Anda di halaman 1dari 68

PBB P3L

Bea Meterai
BPHTB

Oleh :
I Wayan Sukada

1|Page
Daftar Isi
PBB P3L..............................................................................................................................................4
A. PBB Sektor Perkebunan..................................................................................................4
1. Objek PBB Perkebunan...................................................................................................5
2. Penilaian Objek PBB Perkebunan.................................................................................6
3. Penilaian Bumi...................................................................................................................7
4. Penghitungan SIT.............................................................................................................7
5. Penilaian Bangunan.......................................................................................................13
6. Penentuan NJOP Per Meter Persegi...........................................................................13
7. Penghitungan NJOP dan PBB Terutang Sektor Perkebunan...............................14
B. PBB Sektor Perhutanan.................................................................................................16
1. Pengenan PBB Perhutanan..........................................................................................16
2. Penilaian Objek PBB Hutan Tanaman........................................................................18
3. Penilaian Objek PBB Hutan Alam...............................................................................20
C. PBB Sektor Pertambangan...........................................................................................24
1. PBB Migas Dan Pabum..................................................................................................24
2. PBB Minerba....................................................................................................................35
D. PBB Sektor Lainnya.......................................................................................................45
1. PBB Usaha Perikanan Tangkap dan Pembudidayaan Ikan..................................46
2. PBB Jaringan Pipa, Kabel Telekomunikasi, dan Kabel Listrik............................49
3. PBB Jalan Tol..................................................................................................................50
BEA METERAI.................................................................................................................................55
A. Dasar Hukum...................................................................................................................55
B. Objek Bea Meterai...........................................................................................................55
C. Dikecualikan Sebagai Objek Bea Meterai.................................................................56
D. Subjek, Saat Terutang, dan Tarif Bea Meterai..........................................................57
1. Subjek Bea Meterai.........................................................................................................57
2. Saat Terutang Bea Meterai...........................................................................................58
3. Tarif Bea Meterai.............................................................................................................58
E. Cara Pelunasan Bea Meterai............................................................................................59
1. Pelunasan Bea Meterai Dengan Menggunakan Benda Meterai...........................59
2. Pelunasan Bea Meterai menggunakan cara lain.....................................................60
3. Pemeterain Kemudian....................................................................................................61
BEA PEROLAHAN HAK ATAS TANAH DAN/ATAU BANGUNAN (BPHTB).......................64
1. Pendahuluan........................................................................................................................64

2|Page
2. Objek BPHTB.......................................................................................................................64
3. Subjek dan Wajib Pajak BPHTB......................................................................................65
4. Dasar Pengenaan dan Saat Terutang BPHTB..............................................................65
5. Tarif dan Penghitungan BPHTB Terutang....................................................................67
6. Ketentuan Khusus..............................................................................................................67

3|Page
PBB P3L
(PERKEBUNAN, PERHUTANAN, PERTAMBANGAN, DAN SEKTOR LAINNYA)

Pendahuluan
Setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah, maka Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Perdesaan dan Perkotaan (PBB
P2) menjadi hak dan tanggung jawab daerah kota atau kabupaten. Dengan demikian
pengelolaan PBB P2 yang sebelumnya dilakukan oleh Pemerintah Pusat, dalam hal ini
Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Kementerian Keuangan, harus diserahkan ke pemerintah
daerah kota/kabupaten. Saat ini PBB yang dikelola oleh DJP meliputi PBB Sektor
Perkebunan, Perhutanan, Pertambangan, dan Sektor Lainnya (PBB P3L).
Dalam kegiatan belajar berikut akan dijelaskan pengelolaan PBB P3L terutama
ditekankan pada proses penetapan PBB terutang. Penetapan PBB terutang terutama dalam
hal penilaian objek PBB P3L dengan penerapan pendekatan penilaian tertentu. Nilai per
meter persegi (Nilai/M2) yang dihasilkan dalam proses penilaian akan dikonversi ke dalam
Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur tentang Klasifikasi Nilai Jual Objek Pajak
(NJOP). Berdasarkan hasil konversi akan ditetapkan besarnya NJOP per meter persegi
(NJOP/M2) sebagai dasar pengenaan PBB P3L. Saat ini Peraturan Menteri Keuangan yang
berlaku adalah Peraturan Menteri Keuangan Nomor : PMK-139/PMK.03/2014 tentang
Klasifikasi dan Besarnya Nilai Jual Objek Pajak Sebagai Dasar Pengenaan PBB.

A. PBB Sektor Perkebunan

PBB Sektor Perkebunan adalah Pajak Bumi dan Bangunan yang dikenakan terhadap
bumi dan/atau bangunan yang berada di dalam kawasan yang dipergunakan sebagai usaha
perkebunan. Usaha perkebunan adalah kegiatan budidaya tanaman perkebunan di atas
lahan yang dikuasai, dengan tujuan ekonomi/komersial dan mendapat izin usaha dari
instansi yang berwenang dalam pemberian izin usaha perkebunan.Usaha perkebunan
meliputi usaha yang dilakukan oleh badan usaha atau perorangan. Usaha perkebunan yang
dilakukan oleh perorangan disebut usaha perkebunan rakyat. Usaha perkebunan terdiri dari
usaha perkebunan inti dan usaha perkebunan plasma. Usaha perkebunan inti adalah kebun
yang dibangun oleh perusahaan perkebunan dengan kelengkapan fasilitas pengolahan dan
dimiliki oleh perusahaan perkebunan tersebut dan dipersiapkan menjadi pelaksana
Perkebunan Inti Rakyat. Usaha perkebunan plasma adalah kebun yang dibangun dan
dikembangkan oleh perusahaan perkebunan (Kebun Inti), serta ditanami dengan tanaman

4|Page
perkebunan. Kebun plasma ini semenjak penanamannya dipelihara dan dikelola kebun inti
hingga berproduksi. Setelah tanaman mulai berproduksi, penguasaan dan pengelolaannya
diserahkan kepada petani rakyat (dikonversikan). Petani menjual hasil kebunnya kepada
kebun inti dengan harga pasar dikurangi cicilan/angsuran pembayaran utang kepada kebun
inti berupa modal yang dikeluarkan kebun inti membangun kebun plasma tersebut.

1. Objek PBB Perkebunan

Pengenaan PBB Sektor Perkebunan diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak
Nomor PER-31/PJ/2014 tentang Tatacara Pengenaan PBB Sektor Perkebunan. Objek Pajak
PBB Sektor Perkebunan meliputi bumi dan/atau bangunan yang berada dalam kawasan
yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan. Kegiatan usaha perkebunan meliputi :

a. usaha budidaya tanaman perkebunan yang diberikan Izin Usaha Perkebunan untuk
Budidaya (IUP-B);
b. usaha budidaya tanaman perkebunan yang terintegrasi dengan usaha pengolahan hasil
perkebunan yang diberikan Izin Usaha Perkebunan.

Kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, meliputi :

a. wilayah yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan yang mempunyai hak guna
usaha atau yang sedang dalam proses mendapatkan hak guna usaha
b. wilayah di luar hak guna usaha atau yang sedang dalam proses mendapatkan hak guna
usaha yang merupakan satu kesatuan yang digunakan untuk kegiatan usaha
perkebunan

Bumi sebagai objek PBB Sektor Perkebunan meliputi:

a. Areal Produktif
Areal produktif adalah areal yang berada di dalam kawasan yang digunakan untuk
kegiatan usaha perkebunan yang telah ditanami tanaman perkebunan.
b. Areal Belum Produktif
Areal belum produktif adalah areal yang berada di dalam kawasan yang digunakan
untuk kegiatan usaha perkebunan yang belum ditanami tanaman perkebunan meliputi
areal yang belum diolah, areal yang sudah diolah tetapi belum ditanami, dan areal
pembibitan.
c. Areal Tidak Produktif
Areal tidak produktif adalah areal yang berada di dalam kawasan yang digunakan untuk
kegiatan usaha perkebunan yang tidak dapat diusahakan untuk kegiatan usaha
perkebunan.

5|Page
d. Areal Pengaman
Areal pengaman adalah areal yang berada di dalam kawasan yang digunakan untuk
kegiatan usaha perkebunan yang dimanfaatkan sebagai pendukung dan pengaman
kegiatan usaha perkebunan.
e. Areal Emplasemen
Areal emplasemen adalah areal yang berada di dalam kawasan yang digunakan untuk
kegiatan usaha perkebunan yang di atasnya dimanfaatkan untuk bangunan dan/atau
pekarangan serta fasilitas penunjangnya.
f. Areal lainnya
Areal lainnya adalah areal yang berada di dalam kawasan yang digunakan untuk
kegiatan usaha perkebunan yang tidak dikenakan PBB Perkebunan sebagaimana diatur
dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan
Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994
(Undang-Undang PBB).

Bangunan sebagai objek PBB Sektor Perkebunan adalah konstruksi teknik yang
ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan. Bangunan objek PBB
Perkebunan terdiri dari bangunan umum dan bangunan khusus. Bangunan umum antara
lain mes karyawan, perkantoran, gudang, pabrik, bengkel, pompa bensin, tangka SPBU dan
lainnya. Bangunan khusus adalah bangunan dengan konstruksi khusus antara lain oil
processing plant, power plant, water treatment plant, power generator, tangki dan lainnya.

2. Penilaian Objek PBB Perkebunan

Penilaian Objek PBB Perkebunan dilakukan untuk menentukan NJOP sebagai dasar
pengenaan PBB. Bumi dan bangunan sebagai objek PBB perkebunan termasuk golongan
properti berwujud. Penilaian bumi dilakukan dengan pendekatan data pasar dan penilaian
bangunan dilakukan dengan pendekatan biaya. Khusus untuk areal produktif, besarnya nilai
bumi harus ditambahkan dengan besarnya Standar Investasi Tanaman (SIT). Hasil penilaian
objek PBB Perkebunan berupa besaran nilai per meter persegi (Nilai/M2) bumi dan
bangunan. Selanjutnya Nilai/M2 bumi dan bangunan dikonversi ke dalam Peraturan Menteri
Keuangan Nomor : PMK-139/PMK.03/2014 tentang Klasifikasi dan Penetapan Nilai Jual
Objek Pajak Sebagai Dasar Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan, untuk menetapkan
NJOP per meter persegi.

6|Page
3. Penilaian Bumi

Penilaian bumi dilakukan untuk mendapatkan nilai per meter persegi bumi. Penilaian
dilakukan atas masing-masing areal bumi. Penilaian bumi dilakukan dengan pendekatan
data pasar. Penilaian dengan pendekatan data pasar didefinisikan sebagai pendekatan
penilaian untuk mengestimasi nilai berdasarkan perbandingan dan penyesuaian terhadap
data pembanding yang sejenis dan telah diketahui harga pasarnya. Penilaian untuk
menentukan nilai bumi per meter persegi masing-masing areal tersebut dilakukan dengan
ketentuan sebagai berikut :
a. Areal Produktif, ditentukan melalui pendekatan data pasar atas tanah yang ada
disekitarnya ditambah dengan Standar Investasi Tanaman (SIT). Besarnya SIT untuk
masing-masing jenis tanaman serta tahun tanam ditetapkan setiap tahun oleh Kepala
Kantor Wilayah DJP setempat
b. Areal Tidak Produktif, ditentukan melalui penyesuaian terhadap nilai bumi per meter
persegi untuk areal yang belum diolah pada Areal Belum Produktif
c. Areal yang sudah diolah tetapi belum ditanami dan Areal Pembibitan pada Areal Belum
Produktif, ditentukan melalui penyesuaian terhadap nilai bumi per meter persegi untuk
areal yang belum diolah pada Areal Belum Produktif
d. Areal Pengaman, ditentukan melalui penyesuaian terhadap nilai bumi per meter persegi
Areal Produktif
e. Areal Emplasemen dan areal yang belum diolah pada Areal Belum Produktif, ditentukan
melalui perbandingan harga tanah sejenis yang ada disekitarnya.
Nilai per meter persegi bumi diperoleh dari hasil bagi antara jumlah seluruh nilai bumi
dengan jumlah seluruh luas bumi yang dikenakan PBB. Jumlah seluruh nilai bumi adalah
hasil penjumlahan nilai bumi masing-masing areal. Jumlah seluruh luas bumi merupakan
hasil penjumlahan luas masing-masing areal yang dikenakan PBB.

4. Penghitungan SIT

Standar Investasi Tanaman (SIT) sebagaimana dijelaskan dalam pasal 1 angka 11


Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor : PER-31/PJ/2014 adalah jumlah biaya tenaga
kerja, bahan, dan alat yang diinvestasikan untuk pembukaan lahan, penanaman, dan
pemeliharaan tanaman. SIT ditetapkan meliputi SIT tanaman berumur pendek dan SIT
tanaman berumur panjang. Tanaman berumur pendek adalah tanaman yang berumur
sampai dengan satu tahun dan pemungutan hasilnya dilakukan satu kali dan dibongkar
sekali panen, seperti tebu, jarak, tanaman obat-obatan. Tanaman berumur panjang adalah
tanaman yang berumur lebih dari satu tahun dan pemungutan hasilnya dilakukan lebih dari

7|Page
satu kali dan tidak dibongkar sekali panen, seperti kelapa sawit, karet, cengkeh, coklat dan
lainnya. Besarnya SIT ditetapkan, untuk masing-masing jenis tanaman, setiap tahun dengan
Surat Keputusan Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak.
Penghitungan besarnya SIT dipengaruhi oleh empat faktor yaitu Satuan Biaya
Pembangunan Kebun (SBPK), Fase Tanaman, Satuan Biaya Tanaman (SBT), dan Index
Biaya Tanaman (IBT). SBPK adalah satuan biaya tahunan per kegiatan yang meliputi
kegiatan pembukaan lahan dan penanaman yang selanjutnya disebut P0, pemeliharaan
tahun pertama yang selanjutnya disebut P1, dan seterusnya sampai pemeliharaan tahun
terakhir sebelum tanaman tersebut menghasilkan (Pn) untuk setiap hektar perluasan kebun
di suatu wilayah, yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Perkebunan. Fase Tanaman
meliputi fase tanaman belum menghasilkan (TBM) dan fase tanaman menghasilkan (TM).
TBM adalah tanaman pada fase belum menghasilkan yang dimulai dari umur tanaman 1
(satu) tahun (TBM1) dan seterusnya sampai dengan tahun terakhir tanaman tersebut belum
menghasilkan (TBMn), yang rentang fasenya tergantung masing-masing jenis tanaman. TM
adalah tanaman pada fase menghasilkan yang dimulai dari tahun pertama tanaman
menghasilkan (TM1) sampai dengan tahun terakhir tanaman tersebut menghasilkan (TMn),
yang rentang fasenya tergantung masing-masing jenis tanaman. SBT adalah satuan biaya
yang diinvestasikan tiap tahun berdasarkan umur dan jenis tanaman. IBT adalah angka
yang digunakan sebagai dasar penentuan SBT untuk fase TM. Mengingat tanaman berumur
pendek berumur kurang dari satu tahun, maka SIT ditentukan sebesar biaya pengolahan
tanah, penanaman, dan pemeliharaan untuk tanaman tersebut.
Langkah-langkah penghitungan SIT untuk tanaman berumur panjang:
1. Kumpulkan data SBPK
Berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Perkebunan Nomor :191/Kpts/RC.110/7/2014
tentang Satuan Biaya Maksimum Per Hektar Pembangunan Kebun Peserta Program
Revitalisasi Perkebunan Tahun 2014, besarnya Satuan Biaya Maksimum Per Hektar
untuk masing-masing jenis tanaman dikelompokkan menjadi 7 (tujuh) kelompok
berdasarkan wilayah, sebagai berikut :
a. Wilayah I, meliputi Propinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur,
Banten, dan Bali
b. Wilayah II, meliputi Propinsi Sumatera Selatan, Jambi, Bengkulu, Lampung,
Sumbar, dan Bangka Belitung
c. Wilayah III, meliputi Propinsi Aceh, Sumatera Utara, Riau, Kalimantan Barat,
Kalimantan Selatan, dan Kepulauan Riau
d. Wilayah IV, meliputi Propinsi Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur

8|Page
e. Wilayah V, meliputi Propinsi Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan,
Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Sulawesi Barat, Kalimantan Tengah, dan
Kalimantan Timur
f. Wilayah VI, meliputi propinsi Maluku dan Maluku Utara
g. Wilayah VII, meliputi Propinsi Papua dan Papua Barat.
Berikut contoh besarnya SBPK untuk masing-masing jenis tanaman berumur panjang
per wilayah yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Perkebunan, sebagaimana tabel
berikut :
SBPK Tahun 2014
Rp.000/Hektar
No Jenis Wilayah
Tanaman I II III IV V VI VII
1 Kelapa Sawit (Perluasan)
P-0 23.581 24.342 24.630 24.307 24.872 25.697 27.331
P-1 10.557 11.276 11.534 11.161 12.159 12.422 13855
P-2 9.446 10.247 10.517 10.079 10.864 11.503 13.111
P-3 10.317 11.197 11.475 10.995 11.842 12.542 14.260
2 Kelapa Sawit (Perluasan)
P-0 12.047 12.688 13.240 13.006 13.296 14.153 15.633
P-1 10.908 11.773 12.021 11.514 12.438 13.067 14.647
P-2 11.702 12.611 12.875 12.335 13.229 13.976 15.693
P-3 12.127 13.082 13.354 12.805 13.727 14.502 16.295
3 Karet (Perluasan)
P-0 25.105 25.850 25.250 24.973 25.647 26.329 28.854
P-1 5.740 6.402 6.665 6.450 6.877 7.341 8.218
P-2 4.613 5.254 5.612 5.611 5.868 6.199 7.074
P-3 5.026 5.708 6.078 6.035 6.332 6.703 7.657
P-4 4.580 5.298 5.692 5.720 5.962 6.296 7.255
P-5 7.171 7.171 7.591 7.588 7.857 8.217 9.216
4 Karet (Peremajaan)
P-0 23.215 23.960 23.360 23.083 23.757 24.439 26.964
P-1 5.515 6.158 6.402 6.169 6.577 7.022 7.723
P-2 4.309 4.926 5.259 5.232 5.464 5.769 6.408
P-3 4.714 5.370 5.715 5.645 5.916 6.262 6.972
P-4 4.233 4.923 5.288 5.287 5.500 5.805 6.493
P-5 6.080 6.796 7.186 7.155 7.395 7.726 8.455
3 Kakao (Perluasan)
P-0 15.403 16.262 19.319 19.526 20.288 21.362 26.161
P-1 5.658 6.361 6.519 6.259 6.845 7.068 7.706
P-2 4.923 5.656 5.844 5.690 6.148 6.397 7.053
P-3 9.124 10.244 10.627 10.576 11.286 12.067 13.140
Sumber : Lampiran SK Direktur Jenderal Perkebunan No-191/Kpts/RC.110/7/2014

2. Hitung SBT berdasarkan SBPK


SBT terdiri dari SBT pada fase TBM dan fase TM. Penghitungan SBT masing masing
fase, sebagai mana dalam Lampiran Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-
149/PJ/2010, dilakukan sebagai berikut :
a. SBT fase TBM, dihitung dengan ketentuan sebagai berikut:
1) SBT pada fase TBM1 adalah sebesar 71% dari SBPK untuk kegiatan P0 dan
kegiatan P1.

