CASE
CASE
PENDAHULUAN
2
1.3.2. Manfaat Praktis
Diharapkan laporan kasus ini dapat dijadikan sebagai sarana untuk melatih
keterampilan dan menambah pengalaman dalam pelayanan kesehatan
dengan menerapkan prinsip-prinsip kedokteran keluarga.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.2 Epidemiologi
Jumlah penderita penyakit jantung hipertensi masih belum diketahui
secara pasti. Namun, berdasarkan hasil studi yang ada, kebanyakan kasus
hipertensi akan bermanifestasi sebagai penyakit jantung. Terutama gagal
jantung (Decomp cordis). Hasil studi tersebut di antaranya menyebutkan
angka kejadian hipertrofi ventrikel kiri menurut hasil EKG adalah sebanyak
4
2.9% pada pasien pria dan 1.5% pada pasien wanita. Sedangkan menurut hasil
ekokardiogram, hipertrofi ventrikel kiri terjadi pada 15-20% pasien
hipertensi. Pada pasien tanpa HVK didapatkan 33% di antaranya mengalami
disfungsi diastolik ventrikel kiri yang asimtomatik. Secara umum, risiko
kejadian HVK mengalami peningkatan sebanyak dua kali lipat pada pasien
dengan obesitas. Sekitar 50-60% penderita hipertensi akan mengalami risiko
untuk gagal jantung dengan risiko kejadian yang meningkat dua kali lipat
pada pria dan tiga kali lipat pada wanita.(Sibuea, 2016)
2.1.3 Etiologi
Sebab utama penyakit jantung hipertensi adalah tekanan darah yang
meningkat dan berlangsung kronik. Sedangkan penyebab hipertensi sendiri
sangat beragam, pada orang dewasa sebab-sebab tersebut antara lain:
2.1.5 Patofisiologi
Patofisiologi dari penyakit jantung hipertensi berjalan cukup kompleks,
karena berhubungan dengan berbagai faktor, seperti hemodinamik, struktural,
neuroendokrin, selular, dan molekuler. Di satu sisi, faktor-faktor tersebut
saling berintegrasi dan akhirnya menyebabkan perkembangan dan komplikasi
dari hipertensi, sementara di sisi lain tingginya tekanan darah memodulasi
faktor-faktor tersebut. Meningkatnya tekanan darah menyebabkan perubahan
struktur dan fungsi jantung melalui dua cara, yaitu secara langsung oleh
peningkatan afterload atau beban akhir jantung, dan secara tidak langsung
oleh perubahan neurohormonal dan vaskuler terkait. (Price, 2014)
Hipertrofi ventrikel kiri (HVK) merupakan kompensasi jantung
menghadapi tekanan darah tinggi ditambah dengan faktor neurohumoral yang
ditandai oleh penebalan konsentrik otot jantung (hipertrofi konsentrik).
Fungsi diastolik akan mulai terganggu akibat dari gangguan relaksasi
ventrikel kiri, kemudian disusul oleh dilatasi ventrikel kiri (hipertrofi
eksentrik). Rangsangan simpatis dan aktivasi sistem RAA memacu
mekanisme Frank-Starling melalui peningkatan volume diastolik ventrikel
sampai tahap tertentu dan pada akhirnya akan terjadi gangguan kontraksi
miokard (penurunan/gangguan fungsi sistolik). (Price, 2014)
7
HVK terjadi pada 15-20% pasien hipertensi dan angka kejadiannya
meningkat dua kali lipat pada pasien obesitas. HVK adalah peningkatan masa
otot ventrikel kiri yang disebabkan oleh respon miosit pada berbagai stimulus
yang menyertai pada peningkatan tekanan darah. Hipertrofi miosit timbul
sebagai kompensasi dari beban akhir (afterload) yang meningkat. Stimulus
mekanis dan neurohormonal yang menyertai hipertensi dapat mengaktivasi
pertumbuhan sel miokardial dan ekspresi gen yang berakhir pada HVK.
Selain itu aktivasi sistem renin-angitensin-aldosteron melalui aksi
angiotensin II pada reseptor angiotensin I menimbulkan pertumbuhan
interstitium dan komponen matriks sel. Intinya terjadinya HVK disebabkan
oleh hipertrofi miosit dan ketidakseimbangan antara miosit dan interstitium
struktur miokard. (Price, 2014)
Terdapat beberapa pola HVK, di antaranya remodeling konsentrik, HVK
konsentrik, dan HVK eksentrik. HVK konsentrik adalah penebalan ventrikel
kiri dan massa ventrikel kiri dengan peningkatan tekanan diastolik dan
volume ventrikel kiri yang umumnya terjadi pada pasien hipertensi.
Sedangkan HVK eksentrik adalah penebalan ventrikel kiri tapi lokasinya
tidak beraturan, hanya meliputi beberapa bagian saja. HVK konsentrik
menunjukkan prognosis yang buruk untuk hipertensi. Terjadinya HVK ini
memiliki peran protektif pada respon peningkatan tekanan dinding untuk
mempertahankan cardiac output yang adekuat, yang kemudian akan
berkembang menjadi disfungsi miokardial diastolik disusul sistolik. (Price,
2014)
Iskemia miokard (asimtomatik, angina pektoris, infark jantung, dan lain-
lain) dapat terjadi karena kombinasi akselerasi proses aterosklerosis dengan
peningkatan kebutuhan oksigen miokard akibat dari HVK. HVK, iskemia
miokard dan gangguan fungsi endotel merupakan faktor utama kerusakan
miosit pada hipertensi. (Price, 2014)
9
dengan adanya obesitas. Prevalensi pembesaran ventrikel kiri berdasarkan
bacaan elektrokardiografi, yang tidak terlalu sensitif, bervariasi. Penelitian
menunjukkan hubungan langsung antara tingkat dan durasi hipertensi dengan
hipertrofi ventrikel kiri. (Price, 2014)
Hipertrofi ventrikel kiri, yang didefinisikan sebagai peningkatan massa
ventrikel kiri, disebabkan oleh respon miosit pada berbagai macam stimulus
yang menyertai peningkatan tekanan darah. Hipertrofi miokard timbul
sebagai kompensasi dari peningkatan afterload. Stimulus mekanik dan
neurohormonal serta hipertensi menimbulkan aktivasi pertumbuhan miokard,
ekspresi gen (yang terdapat pada miokard fetal), dan hipertrofi ventrikel kiri.
Sistem renin-angiotensin juga turu mempengaruhi pertumbuhan interstisium
dan komponen matriks seluler. Kesimpulannya, hipertrofi ventrikel kiri
terjadi akibat hipertrofi miosit dan ketidakseimbangan antara miosit dan
struktur interstisium miokard. Terdapat beberapa macam hipertrofi ventrikel
kiri, meliputi remodelling konsentris, hipertrofi ventrikel kiri konsentris, dan
hipertrofi ventrikel kiri eksentris. Hipertrofi ventrikel kiri konsentris adalah
peningkatan ketebalan dan massa ventrikel kiri dengan peningkatan tekanan
dan volume diastolik, umumnya ditemukan pada pasien dengan hipertensi
dan merupakan petanda yang buruk bagi pasien ini. Dibandingkan dengan
hipertrofi ventrikel kiri eksentris, dimana peningkatan ketebalan ventrikel kiri
terjadi tidak secara merata, hanya di tempat tertentu, misalnya pada septum.
Walaupun, hipertrofi ventrikel kiri berperan sebagai respon protektif terhadap
peningkatan tekanan dinding jantung untuk mempertahankan curah jantung
yang adekuat, namun hal ini dapat menyebabkan disfungsi sistolik dan
diastolik.
10
karena peningkatan tekanan darah yang mengakibatkan kerusakan atrium
kiri, penurunan fungsi atrium kiri, dan penebalan/pelebaran atrium kiri.
