Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penyakit kardiovaskular merupakan penyebab kematian pertama di dunia.


Menurut data WHO 2017, pada tahun 2015 sebanyak 17,7 juta orang meninggal
akibat gangguan kardiovaskular yang mana mewakili 31% kematian di dunia.
Lebih dari 17 juta kematian (dibawah umur 70 tahun) disebabkan oleh penyakit
tidak menular, yaitu 82% berasal dari negara dengan pemasukan rendah hingga
sedang dan 37 % disebabkan oleh penyakit kardiovaskular (WHO, 2016).

Penyakit Jantung Koroner (PJK) merupakan penyebab kematian nomor satu di


dunia. Kematian yang diakibatkan oleh penyakit kardiovaskular, terutama
penyakit jantung koroner dan stroke diperkirakan akan terus meningkat dan
mencapai 23,3 juta kematian pada tahun 2030. Prevalensi PJK di Indonesia tahun
2013 sebesar 0,5%. Di RS. Santa Elisabeth Medan proporsi penderita PJK yang
rawat inap tahun 2010-2016 berdasarkan penyakit kardiovaskuker sebesar 3,6%
dan CFR sebesar 12,9%.

Masalah kesehatan dengan gangguan sistem kardiovaskuler termasuk di


dalamnya gagal jantung kongestif masih menduduki peringkat yang tinggi.
Menurut Centers for Disease Control and Prevention, di Amerika Serikat sekitar
5,7 juta orang dewasa menderita gagal jantung dan setengah dari pasien yang
menderita gagal jantung akan meninggal dalam 5 tahun (CDC, 2016). Selain itu
data yang dilansir AHA (American Heart Association) memproyeksikan
prevalensi gagal jantung akan meningkat sebesar 46% dari tahun 2012 hingga
2030 yang mana nantinya > 8 juta orang yang berusia ≥ 18 tahun akan mengalami
gagal jantung (AHA, 2016).

CHF menimbulkan berbagai gejala klinis diantaranya; dipsnea, ortopnea,


pernapasan Cheyne-Stokes, Paroxysmal Nocturnal Dyspnea (PND), asites, piting
edema, berat badan meningkat, dan gejala yang paling sering dijumpai adalah

1
sesak nafas pada malam hari, yang mungkin muncul tiba-tiba dan menyebabkan
penderita terbangun (Udjianti, 2011). Munculnya berbagai gejala klinis pada
pasien gagal jantung tersebut akan menimbulkan masalah dan mengganggu
kebutuhan dasar manusia salah satu diantaranya adalah tidur, seperti adanya nyeri
dada pada aktivitas, dyspnea pada istirahat atau aktivitas, letargi dan gangguan
tidur.

Gagal jantung merupakan manifestasi terakhir dan terburuk yang dapat terjadi
pada hampir semua jenis penyakit jantung seperti penyakit jantung koroner,
penyakit katup jantung, hipertensi, penyakit jantung bawaan dan kardiomiopati.
Semua kondisi yang dapat menyebabkan perubahan pada stuktur dan fungsi
jantung dapat menjadi faktor predisposisi untuk berkembang menjadi gagal
jantung (Ardini, 2007).

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 GAGAL JANTUNG KONGESTIF

2.1.1 Definisi

Congestive Heart Failure (CHF) merupakan suatu keadaan patologis di


mana kelainan fungsi jantung menyebabkan kegagalan jantung memompa darah
untuk memenuhi kebutuhan jaringan, atau hanya dapat memenuhi kebutuhan
jaringan dengan meningkatkan tekanan pengisian (McPhee & Ganong, 2010).

Gagal jantung dikenal dalam beberapa istilah yaitu gagal jantung kiri,
kanan, dan kombinasi atau kongestif. Pada gagal jantung kiri terdapat bendungan
paru, hipotensi, dan vasokontriksi perifer yang mengakibatkan penurunan perfusi
jaringan. Gagal jantung kanan ditandai dengan adanya edema perifer, asites dan
peningkatan tekanan vena jugularis. Gagal jantung kongestif adalah gabungan dari
kedua gambaran tersebut. Namun demikian, kelainan fungsi jantung kiri maupun
kanan sering terjadi secara bersamaan (McPhee & Ganong, 2010).

2.1.2 Etiologi

Ada beberapa penyebab dimana fungsi jantung dapat terganggu.


Yang paling sering menyebabkan kemunduran dari fungsi jantung adalah
kerusakan atau berkurangnya otot jantung, iskemik akut atau kronik,
meningkatnya resistensi vaskuler dengan hipertensi, atau adanya takiaritmia
seperti atrial fibrilasi (AF). Penyakit jantung koroner adalah yang paling sering
menyebabkan penyakit miokard, dan 70% akan berkembang menjadi gagal
jantung. Masing -masing 10% dari penyakit jantung katup dan kardiomiopati
akan menjadi gagal jantung juga.

