluks magnet yang berubah-ubah, pada
kumparan primer akan timbul GGL induksi ep.

Besarnya GGL induksi pada kumparan primer adalah:

(1)

Besarnya GGL induksi pada kumparan sekunder adalah:

(2)

Terdapat juga rugi-rugi pada trafo daya sebagai berikut;


Rugi-rugi arus Eddy dan histerisis timbul pada inti trafo disebabkan oleh
arah bolak balik dari magnetisasi trafo, rugi arus Eddy disebabkan oleh
karena arus Eddy yang diinduksikan pada laminasi inti, nilainya adalah:

P e = K e 2.f2.B m (3)

dengan:
Pe : rugi-rugi arus Eddy (Watt)
f : frekuensi (Hertz)
Bm : kepadatan fluks maksimum (Tesla)
Ke : konstan

Untuk rugi-rugi histerisis:

P h = Kh.f.B m 1,6 (4)

dengan:
Ph : rugi-rugi histerisis (Watt)
f : frekuensi (Hertz)
Bm : kepadatan fluks maksimum (Tesla)
Kh : konstanta

Besarnya rugi-rugi inti dipengaruhi oleh perubahan fluks pada inti


sebagai fungsi dari waktu, ini merupakan suatu hal yang cukup berarti

48
Riana Naiborhu. Analisa Pengaruh Pembebanan Terhadap Susut Umur Transformator Tenaga

terutama pada pelaksanaan uji trafo kapasitas besar di laboratorium.


Sedangkan rugi tembaga merupakan rugi yang disebabkan arus beban
mengalir pada kawat tembaga, nilainya:

P cu = I2R (5)

Karena arus beban berubah-ubah, rugi tembaga juga tidak tetap tergantung
pada beban.

3. Metodologi
Dilakukan pengujian dengan kondisi sebagai beikut:
A. Diperlukan data masukan berupa data trafo, data temperatur dan data
pembebanan.

a. Data Transformator
• Daya pengenal : 110 / 145 MVA
• Jenis pendinginan : ONAN / OFAF
• Tegangan primer : 11,5 KV
• Tegangan sekunder : 150 KV
• Rugi tembaga : 450 KW
• Rugi beban nol : 100 KW

b. Data Temperatur
• harian : 27,9 °C
• maksimum bulan september : 33,8267 °C
• maksimum tahun 2009 : 32 °C

c. Data pembebanan
Untuk data pembebanan tanggal 6 September tahun 2011 dapat
dilihat pada Tabel 1. halaman berikut ini.

B. Pembebanan transformator dengan beban konstan untuk menentukan


ratio pembebanan, perbandingan rugi, menentukan kenaikan temperatur
trafo,menentukan perkiraan umur trafo.

C. Analisa real dengan data yang ada.

49
JETri, Volume 9, Nomor 2, Februari 2010, Halaman 45 - 60, ISSN 1412-0372

Tabel.1. Pembebanan PLTGU Tambak Lorok Semarang Blok I


Tanggal 6 September 2011 (Bean, Richard L, ny, np) (kontinyu)
PLTGU BLOK 1

JAM GTG I.1 GTG I.2 GTG I.3 STG I.0

MW MVAR MW MVAR MW MVAR MW MVAR

0:00 102 1 102 1 103 1 150 1


1:00 102 2 102 2 102 2 151 2
2:00 75 1 75 1 72 2 126 1
3:00 104 1 103 2 104 2 151 2
4:00 104 30 104 45 104 45 151 45
5:00 94 30 94 35 95 35 149 35
6:00 75 25 75 25 75 25 127 35
7:00 75 10 75 10 75 10 127 10
8:00 101 10 101 10 100 10 148 10
9:00 101 10 101 10 100 10 148 10
10:00 101 20 101 20 102 20 150 20
11:00 101 20 101 20 102 20 150 20
12:00 101 5 101 5 102 5 150 5
13:00 101 5 100 5 100 5 150 5
14:00 101 20 100 20 100 20 150 20
15:00 100 20 100 20 100 20 150 20
16:00 100 20 100 20 100 20 150 20
17:00 100 0 100 0 101 0 150 0
18:00 100 30 100 30 101 30 150 30

50
Riana Naiborhu. Analisa Pengaruh Pembebanan Terhadap Susut Umur Transformator Tenaga

Tabel.1. Pembebanan PLTGU Tambak Lorok Semarang Blok I


Tanggal 6 September 2011 (sambungan)
PLTGU BLOK 1

GTG I.1 GTG I.2 GTG I.3 STG I.0


JAM
MW MVAR MW MVAR MW MVAR MW MVAR

19:00 100 30 100 45 101 45 150 45


20:00 100 30 100 45 101 45 150 45
21:00 102 20 102 30 103 30 150 40
22:00 102 10 101 10 103 10 151 20
23:00 102 10 102 10 103 10 151 10
24:00 102 10 102 10 103 10 151 8

