Jurnal Teknik Elektro terbit 2 (dua) kali dalam setahun pada bulan Februari dan
Agustus. Penerbit menerima karangan ilmiah berupa hasil penelitian, survei dan
telaah pustaka yang erat kaitannya dengan IPTEK bidang Teknik Elektro.
Pedoman penulisan dapat dilihat pada halaman belakang.
JETri, Volume 9, Nomor 2, Februari 2010, ISSN 1412-0372
Daftar Isi
Halaman
PENERAPAN MODULASI DPSK PADA TRANSMISI
SERAT OPTIK
Harumi Yuniarti & Bambang Cholis 1
Editorial
Abstract
Nowadays the implementions of the transmission modulation techniques (high channel
capacity) in optical fibres have been widely developed, one of the successful key factors of
this system is the application of digital modulation techniques and the adjustment of
modulation pattern. Modulation pattern of adjustment measures on the operational
requirements of the system was made possible by the utilization of techniques Apol RZ-DPSK
(Alternate Polarization Return-to-Zero Differential Phase Shift Keying). It is considered
likely because it can reduce the effects of inter-channel non-linearity, noise and
simultaneously demonstrates increasing system margins.
1. Pendahuluan
Sistem komunikasi transmisi serat optik berkembang pesat baik
berupa komunikasi suara, video dan data. Pemanfaatan serat optik pada
sistem transmisi merupakan nilai tambah dari suatu teknologi handal yang
berkapasitas kanal besar, kecepatan tinggi, penerimaan data yang lebih
akurat, teliti dapat dipercaya dan terjamin kerahasiaannya. Faktor kunci
teknik pencapaian hasil tersebut, diataranya melalui perbaikan sinyal
dengan menyesuaian pola modulasi yang digunakan.
segi kecepatan data maupun kebutuhan serta kualitas sinyal yang baik.
Untuk mengetahui format mana dari keluaran Mach Zehnder yang memiliki
performansi yang lebih baik, telah dilaporkan pula bahwa beberapa format
modulasi yang dihasilkan modulator Mach Zehnder yaitu NRZ-DPSK (Non-
Return-to-Zero Differential Phase Shift Keying) dan RZ-DPSK.(Return-to-
Zero Differential Phase Shift Keying)
2. Teknik Modulasi
Proses penumpangan sinyal-sinyal informasi (optik) ke dalam
sinyal pembawa (carrier), sehingga dapat ditransmisikan ke tujuan, disebut
modulasi optik. Modulasi optik atau modulasi cahaya adalah teknik
modulasi yang menggunakan berkas cahaya berupa pulsa-pulsa cahaya
sebagai sinyal pembawa informasi. Berkas cahaya yang digunakan disini
adalah berkas cahaya yang dihasilkan oleh suatu sumber cahaya (laser atau
LED). Dibandingkan dengan modulasi konvensional, modulasi cahaya
memiliki keunggulan dalam hal ketahanan terhadap noise yang sangat
tinggi, karena sinyal tidak dipengaruhi medan elektromagnet. Di samping
itu, sistem ini memungkinkan adanya bitrate hingga mencapai ratusan
gigabit per detik. Dalam modulasi optik, sinyal dapat dimodulasi
amplitudonya yang dikenal dengan modulasi intensitas (Intensity
Modulation) berupa Amplitudo Shift Keying (ASK) / On-Off Keying (OOK).
Selain itu, berkas cahaya dapat juga dimodulasi frekuensinya atau lebih
tepat modulasi panjang gelombang (Wavelength Modulation). Dan yang
ketiga adalah dimodulasi fasanya (Phasa Modulation).
2
Harumi Yuniarti & Bambang Cholis.Teknik Modulasi Transmisi Serat Optik
1 0 0 1
3
JETri, Volume 9, Nomor 2, Februari 2010, Halaman 1 - 12, ISSN 1412-0372
1 0 0 1
f1 f0 f0 f1
1 0 0 1
s1 s0 s0 s1
4
Harumi Yuniarti & Bambang Cholis.Teknik Modulasi Transmisi Serat Optik
0 0 1 1 0 1 0 0 0 1
5
JETri, Volume 9, Nomor 2, Februari 2010, Halaman 1 - 12, ISSN 1412-0372
D2
M1 W1 W3
test arm
P
W2 detector
L2
D1
L1
6
Harumi Yuniarti & Bambang Cholis.Teknik Modulasi Transmisi Serat Optik
dimana:
h : selisih jarak antara dua berkas cahaya dalam
interferometer.
n : indeks bias medium perambatan optik.
Pada titik P, tempat bertemunya dua berkas cahaya tadi, akan terjadi pola
dengan titik pusat (fringe) terang jika:
nh = m? 0
m = 0, 1, 2, .......
nh
m= 0,1,2, .....
7
JETri, Volume 9, Nomor 2, Februari 2010, Halaman 1 - 12, ISSN 1412-0372
π 20
1 π/2 0
NRZ
0,5 0 -20
0 -π/2
π 20
1 π/2 0
RZ
0,5 0 -20
0 -π/2
1 π 20
DPSK
0,5 π/2 0
0 -20
0 -π/2
RZ-DPSK
20
1 π
π/2 0
0,5 0 -20
0 -π/2
8
Harumi Yuniarti & Bambang Cholis.Teknik Modulasi Transmisi Serat Optik
3. A Pol RZ-DPSK
Pada PSK (Phase Shift Keying) jika terjadi loncatan fasa π
menandakan biner 1 sedangkan biner 0 jika tidak terjadi loncatan fasa.
