Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

RENTANG RESPON WAHAM

DI SUSUN OLEH :

KELOMPOK 4

1. HUSAIN RAHMAT
2. RIRIN ANGGRAINI TOLUHULA
3. MUTMAINAH HASAN
4. AYU ASHARI MATOKA
5. SRILISMAWATI LASANGOLE
6. REFLICE JUSUF

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULATAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH GORONTALO

2021

i
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahi rabbil`alamin, puji dan syukur kehadirat allah SWT yang telah
melimpahkan rahmatnya , dan hidayah-Nya sehingga, penulis dapat menyelesaikan tugas
makalah, yang berjudul “RENTANG RESPON WAHAM”. Selama penyusunan makalah ini
di perlukan kesabaran dan usaha yang keras dengan harapan mahasiswa mendapatkan ilmu
yang bermanfaat.

Tujuan pembuatan makalah ini untuk memenuhi tugas mata kuliah keperawatan jiwa
1. Penulis menyadari bahwa isi dari makalah ini masih jauh dari sempurna dan masih banyak
terdapat kekurangan.

Pada kesempatan ini dengan rasa syukur dan kerendahan hati, penulis ingin
menyampaikan rasa terimah kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah
mendukung baik itu secara moril maupun materil hingga materi ini bisa selesai tepat pada
waktunya.

Gorontalo, 30 April 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................................................................ii
DAFTAR ISI..................................................................................................................................................iii
BAB 1...........................................................................................................................................................1
PENDAHULUAN...........................................................................................................................................1
1.1 Latar Belakang.............................................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.......................................................................................................................3
2.2 Tujuan Penulisan..........................................................................................................................3
BAB II...........................................................................................................................................................4
TINJAUAN PUSTAKA....................................................................................................................................4
BAB III..........................................................................................................................................................5
PEMBAHASAN.............................................................................................................................................5
3.1 Pengertian...................................................................................................................................5
3.2 Jenis-Jenis Waham.......................................................................................................................6
3.3 Fase-Fase Waham........................................................................................................................7
3.4 Psikopatologi Waham..................................................................................................................7
3.5 Proses terjadinya waham...........................................................................................................10
3.6 Akibat dari Waham....................................................................................................................10
3.7 Gejala- Gejala Waham...............................................................................................................11
3.8 Penatalaksanaan........................................................................................................................11
BAB IV........................................................................................................................................................14
PENUTUP...................................................................................................................................................14
4.1 Kesimpulan................................................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................................................15

iii
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Masalah kesehatan jiwa menjadi ancaman yang sangat berat karena adanya
perbedaan perspektif terutama dalam konteks kesehatan. Banyak orang yang masih
menganggap masalah kesehatan jiwa bukan sebagai penyakit, padahal kesehatan jiwa
sama halnya dengan kesehatan fisik, jika tidak diatasi gangguan kejiwaan dapat
mengancam kehidupan seseorang. Menurut Our World in data of mental health pada
tahun 2017 di perkirakan terdapat 970 juta orang seluruh dunia mengalami gangguan
jiwa, jumlah terbesar dengan masalah kecemasan sekitar 3,76%, depresi 3,44%, bipolar
0,6% dan skizofrenia 0,25% (Ritchie, Roser, 2019). Di indonesia, data riskesdas (2018)
menunjukan prevalensi rumah tangga dengan ART gangguan jiwa skixofrenia/psikosis
sebesar 7/1000 dengan cakupan pengobatan 84,9%. Sementara itu, prevalensi gangguan
mental emosional pada penduduk berumur >15 tahun sebesar 9,8%. Angka ini meningkat
dibandingkan tahun 2013 yaitu sebesar 6% (kemkes RI,2019).
Salah satu gangguan jiwa berat yang paling banyak terjadi adalah skizofrenia.
Skizofrenia merupakan gangguan jiwa yang kompleks, karena penyakit ini
mempengaruhi esensi identitas otak dan fungsi paling kompleks yang dimediasi oleh otak
(Weinberger & Harrison, 2011). Townsend (2015), menjelaskan bahwa skizofrenia
adalah gangguan neurobiologis yang dapat mengakibatkan seseorang mengalami
gangguan kognitif, persepsi, emosi, perilaku dan sosialisasi. Perjalanan penyakit
skizofrenia sangat heterogen. Pada fase akut, gejala positif lebih dominan menonjol.
Gejala yang paling sering ditemui itu adalah waham. Hasil penelitian menunjukkan lebih
dari 60% penderita skizofrenia sering mengalami kekambuhan waham atau memiliki
waham yang menetap dengan intensitas waham yang lebih berat dibandingkan dengan
gangguan jiwa yang lain. Meskipun setelah melewati fase akut, kerentanan skizofrenia
yang mengalami waham dapat terjadi secara menetap selama beberapa tahun (Harrow.,
Mac, Donald., Angus., et al, 1995).
Waham merupakan salah satu jenis gangguan jiwa. Waham sering ditemui pada
gangguan jiwa berat dan beberapa bentuk waham yang spesifik sering ditemukan pada

