Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN PENDAHULUAN PADA KLIEN DENGAN

GANGGUAN PEMENUHAN KEBUTUHAN

ELIMINASI URIN

(STASE PRAKTEK KEPERAWATAN DASAR PROFESI)

DISUSUN OLEH :

FITRA MASJIDI
2008149010113

Preseptor Akademik Preseptor Klinik

( ) ( )

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN NERS


STIKES YARSI SUMBAR BUKITINGGI

TAHUN AJARAN 2020/2021


KONSEP KEBUTUHAN DASAR MANUSIA

(ELIMINASI URIN)

1. Pengertian

Eliminasi urin normalnya adalah pengeluaran cairan sebagai hasil


filtrasi dari plasma darah di glomerulus. Dari 180 liter darah yang masuk
ke ginjal untuk difiltrasi, hanya 1-2 liter saja yang dapat berupa urin.
Sebagian besar hasil filtrasi akan diserap kembali di tubulus ginjal untuk
dimanfaatkan oleh tubuh (Tarwoto & Wartonah, 2010).

Eliminasi urine adalah proses pembuangan sisa-sisa metabolisme.


Eliminasi urine normalnya adalah pengeluaran cairan. Proses
pengeluaran ini sangat bergantung pada fungsi-fungsi organ eliminasi
seperti ginjal, ureter, bladder, dan uretra. (A.Aziz, 2008 :62).

2. Organ Tubuh yang Berperan Dalam Eliminasi Urin


a. Ginjal
Ginjal merupakan sepasang organ berbentuk seperti kacang
buncis, berwarna coklat agak kemerahan, yang terdapat di kedua sisi
kolumna vertebral posterior terhadap peritoneum dan terletak pada
otot punggung bagian dalam. Ginjal terbentang dari vertebra lumbalis
ketiga. Ginjal kanan terletak lebih rendah dari ginjal kiri karena posisi
hati yang berada diatasnya (Potter & Perry, 2005).
Ginjal menyaring zat sisa metabolisme yang terkumpul dalam
darah. Darah mencapai ginjal melalui arteri renalis yang merupakan
cabang aorta abdominalis. Sekitar 20% sampai 25% curah jantung
bersirkulasi setiap hari melalui ginjal. Setiap ginjal berisi 1 juta
nefron. Nefron, yang merupakan unit fungsional ginjal, membentuk
urin (Potter & Perry, 2010).
Darah masuk ke nefron melalui arteriola aferen.
Sekelompok pembuluh darah ini membentuk jaringan kapiler
glomerulus, yang merupakan tempat pertama filtrasi darah dan
tempat awal pembentukan urin. Tidak semua filtrat glomerulus akan

1
dibuang sebagai urin. Sekitar 90% filtrat diabsorpsi kembali kedalam
plasma, dan 1% sisanya dieksresikan sebagai urin (Potter & Perry,
2005).
b. Ureter
Ureter meninggalkan tubulus dan memasuki duktus pengumpul
yang akan mentranspor urin ke pelvis renalis. Sebuah ureter
bergabung dengan setiap pelvis renalis sebagai rute keluar pertama
pembuangan urin. Ureter merupakan struktur tubular yang memiliki
panjang 25-30 cm dan berdiameter 1,25 cm pada orang dewasa. Ureter
membentang pada posisi retroperitoneum untuk memasuki kandung
kemih di dalam rongga panggul (pelvis) pada sambungan
ureterovesikalis. Urin keluar dari ureter ke kandung kemih umumnya
steril (Potter & Perry, 2005).
Gerakan peristaltik menyebabkan urin masuk ke dalam kandung
kemih dalam bentuk semburan, bukan dalam bentuk aliran yang tetap.
Ureter masuk ke dalam dinding posterior kandung kemih dengan
posisi miring. Pengaturan ini dalam kondisi normal mencegah refluks
urin dari kandung kemih ke dalam ureter selama mikturisi (proses
berkemih) dengan menekan ureter pada sambungan ureterovesikalis
(sambungan ureter dengan kandung kemih) (Potter & Perry, 2005).
c. Kandung Kemih
Kandung kemih merupakan suatu organ cekung yang dapat
berdistensi, tersusun atas jaringan otot serta merupakan wadah tempat
urin dan merupakan organ eksresi. Apabila kosong, kandung kemih
berada di dalam rongga panggul di belakang simfisis pubis (Potter &
Perry, 2005).
Bentuk kandung kemih berubah saat ia terisi dengan urin.
Tekanan di dalam kandung kemih biasanya rendah walaupun
sedang terisi sebagian, sehingga hal ini melindungi dari bahaya infeksi
(Potter & Perry, 2005).