9
JETri, Volume 9, Nomor 2, Februari 2010, Halaman 1 - 12, ISSN 1412-0372
Dalam hal ini level optik dapat dinaikkan terkait spesifikasi daya
untuk pola-pola ASK karena kedua pola tersebut (DPSK dan RZ-DPSK),
memiliki resistensi intrinsik sangat baik terhadap pelemahan rambatan yang
tergantung daya (Power Dependent Propagation Impairements, yang
dikenal sebagai efek nonlinier antar kanal).
10
Harumi Yuniarti & Bambang Cholis.Teknik Modulasi Transmisi Serat Optik
13
12 Apol RZ-DPSK
2dB
11
Q2 -factor (db)
10
9
RZ-DPSK
8
3.5dB
7
6
Channel power
(2db/div)
Gambar 8. Apol RZ-DPSK efek nonlinier pada serat optik dari bit-bit
(dapat menaikkan ~3,5 dB)
11
JETri, Volume 9, Nomor 2, Februari 2010, Halaman 1 - 12, ISSN 1412-0372
4. Kesimpulan
Langkah penyesuaian pola modulasi pada persyaratan-persyaratan
operasional sistem transmisi serat optik dengan kapasitas kanal besar ini
dimungkinkan secara aktual dengan tujuan untuk memperbaiki performasi
pengiriman sinyal menggunakan teknik transmisi digital, hal ini dilaporkan
dapat mengantisipasi efek non linieritas dan noise yang terjadi antar kanal.
Dalam kaitan ini digunakan Modulator Mach Zehnder untuk menghasilkan
pola modulasi APol RZ-DPSK (alternate Polarization Return to Zero
Defferential Phase Shift Keying). Dari hasil pemanfaatan pola ini
menunjukkan, bahwa dengan adanya kenaikkan daya kanal (Channel
Power) sebesar 3,5 dB, hal ini berarti telah terjadi kenaikan intensitas sinyal
hingga lebih dari 50% untuk transmisi jarak jauh (long houl) dengan
kapasitas besar dan memenuhi kriteria batasan-batasan industri.
Daftar Pustaka
1. Afrizal Y., dkk. 2006. Perancangan dan Implementasi Teknik Modulasi
Digital Menggunakan Binary Phase Shift Keying (BPSK), Disertasi.
2. Alcatel Reseach and Inovation. 2005. Next Generation transponder for
40 Gbit/s WDM system DQPSK and Apol RZ-DPSK.
3. Bigo, S., and Charlet, G. 2005. Technical challenges of 40 Gbit/s in
WDM Submarine Trans-mission.
4. SHARP GP2D12, Modulasi Digital. (online),
(http://backt.blogspot.com/2008/05/modulasi-digital.html, diakses 22
April 2010: 14.20 WIB).
5. Zainol, A.R. 2008. Analisa Perbandingan Sistem Format Modulasi
Optik NRZ-DPSK & RZ-DPSK terhadap NRZ-OOK pada sistem
Lightwave berkecepatan tinggi.
12
JETri, Volume 9, Nomor 2, Februari 2010, Halaman 13 - 24, ISSN 1412-0372
Abstract
High Capacity Base Transceiver Station (Hi-Cap BTS) is one kind of BTS which can hold
increased traffic load rapidly because the numbers Trx at each sector can reach twelve Trx.
Because of the fact, on the other hand the capacity of Hi-Cap BTS Trx are four times more
than generally BTS. This paper discusses about the result and the analysis of Hi-Cap BTS
implementation on BTS Muspasarseni with the first Trx configuration is 4/4/3 be modified to
8/6/3. This case uses four parameters such as traffic, Drop Call Rate (DCR), Handover
Success Rate (HOSR) and Stand-alone Dedicated Control Channel (SDCCH) Success Rate
(SDSR). Based on the analysis that has been performed, traffic rate at sector one, two and
three are increased to 134%, 65%, 4% respectively. DCR rate at sector one, two and three
are decreased to 54%, 39%, 18% respectively. HOSR rate at sector one, two and three are
increased to 10%, 2,6%, 1,5% respectively. SDSR rate at sector one and two are increased
to 2,3%, 2,8%, but SDSR rate at sector three is decreased to 1,2%.
1. Pendahuluan
Transmisi dalam pertelekomunikasian adalah proses pengiriman
informasi berupa suara dan atau data dari pengirim (sender) ke penerima
(receiver). Jika satu kanal sudah terpakai untuk mengalirkan satu
pembicaraan, maka jalur itu tidak dapat digunakan untuk menyalurkan
pembicaraan lain. Jika pembicaraan sudah selesai barulah kanal tersebut
dapat dipakai untuk yang lain. Volum trafik ini berubah-ubah dari waktu ke
waktu, hari ke hari dan bulan ke bulan. Oleh sebab itu dikenal jam sibuk,
hari sibuk dan bulan sibuk (J. E. Flood, 1995: np). Kesibukan berbeda-beda
untuk setiap tempat. Untuk jumlah telepon yang sama, kapasitas sentral
telepon yang dibutuhkan tidak sama. Oleh karena itu dikembangkanlah
suatu teknologi yang dapat mengatasi peningkatan jumlah pelanggan yaitu
dengan sistem Base Transceiver Station High Capacity (BTS Hi-Cap).
Proses BTS Hi-Cap digunakan untuk memecahkan permasalahan blocking
yang lebih dari 4 Trx.