4. Hasil Penelitian atau Pembahasan


Bila transformator didesain dengan standar IEC dengan suhu sekitar
20 C tetapi beroperasi di Indonesia dimana suhu lingkungan sekitar 30 C
maka trafo tersebut harus disesuaikan kemampuannya, karena pada kondisi
ini suhu panas setempat lebih tinggi dari standar atau dengan kata lain trafo
tersebut mengalami penurunan kapasitas. Semakin tinggi panas setempat
semakin pendek operasional dari transformator tenaga tersebut. Agar umur
transformator mencapai yang diperkirakan untuk pembebanan konstan
seharusnya susut umurnya tidak melebihi 100%. Besarnya penurunan dapat
dihitung sebagai berikut:

Agar umurnya mencapai yang diharapkan maka besarnya Lmaks = 100%.


Menentukan Ratio Pembebanan ( K ), pembebanan 100 % :

=1

51
JETri, Volume 9, Nomor 2, Februari 2010, Halaman 45 - 60, ISSN 1412-0372

Menentukan Perbandingan Rugi ( d ) :

= 4,5

Menentukan Kenaikan Temperatur Stabil :

(6)

= 40oC

Sedangkan untuk temperaturnya memakai temperatur rata-rata selama tahun


2011 yang dapat dilihat pada tabel dibawah ini:

Tabel 2. Temperatur maksimal harian tahun 2011(IEC Publication, 1972: np)


(kontinyu)
Temperatur Maksimal (oC) Bulan
Tanggal
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

1 30.0 30.1 29.6 31.0 31.6 32.2 32.0 33.6 34.0 33.0 32.8 32.0
2 27.0 31.0 . 30.6 32.0 33.4 34.0 33.8 34.7 33.3 33.8 32.4
3 29.2 31.0 . . 31.8 34.2 33.3 33.0 35.00 34.4 31.2 33.0
4 28.0 29.4 . . 33.0 32.4 34.0 34.0 31.0 36.4 32.4 33.2
5 29.6 30.0 29.8 31.0 32.9 33.4 33.0 34.7 34.8 35.0 32.2 33.8
6 29.4 30.8 30.0 31.8 32.3 32.8 32.6 34.2 32.0 34.8 31.7 32.0
7 30.0 27,0 30.8 30.4 32.8 32.2 33.4 33.4 32.0 32.4 31.0 31.6
8 30.8 29.8 30.0 31.8 33.4 32.0 33.0 34.2 31.2 31.2 32.4 31.0

52
Riana Naiborhu. Analisa Pengaruh Pembebanan Terhadap Susut Umur Transformator Tenaga

Tabel 2. Temperatur maksimal harian tahun 2011(sambungan)


Temperatur Maksimal (oC) Bulan
Tanggal
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