3
Tabel 2.1 Penyebab gagal jantung kongestif

Penyebab Gagal Jantung Kiri (Shah, 2007)


Gangguan kontraktilitas
Infark miokardium
Transient myocardial ischemia
Beban volume: regurgitasi katup (mitral atau aorta)
Kardiomiopati dilatasi
Peningkatan afterload (beban tekanan)
Hipertensi sistemik
Obstruksi aliran: stenosis aorta
Obstruksi pengisian ventrikel kiri
Stenosis mitral
Konstriksi pericardial atau tamponade
Gangguan relaksasi ventrikel
Hipertrofi ventrikel kiri
Kardiomiopati hipertrofi
Kardiomiopati restriktif

Penyebab Gagal Jantung Kanan


Penyebab jantung
Gagal jantung kiri
Stenosis katup pulmonal
Infark ventrikel kanan
Penyakit parenkim paru
Penyakit paru obstruksi kronis
Penyakit paru interstisial
Adult respiratory distress syndrome
Infeksi paru kronis atau bronkiektasis
Penyakit vaskular paru
Emboli paru
Hipertensi pulmonal primer
2.1.3 Patofisiologi

4
Berbagai faktor bisa berperan menimbulkan gagal jantung. Faktor-faktor
ini kemudian merangsang timbulnya mekanisme kompensasi, yang apabila
berlebihan dapat menimbulkan gagal jantung. Gagal jantung paling sering
mencerminkan adanya kelainan fungsi kontrakilitas ventrikel (suatu bentuk gagal
jantung sistolik) atau gangguan relaksasi ventrikel ( suatu bentuk gagal diastolik)
(Daughenbaugh, 2007).

Patofisiologi dari gagal jantung dibagi menjadi beberapa bagian yaitu :

A. Berdasarkan bagian jantung yang mengalami kegagalan (failure)

1) Gagal jantung kiri (Left-Sided Heart Failure)

Bagian ventrikel kiri jantung kiri tidak dapat memompa dengan


baik sehingga keadaan tersebut dapat menurunkan aliran dari jantung
sebelah kiri keseluruh tubuh. Akibatnya, darah akan mengalir balik ke
dalam vaskulator pulmonal (Berkowitz, 2013). Pada saat terjadinya aliran
balik darah kembali menuju ventrikular pulmonaris, tekanan kapiler paru
akan meningkat (>10 mmHg) melebihi tekanan kapiler osmotik (>25
mmHg). Keadaan ini akan menyebabkan perpindahan cairan intravaskular
ke dalam interstitium paru dan menginisiasi edema (Porth, 2007).

2) Gagal jantung kanan (Right-Sided Heart Failure)

Disfungsi ventrikel kanan dapat dikatakan saling berkaitan dengan


disfungsi ventrikel kiri pada gagal jantung apabila dilihat dari kerusakan
yang diderita oleh kedua sisi jantung, misalnya setelah terjadinya infark
miokard atau tertundanya komplikasi yang ditimbulkan akibat adanya
progresifitas pada bagian jantung sebelah kiri. Pada gagal jantung kanan
dapat terjadi penumpukan cairan di hati dan seluruh tubuh terutama di
ekstermitas bawah (Acton, 2013).

B. Mekanisme neurohormonal

5
Istilah neurohormon memiliki arti yang sangat luas, dimana neurohormon
pada gagal jantung diproduksi dari banyak molekul yang diuraikan oleh
neuroendokrin (Mann, 2012). Renin merupakan salah satu neurohormonal yang
diproduksi atau dihasilkan sebagai respon dari penurunan curah jantung dan
peningkatan aktivasi sistem syaraf simpatik.

C. Aktivasi sistem Renin Angiotensin Aldosteron (RAAS)

Pelepasan renin sebagai neurohormonal oleh ginjal akan mengaktivasi


RAAS. Angiotensinogen yang diproduksi oleh hati dirubah menjadi angiotensin I
dan angiotensinogen II.Angiotensin II berikatan dengan dinding pembuluh darah
ventrikel dan menstimulasi pelepasan endotelin sebagai agen vasokontriktor.
Selain itu, angiotensin II juga dapat menstimulasi kelenjar adrenal untuk
mensekresi hormon aldosteron. Hormon inilah yang dapat meningkatkan retensi
garam dan air di ginjal, akibatnya cairan didalam tubuh ikut meningkat. Hal inilah
yang mendasari timbulnya edema cairan pada gagal jantung kongestif (Mann,
2012).

D. Cardiac remodeling

Cardiac remodeling merupakan suatu perubahan yang nyata secara klinis


sebagai perubahan pada ukuran, bentuk dan fungsi jantung setelah adanya
stimulasi stress ataupun cedera yang melibatkan molekuler, seluler serta
interstitial (Kehat dan Molkentin, 2010).

2.1.4 Faktor Risiko

Yang dapat dimodifikasi atau dapat diubah :

1. Hipertensi
Peningkatan tekanan darah yang tidak terkontrol dan dalam jangka
panjang akan mengakibatkan berbagai perubahan struktur miokard,
pembuluh darah koroner, dan sistem konduksi jantung. Perubahan ini
akan mengakibatkan timbulnya Left Ventricular Hypertrophy (LVH),