BTS
Operation
Ater and
VLR maintenance
MSC center. OMC
(GMSC)
T
BTS R
BSC A HLR AuC
Base U IWF
transceiver + EC
station Base
station
controller
EIR
SMSC
PSPDN PSTN
A-interface
ISDN
BTS
MSC : Mobile (service) switcing center
IWF : Interworking function
TRAU : Transcoder (TC) and rate adaptor unit (RAU)
EC : Echo canceller
VLR : Visitors location register
HLR : Home location register
Radio or air AuC : Authentication center
interface EIR : Equipment identiy register
SMSC : Short message service center
PSPDN : Packet switched public data center
PSTN : Public switched telephone network
ISDN : Integrated service digital network
14
Suhartati Agoes & Nelly. Analisis Hasil Penerapan Base Transceiver Station High Capacity Pada
3. Quality Of Service
Trend saat ini para network designer membangun jaringan
multiservice yang membawa trafik suara, data dan video, melewati
arsitektur jaringan berbasis paket meningkatnya kebutuhan bandwidth.
Istilah QoS mengacu kepada kemampuan dari jaringan untuk menyediakan
layanan yang lebih baik kepada trafik jaringan tertentu. Secara umum, QoS
menyediakan layanan jaringan yang lebih baik dengan mendukung
bandwidth yang terdedikasi, memperbaiki karakteristik loss, menghindari
dan mengatur kongesti pada jaringan serta mengatur prioritas trafik yang
melewati jaringan.
Sedangkan pengertian trafik adalah kumpulan semua permintaan
pemakaian peralatan telekomunikasi (saluran, alat sambungan, dll)
untuk melakukan proses penyambungan komunikasi.
15
JETri, Volume 9, Nomor 2, Februari 2010, Halaman 13 -24, ISSN 1412-0372
4. Konfigurasi Trx
Berikut ini merupakan Konfigurasi Trx modul BTS Hi-Cap pada
kasus 5 Trx (Nokia UltraSite EDGE BTS, 2001: np), seperti Gambar 2.
TX
RX main X-pol
div WBC Antenna
Duplexer
TX WBC
RX main
div LNA
RX1
DRX1
RX2 RX
Duplexer
DRX2
TX RX3
DRX3
LNA
RX main RX4
div DRX4
RX5
TX DRX5
RX6 DRX
Duplexer
RX main DRX6
div
M6xx LNA
TX
Duplexer
WBC
RX main
div
LNA
16
Suhartati Agoes & Nelly. Analisis Hasil Penerapan Base Transceiver Station High Capacity Pada
RX main X-pol
div WBC Antenna
Duplexer
TX WBC
RX main
div LNA
RX1
DRX1
RX2 RX
Duplexer
DRX2
TX RX3
DRX3
LNA
RX main RX4
div DRX4
RX5
TX DRX5
RX6 DRX
Duplexer
RX main DRX6
div
M6xx LNA
TX
Duplexer
WBC
RX main
div
LNA
TX
RX main
div
17
JETri, Volume 9, Nomor 2, Februari 2010, Halaman 13 -24, ISSN 1412-0372
TX WBC
Duplexer
RX main X-pol X-pol
div WBC
Antenna Antenna
LNA
TX
RX1
RX main
div DRX1
RX2 RX
Duplexer
TX DRX2
RX3
RX main DRX3 LNA
div RX4
DRX4
TX RX5
DRX5
RX main
Duplexer
TX
RX main
div LNA
WBC
TX
WBC
RX main
div RX1
DRX1 RX
TX RX2
DRX2 DRX
RX main M2xx
div
18
Suhartati Agoes & Nelly. Analisis Hasil Penerapan Base Transceiver Station High Capacity Pada
6. Kapasitas Trafik
Kapasitas Trafik sebelum dan sesudah penerapan BTS Hi-Cap pada
sektor satu seperti pada Tabel 2.
19
JETri, Volume 9, Nomor 2, Februari 2010, Halaman 13 -24, ISSN 1412-0372
20
Suhartati Agoes & Nelly. Analisis Hasil Penerapan Base Transceiver Station High Capacity Pada
21
JETri, Volume 9, Nomor 2, Februari 2010, Halaman 13 -24, ISSN 1412-0372
Tanggal
Tanggal
22
Suhartati Agoes & Nelly. Analisis Hasil Penerapan Base Transceiver Station High Capacity Pada
Tanggal
Tanggal
23
JETri, Volume 9, Nomor 2, Februari 2010, Halaman 13 -24, ISSN 1412-0372
7. Kesimpulan
1. Pada sektor satu dengan tilting antena Mekanikal 0° menjadi 2°,
Elektrikal 1° menjadi 2° menghasilkan peningkatan nilai trafik sebesar
134%, penurunan nilai DCR sebesar 54%, peningkatan nilai HOSR
sebesar 10%, dan peningkatan nilai SDSR sebesar 2,3%.
2. Pada sektor dua dengan tilting antena Mekanikal 0° menjadi 2°,
Elektrikal tetap 2° menghasilkan peningkatan nilai trafik sebesar 65%,
penurunan nilai DCR sebesar 39%, peningkatan nilai HOSR sebesar
2,6%, dan peningkatan nilai SDSR sebesar 2,8%.
3. Pada sektor tiga dengan tilting antena Mekanikal tetap 2° dan Elektrikal
2° menjadi 3° menghasilkan peningkatan nilai trafik sebesar 4%,
penurunan nilai DCR sebesar 18%, peningkatan nilai HOSR sebesar
1,5%, dan penurunan nilai SDSR sebesar 1,2%.
4. Hasil KPI terbaik adalah sektor dua di mana setiap parameter pada awal
tidak memenuhi dan akhirnya menjadi memenuhi.
Daftar Acuan
1. Channel Configuration”. Training Overview, Siemens. Australia. 2001
2. GSM Advanced System Technique”. Student Text, Ericsson. Singapore.
2000
3. High Capacity BTS”. Planning Guideline, NOKIA Team. Indonesia.
2006
4. J. E. Flood. 1995. Telecommunications Switching, Traffic and
Networks. Prentice Hall.