9|Page
2) SBT pada fase TBM2 adalah sebesar 71% dari SBPK untuk kegiatan P2 dan
seterusnya sampai dengan TBMn.
Keterangan :
Angka 71% merupakan asumsi besaran biaya langsung (biaya tenaga kerja,
bahan, dan alat) yang dapat diperhitungkan dalam penghitungan SIT dan
sisanya 29% merupakan biaya tak langsung (biaya infrastruktur, sertifikat
lahan, management fee, dan administrasi) yang tidak dapat diperhitungkan.
3) SBPK sebagaimana dimaksud pada angka 1) dan angka 2) adalah SBPK
untuk tahun sebelum tahun pajak berjalan.
4) Dalam hal SBPK sebelum tahun pajak berjalan tidak diterbitkan, maka SBT
pada fase TBM tahun pajak berjalan ditentukan berdasarkan penyesuaian SBT
pada fase TBM tahun pajak sebelumnya dengan tingkat diskonto 10%.
Penghitungan SBT dilakukan dengan formula sebagai berikut :

SBTt = SBTt-1 x (1+i)n


Dimana :
SBTt : SBT tahun pajak berjalan
SBTt-1 : SBT tahun pajak sebelumnya
i : tingkat diskonto (10%)
n : jumlah tahun
Formula tersebut hanya dipakai dalam menghitung SBT pada fase TBM,
sedangkan SBT pada fase TM dihitung berdasarkan IBT.
Contoh :
Sebagaimana tabel 5.1 di atas, apabila kita menghitung besarnya SBT fase
TBM tahun pajak 2015 untuk Peremajaan Kelapa Sawit di Propinsi Sumatra
Utara (wilayah III), maka penghitungannya dapat dilakukan sebagai berikut :
SBT fase TBM1 = 71% x (13.240.000 + 12.021.000) = 17.935.310
SBT fase TBM2 = 71% x 12.875.000 = 9.141.250
SBT fase TBM3 = 71% x 13.354.000 = 9.481.340
Namun apabila berdasarkan tabel 5.1 tersebut kita akan menghitung SBT fase
TBM tahun pajak 2019 untuk Peremajaan Kelapa Sawit di Propinsi Sumatra
Utara (wilayah III), dilakukan sebagai berikut :
SBT fase TBM1 = (71% x (13.240.000 + 12.021.000)) x (1+0,10)6 = 31.773.496
SBT fase TBM2 = (71% x 12.875.000) x (1+0,10)6 = 16.194.282
SBT fase TBM3 = (71% x 13.354.000) x (1+0,10)6 = 16.796.772

10 | P a g e
b. SBT fase TM
SBT pada fase TM dihitung sebesar SBT pada fase TBM terakhir sebelum
menghasilkan (TBMn) dikalikan dengan IBT pada fase TM tersebut.
3. IBT adalah angka yang digunakan sebagai dasar penentuan SBT untuk fase TM.
Besarnya IBT ditetapkan dengan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak. Sebagai mana
lampiran Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-149/PJ/2010, besarnya IBT
ditetapkan sebagai mana tabel berikut :

11 | P a g e
Besarnya Index Biaya Tanaman (IBT)
Untuk Penentuan Satuan Biaya Tanaman (SBT)
Tanaman Berumur Panjang
Fase IBT
TM1 0,9514
TM2 0,9052
TM3 0,8613
TM4 0,8195
TM5 0,7797
TM6 0,7418
TM7 0,7058
TM8 0,6715
TM9 0,6389
TM10 0,6079
TM11 0,5784
TM12 0,5503
TM13 0,5235
TM14 0,4981
TM15 0,4739
TM16 0,4509
TM17 0,4290
TM18 0,4082
TM19 0,3884
TM20 0,3695

TM40 0,1365
Sumber : Lampiran IIB SE-149/PJ/2010

4. Hitung besarnya SIT


Penghitungan besarnya SIT dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. SIT fase TBM1 adalah sebesar SBT fase P0 + P1
b. SIT fase TBM2 adalah sebesar SBT fase TBM1 + TBM2
c. SIT fase TBM3 adalah sebesar SBT fase TBM2 + TBM3
d. SIT fase TBMn adalah sebesar SBT fase TBMn-1 + TBMn
e. SIT fase TM1 adalah sebesar SIT fase TBMn + TM1
f. SIT fase TM2 adalah sebesar SIT fase TM1 + TM2
g. SIT fase TMn adalah sebesar SIT fase TMn-1 + TMn
Untuk lebih jelasnya, berikut disajikan contoh penghitungan besarnya SIT per meter
persegi untuk Perluasan Kebun Sawit di Propinsi Sumatera Utara (wilayah III) untuk
penentuan NJOP Tahun 2019, berdasarkan SBPK tahun 2014, sebagai mana tabel berikut :

12 | P a g e
Penghitungan SIT per M2
Perluasan Kebun Sawit Di Propinsi Sumatera Utara
Tahun Pajak 2019
Tahun 2019
SBPK 2014
Fase Umur IBT SBT (Rp/Ha) SIT (Rp)
(Rp/Ha)
TBM TM Per Ha Per M2
1 2 3 4 5 6 (71% x (5))(1,1)6 7 8 9
P0 0 13.240.000 16.653.382 16.653.382 1.665
TBM1
P1 1 12.021.000 15.120.114 31.773.496 3.177
TBM2 P2 2 12.875.000 16.194.282 47.967.778 4.797
TBM3 P3 3 13.354.000 16.796.772 64.764.550 6.476
TM1 4 0,9514 15.980.449 80.744.999 8.074
TM2 5 0,9052 15.204.438 79.968.988 7.997
TM3 6 0,8613 14.467.060 79.231.610 7.923
TM4 7 0,8195 13.764.955 78.529.505 7.853
TM5 8 0,7797 13.096.443 77.860.993 7.786
TM6 9 0,7418 12.459.845 77.224.395 7.722
TM7 10 0,7058 11.855.162 76.619.712 7.662
TM8 11 0,6715 11.279.032 76.043.582 7.604
TM9 12 0,6389 10.731.458 75.496.008 7.550
TM10 13 0,6079 10.210.758 74.975.308 7.498

5. Penilaian Bangunan

Penilaian bangunan dilakukan untuk mendapatkan nilai per meter persegi bangunan.
Penilaian bangunan objek PBB Perkebunan dilakukan dengan pendekatan biaya. Penilaian
dengan pendekatan biaya didefinisikan sebagai suatu pendekatan penilaian untuk
mengestimasi nilai dari suatu properti dengan menghitung seluruh biaya yang dikeluarkan
untuk membangun atau mengganti baru suatu bangunan (biaya langsung maupun biaya tak
langsung) yang selanjutnya dikurangi dengan penyusutan.
Penilaian bangunan dilakukan terhadap masing-masing unit bangunan. Nilai per meter
persegi bangunan diperoleh dari jumlah nilai seluruh bangunan dibagi dengan jumlah luas
seluruh bangunan. Jumlah nilai seluruh bangunan diperoleh dari penjumlahan nilai masing-
masing unit bangunan. Jumlah luas seluruh bangunan diperoleh dari hasil penjumlahan luas
masing-masing unit bangunan.

6. Penentuan NJOP Per Meter Persegi

Setelah diperoleh nilai per meter persegi bumi dan bangunan, selanjutnya ditentukan
besarnya NJOP per meter persegi bumi dan bangunan. NJOP per meter persegi bumi
diperoleh dari hasil konversi nilai bumi per meter persegi ke dalam Klasifikasi NJOP sebagai
mana diatur dalam PMK-139/PMK.03/2014. NJOP per meter persegi bangunan diperoleh
dari hasil konversi nilai bangunan per meter persegi kedalam Klasifikasi NJOP sebagai
mana diatur dalam PMK-139/PMK.03/2014.

13 | P a g e
Penentuan NJOP Bumi
NJOP Bumi merupakan hasil perkalian antara luas bumi dengan NJOP Bumi per meter
persegi. Luas bumi merupakan seluruh jumlah luas bumi yang dikenakan PBB.

Penentuan NJOP Bangunan


NJOP Bangunan merupakan hasil perkalian antara seluruh luas bangunan dengan NJOP
per meter persegi bangunan.

7. Penghitungan NJOP dan PBB Terutang Sektor Perkebunan

NJOP sebagai dasar pengenaan PBB Perkebunan merupakan hasil penjumlahan dari NJOP
Bumi dengan NJOP Bangunan. Penghitungan NJOP dan PBB terutang untuk PBB Sektor
Perkebunan dapat dilihat pada tabel berikut :

14 | P a g e
Penghitungan NJOP dan PBB Terutang Untuk PBB Sektor Perkebunan
OBJEK PAJAK
Luas Nilai SIT
Bumi
(M2) (Rp/M2) (Rp/M2) Jml Nilai (Rp/M2)
Areal Produktif
1. Umur Tanaman 1Th 250.000 70.000 3.177 18.294.250.000
2. Umur Tanaman 3 Th 250.000 70.000 6.476 19.119.000.000
3. Umur Tanaman 5 Th 250.000 70.000 7.997 19.499.250.000
Areal Belum Produktif
1. Areal Belum diolah 15.000 5.000 75.000.000
2. Sudah diolah tapi belum ditanami 20.000 45.000 900.000.000
Areal Pembibitan 10.000 45.000 450.000.000
Areal Tidak Produktif 15.000 2.000 30.000.000
Areal Pengaman 10.000 2.000 20.000.000
Areal Emplasemen 50.000 70.000 3.500.000.000
Jumlah 870.000 61.887.500.000
Nilai Per Meter Persegi 71.135
Kasil Konversi (PMK-139) 70.600
NJOP Bumi 61.422.000.000

Bangunan
Bangunan Umum
Pabrik 5.000 2.500.000 12.500.000.000
Gudang 10.000 1.500.000 15.000.000.000
Kantor 2.000 3.100.000 6.200.000.000
Mes Pegawai 1.000 2.900.000 2.900.000.000
Gedung Olahraga 500 2.000.000 1.000.000.000
Gedung Kesehatan 200 2.500.000 500.000.000

Bangunan Khusus
Genset 100 700.000 70.000.000
Tangki 100 750.000 75.000.000
Landasan Pesawat 500 350.000 175.000.000
Dermaga/Pelabuhan 3.500 5.500.000 19.250.000.000
Jumlah 22.900 57.670.000.000
Nilai per meter persegi 2.518.341
Hasil Konversi (PMK-139) 2.470.000
NJOP Bangunan 56.563.000.000

NJOP Bumi + Bangunan 117.985.000.000


NJOPTKP 12.000.000
NJOP dasar pengenaan 117.973.000.000
NJKP 40%
NJOP dasar penghitungan 47.189.200.000
PBB terutang (tarif 0,5%) 235.946.000

15 | P a g e
B. PBB Sektor Perhutanan

Pajak Bumi dan Bangunan sektor perhutanan, yang selanjutnya disebut PBB
Perhutanan adalah Pajak Bumi dan Bangunan yang dikenakan atas bumi dan/atau
bangunan yang berada di dalam kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha
perhutanan. Usaha perhutanan adalah kegiatan usaha yang bergerak di bidang
pengambilan hasil hutan.

1. Pengenan PBB Perhutanan

Pengenaan PBB Perhutanan diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor
Per-42/PJ/2015 tentang Tatacara Pengenaan PBB Sektor Perhutanan. Pengenaan PBB
Perhutanan dibagi menjadi dua yaitu PBB Hutan Tanaman dan PBB Hutan Alam. Hutan
tanaman adalah Hutan Produksi yang dibangun dan dimanfaatkan melalui serangkaian
kegiatan berupa penyiapan lahan, pembenihan atau pembibitan, penanaman, pemeliharaan,
pemanenan atau penebangan, dan pemasaran hasil hutan. Hutan alam adalah Hutan
Produksi yang didalamnya telah bertumbuhan pohon-pohon alami dan dimanfaatkan melalui
serangkaian kegiatan berupa pemanenan atau penebangan, pengayaan, pemeliharaan, dan
pemasaran hasil hutan.
Perbedaan mendasar antara hutan tanaman dengan hutan alam adalah pada proses
bisnisnya. Hutan tanaman dilakukan dengan menanam jenis tanaman hutan tertentu.
Sedangkan hutan alam dilakukan dengan menebang atau manfaatkan hasil hutan tanpa
melakukan penanaman terlebih dahulu. Proses pengenaan PBB perhutanan atas hutan
tanaman dilakukan sama dengan pengenaan PBB Perkebunan.

a. Objek PBB Perhutanan

Objek Pajak atas PBB Perhutanan meliputi bumi dan/atau bangunan yang berada di
dalam kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perhutanan. Kegiatan usaha
perhutanan meliputi kegiatan usaha perhutanan yang diberikan :

a. Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu termasuk IUPHHK-RE


b. Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu
c. Izin Pemungutan Hasil Hutan Kayu
d. Izin Pemungutan Hasil Hutan Bukan Kayu
e. Hak Pengusahaan Hutan
f. Hak Pemungutan Hasil Hutan
g. Izin lainnya yang sah antara lain berupa penugasan khusus terkait dengan usaha
pemanfaatan dan pemungutan hasil hutan pada hutan produksi.

16 | P a g e
Bumi sebagai objek PBB Perhutanan meliputi areal yang dikenakan PBB Perhutanan dan
areal yang tidak dikenakan PBB.

a. Areal yang dikenakan PBB Perhutanan, berupa:


1) Areal Produktif adalah areal yang telah ditanami pada Hutan Tanaman, areal blok
tebangan pada Hutan Alam dengan izin pemanfaatan/pemungutan hasil hutan kayu,
dan areal blok pemanenan pada Hutan Alam dengan izin pemanfaatan/pemungutan
hasil hutan bukan kayu, meliputi:
a) areal yang ditanami pada Hutan Tanaman;
b) areal blok tebangan pada Hutan Alam dengan izin pemanfaatan/pemungutan
hasil hutan kayu; dan
c) areal blok pemanenan pada Hutan Alam dengan izin pemanfaatan/pemungutan
hasil hutan bukan kayu.
2) Areal Belum Produktif adalah areal yang belum ditanami berupa areal yang belum
diolah dan/atau areal yang sudah diolah pada Hutan Tanaman, areal yang dapat
ditebang selain blok tebangan pada Hutan Alam dengan izin
pemanfaatan/pemungutan hasil hutan kayu, dan areal yang dapat dipanen selain
blok pemanenan pada Hutan Alam dengan izin pemanfaatan/pemungutan hasil
hutan bukan kayu, meliputi:
a) areal yang belum ditanami baik areal yang belum diolah dan/atau sudah diolah
pada Hutan Tanaman;
b) areal yang dapat ditebang selain blok tebangan pada Hutan Alam dengan izin
pemanfaatan/pemungutan hasil hutan kayu; dan
c) areal yang dapat dipanen selain blok pemanenan pada Hutan Alam dengan izin
pemanfaatan/pemungutan hasil hutan bukan kayu.
3) Areal Tidak Produktif adalah areal yang berada di dalam kawasan yang digunakan
untuk kegiatan usaha perhutanan yang tidak dapat diusahakan untuk kegiatan
usaha perhutanan, antara lain berupa sungai, zona penyangga (buffer zone),
kawasan perlindungan setempat, areal hutan IUPHHK-RE yang belum tercapai
keseimbangan ekosistem dan belum ada pemanfaatan hasil hutan bukan kayu,
areal hutan yang ditetapkan sebagai hutan bernilai konservasi tinggi (High
Conservation Value Forest), serta areal yang diduduki oleh pihak ketiga secara tidak
sah.
4) Areal Pengaman adalah areal yang berada di dalam kawasan yang digunakan untuk
kegiatan usaha perhutanan yang dimanfaatkan sebagai pendukung dan pengaman
kegiatan usaha perhutanan, antara lain berupa log ponds, log yards, tempat
pengumpulan hasil panen, jalan, kanal, parit dan tanggul.
5) Areal Emplasemen adalah areal yang di atasnya dimanfaatkan untuk bangunan
dan/atau pekarangan serta fasilitas penunjangnya.

17 | P a g e
b. Areal yang tidak dikenakan PBB Perhutanan, berupa Areal Lainnya, yaitu areal yang
berada di dalam kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perhutanan yang tidak
dikenakan PBB sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang PBB.
Bangunan sebagai objek PBB Sektor Perhutanan adalah konstruksi teknik yang
ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan wilayah perhutanan.
Bangunan sebagai objek PBB Perkebunan terdiri dari bangunan umum dan bangunan
khusus. Bangunan umum antara lain mes karyawan, perkantoran, gudang, pabrik, bengkel,
pompa bensin, tangki SPBU dan lainnya. Bangunan khusus adalah bangunan dengan
konstruksi khusus antara lain oil processing plant, power plant, water treatment plant, power
generator, landasan peswat, dermaga/pelabuhan, dan lainnya.

b. Penilaian Objek PBB Perhutanan

Penilaian PBB Perhutanan dilakukan untuk menentukan NJOP sebagai dasar


pengenaan PBB. Bumi dan bangunan sebagai objek PBB Perhutanan termasuk golongan
properti berwujud. Penilaian properti atas objek PBB Perhutanan dilakukan dengan
pendekatan data pasar untuk menilai bumi, pendekatan biaya untuk menilai bangunan, dan
pendekatan pendapatan untuk menilai areal produktif Hutan Alam. Untuk areal produktif
pada hutan tanaman selain dilakukan penilaian dengan pendekatan data pasar juga
ditambahkan dengan Standar Investasi Tanaman (SIT). Hasil penilaian diperoleh nilai per
meter persegi objek PBB Perhutanan. Selanjutnya nilai per meter persegi bumi dan
bangunan dikonversi ke dalam PMK-139/PMK.03/2014 untuk menetapkan NJOP per meter
persegi bumi dan bangunan.