6
penyakit jantung koroner (PJK), berbagai kelainan sistem konduksi,
serta disfungsi sistolik dan diastolik dari miokard. Ini akan
mengakibatkan komplikasi dengan manifestasi klinis berupa angina atau
infark miokard, aritmia jantung, dan gagal jantung kongestif (Riaz et al.,
2014).
2. Riwayat merokok
Efek farmakologi nikotin pada rokok salah satunya adalah
stimulasi simpatis dan vasokonstriksi koroner. Karbon monoksida pada
rokok berikatan dengan hemoglobin dan mengurangi kemampuan darah
membawa oksigen. Komponen lain dari rokok meningkatkan aktivasi
platelet dan faktor trombotik. Banyak bahan kimia beracun yang
ditemukan pada rokok dan dikaitkan dengan peradangan, disfungsi
endotel, dan keadaan protrombik (Luepker, 2016).
3. Kadar gula darah yang tinggi
Penyakit diabetes melitus yang tidak terkontrol menyebabkan
kerusakan pembuluh darah sehingga menjadikannya lebih rentan
terhadaap aterosklerosis dan hipertensi. Pada orang yang menderita
diabetes dapat mengalami serangan jantung tanpa menyadarinya.
Diabetes dapat merusak saraf dan juga pembuluh darah sehingga
serangan jantung bisa terjadi dengan diam tanpa nyeri dada yang khas
(World Heart Federation, 2017).
4. Aktivitas fisik yang kurang
Aktivitas fisik menjadi faktor protektif terhadap berbagai penyakit
kronis termasuk berbagai penyakit kardiovaskular, sebab aktivitas fisik
akan meregulasi berat badan dan meningkatkan penggunaan insulin
tubuh (World Heart Federation, 2017). Inaktivitas fisik menaikkan risiko
terjadinya penyakit kardiovaskular melalui berbagi mekanisme.
Kebugaran yang rendah dapat menyebabkan HDL plasma yang
menurun, tingkat tekanan darah yang lebih tinggi, dan resistensi insulin,
serta obesitas itu snediri merupakan faktor risiko penyakit
kardiovaskular. Studi menunjukkan bahwa tingkay kebugaran yang

7
sedang hingga tinggi berkaitan dengan penurunan mortalitas penyakit
kardiovaskular setengah kalinya (Aaronson dan Ward, 2010).
5. Kadar kolesterol yang tidak normal
Terdapat hubungan yang bermakna antara dislipidemia dengan
penyakit jantung koroner dimana penyakit jantung koroner merupakan
manifestasi terjadinya infark miokard akut. Kelainan pada profil lipid
merupakan faktor terjadinya aterosklerosis. Aterosklerosis adalah
perubahan dinding arteri yang ditandai adanya akumulasi lipid ekstra sel,
menimbulkan penebalan dan kekakuan arteri. Penebalan arteri yang di
sebabkan timbunan lemak akibat ekstra sel ini menyebabkan iskemia
pada jaringan hingga terjadinya infark.Tinggi kadar lemak dalam darah
akan mempengaruhi siklus metabolisme lemak, sehingga hal ini
menyebabkan terjadinya dislipidemia. Terjadinya dislipidemia pada
tubuh mengakibatkan atrerokslerosis dalam arteri proses ini
menyebabkan arteri tersumbat ( Budiman, et al, 2015).
6. Obesitas
Hipertrofi ventrikel kiri adalah hal yang umum terjadi pada pasien
dengan obesitas dan berhubungan dengan hipertensi sitemik, dimana hal
ini terjadi karena peningkatan volume ventrikel kiri dan tegangan dari
dinding jantung meningkatkan stroke volume dan curah jantung. Hal ini
yang merupakan salah satu mekanisme terjadinya gagal jantung (Poirier,
2006).

Yang tidak dapat dimodifikasi atau tidak dapat diubah :

1. Usia
Usia merupakan faktor penentu penting pada pasien dengan
penyakit jantung. Tahun 2004, sindrom koroner akut menyebabkan 36%
kematian pada orang berusia ≥ 65 tahun di Amerika Serikat. Morbiditas
kardiovaskular dan tingkat kematian meningkat sangat pesat. Pengaruh
usia lanjut pada pasien menjadi lebih berat dua kali lipat. Penjelasan
dalam hal ini karena perubahan fungsi endotel vaskular dan
trombogenesis. Pada orang tua ditandai dengan peningkatan sirkulasi

8
fibrinogen dan faktor VII. Kerusakan fungsi ginjal pada orang tua juga
dapat berkontribusi untuk meningkatkan trombogenesis melalui efek
rusaknya fungsi endotel dengan konsekuensi terganggunya aktivitas
fibrinolitik dan respons vasodilator koroner (Wahyuni, 2014).
2. Jenis kelamin
Perbedaan genetik yang mendasar pada jenis kelamin yang berbeda
adalah kromosom XX bagi perempuan dan XY bagi laki-laki. Beberapa
gen pada kromosom Y berhubungan dengan banyak faktor risiko
kardiovaskular, seperti peningkatan tekanan darah, peningkatan
kolesterol LDL, dan kecenderungan terhadap infark miokard. Pada
wanita pasca menopause resistensi perifer meningkat bersamaan dengan
aktivitas simpatis, mungkin karena kadar estrogen menurun sebab
sensitivitas baroreflex diatur oleh hormon estrogen. Pada usia >40 tahun
prevalensi gagal jantung lebih tinggi pada pria daripada pada wanita, tapi
rasio ini menjadi terbalik pada usia diatas 80 tahun (Razzolini dan Lin,
2015).
3. Riwayat keluarga menderita penyakit kardiovaskular
Riwayat keluarga merupakan refleksi dari predisposisi genetik.
Riwayat keluarga merupakan salah satu dari faktor risiko aterosklerosis
yang tidak bisa dimodifikasi. Terdapat beberapa jumlah yang terkait
dengan penyakit aterosklerosis. Kromosom 9p21.3 merupakan lokalisasi
dari genetik yang berkaitan kuat dengan penyakit arteri koroner dan
infark miokard, dimana penyakit tersebut merupakan salah satu etiologi
dari gagal jantung kongestif (Wahyuni, 2014).

9
2.1.5 Klasfikasi

Tabel 2.1 Klasifikasi gagal jantung berdasarkan kapasitas fungsional New York Heart Association
(NYHA) (PERKI, 2015)

Kelas 1 Tidak terdapat batasan dalam melakukan aktifita fisik.