1
penderita skizofrenia. Semakin akut psikosis semakin sering ditemui waham
disorganisasi dan waham tidak sistematis. Kebanyakan pasien skizofrenia daya tiliknya
berkurang dimana pasien tidak menyadari penyakitnya serta kebutuhannya terhadap
pengobatan, meskipun gangguan pada dirinya dapat dilihat oleh orang lain. Waham
terjadi karena munculnya perasaan terancam oleh lingkungan, cemas, merasa sesuatu
yang tidak menyenangkan terjadi sehingga individu mengingkari ancaman dari persepsi
diri atau objek realitas dengan menyalah artikan kesan terhadap kejadian, kemudian
individu memproyeksikan pikiran dan perasaan internal pada lingkungan sehingga
perasaan, pikiran, dan keinginan negatif tidak dapat diterima menjadi bagian eksternal
dan akhirnya individu mencoba memberi pembenaran personal tentang realita pada diri
sendiri atau orang lain.
Dalam beberapa penelitian dijelaskan bahwa orientasi realita dapat meningkatkan
fungsi perilaku. Pasien perlu dikembalikan pada realita bahwa hal-hal yang dikemukakan
tidak berdasarkan fakta dan belum dapat diterima orang lain dengan tidak mendukung
ataupun membantah waham (Keliat, Hamid, Putri, Daulima, 2019; Patton, 2006). Tidak
jarang dalam proses ini pasien mendapatkan konfrontasi dari lingkungan terkait
pemikiran dan keyakinannya yang tidak realistis (Dudley & John, 1997). Hal tersebut
akan memicu agresifitas pasien waham. Reaksi agresif ini merupakan efek dari besarnya
intensitas waham yang dialami pasien. Haddock (1999) dalam Erawati, Keliat, dan
Daulima (2014), menjelaskan intensitas waham dimanifestasikan melalui respon kognitif,
afektif dan perilaku. Respon kognitif terkait dengan frekuensi pasien berfikir tentang
waham, waktu dalam memikirkan waham, dan tingkat keyakinan terhadap waham.
Respon afektif meliputi jumlah respon berupa perasaan ketidaknyamanan dari pemikiran
waham dan intensitas dari respon tersebut. Respon perilaku berupa gangguan dalam
kehidupan akibat dari pemikiran waham tersebut (Erawati, 2013; Shives, 2012).Salah
satu cara untuk mengontrol perilaku agresif dari pasien waham yaitu melampiaskan
kemaraham dengan aman melalui latihan deeskalasi secara verbal maupun tertulis
(Hallett & Dickens, 2017).
Teknik deeskalasi merupakan intervensi nonspesifik yang direkomendasikan
untuk pengelolaan kekerasan dan agresi dalam kesehatan jiwa. Teknik ini
mengembangkan teknik psikososial disaat perilaku pasien dalam keadaan yang tidak

2
tenang, dan mengembalikan pasien menjadi lebih tenang atau memberikan umpan balik
dengan harapan pasien kembali menjadi individu yang tenang (Price, Baker, Bee, &
Lovell, 2015). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Indrono, W., Caturini (2012),
yaitu implementasi teknik deeskalasi pada pasien dengan perilaku kekerasan memberikan
pengaruh yang signifikan terhadap kontrol emosi dan penurunan respon marah. Penelitian
lain, menyebutkan metode ini dapat dijadikan sebagai salah satu sarana katarsis dan
media self-help bagi pasien untuk mengekspresikan emosi dan perasaan marahnya (Fikri,
2012).