9 31.8 26.9 30.2 31.4 33.8 33.1 33.2 33.0 34.2 34.0 32.2 29.4

10 30.9 29.0 30.6 32.8 33.4 32.0 32.8 31.0 35.0 35.1 31.0 29.8

11 31.0 29.8 30.4 32.0 32.2 34.2 33.0 33.4 33.4 34.8 32.0 29.2

12 31.0 . 32.6 32.0 32.8 . 33.0 32.8 34.0 34.8 32.0 29.0

13 31.8 29.0 32.0 32.0 31.6 32.2 34.0 32.6 34.4 35.2 32.0 31.6

14 30.4 27.4 30.6 31.0 31.0 33.0 34.0 32.6 32.0 35.0 31.8 30.5

15 30.8 27.6 30.8 31.8 31.7 32.8 31.6 32.6 32.6 35.2 32.0 30.8

16 30.9 29.8 31.0 33.6 31.6 32.4 32.4 33.4 33.2 35.8 31.0 30.2

17 30.8 27.0 33.0 32.4 32.8 32.5 33.6 34.2 35.2 34.0 31.0 30.3

18 31.6 28.0 30.6 32.4 32.8 33.0 34.0 34.0 35.2 34.6 30.6 30.5

19 30.4 28.4 30.8 33.8 33.4 32.1 34.0 34.2 36.2 35.2 30.0 30.3

20 30.0 28.0 31.0 31.8 32.8 32.0 32.4 33.0 32.8 34.8 31.0 30.2

21 30.0 27.6 30.8 32.0 32.8 31.8 34.2 33.6 32.7 35.4 31.0 29.8

22 31.1 28.0 30.7 32.2 32.6 31.6 33.0 . 33.8 35.0 30.0 30.6

23 31.4 29.0 30.4 30.7 32.8 33.0 32.4 31.2 36.2 33.0 31.2 30.0

24 32.0 29.0 30.0 32.2 33.0 33.4 32.0 34.0 31.4 . 31.0 30.8

25 33.0 29.8 30.4 32.0 33.1 33.4 32.2 31.1 35.8 34.4 30.2 30.4

26 33.0 28.3 30.6 31.6 33.8 33.1 30.0 33.2 36.0 31.0 31.6 30.8

27 31.2 29.8 30.8 32.0 32.0 33.0 31.4 33.2 32.4 31.2 31.0 30.6

28 31.5 28.9 30.1 32.8 32.8 31.2 32.8 34.0 35.0 29.4 32.2 31.0

29 31.4 29.8 31.0 33.1 33.0 33.0 32.9 33.8 33.8 31.2 32.0 29.9

30 31.0 29.8 32.8 33.4 32.6 33.6 33.0 34.8 31.4 32.2 30.8

Rata-rata 320

53
JETri, Volume 9, Nomor 2, Februari 2010, Halaman 45 - 60, ISSN 1412-0372

Menentukan Kenaikan Temperatur Top OII (∆θ on )

∆θ on = ∆θ o(n-1) + (∆θ o - ∆θ o(n-1) )(1 –e-1/τθ)


(7)

∆θ o1 = 40 + (40 - 40)(1 –e-1/2 )

= 400C

Menentukan Selisih Temperatur Antara Hot Spot Dengan Top OII

∆θ id = (∆θ cr - ∆θ or )K2y (8)

= (78 - 40)(1,0)2(0,9)

= 380C

Menentukan Temperatur Hot Spot

θ c = θ a + ∆θ on + ∆θ oid (9)

= 32 + 40 + 38

= 1100C

Menentukan Laju Penuaan Thermal Relatif

V = 2(θc-98)/6 (10)

= 2(110-98)/6

=4

Karena bebannya konstan maka besarnya laju penuaan relatif untuk tiap jam
perhatinya sama

Menghitung Pengurangan Umur

54
Riana Naiborhu. Analisa Pengaruh Pembebanan Terhadap Susut Umur Transformator Tenaga

Besarnya susut umur pada transformator saat dibebani 100% karena


pengaruh penurunan isolasi belitan saja tanpa memperhitungkan pengaruh
yang lain dapat dihitung sebagai berikut:

(11)

+ 2 (4 + 4+ 4 + 4 + 4 + 4 + 4 + 4 + 4 + 4 + 4 + 4)} 100%

= 400%

Perhitungan-perhitung untuk beban transformator 90% (Perera, ny: np):

- Menentukan Ratio Pembebanan (K)

= 0,9

- Menentukan Perbandingan Rugi (d)

= 4,5

- Menentukan Kenaikan Temperatur Stabil Top OII

∆θ o = ∆θ oi

55
JETri, Volume 9, Nomor 2, Februari 2010, Halaman 45 - 60, ISSN 1412-0372

= 40

= 33,7820C
- Menentukan Kenaikan Temperatur Top OII (∆θ on )

∆θ on = ∆θ o(n-1) + (∆θ o - ∆θ o(n-1) )(1 –e-1/τθ)

∆θ o1 = 33,782 +(33,782 – 33,782)(1 –e-1/2 )

= 33,7820C

- Menentukan Selisih Temperatur Antara Hot Spot Dengan Top OII

∆θ id = (∆θ cr - ∆θ or )K2y

= (78 - 40)(0,9)2(0,9)

= 31,3450C

- Menentukan Temperatur Hot Spot

θ c = θ a + ∆θ on + ∆θ oid

= 32 + 33,782 + 31,345

= 97,2170C

- Menentukan Laju Penuaan Thermal Relatif

V = 2(θc-98)/6

= 2(97,217 . 98)/6

= 0,9135

Karena bebannya konstan maka besarnya laju penuaan relatif untuk tiap jam
perharinya sama.