Aktivitas fisik sehari-hari tidak menimbulkan kelelahan,
palpitasi atau sesak nafas.
Kelas 2 Terdapat batasan fisik ringan. Tidak terdapat keluhan saat
istirahat, namun aktifitas fisik sehari-hari menimbulkan
kelelahan, palpitasi atau sesak nafas.
Kelas 3 Terdapat batasan aktifitas bermakna. Tidak terdapat keluhan
saat istirahat, tetapi aktivitas fisik ringan menyebabkan
kelelahan, palpitasi atau sesak nafas
Kelas 4 Tidak dapat melakukan aktifitas fisik tanpa keluhan. Terdapat
gejala saat istirahat. Keluhan meningkat saat melakukan
aktivitas.

Tabel 2.2 Klasifikasi gagal jantung berdasarkan kelainan struktural jantung American
Heart Assosiaciation (AHA) (PERKI, 2015)

Stadium A Memiliki resiko tinggi untuk berkembang menjadi gagal


jantung. Tidak terdapat gangguan structural atau fungsional
jantung, tidak terdapat tanda atau gejala
Stadium B Telah terbentuk penyakit struktur jantung yang berhubungan
dengan perkembangan gagal jantung, tidak terdapat tanda atau
gejala
Stadium C Gagal jantung yang simtomatik berhubungan dengan penyakit
struktural jantung yang mendasari
Stadium D Penyakit jantung struktual lanjut serta gejala gagal jantung
yang sangat bermakna saat istirahat walaupun sudah mendapat
terapi medis maksimal (refrakter)

2.1.6 Gejala Klinis dan Diagnosis

10
Tanda dan gejala yang paling sering dari gagal jantung adalah (1) bernafas
pendek dan sulit untuk bernafas; (2) kelelahan; (3) edema di pergelangan kaki,
kaki, perut, dan pembuluh darah di leher. Semua gejala ini adalah hasil
penumpukan cairan di tubuh. Saat gejala baru terjadi, pasien akan merasa lelah
dan sesak nafas setelah melakukan aktivitas fisik rutin, seperti menaiki tangga.

Seiring dengan jantung yang bertambah lemah, gejala akan semakin


terlihat memburuk. Pasien bahkan akan menjadi lelah setelah berpakaian atau
berjalan melewati ruangan. Beberapa orang mengalami sesak nafas saat berbaring
terlentang. Penumpukan cairan dari gagal jantung juga menyebabkan penambahan
berat badan, sering buang air kecil, dan batuk yang memburuk di malam hari dan
saat pasien sedang berbaring. Batuk mungkin merupakan tanda terjadinya edema
paru akut. Ini adalah kondisi karena terlalu banyak cairan yang menumpuk di
paru-paru. (Judd, 2014).

11
Tidak ada pendekatan yang dapat digunakan untuk mendiagnosa gagal
jantung. Jika pasien memliki tanda dan gejala (Tabel 2.4) pemeriksaan yang
dianjurkan yaitu :

 Elektrokardiogram (EKG) : EKG dapat menunjukkan apakah dinding


ruang pemompoaan jantung mengalami penebalan dari biasanya. Dinding yang
tebal dapat menyulitkan jantung dalam memompa darah. Abnormalitas EKG
sering dijumpai pada gagal jantung tergantung dari penyebab yang mendasari
gagal jantung.

12
 Foto toraks : Kardiomegali biasanya ditunjukkan dengan adanya
peningkatan cardiothoracic ratio / CTR (lebih besar dari 0,5) pada tampilan
postanterior (NICH, 2010).

 Ekokardiografi : ekokardiografi (echo) menggunakan gelombang suara


untuk membuat perpindahan gambar dari jantung. Tes ini menunjukkan ukuran
dan bentuk dari jantung dan seberapa baik ruang dna katup jantung bekerja.

 Pemeriksaan lebih lanjut yang dapat dikerjakan adalah doppler


ultrasound, holter monitor, nuclear heart scan, kateterisasi jantung, angiografi
koroner, stress test, MRI (Judd, 2014).

Tabel 2.3 Diagnosis Gagal Jantung Kongestif

Kriteria Mayor Paroksismal nokturnal dyspnea


Distensi vena leher
Ronki paru
Kardiomegali
Edema paru akut
Gallop S3
Peningkatan tekanan vena jugularis ( > 16 cmH2O )
Refleks hepatojugular
Kriteria Minor Edema ekstremitas
Batuk malam hari
Dyspnea d’ effort
Hepatomegali
Efusi Pleura
Penurunan kapasitas vital sepertiga dari normal
Takikardia ( > 120 kali/menit) Mayor atau Minor

Untuk penegakan diagnosa gagal jantung kongestif juga dapat


menggunakan kriteria Framingham, seperti yang tertera pada tabel diatas ini.
Kriteria diagnosis yang dipakai adalah dengan 2 kriteria mayor atau 1 kriteria

13
mayor dan 2 kriteria minor dari kriteria Framingham untuk diagnosis gagal
jantung (Mahmood dan Wang, 2013).

2.1.7 Tatalaksana Terapi CHF

1. Tujuan Terapi

Tujuan terapi pada pasien gagal jantung kongestif (CHF) berdasarkan


American Heart Association (Yancy et al., 2013) antara lain sebagai berikut :

a. Mencegah terjadinya CHF pada orang yang telah mempunyai faktor


resiko.
b. Deteksi dini asimptomatik disfungsi LV.
c. Meringankan gejala dan memperbaiki kualitas hidup.
d. Progresifitas penyakit berjalan dengan lambat.

