Anda di halaman 1dari 4

BAB II

PEMBAHASAN

A. Syarat – syarat Seorang Perawi


1. Muslim
Syarat-syarat yang harus dimiliki seorang perawi hadis, diantaranya yaitu:
Mengenai syarat ke-Islaman, itu sudah jelas. Seorang rawi harus meyakini
dan mengerti akidah Islam, karena dia meriwayatkan hadis atau khabar yang
berkaitan dengan hukum-hukum, urusan dan tasyri’ agama Islam. Jadi dia
mengemban tanggung jawab untuk urusan memberi pemahaman tentang semuanya
kepada manusia. Namun syarat Islam sendiri hanya berlaku ketika seseorang
menyampaikan hadis, bukan ketika membawa atau menanggungnya.
Ada sahabat yang mendengar hadis ketika mereka masih belum memeluk
Islam. Ketika mereka sudah masuk Islam, mereka meriwayatkan hadis yang
diterima atau didengarnya ketika masih belum Islam. Contohnya sebagaimana yang
telah berlaku kepada Jubair bin Matam. Beliau telah meriwayatkan hadis yang
didengarnya ketika masih belum memeluk Islam. Hadisnya ialah berkenaan
perbuatan Nabi SAW yang membaca surah al-Thur ketika sholat maghrib.
2. Berakal
Menurut para ahli hadis, berakal berarti identik dengan kemampuan
seseorang untuk  membedakan. Jadi untuk mampu menanggung dan
menyampaikan suatu hadis, seseorang harus telah memasuki usia akil baligh.
Sahabat yang paling banyak menerima riwayat, yang  mereka dengar pada masa
kecilnya, ialah Anas bin Malik, Abdullah bin Abbas, dan Abu Sa’id al-Khudri.
Mahmud bin rabi’ masih ingat Rasulullah menghukumnya pada waktu ia membuat
kesalahan dan beliau wafat ketika Mahmud berusia 5 tahun.
3. Al-dhabtu (dhabit)
Dimaksudkan di sini adalah teliti dan cermat, baik ketika menerima
pelajaran hadis maupun menyampaikannya. Sudah barang tentu, orang seperti ini
mempunyai hafalan yang kuat, pintar, dan tidak pelupa. Kecermatan perawi bisa
dikenali dari hadis yang dia riwayatkan ternyata cocok dengan yang diriwayatkan
oleh orang yang dikenal cermat, telilti dan terpercaya. tetapi itu tidak harus

2
mengenai keseluruhan. Perbedaan yang tidak sedikit tentang hadis yang mereka
riwayatkan masih dapat didamaikan. Tapi jika perbedaan terlampau jauh dan tidak
sesuai dengan hadis yang mereka riwayatkan, maka kecermatanya masih
diragukan.
Allah akan menghargai orang yang bersikap cermat dalam periwayatan
hadis, merekalah orang yang pandai dan bijaksana, mereka hanya mau mengutip
hadis shahih saja. Hadis shahih diketahui bukan hanya dari riwayatnya saja tapi
juga melalui pemahaman dan penghafal dan banyak mendengar.
4. Adil
Perawi yang adil ialah yang bersikap konsisten dan berkomitmen tinggi
pada urusan agama, yang bebas dari setiap kefasikan dan dari hal-hal yang merusak
kepribadian, Al-khatib al-Baghdadi memberikan definisi adil sebagai
berikut: ”yang tahu melaksanakan kewajibannya dan segala yang diperintahkan
kepadanya- dapat menjaga diri dari larangan-larangan, menjauhi dari kejahatan,
mengutamakan kebenaran dan kewajiban dalam segala tindakan dan pergaulannya,
serta menjaga perkataan yang bisa merugikan agama dan merusak kepribadian.
Barang siapa dapat menjaga dan mempertahankan sifat-sifat tersebut maka ia dapat
disebut bersikap adil bagi agamanya dan hadisnya diakui kejujurannya”.
Para ulama membedakan adilnya seorang rawi dan bersihnya seorang saksi.
Jika masalah kebersihan, baru dapat diterima dengan penyaksian dua saksi. Saksi
ini baik laki laki maupun saksi perempuan, orang merdeka atau berstatus budak,
dengan persyaratan dapat adil terhadap dirinya sendiri.