5. Nahwan. Pengenalan Jaringan GSM/GPRS. (Online),
http://www.stttelkom.ac.id/staf/NMA/index_files/TE4103_11_GSM-
GPRSNetwork.pdf, 9 Desember 2008: 07.30 WIB)
6. Nokia UltraSite EDGE BTS”. White Paper, NOKIA. Finlandia. 2001
7. Schiller, Jochen. 2003. Mobile Communications. Addison Wesley.
24
JETri, Volume 9, Nomor 2, Februari 2010, Halaman 25 - 44, ISSN 1412-0372
Abstract
The Automatic Water Level Control is a prototype circuit that controls the availability of
water in a tank. The water tank has five water levels to control the pump work. The water
level control system consists of two water containers, one for the water source container and
the other for the water reservoir and two water pumps. The circuit consists of an infrared
system, two relays to activate the water pumps and a 2x16 Liquid sensor to detect the water
level, a microcontroller Atmega 8535(L) to control all the circuit Crystal Display (LCD) to
display the water level in the tank reservoir and the pump condition. After the water level
control circuit has been built and tested, it is known that at the minimum level position that
is 30 cm between sensor and the float, the output voltage of the infrared sensor is 0,85 volt
and the microcontroller will turn on both the water pumps. At the maximum level position
that is 11.5 cm between sensor and the float, the output voltage of the infrared sensor is 2,17
volt and the microcontroller will turn off both of the water pumps.
1. Pendahuluan
Air merupakan salah satu kebutuhan yang paling pokok bagi
makhluk hidup termasuk manusia. Apa jadinya apabila suatu saat air dari
Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) di daerah perkotaan mati seketika?
Tentu saja banyak orang di kota yang mulai panik. Untuk menanggulangi
masalah tersebut maka banyak orang di daerah perkotaan membuat suatu
bak penampung untuk menampung air dari PDAM baik di kantor maupun
di rumah. Bak penampung dapat diletakkan di bawah tanah ataupun di suatu
bak plastik. Dari bak penampungan, air diisikan ke bak plastik (toren) yang
umumnya diletakkan pada ketinggian yang cukup untuk dapat dialirkan ke
bak-bak di toilet atau shower. Pengisian air dari bak penampungan ke bak
plastik ini membutuhkan waktu yang tidak sebentar, orang harus menunggu
dengan sabar sampai air penuh agar tidak luber. Di gedung-gedung
perkantoran dimana penggunaan air cukup tinggi untuk memenuhi
kebutuhannya maka digunakan toren yang cukup besar yang diletakkan di
lantai paling atas untuk dialirkan ke lantai-lantai di bawahnya. Untuk
mengatur ketersediaan air pada toren maka dirancang suatu prototipe
2. Kajian Pustaka
Rangkaian pengatur ketinggian air otomatis yang telah ada selama ini
biasanya hanya mendeteksi dua level ketinggian air pada toren yaitu level
rendah atau level bawah dimana pompa air harus menyala dan level tinggi
atau level atas dimana pompa air harus mati. Pengisian air dengan pompa
tidak diatur kecepatannya walaupun level air sedang rendah sehingga
dibutuhkan waktu yang cukup lama untuk mengisi toren yang kosong.
Selain itu sebagai detektor ketinggian air sering menggunakan batang anti
karat atau pelampung sehingga ada bagian rangkaian yang terhubung
dengan air dimana dalam keadaan lembab lama kelamaan saklar pada
rangkaian bekerja tidak normal.
3. Metode Penelitian
Penelitian dimulai dengan merancang sistem pengisian toren dengan pompa
air yaitu penentuan ketinggian air dan penentuan kapan pompa air bekerja
dan kapan tidak bekerja. Perancangan selanjutnya adalah blok diagram
prototipe rangkaian dan merancang rangkaiannya dengan menggunakan
mikrokontroler ATmega 8535(L) karena telah memiliki internal ADC.
Komponen-komponen penunjangnya yaitu infrared SHARP GP2D12 yang
dapat mendeteksi jarak dari 10 cm sampai 80 cm, rangkaian driver relay IC
ULN2803 yang merupakan rangkaian penguat Darlington dan LCD 2x16
untuk tampilan keadaan ketinggian air pada bak penampung dan keadaan
kerja tidaknya pompa air. Perancangan perangkat lunak dan perakitan
rangkaian dilakukan setelah perancangan rangkaian dan komponen telah
lengkap. Langkah terakhir dari pembuatan prototipe rangkaian adalah
melakukan pengujian dan menganalisis hasil uji tersebut.
26
Kiki Prawiroredjo & Ignatius Melvin Susanto. Pengatur Ketinggian Air Otomatis
Infrared
Input
Toren
Rangkaian
Kontrol Sistem
27
JETri, Volume 9, Nomor 2, Februari 2010, Halaman 25 - 44, ISSN 1412-0372
4. Diagram Blok
Gambar 2. menunjukkan diagram blok dari rangkaian pengatur
ketinggian air otomatis.
Pompa 1
Driver
Relay dan
Relay
Pompa 2
Bagian output dari diagram blok adalah kerja atau tidaknya pompa
air, rangkaian LCD yang berfungsi untuk menampilkan ketinggian air dan
keadaan kerja tidaknya pompa air.
5. Rangkaian Alat
Pada Gambar 3. halaman berikut merupakan rangkaian lengkap alat
pengatur ketinggian air otomatis.
