Anda di halaman 1dari 11

GRASI DI INDEONSIA

2 02 2011

A. Pendahuluan.

Grasi merupakan pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan atau penghapusan


pelaksanaan pidana kepada terpidana oleh Presiden. Menurut penjelasan UU No 22 tahun 2002,
pemberian grasi bukan merupakan persoalan teknis yuridis dan tidak terkait dengan penilaian
putusan hakim. pemberian grasi bukan merupakan campur tangan Presiden dalam bidang
yudikatif, melainkan hak prerogatif Presiden untuk memberikan ampunan. Selanjutnya
dijelaskan bahwa kendati pemberian grasi dapat merubah, meringankan, mengurangi atau
menghapuskan kewajiban menjalani pidana yang dijatuhkan pengadilan, tidak berarti
menghilangkan kesalahan dan juga bukan merupakan rehabilitasi terhadap terpidana.[1]

Dengan diundangkannya UU No 22 tahun 2002, kesempatan mendapatkan pengampunan dari


Presiden atau Grasi dibatasi, batasannya adalah lama hukuman dan hukuman mati. Pasal 2 ayat 2
Undang-Undang garsi menyebutkan bahwa putusan pidana yang dapat dimohonkan grasi adalah
pidana mati, penjara seumur hidup dan penjara paling rendah 2 tahun. Dengan ini terlihat bahwa
yang berhak mendapatkan grasi adalah pidana-pidana berat, yang dalam prakteknya justru
menghambat jalannya eksekusi, apalagi bagi terpidana mati, banyak terpidana mati yang
terkatung-katung nasibnya hanya karena menunggu grasi dari Presiden.

Grasi dikenal dalam seluruh sistem hukum diseluruh dunia. Sebagaimana diketahui, grasi
diberikan oleh Presiden dalam kedudukannya sebagai Kepala Negara. Maka meskipun ada
nasihat atau pertimbangan dari Mahkamah Agung, Grasi oleh Presiden pada dasarnya adalah
bukan suatu tindakan hukum, melainkan suatu tindakan non hukum berdasarkan hak prerogratif
seorang Kepala Negara. Dengan demikian Grasi bersifat pengampunan berupa mengurangi
pidana (starfvermiderend) atau memperingan pidana atau penghapusan pelaksanaan pidana yang
telah diputuskan oleh Mahkamah Agung. Jadi Grasi (dalam bahasa latin “Gratia”) adalah
semacam anugerah (di Belgia disebut “Genade”) dari Kepala Negara dalam rangka
memperingan atau membebaskan pidana si terhukum. Namun juga grasi itu bias ditolak oleh
Presiden.

Undang-Undang tidak menentukan pertimbangan seperti apa yang harus digunakan Presiden
untuk memberikan Grasi, Undang-Undang hanya menyebutkan bahwa Presiden memberikan
Grasi dengan memperhatikan pertimbangan dari Mahkamah Agung. Yang menjadi pasti dengan
adanya UU No 22 tahun 2002 adalah pembatasan terhadap hukuman yang dapat diajukan Grasi.

Dalam hukum Pidana Islam, tindak pidana terbagi menjadi tiga macam, yaitu pidana hudud,
pidana qhisas diyat dan pidana ta’zir, kaitannya dengan pengampunan hukuman, pembagian ini
berfungsi untuk memisahkan pidana yang tidak mengenal pengampunan dan pidana yang bisa
diampunkan. Untuk pidana hudud, hukum Islam telah menentukan bahwa salah satu kewajiban
penguasa Negara atau khususnya Kepala Negara menurut Imam al-Mawardi sebagaimana
dikutip oleh Hasbie As Shiddiqie, adalah menegakkan hukum-hukum Allah agar orang tidak
berani melanggar hukum-hukum Allah yang batas-batasnya telah Allah tetapkan dan menjaga
hak-hak hamba-Nya dari kebinasaan dan kerusakan.[2] Oleh karena itu hukuman ini tidak bisa
diampunkan oleh penguasa Negara, disamping karena hukuman had ini adalah murni hal Allah.
Telah ditegaskan bahwa pidana hudud tidak mengenal pengampunan oleh korban atau pengausa
Negara.