1.2 Rumusan Masalah

a. Apa pengertian dari waham?


b. Bagaimana jenis-jenis waham?
c. Bagaimana proses terjadinya waham?

2.2 Tujuan Penulisan

a. Mendeskripsikan pengertian dari waham


b. Menjelaskan tentang jenis-jenis waham
c. Menjelaskan tentang proses terjadinya waham

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Kaplan dan Sadock (1998) mengatakan bahwa waham adalah keyakinan yang
salah dan menetap dan tidak dapat dibuktikan dalam kenyataan. Waham sedikitnya harus
ada selama sebelum dan sistematik dan tidak bizar ( dalam bentuk fragmentasi, respon,
emosi pasien terhadap system waham biasanya kongruen dan sesuai dengan isi waham
itu. Pasien secara relative biaanya bebas dari psikopatologi diluar wawasan system
wahamnya. Awal mulanya sering terjadi pada umur dewasa , menengah dan lanjut.
David A Tomb (2004) beranggapan bahwa waham adalah suatu keyakinan kokoh
yang salah yang tidak sesuai dengan fakta dan keyakinan tersebut, mungkin aneh dan
tetap dipertahankan meskipun telah diberikan bukti-bukti yang jelas untuk
mengoreksinya. Waham sering ditemukan dalam gangguan jiwa berat dan beberapa
bentuk waham yang spesifik sering ditemukan pada skizoprenia. Semakin akut psikosis
semakin sering di temui waham disorganisasi dan waham tidak sistematis.
Waham adalah keyakinan tentang suatu isi pikir yang tidak sesuai dengan
kenyataanya atau tidak cocok dengan intelegensi dan latar belakang kebudayaan, biarpun
dibuktikan kemustahilan hal itu.
Townsend 1998 mengatakan bahwa waham adalah istilah yang digunakan untuk
menunjukan ide-ide yang salah.
Dari pendapat para ahli tersebut dapat dikatakan bahwa waham sebagai salah satu
perubahan proses khususnya isi pikir yang ditandai dengan keyakinan terhadap ide-ide,
pikiran yang tidak sesuai dengan kenyataan dan sulit diubah dengan logika atau bukti-
bukti yang ada.

4
BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Pengertian

Proses berfikir meliputi proses pertimbangan ( judgment), pemahaman


(comprehension), ingatan serta penalaran ( reasoning ). Arus idea simbul atau asosiasi
yang terarah kepada tujuan dan yang di bangkitkan oleh suastu masalah atau tugas dan
yang menghantarkan kepada suatu penyelesaian yang terorientasi pada kenyataan
merupakan proses berfikir yang normal. Aspek proses berfikir dibedakan menjadi tiga
bentuk yaitu bentuk pikiran, arus pikiran dan isi pikir. Gangguan isi pikir dapat terjadi
baik pada isi pikiran non verbal maupun pada isi pikiran verbal diantaranya adalah
waham.
Marasmis juga menekankan bahwa berbagai macam factor yang mempenngaruhi
proses pikir itu, umpamanya factor somatic ( gangguan otak, kelelahan). Factor fsikologi
(gangguan emosi, psiko, factor social, kegaduhan dan keadaan social yang lain) yang
sangat mempengaruhi ketahanan dan konsentrasi individu. Aspek proses pikir yaitu :
bentuk pikir, arus pikir dan isi pikir ditanbah dengan pertimbangan.
Kaplan dan Sadock (1998) mengatakan bahwa waham adalah keyakinan yang
salah dan menetap dan tidak dapat dibuktikan dalam kenyataan. Waham sedikitnya harus
ada selama sebelum dan sistematik dan tidak bizar ( dalam bentuk fragmentasi, respon,
emosi pasien terhadap system waham biasanya kongruen dan sesuai dengan isi waham
itu. Pasien secara relative biaanya bebas dari psikopatologi diluar wawasan system
wahamnya. Awal mulanya sering terjadi pada umur dewasa , menengah dan lanjut.
David A Tomb (2004) beranggapan bahwa waham adalah suatu keyakinan kokoh
yang salah yang tidak sesuai dengan fakta dan keyakinan tersebut, mungkin aneh dan
tetap dipertahankan meskipun telah diberikan bukti-bukti yang jelas untuk
mengoreksinya. Waham sering ditemukan dalam gangguan jiwa berat dan beberapa
bentuk waham yang spesifik sering ditemukan pada skizoprenia. Semakin akut psikosis
semakin sering di temui waham disorganisasi dan waham tidak sistematis.