56
Riana Naiborhu. Analisa Pengaruh Pembebanan Terhadap Susut Umur Transformator Tenaga

Besarnya susut umur pada transformator saat dibebani 90% karena pengaruh
penurunan isolasi belitan saja tanpa memperhitungkan pengaruh yang lain
dapat dihitung sebagai berikut:

{ V o + 4 (V 1 + V 3 + V 5 + V 7 + V 9 + V 11 + V 13 + V 15 +
V 17

+ V 19 + V 21 + V 23 ) + 2 ( V 2 + V 4 + V 6 + V 8 + V 10 + V 12 + V 14

+ V 16 + V 18 + V 20 + V 22 ) + V 24 } 100%

{ 0,9135 + 4 ( 0,9135 + 0,9135 + 0,9135 + 0,9135 + 0,9135

+ 0,9135 + 0,9135 + 0,9135 + 0,9135 + 0,9135 + 0,9135

+ 0,9135 + 0,9135 ) + 2 ( 0,9135 + 0,9135 + 0,9135 + 0,9135

+ 0,9135 + 0,9135 + 0,9135 + 0,9135 + 0,9135 + 0,9135

+ 0,9135 ) + 0,9135 }

= 91,35%

{ V o + 4 (V 1 + V 3 + V 5 + V 7 + V 9 + V 11 + V 13 + V 15 +
V 17

+ V 19 + V 21 + V 23 ) + 2 ( V 2 + V 4 + V 6 + V 8 + V 10 + V 12 + V 14

+ V 16 + V 18 + V 20 + V 22 ) + V 24 } 100%

{ 2V + 48V + 22V }

57
JETri, Volume 9, Nomor 2, Februari 2010, Halaman 45 - 60, ISSN 1412-0372

Karena bebannya stabil maka rumus yang digunakan adalah:

∆θ o = ∆θ oi

= 40

θ n = ∆θ a + ∆θ an + ∆θ td

98 = 32 + 40 + 38K1,8

Maka
K = 0,9064

Turunnya kapasitas trafo = ( 1- 0.9064 ) x 100 %

= 0.0936 x 100%

= 9.36%

Berikut ini Tabel 3. merupakan durasi operasional yang masih diijinkan.

Tabel 3 Durasi operasional yang masih diijinkan


Jam Per Hari θc

24 98
16 101,5
12 104
8 107,5
6 110
4 113,5
3 116

58
Riana Naiborhu. Analisa Pengaruh Pembebanan Terhadap Susut Umur Transformator Tenaga

2 119,5
1,5 122
1 125,5
0,75 128
0,5 131,5
Berdasarkan Tabel 3. yaitu durasi operasional yang masih diijinkan pada
suatu transformator, untuk operasi 24 jam besarnya temperatur hotspot
adalah 98°C, maka untuk pembebanan 100% dan 90% dapat dihitung pada
temperatur maksimal berapa agar menghasilkan temperatur hotspot 98°C.
Jadi suhu sekitar maksimum agar temperatur hotspot tidak melebihi 98°C
untuk pembebanan 100% adalah 20°C dan 32,783°C untuk pembebanan
90%.

Pembebanan 100% (Kadir, Abdul, 1979: np)

98 = 0a + 40 + 38

0a = 98 – 78

= 20°C

Pembebanan 90%

98 = 0a + 33,782 + 31,435

0a = 98 – 65,217

= 32,783°C

5. Kesimpulan dan Saran


1. Apabila suhu sekitar berubah dari 20C sampai 38C untuk pembebanan
100% susut umurnya berada pada cakupan 100% sampai 800%,
pembebanan 90% berada pada cakupan 22,84% sampai 128,71% .
2. Dengan transformator standar IEC 354 suhu lingkungan 20C
menghasilkan susut trafo minimal 100 % pada beban 100%. Berdasar

59
JETri, Volume 9, Nomor 2, Februari 2010, Halaman 45 - 60, ISSN 1412-0372

data pembebanan dimana susut umur trafo tenaga GTG 1. 3 PLGU


Tambak Lorok Semarang dengan pembebanan maksimum tanggal 6
September menghasilkan susut umur 15,69 %.
3. Hasil penelitian susut umur yang didapatkan seperti kesimpulan diatas
hanya berasal dari pengaruh penurunan kemampuan isolasi akibat
pemanasan dari pembebanan dan suhu sekitar belum memperhitungkan
dari pengaruh yang lain, yang dapat mengakibatkan penambahan laju
penyusutan umur.
Daftar Pustaka
1. Arismunandar, S. Kuwahara, Buku Pegangan Teknik Tenaga Listrik,
Jilid III, Jakarta : Pradnya Paramita, 1979.
2. Bean, Richard L, Transformers For The Electric Power Industry,
3. IEC, Loading Guide For Oil Immersed Transformer, IEC Publication,
1972.
4. Kadir, Abdul, Transformator, Jakarta : Pradnya Paramita, 1979.
5. Perera, KBMI, Estimation of Optimum Transformer Capacity based on
Load

60

Anda mungkin juga menyukai