2. Algoritma Terapi

Penggolongan obat sangat erat kaitannya dengan algoritma pada terapi gagal
jantung kongestif. Berdasarkan Pharmacoterapy Handbook edisi 9tahun 2015
(Dipiro et al., 2015), penggolongan obat pada terapi gagal jantung kongestif
(CHF) adalah sebagai berikut :

a. Angiotensin converting enzyme Inhibitor (ACE I)

Obat-obat yang termasuk ACE I mempunyai mekanisme kerja


menurunkan sekresi angiotensin II dan aldosteron dengan cara
menghambat enzim yang dapat mengubah angiotensin I menjadi
angiotensin II. Termasuk juga dapat mengurangi kejadian remodeling
jantung serta retensi air dan garam.
b. Beta bloker
Berdasarkan guideline dari ACC/AHA direkomendasikan
menggunakan β-blocker pada semua pasien gagal jantung kongestif yang
masih stabil dan untuk mengurangi fraksi ejeksi jantung kiri tanpa
kontraindikasi ataupun adanya riwayat intoleran pada β-blockers.

14
Mekanisme kerja dari β-blocker sendiri yaitu dengan menghambat
adrenoseptor beta (beta-bloker) di jantung, pembuluh darah perifer
sehingga efek vasodilatasi tercapai. Beta bloker dapat memperlambat
konduksi dari sel jantung dan juga mampu meningkatkan periode
refractory.
c. Angiotensin II receptor type 1 Inhibitor (ARB)
Mekanisme ARB yaitu menghambat reseptor angiotensin II pada
subtipe AT1. Penggunaan obat golongan ARB direkomendasikan hanya
untuk pasien gagal jantung dengan stage A, B, C yang intoleran pada
penggunaan ACE I. Food and Drug Approval (FDA) menyetujui
penggunaan candesartan dan valsartan baik secara tunggal maupun
kombinasi dengan ACE I sebagai pilihan terapi pada pasien gagal jantung
kongestif.
d. Diuretik
Mekanisme kompensasi pada gagal jantung kongestif yaitu dengan
meningkatkan retensi air dan garam yang dapat menimbulkan edema baik
sistemik maupun paru. Penggunaan diuretik pada terapi gagal jantung
kongestif ditujukan untuk meringankan gejala dyspnea serta mengurangi
retensi air dan garam (Figueroa dan Peters, 2006). Diuretik yang banyak
digunakan yaitu dari golongan diuretik tiazid seperti hidroklorotiazid
(HCT) dan golongan diuretik lengkungan yang bekerja pada lengkung
henle di ginjal seperti furosemid.
e. Antagonis aldosterone
Antagonis aldosteron mempunyai mekanisme kerja menghambat
reabsorpsi Na dan eksresi K. Spironolakton merupakan obat golongan
antagonis aldosteron dengan dosis inisiasi 12,5 mg perhari dan 25 mg
perhari pada kasus klinik yang bersifat mayor.
f. Digoksin
Digoxin merupakan golongan glikosida jantung yang mempunyai
sifat inotropik positif yang dapat membantu mengembalikan kontraktilitas
dan meningkatkan dari kerja jantung. Digoxin memiliki indeks terapi
sempit yang berarti dalam penggunaan dosis rendah sudah memberikan

15
efek terapi. Oleh karena itu, diperlukan kehati-hatian pada penggunaan
digoxin dan diperlukan monitoring ketat bila dikhawatirkan terjadi toksik.

Tabel Terapi CHF klasifikasi AHA (Yancy et al., 2013)

Stage A ACE Inhibitor atau ARB


Stage B ACE Inhibitor, Beta Blocker
ACE Inhibitor, Beta Blocker, Diuretik, Digoksin
Stage C
Alternatif lain : ARB, Spironolakton, Nitrat+Hidralazin
Terapi stage A, B, C dengan tambahan infus iv inotropik
Stage D
(digoksin) untuk terapi paliatif

ACE-I atau ARB


NYHA Class I
Dan atau Beta Blocker

NYHA Class II NYHA Class III NYHA Clas IV


(+) Diuretik (+) Hidrat-Nitrat (+) Antagonis
Aldosteron
Terapi
CHF klasifikasi NYHA (Yancy et al., 2013)

3. Tindakan khusus

Pada penyakit yang mendasari terjadinya gagal jantung dibutuh tindakan khusus
yaitu:

 Coronary artery bypass


 Balloon angioplasty (di mana alat balon kecil seperti dililitkan melalui
arteri untuk membuka penyumbatan)
 Perbaikan dan penggantian katup
 Transplantasi jantung
 Artificial heart operations

16
Beberapa perangkat medis diperlukan untuk perawatan penyakit
kardiovaskular seperti alat pacu jantung, katup prostetik, dan patches untuk
menutup lubang pada jantung (WHO, 2017).

2.2 CORONARY ARTERY DISEASE

2.2.1 Defenisi

Coronary Artery Disease (CAD) atau dikenal juga dengan Coronary Heart
Disease (CHD)/Penyakit Jantung Koroner (PJK) didefenisikan suatu keadaan
dimana terjadi penyempitan, penyumbatan, atau kelainan pembuluh darah
koroner. Penyempitan atau penyumbatan ini dapat menghentikan aliran darah ke
otot jantung yang sering ditandai dengan rasa nyeri. Kondisi lebih parah
kemampuan jantung memompa darah akan hilang, sehingga system control irama
jantung akan terganggu dan selanjutnya bias menyebabkan kematian (Soeharto,
2001)

2.2.2 Etiologi

1. Aterosklerosis

Aterosklerosis pembuluh koroner merupakan penyebab penyakit arteri


koroneria yang paling sering ditemukan. Aterosklerosis menyebabkan
penimbunan lipid dan jaringan fibrosa dalam arteri koronaria, sehingga secara
progresif mempersempit lumen pembuluh darah. Bila lumen menyempit maka
resistensi terhadap aliran darah akan meningkat dan membahayakan aliran darah
miokardium (Brown, 2006).