2
Dalam keadaan penuh, kandung kemih membesar dan
membentang sampai ke atas simfisis pubis. Kandung kemih yang
mengalami distensi maksimal dapat mencapai umbilikus. Pada waktu
hamil, janin mendorong kandung kemih sehingga menimbulkan
perasaan penuh dan mengurangi daya tampung kandung kemih. Hal ini
dapat terjadi baik pada trimester pertama maupun trimester ketiga
(Potter & Perry, 2005).
d. Uretra
Urin keluar dari kandung kemih melalui uretra dan keluar dari
tubuh melalui meatus uretra. Dalam kondisi normal, aliran urin yang
mengalami turbulansi membuat urin bebas dari bakteri. Membran
mukosa melapisi uretra, dan kelenjar uretra mensekresi lendir ke
dalam saluran uretra. Lendir dianggap bersifat bakteriostatis dan
membentuk plak mukosa untuk mencegah masuknya bakteri. Lapisan
otot polos yang tebal mengelilingi uretra (Potter & Perry, 2005).
Uretra pada wanita memiliki panjang sekitar 4-6,5 cm.
Sfingter uretra eksterna yang terletak di sekitar setengah bagian bawah
uretra, memungkinkan aliran volunter urin. Panjang uretra yang
pendek pada wanita menjadi faktor predisposisi untuk mengalami
infeksi. Bakteri dapat dengan mudah masuk ke dalam uretra dari
daerah perineum. Pada wanita meatus uretra urinarius (lubang) terletak
di antara labia minora, diatas vagina dan dibawah klitoris (Potter &
Perry, 2005).

3. Fisiologi

Selama kandung kemih terisi, banyak yang menyertai kontraksi


berkemih mulai tampak. Keadaan ini disebabkan oleh refleks peregangan
yang dimulai oleh reseptor regang sensorik pada dinding kandung kemih,
khususnya oleh reseptor pada uretra posterior ketika daerah ini mulai terisi
urin pada tekanan kandung kemih yang lebih tinggi. Sinyal sensorik dari
reseptor regang kandung kemih dihantarkan ke segmen sakral medula
spinalis melalui nervus pelvikus dan kemudian secara refleks kembali lagi

3
ke kandung kemih melalui serat saraf parasimpatis melalui saraf yang
sama ini (Clevo, 2013).
Ketika kandung kemih hanya terisi sebagain, kontraksi berkemih ini
biasanya secara spontan berelaksasi setelah beberapa detik, otot detrusor
berhenti berkontraksi dan tekanan turun kembali ke garis basal.
Karena kandung kemih terus terisi, refleks berkemih menjadi bertambah
sering dan menyebabkan kontraksi otot destrusor lebih kuat (Clevo, 2013)
Sekali refleks berkemih mulai timbul, refleks ini akan
menghilang sendiri. Artinya kontraksi awal kandung kemih selanjutnya
akan mengaktifkan reseptor regang untuk menyebabkan peningkatan
selanjutnya pada impuls sensorik ke kandung kemih dan uretra
posterior yang menimbulkan peningkatan refleks kontraksi kandung
kemih lebih lanjut. Jadi siklus ini terus berulang sampai kandung kemih
mencapai kontraksi yang kuat. Kemudian lebih dari semenit, refleks
yang menghilang sendiri ini mulai melemah dan siklus regeneratif dari
refleks miksi ini berhenti sehingga menyebabkan kandung kemih
berelaksasi (Clevo, 2013).

4. Nilai-Nilai Normal

Pada orang dewasa, volume urin normal per hari adalah 1500-6000
ml (minimum 30 ml per jam). Proses penyakit dapat
mempengaruhinya, misalnya penyakit ginjal-oliguria, diabetes
melitus/ insipidus-poliuria (Johnson & Taylor, 2004).