5
Waham adalah keyakinan tentang suatu isi pikir yang tidak sesuai dengan
kenyataanya atau tidak cocok dengan intelegensi dan latar belakang kebudayaan, biarpun
dibuktikan kemustahilan hal itu.
Townsend 1998 mengatakan bahwa waham adalah istilah yang digunakan untuk
menunjukan ide-ide yang salah.

Dari pendapat para ahli tersebut dapat dikatakan bahwa waham sebagai salah satu
perubahan proses khususnya isi pikir yang ditandai dengan keyakinan terhadap ide-ide,
pikiran yang tidak sesuai dengan kenyataan dan sulit diubah dengan logika atau bukti-
bukti yang ada.

3.2 Jenis-Jenis Waham

adapun jenis-jenis waham menurut Marasmis, stuart and sundeen ( 1998) dan Keliat
(1998) waham terbagi atas beberapa jenis, yaitu:

a. Waham agama : keyakinan klien terhadap suatu agama secara berlebihan diucapkan
beulang kali tetapi tidak sesuai dengan kenyataan.

b. Waham kebesaran : klien yakin secara berlebihan bahwa ia memiliki kebesaran atau
kekuatan khusus diucapkan beulang kali tetapi tidak sesuai dengan kenyataan.

c. Waham somatic : klien meyakini bahwa tubuh atau bagian tubuhnya teganggu dan
terserang penyakit, diucapkan beulang kali tetapi tidak sesuai dengan kenyataan.

d. Waham curiga : kecurigaan yang berlebihan dan tidak rasional dimana klien yakin bahwa
ada seseorang atau kelompok orang yang berusaha merugikan atau mencurigai dirinya,
diucapkan beulang kali tetapi tidak sesuai dengan kenyataan.

e. Waham nihilistic : klien yakin bahwa dirinya sudah tidak ada di dunia atau sudah
meninggal, diucapkan berulang kali tetapi tidak sesuai dengan kenyataan.

f. Waham bizar

1. Sisip pikir : klien yakin ada ide pikiran orang lain yang disisipkan di dalam pikiran
yang disampaikan secara berulang dan tidak sesuai dengan kenyataan

6
2. Siap pikir : klien yakin bahwa orang lain mengetahui apa yang dia pikirkan walaupun
dia tidak menyatakan kepada orang tersebut, diucapkan beulang kali tetapi tidak
sesuai dengan kenyataan.

Kontrol pikir : klien yakin pikirannya dikontrol oleh kekuatan dari luar.

3.3 Fase-Fase Waham

1. Lack of Selfesteen

- Tidak ada pengakuan lingkungan dan meningkatnya kesenjangan antara kenyataan dan
harapan. Ex : perceraian->berumah tangga tidak diterima oleh lingkungannya.