Pelebaran atrium kiri yang menyertai hipertensi tanpa adanya penyakit katup
jantung atau disfungsi sistolik biasanya merupakan implikasi dari hipertensi
kronis atau mungkin berhubungan dengan tingkat keparahan disfungsi
diastolik ventrikel kiri. Dengan adanya perubahan struktur tersebut, pasien
memiliki resiko tinggi untuk mengalami fibrilasi atrium dan dapat
mengakibatkan gagal jantung. (Price, 2014)
Penyakit Katup
Meskipun penyakit katup jantung tidak menyebabkan penyakit jantung
hipertensi, hipertensi yang parah dan kronis dapat menyebabkan dilatasi aorta
yang menimbulkan insufisiensi aorta. Insufisiensi aorta juga dapat ditemukan
pada pasien-pasien hipertensi yang tidak terkontrol. Peningkatan tekanan
darah yang akut dapat memperparah keadaan insufusiensi aorta, dimana akan
membaik jika tekanan darah terkontrol dengan baik. Disamping dapat juga
menyebabkan regurgitasi aorta, hipertension juga dapat mempercepat proses
sklerosis aorta dan regurgitasi mitral. (Price, 2014)
Gagal Jantung
Gagal jantung adalah komplikasi yang paling sering terjadi pada
peningkatan tekanan darah yang terjadi secara kronis. Hipertensi sebagai
penyebab dari gagal jantung kongestif seringkali tidak terdeteksi, karena saat
proses gagal jantung terjadi, disfungsi ventrikel kiri tidak menyebabkan
peningkatan tekanan darah. Prevalensi dari disfungsi diastolik asimtomatis
pada pasien dengan hipertensi namun tanpa pembesaran ventrikel kiri sekitar
33%.
Disfungsi diastolik sering terjadi pada pasien dengan hipertensi, dan
sering disertai dengan pembesaran ventrikel kiri. Faktor-faktor yang
menyebabkan disfungsi diastolik disamping adanya peningkatan afterload,
adalah interaksi antara penyakit jantung koroner, usia, disfungsi sistolik, dan
kelainan struktural, misalnya fibrosis dan hipertrofi ventrikel kiri. Biasanya
11
disfungsi diastolik juga diikuti oleh disfungsi sistolik asimtomatis.
Selanjutnya, hipertrofi ventrikel kiri gagal untuk mengkompensasi
peningkatan curah jantung karena peningkatan tekanan darah, sehingga
ventrikel kiri mengalami dilatasi untuk mempertahankan curah jantung.
Ketika memasuki tahap akhir, fungsi sistolik ventrikel kiri semakin menurun.
Hal ini meningkatkan aktivasi neurohormonal dan sistem renin-angiotensin,
mengakibatkan peningkatan retetensi garam dan cairan, serta peningkatan
vasokonstriksi perifer, menambah kerusakan lebih lanjut pada ventrikel kiri
menjadi disfungsi sistolik yang simtomatik. (Price, 2014)
Apoptosis, atau kematian sel yang terprogram, yang distimulasi oleh
hipertrofi miokard dan ketidakseimbangan antara stimulan dan inhibitor,
memiliki peran yang penting dalam transisi tahap kompensasi ke tahap
dekompensasi. Pasien dapat menjadi simtomatik dalam tahap disfungsi
sistolik atau diastolik asimtomatis, tergantung dari kondisi afterload atau
adanya keterlibatan miokard (misalnya iskemia, infark). Peningkatan tekanan
draah yang terjadi secara tiba-tiba dapat mengakibatkan edema paru akut
tanpa perlu terjadi perubahan fraksi ejeksi ventrikel kiri. Umumnya,
perkembangan disfungsi atau dilatasi ventrikel kiri, baik yang asimtomatis
maupun simtomatis, dianggap sebagai penyebab penurunan status klinis yang
cepat dan meningkatkan angka kematian. Penebalan ventrikel kanan dan
disfungsi diastolik juga berperan menyebabkan penebalan septum dan
disfungsi ventrikel kiri. (Price, 2014)
Iskemik Miokard
Pasien dengan angina memiliki prevalensi hipertensi yang tinggi.
Hipertensi melipatgandakan resiko untuk penyakit jantung koroner. Iskemia
pada pasien dengan hipertensi terjadi karena multifactor. (Price, 2014)
Yang penting, pada pasien dengan hipertensi, angina dapat muncul tanpa
penyakit jantung koroner. Hal ini terjadi karena peningkatan afterload
sekunder karena hipertensi mengakibatkan peningkatan tekanan ventrikel kiri
12
dan transmural, menghambat aliran darah koroner saat diastol. Selanjutnya,
pada pasien dengan hipertensi, mikrovaskularisasi yaitu arteri koroner
epikardial, mengalami disfungsi dan tidak dapat mengkompensasi
peningkatan metabolisme dan kebutuhan oksigen. (Price, 2014)
Perkembangan dan progresifitas arteriosklerosis, dasar dari penyakit
jantung koroner, adalah kerusakan arteri terus-menerus karena peningkatan
tekanan darah. Tekanan yang terus-menerus mengakibatkan disfungsi
endotel, dan menyebabkan kelainan sistesis dan pengeluaran agen vasodilator
nitrit oxide. Penurunan kadar nitrit oxide menyebabkan dan mempercepat
proses arteriosklerosis dan penumpukan plak. (Price, 2014)
Aritmia
Aritmia yang sering terjadi pada pasien dengan hipertensi diantaranya
adalah atrial fibrilasi, PVC (premature ventricular contractions) dan
ventrikular takikardi. Resiko dari kematian mendadak juga meningkat.
Terdapat berbagai mekanisme yang berperan dalam patogenesis aritmia
diantaranya penurunan struktur dan metabolisme seluler, inhomogenitas
miokard, perfusi yang buruk, fibrosis miokard, dan fluktuasi afterload. Semua
faktor ini dapat meningkatkan resiko terjadinya ventrikular takiaritmia.
(Price, 2014)
Atrial fibrilasi (paroksismal, kronik rekuren, atau kronik persisten)
seringkali didapatkan pada pasien dengan hipertensi. Faktanya, peningkatan
tekanan darah adalah penyebab tersering dari atrial fibrilasi di daerah barat.
Penelitian menunjukkan bahwa hampir 50% pasien dengan atrial fibrilasi
memiliki riwayat hipertensi. Meskipun etiologinya belum diketahui,
abnormalitas struktural atrium kiri, penyakit jantung koroner, dan hipertrofi
ventrikel kiri dianggap sebagai faktor yang berperan. Atrial fibrilasi dapat
menyebabkan dekompensasi sistolik, bahkan disfungsi diastol, menyebabkan
penurunan curah atrium juga resiko komplikasi trimboemboli yang dapat
mengakibatkan stroke. (Price, 2014)
PVC (premature ventricular contraction), ventrikular aritmia, dan
kematian mendadak sering didapatkan pada pasien dengan hipertrofi
13
ventrikel kiri. Etologi dari aritmia ini diantaranya penyakit jantung koroner
dan fibrosis miokard. (Price, 2014)
2.1.7 Diagnosis
14
Diagnosis penyakit jantung hipertensi ditegakkan berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang.
Pada anamnesis ditemukan (Sudoyo, 2014):
- Rasa berdebar, melayang, impotensi sebagai akibat dari peninggian
tekanan darah.
- Rasa cepat capek, sesak napas, sakit dada, bengkak pada kedua kaki
atau perut.
- Terdapat gangguan vaskular seperti epistaksis, hematuria, pandangan
kabur karena perdarahan retina, transient cerebral ischemic.
- Terdapat penyakit dasar seperti pada hipertensi sekunder, misalnya:
polidipsi, poliuria, kelemahan otot pada aldosteronisme primer,
peningkatan BB dengan emosi labil pada sindroma cushing. Pada
feokromositoma didapatkan keluhan episode sakit kepala, palpitasi,
banyak keringat, dan rasa melayang saat berdiri (postural dizzy).