Pada ibu yang selesai melahirkan harus berkemih dengan


spontan dalam 6 sampai 8 jam post partum. Dengan urin yang dikeluarkan
dari beberapa perkemihan pertama harus diukur untuk mengetahui apakah
pengosongan kandung kemih adekuat. Diharapkan setiap kali berkemih,
urin yang keluar adalah 150 ml (Ganong, 2000)

4
5. Faktor- Faktor Yang Mempengaruhi

a. Asupan Cairan
Untuk dapat berfungsi normal, ginjal memerlukan 2000-2500 ml
per hari, meskipun Kilpatrick (1997) menyatakan bahwa 1200-1500
ml saja sudah memadai dan bidan harus mendorong asupan cairan
secara teratur (Johnson, 2004).
b. Respon Keinginan Awal Untuk Berkemih
Kebiasaan mengabaikan keinginan awal untuk berkemih dapat
menyebabkan urine banyak tertahan di dalam vesika urinaria,
sehingga mempengaruhi ukuran vesika urinaria dan jumlah
pengeluaran urine.
c. Posisi
Sensitivitas daerah yang mengalami episiotomi atau luka koyak
bisa menimbulkan rasa terbakar dan/atau nyeri saat berkemih. Rasa
terbakar juga bisa dikurangi dengan berdiri mengangkang di toilet
sambil berkemih sehingga aliran langsung turun, tanpa menyentuh
tempat-tempat nyeri (Murkoff H, 2007).
d. Stress Psikologis
Meningkatnya stress dapat meningkatkan frekuensi keinginan
berkemih. Hal ini karena meningkatnya sensitivitas untuk keinginan
berkemih dan jumlah urine yang diproduksi.
e. Anastesi
Jika ibu menjalani anastesi epidural atau spinal, prosedur ini dapat
berefek pada sensor neurologis yang mengendalikan urine dan
alirannya. Obat atau anastesi bisa mengurangi kepekaan kandung
kemih atau kewaspadaan ibu memahami sinyal tersebut (Murkoff H,
2007).
f. Tingkat Aktivitas
Eliminasi urine membutuhkan tonus otot vesika urinaria yang
baik untuk fungsi sphincter. Kemampuan tonus otot didapatkan
dengan beraktivitas. Hilangnya tonus otot vesika urinaria dapat

5
menyebabkan kemampuan pengontrolan berkemih menurun
(Aziz,2008).
g. Tonus Otot
Lemahnya otot dasar panggul, misalnya setelah persalinan
pervaginam, pemasangan kateter menetap atau konstipasi yang terlalu
lama dapat mempengaruhi urinasi. Dilakukannya latihan otot dasar
panggul secara teratur agar volume otot meningkat. Hal ini
meningkatkan tekanan maksimal penutupan uretra, meningkatkan
kontraksi refleks yang lebih kuat yang diikuti dengan peningkatan
tekanan intra abdominal (Johnson, 2004).
h. Pembedahan
Pembedahan berefek menurunkan filtrasi glomerulus sebagai
dampak dari pemberian obat anestesi sehingga menyebabkan
penurunan jumlah produksi urine (Aziz, 2008).

6. Jenis Gangguan

a. Retensi Urine

Retensi urine merupakan penumpukan urine dalam kandung


kemih akibat ketidakmampuan kandung kemih untuk mengosongkan
kandung kemih. Hal ini menyebabkan distensi vesika urinaria atau
merupakan keadaan ketika seseorang mengalami pengosongan
kandung kemih yang tidak lengkap.Dalam keadaan distensi, vesika
urinaria dapat menampung urine sebanyak 3000 – 4000 ml urine.

Tanda klinis retensi diantaranya adalah adanya


ketidaknyamanan pada daerah pubis, terjadi distensi vesika urinaria,
pasien memiliki perasaan ketidaksanggupan untuk berkemih, sering
berkemih saat vesika urinaria berisi sedikit urine (25-560 ml), terjadi
ketidakseimbangan jumlah urine yang dikeluarkan dengan asupannya,
dapat meningkatkan keresahan dan keinginan berkemih dan adanya
penumpukan urine sebanyak 3000-4000 ml dalam kandung kemih.
Penyebab yang terjadi yaitu : Operasi pada daerah abdomen bawah,

