Kantor Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat (KESRA)
melaporkan jika tahun 1980 usia harapan hidup (UHH) 52,2 tahun dan jumlah lanjut usia (lansia) 7.998.543 orang (5,45%) maka pada tahun 2006 menjadi 19 juta orang (8,90%) dan UHH juga meningkat (66,2 tahun). Pada tahun 2010 perkiraan penduduk lansia di Indonesia akan mencapai 23,9 juta atau 9,77% dan UHH sekitar 67,4 tahun. Tahun 2020 perkiraan penduduk lansia di Indonesia mencapai 28,8 juta atau 11,34% dengan UHH sekitar 71,1 tahun (Kementrian Sosial, 2007). UHH di Provinsi Aceh tercatat sebesar 69 tahun pada tahun 2007 dan 69,1 tahun pada tahun 2008. Peningkatan angka tersebut juga terjadi pada tahun berikutnya yaitu 69,2 tahun pada tahun 2009 menjadi 69,3 tahun pada tahun 2010 (Badan Pusat Statistik, 2011). World Health Organization (WHO) pada tahun 1995 menyatakan bahwa jumlah lansia terus meningkat. Pada tahun 2050 dibandingkan dengan tahun 1990 pertumbuhan penduduk lansia Indonesia mengalami pertumbuhan terbesar di Asia, yaitu sebesar 414%, Thailand 337%, India 242% dan China 220%. Jumlah lansia Indonesia menurut sumber BPS pada tahun 2004 sebesar 16.522.311, tahun 2006 sebesar 17.478.282 dan pada tahun 2008 sebesar 19.502.355 (8,55% dari total penduduk sebesar 228.018.900) sedangkan pada tahun 2020 diperkirakan jumlah lanjut usia sekitar 28 juta jiwa (Komnas Lansia, 2011). Pravelensi status gizi dewasa seluruh provinsi di Indonesia, rata-rata Indeks Massa Tubuh (IMT) umur ≥18 tahun seluruh provinsi Indonesia: kurus 12,6%, normal 65,85%, berat badan lebih 9,95% dan obese 11,64%. Untuk Propinsi Aceh: kurus 11,15%, normal 64,6%, berat badan lebih 10,9%, obese 13,5%. Untuk lansia seluruh provinsi di Indonesia: kurus 23,075%, normal 61,65%, berat badan lebih 7,45%, obese 7,8% (Riskesdas, 2010). Lansia merupakan salah satu kelompok rentan terhadap masalah gizi karena perubahan psikis dan fisik tubuh yang berlangsung selama proses penuaan yang dapat menyebabkan perubahan dalam kebutuhan gizi. Pada tahap ini individu
1 2
mengalami banyak perubahan khususnya kemunduran dalam berbagai fungsi dan
kemampuan yang pernah dimilikinya (Stanley dan Patricia, 2006). Konno dkk. (2004) melaporkan bahwa status gizi merupakan faktor yang mempengaruhi status fungsional lansia. Pasien lansia dengan status gizi underweight (Indeks Massa Tubuh = IMT <18,5) memiliki status fungsional yang rendah. IMT juga merupakan faktor prediksi kematian pasien lansia dalam kurun waktu 1 tahun (Flodin dkk., 2000). Penilaian status fungsional untuk mengatasi berbagai masalah pada lansia menjadi penting karena berkaitan dengan kualitas hidup dan sering kali hal ini merupakan prioritas penyelesaian masalah (Soejono, 2010). Meningkatnya UHH akan menyebabkan jumlah penduduk lansia terus bertambah. Peningkatan populasi lansia akan menyebabkan terjadinya transmisi epidemiologi, yaitu perubahan pola penyakit dari penyakit infeksi dan gangguan gizi menjadi penyakit-penyakit degeneratif dan meningkatnya jumlah pasien lansia di rumah sakit. Masalah kesehatan pada lansia sering disertai dengan gangguan fungsi kognitif, depresi, instabilitas, imobilisasi dan inkontinensia (geriatric giants). Pendekatan pada pasien geriatri harus bersifat holistik atau paripurna, tidak hanya dari segi bio-psiko-sosial tetapi juga dari segi kuratif, rehabilitatif, promotif dan preventif (Soejono, 2010). Kekurangan dan kelebihan gizi merupakan masalah gizi yang umumnya dialami oleh lansia. Gizi kurang terjadi karena asupan makanan yang dikonsumsi tidak memenuhi kebutuhan energi yang diperlukan yang dapat mengakibatkan penurunan aktivitas. Gizi berlebih adalah kelebihan energi dalam bentuk kelebihan berat badan yang mengakibatkan ketidakmampuan diri dalam melakukan aktivitas fisik (Martono, 2010). Gangguan asupan zat gizi ini dapat terlihat dari pola pertumbuhan fisik dan proporsi jaringan tubuh seperti lemak, otot dan jumlah air dalam tubuh. Status fungsional dapat dijadikan sebagai konsep untuk menilai kesehatan pada lansia. Manifestasi status fungsional ini secara praktis dapat diperiksa dengan menilai kemampuan hidup sehari-hari atau yang biasa dikenal sebagai Indeks Activity of Daily Living (ADL) (Martono, 2010). 3
Berdasarkan permasalahan di atas, peneliti tertarik untuk mengetahui
apakah terdapat hubungan antara status gizi dengan status fungional lansia di Rumoh Seujahtera Geunaseh Sayang Ulee Kareng Kota Banda Aceh.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka yang menjadi
permasalahan pada penelitian ini adalah apakah terdapat hubungan antara status gizi dengan status fungsional lansia di Rumoh Seujahtera Geunaseh Sayang Ulee Kareng Kota Banda Aceh?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui hubungan antara status gizi dengan status fungsional lansia di Rumoh Seujahtera Geunaseh Sayang Ulee Kareng Kota Banda Aceh.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui status gizi lansia di Rumoh Seujahtera Geunaseh Sayang Ulee Kareng Kota Banda Aceh. 2. Mengetahui status fungsional lansia di Rumoh Seujahtera Geunaseh Sayang Ulee Kareng Kota Banda Aceh.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Teoritis
Memberikan informasi mengenai hubungan status gizi dengan status fungsional lansia sehingga hasil penelitian ini dapat meningkatkan kesadaran untuk menjaga asupan gizi lansia.
1.4.2 Manfaat Praktis
Untuk menambah wawasan ilmu pengetahuan khususnya dalam ilmu kedokteran serta memberi manfaat terhadap kemajuan ilmu pengetahuan dan bagi peneliti-peneliti lainnya yang akan meneliti masalah yang berkaitan dengan keterbatasan status fungsional di masa yang akan datang. 4
1.5 Hipotesis Penelitian
Terdapat hubungan antara status gizi dengan status fungsional lansia di
Rumoh Seujahtera Geunaseh Sayang Ulee Kareng Kota Banda Aceh.