2. Penilaian Objek PBB Hutan Tanaman

a. Penilaian Bumi

Penilaian Bumi dilakukan untuk masing-masing areal yang ada dalam kawasan perhutanan.
Secara umum penilaian masing-masing bumi areal perhutanan dilakukan dengan
pendekatan data pasar. Data pasar dapat diperoleh dari lokasi sekitar kawasan perhutanan
yang berada di luar areal perhutanan. Namun karena sulitnya mendapatkan data harga
pasar maka dalam penilaian bumi dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut :
a. Areal produktif ditentukan berdasarkan pendekatan data pasar ditambah dengan SIT.
Penghitungan SIT dilakukan seperti dalam penentuan SIT Perkebunan sesuai dengan
jenis dan umur tanaman hutan.
b. Areal Belum Produktif ditentukan berdasarkan pendekatan data pasar.
c. Areal Emplasemen ditentukan berdasarkan pendekatan data pasar.

18 | P a g e
d. Areal Pengaman ditentukan melalui penyesuaian terhadap nilai bumi per meter persegi
Areal Belum Produktif.
e. Areal Tidak Produktif ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.
Nilai per meter persegi bumi diperoleh dari hasil pembagian antara jumlah seluruh nilai
bumi dengan jumlah seluruh luas bumi. Jumlah seluruh nilai bumi adalah hasil penjumlahan
nilai bumi masing-masing areal. Jumlah seluruh luas bumi merupakan hasil penjumlahan
luas masing-masing areal.

b. Penilaian Bangunan

Penilaian bangunan dilakukan untuk mendapatkan nilai per meter persegi bangunan.
Penilaian bangunan objek PBB Hutan Tanaman dilakukan dengan pendekatan biaya.
Penilaian dengan pendekatan biaya didefinisikan sebagai suatu pendekatan penilaian untuk
mengestimasi nilai dari suatu properti dengan menghitung seluruh biaya yang dikeluarkan
untuk membangun atau mengganti baru suatu bangunan (biaya langsung maupun biaya tak
langsung) yang selanjutnya dikurangi dengan penyusutan.
Penilaian bangunan dilakukan terhadap masing-masing unit bangunan. Nilai per meter
persegi bangunan diperoleh dari jumlah nilai seluruh bangunan dibagi dengan jumlah luas
seluruh bangunan. Jumlah nilai seluruh bangunan diperoleh dari penjumlahan nilai masing-
masing unit bangunan. Jumlah luas seluruh bangunan diperoleh dari hasil penjumlah luas
masing-masing unit bangunan.

c. Penentuan NJOP PBB Hutan Tanaman

Setelah diperoleh nilai per meter persegi bumi dan bangunan, selanjutnya ditentukan
besarnya NJOP per meter persegi bumi dan bangunan. NJOP per meter persegi bumi
diperoleh dari hasil konversi nilai bumi per meter persegi ke dalam Klasifikasi NJOP sebagai
mana diatur dalam PMK-139/PMK.03/2014. NJOP per meter persegi bangunan diperoleh
dari hasil konversi nilai bangunan per meter persegi kedalam Klasifikasi NJOP sebagai
mana diatur dalam PMK-139/PMK.03/2014.

Penentuan NJOP Bumi


NJOP Bumi merupakan hasil perkalian antara luas bumi dengan NJOP bumi per meter
persegi. Luas bumi merupakan jumlah seluruh luas bumi yang dikenakan PBB.

19 | P a g e
Penentuan NJOP Bangunan
NJOP bangunan merupakan hasil perkalian antara luas seluruh unit bangunan dengan
NJOP per meter persegi bangunan.

Penghitungan NJOP PBB Hutan Tanaman


NJOP sebagai dasar pengenaan PBB Hutan Tanaman merupakan hasil penjumlahan dari
NJOP bumi dengan NJOP bangunan.

Contoh penghitungan NJOP dan Besarnya PBB terutang Hutan Tanaman


Lihat contoh penghitungan NJOP dan Besarnya PBB terutang Perkebunan (berbeda pada
jenis tamanan saja)

3. Penilaian Objek PBB Hutan Alam

a. Penilaian Bumi

Penilaian Bumi dilakukan untuk masing-masing areal yang ada dalam kawasan
perhutanan. Secara umum penilaian masing-masing bumi areal hutan alam dilakukan
dengan pendekatan data pasar, kecuali untuk areal produktif dilakukan dengan pendekatan
pendapatan. Data pasar dapat diperoleh dari lokasi sekitar kawasan perhutanan yang
berada diluar areal perhutanan. Namun karena sulitnya mendapatkan data harga pasar
maka dalam penilaian bumi dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut :
a. Areal produktif ditentukan berdasarkan pendekatan perdapatan. Pendapatan dihitung
atas pendapatan bersih setahun sebelum tahun pajak. Nilai areal produktif
diproyeksikan berdasarkan kapitalisasi dari pendapatan bersih. Nilai areal produktif
merupakan hasil perkalian antara pendapatan bersih dengan angka kapitalisasi. Angka
kapitalisasi adalah angka pengali tertentu yang digunakan untuk mengonversi
pendapatan bersih setahun menjadi nilai bumi Areal Produktif pada Hutan Alam.
Besarnya angka kapitalisasi ditetapkan berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal
Pajak.
b. Areal Belum Produktif ditentukan berdasarkan pendekatan data pasar.
c. Areal Emplasemen ditentukan berdasarkan pendekatan data pasar.
d. Areal Pengaman ditentukan melalui penyesuaian terhadap nilai bumi per meter
persegi Areal Belum Produktif.
e. Areal Tidak Produktif ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.
Nilai per meter persegi bumi diperoleh dari hasil pembagian antara jumlah seluruh nilai
bumi dengan jumlah seluruh luas bumi. Jumlah seluruh nilai bumi adalah hasil penjumlahan

20 | P a g e
nilai bumi masing-masing areal. Jumlah seluruh luas bumi merupakan hasil penjumlahan
luas masing-masing areal.

b. Penilaian Bangunan

Penilaian bangunan dilakukan untuk mendapatkan nilai per meter persegi bangunan.
Penilaian bangunan objek PBB Hutan Alam dilakukan dengan pendekatan biaya. Penilaian
dengan pendekatan biaya didefinisikan sebagai suatu pendekatan penilaian untuk
mengestimasi nilai dari suatu properti dengan menghitung seluruh biaya yang dikeluarkan
untuk membangun atau mengganti baru suatu bangunan (biaya langsung maupun biaya tak
langsung) yang selanjutnya dikurangi dengan penyusutan. Bangunan objek PBB Hutan
alam terdiri dari bangunan umum dan bangunan khusus.
Penilaian bangunan dilakukan terhadap masing-masing unit bangunan. Nilai per meter
persegi bangunan diperoleh dari jumlah nilai seluruh bangunan dibagi dengan jumlah luas
seluruh bangunan. Jumlah nilai seluruh bangunan diperoleh dari penjumlahan nilai masing-
masing unit bangunan. Jumlah luas seluruh bangunan diperoleh dari hasil penjumlah luas
masing-masing unit bangunan.

c. Penentuan NJOP PBB Hutan Alam

Setelah diperoleh nilai per meter persegi bumi dan bangunan, selanjutnya ditentukan
besarnya NJOP per meter persegi bumi dan bangunan. NJOP per meter persegi bumi
diperoleh dari hasil konversi nilai bumi per meter persegi ke dalam Klasifikasi NJOP sebagai
mana diatur dalam PMK-139/PMK.03/2014. NJOP per meter persegi bangunan diperoleh
dari hasil konversi nilai bangunan per meter persegi kedalam Klasifikasi NJOP sebagai
mana diatur dalam PMK-139/PMK.03/2014.

Penentuan NJOP Bumi

NJOP bumi merupakan hasil perkalian antara luas bumi dengan NJOP bumi per meter
persegi. Luas bumi merupakan jumlah seluruh luas bumi yang dikenakan PBB.

Penentuan NJOP Bangunan

NJOP bangunan merupakan hasil perkalian antara seluruh luas bangunan dengan NJOP
per meter persegi bangunan.

21 | P a g e
Penghitungan NJOP PBB Hutan Alam

NJOP sebagai dasar pengenaan PBB Hutan Alam merupakan hasil penjumlahan dari NJOP
bumi dengan NJOP bangunan. Penghitungan NJOP dan PBB terutang untuk PBB Sektor
Perhutanan Hutan Alam dapat dilihat dalam tabel berikut:

Penghitungan NJOP Areal Produktif Hutan Alam

Penghitungan Nilai Areal Produktif


Hasil Produksi Harga Rata2
Jenis Kayu Hasil Bruto (Rp)
(m3) (Rp/m3)
1. Kayu Keruing 7.000 1.000.000 7.000.000.000
2. Kayu Bangkirai 3.000 2.500.000 7.500.000.000
3. Kayu Meranti Kuning 2.000 750.000 1.500.000.000
4. Kayu Merbau 5.500 500.000 2.750.000.000
Jumlah Penghasilan Bruto 18.750.000.000
Biaya (Index biaya =75%) 14.062.500.000
Hasil Bersih 4.687.500.000
Angka kapitalisasi (=8,5) 8,5
Nilai Bumi 39.843.750.000

22 | P a g e
Penghitungan NJOP dan PBB Terutang PBB Perhutanan Hutan Alam
Perhitungan NJOP dan PBB Perhutanan
Hutan Alam

Nilai Per m2
Objek PBB Luas (m2) Jumlah Nilai (Rp)
(Rp/m2)
BUMI
1. Areal Produktif 3.500.000 39.843.750.000
2. Areal Emplasemen
a. Jl Lingkungan 1.000 10.000 10.000.000
b. Areal Pabrik 25.000 16.000 400.000.000
c. Areal Gudang 120.000 16.000 1.920.000.000
d. Areal Kantor 10.000 17.000 170.000.000
3. Area Belum Produktif 500.000 15.000 7.500.000.000
4. Areal Tidak Produktif 30.000 2.000 60.000.000
5. Areal Pengaman 10.000 2.000 20.000.000
Jumlah 4.196.000 49.923.750.000
Nilai Per M2 11.898
NJOP per M2 (Hasil Konversi ke PMK 139) Kelas 143 12.100
NJOP Bumi 50.771.600.000

Nilai Per m2
Luas (m2) Jumlah Nilai (Rp)
BANGUNAN (Rp/m2)
Pabrik 5.000 900.000 4.500.000.000
Gudang 50.000 500.000 25.000.000.000
Kantor 1.000 2.200.000 2.200.000.000
Perumahan 2.500 2.000.000 5.000.000.000
Jumlah 58.500 36.700.000.000
Nilai per M2 627.350
NJOP per M2 (Hasil konversi ke PMK 139) Kelas 074 630.000
NJOP Bangunan 36.855.000.000

NJOP Bumi + Bangunan 87.626.600.000


NJOPTKP 12.000.000
NJOP Dasar Pengenaan 87.614.600.000
NJKP (40%) 40%
NJOP Dasar Penghitungan 35.045.840.000
PBB Terutang (Tarif = 0,5%) 175.229.200

23 | P a g e
C. PBB Sektor Pertambangan

PBB Sekor Pertambangan adalah PBB atas bumi dan/atau bangunan yang berada di
dalam kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha pertambangan. Dalam administrasi
pengelolaan PBB P3L, tata cara pengenaan PBB Sektor Pertambangan dibagi menjadi 2
(dua) yaitu PBB Sektor Pertambangan untuk Pertambangan Minyak Bumi, Gas Bumi, dan
Panas Bumi (selanjutnya disebut PBB Migas dan Pabum) serta PBB Sektor Pertambangan
Untuk Pertambangan Mineral dan Batubara (selanjutnya disebut PBB Minerba).

Sebagaimana diatur dalam pasal 5 PMK No-139/PMK.03/2014, Objek Pajak PBB


Sektor Pertambangan adalah Bumi dan/atau Bangunan, yang berada di dalam kawasan
yang digunakan untuk kegiatan usaha pertambangan. Kegiatan usaha pertambangan
meliputi kegiatan usaha pertambangan untuk:
a. pertambangan minyak bumi dan gas bumi yang meliputi kegiatan eksplorasi dan
eksploitasi yang dilaksanakan melalui Kontrak Kerja Sama atau bentuk kontrak kerja
sama lainnya yang sah
b. pertambangan panas bumi yang meliputi kegiatan eksplorasi, studi kelayakan, dan
eksploitasi yang diberikan izin usaha pertambangan panas bumi
c. pertambangan mineral dan batubara yang meliputi kegiatan eksplorasi dan operasi
produksi yang diberikan IUP, IUPK, IPR, atau izin lainnya yang sejenis
Kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha pertambangan meliputi:
a. Wilayah Kerja, Wilayah Izin Pertambangan, atau wilayah sejenisnya
b. Wilayah di luar Wilayah Kerja, Wilayah Izin Pertambangan, atau wilayah sejenisnya yang
merupakan satu kesatuan dan digunakan untuk kegiatan usaha pertambangan

1. PBB Migas Dan Pabum

PBB Migas adalah PBB atas bumi dan/atau bangunan yang berada di dalam kawasan
yang digunakan untuk kegiatan usaha pertambangan minyak bumi dan gas bumi. PBB
Panas Bumi (PBB Pabum) adalah PBB atas bumi dan/atau bangunan yang berada di dalam
kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha pertambangan panas bumi. Pengenaan
PBB Migas dan PBB Pabum diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-
45/PJ/2013 Tentang Tata Cara Pengenaan PBB Sektor Pertambangan Untuk
Pertambangan Minyak Bumi, Gas Bumi, dan Panas Bumi.

24 | P a g e
a. Objek PBB Migas Dan Pabum

Objek pajak PBB Migas adalah bumi dan/atau bangunan yang berada di dalam
kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha pertambangan minyak bumi dan gas Bumi.
Objek pajak PBB Pabum adalah bumi dan/atau bangunan yang berada di dalam kawasan
yang digunakan untuk kegiatan usaha pertambangan panas bumi. Kawasan yang digunakan
untuk kegiatan usaha pertambangan Migas dan Pabum, meliputi :
a. Wilayah Kerja atau Wilayah sejenisnya.
Wilayah Kerja adalah daerah tertentu di dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia
untuk pelaksanaan Eksplorasi dan Eksploitasi. Wilayah Sejenisnya adalah daerah
tertentu di dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia untuk pelaksanaan kegiatan
usaha pertambangan Minyak Bumi dan Gas Bumi sebelum berlakunya Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, atau daerah tertentu di dalam
wilayah hukum pertambangan Indonesia untuk pelaksanaan kegiatan usaha
pertambangan Panas Bumi sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2003
tentang Panas Bumi.
b. Wilayah diluar Wilayah Kerja atau Wilayah sejenisnya yang merupakan satu kesatuan
dan digunakan untuk kegiatan usaha pertambangan Minyak Bumi dan Gas Bumi atau
Panas Bumi. Biasanya merupakan wilayah penunjang kegiatan usaha pertambangan
Minyak Bumi dan Gas Bumi, atau Panas Bumi yang menjadi bagian yang secara fisik
tidak terpisahkan dengan permukaan bumi yang dikenakan PBB Migas atau PBB Panas
Bumi di dalam Wilayah Kerja atau Wilayah Sejenisnya.

Bumi sebagai objek PBB Migas dan Pabum meliputi permukaan bumi dan tubuh bumi.
Permukaan bumi meliputi tanah dan/atau perairan pedalaman (onshore) dan perairan lepas
pantai (offshore). Tubuh bumi terdiri dari tubuh bumi eksplorasi dan tubuh bumi eksploitasi.
1. Permukaan Bumi, meliputi :
a. Tanah dan/atau perairan pedalaman (onshore), meliputi areal yang dikenakan PBB
dan areal yang tidak dikenakan PBB.
1) Areal yang dikenakan PBB
a) Areal Produktif
Areal tanah dan/atau perairan pedalaman di dalam Wilayah Kerja atau
Wilayah Sejenisnya yang secara nyata dipunyai haknya dan/atau diperoleh
manfaatnya oleh subjek pajak atau Wajib Pajak untuk kegiatan usaha
pertambangan minyak bumi dan gas bumi, atau panas bumi, yang sedang
diusahakan untuk pengambilan hasil produksi.
b) Areal Belum Produktif

25 | P a g e
Areal tanah dan/atau perairan pedalaman di dalam Wilayah Kerja atau Wilayah
Sejenisnya yang secara nyata dipunyai haknya dan/atau diperoleh manfaatnya
oleh subjek pajak atau Wajib Pajak untuk kegiatan usaha pertambangan minyak
bumi dan gas bumi, atau panas bumi, yang belum diusahakan untuk
pengambilan hasil produksi.
c) Areal Tidak Produktif
Areal tanah dan/atau perairan pedalaman di dalam Wilayah Kerja atau Wilayah
Sejenisnya yang secara nyata dipunyai haknya dan/atau diperoleh manfaatnya
oleh subjek pajak atau Wajib Pajak untuk kegiatan usaha pertambangan minyak
bumi dan gas bumi, atau panas bumi, yang tidak dapat atau telah selesai
diusahakan untuk pengambilan hasil produksi.
d) Areal Emplasemen
Areal tanah dan/atau perairan pedalaman di dalam kawasan yang digunakan
untuk kegiatan usaha pertambangan minyak bumi dan gas bumi, atau panas
bumi, yang secara nyata dipunyai haknya dan/atau diperoleh manfaatnya oleh
subjek pajak atau Wajib Pajak untuk menunjang kegiatan usaha pertambangan
minyak bumi dan gas bumi, atau panas bumi, yang di atasnya atasnya berdiri
bangunan dan sarana pendukungnya, tidak termasuk Areal Produktif.
2) Areal yang tidak dikenakan PBB, meliputi areal lainnya yaitu areal tanah,
perairan pedalaman, dan/atau perairan lepas pantai, di dalam Wilayah Kerja
atau Wilayah Sejenisnya yang tidak dikenakan PBB sebagaimana diatur dalam
Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan
Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun
1994, dan/atau yang secara nyata tidak dipunyai haknya dan tidak diperoleh
manfaatnya oleh subjek pajak atau Wajib Pajak untuk kegiatan usaha
pertambangan Minyak Bumi dan Gas Bumi, atau Panas Bumi.
b. Perairan lepas pantai (offshore)
Areal perairan lepas pantai di dalam kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha
pertambangan Minyak Bumi dan Gas Bumi, yang secara nyata dipunyai haknya
dan/atau diperoleh manfaatnya oleh subjek pajak atau Wajib Pajak. Permukaan
Bumi offshore, meliputi :
1) Areal yang dikenakan PBB Migas, berupa areal offshore, dan
2) Areal yang tidak dikenakan PBB Migas, berupa areal lainnya.
2. Tubuh Bumi, meliputi :
a) Tubuh Bumi Eksplorasi

26 | P a g e
Tubuh bumi yang berada di bawah permukaan bumi pada Wilayah Kerja atau
Wilayah sejenisnya yang memiliki potensi Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi, atau
Panas Bumi.
b) Tubuh Bumi Eksploitasi
Tubuh bumi yang berada di bawah permukaan bumi pada Wilayah Kerja atau
Wilayah sejenisnya yang telah menghasilkan hasil produksi berupa Minyak Bumi
dan/atau Gas Bumi, atau Panas Bumi.