2. Trombosis

Endapan lemak dan pengerasan pembuluh darah terganggu dan lama


kelamaan berakibat robek dinding pembuluh darah. Pada mulanya, gumpalan
darah merupakan mekanisme pertahanan tubuh untuk mencegahan perdarahan
berlanjut pada saat terjadinya luka. Berkumpulnya gumpalan darah dibagian robek
tersebut, yang kemudian bersatu dengan keping-keping darah menjadi trombus.

17
Trombosis ini menyebabkan sumbatan di dalam pembuluh darah jantung, dapat
menyebabkan serangan jantung mendadak, dan bila sumbatan terjadi di pembuluh
darah otak menyebabkan stroke (Kusrahayu, 2004)

2.2.3 Patofisiologi

Lapisan endotel pembuluh darah coroner yang normal akan mengalami


kerusakan oleh adanya factor resiko antara lain: factor hemodinamik seperti
hipertensi, zat zat vasokontriksi, mediator (sitokin) dari sel darah, rokok, diet
aterogenik, peningkatan kadar gula darah, dan oxidase dari LDL-C.

Diantara factor-faktor resiko PJK; diabetes mellitus, hipertensi,


hioerkolestromia, obesitas, merokok, dan kepribadian merupakan faktor penting
yang harus diketahui.

Kerusakan ini menyebabkan sel endotel menghasilkan cell adhesion


molecule seperti sitokin (IL-1, TNF-alpha), kemokin (MCP-1, IL-8) dan growth
factor (PDGF), basic fibrolast growth factor (bFGF). Sel inflamasi seperti monosit
dan T-limfosit masuk ke permukaan endotel dan migrasi dari endothelium ke sub
endotel. Monosit kemudian berdiferensiasi menjadi makrofag dan mengambil
LDL teroksidasi yang bersifat lebih atherogenik dibanding LDL. Makrofag ini
kemudian membentuk sel busa.

LDL teroksidasi menyebabkan kematian sel endotel dan menghasilkan


respon inflamasi. Sebagai tambahan, terjadi respon dari angiotension II, yang
menyebabkan gangguan vasodilates, mencetuskan efek protombik dengan
melibatkan platelet dan faktor koagulasi.

Akibat kerusakan endotel terjadi respon protektif dan terbentuk lesi


fibrofatty dan fibrous, plak atherosklerosik, yang dipicu oleh inflamasi. Plak yang
terjadi menjadi tidak stabil dan mengalami rupture sehingga terjadi sindroma
Koroner akut (SKA) (Majid, 2007)

18
2.2.4 Faktor Resiko

Secara global faktor risiko dibagi menjadi faktor risiko yang tidak dapat
diubah seperti: usia lanjut, laki-laki dan riwayat keluarga. Kemudian faktor risiko
yang dapat diubah seperti: hiperlipidemia, merokok, hipertensi, DM/Sindroma
metabolik, obesitas, dan kurangnya aktivitas fisik (Adi, 2014; Mitchell, 2015).

A. Faktor risiko yang tidak dapat diubah

1. Usia

Menurut Mitchell (2015), usia merupakan faktor yang secara dominan


sangat mempengaruhi penyakit ini. Seperti yang sudah disampaikan diatas bahwa
penyakit ini merupakan penyakit progresif yang akan menimbulkan gejala apabila
lesi nya sudah mencapai critical treshold dan mulai untuk menimbulkan kerusakan
organ di usia pertengahan atau setelahnya. Namun, jarang timbul penyakit serius
sebelum usia 40 tahun, sedangkan dari usia 40-60 tahun insiden infark miokard
meningkat 5 kali lipat (Price dan Wilson, 2014).

Studi terbaru menunjukkan prevalensi kasus PJK yang terjadi dibawah usia
45 tahun atau disebut juga dengan PJK prematur sebanyak 1,2%. Etnis Asia
Selatan terutama India lebih rentan terhadap PJK pada kelompok usia muda
dengan prevalensi 5-10%. Pada umumnya PJK pada usia muda memiliki
prognosis yang lebih baik daripada PJK yang terjadi pada usia lebih tua
(Aggarwal et al., 2016).

2. Jenis Kelamin

Secara keseluruhan, risiko aterosklerosis koroner lebih besar pada laki-laki


daripada perempuan. Hal ini disebabkan karena hormon estrogen memiliki efek
proteksi terhadap terjadinya aterosklerosis, sehingga perempuan relatif lebih kebal
terhadap penyakit ini sampai usia mencapai setelah menopause. Namun setelah
usia 60-70 tahun frekuensi infark miokard menjadi setara antara lakilaki dan
perempuan (Price dan Wilson, 2014).

19
Pada studi penelitian ditemukan bahwa, perempuan premenopause
mempunyai onset yang sangat cepat dan tidak mempunyai gejala angina, tetapi
yang biasa terjadi adalah infark miokard. Penelitian otopsi telah menunjukkan
bahwa lesi arteri koroner pada perempuan muda mengandung lebih sedikit
kalsium dan jaringan fibrosa padat dibandingkan pria dan perempuan yang lebih
tua. Plak aterosklerosis koroner pada pasien muda terutama terdiri dari deposit
lemak, yang sangat mudah pecah dan menyebabkan trombosis koroner akut
sehingga terjadinya penyakit kardiovaskular akut (Yihua et al., 2017).