6
pelvis vesika urinaria, adanya trauma sumsum tulang belakang,
tekanan uretra yang tinggi karena otot detrusor yang lemah, sphincter
yang kuat, sumbatan (struktur uretra dan pembesaran kelenjar prostat)
(Aziz,2008). Retensi urine memberikan gejala gangguan berkemih,
termasuk diantaranya kesulitan buang air kecil, pancaran kencing
lemah, lambat dan terputus-putus, rasa tidak puas, dan keinginan untuk
mengedan atau memberikan tekanan pada suprapublik saat berkemih.

b. Inkontinensia Urine

Inkontinensia urine merupakan ketidakmampuan otot sphincter


eksternal sementara atau menetap untuk mengontrol ekskresi urine.
Secara umum, penyebab dari inkontinensia urine adalah : proses
penuaan (Aging process), pembesaran kelenjar prostat, serta
penurunan kesadaran, serta penggunaan obat narkotik dan sedatif
(Aziz, 2008). Adapun jenis-jenis inkontinensia urine adalah sebagai
berikut:

1) Inkontinensia stres (Stres Inkontinence)

Keluarnya urin diluar pengaturan berkemih, biasanya


dalam jumlah sedikit, akibat peningkatan tekanan intra
abdominal. Hal ini terjadi karena terdapat kelemahan
jaringan sekitar muara vesika urinari dan uretra. Keluhan
khas yaitu mengeluarkan urine sewaktu batuk, bersin,
menaiki tangga atau melakukan gerakan mendadak, berdiri
sesudah berbaring atau duduk. Gerakan semacam itu
dapat meningkatkan tekanan dalam abdomen dan karena
itu juga di dalam kandung kemih. Otot uretra tidak dapat
melawan tekanan ini dan keluarlah urine. Biasanya masalah
ini bersifat sementara dan dapat diatasi dengan kateterisasi
intermiten, dengan karakter yang ditinggalkan atau lebih
baik dengan drainase kandung kemih suprapubik
Inkontinensia Luapan (overflow)

7
Inkontinensia luapan yaitu keluarnya urine secara
involunter ketika tekanan intravesikal melebihi tekanan
maksimal uretra akibat dari distensi kandung kemih tanpa
adanya aktifitas detrusor. Terjadi pada keadaan kandung
kemih yang lumpuh akut atau kronik yang terisi terlalu
penuh, sehingga tekanan kandung kemih dapat naik
tinggi sekali tanpa disertai kontraksi sehingga akhirnya
urine menetes lewat uretra secara intermitten atau keluar
tetes demi tetes. Penyebab kelainan ini berasal dari penyakit
neurogen, seperti akibat cedera vertebra, sklerosis
multipel.

2) Fistula urine

Fistula urine sebagian besar akibat persalinan, dapat


terjadi langsung pada waktu tindakan operatif seperti
seksio sesar, perforasi dan kranioklasi, dekapitasi, atau
ekstraksi dengan cunam. Dapat juga timbul beberapa hari
sesudah partus lama, yang disebabkan karena tekanan
kepala janin terlalu lama pada jaringan jalan lahir di tulang
pubis dan simfisis, sehingga menimbulkan iskemia dan
kematian jaringan di jalan lahir (Suparman, 2008).

c. Enuresis

Enuresis merupakan ketidaksanggupan menahan kemih


(mengompol) yang diakibatkan tidak mampu mengontrol sphincter
eksterna. Biasanya, enuresis terjadi pada anak atau orang jompo.
Umumnya, enuresis terjadi pada malam hari (nocturnal enuresis).

Faktor penyebab enuresis adalah sebagai berikut :


Kapasitas vesika urinaria lebih besar dari normal, anak-anak yang
tidurnya bersuara dan tanda-tanda dari indikasi keinginan berkemih

8
tidak diketahui. Hal itu mengakibatkan terlambatnya bangun tidur
untuk ke kamar mandi, vesika urinaria peka rangsang, dan seterusnya,
tidak dapat menampung urine dalam jumlah besar, suasana emosional
yang tidak menyenangkan di rumah (misalnya, persaingan dengan
saudara kandung atau cekcok dengan orang tua), orang tua yang
mempunyai pendapat bahwa anaknya akan mengatasi kebiasaanya
tanpa dibantu dengan mendidiknya, infeksi saluran kemih, perubahan
fisik, atau neurologis system perkemihan, makanan yang banyak
mengandung garam dan mineral, anak yang takut jalan gelap untuk ke
kamar mandi (Aziz,2008).