2. Control Internal Eksternal

- Mencoba berfikir rasional, menutupi kekurangan dan tidak sesuai dengan

kenyataan. Ex : seseorang yang mencoba menutupi kekurangan

3. Environment support

- kerusakan control dan tidak berfungsi normal ditandai dengan tidak merasa

bersalah saat berbohong. Ex : seseorang yang mengaku dirinya adalah guru tari

Adanya beberapa orang yang mempercayai klien dalam lingkungan, klien merasa

didukung, klien menganggap hal yang dikatakan sebagai kebenaran, kerusakan

control diri dan tidak berfungsi normal (super ego)

4. Fase Comforting
- klien merasa nyaman dengan kebohongannya
5. Fase Improving
- Jika tidak ada konfrontasi dan korelasi maka keyakinan yang salah akan meningkat.

3.4 Psikopatologi Waham

Etiologi
Townsend (1998, hal 158) menagatakan bahwa ‘hal-hal yang menyebabkan gangguan isi

7
pikir : waham adalah ketidakmampuan untuk mempercayai orang lain, panic, menekan
rasa takut stress yang berat yang mengancam ego yang lemah., kemungkinan factor
herediter”.
Secara khusus factor penyebab timbulnya waham dapat diuraikan dalam beberapa teori
yaitu :
a. Factor Predisposisi
Menurut Townsend (1998, hal 146-147) faktor predisposisi dari perubahan isi pikir :
waham kebesaran dapat dibagi menjadi dua teori yang diuraikan sebagai berikut :
1. Teori Biologis
a. Faktor-faktor genetic yang pasti mungkin terlibat dalam perkembangan suatu
kelainan ini adalah mereka yang memiliki anggota keluarga dengan kelainan yang
sama (orang tua, saudara kandung, sanak saudara lain).

b. Secara relative ada penelitian baru yang menyatakan bahwa kelainan skizoprenia
mungkin pada kenyataanya merupakan suaru kecacatan sejak lahir terjadi pada
bagian hipokampus otak. Pengamatan memperlihatkan suatu kekacauan dari sel-sel
pramidal di dalam otak dari orang-orang yang menderoita skizoprenia.

c. Teori biokimia menyatakan adanya peningkata dupamin neorotransmiter yang


dipertukarkan mengahasilkan gejala-gejala peningkatan aktifitas yang berlebihan
dari pemecahan asosiasi-asosiasi yang umumnya diobservasi pada psikosis.

2. Teori Psikososial

a. Teori sistem keluarga Bawen dalam Townsend (1998) menggambarkan


perkembangan skizofrenia sebagai suatu perkembangan disfungsi keluarga.
Komflik diantara suami istri mempengaruhi anak. Penanaman hal ini dalam anak
akan menghasilkan keluarga yang selalu berfokus pada ansietas dan suatu kondisi
yang lebih stabil mengakibatkan timbulnya suatu hubungan yang saling
mempengaruhi yang berkembang antara orang tua dan anak-anak. Anak harus
meninggalkan ketergantungan diri kepada orang tua dan masuk kepada masa
dewasa, dimana di masa ini anak tidak akan mampu memenuhi tugas
perkembangan dewasanya.

8
b. Teori interpersonal menyatakan bahwa orang yang mengalami psikosis akan
menghasilkan hubungan orang tua anak yang penuh akan kecemasan. Anak
menerima pesan-pesan yang membingungkan dan penuh konflik dan orang tua
tidak mampu membentuk rasa percaya tehadap orang lain.

c. Teori psikodinamik menegaskan bahwa psikosis adalah hasil dari suatu ego yang
lemah. Perkembangan yang dihambat dan suatu hubungan saling mempengaruhi
orang tua dan anak . karena ego menjadi lebih lemah penggunaan mekanisme
pertahanan itu pada waktu kecemasan yang ekstrem mennjadi suatu yang
maladaptive dan perilakunya sering kali merupakan penampilan dan sekmen diri
dalam kepribadian.