28
Kiki Prawiroredjo & Ignatius Melvin Susanto. Pengatur Ketinggian Air Otomatis
29
JETri, Volume 9, Nomor 2, Februari 2010, Halaman 25 - 44, ISSN 1412-0372
Infrared GP2D12
Pelampung
1
Air
0
30
Kiki Prawiroredjo & Ignatius Melvin Susanto. Pengatur Ketinggian Air Otomatis
Draft Reflectivity
2.8 White 90%
Gray 18%
2.4
Analog outout voltage V0 (V)
2.0
1.6
1.2
0.8
0.4
0 10 20 30 40 50 60 70 80
31
JETri, Volume 9, Nomor 2, Februari 2010, Halaman 25 - 44, ISSN 1412-0372
pompa air mati. Kerja pompa air akan diatur oleh keluaran mikrokontroler
pada PORTC.6 dan PORTC.7.
Penampilan ketinggian air dan kerja pompa pada LCD akan diatur
oleh PORTC.0, PORTC.1, dan PORTD.0-D.7. Apabila sensor mendeteksi
adanya pelampung di level ke-0 dengan jarak 30 cm dari sensor, maka
tegangan keluaran analog dari sensor infrared SHARP GP2D12 sebesar
0,85 volt. Tegangan ini akan diproses oleh mikrokontroler untuk
menghasilkan logika 1 (high) sebesar 5,06 volt pada PORTC.6 dan
PORTC.7. Logika 1 ini akan menjalankan kerja driver relay sehingga relay
akan tertutup dan menjalankan kedua pompa. Tegangan dari sensor infrared
ini juga akan diproses untuk memberitahukan bahwa air di bak penampung
sudah habis dan menunjukkan kedua pompa yang sedang bekerja pada
tampilan LCD.
32
Kiki Prawiroredjo & Ignatius Melvin Susanto. Pengatur Ketinggian Air Otomatis
menjalankan kedua pompa. Tegangan dari sensor infrared ini juga akan
diproses untuk menampilkan level air ke-2 dan menunjukkan kedua pompa
yang sedang bekerja pada LCD.
33
JETri, Volume 9, Nomor 2, Februari 2010, Halaman 25 - 44, ISSN 1412-0372
START
SYSTEM OFF Y
END
SENSOR MENDETEKSI
PELAMPUNG
Sensor DISPLAY
Mendeteksi Pelampung Y POMPA1 = 1
"AIR HABIS"
Di Level 0 POMPA2 = 1
PM1 = 1, PM2 = 1
Sensor DISPLAY
Mendeteksi Pelampung Y POMPA1 = 1
LEVEL AIR = 1
Di Level 1 POMPA2 = 1
PM1 = 1, PM2 = 1
Sensor Y DISPLAY
Mendeteksi Pelampung POMPA1 = 1
LEVEL AIR = 2
Di Level 2 POMPA2 = 1
PM1 = 1, PM2 = 1
Sensor DISPLAY
Y POMPA1 = 1
Mendeteksi Pelampung LEVEL AIR = 3
Di Level 3 POMPA2 = 0
PM1 = 1, PM2 = 0
Sensor DISPLAY
Mendeteksi Pelampung Y POMPA1 = 1
LEVEL AIR = 4
Di Level 4 POMPA2 = 0
PM1 = 1, PM2 = 0
B A
34
Kiki Prawiroredjo & Ignatius Melvin Susanto. Pengatur Ketinggian Air Otomatis
B A
N Sensor DISPLAY
Y POMPA1 = 0
Mendeteksi Pelampung LEVEL AIR = 5
Di Level 5 POMPA2 = 0
PM1 = 0, PM2 = 0
*
C
N
END SYSTEM ON
SENSOR MENDETEKSI
LEVEL AIR
Y
DISPLAY
LEVEL AIR = 5 LEVEL AIR = 5
PM1 = 0, PM2 = 0
Y
DISPLAY
LEVEL AIR = 4 LEVEL AIR = 5
PM1 = 0, PM2 = 0
Y DISPLAY
LEVEL AIR = 3 LEVEL AIR = 5
PM1 = 0, PM2 = 0
Y DISPLAY
LEVEL AIR = 2 LEVEL AIR = 5
PM1 = 0, PM2 = 0
N
LEVEL AIR = 1
35
JETri, Volume 9, Nomor 2, Februari 2010, Halaman 25 - 44, ISSN 1412-0372
POMPA1 = 1
POMPA2 = 1
DISPLAY
LEVEL AIR = 1
PM1 = 1, PM2 = 1
**
N
END SYSTEM ON
SENSOR
MENDETEKSI
LEVEL AIR
Y DISPLAY
LEVEL AIR = 1 LEVEL AIR = 1
PM1 = 1, PM2 = 1
Y DISPLAY
LEVEL AIR = 2 LEVEL AIR = 2
PM1 = 1, PM2 = 1
E F
36
Kiki Prawiroredjo & Ignatius Melvin Susanto. Pengatur Ketinggian Air Otomatis
D
E F
Y DISPLAY
LEVEL AIR = 5 LEVEL AIR = 5
PM1 = 0, PM2 = 0
Y DISPLAY
LEVEL AIR = 5 LEVEL AIR = 5
PM1 = 0, PM2 = 0
N
LEVEL AIR = 5
SENSOR
MENDETEKSI
PELAMPUNG
SENSOR
MENDETEKSI
PELAMPUNG
***
C
37
JETri, Volume 9, Nomor 2, Februari 2010, Halaman 25 - 44, ISSN 1412-0372
Proses (*) sampai (**) merupakan diagram alir pengosongan toren setelah
toren terisi penuh sampai level 5 dimana sensor mendeteksi level air yang
38
Kiki Prawiroredjo & Ignatius Melvin Susanto. Pengatur Ketinggian Air Otomatis
5 2,17
4 1,80
3 1,44
2 1,15
1 0,98
0 0,85
39
JETri, Volume 9, Nomor 2, Februari 2010, Halaman 25 - 44, ISSN 1412-0372
Langkah-langkah pengujian:
1) IC ATmega8535(L) yang telah diprogram, dipasang pada rangkaian
pengaturan ketinggian air.