Pemeriksaan Fisik
Habitus tubuh, seperti tinggi dan berat badan, harus dicatat. Pada
pemeriksaan awal, tekanan harus diukur pada kedua lengan, dan lebih baik
pada posisi terlentang, duduk dan berdiri untuk mengevaluasi keberadaan
hipotensi postural. Bahkan jika nadi femoral teraba normal, tekanan arterial
harus diukur sekurangnya sekali pada ekstremitas inferior pada pasien dimana
hipertensi ditemui sebelum usia 30 tahun. Kecepatan detak jantung juga harus
dicatat. Individu hipertensif memiliki peningkatan prevalensi untuk
mengalami fibrilasi atrial. Leher harus dipalpasi untuk mencari pembesaran
kelenjar tiroid, dan para pasien harus diperiksa untuk tanda-tanda hipo dan
hipertiroidisme. Pemeriksaan pembuluh darah dapat menyediakan petunjuk
mengenai penyakit vakular yang mendasari dan harus menyertakan
pemeriksaan funduskopik, auskultasi untuk bruit di arteri karotid dan femoral,
dan palpasi denyut nadi femoral dan pedis. Retina merupakan satu-satunya
jaringan di mana arteri dan arteriol dapat diamati secara langsung. Seiring
peningkatan tingkat keparahan hipertensi dan penyakit atherosklerotik,
perubahan funduskopik progresif antara lain seperti peningkatan refleks
15
cahaya arteriolar, defek perbandingan arteriovenous, hemorrhagi dan
eksudat, dan pada pasien dengan hipertensi maligna, papiledema.3
Pemeriksaan pada jantung dapat mengungkapkan bunyi jantung kedua yang
menguat karena penutupan katup aorta dan suatu gallop S4 yang dikarenakan
kontraksi artrium terhadap ventrikel kiri yang tidak seiring. Hipertropi
ventrikel kiri dapat terdeteksi melalui keberadaan impuls apikal yang
menguat, bertahan, dan bertempat di lateral. Suatu bruit abdominal, terutama
bruit yang berlateralisasi dan terjadi selama sistolik ke diastolik,
meningkatkan kemungkinan hipertensi renovaskular.(Panggabean, 2014)
Ginjal pasien dengan penyakit ginjal polikistik dapat dipalpasi di
abdomen. Pemeriksaan fisik harus menyertakan pemeriksaan tanda-tanda
CHF dan pemeriksaan neurologis. (Nafrialdi, 2013)
Pada pemeriksaan fisik didapatkan (Sudoyo, 2013):
Batas-batas jantung melebar
Impuls apeks prominen
Bunyi jantung S2 meningkat akibat kerasnya penutupan katup aorta
Kadang-kadang ditemukan murmur diastolik akbat regurgitasi aorta
Bunyi S4 (gallop atrial atau presistolik) dapat ditemukan akibat peninggian
tekanan atrium kiri
Bunyi S3 (gallop ventrikel atau protodiastolik) ditemukan bila tekanan akhir
diastolik ventrikel kiri meningkat akibat dilatasi ventrikel kiri
Suara napas tambahan seperti ronkhi basah atau kering
Pemeriksaan perut untuk mencari aneurisma, pembesaran hati, limpa,
ginjal, dan ascites
Auskultasi bising sekitar kiri kanan umbilicus (renal artery stenosis)
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis
penyakit jantung hipertensi antara lain:
Pemeriksaan laboratorium
16
setelah pemberian agen antihipertensif baru dan kemudian tiap tahun, atau
lebih sering bila diindikasikan secara klinis. Tes laboratorium yang lebih
ekstensif dapat dilakukan bagi pasien dengan hipertensi resistan-pengobatan
yang nyata atau ketika evaluasi klinis menunjukkan Sistem Tes:
Ginjal Urinalisis mikroskopik, ekskresi albumin, BUN atau kreatinin serum
Endokrin Natrium, kalium, kalsium, dan TSH serum
Metabolik Glukosa darah puasa, kolesterol total, HDL dan LDL, trigliserida
Lain-lain Hematokrit, elektrokardiogram, CT scan, MRI, MRA, TTE,
Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan EKG
Bukti pembesaran atrium kiri- gelombang P luas pada lead tungkai dan
menonjol serta defleksi negatif tertunda yang luas di lead V1
Abnormalitas konduksi Blok fasikular anterior kiri (50% pasien dengan
blok fasikular anterior kiri pada EKG menderita hipertensi)
LBBB (sebanyak 70-80% pasien dengan LBBB menderita hipertensi)
2.1.8 Penalaksanaan
Tatalaksana medis untuk pasien dengan penyakit jantung hipertensi
dibagi menjadi 2 kategori, yaitu(Mansjoer, 2015):
1. Penatalaksanaan untuk tekanan darah yang meningkat
2. Pencegahan dan penatalaksanaan dari penyakit jantung hipertensi
Dalam menatalaksana peningkatan tekanan darah, target tekanan darah
harus <140/90 mmHg pada pasien tanpa diabetes atau gagal ginjal kronik
18
(chronic kidney disease) dan <130/90 mmHg pada pasien yang memiliki
penyakit tersebut (Ramachandran, 2013).
Ada beragam strategi dalam tatalaksana penyakit jantung hipertensi,
misalnya modifikasi pola makan, aerobic exercise secara teratur, penurunan
berat badan, atau penggunaan obat untuk hipertensi, gagal jantung sekunder
disfungsi diastolik dan sistolik ventrikel kiri, coronary artery disease, serta
aritmia(Ramachandran, 2013)..
Penatalaksanaan gagal jantung adalah untuk : menentukan dan
menghilangkan sebab penyakit gagal jantung, memperbaiki daya pompa
jantung, memperbaiki atau menghilangkan bendungan. Tindakan untuk
mencapai tujuan tersebut adalah: menentukan derajat payah jantung,
membatasi aktivitas, mengobati faktor pencetus dan sebab penyakit jantung,
mengatur dan mengurangi diet garam, pemberian obat-obatan.
a. Modifikasi pola makan (Mansjoer, 2015)
Penelitian membuktikan bahwa diet dan gaya hidup yang sehat
dengan atau tanpa kombinasi dengan penggunaan obat dapat menurunkan
tekanan darah dan mengurangi simptom dari gagal jantung dan
memperbaiki hipertrofi vetrikel kiri (HVK). Diet khusus yang dianjurkan
adalah diet sodium, tinggi potasium (pada pasien dengan fungsi ginjal
yang normal), makan buah-buahan segar dan sayur-sayuran, rendah
kolesterol dan rendah konsumsi alkohol.
Diet rendah sodium dengan atau tanpa kombinasi dengan pengunaan
obat-obatan mengurangi tekanan darah pada kebanyakan African
Americans. Restriksi sodium tidak menstimulasi kompensasi dari renin-
angiotensin system dan dapat memiliki efek antihipertensi. Rekomendasi
intake sodium per hari adalah 50-100 mmol, setara dengan 3-6 g garam,
yang rata-rata mengurangi tekanan darah 2-8 mmHg.
Banyak penelitian epidemiologi menunjukkan, asupan tinggi
potasium diasosiasikan dengan menurunnya tekanan darah. Potasium yang
diberikan secara intravena mengakibatkan vasodilatasi, yang dipercaya
dimediasi oleh nitric oxide pada dinding pembuluh darah. Buah dan
19
sayuran segar direkomendasikan untuk pasien yang memiliki fungsi ginjal
yang normal.
Asupan rendah kolesterol adalah profilaksis untuk pasien dengan
penyakit jantung koroner. Konsumsi alkohol yang berlebihan
dihubungkan dengan peningkatan tekanan darah pada peningkatan massa
dari ventrikel kiri.
b. Aerobic exercise secara teratur (Mansjoer, 2015)
- Lakukan aerobic exercise secara teratur 30 menit sehari, 3-4 kali
seminggu.
- Olahraga yang teratur, seperti berjalan, berlari, berenang, atau
bersepeda menunjukkan penurunan tekanan darah dan meningkatkan
kesehatan dari jantung dan pembuluh darah karena meningkatkan
fungsi endotelial, vasodilatasi perifer, menurunkan denyut nadi
istirahat, dan mengurangi level dari katekolamin.
o Isometric dan strenuous exercise harus dihindari.
c. Pengurangan berat badan(Mansjoer, 2015)
Kegemukan banyak dihubungkan dengan hipertensi dan HVK.
Penurunan berat badan secara bertahap (1 kg/minggu) sangat dianjurkan.