Bangunan sebagai objek PBB Sektor Pertambangan Migas dan Panas Bumi adalah
konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan.

b. SPPT PBB Migas Dan Pabum

Kepala Kantor Pelayanan Pajak yang mengadministrasikan data objek pajak PBB Migas dan
Pabum menetapkan besarnya PBB Migas atau Pabum terutang menurut keadaan objek
pajak pada tanggal 1 Januari tahun pajak. SPPT diterbitkan berdasarkan SPOP dan
LSPOP. SPPT atas PBB Migas dan Pabum dapat berupa :

a. SPPT PBB untuk onshore


b. SPPT PBB untuk offshore
c. SPPT PBB untuk tubuh bumi

Dasar pengenaan PBB Migas dan Panas Bumi adalah NJOP yang terdiri dari NJOP Bumi
dan NJOP Bangunan.

c. Penilaian Objek PBB Migas Dan Pabum

Penilaian objek PBB Migas dan Pabum dilakukan untuk menentukan NJOP per meter
persegi (NJOP/M2). Besarnya NJOP/M2 diperoleh dari hasil konversi nilai per meter persegi
ke dalam Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur tentang Klasifikasi dan Penetapan
NJOP. Nilai per meter persegi objek PBB diperoleh berdasarkan hasil penilaian.

Penilaian Permukaan Bumi Onshore


Penilaian permukaan bumi onshore dilakukan dengan menggunakan pendekatan data
pasar. Pendekatan data pasar adalah pendekatan penilaian untuk mengestimasi nilai pasar
objek penilaian dengan melakukan perbandingan dan penyesuain terhadap data
pembanding yang sejenis dan telah diketahui harga pasarnya. Penilaian dilakukan terhadap
masing-masing areal objek pajak. Nilai seluruh permukaan bumi merupakan hasil
penjumlahan nilai masing-masing areal. Nilai per meter persegi (Nilai/M2) permukaan bumi

27 | P a g e
onshore, diperoleh dari hasil bagi antara nilai seluruh permukaan bumi dengan jumlah luas
areal yang dikenakan PBB.

Penilaian Permukaan Bumi Offshore


Penilaian permukaan bumi offshore secara prinsip dilakukan dengan pendekatan data
pasar. Namun karena sulit mendapatkan data pasar sebagai pembanding, besarnya nilai per
meter persegi permukaan bumi offshore ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal
Pajak. Untuk pengenaan PBB tahun 2018 ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal
Pajak Nomor : KEP-28/PJ/2018. Nilai bumi per meter persegi untuk permukaan bumi
offshore pertambangan Migas dan Pabum ditetapkan sebesar Rp11.458,00.

Penilaian Tubuh Bumi


Penilaian tubuh bumi dilakukan untuk mendapatkan nilai per meter persegi tubuh bumi.
Tubuh bumi merupakan objek PBB Migas dan Pabum yang menghasilkan hasil produksi,
tediri dari tubuh bumi eksplorasi dan tubuh bumi eksploitasi. Hasil produksi dapat berupa
Minyak dan Gas atau Uap. Penilaian atas tubuh bumi dilakukan dengan pendekatan
pendapatan. Pendapatan yang hasilkan dihitung atas pendapatan yang diperoleh selama
setahun sebelum tahun pajak.

Tubuh Bumi Eksplorasi


Tubuh bumi eksplorasi adalah tubuh bumi yang dilakukan kegiatan yang bertujuan
memperoleh informasi mengenai kondisi geologi untuk menemukan dan memperoleh
perkiraan cadangan Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi, atau Panas Bumi, termasuk kegiatan
studi kelayakan dalam kegiatan usaha pertambangan Panas Bumi, di Wilayah Kerja atau
Wilayah Sejenisnya. Besarnya nilai per meter persegi tubuh bumi eksplorasi ditetapkan
dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak. Untuk pengenaan PBB tahun 2018 ditetapkan
dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP-28/PJ/2018. Nilai bumi per meter
persegi untuk tubuh bumi eksplorasi pertambangan migas dan pabum ditetapkan sebesar
Rp140,00.

Tubuh Bumi Eksploitasi


Tubuh bumi eksploitasi adalah tubuh bumi yang dilakukan kegiatan yang bertujuan untuk
menghasilkan Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi, atau Panas Bumi, dari Wilayah Kerja atau
Wilayah Sejenisnya. Penilaian atas tubuh bumi eksploitasi dibagi menjadi 2 (dua) yaitu yang
terdapat hasil produksi terjual dan tidak terdapat hasil produksi terjual. Tubuh bumi
eksploitasi yang terdapat hasil produksi terjual, penilaian dilakukan dengan pendekatan

28 | P a g e
pendapatan. Sedangkan tubuh bumi eksploitasi yang tidak terdapat hasil produksi terjual,
besarnya nilai per meter persegi ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.
Untuk pengenaan PBB tahun 2018 ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak
Nomor KEP -28/PJ/2018. Nilai bumi per meter persegi untuk tubuh bumi eksploitasi
pertambangan migas dan pabum yang tidak terdapat hasil produksi terjual ditetapkan
sebesar Rp140,00.

Penilaian tubuh bumi eksploitasi yang terdapat hasil produksi terjual, dilakukan melalui
pendekatan pendapatan, dengan ketentuan sebagai berikut :
o Untuk PBB Migas
Nilai bumi = Angka kapitalisasi x [(hasil produksi minyak bumi yang terjual dalam satu
tahun sebelum tahun pajak x harga minyak mentah Indonesia) + (hasil produksi gas
bumi yang terjual dalam satu tahun sebelum tahun pajak x harga gas bumi)].
Berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-28/PJ/2018, angka
kapitalisasi ditetapkan sebesar 10,04.
Nilai per meter persegi diperoleh dari hasil pembagian antara nilai bumi dengan luas
Wilayah Kerja atau Wilayah Sejenisnya.
o Untuk PBB Panas Bumi yang pembangkit listriknya dikelola sendiri oleh Wajib Pajak
Nilai bumi = Angka kapitalisasi x [(hasil produksi uap yang terjual dalam satu tahun
sebelum tahun pajak x harga uap) + (hasil produksi listrik yang terjual dalam satu
tahun sebelum tahun pajak x harga listrik)].
Berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-28/PJ/2018, harga rata-
rata uap ditetapkan sebesar Rp765,00 per kwh (kilo watt hours) dan rata-rata harga
listrik ditetapkan sebesar Rp1.076,00 per kwh.
Nilai per meter persegi diperoleh dari hasil pembagian antara nilai bumi dengan luas
Wilayah Kerja atau Wilayah Sejenisnya.
o Untuk PBB Panas Bumi yang pembangkit listriknya tidak dikelola sendiri oleh Wajib
Pajak
Nilai bumi = Angka kapitalisasi x hasil produksi uap yang terjual dalam satu tahun
sebelum tahun pajak x harga uap.
Nilai per meter persegi diperoleh dari hasil pembagian antara nilai bumi dengan luas
Wilayah Kerja atau Wilayah Sejenisnya.

Besarnya angka kapitalisasi, harga minyak mentah, harga gas bumi, harga uap, harga listrik,
dan kurs ditentukan sebagai berikut :

29 | P a g e
a. Angka kapitalisasi adalah angka pengali yang digunakan untuk mengkonversi hasil
produksi yang terjual dalam setahun menjadi nilai bumi untuk tubuh bumi eksploitasi.
Besarnya angka kapitalisasi untuk PBB Migas dan Pabum ditetapkan dengan
Keputusan Direktur Jenderal Pajak. Untuk pengenaan PBB tahun 2018, ditetapkan
dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor: KEP-28/PJ/2018, sebesar 10,04.
b. Harga minyak mentah Indonesia menggunakan harga yang ditetapkan dalam
APBN/APBN Perubahan satu tahun sebelum tahun pajak.
c. Harga Gas Bumi, sebesar 17,96% dari harga minyak mentah Indonesia yang
ditetapkan dalam APBN/APBN Perubahan satu tahun sebelum tahun pajak.
d. Harga uap dan/atau listrik, sebesar rata-rata harga kontrak uap dan/atau listrik yang
berlaku yang ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak. Berdasarkan
KEP-28/PJ/2018, rata-rata harga uap ditetapkan sebesar Rp765,00 per kwh, dan rata-
rata harga listrik sebesar Rp1.076,00 per kwh.
e. Kurs, menggunakan kurs dalam APBN/APBN Perubahan satu tahun sebelum tahun
pajak
Untuk kepentingan perpajakan, Menteri Keuangan dapat menetapkan harga minyak mentah
Indonesia, harga gas bumi, harga uap, harga listrik, dan kurs sebagai mana tersebut di atas.
Dalam hal Menteri Keuangan menetapkan harga minyak mentah Indonesia, harga gas bumi,
harga uap, harga listrik, dan kurs sebagaimana dimaksud di atas, maka ketentuan di atas
tidak berlaku.
Penilaian Bangunan
Penilaian bangunan dilakukan untuk mendapatkan nilai per meter persegi bangunan.
Penilaian bangunan objek PBB Migas dan Pabum dilakukan dengan pendekatan biaya.
Penilaian dengan pendekatan biaya didefinisikan sebagai suatu pendekatan penilaian untuk
mengestimasi nilai dari suatu properti dengan menghitung seluruh biaya yang dikeluarkan
untuk membangun atau mengganti baru suatu bangunan (biaya langsung maupun biaya tak
langsung) yang selanjutnya dikurangi dengan penyusutan. Bangunan objek PBB Migas dan
Pabum terdiri dari bangunan umum dan bangunan khusus. Bangunan umum meliputi
gedung kantor, mes karyawan, gudang, bangunan pabrik pengolahan dan sejenisnya.
Bangunan khusus yaitu bangunan dengan konstruksi khusus meliputi silo tempat
penyimpanan, tangki minyak, dan lainnya.
Penilaian bangunan dilakukan terhadap masing-masing unit bangunan. Nilai per meter
persegi bangunan diperoleh dari jumlah nilai seluruh bangunan dibagi dengan jumlah luas
seluruh bangunan. Jumlah nilai seluruh bangunan diperoleh dari penjumlahan nilai masing-
masing unit bangunan. Jumlah luas seluruh bangunan diperoleh dari hasil penjumlahan luas
masing-masing unit bangunan.

30 | P a g e
d. Penentuan NJOP per Meter Persegi Bumi

Setelah diperoleh Nilai/M2 bumi dari hasil penilaian, selanjutnya ditetapkan besarnya NJOP
Bumi per meter persegi (NJOP Bumi/M2). Penentuan besarnya NJOP Bumi/M2 dilakukan
sebagai berikut:

a. Permukaan bumi onshore


NJOP/M2 permukaan bumi onshore diperoleh dari hasil konversi Nilai/M2 permukaan
bumi onshore hasil penilaian ke dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-
139/PMK.03/2014
b. Permukaan Bumi Offshore
NJOP/M2 permukaan bumi offshore diperoleh dari hasil konversi Nilai/M2 permukaan
bumi offshore hasil penilaian ke dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-
139/PMK.03/2014
c. Tubuh Bumi Eksplorasi
NJOP/M2 tubuh bumi eksplorasi diperoleh dari hasil konversi Nilai/M2 tubuh bumi
eksplorasi yang ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak ke dalam
Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-139/PMK.03/2014
d. Tubuh Bumi Eksploitasi
NJOP/M2 tubuh bumi eksploitasi diperoleh dari hasil konversi Nilai/M2 tubuh bumi
eksploitasi hasil penilaian ke dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-
139/PMK.03/2014.

e. Penentuan NJOP Bangunan Per Meter Persegi

NJOP Bangunan Per Meter Persegi (NJOP Bangunan/M2) ditetapkan berdasarkan hasil
konversi nilai bangunan per meter pesegi hasil penilaian ke dalam Peraturan Menteri
Keuangan yang mengatur tentang Klasifikasi dan besarnya NJOP. Saat ini yang berlaku
PMK-139/PMK.03/2014.
Penghitungan NJOP dan PBB terutang untuk PBB Pertambangan Migas dan Panas
Bumi dapat dilihat dalam tabel berikut :

31 | P a g e
Penghitungan NJOP dan PBB Terutang Tubuh Bumi
Untuk Pertambangan Migas

Bumi
Luas Wilayah Kerja (m2) 3.000.000

Hasil Produksi Terjual


Eksploitasi Harga Rata2 Jumlah
setahun
Minyak Bumi 720.000 5.500 3.960.000.000
Gas Bumi 300.000 (17,96% x 5.500)= 988 296.340.000
Jumlah pendapatan 4.256.340.000
Angka Kapitalisasi 10,04
Nilai Tubuh bumi 42.733.653.600
Nilai /M2 = Nilai Tubuh Bumi : Luas Wil Kerja 14.245
NJOP/M2 (hasil konversi ke PMK 139/PMK.03/2014 Kls 140 14.000
NJOP Tubuh Bumi = Luas wil kerja x NJOP/M2 42.000.000.000
NJOPTKP -
NJOP dasar pengenaan 42.000.000.000
NJKP 40%
NJOP dasar penghitungan 16.800.000.000
PBB Terutang (tarif 0,5% ) 84.000.000

Penghitungan NJOP Dan PBB Terutang Tubuh Bumi


Untuk Pertambangan Pabum

Bumi
Luas Wilayah Kerja (M2) 1.500.000

Hasil Produksi Terjual


Eksploitasi Harga Rata2
setahun
Uap 200.000 765 153.000.000
Listrik 3.000.000 1.076 3.228.000.000
Jumlah pendapatan 3.381.000.000
Angka Kapitalisasi 10,04
Nilai tubuh bumi 33.945.240.000
Nilai /M2 = Nilai tubuh bumi : Luas Wil Kerja 22.630
NJOP/M2 (hasil konversi ke PMK 139/PMK.03/2014 Kls 130 23.100
NJOP Tubuh Bumi = Luas wil kerja x NJOP/M2 34.650.000.000
NJOPTKP -
NJOP dasar pengenaan 34.650.000.000
NJKP 40%
NJOP dasar penghitungan 13.860.000.000
PBB Terutang (tarif = 0,5%) 69.300.000

32 | P a g e
Penghitungan NJOP Dan PBB Terutang Permukaan Bumi Offshore
Pertambangan Migas Dan Pabum

Areal Luas (m2) Nilai per m2


Areal Offshore 250.000 11.458
NJOP per m2 11.500
NJOP Bumi 2.875.000.000
NJOP Bangunan -
Total NJOP 2.875.000.000
NJOPTKP -
NJOP dasar pengenaan 2.875.000.000
NJKP 40%
NJOP dasar penghitungan 1.150.000.000
PBB terutang 57.500.000

33 | P a g e
Penghitungan NJOP Dan PBB Terutang Permukaan Bumi Onshore
Untuk Pertambangan Migas
Nilai per m2
Objek Pajak Luas (m2) Jumlah Nilai (Rp)
(Rp/m2)
BUMI
Areal Produktif 5.000.000 30.000 150.000.000.000
Areal Belum Produktif 1.500.000 7.500 11.250.000.000
Areal Tidak Produktif 50.000 3.000 150.000.000
Areal Emplasemen 30.000 50.000 1.500.000.000
Jumlah 6.580.000 162.900.000.000
Nilai per m2 24.757
NJOP per m2 Kelas 129 24.300
NJOP Bumi 159.894.000.000

BANGUNAN
Bangunan Umum
Kantor 2.500 2.500.000 6.250.000.000
Pabrik 20.000 3.000.000 60.000.000.000
Bengkel 15.000 1.800.000 27.000.000.000
Perumahan 2.000 2.000.000 4.000.000.000
Klinik 250 2.500.000 625.000.000
Tempat Olahraga 500 1.500.000 750.000.000

Bangunan Khusus
Sumur (well) 2.000 4.500.000 9.000.000.000
Oil Processing Plant 2.500 3.500.000 8.750.000.000
Water Treatment Plant 1.000 3.200.000 3.200.000.000
Tangki 3.000 2.500.000 7.500.000.000
Pumps 500 2.000.000 1.000.000.000
Power Generator 500 3.000.000 1.500.000.000
Dermaga 2.500 3.500.000 8.750.000.000
Hellipad 200 2.500.000 500.000.000
Jumlah 52.450 138.825.000.000

Fasilitas
Perkerasan halaman 15.000 500.000 7.500.000.000
Jumlah nilai fasilitas 7.500.000.000
Jumlah nilai bangunan 146.325.000.000
Nilai bangunan per m2 2.789.800
NJOP bangunan per m2 Kelas 050 2.780.000
NJOP Bangunan 145.811.000.000

NJOP Bumi + Bangunan 305.705.000.000


NJOPTKP 12.000.000
NJOP dasar pengenaan 305.693.000.000
NJKP 40%
NJOP dasar penghitungan 122.277.200.000
PBB Terutang (tarif = 0,5%) 611.386.000

34 | P a g e
2. PBB Minerba

PBB Minerba adalah Pajak Bumi dan Bangunan atas bumi dan/atau bangunan yang
berada di dalam kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha pertambangan mineral dan
batubara. Mineral adalah senyawa anorganik yang terbentuk di alam, yang memiliki sifat
fisik dan kimia tertentu serta susunan kristal teratur atau gabungannya yang membentuk
batuan, baik dalam bentuk lepas atau padu, meliputi mineral logam, mineral bukan logam,
dan batuan. Batubara adalah endapan senyawa organik karbonan yang terbentuk secara
alamiah dari sisa tumbuh-tumbuhan.
Pengenaan PBB Minerba diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor
Per-47/PJ/2015 tentang Tata Cara Pengenaan PBB Sektor Pertambangan untuk
Pertambangan Mineral dan Batubara. Pengenaan adalah kegiatan menetapkan Wajib Pajak
dan besarnya pajak terutang untuk Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Pertambangan untuk
Pertambangan Mineral dan Batubara berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
undangan Pajak Bumi dan Bangunan.

a. Objek PBB Minerba

Objek PBB Minerba adalah bumi dan/atau bangunan yang berada di dalam kawasan
yang digunakan untuk kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara. Kawasan yang
digunakan untuk kegiatan pertambangan Minerba, meliputi :
a. Wilayah Izin Pertambangan atau Wilayah Pertambangan Sejenis. Wilayah Izin
Pertambangan adalah wilayah pertambangan yang diberikan kepada pemegang izin
pertambangan untuk kegiatan usaha pertambangan yang meliputi Wilayah Ijin Usaha
Pertambangan (WIUP), Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK), atau
Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR). Wilayah Pertambangan Sejenis adalah wilayah
pertambangan yang telah diberikan kepada pemegang kontrak karya atau perjanjian
karya pengusahaan pertambangan batubara yang masih berlaku.
b. Wilayah di luar Wilayah Izin Pertambangan atau Wilayah Pertambangan Sejenis yang
digunakan untuk kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara, dan terhubung
secara fisik dengan areal di dalam Wilayah izin Pertambangan atau Wilayah
Pertambangan Sejenis yang dikenakan PBB Mineral dan Batubara.