2) Catu daya 5 volt dihubungkan dengan rangkaian pengaturan
ketinggian air.
3) Tegangan keluaran mikrokontroler pada PORTC.6 dan PORTC.7
diukur dengan menggunakan Voltmeter DC.
4) Hasil pengujian dicatat.
40
Kiki Prawiroredjo & Ignatius Melvin Susanto. Pengatur Ketinggian Air Otomatis
RLY1
5VSPDT POMPA
+
220 VAC
ULN2803 -
IN 1 OUT 1
IN 2 OUT 2 RLY2
IN 3 OUT 3 5VSPDT
IN 4 OUT 4 POMPA
IN 5 OUT 5 +
IN 6 OUT 6 220 VAC
IN 7 OUT 7
IN 8 -
OUT 8
GND DIODES
5 VDC
41
JETri, Volume 9, Nomor 2, Februari 2010, Halaman 25 - 44, ISSN 1412-0372
Toren yang mula-mula kosong akan terisi air dari level 0 sampai
dengan level 5 dengan dua pompa air bekerja pada level 0, 1 dan 2. Pada
level 3 dan 4 satu pompa air bekerja mengisi toren dan bila air mencapai
level 5 kedua pompa ait akan mati.
Setelah toren terisi penuh air, toren tidak akan pernah kosong dalam
penggunaan airnya dengan catatan sumber air di bak tampung selalu ada.
Bila air pada toren digunakan dan ketinggian air turun sampai batas level 1
maka kedua pompa air akan bekerja sehingga pengisian air terjadi kembali
dengan kecepatan pengisian sesuai pengisian saat toren masih kosong.
42
Kiki Prawiroredjo & Ignatius Melvin Susanto. Pengatur Ketinggian Air Otomatis
8. Kesimpulan
Setelah melalui proses perancangan serta pengujian alat, maka diambil
beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1) Kerja sistem secara keseluruhan pengaturan ketinggian air otomatis
telah berfungsi sesuai dengan rancangannya.
2) Perbedaan tegangan keluaran pada saat pendeteksian jarak pelampung
oleh sensor infrared SHARP GP2D12 terhadap data karakteristik
terdapat sedikit perbedaan, dengan persen kesalahan rata-rata adalah 3
%. Hal ini terjadi karena adanya perbedaan pada setiap sensor yang
diproduksi, kesalahan membaca data dari karakteristik sensor infrared
SHARP GP2D12, dan kesalahan membaca tegangan pada voltmeter
DC yang digunakan. Tetapi hal ini tidak mengganggu kerja dari pompa
air.
3) Keterlambatan kerja pompa air yaitu belum bekerja atau belum mati
pada levelnya disebabkan karena bergeraknya pelampung pada saat
pengisian dan pengosongan air yang menyebabkan sensor infrared
tidak sesuai dengan yang telah dirancang sebagai mestinya.
4) Untuk pengisian toren yang tinggi disarankan menggunakan sensor
jarak ultrasonik yang dapat mendeteksi jarak sampai 200 cm.
Daftar Pustaka
1. ATMEL, ATmega8535, ATmega8535L. 2006. (Online),
(http:/www.atmel.com/dyn/resources/prod_document/doc2502.pdf,8
Juni 2009, 10:09 WIB).
2. Boylestadt, Robert dan Louis Nashelsky. 1987. Electronic Device and
Circuit Theory. Fourth Edition. USA: Prentice Hall, Inc.
3. SHARP GP2D12, 2005, (Online),
(http://www.sharpsma.com/webfm_send/1203, 2005, 23 April 2012,
10:48 WIB)
4. Widodo, Romy Budhi. 2009. Embedded Sistem Menggunakan
43
JETri, Volume 9, Nomor 2, Februari 2010, Halaman 25 - 44, ISSN 1412-0372
44
JETri, Volume 9, Nomor 2, Februari 2010, Halaman 45 - 60, ISSN 1412-0372
G. Riana Naiborhu
Dosen Jurusan Teknik Elektro-FTI, Universitas Trisakti
Abstract
Operating temperature of potential transformer design is 20 oC. However it is not applicable
in Indonesia with temperature 30 oC. Because of that, the load of the transformer need to be
adjusted. Operating lifetime will become shorter and loss of life will become greater at higher
temperature. Loss of life of the transformer depends on winding isolation and transformer oil.
Overheating in transformer winding can damage the isolation and increase oil temperature
resulting in degradation of the oil. If the changes occur in a long period, it can decrease the
isolation value of the oil. The final research observes the correlation between load of
transformer and ambient temperature to the loss of life viewed from deterioration transformer
winding insulation and analyze GTG 1.3 PLTGU Tambak Lorok Semarang Transformer loss
of life refer to1972 IEC 354 standard. According the result, 80% of transformer load is
caused minimum 24% loss of life. With IEC 354 standard’s transformer and 20 oC ambient
temperature resulting in minimum 100% loss of life on 100% load. According to 20 load
data, with maximum load of GTG 1.3 PLTGU Tambak Lorok Semarang Transformer loss of
life is 15.69%
1. Pendahuluan
Di masa sekarang kebutuhan listrik semakin meningkat sejalan
dengan berkembangnya teknologi. Perkembangan yang pesat ini harus
diikuti dengan perbaikan kualitas dan keandalan energi listrik yang
dihasilkan. Kualitas dari suatu energi listrik dapat dilihat dari segi ekonomis
dan teknis. Hal-hal yang menyangkut kualitas energi listrik dari segi teknis
yaitu tegangan, frekuensi dan keandalan.