Penggunaan obat-obatan untuk mengurangi berat badan harus dilakukan
dengan perhatian yang khusus.
d. Farmakoterapi(Mansjoer, 2015)
- Penatalaksanaan dari hipertensi dan penyakit jantung hipertensi
dengan menggunakan diuretika tiazide, beta-blockers dan kombinasi
alpha dan beta-blockers, calcium channel blockers, ACE inhibitors,
angiotensin receptor blockers, dan direct vasodilators seperti
hydralazine.
- Kebanyakan pasien membutuhkan 2 atau lebih obat antihipertensi
untuk mencapai target tekanan darah.
- Diuretika tiazide adalah obat pilihan pertama pada pasien dengan
hipertensi tanpa komplikasi.
- Obat-obatan dari kelas yang lain diberikan atas indikasi.
20
Calcium channel blocke: selektif untuk hipertensi sistolik
pada pasien yang tua
ACE inhibitors: pilihan pertama untuk pasien dengan
diabetes dan/atau dengan disfungsi ventrikel kiri
Angiotensin receptor blockers: alternatif untuk pasien yang
memiliki efek samping dari ACE inhibitors.
Beta-blockers: pilihan pertama pada pasien dengan gagal
jantung karena disfungsi sistolik ventrikel kiri, pasien
dengan ischemic heart disease dengan atau tanpa riwayat
myocardial infarction, dan pasien dengan thyrotoxicosis.
Obat-obat intravena pada pasien hipertensi emergensi, yaitu
nitroprusside, labetalol, hydralazine, enalapril, dan beta-
blockers (tidak digunakan untuk pasien dengan gagal
jantung akut ataupun dekompensata).
e. Tatalaksana untuk HVK(Mansjoer, 2015)
- HVK meningkatkan morbiditas dan mortalitas kardiovaskular. Obat-
obatan di atas dapat mengurangi HVK. Data dari metaanalisis yang
terbatas dikemukakan, ACE inhibitors memiliki keunggulan yang
lebih untuk menangani HVK.
f. Tatalaksana untuk LV diastolic dysfunctio(Mansjoer, 2015)
- Kelas-kelas tertentu dari obat antihipertensi (ACE inhibitors, beta-
blockers, dan nondihydropyridine calcium channel blockers) dapat
meningkatkan echocardiographic parameters pada disfungsi
diastolik yang simptomatik dan asimptomatik serta simptom dari
gagal jantung.
- Penggunaan diuretik dan nitrat untuk pasien dengan gagal jantung
karena disfungsi diastolik harus dengan hati-hati. Obat ini dapat
menyebabkan hipotensi yang berat dengan menurunkan preload.
g. Tatalaksana untuk LV systolic dysfunction(Mansjoer, 2015)
- Diuretik (biasanya loop diuretics) digunakan untuk tatalaksana LV
systolic dysfunction.
21
- ACE inhibitors untuk mengurangi preload dan afterload dan
mencegah kongesti paru maupun sistemik.
- Beta-blockers (cardioselective atau mixed alpha and beta), seperti
carvedilol, metoprolol XL, dan bisoprolol, untuk meningkatkan fungsi
dari ventrikel kiri serta mengurangi angka mortalitas dan morbiditas
dari gagal jantung.
- Spironolakton dosis rendah mengurangi angka mortalitas dan
morbiditas NYHA grade III atau IV dari gagal jantung, yang
menggunakan ACE inhibitor.
h. Tatalaksana dari kardiak aritmia(Mansjoer, 2015)
- Tatalaksana disesuaikan dengan jenis aritmia dan penyebab LV
dysfunction
- Antikoagulan dapat digunakan pada pasien dengan atrial fibrilasi.
2.1.9 Prognosis
Prognosis pada pasien penyakit jantung hipertensi bermacam-macam
sesuai dengan durasi, tingkat keparahan, dan tipe penyakit yang terjadi.
Risiko komplikasi bergantung pada besarnya hipertrofi yang terjadi pada
ventrikel kiri. Semakin besar kelainan yang diderita oleh ventrikel kiri, maka
komplikasi yang akan timbul juga akan menjadi semakin besar. Mengobati
penyakit dasar yaitu hipertensi akan sangat berpengaruh terhadap
progresivitas yang terjadi (Mansjoer, 2015)
Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa obat-obatan tertentu
seperti ACE-Inhibitor, Beta-blocker, dan diuretik spinorolakton dapat
mengatasi hipertropi ventrikel kiri dan memperpanjang kemungkinan hidup
pasien dengan gagal jantung akibat penyakit jantung hipertensi.
Bagaimanapun juga, penyakit jantung hipertensi adalah penyakit yang serius
yang memiliki resiko kematian mendadak. (Mansjoer, 2015)
22
Dokter keluarga adalah dokter yang mengutamakan penyediaan
pelayanan komprehensif bagi semua orang yang mencari pelayanan
kedokteran dan mengatur pelayanan oleh provider lain bila diperlukan.
Dokter ini adalah seorang generalis yang menerima semua orang yang
membutuhkan pelayanan kedokteran tanpa adanya pembatasan usia, gender,
ataupun jenis penyakit (Prasetyawati, 2010).
Pelayanan dokter keluarga adalah pelayanan kedokteran yang
menyeluruh yang memusatkan pelayanannya kepada keluarga sebagai suatu
unit, di mana tanggung jawab dokter terhadap pelayanan kesehatan tidak
dibatasi oleh golongan umur atau jenis kelamin pasien, juga tidak boleh oleh
organ tubuh atau jenis penyakit tertentu saja (Prasetyawati, 2010).
Adapun ciri-ciri profesi dokter keluarga sebagai berikut:
1. Mengikuti pendidikan dokter sesuai standar nasional.
2. Pekerjaannya berlandaskan etik profesi.
3. Mengutamakan panggilan kemanusiaan daripada keuntungan.
4. Pekerjaannya legal melalui perizinan.
5. Anggota-anggotanya belajar sepanjang hayat.
6. Anggota-anggotanya bergabung dalam suatu organisasi profesi.
7. Melayani penderita tidak hanya sebagai orang perorang, melainkan
sebagai anggota satu keluarga dan bahkan sebagai anggota
masyarakat sekitarnya.
8. Memberikan pelayanan kesehatan secara menyeluruh dan
memberikan perhatian kepada penderita secara lengkap dan
sempurna, jauh melebihi jumlah keseluruhan keluhan yang di
sampaikan.
9. Mengutamakan pelayanan kesehatan guna meningkatkan derajat
seoptimal mungkin, mencegah timbulnya penyakit dan mengenal
serta mengobati sedini mungkin.
10. Mengutamakan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan dan
berusaha memenuhi kebutuhan tersebut sebaik-baiknya. dan
11. Menyediakan dirinya sebagai tempat pelayanan kesehatan tingkat
pertama dan bertanggung jawab pada pelayanan kesehatan lanjutan.
23
2.2.2. Karakteristik Pelayanan Kedokteran Keluarga
Pelayanan dokter keluarga mempunyai beberapa karakteristik salah
satunya menurut Ikatan Dokter Indonesia melalui Muktamar ke-18 di
Surakarta sebagai berikut: (Prasetyawati, 2010).
1. Yang melayani penderita tidak hanya sebagai orang per orang, tetapi
sebagai anggota satu keluarga dan bahkan sebagai anggota
masyarakat sekitarnya.
2. Yang memberikan pelayanan kesehatan secara menyeluruh dan
memberikan perhatian kepada penderita secara lengkap dan
sempurna, jauh melebihi jumlah keseluruhan keluhan yang
disampaikan.
3. Yang mengutamakan pelayanan kesehatan guna meningkatkan
derajat kesehatan seoptimal mungkin, mencegah timbulnya penyakit
dan mengenal serta mengobati penyakit sedini mungkin.
4. Yang mengutamakan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan
dan berusaha memenuhi kebutuhan tersebut sebaik-baiknya.
5. Yang menyediakan dirinya sebagai tempat pelayanan kesehatan
tingkat pertama dan bertanggung jawab pada pelayanan kesehatan
lanjutan.
Dokter keluarga adalah dokter yang mengutamakan penyediaan
pelayanan komprehensif bagi semua orang yang mencari pelayanan
kedokteran, dan mengatur pelayanan oleh provider lain bila diperlukan.