Islam mengajarkan bahwa perkara hudud yang telah sampai kepada yang berwenang tidak boleh
lagi diampuni. Dalam kitab al-Muwata, Imam Malik menceritakan bahwa sekelompok orang
telah menangkap seorang pencuri untuk dihadapkan kepada Khalifah Utsman, namun di tengah
jalan mereka bertemu dengan Zubair yang kemudian memberikan syafa’at kepada pencuri
tersebut. Awalnya mereka menolak dan meminta Zubair untuk melakukannya di hadapan
Utsman, namun Zubair mengatakan bahwa apabila sebuah masalah hudud telah sampai kepada
penguasa, Allah melaknat orang yang memberi dan meminta ampunan.[3] Dalam pidana
qishash-diyat, Allah subhanahu wa ta’ala telah mengatur bahwa korban atau walinya punya hak
untuk menuntut atau mengampuni. Allah berfirman di dalam al-Qur’an :
ُ ُ َ
‫ن‬
ْ ‫م‬َ َ‫حّر َوال ْعَب ْد ُ ِبال ْعَب ْد ِ َواْلن َْثى ِباْلن َْثى ف‬ ُ ْ ‫حّر ِبال‬ ُ ْ ‫قت َْلى ال‬ َ ْ ‫ص ِفي ال‬ ُ ‫صا‬َ ‫ق‬ ِ ْ ‫م ال‬
ُ ُ ‫ب ع َل َي ْك‬َ ِ ‫مُنوا ك ُت‬َ ‫ن َءا‬َ ‫ذي‬ِ ّ ‫َياأي َّها ال‬
َ ِ َ‫ن أ‬
‫ن‬ِ ‫م‬َ َ‫ة ف‬
ٌ ‫م‬
َ ‫ح‬ ْ ُ ‫ن َرب ّك‬
ْ ‫م وََر‬ ْ ‫م‬
ِ ‫ف‬ ٌ ‫في‬ ِ ‫خ‬ ْ َ‫ك ت‬ َ ِ ‫ن ذ َل‬ٍ ‫سا‬ َ ‫ح‬ْ ِ ‫داٌء إ ِل َي ْهِ ب ِإ‬ َ ‫ف وَأ‬ َ ْ ‫يٌء َفات َّباع ٌ ِبال‬
ِ ‫معُْرو‬ ْ ‫ش‬ َ ِ‫خيه‬ ْ ‫م‬ ُ َ‫ي ل‬
ِ ‫ه‬ َ ‫ف‬ِ ُ‫ع‬
َ َ َ‫ه ع‬ َ َ َ
178 : ‫م }البقرة‬ ٌ ‫ب أِلي‬ ٌ ‫ذا‬ ُ ‫دى ب َعْد َ ذ َل ِك فل‬ َ َ ‫}اع ْت‬

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan
orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba dan
wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema`afan dari saudaranya,
hendaklah (yang mema`afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi
ma`af) membayar (diat) kepada yang memberi ma`af dengan cara yang baik (pula). Yang
demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang
melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih.” (QS. Al-Baqarah : 178)

Dalam hal ini, Allah telah memberikan wewenang kepada ahli waris terbunuh, tetapi tidak boleh
melampaui batas dalam melaksanakan pembalasan darah tersebut. Yang dimaksud wewenang di
sini adalah justifikasi untuk menuntut qishash. Dari sinilah timbul suatu prinsip hukum Islam
bahwa dalam hal pembunuhan di mana pelaku pembalas bukanlah negara melainkan ahli waris
dari orang yang terbunuh, oleh karena itu negara sendiri tidak berhak untuk memberikan
ampunan. Akan tetapi jika korban tidak cakap di bawah umur atau gila sedang ia tidak punya
wali, maka kepala negara bisa menjadi walinya dan bisa memberikan pengampunan. Jadi
kedudukannya sebagai wali Allah yang memungkinkan dia mengampuni, bukan kedudukannya
sebagai penguasa Negara.

Untuk pidana ta’zir sendiri para fuqaha’ berbeda pendapat, apakah penguasa negara bisa
memberikan pengampunan terhadap semua macam pidana ataukah hanya sebagian saja. Menurut
sebagian fuqaha’, pada pidana hudud dan qishash yang tidak lengkap, yaitu yang hanya
dikenakan hukuman ta’zir, tidak boleh diampunkan, sadangkan menurut fuqaha’ lain, semua
macam pidana ta’zir bisa diampunkan, jika bisa mewujudkan kemaslahatan.[4]

Sedangkan dalam masalah pidana ta’zir, hukum Islam mengatur bahwa penguasa diberi hak
untuk membebaskan pembuat dari hukuman dengan syarat tidak mengganggu korban. Korban
juga bisa memberikan pengampunan dalam batas-batas yang berhubungan dengan hak
pribadinya. Namun karena pidana ini menyinggung hak masyarakat, hak pengampunan yang
diberikan oleh korban tidak menghapuskan hukuman sama sekali, hanya sebatas meringankan.
Jadi dalam pidana ta’zir, penguasalah yang berhak menentukan hukuman dengan pertimbangan
kemaslahatan.

Hukum Islam tidaklah mutlak melarang pemaafan hukuman atau Grasi oleh Presiden. Grasi
diperbolehkan dalam batas-batas yang sangat sempit dan demi pertimbangan kemaslahatan
masyarakat. Hanya hukuman-hukuman yang ringan yang tidak membahayakan kepentingan
umumlah yang boleh diampuni oleh Kepala Negara. Dan untuk pidana pembunuhan tidaklah ada
hak Kepala Negara untuk mengampuni hukuman.

Sisi lain yang harus diperhatikan, mengapa kewenangan memberikan Grasi bagi Presiden di
Indonesia perlu dipertanyakan keabsahannya dalam Hukum Islam adalah bahwa kekuasaan
Negara Indonesia terbagi dalam beberapa kekuasaan, dimana kekuasaan peradilan atau yudikatif
meruapkan kekuasaaan yang bebas dari campur tangan Kepala Negara sebagai Eksekutif, yaitu
dipegang oleh Mahkamah Agung sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dibidang peradilan yang
merdeka.

Pembahasan mengenai Grasi memang tidak biasa dibicarakan karena kebanyakan orang
menganggap kewenangan Presiden ini tidak ada masalah. Dalam buku-buku mengenai hukum
pidana, masalah ini juga tidak memiliki banyak tempat, karena Grasi ini bukan merupakan
bentuk upaya hukum, hanya terkadang disinggung dalam bab pelaksanaan hukuman, khususnya
hukuman mati yang prosedurnya harus melalui pengajuan Grasi, selain itu dalam bab-bab lain
persoalan ini sama sekali tidak disinggung.