7. Pengkajian

a. Pemeriksaan subjektif

Pemeriksaan subjektif dengan mencermati keluhan yang


disampaikan oleh pasien dan yang digali melalui anamnesis yang
sistematik.

b. Pemeriksaan objektif

Pemeriksaan objektif yaitu dengan melakukan pemeriksaan fisik


terhadapa pasien untuk mencari data-data yang objektif mengenai
keadaan pasien.

c. Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan penunjang dilakukan dengan mampu memilih


berbagai pemeriksaan yang dapat menunjang diagnosis,
diantaranya adalah pemeriksaan laboratorium, pencitraan (imaging).
Pada beberapa keadaan mungkin diperlukan pemeriksaan penunjang
yang lebih bersifat spesialistik, yakni urolometri atau urodinamika,
elektromiografi, endourologi, dan laparoskopi (Purnomo, 2011).

9
8. Diagnosa Keperawatan ( SDKI)

a. Gangguan Eliminasi Urin


Tanda dan Gejala Mayor
1) Subjektif
a) Desakan berkemih (Desakan berkemih)
b) Urin menetes(dribbling)
c) Sering buang air kecil
d) Nokturia
e) Mengompol
f) Enuresis
2) Objektif
a) Distensi kandung kemih
b) Berkemih tidak tuntas (hesitancy)
c) Volume residu urin meningkat
b. Retensi Insulian
Tanda dan Gejala Mayor
1) Subjektif
a) Sensasi penuh pada kandung kemih
2) Objektif
a) Disuria/anuria
b) Distensi kandung kemih

Tanda Dan Gejala Minor

1) Subjektif
a) Dribbling
2) Objektif
a) Inkontinensia berlebih
b) Residu urin 50 ml atau lebih
c. Inkontensia Urin Berlebih
Tanda dan Gejala Mayor
1) Subjektif

10
a) Residu volume urin setelah berkemih atau keluhan
kebocoran sedikit urin
b) Nokturia
2) Objektif
a) Kandung kemih distensi (bukan berhubungan dengan
penyebab reversibel akut) atau kandung kemih distensi
dengan sering, sedikit berkemih atau dribbling.

Tanda dan Gejala Minor

1) Subjektif
2) Objektif
a) Residu urin 100 ml atau lebih.
d. Inkontinensia Urin Stres
Tanda dan Gejala Mayor
1) Subjektif
a) Mengeluh keluar urin <50 ml saat tekanan abdominal
meningkat ( mis. Saat berdiri, bersin, tertawa, berlari atau
mengangkat benda berat)

Tanda dan Gejala Minor

1) Subjektif
a) Pengeluaran urin tidak tuntas
b) Urgensi miksi
c) Frekuensi berkemih meningkat
2) Objektif
a) Overdistensi abdomen

9. Rencana keperawatan

NO Diagnosa SLKI SIKI

1 Gangguan Eliminasi Urin Luaran Utama Dukungan Perawatan Diri:

11
BAB/BAK

Defenisi : Kriteria Hasil:

Disfungsi eliminasi urin. a. Sensasi Observasi


berkemih
Penyebab : a. Identifikasi kebiasaan
meningkat
BAB/BAK sesuai usia
a. Penurunan kapasitas b. Desakan
b. Monitor integritas kulit
kandung kemih \ berkemih
pasien
b. Iritasi kandung (urgensi)
Terapeutik
kemih menurun
c. Penurunan c. Distensi a. Buka pakaian yang
kemampuan kandung kemih diperlukan untuk
menyadari tanda- menurun memudahkan eliminasi
tanda gangguan d. Berkemih tidak b. Dukung penggunaan
kandung kemih tuntas toilet/commade/pispot/ur
d. Efek tindakan medis (hesitancy) inal secara konsisten
dan diagnostik (mis. menurun c. Jaga privasi selama
Operasi ginjal, e. Volume residu eliminasi
operasi saluran urine menurun d. Ganti pakaian pasien
kemih, anestesi, and f. Urine menetes setelah eliminasi, jika
obat-obatan) (dribbling) perlu
e. Kelemahan otot menurun e. Bersihkan alat bantu
pelvis g. Nokturia BAK/BAB setelah
f. Ketidakmampuan menurun digunakan
mengakses toilet h. Mengompol f. Latih BAK/BAB sesuai
(mis. Imbolisasi) menurun jadwal, jika perlu
g. Hambatan i. Enuresis g. Sediakan alat bantu
lingkungan menurun (mis. Kateter eksternal,
h. Ketidakmampuan j. Disuria urinal), jika perlu
mengkomunikasikan menurun Edukasi
kebutuhan eliminasi k. Anuria menurun
a. Anjurkan BAK/BAB
i. Outlet kandung l. Frekuensi BAK
secara rutin