Dokter ini adalah seorang generalis yang menerima semua orang yang
membutuhkan pelayanan kedokteran tanpa adanya pembatasan usia,
gender, ataupun jenis penyakit. Dikatakan pula bahwa dokter keluarga
adalah dokter yang mengasuh individu sebagai bagian dari keluarga dan
dalam lingkup komunitas dari individu tersebut. Tanpa membedakan ras,
budaya, dan tingkatan sosial. Secara klinis, dokter ini berkompeten untuk
menyediakan pelayanan dengan sangat mempertimbangkan dan
memerhatikan latar belakang budaya, sosioekonomi, dan psikologis pasien.
24
Dokter ini bertanggung jawab atas berlangsungnya pelayanan yang
komprehensif dan berkesinambungan bagi pasiennya (Prasetyawati, 2010).
Menurut WONCA (1991) dokter keluarga adalah dokter yang
mengutamakan penyediaan pelayanan komprehensif bagi semua orang yang
mencari pelayanan kedokteran, dan mengatur pelayanan oleh provider lain
bila diperlukan. Dokter ini adalah seorang generalis yang menerima semua
orang yang membutuhkan pelayanan kedokteran tanpa adanya pembatasan
usia, gender, ataupun jenis penyakit. Dikatakan pula bahwa dokter keluarga
adalah dokter yang mengasuh individu sebagai bagian dari keluarga dan
dalam lingkup komunitas dari individu tersebut. Tanpa membedakan ras,
budaya, dan tingkatan sosial. Secara klinis, dokter ini berkompeten untuk
menyediakan pelayanan dengan sangat mempertimbangkan dan
memerhatikan latar belakang budaya, sosioekonomi, dan psikologis pasien.
Dokter ini bertanggung jawab atas berlangsungnya pelayanan yang
komprehensif dan berkesinambungan bagi pasiennya (Prasetyawati, 2010).
Menurut The American Academy of Family Physician (1969),
pelayanan dokter keluarga adalah pelayanan kedokteran yang menyeluruh
yang memusatkan pelayanannya kepada keluarga sebagai suatu unit, di
mana tanggung jawab dokter terhadap pelayanan kesehatan tidak dibatasi
oleh golongan umur atau jenis kelamin pasien, juga tidak boleh oleh organ
tubuh atau jenis penyakit tertentu saja (Prasetyawati, 2010).
Pelaksana pelayanan dokter keluarga dikenal dengan dokter
keluarga (family doctor, family physician). Ikatan Dokter Indonesia (IDI)
mendefinisikan dokter keluarga adalah dokter yang dapat memberikan
pelayanan kesehatan yang berorientasi komunitas dengan titik berat kepada
keluarga, ia tidak hanya memandang penderita sebagai individu yang sakit
tetapi sebagai bagian dari unit keluarga dan tidak hanya menanti secara
pasif, tapi bila perlu aktif mengunjungi penderita dan keluarganya
(Prasetyawati, 2010).
Sedangkan Kolese Dokter Indonesia menterjemahkan secara
kimiawi sebagai berikut:
25
1. Dokter keluarga adalah dokter yang dididik secara khusus untuk
bertugas di lini terdepan sistem pelayanan kesehatan, bertugas
mengambil langkah awal penyelesaian semua masalah yang
mungkin dipunyai pasien.
2. Melayani individu dalam masyarakat tanpa memandang jenis
penyakitnya ataupun karakter personal dan sosialnya dan
memanfaatkan semua sumber daya yang tersedia dalam sistem
pelayanan kesehatan untuk semaksimal mungkin kepentingan
pasien.
3. Berwenang secara mandiri melakukan tindak medis mulai dari
pencegahan, diagnosis, pengobatan, perawatan dan asuhan paliatif,
menggunakan dan memadukan ilmu-ilmu biomedis, psikologi
medis dan sosiologi medis (Prasetyawati, 2010).
Dalam menetapkan masalah serta faktor yang mempengaruhi,
digunakan konsep Mandala of Health. Dipahami bahwa dokter tidak dapat
melihat pasien hanya fisiknya saja. Karena setiap manusia juga terdiri dari
fisik, jiwa dan spiritnya. Setiap manusia tinggal bersama manusia lain dan
juga berinteraksi dengan lingkungannya (fisik, tempat tinggal, pekerjaan,
lingkungan sosial, budaya dan sebagainya). Karena itu pada saat pasien
mengeluh gangguan kesehatan, perlu dikaji faktor-faktor disekitarnya yang
mungkin memicu atau menyebabkan gejala tersebut muncul selain
kemungkinan masalah pada biomediknya (Prasetyawati, 2010).
Pendekatan penegakan diagnosis berupa pendekatan multi aspek,
yaitu Diagnosis Holistik. Diagnosis holistik, terdiri dari:
1. Aspek 1 (aspek individu): keluhan utama, harapan, kekhawatiran
pasien ketika datang
2. Aspek 2 (aspek klinik): diagnosis klinis dan diagnosis bandingnya
3. Aspek 3 (aspek internal): faktor internal pasien yg memicu
penyakit/masalah kesehatannya, (misal: usia, perilaku kesehatan,
persepsi kesehatan, dan sebagainya).
4. Aspek 4 (aspek eksternal pasien): dokter menulis (keadaan keluarga,
lingkungan psikososial & ekonomi keluarga, keadaan lingkungan
26
rumah & pekerjaan yang memicu atau menjadi hazard pada
penyakit/masalah ini atau kemungkinan dapat menghambat
penatalaksanaan penyakit/masalah kesehatan yang ada.
5. Aspek 5 (aspek fungsional): dokter menilai derajat fungsional pasien
pada saat ini.
Begitu pula pada saat perencanaan penatalaksanaan masalah
kesehatan, dengan memperhitungkan faktor-faktor disekitar pasien, dokter
perlu memiliki perencanaan pencegahan mulai dari pencegahan primer,
sekunder, tersier untuk pasien dan keluarganya (Prasetyawati, 2010).
28
bentuk sumbangan materil dan keuangan, serta secara aktif menjadi
pengurus lembaga di masyarakat yang ada.
5. Keluarga sejahtera tahap III plus
Keluarga-keluarga yang telah dapat memenuhi seluruh kebutuhannya
serta memiliki kepedulian dan kesertaan yang tinggi dalam
meningkatkan kesejahteraan keluarga disekitarnya.
3. Pertumbuhan (Growth)
Dinilai tingkat kepuasan anggota keluarga terhadap kebebasan yang
diberikan keluarga dalam mematangkan pertumbuhan dan atau
kedewasaan setiap anggota keluarga.
4. Kasih sayang (Affection)
Dinilai tingkat kepuasan anggota keluarga terhadap kasih sayang serta
interaksi emosional yang berlangsung dalam keluarga.
5. Kebersamaan (Resolve)
Dinilai tingkat kepuasan anggota keluarga terhadap kebersamaan dalam
membagi waktu, kekayaan, dan ruang antar keluarga.
29
2.2.6. Pola Pikir dan Pola Tindak Dokter Keluarga/Dokter Layanan Primer
Dokter keluarga bertanggung jawab meningkatkan derajat kesehatan
mitranya, dan ia berhubungan dengan mitranya di kala sehat maupun di kala
sakit. Tanggung jawab ini mengharuskan dokter keluarga menyediakan
program pemeliharaan kesehatan bagi mitranya yang sehat, dan program
pengobatan atau pemulihan bagi mitranya yang sedang jatuh sakit. Program
ini harus spesifik dan sesuai dengan kondisi dan kebutuhan setiap mitranya.
Hal ini dapat dipenuhi bila pola pikir dan pola tindaknya mengacu pada
pendekatan Medifa yang menata alur pelayanan dokter keluarga dalam 4
kegiatan (assessment – targeting – intervention – monitoring) yang
membentuk satu siklus pelayanan terpadu (Prasetyawati, 2010).
1. Penilaian profil kesehatan pribadi (Assessment)
Dokter keluarga mengawali upaya pemeliharaan mitranya dengan
melakukan penilaian komprehensif terhadap faktor risiko dan kodisi
kesehatan dengan tujuan memperoleh profil kesehatan pribadi dari
mitranya.