Penelitian sebelumnya yang dilakukan di Cina, dari 8.739 pasien PJK yang
dilakukan CABG terdapat 6.851 orang (78,4%) berjenis kelamin laki-laki dan
sebanyak 1.888 orang (21,6%) berjenis kelamin perempuan (Hu et al., 2012).

3. Riwayat keluarga

Berdasarkan studi MESA (Multi Etnic Study of Atherosclerosis) pada


individu asimptomatik didapatkan bahwa riwayat keluarga dengan penyakit
kardiovaskular prematur pada orang tua dan saudara kandung mempunyai arti
prediktif yang sangat kuat untuk terjadinya aterosklerosis yang asimptomatik dan
terlepas dari faktor risiko yang lain (Adi, 2014).

Salah satunya adalah penyakit genetik yaitu familial hiperkolestrolemia,


yang merupakan penyebab PJK prematur (Price dan Wilson, 2014). Penelitian
sebelumnya di Amerika, dari 661 orang dijumpai 276 orang (44.8%) yang
memiliki riwayat keluarga serangan jantung dan 385 orang (55,2%) yang tidak
memiliki riwayat keluarga serangan jantung (Stone et al., 2011).

B. Faktor yang dapat diubah

1. Hiperlipidemia

Hiperlipidemia atau lebih spesifiknya disebut hiperkolestrolemia


merupakan faktor risiko utama untuk aterosklerosis, bahkan tanpa adanya faktor
risiko lain. Hiperkolestrolemia cukup untuk mendorong perkembangan lesi.
Komponen utama dari kolesterol serum berhubungan dengan meningkatnya risiko
LDL ("kolesterol jahat"); LDL memiliki peran fisiologis penting mengantarkan

20
kolesterol ke jaringan perifer. Proses ini diawali oleh pengambilan dan oksidasi
dari lipoprotein pada lokasi yang rentan terbentuknya lesi. LDL telah terbukti
bersifat sitotoksik dan aterogenik akibat modifikasi oksidatif di sel endotelial.
Sebaliknya High-density Lipoprotein (HDL); (“kolesterol baik”) mengangkut
kolesterol agar tidak terbentuknya ateroma dan memindahkannya ke hati untuk
diekskresikan di empedu. Alhasil peningkatan kadar HDL secara korelatif dapat
menurunkan risiko (Mitchell, 2015).

Penelitian sebelumnya yang dilakukan di Indonesia, dari 58.045 pasien


terdapat 885 orang (1,8%) pasien PJK memiliki hasil lipid yang abnormal (Ghani
et al., 2016).

2. Merokok

Disfungsi endotel akibat dari merokok merupakan awal terjadinya


aterosklerosis, hal ini berkaitan dengan kadar kerusakan oksidatif yang tinggi pada
orang yang merokok dan penurunan status antioksidan dibandingkan dengan
orang yang tidak merokok. Berdasarkan hasil penelitian, dari 300 pasien PJK
sebanyak 102 orang (34%) perokok aktif, 129 orang (43%) bukan perokok dan 69
orang (23%) bekas perokok. (Kamceva et al., 2016). Pada sebuah penelitian
(Arifin et al., 2010) mengatakan bahwa perokok memiliki risiko 2 kali lebih
mudah terkena serangan jantung dibanding dengan orang yang tidak merokok,
kemudian jika perokok mempunyai hipertensi maka risiko serangan jantung akan
bertambah menjadi 4 kali lipat. Peran rokok dalam patogenesis PJK merupakan
hal yang kompleks, diantaranya adalah timbulnya aterosklerosis, peningkatan
trombogenitas dan vasokonstriksi (termasuk spasme arteri koroner), peningkatan
tekanan darah dan denyut jantung, provokasi aritmia jantung, peningkatan
kebutuhan oksigen miokard, dan penurunan kapasitas pengangkutan oksigen
(Gray et al., 2005).

Diduga pengaruh nikotin terhadap pelepasan katekolamin oleh sistem saraf


otonom merupakan penyebab PJK (Price dan Wilson, 2014).

21
3. Hipertensi

Aterosklerosis salah satunya disebabkan oleh tekanan darah yang tinggi


dan menetap yang akan menimbulkan trauma langsung terhadap dinding
pembuluh darah arteri koronaria, sehingga memudahkan terjadinya arterosklerosis
koroner dan menyebabkan angina pektorik, insufisiensi koroner dan infark
miokard yang lebih sering didapatkan pada penderita hipertensi dibanding orang
normal (Mohani, 2014).

Penurunan tekanan darah ringan sekitar (-6/-3mmHg) pada penderita


prehipertensi akan menurunkan risiko stroke, gagal jantung dan infark miokard
(Adi, 2014). Penelitian sebelumnya yang dilakukan Rosmaliana (2014) di RSUP
Haji Adam Malik Medan, dari 62 pasien PJK yang dilakukan CABG terdapat 38
orang (61,3%) menderita hipertensi dan sebanyak 24 orang (38,7%) tidak
menderita hipertensi 4. Diabetes Melitus Penderita diabetes cenderung memiliki
prevalensi, prematuritas, dan keparahan aterosklerosis koroner yang lebih tinggi.
Diabetes menginduksi hiperkolestrolemia dan secara bermakna meningkatkan
kemungkinan timbulnya aterosklerosis (Price dan Wilson, 2014).