2. Landasan Teori
Tranformator daya adalah suatu peralatan listrik yang berfungsi
untuk menyalurkan daya listrik dari generator bertegangan menengah ke
transmisi bertegangan tinggi dan untuk menyalurkan daya dari transmisi
bertegangan tinggi ke jaringan distribusi bertegangan rendah. Konstruksi
umum dari transformator daya ditunjukkan pada Gambar 1. Pada halaman
berikut.
Arus listrik bolak balik yang mengalir mengelilingi suatu inti besi
maka inti besi itu akan berubah menjadi magnet seperti Gambar 2.a. pada
halaman berikut dan apabila magnet tersebut dikelilingi oleh suatu belitan
maka pada kedua ujung belitan tersebut akan terjadi beda tegangan seperti
Gambar 2.b. pada halaman berikut.
46
Riana Naiborhu. Analisa Pengaruh Pembebanan Terhadap Susut Umur Transformator Tenaga
7
7
6 6
1
1
2
3 4
2 3
Concentrated
+ -
47
JETri, Volume 9, Nomor 2, Februari 2010, Halaman 45 - 60, ISSN 1412-0372
(1)
(2)
P e = K e 2.f2.B m (3)
dengan:
Pe : rugi-rugi arus Eddy (Watt)
f : frekuensi (Hertz)
Bm : kepadatan fluks maksimum (Tesla)
Ke : konstan
dengan:
Ph : rugi-rugi histerisis (Watt)
f : frekuensi (Hertz)
Bm : kepadatan fluks maksimum (Tesla)
Kh : konstanta
48
Riana Naiborhu. Analisa Pengaruh Pembebanan Terhadap Susut Umur Transformator Tenaga
P cu = I2R (5)
Karena arus beban berubah-ubah, rugi tembaga juga tidak tetap tergantung
pada beban.
3. Metodologi
Dilakukan pengujian dengan kondisi sebagai beikut:
A. Diperlukan data masukan berupa data trafo, data temperatur dan data
pembebanan.
a. Data Transformator
• Daya pengenal : 110 / 145 MVA
• Jenis pendinginan : ONAN / OFAF
• Tegangan primer : 11,5 KV
• Tegangan sekunder : 150 KV
• Rugi tembaga : 450 KW
• Rugi beban nol : 100 KW
b. Data Temperatur
• harian : 27,9 °C
• maksimum bulan september : 33,8267 °C
• maksimum tahun 2009 : 32 °C
c. Data pembebanan
Untuk data pembebanan tanggal 6 September tahun 2011 dapat
dilihat pada Tabel 1. halaman berikut ini.
49
JETri, Volume 9, Nomor 2, Februari 2010, Halaman 45 - 60, ISSN 1412-0372
50
Riana Naiborhu. Analisa Pengaruh Pembebanan Terhadap Susut Umur Transformator Tenaga
=1
51
JETri, Volume 9, Nomor 2, Februari 2010, Halaman 45 - 60, ISSN 1412-0372
= 4,5
(6)
= 40oC
1 30.0 30.1 29.6 31.0 31.6 32.2 32.0 33.6 34.0 33.0 32.8 32.0
2 27.0 31.0 . 30.6 32.0 33.4 34.0 33.8 34.7 33.3 33.8 32.4
3 29.2 31.0 . . 31.8 34.2 33.3 33.0 35.00 34.4 31.2 33.0
4 28.0 29.4 . . 33.0 32.4 34.0 34.0 31.0 36.4 32.4 33.2
5 29.6 30.0 29.8 31.0 32.9 33.4 33.0 34.7 34.8 35.0 32.2 33.8
6 29.4 30.8 30.0 31.8 32.3 32.8 32.6 34.2 32.0 34.8 31.7 32.0
7 30.0 27,0 30.8 30.4 32.8 32.2 33.4 33.4 32.0 32.4 31.0 31.6
8 30.8 29.8 30.0 31.8 33.4 32.0 33.0 34.2 31.2 31.2 32.4 31.0
52
Riana Naiborhu. Analisa Pengaruh Pembebanan Terhadap Susut Umur Transformator Tenaga
9 31.8 26.9 30.2 31.4 33.8 33.1 33.2 33.0 34.2 34.0 32.2 29.4
10 30.9 29.0 30.6 32.8 33.4 32.0 32.8 31.0 35.0 35.1 31.0 29.8
11 31.0 29.8 30.4 32.0 32.2 34.2 33.0 33.4 33.4 34.8 32.0 29.2
12 31.0 . 32.6 32.0 32.8 . 33.0 32.8 34.0 34.8 32.0 29.0
13 31.8 29.0 32.0 32.0 31.6 32.2 34.0 32.6 34.4 35.2 32.0 31.6
14 30.4 27.4 30.6 31.0 31.0 33.0 34.0 32.6 32.0 35.0 31.8 30.5
15 30.8 27.6 30.8 31.8 31.7 32.8 31.6 32.6 32.6 35.2 32.0 30.8
16 30.9 29.8 31.0 33.6 31.6 32.4 32.4 33.4 33.2 35.8 31.0 30.2
17 30.8 27.0 33.0 32.4 32.8 32.5 33.6 34.2 35.2 34.0 31.0 30.3