Berangkat dari latar belakang yang telah penulis paparkan, maka terlihat jelas perbedaan dan
persamaan yang ada dalam hak pemberian grasi oleh lembaga grasi di Indonesia dan
kewenangan kepala Negara memberi ampunan dalam hukum Islam. Oleh karena itu yang
menjadi pokok permasalahan dalam tulisan ini adalah ; bagaimana hukum positif dan hukum
Islam mengatur tentang pemberian ampunan/grasi terhadap pelaku tindak pidana ?

B. Pembahasan.

1. Definisi Grasi Menurut Hukum Pidana di Indonesia.

Secara etimologis, grasi berarti anugerah, dan dalam terminologi hukum, grasi diartikan sebagai
keringanan hukuman yang diberikan kepala negara kepada terhukum setelah mendapat
keputusan hakim atau pengampunan secara individual.[5] Pada hakikatnya grasi merupakan
pemberian pengampunan kepada pelaku tindak pidana oleh kepala negara. Jika pengampunan
diberikan kepada seseorang secara individu, maka disebut grasi; jika diberikan kepada
sekelompok orang terpidana atau kepada keseluruhan mereka, maka disebut amnesti; dan jika
diberikan dengan cara menghapuskan tuntutan atau menghentikan penyidikan kasus oleh aparat
penegak hukum, maka disebut abolisi.
Salah satu jaminan bagi pengadilan ialah ketentuan bahwa untuk menjalankan keadilan,
pengadilan harus bebas dari segala bentuk campur tangan pihak mana pun. Undang-Undang
Dasar Sementara Republik Indonesia pasal 103 menyatakan : “Segala campur tangan dalam
urusan pengadilan oleh alat-alat perlengkapan yang bukan perlengkapan pengadilan, dilarang
kecuali jika diizinkan oleh undang-undang.”[6] Hal ini dimaksudkan agar hakim dapat
menjalankan keadilan secara bebas dan objektif. Pengecualian terhadap larangan itu ialah adanya
hak memberi grasi bagi kepala negara untuk menghapuskan, mengurangi atau meniadakan
tuntutan atau hukuman-hukuman yang dijatuhkan dengan keputusan pengadilan. Undang-
Undang Dasar 1945 pasal 14 ayat satu menyebutkan : “Presiden memberi grasi dan rehabilitasi
dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung.”[7]

Pada mulanya tindakan pengampunan didasarkan pada kemurahan hati orang yang berkuasa.
Karena penguasa dipandang sebagai sumber keadilan dan hak pengadilan sepenuhnya berada
ditangannya, maka tindakan pengampunan itu semata-mata didasarkan pada hasrat untuk
memberi ampun kepada orang yang berdosa. Pada perkembangan selanjutnya anggapan terhadap
grasi bergeser kepada anggapan bahwa hak lembaga-lembaga ini harus dilihat sebagai suatu
tindakan pengadilan atau lebih tepat sebagai tindakan keadilan untuk menghapuskan atau
mengurangi ketidakadilan di dalam memperlakukan undang-undang. Di samping tujuan untuk
mengadakan koreksi terhadap keputusan pengadilan, maka pengampunan itu juga dapat
diberikan karena pertimbangan kepentingan negara yang mendorong untuk tidak menjalankan
keputusan pengadilan itu. Faktor kemanusiaan juga ikut menjadi bahan pertimbangan dan bagian
dari tujuan pemberian pengampunan tersebut.

2. Definisi Grasi Dalam Fiqh Islam.

Dalam kajian fiqh, grasi dikenal dengan berbagai istilah, seperti al-‘afwu dan al-syafa’at yang
menurut Fakhruddin ar-Razi (ahli fiqh Madzhab Maliki) diartikan sebagai “suatu permohonan
dari seseorang terhadap orang lain agar keinginannya dipenuhi.”[8] Di bidang peradilan,
al-‘afwu atau al-syafa’at mempunyai arti khusus, seperti yang disampaikan oleh Ali bin
Muhammad as Sayyid as Sarif al-Jurjani, ahli ilmu kalam serta ahli hukum Madzhab Maliki, dan
pengarang kitab “at-Ta’rifat” (definisi istilah-istilah penting Islam). Menurutnya, syafa’at
adalah ;

9] ‫]هي السؤال في التجاوز عن الذنوب من الذي وقع الجناية في حقه‬

Artinya : “suatu permohonan untuk dibebaskan atau dikurangi dari menjalani hukuman
terhadap suatu tindak pidana yang telah dilakukan.”