Penelitian sebelumnya yang dilakukan (Rosmaliana, 2014) di RSUP Haji


Adam Malik Medan pada pasien PJK yang dilakukan CABG mendapatkan hasil
26 orang (42%) menderita DM dan 58% yang bukan penderita DM. Menurut
World Heart Federation risiko (2012), kejadian kardiovaskular 2-3 kali lebih
tinggi pada pasien diabetes tipe 1 ataupun diabetes tipe 2. Diabetes juga merusak
dinding pembuluh darah yang menyebabkan penumpukan lemak di dinding yang
rusak dan menyempitkan pembuluh darah. Akibatnya suplai darah ke otot jantung
berkurang dan tekanan darah meningkat, sehingga kematian mendadak bisa terjadi
(Ndraha, 2014).

5. Obesitas

Kelebihan berat badan dan obesitas merupakan faktor risiko mayor pada
penyakit kardiovaskular termasuk PJK dan stroke. Pegukuran obesitas dapat
diukur dengan perhitungan Body Mass Index (BMI) ataupun dengan rasio lingkar
pinggang. Dibandingkan dengan individu yang memiliki BMI normal yaitu 20-

22
24,9 kg/m2 , individu dengan BMI > 25kg/m2 mempunyai prevalensi, tingkat dan
keparahan PJK yang lebih tinggi (Mozaffarian et al., 2016).

6. Kurangnya aktivitas fisik

Berdasarkan World Heart Federation (2012), aktivitas fisik yang tidak


mencukupi dapat didefenisikan dengan kurangnya 5 kali aktivitas sedang dalam
30 menit per minggu, atau kurang dari 3 kali aktivitas berat selama 20 menit per
minggu atau setara. Kurangnya aktivitas fisik merupakan faktor risiko mayor
untuk penyakit kardiovaskular dan stroke. Aktivitas aerobik teratur menurunkan
risiko PJK, meskipun hanya 11% pada laki-laki dan 4% perempuan memenuhi
target pemerintah untuk berolahraga. Olahraga yang teratur berkaitan dengan
penurunan insidensi PJK sebesar 20- 40% (Gray et al., 2005).

2.2.5 DIAGNOSIS

A. Gejala klinis

Gejala utama penyakit jantung coroner adalah angina pectoris. Angina


pectoris merupakan perasaan tidak enak (chest discomfort) akibat iskemia
miokard. Perasaan tidak enak didada ini dapat berupa nyeri, rasa terbakar, atau
rasa tertekan.Sering pasien merasakan nyeri dada di daerah sternum atau di bawah
sternum (substernal), atau dada sebelah kiri dan kadang-kadang menjalar ke
lengan kiri, dapat menjalar ke punggung, rahang, leher, atau ke lengan kanan.
Serangannya tidak berhubungan dengan perubahan posisi badan atau menarik
nafas.

Penyakit jantung coroner terbagi menjadi 2, yaitu stable angina pectoris dan
acute coronary syndrome. Acute coronary syndrome terbagi menjadi 3, yaitu
unstable angina, ST elevation myocardial infarction (STEMI), dan non ST
elevation myocardial infarction (NSTEMI).

23
B. Pemeriksaan Penunjang
1. Elektrokardiografi istirahat
Elektrokardiografi (EKG) istirahat dilakukan bila belum dapat dipastikan
bahwa nyeri dada adalah non kardiak (Ginanjar dan Rachman, 2014).
Gambaran EKG yang dijumpai pada pasien dengan keluhan angina cukup
bervariasi, yaitu: normal, nondiagnostik, Left Bundle Branch Block
(LBBB) baru/persangkaan baru, elevasi segmen ST yang persisten (≥20
menit) maupun tidak persisten, atau depresi segmen ST dengan atau tanpa
inversi gelombang T (PERKI, 2015).
2. Foto toraks
Pemeriksaan ini dapat menunjukkan adanya kalsifikasi koroner maupun
katup jantung,serta tanda-tanda lain seperti pasien yang juga menderita
gagal jantung, penyakit jantung katup, perikarditis, aneurisma, dan diseksi,
serta pasien-pasien yang cenderung mengeluhkan nyeri dada karena
kelainan paru (Ginanjar dan Rachman, 2014).
3. Elektrokardiografi waktu latihan
Pemeriksaan EKG saat latihan direkomendasikan pada pasien dengan
abnormalitas EKG saat istirahat yang perlu dievaluasi lebih lanjut yakni
pasien PJK stabil yang mengalami perburukan pada gejala dan pasien
postrevaskularisasi dengan perburukan gejala (Ginanjar dan Rachman,
2014).
4. Angiografi coroner
Angiografi dengan menyuntikkan bahan kontras ke dalam arteria
koroneria merupakan tindakan yang paling sering digunakan untuk
menentukan lokasi, luas dan keparahan sumbatan dalam arteria koronaria.
Indikasi lain untuk melakukan angiografi arteria koronaria adalah angina
atipik serta hasil revaskularisasi arteria koronaria (Price dan Wilson,
2014).

24
2.2.6 Komplikasi

Menurut (Karikaturidjo, 2010) adapun komplikasi PJK adalah;

1. Disfungsi ventricular
2. Aritmia pasca STEMI
3. Gangguan Hemodinamik
4. Takikardi dan fibrilasi atrium dan ventrikel
5. Syok Kardiogenik
6. Gagal Jantung Kongestif
7. Kematian Mendadak.

25
26

Anda mungkin juga menyukai