12
kemih tidak lemgkap membaik b. Anjurkan ke kamar
(mis. Anomaly m. Karakteristik mandi/toilet, jika perlu
saluran kemih urine membaik Manajemen Eliminasi Urin
konginetal)
j. Imaturitas (pada anak
usia < 3 tahun) Observasi

a. Identifikasi tanda dan


gejala retensi atau
inkontinensia urin
b. Identifikasi faktor yang
menyebabkan retensi
atau inkontinensia urin
c. Monitor eliminasi urin
(mis. Frekuensi,
konsistensi, aroma,
volume, dan warna)
Terapeutik

a. Catat waktu-waktu dan


haluaran berkemih
b. Batasi asupan cairan,
jika perlu
c. Ambil sampel urin
tengah (midstream) atau
kultur
Edukasi

a. Ajarkan tanda dan gejala


infeksi saluram kemih
b. Ajarkan mengukur
asupan cairan dan
haluaran urin
c. Ajarkan mengambil

13
specimen urin
midstream
d. Ajarkan mengenali
tanda berkemih dan
waktu yang tepat untuk
berkemih
e. Ajarkan terapi modalitas
penguatan otot-otot
panggul/berkemihan
f. Anjurkan minum yang
cukup, jika tidak ada
kontraindikasi
g. Anjurkan mengurangi
minum menjelang tidur
Kolaborasi

a. Kolaborasi
pemberianobat
supositoria uretra, jika
perlu
2 Retensi Urin Luaran Utama Kateterisasi Urin

Defenisi : Kriteria Hasil: Observasi

Pengosongan kandung a. Sensasi a. Periksa kondisi pasien


kemih yang tidak lengkap berkemih (mis. Kesadaran, tanda-
meningkat tanda vital, daerah
b. Desakan perineal, distensi
Penyebab : berkemih kandung kemih,
(urgensi) inkontinensia urin,
a. Peningkatan tekanan
menurun reflex berkemih)
uretra
c. Distensi Terapeutik
b. Kerusakan arkus
kandung kemih

14
reflex menurun a. Siapkan peralatan,
c. Blok spingter d. Berkemih tidak bahan-bahan dan
d. Disfungsi neurologis tuntas ruangan tindakan
(mis. Trauma, (hesitancy) b. Siapkan pasien:
penyakit saraf) menurun bebaskan pakaian bawah
e. Efek agen e. Volume residu dan posisikan dorsal
farmakologis (mis. urine menurun rekumben (untuk
Atropine, belladonna, f. Urine menetes wanita) dan supine
psikotropik, (dribbling) ( untuk laki-laki)
antihistamin, opiate) menurun c. Pasang sarung tangan
g. Nokturia d. Bersihkan daerah
menurun perineal atau preposium
h. Mengompol dengan cairan NaCL
menurun atau aquades
i. Enuresis e. Lakukan insersi kateter
menurun urin dengan menerapkan
j. Disuria prinsip aseptic
menurun f. Sambungkan kateter
k. Anuria menurun urin dengan urin bag
l. Frekuensi BAK g. Isi balon dengan NaCL
membaik 0,9% sesuai anjuran
m. Karakteristik pabrik
urine membaik h. Fiksasi selang kateter
diatas simpisis atau di
paha
i. Pastikan kantung urin
ditempatkan lebih
rendah dari kandung
kemih
j. Berikan label waktu
pemasangan
Edukasi

15
a. Jelaskan tujuan dan
prosedur pemasangan
kateter urin
b. Anjurkan menarik napas
saat insersi selang
kateter.
3 Inkontinensia Urin Luaran Utama Kateterisasi Urin
Berlebih