Dengan memperhatikan pengertian-pengertian di atas, maka istilah syafa’at dapat diartikan


sebagai grasi, atau amnesti atau abolisi dibidang hukum pidana umum. Oleh karenanya, di dalam
ajaran agama Islam latar belakang adanya syafa’at yang ada di dunia ini hanya untuk diberikan
oleh seseorang kepada orang lain yang membutuhkannya. Dengan demikian, secara umum, Islam
memandang bahwa pada dasarnya memberikan syafa’at berupa bantuan, baik materiil maupun
moril, atau pertolongan lainnya menurut kebutuhan orang yang meminta syafa’at adalah tindakan
terpuji. Apa yang diperintahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. kepada para
sahabatnya, “apabila datang seseorang meminta, agar kebutuhannya dapat dipenuhi” (HR.
Muttafaq ‘alaih [al-Bukhari dan Muslim]), merupakan penjelasan bahwa orang yang
memberikan syafa’at akan diberi pahala karena tindakan tersebut diridhai oleh Allah subhanahu
wa ta’ala.[10]

3. Fungsi Grasi.

Seorang Raja sering dipandang sebagai sumber keadilan dan wewenang mengadili sepenuhnya
berada ditangan raja. Tapi dalam jalan sejarahnya, ditambah pula dengan dilepaskannya
wewenang mengadili dari tangan raja sebagai akibat dari pembaharuan ketatanegaraan dunia
dengan “Trias Politika” yang. dipelopori oleh Montesque. Maka, sifat dari grasi itu bergeser
kepada jurusan anggapan, bahwa hak grasi itu harus dilihat sebagai tindakan keadilan, untuk
menghapuskan atau mengurangi ketidakadilan di dalam memperlakukan undang-undang, yang
tidak mungkin atau menurut perasaan hakim tidak mungkin dihindarkan.[11]

Pandangan ini agaknya yang lebih tepat dijadikan alasan untuk memberikan grasi, sebab
bagaimanapun bentuknya suatu aturan hukum jika tidak menegakkan keadilan maka tidaklah ada
artinya menegakkan hukum, dan sekaligus akan merusak citranya badan-badan peradilan.

Adapun setiap keputusan hakim yang sudah tetap tidak dapat diganggu gugat atau diubah kecuali
dengan menggunakan upaya hukum yang ada seperti banding atau kasasi. Dengan kedua macam
upaya hukum inilah keputusan hakim atau pengadilan yang sudah tetap dapat diubah dan atau
dikukuhkan. Baik banding maupun kasasi, keduanya berfungsi sebagai alat koreksi terhadap
keputusan hakim dalam usaha mencari dan menerapkan keadilan yang berada di luar perhitungan
hakim pengadilan tingkat sebelumnya. Sebab tidak mustahil keputusan hakim tersebut ada di
antaranya yang tidak cocok dengan keadilan yang murni dalam pandangan manusiawi,
disebabkan antara lain keterbatasan kemampuan seorang hakim disatu pihak atau karena
lemahnya pembuktian, sedang dilain pihak seorang hakim tidak boleh menolak atau tidak
menberi putusan terhadap suatu perkara yang ada dalam wewenangnya.

Sehubungan dengan hal tersebut, lalu bagaimanakah fungsi grasi ? Apabila upaya hukum seperti
banding atau kasasi itu sebagai alat kontrol yang dapat mengubah atau mengukuhkan putusan
maka berbeda dengan grasi, di mana sesuai dengan perkembangan sifat grasi sebagai kontrol
terhadap pelaksanaan keputusan hakim, yang dihubungkan dengan pelaksanaan dan akibat dari
pelaksanaan putusan itu, sehingga dapat diberikan grasi pelaksanaan hukuman dapat dirubah,
akan tetapi tidak merubah materi dan eksistensi putusan hakim. Fungsi grasi hanya terbatas
kepada mangeksekusikan pelaksanaan hukuman baik sebagian maupun semuanya.

Sebagai bahan perbandingan selanjutnya perlu ditambahkan sepintas, tentang upaya-upaya


lainnya sebagai hak presiden untuk menggugurkan hukuman, dan atau meniadakan, tuntutan
terhadap seseorang yang melakukan kejahatan atau pelanggaran yakni amnesti dan abolisi.
Amnesti jangkauannya lebih luas lagi, di mana amnesti tidak hanya sekedar menggugurkan
hukuman atau mengekskusikan hukuman tapi juga untuk meniadakan wewenang bagi penuntut
umum untuk mengadakan penuntutan sehingga kejahatan, yang dilakukan oleh seseorang
tersangka dianggap tidak ada. Sedangkan Abolisi adalah hak presiden untuk menghentikan dan
meniadakan penuntutan, dilakukan terhadap seseorang yang telah melakukan kejahatan atau
pelanggaran dan terhadap siapapun yang telah dimulai dengan penuntutan.[12]
Amnesti dan Abolisi adalah hak Presiden, sebab baik amnesti maupun abolisi keduanya dapat
diberikan oleh kepala negara setelah mendapat persetujuan Mahkamah Agung. Hal ini sejalan
dengan alasan untuk diberikan amnesti atau abolisi adalah “atas kepentingan negara”[13] bukan
karena alasan yang lain. Di Indonesia, pemerintah telah memberikan ammesti dan abolisi antara
lain kepada mantan-mantan pengikut PRRI/Permesta.

Setelah memperhatikan penjelasan di atas, maka dapat ditarik garis pemisah perbedaannya
sebagai berikut :

a. Banding dan kasasi keduanya berfungsi sebagai upaya hukum untuk merubah atau
mengukuhkan putusan pengadilan. Kedua jenis upaya hukum ini adalah wewenang pengadilan
dan dilakukan dengan proses pengadilan pula, dalam usaha memperbaiki putusan hakim atau
pengadilan ditingkat sebelumnya.

b. Grasi juga sebagai upaya hukum, dengan memberikan pengampunan untuk


mengekskusikan hukuman sebagai hak prirogative Kepala Negara. Pertimbangan dalam
memberikan grasi lebih dititik beratkan kepada pandangan akan akibat dari pelaksanaan
hukuman, serta dilakukan diluar proses pengadilan, sebab grasi tidak menyinggung putusan
pangadilan.

c. Amnenti dan Abolisi juga adalah hak Presiden dengan persetujuan Mahkamah Agung,
yang dengan diberikan amnesti, abolisi dapat mengeksekusikan hukuman, menghentikan
penuntutan dan meniadakan penuntutan terhadap seseorang atau beberapa orang yang melakukan
kejahatan.