3. Faktor Presipitasi
Menurut Stuart dan Sundeen (1998, hal 310) factor presipitasi dari perubahan isi pikir
waham kebesaran yaitu :
a. Biologis
Stressor biologis yang berhubungan dengan nerobiologis yang maladaptive
termasuk gangguan dalam putaran umpan balik otak yang mengatur perubahan isi
informasi dan abnormalitas pada mekanisme pintu masuk dalam otak yang
mengakibatkan ketidakmampuan untuk secara selektif menanggapi rangsangan.
b. Stress lingkungan
Secara biologis menetapkan ambang toleransi terhadap stress yang berinteraksi
dengan stressor lingkungan untuk menentukan terjadinya gangguan prilaku.
c. Pemicu gejala
Pemicu yang biasanya terdapat pada respon neurobiologist yang maladaptive
berhubungan denagn kesehatan lingkungan, sikap dan prilaku individu, seperti :
gizi buruk, kurang tidur,infeksi, keletihan, rasa bermusuhan atau lingkunag yang
penuh kritik, masalah perumahan, kelainan terhadap penampilan, stress agngguan
dalam berhubungan interpersonal, kesepian, tekanan, pekerjaa, kemiskinan,
keputusasaan dan sebaigainya.

9
3.5 Proses terjadinya waham

Waham adalah anggapan tentang orang yang hypersensitif, dan mekanisme ego
spesifik, reaksi formasi dan penyangkalan. Klien dengan waham, menggunakan
mekanisme pertahanan reaksi formasi, penyangkalan dan proyeksi. Pada reaksi formasi,
digunakan sebagai pertahanan melawan agresi, kebutuhan, ketergantungan dan perasaan
cinta. Kebutuhan akan ketergantungan ditransformasikan menjadi kemandirian yang
kokoh. Penyangkalan, digunakan untuk menghindari kesadaran akan kenyataan yang
menyakitkan. Proyeksi digunakan untuk melindungi diri dari mengenal impuls yang tidak
dapat diterima didalam dirinya sendiri. Hypersensitifitas dan perasaan inferioritas, telah
dihipotesiskan menyebabkan reaksi formasi dan proyeksi, waham kebesaran dan
superioritas. Waham juga dapat muncul dari hasil pengembangan pikiran rahasia yang
menggunakan fantasi sebagai cara untuk meningkatkan harga diri mereka yang terluka.
Waham kebesaran merupakan regresi perasaan maha kuasa dari anak-anak, dimana
perasaan akan kekuatan yang tidak dapat disangkal dan dihilangkan (Kaplan dan Sadock,
1997).
Cameron, dalam Kaplan dan Sadock, (1997) menggambarkan 7 situasi yang
memungkinkan perkembangan waham, yaitu : peningkatan harapan, untuk mendapat
terapi sadistik, situasi yang meningkatkan ketidakpercayaan dan kecurigaan, isolasi
sosial, situasi yang meningkatkan kecemburuan, situasi yang memungkinkan
menurunnya harga diri (harga diri rendah), situasi yang menyebabkan seseorang melihat
kecacatan dirinya pada orang lain, situasi yang meningkatkan kemungkinan untuk
perenungan tentang arti dan motivasi terhadap sesuatu.

3.6 Akibat dari Waham

Klien dengan waham dapat berakibat terjadinya resiko mencederai diri, orang lain
dan lingkungan. Resiko mencederai merupakan suatu tindakan yang kemungkinan dapat
melukai/ membahayakan diri, orang lain dan lingkungan.

10
3.7 Gejala- Gejala Waham

Menurut Kaplan dan Sadock (1997), kondisi klien yang mengalami waham adalah:
a. Status mental
1) Pada pemeriksaan status mental, menunjukan hasil yang sangat normal, kecuali bila
ada sistem waham abnormal yang jelas.
2) Mood klien konsisten dengan isi wahamnya.
3) Pada waham curiga, didapatkan perilaku pencuriga.
4) Pada waham kebesaran, ditemukan pembicaraan tentang peningkatan identitas diri,
mempunyai hubungan khusus dengan orang yang terkenal.
5) Adapun sistem wahamnya, pemeriksa kemungkinan merasakan adanya kualitas
depresi ringan.
6) Klien dengan waham, tidak memiliki halusinasi yang menonjol/ menetap, kecuali pada
klien dengan waham raba atau cium. Pada beberapa klien kemungkinan ditemukan
halusinasi dengar.
b. Sensori dan kognisi
1) Pada waham, tidak ditemukan kelainan dalam orientasi, kecuali yang memiliki waham
spesifik tentang waktu, tempat dan situasi.
2) Daya ingat dan proses kognitif klien adalah intak (utuh).
3) Klien waham hampir selalu memiliki insight (daya titik diri) yang jelek.
4) Klien dapat dipercaya informasinya, kecuali jika membahayakan dirinya. Keputusan
terbaik bagi pemeriksa dalam menentukan kondisi klien adalah dengan menilai perilaku
masa lalu, masa sekarang dan yang direncanakan.