B. Pengertian Tahammul Wa al-Ada’ 


Tahammul adalah menerima dan mendengar suatu periwayatan hadits dari seorang
guru dengan menggunakan beberapa metode penerimaan hadits.[1] Muhammad ‘Ajaj
al-Khatib memberikan defenisi dengan kegiatan menerima dan mendengar hadits.[2]
Jadi tahammul adalah proses menerima periwayatan sebuah hadits dari seorang guru
dengan metode-metode tertentu. Al-‘Ada adalah kegiatan meriwayatkan dan
menyampaikan hadits.[3] Menurut Nuruddin ‘Itr adalah menyampaikan atau
meriwayatkan hadits kepada orang lain.[4] Jadi al-‘ada adalah proses menyampaikan
dan meriwayatkan hadits.

3
C. Periwayatan Hadits Secara Lafadz Dan Ma’na
- Periwayatan Hadits Secara Lafadz

Meriwayatkan hadis dengan lafaz adalah meriwayatkan hadis sesuai dengan


lafaz yang mereka terima dari Nabi Muahmmad. Dengan istilah lain yaitu
meriwayatkan hadis dengan lafaz yang masih asli dari Nabi Muhammad SAW.
Kebanyakan sahabat menempuh periwayatan hadis melalui jalur ini. Mereka
berusaha agar periwayatan hadis sesuai dengan redaksi dari Nabi Muhammad
SAW bukan menurut redaksi mereka. Malahan semua sahabat menginginkan agar
periwayatan itu dengan lafzi bukan maknawi[9].

Tercatat dalam sejarah, bahwa para sahabat nabi adalah orang yang sangat
berhati-hati dan ketat dalam periwayatan hadis. Mereka tidak mau meriwayatkan
sebuah hadis hingga yakin betul teks serat huruf demi huruf yang akan
disampaikan itu sama dengan yang mereka terima dari Nabi Muhammad SAW.

Sebagian sahabat ada yang jika ditanya tentang sebuah hadis merasa lebih
senang jika sahabat lain yang menjawabnya. Hal demikian agar ia terhindar dari
kesalahan periwayatan. Menurut mereka, apabila hadis yang diriwayatkan itu tidak
sesuai dengan redaksi yang diterima, mereka telah melakukan perbuatan
dosa, seolah-olah telah melakukan pendustaan terhadap nabi Muhammad SAW.
Kekhawatiran tersebut karena didorong oleh rasa keimanan mereka yang kuat
kepada Nabi Muhammad SAW[10].

- Periwayatan Hadits Secara Ma’na


Meriwayatkan hadis dengan makna adalah meriwayatkan hadis berdasarkan
kesesuaian maknanya saja sedangkan redaksinya disusun sendiri oleh orang yang
meriwayatkan. Dengan kata lain apa yang diucapkan oleh Rasulullah hanya
dipahami maksudnya saja, lalu disampaikan oleh para sahabat dengan lafaz atau
susunan redaksi mereka sendiri. Hal ini dikarenakan para sahabat tidak sama daya
ingatannya, ada yang kuat dan ada pula yang lemah. Di samping itu kemungkinan
masanya sudah lama, sehingga yang masih ingat hanya maksudnya sementara apa
yang diucapkan Nabi sudah tidak diingatnya lagi.

4
Periwayatan hadis dengan makna tidak diperbolehkan kecuali jika perawi
lupa akan lafaz tapi ingat akan makna, maka ia boleh meriwayatkan hadis dengan
makna[12].
Sedangkan periwayatan hadis dengan makna menurut Luis Ma’luf adalah
proses penyampaian hadis-hadis Rasulullah SAW dengan mengemukakan makna
atau maksud yang dikandung oleh lafaz karena kata makna mengandung arti
maksud dari sesuatu[13].
Menukil atau meriwayatkan hadis secara makna ini hanya diperbolehkan
ketika hadis-hadis belum terkodifikasi. Adapun hadis-hadis yang sudah terhimpun
dan dibukukan dalam kitab-kitab tertentu (seperti sekarang), tidak diperbolehkan
merubahnya dengan lafaz/matan yang lain meskipun maknanya tetap.
Dengan kata lain bahwa perbedaan sehubungan dengan periwayatan hadis
dengan makna itu hanya terjadi pada masa periwayatan dan sebelum masa
pembukuan hadis. Setelah hadis dibukukan dalam berbagai kitab, maka perbedaan
pendapat itu telah hilang dan periwayatan hadis harus mengikuti lafaz yang tertulis
dalam kitab-kitab itu, karena tidak perlu lagi menerima hadis dengan makna[14].

Anda mungkin juga menyukai