Dengan memperhatikan akan sifat grasi itu sendiri dan dihubungkan dengan keterangan di atas,
maka dapat disimpulkan bahwa grasi, di samping memberikan ampunan juga mengkoreksi
pelaksanaan hukuman sebagai hasil putusan hakim. Mengingat bahwa alat koreksi semacam ini
bukanlah wewenang sembarang orang melainkan wewenang Kepala Negara, sedangkan seorang
Kepala Negara menurut sistem Ketatanegaraan Modern di abad ini tidak berwenang mencampuri
pekerjaan peradilan bahkan dilarang. Maka hanya dengan hak grasi seorang Kepala Negara dapat
campur tangan terhadap pekerjaan peradilan yakni dengan dapat merubah atau meniadakan
pelaksanaan hukuman atas hasil putusan pengadilan atau hakim. Oleh sebab itu, dapat
disimpulkan bahwa fungsi grasi adalah sebagai jalan bagi seorang Kepala Negara untuk dapat
mencampuri pekerjaan peradilan dengan pertimbangan-pertimbangan yang matang dalam usaha
memindahkan siterpidana dari hukuman yang sedang berlaku demi alasan-alasan tertentu.

4. Analisis.

Lazimnya, pemberian grasi ini hanya kepada para terpidana mati saja, akan tetapi pada
hakikatnya tidaklah tertentu kepada satu hukuman saja, melainkan setiap hukuman dapat diberi
grasi dengan batasan sebagaimana yang dijelaskan di dalam undang-undang grasi pasal 2 ayat
(2) yakni, putusan pemidanaan mati, penjara seumur hidup, dan penjara paling rendah 2 (dua)
tahun. Sedangkan di dalam fiqh Islam, pengampunan hukuman hanya berlaku pada hukuman
qishash-diat dengan sebutan al-syafa’at, di mana hal tersebut juga bermakna grasi namun
tatacaranya yang berbeda. Sebab pengampunannya bukanlah milik seorang kepala negara.
Sedangkan pada hukuman had, tidak berlaku pengampunan apabila sudah diputuskan oleh hakim
atau qadhi. Sebagaimana hadits Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan ;

‫ب‬ ُ ‫ن‬
ٍ ْ ‫شعَي‬ ِ ْ ‫رو ب‬ِ ‫م‬ ْ َ‫ن ع‬ ْ َ‫ث ع‬ ُ ّ ‫حد‬َ ُ ‫جَري ٍْج ي‬ ُ ‫ن‬َ ْ ‫ت اب‬ُ ْ ‫مع‬ِ ‫س‬
َ ‫ل‬ َ ‫ب َقا‬ ٍ ْ‫ن وَه‬ ْ َ ‫مهْرِيّ أ‬
ُ ْ ‫خب ََرنا َ اب‬ َ ْ ‫داوُد َ ال‬ َ ‫ن‬
ُ ْ‫ن ب‬ ُ ‫ما‬ َ ْ ‫سل َي‬ ُ ‫حد ّث ََنا‬
َ
‫ل ت ََعاّفوا‬
َ ‫م َقا‬ ّ ‫ل‬ ‫س‬ ‫و‬ ‫ه‬‫ي‬َ ‫ل‬َ ‫ع‬ ‫لهم‬ ّ ‫ال‬ ‫لى‬ ّ ‫ص‬ ‫ه‬‫الل‬ َ
‫ل‬ ‫سو‬ ‫ر‬ ‫ن‬ َ ‫أ‬ ‫ص‬ ‫عا‬ ْ ‫ل‬ ‫ا‬ ‫ن‬ ‫ب‬ ‫رو‬ ‫م‬ َ ‫ع‬ ‫ن‬ ‫ب‬ ‫ه‬‫الل‬ ‫د‬ ‫ب‬َ ‫ع‬ ‫ن‬ َ ‫ع‬ ‫ه‬ ‫بي‬َ ‫أ‬ ‫ن‬ َ ‫ع‬
َ َ َ ْ ِ َ ِ ُ َ ّ ِ َ ِ ْ ِ ْ ِ ْ ِ ِ ْ ْ ِ ِ ْ
‫ب }رواه أبو داود‬ َ ‫ج‬ َ َ ‫قد ْ و‬ َ َ ‫حد ّ ف‬َ ‫ن‬ ْ ‫م‬ ِ ‫ما ب َل َغَِني‬ ْ ُ ‫ما ب َي ْن َك‬
َ َ‫م ف‬ َ ‫دود َ ِفي‬ ُ ‫ح‬ ُ ْ ‫}ال‬

Artinya : “Diceritakan kepada kami oleh Sulaiman bin Daud al-Mahry; Dikabarkan kepada
kami oleh ibn Wahbin berkata, aku mendengar ibn Juraij memperbincangkan tentang masalah
‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash bahwa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda; saling memaafkanlah kalian dalam masalah hukum had
selama masih dalam urusan kalian, maka jika telah sampai kepadaku permasalahan had
tersebut, maka ia wajib untuk dilakasanakan.” [HR. Abu Daud]

Dalam hal ini, hukuman yang sudah dijatuhkan oleh seorang hakim dari hukuman had ini tidak
boleh ditawar lagi atau diampuni. Akan tetapi, sebelum permasalahan tersebut diputus oleh
seorang hakim, ia harus terlebih dahulu berusaha untuk memberikan kesempatan kepada masing-
masing pihak yang bersengketa untuk berdamai dan saling memaafkan (hal ini dalam hukum
perdata dikenal dengan sebutan mediasi).