3.8 Penatalaksanaan

a. Farmakoterapi
Tatalaksana pengobatan skizofrenia paranoid mengacu pada penatalaksanaan skizofrenia
secara umum menurut Townsend (1998), Kaplan dan Sadock (1998) antara lain :
1) Anti Psikotik
Jenis- jenis obat antipsikotik antara lain :

a) Chlorpromazine

11
Untuk mengatasi psikosa, premidikasi dalam anestesi, dan mengurangi gejala emesis.
Untuk gangguan jiwa, dosis awal : 3×25 mg, kemudian dapat ditingkatkan supaya
optimal, dengan dosis tertinggi : 1000 mg/hari secara oral.
b) Trifluoperazine
Untuk terapi gangguan jiwa organik, dan gangguan psikotik menarik diri. Dosis awal :
3×1 mg, dan bertahap dinaikkan sampai 50 mg/hari.
c) Haloperidol
Untuk keadaan ansietas, ketegangan, psikosomatik, psikosis,dan mania. Dosis awal :
3×0,5 mg sampai 3 mg.
Obat antipsikotik merupakan obat terpilih yang mengatasi gangguan waham. Pada
kondisi gawat darurat, klien yang teragitasi parah, harus diberikan obat antipsikotik
secara intramuskular. Sedangkan jika klien gagal berespon dengan obat pada dosis yang
cukup dalam waktu 6 minggu, anti psikotik dari kelas lain harus diberikan. Penyebab
kegagalan pengobatan yang paling sering adalah ketidakpatuhan klien minum obat.
Kondisi ini harus diperhitungkan oleh dokter dan perawat. Sedangkan terapi yang
berhasil dapat ditandai adanya suatu penyesuaian sosial, dan bukan hilangnya waham
pada klien.
2) Anti parkinson
Triheksipenydil (Artane), untuk semua bentuk parkinsonisme, dan untuk menghilangkan
reaksi ekstrapiramidal akibat obat. Dosis yang digunakan : 1-15 mg/hari
Difehidamin
Dosis yang diberikan : 10- 400 mg/hari
3) Anti Depresan
Amitriptylin, untuk gejala depresi, depresi oleh karena ansietas, dan keluhan somatik.
Dosis : 75-300 mg/hari.
Imipramin, untuk depresi dengan hambatan psikomotorik, dan depresi neurotik. Dosis
awal : 25 mg/hari, dosis pemeliharaan : 50-75 mg/hari.
4) Anti Ansietas
Anti ansietas digunakan untuk mengontrol ansietas, kelainan somatroform, kelainan
disosiatif, kelainan kejang, dan untuk meringankan sementara gejala-gejala insomnia dan
ansietas. Obat- obat yang termasuk anti ansietas antara lain:

12
Fenobarbital : 16-320 mg/hari
Meprobamat : 200-2400 mg/hari
Klordiazepoksida : 15-100 mg/hari

b. Psikoterapi

Elemen penting dalam psikoterapi adalah menegakkan hubungan saling percaya.