Kriteria Hasil: Observasi


Defenisi :
a. Kemampuan a. Periksa kondisi pasien
Kehilangan urin yang tidak berkemih (mis. Kesadaran, tanda-
terkendali akibat meningkat tanda vital, daerah
overdistensi kandung kemih b. Nokturia perineal, distensi
menurun kandung kemih,
c. Residu volume inkontinensia urin,
Penyebab : urin setelah reflex berkemih)
berkemih
a. Blok spingter
menurun
b. Kerusakan atau Terapeutik
d. Distensi
ketidakadekuatan
kandung kemih a. Siapkan peralatan,
jalur eferen
menurun bahan-bahan dan
c. Obstruksi jalan
e. Dribbling ruangan tindakan
keluar urin (mis.
menurun b. Siapkan pasien:
Impaksi fekal, efek
f. Hesitancy bebaskan pakaian bawah
agen farmakologis)
menurun dan posisikan dorsal
d. Ketidakadekuatan
g. Enuresis rekumben (untuk
detrusor (mis. Pada
menurun wanita) dan supine
kondisi stress atau
h. Verbalisasi ( untuk laki-laki)
tidak nyaman,
pengeluaran c. Pasang sarung tangan
deconditioned
urin tidak tuntas d. Bersihkan daerah
voiding)
menurun perineal atau preposium

16
i. Frekuensi dengan cairan NaCL
berekemih atau aquades
membaik e. Lakukan insersi kateter
j. Sensi berkemih urin dengan menerapkan
membaik prinsip aseptic
f. Sambungkan kateter
urin dengan urin bag
g. Isi balon dengan NaCL
0,9% sesuai anjuran
pabrik
h. Fiksasi selang kateter
diatas simpisis atau di
paha
i. Pastikan kantung urin
ditempatkan lebih
rendah dari kandung
kemih
j. Berikan label waktu
pemasangan
Edukasi

a. Jelaskan tujuan dan


prosedur pemasangan
kateter urin
b. Anjurkan menarik napas
saat insersi selang
kateter.
Perawatan Inkontinensia Urin

Observasi

a. Identifikasi penyebab

17
inkontinensia urine (mis.
Disfungsi neurologis,
gangguan medulla
spinalis, gangguan reflex
destrusor, obat-obatan,
usia, riwayat operasi,
gangguan fungsi
kognitf)
b. Identifikasi perasaan dan
persepsi pasien tehadap
inkontinensia urin yang
didalamnya
c. Monitor keefektifan
obat, pembedahan dan
terapi modalitas
berkemih
d. Monitor kebiasaan BAK
Terapeutik

a. Bersihkan genital dan


kulit sekitar secara rutin
b. Berikan pujian atas
keberhasilan mencegah
inkontinensia
c. Buat jadwal konsumsi
obat-obat diuretic
d. Ambil sanpel urin untuk
pemeriksaan urin
lengkap atau kultur
Edukasi

a. Jelaskan defenisi, jenis


inkontinensia, penyebab

18
inkontinensia urin
b. Jelaskan program
penanganan
inkontinensia
c. Jelaskan jenis pakaian
dan lingkungan yang
mendukung proses
berkemih
d. Anjurkan membatasi
konsumsi cairan 2-3 jam
menjelang tidur
e. Ajarkan memantau
cairan keluar dan masuk
serta pola eliminasi urin
f. Anjurkan minum
minimal 1500 cc/hari,
jika tidak kontraindikasi
g. Anjurkan menghindari
kopi, minuman bersoda,
the dan cokelat
h. Anjurkan konsumsi
buah dan sayur untuk
menghindari konstipasi
Kolaborasi

a. Rujuk ke ahli
inkontinensia, jika perlu
4 Inkontinensia Urin Stres Luaran Utama Kateterisasi Urin