2. Penyusunan program kesehatan spesifik (Targeting)
Tersedianya profil kesehatan ini memberi kesempatan kepada dokter
keluarga untuk mempelajari masalah kesehatan yang dimiliki mitranya,
sehingga dokter keluarga dapat menyusun program kesehatan yang
sesuai dengan kebutuhan spesifik setiap mitra.
3. Intervensi proaktif (Intervention)
Dengan demikian setiap mitra, apakah ia dalam kondisi sehat,
menyandang faktor risiko atau sakit, secara proaktif akan diajak
mengikuti program pemeliharaan kesehatan yang sepesifik dengan
kebutuhannya. Melalui program proaktif ini diharapkan mitra yang sehat
dapat tetap sehat, yang saat ini menyandang faktor risiko dapat dikurangi
kemungkinan jatuh sakit berat di kemudian hari, dan yang saat ini
menderita suatu penyakit dapat segera pulih, dicegah terjadinya
komplikasi, atau diupayakan agar kecacatan seminimal mungkin. Bila
diperlukan si mitra akan dirujuk ke spesialis.
4. Pemantauan kondisi kesehatan (Monitoring)
30
Selanjutnya pelaksanaan program dan hasilnya akan dipantau dan
dievaluasi terus menerus dan menjadi masukan bagi dokter keluarga
untuk meningkatkan kualitas program dan memotivasi mitranya
(monitoring).
31
Keluarga yang terdiri dari pria, wanita, dan anak-anak yang tinggal
bersama, berbagi hal dan tanggung jawab serta memiliki kekayaan
bersama.
7. Keluarga serial (serial family)
Keluarga yang terdiri dari pria dan wanita yang telah menikah dan
mungkin telah mempunyai anak, tetapi kemudian bercerai dan masing-
masing menikah lagi serta memiliki anak-anak dengan pasangan masing-
masing, semuanya mengganggap sebagai satu keluarga.
8. Keluarga gabungan (composite family)
Keluarga yang terdiri dari suami dengan beberapa istri dan anak-anaknya
atau istri dengan beberapa suami dan anak-anaknya yang hidup bersama.
9. Keluarga tinggal bersama (whabilation family)
Pria dan wanita yang hidup bersama tanpa ada ikatan perkawinan.
32
a. Penyakit infeksi
b. Penyakit neurosis
4. Pola penyakit dan kematian
Hidup membujang atau bercerai mempengaruhi angka kesakitan dan
kematian.
5. Proses penyembuhan penyakit
Penyembuhan penyakit kronis pada anak-anak pada keluarga dengan
fungsi keluarga yang sehat lebih baik dibandingkan pada keluarga
dengan fungsi keluarga sakit.
2.3
Prolanis PROLANIS adalah suatu sistem pelayanan kesehatan dan
pendekatan proaktif yang dilaksanakan secara terintegrasi yang
melibatkan peserta, fasilitas kesehatan dan BPJS Kesehatan dalam rangka
33
pemeliharaan kesehatan bagi peserta BPJS Kesehatan yang menderita
penyakit kronis untuk mencapai kualitas hidup yang optimal dengan biaya
pelayanan kesehatan yang efektif dan efisien
2.3.1
Tujuan Prolanis Mendorong peserta penyandang penyakit kronis mencapai
kualitas hidup optimal dengan indikator 75% peserta terdaftar yang
berkunjung ke Faskes Tingkat Pertama memiliki hasil “baik” pada
pemeriksaan spesifik terhadap penyakit Congestive Heart Failure dan
Hypertensive Heart Disease sesuai panduan klinis terkait, sehingga dapat
mencegah timbulnya komplikasi penyakit .
2.3.2 Sasaran Prolanis Sasaran Seluruh Peserta BPJS Kesehatan penyandang
penyakit kronis
Bentuk Pelaksanaan Aktifitas dalam PROLANIS meliputi aktifitas konsultasi
medis/edukasi, Home Visit, Reminder, aktifitas club dan pemantauan
status kesehatan
2..3.3
Penanggung jawab Penanggungjawab adalah Kantor Cabang BPJS Kesehatan
bagian Manajemen Pelayanan Primer.
2.3.4 Langkah Pelaksanaan Prolanis Langkah-langkah pelaksanaan kegiatan
PROLANIS menurut BPJS Kesehatan (2014) adalah sebagai berikut:
1. Persiapan pelaksanaan PROLANIS
2. Melakukan identifikasi data peserta sasaran berdasarkan:
3. Hasil Skrining Riwayat Kesehatan dan atau
4. Hasil Diagnosa DM dan HT (pada Faskes Tingkat Pertama maupun RS)
5. Menentukan target sasaran
6. Melakukan pemetaan Faskes Dokter Keluarga/ Puskesmas berdasarkan
distribusi target sasaran peserta
7. Menyelenggarakan sosialisasi PROLANIS kepada Faskes Pengelola.
8. Melakukan pemetaan jejaring Faskes Pengelola (Apotek, Laboratorium)
9. Permintaan pernyataan kesediaan jejaring Faskes untuk melayani peserta
PROLANIS.
10. Melakukan sosialisasi PROLANIS kepada peserta (instansi, pertemuan
kelompok pasien kronis di RS, dan lain-lain)
34
11. Penawaran kesediaan terhadap peserta penyandang Diabetes Melitus
Tipe 2 dan Hipertensi untuk bergabung dalam PROLANIS
12. Melakukan verifikasi terhadap kesesuaian data diagnose dengan form
kesediaan yang diberikan oleh calon peserta PROLANIS
13. Mendistribusikan buku pemantauan status kesehatan kepada peserta
terdaftar PROLANIS
14. Melakukan rekapitulasi data peserta terdaftar
15. Melakukan entri data peserta dan pemberian flag peserta PROLANIS
16. Melakukan distribusi data peserta PROLANIS sesuai Faskes Pengelola.
Aktifitas PROLANIS
1. Konsultasi Medis Peserta PROLANIS: jadwal konsultasi disepakati bersama
antara peserta dengan Faskes Pengelola.
2. Edukasi Kelompok Peserta PROLANIS
a. Definisi: Edukasi ClubRisti (ClubPROLANIS) adalah kegiatan untuk
meningkatkan pengetahuan kesehatan dalam upaya memulihkan
penyakit dan mencegah timbulnya kembali penyakit serta meningkatkan
status kesehatan bagi peserta PROLANIS
b. Sasaran: Terbentuknya kelompok peserta (Club) PROLANIS minimal 1
Faskes Pengelola 1 club. Pengelompokan diutamakan berdasarkan
kondisi kesehatan Peserta dan kebutuhan edukasi.
c. Langkah -langkah:
i. Mendorong Faskes Pengelola melakukan identifikasi peserta terdaftar
sesuai tingkat severitas penyakit Congestive Heart Failure dan
Hypertensive Heart Disease yang disandang
ii. Memfasilitasi koordinasi antara Faskes Pengelola dengan Organisasi
Profesi/Dokter Spesialis diwilayahnya
iii. Memfasilitasi penyusunan kepengurusan dalam club Memfasilitasi
penyusunan kriteria Duta PROLANIS yang berasal dari peserta.
iv. Duta PROLANIS bertindak sebagai motivator dalam kelompok PROLANIS
(membantu Faskes Pengelola melakukan proses edukasi bagi anggota
Club)
35
v. Memfasilitasi penyusunan jadwal dan rencana aktifitas clubminimal 3
bulan pertama
vi. Melakukan Monitoring aktifitas edukasi pada masing-masing Faskes
Pengelola:
Menerima laporan aktifitas edukasi dari Faskes Pengelola
Menganalisis data
vii. Menyusun umpan balik kinerja Faskes PROLANIS viii. Membuat laporan
kepada Kantor Divisi Regional/Kantor Pusat dengan tembusan kepada
Organisasi Profesi terkait wilayahnya
BAB III
LAPORAN KASUS
3.1. Identitas
Nama : Ny. Dewi
Umur : 72 tahun
Tempat, Tanggal Lahir : Palembang, 5 Juni 1959
Jenis Kelamin : Perempuan
Pendidikan : SMP
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Status : Nikah
Alamat : Jl. Banten 6 Lrg damai
Agama : Islam
Tanggal kunjungan rumah : 16 Juni 2021
3.2. Subjektif
1. Keluhan Utama
36
Sesak nafas
2. Keluhan Tambahan
Jantung berdebar-debar
37
5. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat penyakit hipertensi : tidak ada
Riwayat penyakit diabetes mellitus : tidak ada
Riwayat penyakit ginjal : tidak ada
6. Riwayat Pengobatan
Pasien terkadang mengonsumsi obat anti nyeri untuk menghilangkan sakit
kepala
7. Riwayat Kebiasaan
Pasien sewaktu muda sering makan-makanan berlemak seperti gorengan
dan makanan tinggi garam. Pasien juga jarang berolahraga.