Terapi individu lebih efektif dari pada terapi kelompok. Terapis tidak boleh mendukung
ataupun menentang waham, dan tidak boleh terus-menerus membicarakan tentang
wahamnya. Terapis harus tepat waktu, jujur dan membuat perjanjian seteratur mungkin.
Tujuan yang dikembangkan adalah hubungan yang kuat dan saling percaya dengan
klien. Kepuasan yang berlebihan dapat meningkatkan kecurigaan dan permusuhan klien,
karena disadari bahwa tidak semua kebutuhan dapat dipenuhi. Terapis perlu
menyatakan pada klien bahwa keasyikan dengan wahamnya akan menegangkan diri
mereka sendiri dan mengganggu kehidupan konstruktif. Bila klien mulai ragu-ragu
dengan wahamnya, terapis dapat meningkatkan tes realitas.

Sehingga terapis perlu bersikap empati terhadap pengalaman internal klien, dan
harus mampu menampung semua ungkapan perasaan klien, misalnya dengan berkata :
“Anda pasti merasa sangat lelah, mengingat apa yang anda lalui, “tanpa menyetujui
setiap mis persepsi wahamnya, sehingga menghilangnya ketegangan klien. Dalam hal
ini tujuannya adalah membantu klien memiliki keraguan terhadap persepsinya. Saat
klien menjadi kurang kaku, perasaan kelemahan dan inferioritasnya yang menyertai
depresi, dapat timbul. Pada saat klien membiarkan perasaan kelemahan memasuki
terapi, suatu hubungan terapeutik positif telah ditegakkan dan aktifitas terpeutik dapat
dilakukan.

c. Terapi Keluarga

Pemberian terapi perlu menemui atau mendapatkan keluarga klien, sebagai sekutu
dalam proses pengobatan. Keluarga akan memperoleh manfaat dalam membantu ahli
terapi dan membantu perawatan klien.

13
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

waham adalah perubahan proses khususnya isinppikir yang di tandai dengan


keyakkinan terhadap ide-ide,pikiran yang tidak sesuai kenyataan dan sullit diubah dengan
logika atau bukti bukti yang ada.

Waham dapat di bagi atas beberapa jenis, diantaranya: waham curiga,


kebesaran,kejar,somatic dan lain lain.

7 situasi yang memungkinkan perkembangan waham yaitu :


Peningkatan harapan, untuk mendapat terapi sadistic, situasi yang meningkatkan ketidak
percayaan dan kecurigaan, isolasi social, situasi yang meningkatkan kecemburuan, situasi
yang memungkinkan menurunnya harga diri ( harga diri rendah ), situasi yang menyebabkan
seseorang melihat kecacatan dirinya pada orang lain, situasi yang meninngkatkan
kemungkinan untuk perenungan tentang arti dan motivasi terhadap sesuatu.

Terapi yang dianjurkan pada pasien waham, yaitu: farmakoterapi ( antipsikotik,


antiansietas,antiparkinson,antidepressant ), psikoterapi, dan terapi keluarga

14
DAFTAR PUSTAKA

Yager J. Gitlin MJ. “Clinical Manifestations of Psychiatric”. Ed.S Sadock BJ, Sadock VA. In
Kaplan & Sadock’s Comprehensive Textbook of Psychiatry. 7thEdition. Dalam Philadelphia.
Lippincott Williams & Wilkins. 2000: 797-802, American Psychiatric Association.

Diagnostic and Statistic Manual of Mental Disorders, Fourth Edition, DSM-IV, Published by
The American Psychiatric Association, Washington DC. 1994

Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia, III, PPDGJ-III, Departemen
Kesehatan RI, Direktorat Jendral Pelayanan Medik, 1993.

Cheung, P., Schweitzer, I., Crowley, K., & Tuckwell, V. (1997). Violence in schizophrenia : role of
hallucinations and delusions, 26, 181–190. Du, M., Wang, X., Yin, S., Shu, W., Hao, R., Zhao, S., Xia, J.
(2017). De-escalation techniques for psychosis-induced aggression or agitation. Cochrane Database
ofSystematic Reviews 2017. China: Published by John Wiley & Sons, Ltd. 2.
https://doi.org/10.1002/14651858.CD00 9922.pub2.www.cochranelibrary.com Dudley, R. E. J., & John,
C. H. (1997). The effect of self-referent material on the reasoning of people with delusions, 575–584.

15

Anda mungkin juga menyukai