Defenisi : Kriteria Hasil: Observasi

Kebocoran urin mendadak a. Kemampuan a. Periksa kondisi pasien


dan tidak dapat dikendalikan berkemih (mis. Kesadaran, tanda-

19
karena aktivitas yang meningkat tanda vital, daerah
meningkatkan tekanan b. Nokturia perineal, distensi
intraabdominal. menurun kandung kemih,
c. Residu volume inkontinensia urin,
urin setelah reflex berkemih)
Penyebab : berkemih Terapeutik
menurun
a. Kelemahan instrinsik a. Siapkan peralatan,
d. Distensi
spinker uretra bahan-bahan dan
kandung kemih
b. Perubahan ruangan tindakan
menurun
degenerasi/non b. Siapkan pasien:
e. Dribbling
degenerasi otot pelvis bebaskan pakaian bawah
menurun
c. Kekurangan dan posisikan dorsal
f. Hesitancy
esterogen rekumben (untuk
menurun
d. Peningkatan tekanan wanita) dan supine
g. Enuresis
intraabdomen ( untuk laki-laki)
menurun
e. Kelemahan otot c. Pasang sarung tangan
h. Verbalisasi
pelvis d. Bersihkan daerah
pengeluaran
perineal atau preposium
urin tidak tuntas
dengan cairan NaCL
menurun
atau aquades
i. Frekuensi
e. Lakukan insersi kateter
berekemih
urin dengan menerapkan
membaik
prinsip aseptic
j. Sensi berkemih
f. Sambungkan kateter
membaik
urin dengan urin bag
g. Isi balon dengan NaCL
0,9% sesuai anjuran
pabrik
h. Fiksasi selang kateter
diatas simpisis atau di
paha
i. Pastikan kantung urin

20
ditempatkan lebih
rendah dari kandung
kemih
j. Berikan label waktu
pemasangan
Edukasi

a. Jelaskan tujuan dan


prosedur pemasangan
kateter urin
b. Anjurkan menarik napas
saat insersi selang
kateter.

Perawatan Inkontinensia Urin

Observasi

a. Identifikasi penyebab
inkontinensia urine (mis.
Disfungsi neurologis,
gangguan medulla
spinalis, gangguan reflex
destrusor, obat-obatan,
usia, riwayat operasi,
gangguan fungsi
kognitf)
b. Identifikasi perasaan dan
persepsi pasien tehadap
inkontinensia urin yang
didalamnya
c. Monitor keefektifan

21
obat, pembedahan dan
terapi modalitas
berkemih
d. Monitor kebiasaan BAK
Terapeutik

a. Bersihkan genital dan


kulit sekitar secara rutin
b. Berikan pujian atas
keberhasilan mencegah
inkontinensia
c. Buat jadwal konsumsi
obat-obat diuretic
d. Ambil sanpel urin untuk
pemeriksaan urin
lengkap atau kultur
Edukasi

a. Jelaskan defenisi, jenis


inkontinensia, penyebab
inkontinensia urin
b. Jelaskan program
penanganan
inkontinensia
c. Jelaskan jenis pakaian
dan lingkungan yang
mendukung proses
berkemih
d. Anjurkan membatasi
konsumsi cairan 2-3 jam
menjelang tidur
e. Ajarkan memantau
cairan keluar dan masuk

22
serta pola eliminasi urin
f. Anjurkan minum
minimal 1500 cc/hari,
jika tidak kontraindikasi
g. Anjurkan menghindari
kopi, minuman bersoda,
the dan cokelat
h. Anjurkan konsumsi
buah dan sayur untuk
menghindari konstipasi
Kolaborasi

a. Rujuk ke ahli
inkontinensia, jika perlu

10. Daftar Pustaka

Tim Pokja SDKI DPP PPNI (2016) Standar Diagnosa Keperawatan


Indonesia. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat
Nasional Indonesia.

Tim Pokja SIKI DPP PPNI (2018) Standar Intervensi Keperawatan


Indonesia. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat
Nasional Indonesia.

23
Tim Pokja SLKI DPP PPNI (2018) Standar Luaran Keperawatan: Defenisi
dan Kriteria Hasil Keperawatan. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat
Persatuan Perawat Nasional Indonesia

Andarmoyo, Sulistyo. 2012. Kebutuhan Dasar Munusia


( Oksigenasi ).Yogyakarta : Graha Ilmu

Syaifuddin.2011. Anatomi Fisiologi. Jakarta : EGC

Brunner & Suddarth. 2002. Keperawatan Medikal Bedah edisi 8. Jakarta:


EGC

24

Anda mungkin juga menyukai