18 31.6 28.0 30.6 32.4 32.8 33.0 34.0 34.0 35.2 34.6 30.6 30.5
19 30.4 28.4 30.8 33.8 33.4 32.1 34.0 34.2 36.2 35.2 30.0 30.3
20 30.0 28.0 31.0 31.8 32.8 32.0 32.4 33.0 32.8 34.8 31.0 30.2
21 30.0 27.6 30.8 32.0 32.8 31.8 34.2 33.6 32.7 35.4 31.0 29.8
22 31.1 28.0 30.7 32.2 32.6 31.6 33.0 . 33.8 35.0 30.0 30.6
23 31.4 29.0 30.4 30.7 32.8 33.0 32.4 31.2 36.2 33.0 31.2 30.0
24 32.0 29.0 30.0 32.2 33.0 33.4 32.0 34.0 31.4 . 31.0 30.8
25 33.0 29.8 30.4 32.0 33.1 33.4 32.2 31.1 35.8 34.4 30.2 30.4
26 33.0 28.3 30.6 31.6 33.8 33.1 30.0 33.2 36.0 31.0 31.6 30.8
27 31.2 29.8 30.8 32.0 32.0 33.0 31.4 33.2 32.4 31.2 31.0 30.6
28 31.5 28.9 30.1 32.8 32.8 31.2 32.8 34.0 35.0 29.4 32.2 31.0
29 31.4 29.8 31.0 33.1 33.0 33.0 32.9 33.8 33.8 31.2 32.0 29.9
30 31.0 29.8 32.8 33.4 32.6 33.6 33.0 34.8 31.4 32.2 30.8
Rata-rata 320
53
JETri, Volume 9, Nomor 2, Februari 2010, Halaman 45 - 60, ISSN 1412-0372
= 400C
= (78 - 40)(1,0)2(0,9)
= 380C
θ c = θ a + ∆θ on + ∆θ oid (9)
= 32 + 40 + 38
= 1100C
V = 2(θc-98)/6 (10)
= 2(110-98)/6
=4
Karena bebannya konstan maka besarnya laju penuaan relatif untuk tiap jam
perhatinya sama
54
Riana Naiborhu. Analisa Pengaruh Pembebanan Terhadap Susut Umur Transformator Tenaga
(11)
+ 2 (4 + 4+ 4 + 4 + 4 + 4 + 4 + 4 + 4 + 4 + 4 + 4)} 100%
= 400%
= 0,9
= 4,5
∆θ o = ∆θ oi
55
JETri, Volume 9, Nomor 2, Februari 2010, Halaman 45 - 60, ISSN 1412-0372
= 40
= 33,7820C
- Menentukan Kenaikan Temperatur Top OII (∆θ on )
= 33,7820C
∆θ id = (∆θ cr - ∆θ or )K2y
= (78 - 40)(0,9)2(0,9)
= 31,3450C
θ c = θ a + ∆θ on + ∆θ oid
= 32 + 33,782 + 31,345
= 97,2170C
V = 2(θc-98)/6
= 2(97,217 . 98)/6
= 0,9135
Karena bebannya konstan maka besarnya laju penuaan relatif untuk tiap jam
perharinya sama.
56
Riana Naiborhu. Analisa Pengaruh Pembebanan Terhadap Susut Umur Transformator Tenaga
Besarnya susut umur pada transformator saat dibebani 90% karena pengaruh
penurunan isolasi belitan saja tanpa memperhitungkan pengaruh yang lain
dapat dihitung sebagai berikut:
{ V o + 4 (V 1 + V 3 + V 5 + V 7 + V 9 + V 11 + V 13 + V 15 +
V 17
+ V 19 + V 21 + V 23 ) + 2 ( V 2 + V 4 + V 6 + V 8 + V 10 + V 12 + V 14
+ V 16 + V 18 + V 20 + V 22 ) + V 24 } 100%
+ 0,9135 ) + 0,9135 }
= 91,35%
{ V o + 4 (V 1 + V 3 + V 5 + V 7 + V 9 + V 11 + V 13 + V 15 +
V 17
+ V 19 + V 21 + V 23 ) + 2 ( V 2 + V 4 + V 6 + V 8 + V 10 + V 12 + V 14
+ V 16 + V 18 + V 20 + V 22 ) + V 24 } 100%
{ 2V + 48V + 22V }
57
JETri, Volume 9, Nomor 2, Februari 2010, Halaman 45 - 60, ISSN 1412-0372
∆θ o = ∆θ oi
= 40
θ n = ∆θ a + ∆θ an + ∆θ td
98 = 32 + 40 + 38K1,8
Maka
K = 0,9064
= 0.0936 x 100%
= 9.36%
24 98
16 101,5
12 104
8 107,5
6 110
4 113,5
3 116
58
Riana Naiborhu. Analisa Pengaruh Pembebanan Terhadap Susut Umur Transformator Tenaga
2 119,5
1,5 122
1 125,5
0,75 128
0,5 131,5
Berdasarkan Tabel 3. yaitu durasi operasional yang masih diijinkan pada
suatu transformator, untuk operasi 24 jam besarnya temperatur hotspot
adalah 98°C, maka untuk pembebanan 100% dan 90% dapat dihitung pada
temperatur maksimal berapa agar menghasilkan temperatur hotspot 98°C.
Jadi suhu sekitar maksimum agar temperatur hotspot tidak melebihi 98°C
untuk pembebanan 100% adalah 20°C dan 32,783°C untuk pembebanan
90%.
98 = 0a + 40 + 38
0a = 98 – 78
= 20°C
Pembebanan 90%
98 = 0a + 33,782 + 31,435
0a = 98 – 65,217
= 32,783°C
59
JETri, Volume 9, Nomor 2, Februari 2010, Halaman 45 - 60, ISSN 1412-0372
60