Di samping itu, hakim hendaklah selalu berhati-hati jangan sampai salah dalam menjatuhkan
hukuman. Artinya, jika hakim tidak menemukan keyakinan yang kuat, maka ia tidaklah boleh
menjatuhkan hukuman. Adapun pengurangan hukuman terhadap had atau pengecualian
hukuman terhadap had, bukanlah sebuah pengampunan, melainkan rukhshah. Sebagai contoh
adalah, hadits Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam ;
َ
‫ت‬
َ ‫ما‬
َ ‫ط‬
ٍ ْ‫سو‬ َ َ ‫مائ‬
َ ‫ة‬ ِ ُ ‫ضَر ب َْناه‬َ ْ‫ك ل َو‬ َ ِ ‫ن ذ َل‬
ْ ‫م‬
ِ ‫ف‬ُ َ ‫ضع‬
ْ ‫ي اللهِ هُوَ أ‬ ّ ِ ‫ط َقاُلوا َيا ن َب‬ٍ ْ‫سو‬ َ ِ‫مائ َة‬
ِ ‫ب‬َ ‫ضْر‬َ ُ ‫دوه‬
ُ ِ ‫جل‬ َ ‫َقا‬
ْ ‫لا‬
‫حد َة ً }رواه ابن ماجه‬ ِ ‫ة َوا‬
ً َ ‫ضْر ب‬
َ ُ ‫ضرِ ُبوه‬ ْ ‫مَراٍخ َفا‬
ْ ‫ش‬ِ ‫ة‬ُ َ ‫مائ‬ َ
ِ ِ‫عث ْكال ً ِفيه‬ ِ ‫ه‬ َ
ُ ‫ذوا ل‬ ُ َ‫ل ف‬
ُ ‫خ‬ َ ‫}َقا‬

Artinya : “Rasul bersabda; pukullah ia dengan jilid seratus kali. Mereka berkata; wahai Nabi
Allah, dia itu lebih lemah dari itu, jika kami pukul seratus jilid niscaya ia akan mati. Berkata
Nabi; ambillah satu ikat lidi yang terdiri dari saratus lidi lalu pukullah ia satu kali pukullan.”
[HR. Ibn Majah]

Contoh lain adalah mengenai hukuman potong tangan terhadap orang yang mencuri di suatu
musim paceklik, karena maksud hanya untuk menghidarkan diri dari kematian atau
menyelamatkan diri, jadi bukan mencuri karena hawa nafsu untuk sengaja mengambil atau
memiliki barangnya. Mengenai masalah ini, para ulama fiqh sepakat bahwa tidak dipotong
tangan pencuri dalam musim paceklik, karena darurat membolehkan untuk mencapai harta orang
lain sekedar hajat, sebagaimana telah diriwayatkan oleh Makhal bahwa Nabi Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda ; tidak dipotong dalam musim paceklik yang
menimbulkan keadaan darurat.

Lalu bagaimanakah dengan hukuman ta’zir? Berhubungan dengan hal ini, hukuman ta’zir
diserahkan kepada penguasa untuk menentukannya, maka dari segi pengampunan juga demikian
pula, baik dengan sistem grasi atau lainnya. Dengan demikian, hukuam ta’zir dapat diberi grasi.
Hal ini senafas dengan hadits Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam ;

‫ة‬ َ ِ ‫عائ‬
َ ‫ش‬ َ ‫ن‬ َ َ ‫حدث َنا ع َبد الرحمن حدث َنا ع َبد ال ْمل ِك بن زيد ع َن محمد بن أ َبي بك ْر ع‬
ْ َ ‫مَرة َ ع‬
ْ َ‫ن ع‬ ْ َ ‫ن أِبيهِ ع‬ ْ ٍ َ ِ ِ ْ ِ ّ َ ُ َْ ٍ ْ َ ُ ْ ِ َ ُ ْ َ ّ َ ِ َ ْ ّ ُ ْ َ ّ َ
‫دود َ }رواه أحمد‬ ‫ح‬ ْ ‫ل‬ ‫ا‬ ّ
‫ل‬ ‫إ‬ ‫م‬ ‫ه‬ِ ‫ت‬‫را‬ َ ‫ث‬َ ‫ع‬ ‫ت‬ َ
‫ئا‬ ‫ي‬ ‫ه‬ْ ‫ل‬ ‫ا‬ ‫وي‬ َ ‫ذ‬ ُ
‫لو‬ ‫قي‬ ‫أ‬ َ
‫ل‬ َ
‫قا‬ ‫م‬ ّ ‫ل‬ ‫س‬‫و‬ ‫ه‬‫ي‬َ ‫ل‬َ ‫ع‬ ‫ه‬ ‫الل‬ ‫لى‬ّ ‫ص‬ ‫ه‬‫الل‬ َ
‫ل‬ ‫سو‬ ‫ر‬ ‫ن‬ َ ‫}أ‬
ُ ُ ِ ْ ِ َ ِ َْ ِ ِ َ َ َ ْ ِ ُ َ ِ ُ َ ّ