Kegiatan usaha pertambangan minerba meliputi kegiatan eksplorasi dan kegiatan


operasi produksi yang diberikan Ijin Usaha Pertambangan (IUP), Ijin Usaha Pertambangan
Khusus (IUPK), Ijin Pertambangan Rakyat (IPR), atau Ijin lainnya yang sejenis. Kegiatan
eksplorasi adalah tahapan kegiatan usaha pertambangan untuk memperoleh informasi
secara terperinci dan teliti tentang lokasi, bentuk, dimensi, sebaran, kualitas, dan sumber

35 | P a g e
daya terukur dari bahan galian, serta informasi mengenai lingkungan sosial dan lingkungan
hidup. Kegiatan operasi produksi adalah tahapan kegiatan usaha pertambangan yang
meliputi konstruksi, penambangan, pengolahan, pemurnian, termasuk pengangkutan dan
penjualan, serta sarana pengendalian dampak lingkungan sesuai dengan hasil studi
kelayakan.

Bumi sebagai objek PBB Minerba terdiri dari permukaan bumi dan tubuh bumi.
Permukaan bumi meliputi tanah dan/atau perairan darat (onshore) dan perairan lepas pantai
(offshore). Tubuh bumi yang berada di bawah permukaan bumi.

Areal permukaan bumi onshore terdiri dari areal objek pajak onshore, areal produktif,
dan areal lainnya.

1. Areal objek pajak onshore adalah tanah dan/atau perairan pedalaman di dalam
kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara
yang dikenakan PBB Mineral dan Batubara, yang terdiri atas:
a. Areal Belum Produktif teriri atas areal cadangan produksi dan areal belum
dimanfaatkan. Areal cadangan produksi adalah areal yang dimanfaatkan untuk
kegiatan penambangan, tetapi belum dilakukan pengambilan galian tambang.
Areal belum dimanfaatkan adalah areal yang belum dimanfaatkan untuk kegiatan
penambangan atau areal yang sedang dilakukan kegiatan penyelidikan umum,
eksplorasi dan/atau studi kelayakan.
b. Areal Tidak Produktif adalah areal yang sama sekali tidak dapat diusahakan untuk
kegiatan penambangan, atau areal yang telah selesai diusahakan.
c. Areal Emplasemen adalah areal yang di atasnya dimanfaatkan untuk bangunan
dan/atau pekarangan serta fasilitas penunjangnya.
d. Areal Pengaman adalah areal yang dimanfaatkan sebagai pendukung dan
pengaman kegiatan usaha pertambangan.
2. Areal Produktif
Areal produktif adalah areal yang dimanfaatkan untuk kegiatan penambangan yang
sedang dilakukan pengambilan galian tambang.
3. Areal Lainnya
Areal lainnya adalah adalah tanah dan perairan pedalaman (onshore) atau perairan
lepas pantai (offshore) di dalam Wilayah Izin Pertambangan atau Wilayah
Pertambangan Sejenis, yang tidak dikenakan PBB sebagaimana diatur dalam Pasal 3
ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994, dan/atau

36 | P a g e
yang secara nyata tidak dipunyai haknya dan tidak diperoleh manfaatnya oleh subjek
pajak atau Wajib Pajak untuk kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara.

Permukaan bumi offshore terdiri dari areal objek pajak offshore dan areal lainnya.
Areal objek pajak offshore adalah perairan lepas pantai di dalam kawasan yang digunakan
untuk kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara yang dikenakan PBB Minerba.
Areal lainnya adalah areal offshore yang tidak dikenakan PBB Minerba.
Tubuh bumi meliputi tubuh bumi meliputi tubuh bumi eksplorasi dan tubuh bumi
operasi produksi. Tubuh bumi eksplorasi adalah tubuh bumi di Wilayah Izin Pertambangan
atau Wilayah Pertambangan Sejenis yang sedang dilakukan kegiatan penambangan dalam
tahap Eksplorasi. Tubuh bumi operasi produksi adalah tubuh bumi di Wilayah Izin
Pertambangan atau Wilayah Pertambangan Sejenis yang sedang dilakukan kegiatan
penambangan dalam tahap Operasi Produksi.
Bangunan sebagai objek PBB minerba merupakan konstruksi teknik yang ditanam
atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan. Bangunan objek PBB Minerba
terdiri dari bangunan umum dan bangunan khusus. Bangunan umum meliputi mes, kantor,
pabrik, gudang dan bangunan sejenis. Bangunan khusus meliputi dermaga, landasan
pesawat udara, cerobong, pipa, silo, tanki, dan lainnya.

b. SPPT PBB Minerba

Kepala Kantor Pelayanan Pajak menetapkan besarnya pajak terutang atas PBB Minerba
dengan menerbitkan SPPT. SPPT atas PBB Minerba dapat berupa :
a. SPPT untuk onshore
b. SPPB untuk offshore
c. SPPT untuk tubuh bumi.

c. Penilaian Objek PBB Minerba

Penilaian objek PBB Minerba dilakukan untuk menentukan NJOP per meter persegi
(NJOP/M2). Besarnya NJOP/M2 diperoleh dari hasil konversi nilai per meter persegi ke
dalam Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur tentang Klasifikasi dan Penetapan
NJOP. Nilai per meter persegi objek PBB diperoleh berdasarkan hasil penilaian.

Penilaian areal permukaan bumi onshore


Penilaian areal objek pajak permukaan bumi onshore dilakukan dengan menggunakan
pendekatan data pasar, meliputi areal cadangan produksi, areal belum dimanfaatkan, areal
tidak produktif, areal emplasemen, dan areal pengaman. Nilai per meter persegi (Nilai/M2)

37 | P a g e
permukaan bumi onshore, diperoleh dari hasil bagi antara nilai seluruh permukaan bumi
dengan jumlah luas areal yang dikenakan PBB.Nilai seluruh permukaan bumi onshore
merupakan hasil penjumlahan nilai masing-masing areal.
Pendekatan data pasar adalah pendekatan penilaian untuk mengestimasi nilai pasar objek
penilaian dengan melakukan perbandingan dan penyesuain terhadap data pembanding
yang sejenis dan telah diketahui harga pasarnya. Penilaian dilakukan terhadap masing-
masing areal objek pajak, dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Areal belum dimanfaatkan dan areal emplasemen ditentukan melalui perbandingan
harga tanah sejenis
b. Areal cadangan produksi, areal tidak produktif, dan areal pengaman ditentukan melalui
penyesuaian terhadap nilai bumi per meter persegi untuk areal belum dimanfaatkan.

Penilaian permukaan bumi offshore


Penilaian permukaan bumi offshore secara prinsip dilakukan dengan pendekatan data
pasar, namun karena sulit mendapatkan data pasar sebagai pembanding, maka besarnya
Nilai/M2 permukaan bumi offshore ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.
Dengan Keutusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP-28/PJ/2018, ditetapkan Nilai Bumi
per Meter persegi untuk permukaan bumi offshore (Areal Offshore) pertambangan minerba
sebesar Rp11.458,00

Penilaian Tubuh Bumi


Tubuh bumi eksplorasi
Besarnya nilai per meter persegi tubuh bumi eksplorasi untuk PBB Minerba ditetapkan
dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak. Saat ini dengan KEP-28/PJ/2018 nilai bumi per
meter persegi tubuh bumi eksplorasi untuk PBB Minerba ditetapkan sebesar Rp140,00.

Tubuh bumi operasi produksi


Penilaian tubuh bumi operasi produksi dilakukan dengan pendekatan pendapatan.
Nilai bumi untuk tubuh bumi operasi produksi ditentukan sebesar hasil bersih produksi galian
tambang dalam satu tahun sebelum tahun pajak dikalikan dengan angka kapitalisasi. Nilai
per meter persegi tubuh bumi operasi produksi dihitung berdasarkan hasil pembagian nilai
bumi operasi produksi dengan luas wilayah izin pertambangan.
Besarnya angka kapitalisasi ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.
Untuk penetapan PBB tahun 2018 ditetapkan dengan KEP-28/PJ/2018 sebesar 8,20 untuk
pertambangan mineral dan sebesar 10,25 untuk pertambangan batubara. Hasil bersih
produksi galian tambang ditentukan sebesar pendapatan kotor dikurangi dengan biaya
produksi galian tambang atas objek pajak dimaksud. Pendapatan kotor merupakan hasil

38 | P a g e
perkalian antara harga jual hasil galian tambang dengan hasil produksi tertambang dalam
satu tahun sebelum tahun pajak.
Harga jual hasil galian tambang, berupa harga jual rata-rata dalam setahun sebelum
tahun pajak, meliputi harga rata-rata mineral logam, mineral bukan logam, batuan, atau
batubara. Harga rata-rata dimaksud merupakan rata-rata dari harga jual yang disepakati
antara penjual dan pembeli dalam setahun sebelum tahun pajak. Dalam hal harga jual
tersebut dipengaruhi oleh hubungan istimewa, harga jual dihitung atas dasar harga pasar
wajar.
Penentuan harga rata-rata hasil tambang dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut :
a. dalam hal harga jual rata-rata mineral logam lebih rendah dari pada Harga Patokan
Mineral (HPM) Logam rata-rata dalam setahun sebelum tahun pajak, harga jual rata-rata
mineral logam merupakan HPM Logam rata-rata dalam setahun sebelum tahun pajak.
b. dalam hal harga jual rata-rata mineral bukan logam lebih rendah dari pada Harga
Patokan Mineral Bukan Logam rata-rata dalam setahun sebelum tahun pajak, harga jual
rata-rata mineral bukan logam merupakan Harga Patokan Mineral Bukan Logam rata-
rata dalam setahun sebelum tahun pajak
c. dalam hal harga jual rata-rata batuan lebih rendah dari pada Harga Patokan Batuan rata-
rata dalam setahun sebelum tahun pajak, harga jual rata-rata batuan merupakan Harga
Patokan Batuan rata-rata dalam setahun sebelum tahun pajak.
d. dalam hal harga jual rata-rata batubara lebih rendah dari pada HPB rata-rata dalam
setahun sebelum tahun pajak, harga jual rata-rata batubara merupakan HPB rata-rata
dalam setahun sebelum tahun pajak.
e. dalam hal galian tambang merupakan batubara jenis tertentu, batubara untuk keperluan
tertentu, atau batubara untuk pembangkit listrik mulut tambang, HPB mengacu pada
formula untuk penetapan harga patokan atau harga batubara yang diatur oleh
kementerian yang menyelenggarakan sebagian urusan pemerintahan di bidang energi
dan sumber daya mineral.
f. dalam hal harga jual produksi galian tambang menggunakan satuan mata uang Dollar
Amerika Serikat ($ US), maka harus dikonversi dalam satuan mata uang Rupiah (Rp)
berdasarkan kurs mata uang pada tanggal 1 Januari tahun pajak sebagaimana
ditetapkan dalam Keputusan Menteri Keuangan.
Biaya produksi galian tambang setahun sebelum tahun pajak terdiri dari biaya
pengupasan lapisan tanah, pengambilan hasil produksi galian tambang, pengolahan
dan/atau pemurnian hasil produksi galian tambang, dan pengangkutan hasil produksi galian
tambang. Biaya produksi galian tambang terdiri dari :
a. Biaya pengupasan lapisan tanah mencakup biaya biaya untuk pengupasan lapisan
tanah selama kegiatan operasi produksi yaqng terdiri dari biaya kegiatan

39 | P a g e
penggaruan/dorong, gali/muat, dan/atau pengangkutan tanah dari lokasi penggalian ke
lokasi penimbunan.
b. Biaya pengambilan hasil produksi galian tambang merupakan biaya untuk kegiatan
pengambilan galian tambang dengan cara yang sesuai dengan sifat dan karakteristik
galian tambang yang bersangkutan. Biaya pengambilan hasil produksi terdiri dari biaya
penggalian, penyemprotan dengan air, penggunaan alat-alat berat (shovel dan
bulldozer), pengerukan dengan kapal keruk, dan/atau peledakan.
c. Biaya pengolahan dan/atau pemurnian hasil produksi galian tambang dapat berupa :
 biaya pembersihan dan pemisahan galian tambang utama dari bahan galian
ikutannya yang dilakukan dengan menggunakan air, bahan kimia (proses kimia),
alat pencuci, atau saringan
 biaya pembentukan ukuran/besarnya galian tambang, yang terdiri dari biaya untuk
penghancuran galian tambang yang berukuran besar menjadi ukuran sesuai
dengan ukuran yang ditetapkan perusahaan menggunakan mesin penghancur
(crusher)
 biaya peningkatan kualitas hasil produksi galian tambang
d. Biaya pengangkutan hasil produksi galian tambang merupakan biaya yang terkait
dengan kegiatan untuk mengangkut hasil produksi galian tambang dari lokasi
penambangan ke stasiun pengumpul, pelabuhan khusus, kapal pengangkut, dan/atau
pengguna akhir, meliputi:
 Biaya hauling dengan menggunakan dump truck, kereta api, tongkang, atau
conveyor belt
 Biaya angkutan laut dengan menggunakan tongkang/ponton (barge), atau kapal
pengangkut (vessel)
 Surveyor
 Asuransi
e. dalam hal biaya dalam laporan keuangan menggunakan satuan mata uang asing, maka
harus dikonversi dalam satuan mata uang Rupiah (Rp) berdasarkan kurs mata uang
pada tanggal 1 Januari tahun pajak sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Menteri
Keuangan.

Penilaian Bangunan
Penilaian bangunan dilakukan untuk mendapatkan nilai per meter persegi bangunan.
Penilaian bangunan objek PBB Migas dan Pabum dilakukan dengan pendekatan biaya.
Penilaian dengan pendekatan biaya didefinisikan sebagai suatu pendekatan penilaian untuk
mengestimasi nilai dari suatu properti dengan menghitung seluruh biaya yang dikeluarkan
untuk membangun atau mengganti baru suatu bangunan (biaya langsung maupun biaya tak

40 | P a g e
langsung) yang selanjutnya dikurangi dengan penyusutan. Bangunan objek PBB Migas dan
Pabum terdiri dari bangunan umum dan bangunan khusus. Bangunan umum meliputi
gedung kantor, mes karyawan, gudang, bangunan pabrik pengolahan dan sejenisnya.
Bangunan khusus yaitu bangunan dengan konstruksi khusus meliputi silo tempat
penyimpanan, tangki minyak, dan lainnya.
Penilaian bangunan dilakukan terhadap masing-masing unit bangunan. Nilai per meter
persegi bangunan diperoleh dari jumlah nilai seluruh bangunan dibagi dengan jumlah luas
seluruh bangunan. Jumlah nilai seluruh bangunan diperoleh dari penjumlahan nilai masing-
masing unit bangunan. Jumlah luas seluruh bangunan diperoleh dari hasil penjumlahan luas
masing-masing unit bangunan.

d. Penentuan NJOP Per Meter Persegi

NJOP per meter persegi ditetapkan berdasarkan hasil konversi nilai per meter persegi hasil
penilaian ke dalam Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur tentang klasifikasi NJOP
Bumi dan Bangunan. Saat ini yang yang berlaku adalah Peraturan Menteri Keuangan
Nomor : PMK-139/PMK.03/2014.

Penghitungan NJOP Dan PBB Minerba Terutang

Besarnya NJOP atas PBB Minerba merupakan penjumlahan NJOP bumi dengan NJOP
Bangunan. SPPT atas PBB Minerba meliputi SPPT Permukaan Bumi Onshore, PBB
Permukaan Bumi Offshore dan PBB Tubuh Bumi. Penghitungan NJOP dan PBB terutang
masing-masing dapat dilihat pada tabel berikut :

41 | P a g e
Penghitungan NJOP Dan PBB Terutang
Tubuh Bumi Pertambangan Minerba Tahap Operasi Produksi

Hasil Produksi Volume Harga Rata2 Hasil Bruto


Batubara 1.000.000 10.000 10.000.000.000
Biaya
a. Pengupasan lapisan tanah 1.500.000.000
b. Pengambilan Galian 2.500.000.000
c. Pengangkutan Galian 2.000.000.000
d. Pemurnian 1.500.000.000
Jumlah biaya 7.500.000.000
Hasil bersih 2.500.000.000
Angka Kapitalisasi 10,25
Nilai Tubuh bumi 25.625.000.000
Nilai Tubuh bumi per m2 183.036
NJOP per m2 Kelas 088 180.000
NJOP Tubuh Bumi 25.200.000.000
NJOPTKP -
NJOP dasar pengenaan 25.200.000.000
NJKP 40%
NJOP dasar penghitungan 10.080.000.000
PBB Terutang 50.400.000

Besarnya nilai bumi per meter persegi tubuh bumi tahap eksplorasi ditetapkan dengan
Keputusan Direktur Jenderal Pajak. Untuk tahun pajak 2018 ditetapkan berdasarkan
Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-28/PJ/2018, ditetapkan sebesar Rp140,00
per meter persegi.
Penghitungan NJOP dan PBB Tubuh Bumi untuk Pertambangan Minerba tahap Eksplorasi,
sebagai mana tabel berikut :
Penghitungan NJOP dan PBB Terutang
Tubuh Bumi Untuk Pertambangan Minerba Tahap Eksplorasi

Tubuh Bumi Luas Areal (m2) Nilai (Rp/m2) Jumlah Nilai (Rp)
Luas Ijin Pertambangan 140.000 140
NJOP per m2 Kelas 200 140
NJOP Tubuh Bumi 19.600.000
NJOPTKP -
NJOP dasar pengenaan 19.600.000
NJKP 40%
NJOP dasar penghitungan 7.840.000
PBB Terutang 39.200

Besarnya nilai bumi per meter persegi permukaan bumi offshore ditetapkan dengan
Keputusan Direktur Jenderal Pajak. Untuk tahun pajak 2018 ditetapkan berdasarkan
Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-28/PJ/2018, sebesar Rp11.458,00 per
meter persegi.