8. Riwayat Pekerjaan
Pasien adalah Ibu Rumah Tangga yang hanya melakukan aktivitas ringan
9. Riwayat Higiene
Pasien mandi dua kali sehari dengan sumber air PAM dan menggunakan
sabun.
38
Pasien adalah seorang kepala keluarga yang tinggal bersama satu
orang anak. Hubungan pasien dengan anak terjalin baik.
Sebelum sakit pasien masih sering mengikuti kegiatan warga seperti
solat berjamaah di masjid. Kebutuhan sehari hari pasien dan keluarga
berasal dari uang berjualan gas. Pasien juga memiliki pendapatan perbulan
dari sewa kos-kos an. Pendapatan Ny. Dewi perbulannya sekitar ±
Rp.2.000.000.
Kesan:
Sosial : Baik pasien tidak mengalami gangguan social akibat
penyakit yang dideritanya.
Ekonomi : Menengah
39
3.3. Pemeriksaan Fisik
Status Generalis
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Compos Mentis
Tekanan darah : 150/90 mmHg
Nadi : 85 x/menit
Pernafasan : 22 x/menit
Suhu : 36,8C
Berat badan : 60 kg
Tinggi badan : 158 cm
IMT : 24,04 (Status Gizi BB Lebih)
Keadaan Spesifik
Kepala : normocephali, rambut hitam tidak mudah dicabut.
- Mata : edema palpebra (-), konjungtiva anemis (-/-), sklera
ikterik (-),
- Hidung : sekret (-/-), rhinore (-/-), nafas cuping hidung (-/-)
- Telinga : nyeri tekan (-/-), otorea (-/-)
- Mulut : gusi berdarah (-), stomatitis (-), tonsil T1-T1
- Leher : pembesaran KGB (-), pembesaran tiroid (-)
Thoraks
- Paru
- Inspeksi : simetris, retraksi (-/-), sikatrik (-/-)
- Palpasi : stem fremitus kanan dan kiri sama
- Perkusi : sonor
- Auskultasi : vesikuler (+/+) normal, wheezing (-/-), rhonki (-/-)
- Jantung
- Inspeksi : iktus cordis (-)
- Palpasi : iktus cordis tidak teraba (+), thrill (-)
- Perkusi : Atas : ICS II linea parasternalis sinistra
- Kanan : ICS IV linea parasternalis dextra
- Kiri : ICS VI linea axilaris anterior sinistra
40
- Auskultasi : murmur (-), gallop (-)
Abdomen
- Inspeksi : datar, striae (-)
- Palpasi : lemas, hepar tidak teraba, lien tidak teraba, nyeri tekan (-)
- Perkusi : timpani, nyeri ketok (-)
- Auskultasi : bising usus (+) normal
Punggung : Nyeri ketok CVA (-)
Genitalis : tidak dilakukan pemeriksaan
Ekstremitas : akral hangat (+/+), edema (-/-)
41
- Cor membesar
- Corakan bronkovaskular normal
- Tidak tampak infiltrat
- Diafragma kanan dan kiri licin
- Sudut kostofrenikus kanan dan kiri lancip
- Tulang-tulang intak
Kesan : Cardiomegali
3.7. Penatalaksanaan
- Promotif
1. Memberikan informasi kepada pasien gambaran umum tentang
penyakit mengenai Hypertensi Heart Disease penyebabnya,
gejalanya, tatalaksana, serta komplikasinya.
2. Memberikan informasi mengenai pentingnya minum obat teratur
dan tidak terputus juka tekanan darah belum terkendali
3. Memberitahu kepada pasien bahwa penyakit hipertensi bisa
dikontrol dengan perubahan gaya hidup yang lebih sehat
42
- Preventif
Memberikan informasi mengenai upaya pencegahan yang dapat
dilakukan sehingga tidak mencetuskan dan tidak memperparah
kondisinya
1. Mengimplementasikan makan-makanan yang sehat seperti buah-
buahan dan mengkonsumsi banyak minum air putih 8 liter perhari
2. Membatasi masukan natrium. Pengurangan masukan natrium dari
200-80 meq/hari. Contoh makanan yang mengandung natrium tinggi
yaitu makanan yang banyak mengandung garam seperti makanan
yang terlalu asin.
3. Kontrol tekanan darah, asam urat dan kolesterol secara teratur
4. Olahraga rutin 3-4x perminggu minimal 30 menit setiap harinya
- Kuratif
1. Farmakologis
Bisoprolol tab 1 x 5 mg
Candesartan tab 1 x 8 mg
2. Non Farmakologis
Diet rendah garam, lemak
Perbanyak minum air putih 8 gelas perhari
Istirahat cukup
- Rehabilitatif
Kegiatan yang dilakukan meliputi kegiatan rehabilitasi seperti
konseling kesehatan agar orang tersebut lebih memahami tentang
Hypertensi Heart Disease dan memonitoring kesehatan.
3.8. Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad fungtionam : dubia ad malam
43
Quo ad sanationam : dubia ad malam
44
Tabel 2. APGAR Score Ny. Dewi Terhadap Keluarga
Sering/ Kadang- Jarang
APGAR Score Ny. D Terhadap Keluarga
Selalu kadang / Tidak
Saya puas dengan keluarga saya karena
masing-masing anggota keluarga sudah
A
menjalankan kewajiban sesuai dengan
seharusnya.
Saya puas dengan keluarga saya karena
dapat membantu memberikan solusi
P
terhadap permasalahan yang saya
hadapi.
Saya puas dengan kebebasan yang
diberikan keluarga saya untuk
G
mengembangkan kemampuan yang saya
miliki.
Saya puas dengan kehangatan / kasih
A
sayang yang diberikan keluarga saya.
Saya puas dengan waktu yang
R disediakan keluarga untuk menjalin
kebersamaan
Total 10
45
APGAR Score keluarga Ny. Dewi dinilai berdasarkan 2 dari 2 anggota
keluarga.
APGAR Score Keluarga Ny. Dewi berdasarkan 2 dari 2 anggota
keluarga = (10+9)/2 = 9,5
Kesimpulan: Fungsi fisiologis keluarga dapat dinilai baik
Fungsi fisiologis keluarga dikatakan sehat. Waktu untuk berkumpul dan
komunikasi dengan anggota keluarga lainnya cukup. Anggota keluarga lain
selalu siap membantu apabila salah satu dari angota keluarga mengalami
masalah.
2. Fungsi patologis
Tabel 4. SCREEM Keluarga Ny. Dewi
Sumber Patologis
Ny. Dewi sehari hari sering bertegur sapa
Social -
dengan tetangga sekitar rumah.
Kepuasan atau kebanggaan terhadap budaya
baik, hal ini dapat dilihat dari pergaulan sehari-
hari baik dalam keluarga maupun di
Culture lingkungan. Ny. Dewi sering mengikuti -
kegiatan di masyarakat seperti kondangan,
menghadiri hajatan, kegiatan gotong royong,
pengajian.
Dalam keluarga ini pemahaman agama baik.
Religious Ny. Dewi biasa solat magrib berjamaah -
dengan anaknya dirumah.
Status ekonomi keluarga ini tergolong
menengah. Kebutuhan primer dapat tercukupi,
Economic -
walaupun kebutuhan sekunder tidak semua
nya tercukupi.
46
Latar belakang pendidikan tergolong tinggi.
Educational Ny. Dewi lulusan SMA. Keluarga biasanya -
melihat berita/acara lain dari TV.