Artinya : “Diceritakan kepada kami oleh Abd al-Rahman; diceritakan kepada kami oleh Abd al-
Malik bin Zaid dari Muhammad bin Abi Bakr dari ayahnya dari ‘Amrah dari ‘Aisyah, bawa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda; entengkanlah hukuman terhadap orang yang
berbuat maksiat dari orang-orang yang baik-baik, melainkan terhadap hukuman had.” [HR.
Ahmad]

Adapun dari segi wewenang pemberian ampunan/grasi ini, maka yang berwenang memberikan
garasi hanyalah Kepala Negara. Dalam sistem Hukum Pidana Umum, tidak ada jalan lain untuk
memberikan pengampunan kepada para terpidana yang dalam arti, perbuatan jahatnya tidak
terhapus, kecuali dengan menggunakan grasi. Hal ini tidak sejalan dengan hukum Islam, sebab
dalam Islam, pengampunan adalah hak orang yang teraniaya dan hak penguasa termasuk orang
yang menjatuhkan hukuman dalam hukum takzir.

Apabila wewenang ini hanya ditangan Kepala Negara, maka walaupun pelaksanaannya dapat
dilimpahkan kepada penguasa di bawahnya, itu merupakan intruksi saja. Jika demikian, maka
kebebasan pihak pengadilan tidak akan pernah ada lagi. Sedangkan dalam hukum ta’zir,
wewenang memberikan pengampunan ada ditangan hakim yang memutuskan perkara. Jadi,
bukan wewenang Kepala Negara, hanya saja hakim boleh mengambil kebijaksanaan
menyerahkan kepada Kepala Negara untuk memberikan pengampunan.

Kemudian, mengapa tujuan ketentuan grasi harus diatur oleh undang-undang :

a. karena untuk menghindarkan ketidakadilan yang mungkin terjadi sebagai akibat


dilaksanakannya hukuman;

b. karena untuk membela dan menegakkan kepentingan Negara.

Dalam hal ini, ajaran Islam memerintahkan kepada pemeluknya agar mengegakkan dan
menjalankan keadilan, sebagaimana dalam al-Qur’an disebutkan di dalam al-Qur’an surat al-
Nisa’ ayat 58 yang memerintahkan untuk menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya, dan seseorang harus bersikap adil dalam menetapkan suatu hukum.

Berdasarkan ayat ini, maka jelaslah bahwa prinsip keadilan merupakan hal yang harus
ditegakkan, dan tentunya lebih ditekankan kepada para pemimpin dan penguasa yang senantiasa
melayani kepentingan masyarakat. Ayat ini merupakan salah satu dari sekian banyak dalil naqli
tentang menjalankan dan menegakkan keadilan.

Berbicara tentang adil, sungguh sudah menjadi problem pemikiran para ahli, lalu apakah yang
sebenarnya disebut dengan adil? Dalam hal ini, penulis lebih conodng dengan arti “adil” secara
lughatan yakni “sesuatu yang tidak lazim”. Dengan demikian, orang yang adil adalah orang yang
menjalankan hukum menurut hukum Allah. Sebab siapa yang tidak menghukumi sesuatu dengan
hukum Allah maka dia adalah zhalim, sebagaimana yang telah difirmankan oleh Allah swt di
dalam al-Qur’an surat al-Maidah ayat 45.

Nampaknya grasi merupakan salah satu alat untuk mencari keadilan, dan menegakkan keadilan
adalah wajib hukumnya. Menggunakan suatu alat untuk melaksanakan kewajiban adalah wajib.
Sebagaimna kaidah fiqh merumuskan ;

‫ما ل يتم الواجب إل به فهـو واجب‬

Artinya : “Sesuatu yang wajib tidak akan sempurna kecuali dengannya sesutu itu, maka
hukumnya adalah wajib pula.”

Tujuan kedua adalah membela dan menegakkan kepentingan negara. Tujuan semacam ini dalam
Islam memang sudah merupakan suatu prinsip yang sudah digariskan untuk dilaksanakan. Hal
ini dapat diambil dari pengertian salah satu ayat di dalam al-Qur’an, surat al-Hajj ayat 39-40 ;
َ
‫ر‬
ِ ْ ‫م ب ِغَي‬
ْ ِ ‫ن د َِيارِه‬
ْ ‫م‬ ِ ‫جوا‬ُ ِ‫خر‬ ْ ُ‫ن أ‬ ِ ّ ‫{ال‬39} ‫ديٌر‬
َ ‫ذي‬ َ َ‫م ل‬
ِ ‫ق‬ ْ َ ‫ه ع ََلى ن‬
ْ ِ ‫صرِه‬ َ ‫ن الل‬ ُ ِ ‫م ظ ُل‬
ّ ِ ‫موا وَإ‬ َ ‫قات َُلو‬
ْ ُ‫ن ب ِأن ّه‬ َ ُ‫ن ي‬ ِ ّ ‫ن ل ِل‬
َ ‫ذي‬
ُ
َ ِ ‫أذ‬
َ
40}… ‫ه‬ ُ ‫قوُلوا َرب َّنا الل‬ُ َ‫ن ي‬ْ ‫حقّ إ ِل ّ أ‬
َ }