42 | P a g e
Penghitungan NJOP dan PBB terutang untuk permukaan bumi offshore dilakukan sebagai
mana tabel berikut:

Penghitungan NJOP Dan PBB Terutang


Permukaan Bumi Offshore Pertambangan Minerba

Objek Pajak Luas Areal (m2) Nilai (Rp/m2) Jumlah Nilai (Rp)
Permukaan bumi 25.000 11.458
NJOP per m2 Kelas 144 11.500
NJOP permukaan bumi 287.500.000
NJOPTKP -
NJOP dasar pengenaan 287.500.000
NJKP 40%
NJOP dasar penghitungan 115.000.000
PBB Terutang 575.000

Penghitungan NJOP dan PBB permukaan bumi onshore untuk pertambangan Mineral dan
Batubara dapat dilakukan sebagai tabel berikut :

43 | P a g e
Penghitungan NJOP Dan PBB Terutang
Permukaan Bumi Onshore Untuk Pertambangan Minerba

Objek Pajak Luas (m2) Nilai (Rp/m2) Jumlah Nilai (Rp)


Bumi
Luas Ijin (10.000+50.000+80.000) 140.000
Areal lainnya 10.000
Areal Produktif 50.000
Areal Belum Produktif
a. Areal Cadangan Produksi 20.000 15.000 300.000.000
b. Areal Belum Dimanfaatkan 25.000 12.000 300.000.000
Areal Tidak Produktif 10.000 3.000 30.000.000
Areal Emplasemen 20.000 15.000 300.000.000
Areal Pengaman 5.000 2.000 10.000.000
Jumlah 80.000 940.000.000
Nilai Bumi per m2 11.750
NJOP per m2 Kelas 144 11.500
NJOP Bumi 920.000.000

Bangunan
Bangunan Umum Luas/Volume Nilai per m2 Nilai (Rp)
Pabrik 3.000 1.500.000 4.500.000.000
Bengkel 2.500 1.200.000 3.000.000.000
Kantor 1.000 2.200.000 2.200.000.000
Perumahan 1.200 2.500.000 3.000.000.000
Klinik 200 2.200.000 440.000.000

Bangunan Khusus
Dermaga 2.000 3.500.000 7.000.000.000
Cerobong 500 2.000.000 1.000.000.000
Pipa 1.200 1.800.000 2.160.000.000
Silo 500 2.200.000 1.100.000.000
Kilang 1.200 2.200.000 2.640.000.000
Jumlah 13.300 27.040.000.000
Nilai per m2 2.033.083
NJOP per m2 Kelas 055 2.050.000
NJOP Bangunan 27.265.000.000

NJOP Bumi + Bangunan 28.185.000.000


NJOPTKP 12.000.000
NJOP dasar pengenaan 28.173.000.000
NJKP 40%
NJOP dasar penghitungan 11.269.200.000
PBB terutang 563.460.000

44 | P a g e
D. PBB Sektor Lainnya

Pengenaan PBB Sektor Lainnya diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak
Nomor PER-20/PJ/2015. PBB Sektor Lainnya adalah Pajak Bumi dan Bangunan yang
dikenakan atas objek pajak selain objek pajak sektor perkebunan, sektor perhutanan, dan
sektor pertambangan, yang tidak berada dalam wilayah kabupaten/kota. Objek PBB Sektor
Lainnya meliputi :

a. Bumi berupa perairan lepas pantai yang digunakan untuk :


1. Usaha Perikanan Tangkap
Usaha perikanan yang berbasis pada kegiatan penangkapan ikan.
2. Usaha Pembudidayaan Ikan
Kegiatan untuk memelihara, membesarkan, dan/atau membiakkan ikan serta
memanen hasilnya dalam lingkungan yang terkontrol.
3. Jaringan Pipa
Jaringan Pipa meliputi jaringan pipa transmisi/distribusi minyak, gas, atau air yang
selanjutnya disebut jaringan pipa adalah suatu struktur bangunan yang berfungsi
sebagai saluran dan terbuat dari rangkaian pipa yang digunakan untuk
mengangkut/menyalurkan minyak, gas, atau air dari satu tempat ke tempat lain.
4. Jaringan Kabel Telekomunikasi
Jaringan kabel telekomunikasi bawah laut yang selanjutnya disebut Jaringan Kabel
Telekomunikasi adalah suatu sistem transmisi telekomunikasi menggunakan media
kabel yang dibentangkan di dalam lautan dan/atau samudra untuk menghubungkan
beberapa stasiun kabel.
5. Jaringan Listrik
Jaringan kabel listrik bawah laut yang selanjutnya disebut Jaringan Kabel Listrik
adalah fasilitas penyaluran tenaga listrik berikut sarana penunjangnya.
6. Ruas Jalan Tol
Jalan umum yang merupakan bagian sistem jaringan jalan dan sebagai
jalan nasional yang penggunanya diwajibkan membayar tol.
b. Bangunan berupa konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada
perairan

Penatausahaan PBB Sektor Lainya dilakukan sebagai berikut :

 Untuk Usaha Perikanan Tangkap dan Pembududayaan Ikan dillakukan oleh KPP
Pratama tempat WP terdaftar atau KPP Migas dalam hal WP tidak terdaftar pada KPP
Pratama.

45 | P a g e
 Untuk Jaringan Pipa, Jaringan Kabel Telekomunikasi, Jaringan Kabel Listrik, atau Ruas
Jalan Tol dilakukan oleh KPP Migas

1. PBB Usaha Perikanan Tangkap dan Pembudidayaan Ikan

Objek PBB usaha perikanan tangkap dan pembudidayaan ikan adalah bumi berupa
perairan lepas pantai, yang bukan merupakan wilayah kabupaten/kota, meliputi laut teritorial
Indonesia, perairan kepulauan, laut pedalaman, Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEE),
dan perairan di dalam batas Landas Kontinen Indonesia. ZEE Indonesia adalah jalur di luar
dan berbatasan dengan laut wilayah Indonesia sebagaimana ditetapkan berdasarkan
undang-undang yang berlaku tentang perairan Indonesia yang meliputi dasar laut, tanah di
bawahnya dan air di atasnya dengan batas terluar 200 mil laut diukur dari garis pangkal laut
wilayah Indonesia. Landas Kontinen Indonesia adalah dasar laut dan tanah di bawahnya
dari area di bawah permukaan laut yang terletak di luar laut teritorial, sepanjang kelanjutan
alamiah wilayah daratan hingga pinggiran luar tepi kontinen, atau hingga suatu jarak 200
(dua ratus) mil laut dari garis pangkal dari mana lebar laut teritorial diukur, dalam hal
pinggiran luar tepi kontinen tidak mencapai jarak tersebut, hingga paling jauh 350 (tiga ratus
lima puluh) mil laut sampai dengan jarak 100 (seratus) mil laut dari garis kedalaman 2.500
(dua ribu lima ratus) meter.

Luas bumi untuk usaha pembudidayaan ikan dihitung berdasarkan luas sesuai izin.
Sedangkan luas bumi untuk usaha perikanan tangkap dihitung berdasarkan hasil perkalian
antara jumlah kapal dengan luas areal penangkapan ikan per kapal. Jumlah kapal adalah
jumlah kapal yang dipergunakan untuk melakukan kegiatan penangkapan ikan. Luas areal
penangkapan per kapal ditentukan berdasarkan Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara
Republik Indonesia (WPP-NRI). Sebagai mana dalam Lampiran Keputusan Direktur
Jenderal Pajak Nomor KEP-126/PJ/2015, luas areal penangkapan ikan per kapal dapat
dilihat sebagai mana tabel berikut :

Luas Areal Penangkapan Ikan per Kapal

Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Luas Areal Penangkapan Ikan per Kapal
Republik Indonesia (m2)
(WPP-NRI)
WPP-NRI 571 165.187
WPP-NRI 572 559.883
WPP-NRI 573 890.258
WPP-NRI 711 1.577.321
WPP-NRI 712 285.058
WPP-NRI 713 396.158
WPP-NRI 714 59.935
WPP-NRI 715 337.684
WPP-NRI 716 169.573

46 | P a g e
WPP-NRI 717 175.420
WPP-NRI 718 1.004.281
Sumber : Lampiran KEP-126/PJ/2015

Penghitungan NJOP dan PBB Terutang Sektor Perikanan

NJOP sebagai dasar pengenaan PBB P3 untuk objek PBB Usaha Perikanan
Tangkap dan Pembudidayaan Ikan meliputi NJOP bumi. NJOP bumi diperoleh dari luas
bumi dikalikan dengan NJOP bumi per meter persegi. NJOP bumi per meter persegi
merupakan hasil konversi nilai bumi per meter persegi ke dalam klasifikasi NJOP bumi
sebagai mana dimaksud dalam Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur tentang
klasifikasi NJOP, dalam hal ini PMK-139/PMK.03/2014.

Penghitungan nilai bumi per meter persegi dilakukan dalam hal:

 Terdapat hasil produksi


Nilai bumi per meter persegi merupakan hasil pembagian antara nilai bumi dengan luas
bumi. Nilai bumi ditentukan berdasarkan hasil perkalian antara pendapatan bersih
produksi selama setahun sebelum tahun pajak dengan angka kapitalisasi. Pendapatan
bersih produksi ditentukan berdasarkan pendapatan kotor produksi dikurangi dengan
biaya produksi selama setahun sebelum tahun pajak.
Pendapatan kotor produksi merupakan hasil perkalian antara harga jual produksi dengan
hasil produksi selama setahun sebelum tahun pajak. Harga jual dimaksud adalah harga
jual rata-rata selama setahun sebelum tahun pajak. Sedangkan biaya produksi
merupakan hasil perkalian rasio biaya dengan pendapatan kotor produksi setahun.
Rasio biaya ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak. Berdasarkan Kep-
126/PJ/2015 rasio biaya ditetapkan sebesar 70% dari pendapatan kotor dan angka
kapitalisasi sebesar 10,00.
 Tidak terdapat hasil produksi
Besarnya nilai bumi per meter persegi ditentukan dengan Keputusan Direktur Jenderal
Pajak. Berdasarkan Kep-126/PJ/2015 nilai bumi per meter persegi untuk areal yang
tidak terdapat hasil produksi adalah sebesar Rp140,00.

Penghitungan besarnya NJOP dan PBB terutang Sektor Perikanan dapat dilihat
sebagai mana tabel berikut:

Penghitungan NJOP Dan PBB Terutang Perikanan Tangkap

47 | P a g e
Objek Pajak
Bumi 10 kapal WPP-NRI 572 5.598.830
Hasil Harga rata-rata
Hasil produksi (tangkapan setahun)
(Ton) (Rp/Ton)
Ikan kerapu 3.000 5.000.000 15.000.000.000
Ikan tenggiri 2.500 7.500.000 18.750.000.000
Ikan kakap 2.000 10.000.000 20.000.000.000
Udang 1.500 25.000.000 37.500.000.000
Ikan tongkol 5.000 2.000.000 10.000.000.000
Jumlah hasil bruto 101.250.000.000
Biaya (rasio biaya sesuai Kep-126/PJ/2015 = 70%) 70.875.000.000
Pendapatan bersih 30.375.000.000
Angka kapitalisasi (sesuai Kep-126/PJ/2015) 10,00
Nilai bumi 303.750.000.000
Nilai bumi per m2 54.252
NJOP per m2 (konversi PKM-139/PMK.03/2014) kelas 112 55.400
NJOP bumi 310.175.182.000
NJOPTKP 12.000.000
NJOP dasar pengenaan 310.163.182.000
NJKP 40%
NJOP dasar penghitungan 124.065.272.800
PBB terutang (tarif = 0,5%) 620.326.364

Penghitungan NJOP Dan PBB Terutang Pembudidayaan Ikan


Objek Pajak
Bumi (Perairan) Luas (m2)
Pembenihan 20.000
Pembesaran 30.000
Pembudidayaan mutiara 25.000
Jumlah 75.000

Harga rata-rata
Produksi Hasil (Kg)
(Rp/Kg)
Lobster 500.000 50.000 25.000.000.000
Kerang mutiara 12 6.000.000 72.000.000
Penghasilan bruto 25.072.000.000
Biaya (Rasio biaya sesuai Kep-126/PJ/2015 = 70%) 17.550.400.000
Penghasilan bersih 7.521.600.000
Angka kapitalisasi (sesuai Kep-126/PJ/2015 = 10,00) 10,00
Nilai bumi 75.216.000.000
Nilai bumi per m2 1.002.880
NJOP per m2 (hasil konversi) kelas 044 986.000
NJOP bumi 73.950.000.000
NJOPTKP 12.000.000
NJOP dasar pengenaan 73.938.000.000
NJKP 40%
NJOP dasar penghitungan 29.575.200.000
PBB terutang (tarif 0,5%) 147.876.000

48 | P a g e
2. PBB Jaringan Pipa, Kabel Telekomunikasi, dan Kabel Listrik

Objek PBB jaringan pipa, kabel telekomunikasi, dan jaringan listrik meliputi bumi dan
bangunan. Bumi berupa perairan lepas pantai, yang bukan merupakan wilayah
kabupaten/kota, meliputi laut teritorial Indonesia, perairan kepulauan, laut pedalaman, Zona
Ekonomi Eksklusif Indonesia, dan perairan di dalam batas Landas Kontinen Indonesia. Bumi
meliputi areal yang dipakai sebagai tempat bangunan jaringan pipa serta areal pengaman. .
Luas bumi dihitung berdasarkan hasil perkalian antara panjang pipa, kabel telekomunikasi,
jaringan listrik dengan lebar areal pengaman.
Bangunan berupa konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada
bumi. Bangunan meliputi bangunan jaringan pipa, jaringan kabel telekomunikasi, atau
jaringan kabel listrik. Luas bangunan dihitung berdasarkan hasil perkalian antara panjang
pipa atau kabel dengan diameter pipa atau kabel.

Penghitungan NJOP dan PBB Terutang Jaringan Pipa, Kabel Telekomunikasi, Kabel
Listrik
NJOP sebagai dasar pengenaan PBB sektor lainnya untuk jaringan pipa, jaringan
kabel telekomunikasi, atau jaringan listrik merupakan jumlah dari NJOP Bumi dan NJOP
Bangunan. NJOP bumi untuk jaringan pipa, jaringan telekomunikasi, dan jaringan listrik
merupakan hasil perkalian antara luas bumi dengan NJOP bumi per meter persegi. NJOP
bumi per meter persegi merupakan hasil konversi nilai bumi per meter persegi kedalam
klasifikasi NJOP bumi sebagai mana dimaksud dalam Peraturan Menteri Keuangan yang
mengatur tentang klasifikasi NJOP bumi, dalam hal ini PMK-139/PMK.03/2014. Nilai bumi
per meter persegi ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak. Berdasarkan KEP-
126/PJ/2015 nilai bumi per meter persegi untuk jaringan pipa, jaringan kabel telekomunikasi,
dan jaringan listrik ditetapkan sebesar Rp11.458,00.
NJOP bangunan untuk jaringan pipa, jaringan kabel telekomunikasi, dan jaringan
listrik merupakan hasil perkalian antara luas bangunan dengan NJOP bangunan per meter
persegi. Luas bangunan dihitung berdasarkan hasil perkalian antara panjang pipa/kabel
dengan diameter pipa/kabel. NJOP bangunan per meter persegi merupakan hasil konversi
nilai bangunan per meter persegi ke dalam klasifikasi NJOP bangunan sebagai mana
dimaksud dalam Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur tentang klasifikasi NJOP
bangunan, dalam hal ini PMK-139/PMK.03/2014. Nilai bangunan per meter persegi
merupakan hasil pembagian antara jumlah nilai bangunan dengan jumlah luas bangunan.
Nilai bangunan dihitung dengan pendekatan biaya.

Penghitungan besarnya NJOP dan PBB terutang sektor lainnya untuk jaringan pipa,
jaringan kabel telekomunikasi, dan jaringan listrik dapat dilihat dalam tabel berikut :

49 | P a g e
Penghitungan NJOP Dan PBB Terutang
Jaringan Pipa/Kabel Telekomunikasi/Listrik

Objek Pajak
Bumi Ruas Panjang (M) Lebar (M) Luas (M2)
I 3.000 50 150.000
II 2.500 50 125.000
III 4.000 50 200.000
IV 1.000 50 50.000
V 5.000 50 250.000
Jumlah 775.000
Nilai bumi/M2 (ketetapan DJP) 11.458
NJOP/M2 (Konversi PMK-139) 11.500
NJOP Bumi 8.912.500.000

Bangunan Ruas Panjang Diameter Luas Nilai


I 3.000 1,2 3.600 2.752.704.000
II 2.500 1,2 3.000 2.293.920.000
III 4.000 1,2 4.800 3.670.272.000
IV 1.000 1,2 1.200 1.223.280.000
V 5.000 1,2 6.000 6.116.400.000
Jumlah 18.600 16.056.576.000
Nilai bangunan/M2 863.257
NJOP/M2 (Konversi PMK-139) 870.000
NJOP Bangunan 16.182.000.000

NJOP Bumi + Bangunan 25.094.500.000


NJOPTKP 12.000.000
NJOP dasar pengenaan 25.082.500.000
NJKP 40%
NJOP dasar penghitungan 10.033.000.000
PBB terutang (tarif =0,5%) 50.165.000

3. PBB Jalan Tol

Objek PBB Jalan Tol meliputi bumi dan bangunan. Bumi berupa perairan lepas
pantai, yang bukan merupakan wilayah kabupaten/kota, meliputi laut teritorial Indonesia,
perairan kepulauan, laut pedalaman, Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, dan perairan di
dalam batas Landas Kontinen Indonesia. Bumi meliputi areal yang dipakai sebagai pondasi
jalan tol. Luas bumi dihitung berdasarkan hasil perkalian antara jumlah tapak dengan luas
masing-masing pondasi.