Bila ada anggota keluarga yang sakit, segera
Medical dibawa ke dokter. Keluarga menggunakan -
Jaminan Kesehatan Nasional
47
Sumber air berasal dari PDAM dan didalam kamar mandi memiliki bak
penampung air.
2. Denah Rumah
48
2. Memberikan psikoterapi suportif dengan memotivasi penderita
untuk pola makan yang sehat serta berkeinginan untuk sembuh.
3. Memberikan informasi agar selalu mengontrol tekanan darah
karena didapati pada hasil pemeriksaan tekanan darah pasien cukup
tinggi.
49
Diagnosis Holistik
Dalam menetapkan masalah serta faktor yang mempengaruhi,
digunakan konsep Mandala of Health. Diagnosis holistic yang ditegakan
pada pasien adalah sebagai berikut:
GAYA HIDUP
FAMILY
LINKUNGAN PSIKO-
SOSIAL-EKONOMI
PERILAKU KESEHATAN Pendapatan menengah,
Jika sakit pasien berobat ke Kehidupan sosial baik
praktek dokter umum,
pasien mempunyai Jaminan
Kesehatan Nasional
LINGKUNGAN FISIK
Denah Rumah Ny. Dewi
yang sesuai dengan
FAKTOR BIOLOGI keluhannya yaitu sesak
Pada pasien penyakit nafas. Letak kamar
yang diderita bukan dari dilantai satu dan
keturnan melainkan dari bersebelahan dengan WC
gaya hidup yang sering dan dapur.
mengkonsumsi tinggi
garam dan berlemak
Komunitas -- Pemukiman
padat
50
Dari gambaran di atas didapatkan pada aspek individu alasan
kedatangan pasien yaitu sesak nafas. Pasien khawatir akan kesulitan aktivitas
dan kemungkinan penyakit yang diderita. Pada aspek klinis didapatkan
diagnosis kerja yang ditegakkan adalah Hypertensi Heart Disease, pada aspek
internal didapatkan masalah gaya hidup berupa pasien memiliki kebiasaan
sering mengonsumsi makanan yang tinggi garam dan berlemak. Pada aspek
eksternal didapatkan masalah dari faktor pekerjaan, yang mana pasien yang
memiliki aktivitas ringan yaitu ibu rumah tangga. Pada aspek fungsional
ditetapkan skala fungsional pasien derajat 2 yaitu pasien mandiri dalam
perawatan diri, mampu mengerjakan pekerjaan sehari hari di dalam dan diluar
rumah, tetapi sudah mengurangi aktivitas bekerja diluar.
51
Resume
Skor Skor
No Masalah Upaya Akhir
Awal Akhir
perbaikan
4 Lingkungan 5 Edukasi untuk Kesan rumah 5
rumah selalu lebih bersih
Rumah kesan mempertahankan dan lebih
cukup bersih dan kebersihan tertata, jendela
rapi, jendela rumah dibuka
rumah sering
dibuka
SKOR TOTAL 12 17
52
BAB IV
ANALISA KASUS
53
eksternal dan internal dan proses pengambilan keputusan berlangsung
secara musyawarah di antara semua anggota keluarga.
5. Fungsi Ekonomi
Ny. Dahlia merupakan seorang Ibu Rumah Tangga yang berjualan gas.
Pemenuhan kebutuhan sehari hari berasal dari uang berjualan gas dan
uang sewa kos kos an miliknya.
6. Fungsi Religius
Semua anggota keluarga menjalankan ibadahnya dengan baik.
7. Fungsi Pendidikan
Pasien lulusan SMA, begitu pula dengan anaknya yang lulusan S1
dinilai fungsi pendidikannya baik.
54
Interpretasi Nilai APGAR dan SCREEM Keluarga
APGAR Score = 9,5
Kesimpulan : Fungsi fisiologis keluarga dapat dinilai baik.
Fungsi fisiologis keluarga dikatakan sehat. Waktu untuk berkumpul dan
komunikasi dengan anggota keluarga lainnya cukup. Selain itu, anggota
keluarga lain siap membantu apabila salah satu dari angota keluarga
mengalami masalah.
Fungsi Patologis (SCREEM) dalam Keluarga :
Keluarga Ny. Dewi tidak memiliki fungsi patologis dalam keluarga.
Keluarga Ny. Dewi dinilai sebagai keluarga yang baik.
55
4.3. Diagnosis Kedokteran Keluarga
a. Diagnosis Kerja
Hypertensi Heart Disease
b. Bentuk Keluarga
Single Parent family
c. Fungsi Keluarga yang Terganggu
Tidak ada
d. Faktor yang Mempengaruhi
Faktor gaya hidup
e. Faktor yang Dipengaruhi
Pelebaran Jantung akibat Hipertensi
56
BAB V
5.1.Simpulan
Diagnosis pada pasien ini adalah Hypertensi Heart Disease faktor
risiko terjadinya adalah kebiasaan pola hidup yang tidak sehat seperti makan
makanan yang tinggi garam dan berlemak. Fungsi Keluarga pada pasien ini
tergolong baik dan semua anggota keluarga saling mendukung. Pada pasien
ini tidak terdapat fungsi patologis sehingga dapat disimpulkan keluarga
pasien ini tergolong sehat.
Untuk penanganan kasus ini bukan hanya dari terapi farmakologis saja
tetapi juga diperlukan edukasi pada pasien dengan menggunakan metode
pendekatan dokter keluarga. Salah satunya dengan menggunakan prinsip
pelayanan yang holistik dan komprehensif, kontinu, mengutamakan
pencegahan, koordinatif dan kolaboratif, penanganan personal bagi setiap
pasien sebagai bagian integral keluarga, mempertimbangkan keluarga,
lingkungan kerja, dan lingkungan tempat tinggal, menjunjung tinggi etika
dan hukum, dapat diaudit dan dipertanggungjawabkan, serta sadar biaya dan
sadar mutu.
5.2.Saran
1) Mahasiswa
Diharapkan mahasiswa dapat lebih memahami dan aktif dalam
menganalisa permasalahan kesehatan baik pada keluarga maupun
lingkungannya, serta lebih sering berhubungan dengan masyarakat
khususnya dalam keluarga untuk menindak lanjuti suatu penyakit yang
dialami oleh keluarga tersebut dengan pendekatan metode dokter
keluarga
57
2) Klinik Dokter Keluarga
Diharapkan dapat lebih sering melakukan pendekatan kepada
masyarakat melalui edukasi dalam upaya promotif dan preventif
kesehatan masyarakat
58
DAFTAR PUSTAKA
Depkes. 2013. Laporan riset kesehatan dasar 2013. Jakarta: Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Hall, G. 2014. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran edisi 9 dalam buku ajar kardiologi
: Jakarta : FKUI.
Mansjoer, Arif, dkk. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid I. Jakarta: Media
Aesculapius FK UI: 2015
Medical. Hypertensive Heart disease. Available from URL : http://
www.medical.go.id
Miftah, Suryadipraja. Prevalensi Congestive Hearth Failure (CHF). Available
from URL: library.usu.ac.id./download/fkm-hiswani12.pdf.
Nafrialdi. 2013. Obat Kardiovaskuler. Dalam : Farmakologi dan Terapi. Edisi 5.
Jakarta : FKUI
Panggabean, Marulam M. 2014. Penyakit Jantung Hipertensi. Dalam : Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : FKUI
Price, Sylvia A. dan Wilson, Lorraine M. Patofisiologi Edisi 6 Volume I. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC: 2014.
Ramachandran, S. Varsan dkk. Impact of High-Normal Blood Pressure on the Risk
of Cardiovascular Disease. 2013. Available fromURL:
http://content.nejm.org/cgi/content/full/345/18/1291.
Rani, Aziz, dkk. Panduan Pelayanan Medik. Jakarta: Pusat Penerbitan FKUI; 2015
Sibuea, W, dkk. 2016. Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta ; Rineka Cipta.
Sudoyo, Aru W, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan
FKUI; 2014 (3)
Prasetyawati, A.K. 2010. Kedokteran Keluarga. Jakarta. Rineka Cipta. World
Stroke Organization. 2016. WHO Global Non-Communicable Diseases
Action Plan 2013-2020. Geneva. World Stroke Organization.
59
LAMPIRAN
60