Artinya : “Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya
mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka
itu. [39] (yaitu) orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan
yang benar, kecuali karena mereka berkata: “Tuhan kami hanyalah Allah”…[40]”

Menumpas kezhaliman adalah di antara tugas utama suatu negara, oleh sebab itu segala usaha
untuk itu harus dilakukan, termasuk perang yang cukup berat dan berbahaya. Grasi adalah hal
yang lebih ringan dan tujuannya adalah menghindarkan ketidakadilan. Apabila berperang saja
dibolehkan, tentulah grasi demikian pula diperbolehkan. Menghindarkan ketidakadilan berarti
menolak kerusakan. Kaidah fiqh merumuskan ;

‫درء المفاسد مقدم على جلب المصالح‬

Artinya : “Menolak kerusakan harus didahulukan dari menerima mashlahat.”

Dengan demikian, ditinjau dari segi tujuan ini maka dapat difahami bahwa ;

a. Jika dalam suatu negara campur tangan Kepala Negara terhadap urusan peradilan
(mengoreksi, meninjau putusan hakim) dilarang, maka grasi dipandang perlu adanya.

b. Dalam suatu negara yang berlaku undang-undang Islam (qawanin al-Islam), maka grasi
dipandang tidaklah diperlukan.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat difahami bahwa mengapa masalah ampunan/grasi ini
harus diatur di dalam undang-undang adalah, karena hal tersebut merupakan hak dari seorang
kepala negara. Dan agar tidak terjadi penyelewengan hak, maka perlu diatur oleh undang-
undang. Adapun grasi itu tidak dapat diperlakukan dalam suatu negara yang di dalamnya berlaku
syari’at Islam secara murni, adalah karena grasi tersebut dapat meniadakan arti keputusan
pengadilan disuatu pihak dan dipihak yang lain dapat menciptakan kediktatoran Kepala Negara.

C. Kesimpulan.

Kesimpulannya adalah, bahwa di Indonesia, setiap hukuman dapat diberi grasi dengan batasan
sebagaimana yang dijelaskan di dalam undang-undang Nomor 22 Tahun 2002 Tentang Grasi
pasal (2) ayat (2) yakni, putusan pemidanaan dengan hukuman pidana mati, penjara seumur
hidup, dan penjara paling rendah 2 (dua) tahun. Sedangkan di dalam hukum Islam, pengampunan
hukuman hanya berlaku pada hukuman qishash-diat dengan sebutan al-‘afwu dan al-syafa’at
yang juga bermakna grasi, namun tatacaranya yang berbeda. Sedangkan pada hukuman had tidak
berlaku pengampunan apabila sudah diputuskan oleh hakim atau qadhi. Dari segi wewenang
pemberian ampunan/grasi, maka yang berwenang memberikan grasi hanyalah Kepala Negara.
Dalam sistem Hukum Pidana Umum, tidak ada jalan lain untuk memberikan pengampunan
kepada para terpidana yang dalam arti, perbuatan jahatnya tidak terhapus, kecuali dengan
menggunakan grasi. Hal ini tidak sejalan dengan hukum Islam, sebab dalam Islam,
pengampunan adalah hak orang yang teraniaya dan hak penguasa termasuk orang yang
menjatuhkan hukuman dalam hukum ta’zir.

[1] Sholeh Soeadi,S.H, Perpu 1/2002 Terorisme ditetapkan Presiden Megawati, (Jakarta: Durat
Bahagia, 2002), h. 8

[2] TM Hasbie ash Shiddiqie, Ilmu Kenegaraan dalam Fiqh Islam, (Jakarta: Bulan bintang,
1969), h. 110

[3] Imam Malik, al-Muwata’ “kitab hudud” bab tarku al ‘afwa fi qta’I as sariq iza rafi’a as
sultan, (t.t.: Dar al Hayyi al ‘arabi, 1951), h. 484

[4] Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1967), h. 260

[5] Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,
2002), Edisi Ketiga, h. 371

[6] Redaksi Asa Mandiri, Tiga UUD Republik Indonesia; UUD RI 1945 Hasil Amandemen;
Konstitusi RIS 1950; UUD Sementara RI 1950, (Jakarta: Asa Mandiri, 2007), h. 127

[7] Redaksi Sinar Grafika, UUD 1945 Hasil Amandemen dan Proses Amandemen UUD 1945
Secara Lengkap; Pertama 1999-Keempat 2002, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), h. 10

[8] Abdul Aziz Dahlan (et al.)., Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru van
Hoeve, 2006), h. 411

[9] Ali bin Muhammad as-Sayyid as-Sarif al-Jurjani, Kitab at-Ta’rifat, (Jakarta: Dar al-Hikmah,
t.th.), h. 128
[10] Abdul Aziz Dahlan (et al.)., op.cit., h. 412

[11] R. Tresna, Azas-Azas Hukum Pidana, (Jakarta: PT.Tiara, 1959), h. 180

[12] Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Kumpulan Kuliyah, (Jakarta: Balai Lektor
Mahasiswa, t.th.), Jilid II, h. 296

[13] Utrecht, Ringkasan Sari Kuliyah Hukum Pidana II, (Bandung: PT. Penerbitan Universitas,
1962), h. 244

Anda mungkin juga menyukai