50 | P a g e
Bangunan berupa konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada
bumi. Bangunan jalan tol meliputi bangunan ruas jalan tol. Luas bangunan jalan tol dihitung
berdasarkan hasil perkalian antara lebar ruas jalan tol dengan panjang jalan tol.

Penghitungan NJOP Dan PBB Terutang Untuk Jalan Tol


NJOP sebagai dasar pengenaan PBB untuk jalan tol merupakan jumlah dari NJOP
bumi dan NJOP bangunan. NJOP bumi untuk jalan tol merupakan hasil perkalian antara
luas bumi dengan NJOP bumi per meter persegi. NJOP bumi per meter persegi merupakan
hasil konversi nilai bumi per meter persegi ke dalam klasifikasi NJOP Bumi sebagai mana
dimaksud dalam Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur tentang NJOP Bumi PBB,
dalam hal ini PMK-139/PMK.03/2014. Nilai bumi per M2 ditetapkan dengan Keputusan
Direktur Jenderal Pajak. Berdasarkan KEP-126/PJ/2015 nilai bumi per meter persegi untuk
jaringan pipa, jaringan kabel telekomunikasi, dan jaringan listrik ditetapkan sebesar
Rp11.458,00.

NJOP bangunan untuk ruas jalan tol merupakan hasil perkalian antara luas
bangunan dengan NJOP bangunan per meter persegi. Luas bangunan dihitung berdasarkan
hasil perkalian antara panjang ruas jalan tol dengan lebar ruas jalan tol. NJOP bangunan per
meter persegi merupakan hasil konversi nilai bangunan per meter persegi ke dalam
klasifikasi NJOP bangunan sebagai mana dimaksud dalam Peraturan Menteri Keuangan
yang mengatur tentang klasifikasi NJOP, dalam hal ini PMK-139/PMK.03/2014. Nilai
bangunan per meter persegi merupakan hasil pembagian antara jumlah nilai bangunan
dengan jumlah luas bangunan. Nilai bangunan dihitung dengan metode atau pendekatan
biaya.

51 | P a g e
Penghitungan NJOP dan PBB terutang atas jalan tol sebagai mana tabel berikut:

Penghitungan NJOP Dan PBB Terutang


Atas Jalan Tol

Objek Pajak
Pondasi
Bumi Juml Tapak Luas
Panjang Lebar
Ruas 1 26 3 3 234
Ruas 2 14 4 4 224
Ruas 3 20 5 5 500
Jumlah 958
Nilai per M2 (Ditetapkan DJP) 11.458
NJOP per M2 11.500
NJOP bumi 11.017.000

Bangunan Panjang Lebar Luas Nilai per m2 Jumlah nilai


Ruas 1 50.000 26 1.300.000 4.500.000 5.850.000.000.000
Ruas 2 2.500 26 65.000 4.500.000 292.500.000.000
Ruas 3 40.500 26 1.053.000 4.500.000 4.738.500.000.000
Jalan masuk 100 6 600 4.000.000 2.400.000.000
Jalan keluar 120 6 720 4.000.000 2.880.000.000
Gerbang 1 70 2.000.000 140.000.000
Gerbang 2 70 2.000.000 140.000.000
Gerbang 3 70 2.000.000 140.000.000
Gerbang 4 70 2.000.000 140.000.000
Jumlah 2.419.600 10.886.840.000.000
Nilai per meter persegi 4.499.438
NJOP per meter persegi (Hasil konversi) kelas 040 4.600.000
NJOP bangunan 11.130.160.000.000

NJOP bumi + bangunan 11.130.171.017.000


NJOPTKP 12.000.000
NJOP dasar pengenaan 11.130.159.017.000
NJKP 40%
NJOP dasar penghitungan 4.452.063.606.800
PBB terutang (tarif = 0,5%) 22.260.318.034

52 | P a g e
A. Tes Formatif
4. Penilaian bumi areal produktif atas PBB perkebunan dilakukan dengan….
a. Pendekatan data pasar
b. Pendekatan biaya
c. Pendekatan pendapatan
d. Pendekatan data pasar ditambah SIT
5. Berikut merupakan faktor yang diperhatikan untuk penghitungan SIT dalam penilaian
objek PBB perkebunan, kecuali….
a. Umur tanaman
b. SBPK
c. Jenis tanaman
d. SIT tahun sebelumnya
6. Penilaian bumi areal produktif objek PBB hutan alam dilakukan dengan pendekatan….
a. Pasar
b. Biaya
c. Pendapatan
d. Individual
7. Penilaian bangunan khusus yang berada dikawasan hutan alam dilakukan dengan
menggunakan pendekatan….
a. Individual
b. Masal
c. Pasar
d. Biaya
8. Data pasar sebagai pembading dalam melakukan penilaian objek PBB hutan tanaman
dapat diperoleh sebagai berikut, kecuali….
a. Notaris PPAT
b. Ikllan
c. NJOP tahun lalu
d. Kepala desa
9. Nilai per meter persegi bumi objek pajak hutan tanaman diperoleh dari….
a. Hasil bagi antara jumlah seluruh nilai bumi dengan seluruh luas bumi
b. Hasil bagi antara nilai areal produktif dengan luas areal produktif
c. Hasil bagi antara jumlah seluruh nilai bumi dengan luas sesuai ijin
d. Hasil bagi antara jumlah seluruh nilai bumi dengan luas areal produktif

53 | P a g e
10. Penilaian tubuh bumi objek PBB migas pada tahap eksploitasi dilakukan dengan
menggunakan pendekatan….
a. Pasar
b. Biaya
c. Pendapatan
d. Produksi
11. Penghitungan pendapatan kotor dalam penilaian objek PBB pabum dilakukan
berdasarkan hal-hal berikut, kecuali….
a. Hasil produksi uap terjual
b. Hasil produksi listrik terjual
c. Harga uap
d. Angka kapitalisasi
12. Penilain objek PBB penangkapan ikan apabila terdapat hasil produksi terjual dilakukan
dengan pendekatan….
a. Pendapatan
b. Biaya
c. Pasar
d. Jumlah kapal
13. Besarnya nilai per meter persegi bangunan ruas jalan tol dihitung berdasarkan….
a. Harga pasar dibagi luas jalan tol
b. Jumlah nilai bangunan jalan tol dibagi luas jalan tol
c. Jumlah nilai seluruh bangunan dibagi luas jalan tol
d. Jumlah nilai seluruh bagunan dibagi luas seluruh bangunan

54 | P a g e
BEA METERAI
A. Dasar Hukum

Bea Meterai merupakan salah satu pajak pusat, yang dikenakan berdasarkan
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai (selanjutnya disebut Undang-
Undang Bea Meterai). Diundangkannya Undang-Undang Bea Meterai mencabut berlakukan
Aturan Bea Meterai 1921 (Zegelverordening 1921). Undang-Undang Bea Meterai mulai
berlaku tanggal 1 Januari 1986. Besarnya tarif Bea Meterai diatur dengan Peraturan
Peperintah (PP). PP yang saat ini berlaku untuk penetapan tarif Bea Meterai adalah PP 24
Tahun 2000 tantang Perubahan Tarif Bea Meterai dan Besarnya Batas Pengenaan Harga
Nominal Yang Dikenakan Bea Meterai.

B. Objek Bea Meterai

Bea Meterai adalah pajak yang dikenakan atas dokumen. Dokumen, sebagai mana
diatur dalam pasal 1 ayat (2) huruf a Undang-Undang Bea Meterai adalah kertas yang
berisikan tulisan yang mengandung arti dan maksud tentang perbuatan, keadaan atau
kenyataan bagi seseorang dan/atau pihak-pihak yang berkepentingan. Dokumen yang
dikenakan Bea Meterai diatur dalam pasal 2, meliputi dokumen yang berbentuk:
1. Surat perjanjian dan surat-surat lainnya yang dibuat dengan tujuan untuk digunakan
sebagai alat pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan, atau keadaan yang bersifat
perdata. Yang dimaksud dengan surat-surat lainnya antara lain surat kuasa, surat
hibah, surat pernyataan;
2. Akta-akta notaris termasuk salinannya;
3. Akta-akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah termasuk rangkap-
rangkapnya;
4. Surat yang memuat jumlah uang lebih dari Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), meliputi:
a. yang menyebut penerimaan uang;
b. yang menyatakan pembukuan uang atau penyimpanan uang dalam rekening di
bank;
c. yang berisi pemberitahuan saldo rekening di bank;
d. yang berisi pengakuan bahwa utang uang seluruhnya atau sebagiannya telah
dilunasi atau diperhitungkan.
5. Surat berharga seperti wesel, promes, aksep, dan cek yang harga nominalnya lebih
dari Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah);
6. Efek dengan nama dan dalam bentuk apapun, sepanjang harga nominalnya lebih dari
Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah);

55 | P a g e
7. Dokumen yang akan digunakan sebagai alat pembuktian di muka Pengadilan, antara
lain:
a. Surat-surat biasa dan surat-surat kerumahtanggaan. Sebagai contoh seseorang
mengirim surat biasa kepada orang lain untuk menjualkan sebuah barang. Atas
surat tersebut bukan merupakan dokumen yang terutang Bea Meterai. Tetapi
apabila terjadi perkara atas hal tersebut sehingga surat biasa tersebut dipakai
sebagai alat bukti di muka Pengadilan, maka sebelum dipakai alat bukti, terlebih
dahulu dilakukan pemeteraian kemudian. Contoh lain surat kerumahtangaan
adalah daftar harga barang. Saat dibuat daftar harga barang bukan merupakan
objek Bea Meterai. Tetapi apabila terjadi sengketa dan daftar harga barang
tersebut merupakan salah satu bukti di muka Pengadilan, maka sebelum dipakai
sebagai bukti terlebih dahulu dilakukan pemeteraian kemudian.
b. Surat-surat yang semula tidak dikenakan Bea Meterai berdasarkan tujuannya, jika
digunakan untuk tujuan lain atau digunakan oleh orang lain, lain dari maksud
semula. Sebagai contoh, surat penerimaan uang yang dibuat dengan tujuan untuk
keperluan intern organisasi. Saat dibuat surat penerimaan uang bukan merupakan
objek yang dikenakan Bea Meterai. Tetapi apabila digunakan untuk tujuan lain,
seperti alat bukti di muka Pengadilan, maka terlebih dahulu harus dlakukan
pemeteraian kemudian.
8. Dokumen yang dibuat di luar negeri pada saat digunakan di Indonesia. Saat dokumen
tersebut dibuat diluar negeri bukan merupakan objek Bea Meterai sehingga tidak
terutang Bea Meterai. Apabila dokumen tersebut akan digunakan di Indonesia, maka
terlebih dahulu harus dibubuhi Bea Meterai sesuai dengan tarif yang berlaku dengan
cara pemeteraian kemudian tanpa dikenakan denda. Namun apabila dibubuhi Bea
Meterai setelah digunakan, maka pemeteraian kemudian dilakukan sebesar tarif yang
berlaku ditambah denda sebesar 200%.
Jenis dokumen yang dinyatakan dalam mata uang selain rupiah (mata uang asing),
aturan batas nominal Rp 1.000.000,00 tetap berlaku. Besarnya nilai rupiah dihitung dengan
mengalikan besaran nilai nominal mata uang asing tersebut dengan nilai tukar (kurs) yang
ditetapkan oleh Menteri Keuangan yang berlaku saat dibuat dokumen, sehingga dapat
diketahui apakah dokemen tersebut terutang atau tidak terutang Bea Meterai.

C. Dikecualikan Sebagai Objek Bea Meterai

Pasal 4 Undang-Undang Bea Meterai mengatur tentang dokumen yang tidak


dikenakan Bea Meterai, meliputi :
1. Dokumen yang berupa:

56 | P a g e
 Surat penyimpanan barang
 Konosemen
 Surat angkutan penumpang dan barang
 Keterangan pemindahan yang dituliskan di atas dokumen surat penyimpanan
barang, konosemen, dan surat angkutan penumpang dan barang
 Bukti untuk pengiriman dan penerimaan barang
 Surat pengiriman barang untuk dijual atas tanggungan pengirim
 Surat-surat lain yang dapat disamakan dengan surat-surat tersebut di atas seperti
surat titipan barang, ceel gudang, manifest penumpang.
2. Segala bentuk ijazah termasuk surat tanda tamat belajar, tanda lulus, surat keterangan
telah mengikuti suatu pendidikan, latihan, kursus, dan penataran.
3. Tanda terima gaji, uang tunggu, pensiun, uang tunjangan, dan pembayaran lainnya yang
ada kaitannya dengan hubungan kerja serta surat-surat yang diserahkan untuk
mendapatkan pembayaran itu.
4. Tanda bukti penerimaan uang Negara dari Kas Negara, Kas Pemerintah Daerah, dan
Bank.
5. Kuitansi untuk semua jenis pajak dan untuk penerimaan lainnya yang dapat disamakan
dengan itu dari Kas Negara, Kas Pemerintah Daerah, dan Bank yang ditunjuk oleh
Pemerintah untuk menerima setoran pajak dan bea cukai.
6. Tanda penerimaan uang yang dibuat untuk keperluan intern organisasi.
7. Dokumen yang menyebutkan tabungan, pembayaran uang tabungan kepada penabung
oleh bank, koperasi, dan badan-badan lainnya yang bergerak di bidang tersebut.
8. Surat gadai yang diberikan oleh Perusahaan Jawatan Pegadaiaan.
9. Tanda pembagian keuntungan atau bunga dari efek, dengan nama dan dalam bentuk
apapun.

D. Subjek, Saat Terutang, dan Tarif Bea Meterai

1. Subjek Bea Meterai

Pasal 6 Undang-Undang Bea Meterai mengatur bahwa Bea Meterai terutang oleh
pihak yang menerima atau pihak yang mendapat manfaat dari dokumen, kecuali pihak atau
pihak-pihak yang bersangkutan menentukan lain. Selanjutnya, dalam penjelasan Pasal 6
dijelaskan dalam hal dokumen dibuat sepihak, misalnya kuitansi, Bea Meterai terutang oleh
penerima kuitansi. Dalam hal dokumen dibuat oleh dua pihak atau lebih, misal surat
perjanjian dibawah tangan, maka masing-masing pihak terutang Bea Meterai atas dokumen
yang diterimanya. Jika surat perjanjian dibuat dengan Akta Notaris, maka Bea Meterai yang

57 | P a g e
terutang baik atas asli sahih yang disimpan oleh Notaris maupun salinannya yang
diperuntukkan pihak-pihak yang bersangkutan terutang oleh pihak-pihak yang mendapat
manfaat dari dokumen tersebut, yang dalam contoh ini adalah pihak-pihak yang
mengadakan perjanjian. Jika pihak atau pihak-pihak yang bersangkutan menentukan lain,
maka Bea Meterai terutang oleh pihak atau pihak-pihak yang ditentukan dalam dokumen
tersebut.

2. Saat Terutang Bea Meterai

Saat terutang Bea Meterai diatur dalam Pasal 5 Undang-Undang Bea Meterai. Saat
terutang Bea Meterai ditentukan dalam hal :
1. Dokumen yang dibuat oleh satu pihak adalah pada saat dokumen itu diserahkan. Yang
dimaksud dokumen diserahkan adalah pada saat dokumen itu diserahkan dan diterima
oleh pihak untuk siapa dokumen tersebut dibuat, bukan pada saat ditandatangani,
misalnya kuitansi, cek, dan sebagainya.
2. Dokumen yang dibuat oleh lebih dari satu pihak, adalah pada saat selesainya
dokumen itu dibuat. Saat terutang Bea Meterai adalah pada saat dokumen itu telah
selesai dibuat, yang ditutup dengan pembubuhan tanda tangan dari yang
bersangkutan. Sebagai contoh surat perjanjian jual beli. Bea Meterai terutang saat
ditandatanganinya perjanjian tersebut.
3. Dokumen yang dibuat di luar negeri adalah pada saat digunakan di Indonesia.

3. Tarif Bea Meterai

Berdasarkan Undang-Undang Bea Meterai, tarif Bea Meterai ditetapkan sebesar


Rp500,00 (lima ratus rupiah) dan Rp1.000,00 (seribu rupiah). Pasal 3 Undang-Undang Bea
Meterai mengatur besarnya tarif Bea Meterai dan besarnya batas pengenaan harga nominal
yang dikenakan Bea Meterai, dapat ditiadakan, diturunkan, dinaikkan setinggi-tingginya
enam kali dapat ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah (PP). Saat ini, besaran tarif dan
besaran batas pengenaan nominal diatur dengan PP 24 Tahun 2000 tentang Perubahan
Tarif Bea Meterai dan Besarnya Batas Pengenaan Harga Nominal Yang Dikenakan Bea
Meterai.
Perbandingan besaran tarif Bea Meterai sebagai Undang-Undang Bea Meterai
dengan PP 24 Tahun 200, sebagai mana tabel berikut :

Objek Dan Besarnya Tarif Bea Meterai

Besar Tarif (Rp)


No Objek Bea Meterai
UU BM PP 24/2000
1 Surat perjanjian dan surat-surat lainnya yang 1.000 6.000

58 | P a g e
dibuat dengan tujuan untuk digunakan
sebagai alat pembuktian mengenai
perbuatan, kenyataan atau keadaan yang
bersifat perdata
2 Akta-akta Notaris termasuk salinannya 1.000 6.000
3 Akta-akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat
Akta Tanah (PPAT) termasuk rangkap- 1.000 6.000
rangkapnya
4 Surat yang memuat jumlah uang yaitu:
a. yang mempunyai harga nominal sampai Tidak terutang
Tidak Terutang
dengan Rp 250.000,00 (<Rp100.000)
b. yang mempunyai harga nominal lebih dari 500
Rp 250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu (>Rp100.000 sd 3.000
rupiah) sampai dengan Rp 1.000.000,00 Rp1.000.000)
c. yang mempunyai harga nominal lebih dari
1.000 6.000
Rp 1.000.000,00
5 Surat berharga seperti wesel, promes, dan aksep, yaitu :
a. yang mempunyai harga nominal sampai Tidak terutang
Tidak terutang
dengan Rp 250.000,00 (<Rp100.000)
b. yang mempunyai harga nominal lebih dari 500
Rp 250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu (>100.000 sd 3.000
rupiah) sampai dengan Rp 1.000.000,00 Rp1.000.000)
c. yang mempunyai harga nominal lebih dari
1.000 6.000
Rp 1.000.000,00
6 Dokumen yang akan digunakan sebagai alat pembuktian di muka Pengadilan, yaitu:
a. surat-surat biasa dan surat-surat
1.000 6.000
kerumahtanggaan
b. surat-surat yang semula tidak dikenakan
Bea Meterai berdasarkan tujuannya, jika
digunakan untuk tujuan lain atau 1.000 6.000
digunakan oleh orang lain, selain dari
maksud semula
7 Cek dan Bilyet Giro 1.000
3.000
>Rp1.000.000
8 Efek dengan nama dan dalam bentuk apapun, dengan nilai nominal :
a. sampai dengan Rp 1.000.000,00 500
(>Rp100.000 sd 3.000
Rp1.000.000)
b. lebih dari Rp 1.000.000,00 1.000 6.000
9 Sekumpulan efek dengan nama dan dalam bentuk apapun yang tercantum dalam surat kolektif, yang
mempunyai nilai nominal :
a. sampai dengan Rp 1.000.000,00 500
(>Rp100.000 sd 3.000
Rp1.000.000)
b. lebih dari Rp 1.000.000,00 1.000 6.000

E. Cara Pelunasan Bea Meterai

Sebagai mana diatur dalam pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Bea Meterai, terdapat
dua cara untuk melakukan pelunasan atas Bea Meterai, yaitu menggunakan benda meterai
dan menggunakan cara lain yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

1. Pelunasan Bea Meterai Dengan Menggunakan Benda Meterai

Benda meterai adalah meterai tempel dan kertas meterai yang dikeluarkan oleh
Pemerintah Republik Indonesia. Benda meterai terdiri dari meterai tempel dan kertas

59 | P a g e
meterai. Pemeteraian dengan menggunakan meterai temple dilakukan dengan melekatkan
seluruhnya dengan utuh dan tidak rusak di atas dokumen yang dikenakan Bea Meterai.
Meterai tempel direkatkan di tempat dimana tanda tangan akan dibubuhkan. Tandatangan
adalah tandatangan sebagaimana lazimnya dipergunakan, termasuk pula paraf, teraan atau
cap tandatangan atau cap paraf, teraan cap nama atau tanda lainnya sebagai pengganti
tandatangan. Pembubuhan tanda tangan disertai dengan pencantuman tanggal, bulan, dan
tahun dilakukan dengan tinta atau yang sejenis dengan itu, sehingga sebagian tanda tangan
ada di atas kertas dan sebagian lagi di atas meterai tempel. Jika digunakan lebih dari satu
meterai tempel, tanda tangan harus dibubuhkan sebagian di atas semua meterai tempel dan
sebagian di atas kertas.
Pelunasan Bea Meterai menggunakan Kertas Meterai dilakukan dengan menuliskan
dokumen yang menjadi objek Bea Meterai pada Kertas Meterai yang telah ditentukan.
Tanda tangan pihak yang membuat dokumen dilakukan di atas Kertas Meterai pada bagian
yang sudah ditentukan. Jika isi dokumen yang dikenakan Bea Meterai terlalu pajang untuk
dimuat seluruhnya di atas Kertas Meterai yang digunakan, maka untuk bagian isi yang
masih tertinggal dapat digunakan kertas tidak bermeterai. Suatu dokumen yang
mempergunakan beberapa helai kertas (misalkan akta pendirian sebuah perseroan
terbatas) dan akta tersebut menggunakan Kertas Meterai, maka hanya bagian awal (helai
pertama) saja yang menggunakan Kertas Meterai, kemudian helai-helai berikutnya dapat
menggunakan kertas biasa tanpa Meterai. Kertas Meterai yang sudah digunakan tidak boleh
digunakan lagi.

2. Pelunasan Bea Meterai menggunakan cara lain

Pelaksanaan pelunasan Bea Meterai menggunakan cara lain diatur dalam Peraturan
Menteri Keuangan Nomor PMK-133b/PMK.04/2000 tentang Pelunasan Bea Meterai Dengan
Menggunakan Cara Lain. Pelunasan Bea Meterai menggunakan cara lain adalah dengan
membubuhkan tanda Bea Meterai Lunas. Pembubuhan tanda Bea Meterai Lunas dapat
dilakukan dengan empat cara yaitu :
1. menggunakan mesin teraan meterai;
2. menggunakan teknologi percetakan;
3. menggunakan sistem komputerisasi; dan
4. menggunakan alat lain dengan teknologi tertentu.
Pelunasan Bea Meterai dengan menggunakan cara lain harus mendapatkan ijin dari
Direktur Jenderal Pajak. Hasil pencetakan tanda Bea Meterai Lunas harus dilaporkan
kepada Direktur Jenderal Pajak. Pembubuhan tanda Bea Meterai Lunas dengan
menggunakan teknologi percetakan dilaksanakan oleh Perusahaan Umum (Perum)

60 | P a g e
Percetakan Uang Republik Indonesia (Peruri) dan/atau Perusahaan Sekuriti yang mendapat
ijin dari Badan Koordinasi Pemberantasan Uang Palsu (Botasupal) yang di tunjuk oleh Bank
Indonesia. Bea meterai yang telah dibayar atas tanda Bea Meterai Lunas yang tercetak
pada dokumen yang tidak terutang Bea Meterai ataupun yang belum digunakan untuk
mencetak tanda Bea Meterai Lunas, dapat dialihkan untuk penggunaan berikutnya. Penerbit
dokumen dengan tanda Bea Meterai Lunas yang Bea Meterainya tidak atau kurang dilunasi
harus melunasi Bea Meterai yang terutang berikut dendanya 200% (dua ratus persen) dari
Bea Meterai yang tidak atau kurang dilunasi dengan cara menyetorkannya ke Kas Negara
atau Bank Persepsi.

3. Pemeterain Kemudian

Selain dua cara tersebut, khusus untuk dokumen tertentu yang pada saat
pembuatannya tidak merupakan objek Bea Meterai, apabila akan dipergunakan untuk tujuan
lain, pelunasan Bea Meterai dilakukan dengan Pemeteraian kemudian. Hal ini juga berlaku
atas dokumen yang dibuat di luar negeri dan akan dipergunakan di Indonesia. Pelunasan
Bea Meterai dengan Pemeteraian kemudian sebagai mana diatur dalam Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 70/PMK.03/2014 adalah suatu cara pelunasan Bea Meterai yang
dilakukan oleh Pejabat Pos atas permintaan pemegang dokumen yang Bea Meterainya
belum dilunasi sebagai mana mestinya.
Pemeteraian Kemudian dilakukan atas Dokumen yang akan digunakan sebagai alat
pembuktian di muka pengadilan, Dokumen yang Bea Meterainya tidak atau kurang dilunasi
sebagaimana mestinya, dan/atau Dokumen yang dibuat di luar negeri yang akan digunakan
di Indonesia. Pemeteraian Kemudian dilakukan oleh pemegang Dokumen. Pemegang
dokumen meliputi :
1. pihak yang akan menggunakan dokumen sebagai alat pembuktian di muka pengadilan,
untuk dokumen yang akan digunakan sebagai alat pembuktian di muka pengadilan
2. pemilik Dokumen, untuk dokumen yang Bea Meterainya tidak atau kurang dilunasi
sebagaimana mestinya
3. pihak yang akan menggunakan Dokumen di Indonesia, untuk dokumen yang dibuat di
luar negeri yang akan digunakan di Indonesia.
Bea Meterai yang harus dilunasi apabila dilakukan Pemeteraian Kemudian adalah
sejumlah Bea Meterai terutang sesuai peraturan yang berlaku pada saat dilakukan
Pemeteraian Kemudian ditambah denda administrasi sebesar 200% (dua ratus persen) dari
Bea Meterai yang tidak atau kurang dibayar.

61 | P a g e
Pelunasan Bea Meterai dengan Pemeteraian Kemudian dilakukan dengan
menggunakan meterai tempel atau Surat Setoran Pajak (SSP), sedangkan pelunasan denda
administrasi dilakukan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP)

A. Tes Formatif
2. Yang menjadi objek Bea Meterai adalah….
a. Surat yang meyatakan jumlah uang
b. Salinan Akta Notaris
c. Tanda terima gaji
d. Tanda terima setoran pajak
3. Berikut adalah dokumen yang tidak dikenakan Bea Meterai, kecuali:
a. Surat pernyataan
b. Surat tanda tamat belajar
c. Tanda terima uang pensiun
d. Tanda terima uang dari Kas Daerah
4. Yang menjadi subjek Bea Meterai adalah….
a. Yang membuat dokumen
b. Notaris/PPAT
c. Yang mendapat manfaat atas dokumen
d. Masing-masing pihak
5. Berikut yang bukan menyatakan saat terutang Bea Meterai adalah….
a. Saat dokumen diserahkan
b. Saat kuitansi ditandatangani
c. Saat ditandatangani perjanjian
d. Saat dipergunakan di Indonesia
6. Kuitansi yang menyatakan penerimaan uang dengan nominal Rp200.000,00, terutang
Bea Meterai sebesar….
a. Rp0,00
b. Rp1.000,00
c. Rp3.000,00
d. Rp6.000,00
7. Akta notaris untuk pendirian koperasi simpan pinjam terutang Bea Meterai sebesar….
a. Rp0,00
b. Rp1.000,00
c. Rp3.000,00

62 | P a g e
d. Rp6.000,00
8. Buku dengan judul “Hukum Pajak” karangan R Sumitro, apabila dijadikan alat bukti
dipengadilan, maka terutang Bea Meterai sebesar….
a. Rp3.000,00
b. Rp6.000,00
c. Rp12.000,00
d. Rp18.000,00
9. Pelunasan Bea Meterai dapat dilakukan dengan cara berikut, kecuali….
a. Meterai tempel
b. Kertas meterai
c. Benda pos
d. Mesin teraan
10. Pemeteraiaan kemudian dilakukan dalam hal….
a. Dokumen yang meterainya kurang dibayar
b. Penandatangan kuitansi
c. Penandatangan akta perjanjian
d. Penyerahan kuitansi
11. Berikut adalah pihak yang melakukan pemeteraian kemudian, kecuali….
a. Notaris
b. Pengguna dokumen di pengadilan
c. Pemilik dokumen
d. Yang menggunakan dokumen di Indonesia

63 | P a g e
BEA PEROLAHAN HAK ATAS TANAH DAN/ATAU
BANGUNAN (BPHTB)

1. Pendahuluan

Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan (BPHTB) dikenakan berdasarkan pada
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retibusi Daerah (UU
PDRD). Semenjak diundangkannya UU PDRD, maka pengelolaan BPHTB dilakukan oleh
pemerintah daerah yang dalam hal ini adalah Pemerintah Kota/Kabupaten, kecuali untuk
DKI Jakarta dikelola sebagai pajak propinsi. BPHTB dikenakan atas perolehan Ha katas
tanah dan/atau bangunan. Tarif dan pengenaan BPHTB diatur dengan peraturan daerah.

2. Objek BPHTB

Sebagai mana dijelaskan dalam pasal 1 angka 41 UU PDRD, BPHTB adalah pajak atas
perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan. Sebagai mana diatur dalam pasal 85 UU
PDRD, objek BPHTB adalah perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan. Perolehan Hak
atas Tanah dan/atau Bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang
mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan/atau bangunan oleh orang pribadi atau
Badan. Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan meliputi :

a. Pemindahan Hak karena:


1) Jual beli
2) Tukar menukar
3) Hibah
4) Hibah wasiat
5) Waris
6) Pemsukan dalam perseroan atau badan hokum lain
7) Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan
8) Penunjukan pembeli dalam lelang
9) Pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hokum tetap
10) Penggabungan usaha
11) Peleburan usaha
12) Pemekaran usaha, atau
13) Hadiah
b. Pemberian Hak Baru karena:
1) Kelanjutan pelepasan hak, atau
2) Diluar pelepasan Hak

64 | P a g e
Hak atas tanah yang dimaksud disini adalah hak sebagai mana yang diatur dalam
Undang-Undang Pokok Agraria, meliputi :

a. Hak milik
b. Hak Guna Usaha
c. Hak Guna Bangunan
d. Hak Pakai
e. Hak milik atas satuan rumah susun, dan
f. Hak pengelolaan

Pasal 85 ayat (4) UU PDRD mengatur Objek pajak yang tidak dikenakan Bea Perolehan
Hak atas Tanah dan Bangunan adalah objek pajak yang diperoleh:

a. perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;


b. negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan/atau untuk pelaksanaan
pembangunan guna kepentingan umum;
c. badan atau perwakilan lembaga internasional yang ditetapkan dengan Peraturan
Menteri Keuangan dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan
kegiatan lain di luar fungsi dan tugas badan atau perwakilan organisasi tersebut;
d. orang pribadi atau Badan karena konversi hak atau karena perbuatan hukum lain
dengan tidak adanya perubahan nama;
e. orang pribadi atau Badan karena wakaf; dan
f. orang pribadi atau Badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah.

3. Subjek dan Wajib Pajak BPHTB

Sebagai mana diatur dalam pasal 86 ayat (1) UU PDRD bahwa Subjek Pajak Bea Perolehan
Hak atas Tanah dan Bangunan adalah orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak
atas Tanah dan/atau Bangunan. Selanjutnya ayat (2) mengatur bahwa Wajib Pajak Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah orang pribadi atau Badan yang
memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.

4. Dasar Pengenaan dan Saat Terutang BPHTB

Dasar pengenaan BPHTB sebagai mana diatur dalam pasal 87 ayat (1) UU PDRD adalah
Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP). Besarnya NPOP dan saat terutangnya BPHTB sangat
tergantung dari jenis perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan ynag dilakukan oleh
subjek atau wajib pajak. BPHTB terutang harus dilunasi pada saat terjadinya perolehan hak

65 | P a g e
atas tanah dan/atau bangunan. Dalam praktek dilapangan pelunasan BPHTB dilakukan
sebelum akta jual beli ditandatangani oleh Notaris PPAT.

Table berikut menunjukkan jenis perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan, penentuan
NPOP dan saat terutang BPHTB.

No Perolehan Ha katas Besarnya NPOP Saat terutang BPHTB


Tanah dan/atau
Bangunan
1 Jual beli Harga transaksi sejak tanggal dibuat dan
ditandatanganinya akta
2 Tukar menukar Nilai Pasar sejak tanggal dibuat dan
ditandatanganinya akta
3 Hibah Nilai Pasar sejak tanggal dibuat dan
ditandatanganinya akta
4 Hibah wasiat Nilai Pasar sejak tanggal dibuat dan
ditandatanganinya akta
5 Waris Nilai Pasar sejak tanggal yang bersangkutan
mendaftarkan peralihan haknya
ke kantor bidang pertanahan
6 Pemasukan dalam Nilai Pasar sejak tanggal dibuat dan
peseroan atau badan ditandatanganinya akta
hukum lainnya
7 Pemisahan Hak yang Nilai Pasar sejak tanggal dibuat dan
mengakibatkan ditandatanganinya akta
peralihan
8 Peralihan hak karena Nilai Pasar sejak tanggal putusan
pelaksanaan putusan pangadilan yang mempunyai
hakim yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap
kekuatan hukum tetap
9 Pemberian hak baru Nilai Pasar sejak tanggal diterbitkannya
atas tanah sebagai surat keputusan pemberian hak
kelanjutan dari
pelepasan hak
10 Pemberian hak baru Nilai Pasar sejak tanggal diterbitkannya
atas tanah di luar surat keputusan pemberian hak
pelepasan hak
11 Penggabungan usaha Nilai Pasar sejak tanggal dibuat dan
ditandatanganinya akta
12 Peleburan usaha Nilai Pasar sejak tanggal dibuat dan
ditandatanganinya akta
13 Pemekaran usaha Nilai Pasar sejak tanggal dibuat dan
ditandatanganinya akta
14 Hadiah Nilai Pasar sejak tanggal dibuat dan
ditandatanganinya akta
15 Penunjukan pembeli Harga transaksi yang sejak tanggal penunjukkan
dalam lelang tercantum dalam pemenang lelang
risalah lelang

Jika Nilai Perolehan Objek Pajak angka 1 sampai dengan angka 14 tidak diketahui atau
lebih rendah daripada NJOP yang digunakan dalam pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan

66 | P a g e
pada tahun terjadinya perolehan, dasar pengenaan yang dipakai adalah NJOP Pajak Bumi
dan Bangunan. Khusus untuk perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan dari penunjukan
pembeli dalam lelang, besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak sebagai dasar pengenaan
BPHTB ditetntukan sebesar harga transaksi yang tercantum dalam risalah lelang.

5. Tarif dan Penghitungan BPHTB Terutang

Dalam pasal 88 ayat (1) UU PDRD diatur bahwa Tarif Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan ditetapkan paling tinggi sebesar 5% (lima persen). Tarif Bea Perolehan Hak atas
Tanah dan Bangunan ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Saat ini hamper seluruh daerah
kabupaten/kota termasuk DKI menetapkan tarif BPHTB sebesar 5%.

Penghitungan BPHTB terutang dilakukan dengan rumus sebagai berikut :

BPHTB = Tarif x (NPOP – NPOPTKP)

Dimana NPOPTKP adalah Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak. Besarnya
NPOPTKP, sebagai mana diatur dalam pasal 87 ayat (4) ditetap paling rendah sebesar
Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) untuk setiap Wajib Pajak. Dan dalam hal
perolehan hak karena waris atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih
dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau
satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri, Nilai Perolehan
Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan paling rendah sebesar Rp 300.000.000,00 (tiga
ratus juta rupiah). Besarnya NPOPTKP ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang terutang dipungut di wilayah daerah tempat
Tanah dan/atau Bangunan berada.

6. Ketentuan Khusus

Pasal 92 UU PDRD mengatur bahwa Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris dan kepala
kantor yang membidangi pelayanan lelang negara melaporkan pembuatan akta atau risalah
lelang Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan kepada Kepala Daerah paling lambat
pada tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya. Selanjutnya dalam pasal 93 UU PDRD diatur
bahwa Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris dan kepala kantor yang membidangi pelayanan
lelang negara, yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat (1)
dan ayat (2) dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp7.500.000,00 (tujuh
juta lima ratus ribu rupiah) untuk setiap pelanggaran. Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris
dan kepala kantor yang membidangi pelayanan lelang negara, yang melanggar ketentuan

67 | P a g e
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa
denda sebesar Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah) untuk setiap laporan.
Kepala kantor bidang pertanahan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 91 ayat (3) dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

68 | P a g e

Anda mungkin juga menyukai