PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1
sesak nafas pada malam hari, yang mungkin muncul tiba-tiba dan menyebabkan
penderita terbangun (Udjianti, 2011). Munculnya berbagai gejala klinis pada
pasien gagal jantung tersebut akan menimbulkan masalah dan mengganggu
kebutuhan dasar manusia salah satu diantaranya adalah tidur, seperti adanya nyeri
dada pada aktivitas, dyspnea pada istirahat atau aktivitas, letargi dan gangguan
tidur.
Gagal jantung merupakan manifestasi terakhir dan terburuk yang dapat terjadi
pada hampir semua jenis penyakit jantung seperti penyakit jantung koroner,
penyakit katup jantung, hipertensi, penyakit jantung bawaan dan kardiomiopati.
Semua kondisi yang dapat menyebabkan perubahan pada stuktur dan fungsi
jantung dapat menjadi faktor predisposisi untuk berkembang menjadi gagal
jantung (Ardini, 2007).
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.1 Definisi
Gagal jantung dikenal dalam beberapa istilah yaitu gagal jantung kiri,
kanan, dan kombinasi atau kongestif. Pada gagal jantung kiri terdapat bendungan
paru, hipotensi, dan vasokontriksi perifer yang mengakibatkan penurunan perfusi
jaringan. Gagal jantung kanan ditandai dengan adanya edema perifer, asites dan
peningkatan tekanan vena jugularis. Gagal jantung kongestif adalah gabungan dari
kedua gambaran tersebut. Namun demikian, kelainan fungsi jantung kiri maupun
kanan sering terjadi secara bersamaan (McPhee & Ganong, 2010).
2.1.2 Etiologi
3
Tabel 2.1 Penyebab gagal jantung kongestif
4
Berbagai faktor bisa berperan menimbulkan gagal jantung. Faktor-faktor
ini kemudian merangsang timbulnya mekanisme kompensasi, yang apabila
berlebihan dapat menimbulkan gagal jantung. Gagal jantung paling sering
mencerminkan adanya kelainan fungsi kontrakilitas ventrikel (suatu bentuk gagal
jantung sistolik) atau gangguan relaksasi ventrikel ( suatu bentuk gagal diastolik)
(Daughenbaugh, 2007).
B. Mekanisme neurohormonal
5
Istilah neurohormon memiliki arti yang sangat luas, dimana neurohormon
pada gagal jantung diproduksi dari banyak molekul yang diuraikan oleh
neuroendokrin (Mann, 2012). Renin merupakan salah satu neurohormonal yang
diproduksi atau dihasilkan sebagai respon dari penurunan curah jantung dan
peningkatan aktivasi sistem syaraf simpatik.
D. Cardiac remodeling
1. Hipertensi
Peningkatan tekanan darah yang tidak terkontrol dan dalam jangka
panjang akan mengakibatkan berbagai perubahan struktur miokard,
pembuluh darah koroner, dan sistem konduksi jantung. Perubahan ini
akan mengakibatkan timbulnya Left Ventricular Hypertrophy (LVH),
6
penyakit jantung koroner (PJK), berbagai kelainan sistem konduksi,
serta disfungsi sistolik dan diastolik dari miokard. Ini akan
mengakibatkan komplikasi dengan manifestasi klinis berupa angina atau
infark miokard, aritmia jantung, dan gagal jantung kongestif (Riaz et al.,
2014).
2. Riwayat merokok
Efek farmakologi nikotin pada rokok salah satunya adalah
stimulasi simpatis dan vasokonstriksi koroner. Karbon monoksida pada
rokok berikatan dengan hemoglobin dan mengurangi kemampuan darah
membawa oksigen. Komponen lain dari rokok meningkatkan aktivasi
platelet dan faktor trombotik. Banyak bahan kimia beracun yang
ditemukan pada rokok dan dikaitkan dengan peradangan, disfungsi
endotel, dan keadaan protrombik (Luepker, 2016).
3. Kadar gula darah yang tinggi
Penyakit diabetes melitus yang tidak terkontrol menyebabkan
kerusakan pembuluh darah sehingga menjadikannya lebih rentan
terhadaap aterosklerosis dan hipertensi. Pada orang yang menderita
diabetes dapat mengalami serangan jantung tanpa menyadarinya.
Diabetes dapat merusak saraf dan juga pembuluh darah sehingga
serangan jantung bisa terjadi dengan diam tanpa nyeri dada yang khas
(World Heart Federation, 2017).
4. Aktivitas fisik yang kurang
Aktivitas fisik menjadi faktor protektif terhadap berbagai penyakit
kronis termasuk berbagai penyakit kardiovaskular, sebab aktivitas fisik
akan meregulasi berat badan dan meningkatkan penggunaan insulin
tubuh (World Heart Federation, 2017). Inaktivitas fisik menaikkan risiko
terjadinya penyakit kardiovaskular melalui berbagi mekanisme.
Kebugaran yang rendah dapat menyebabkan HDL plasma yang
menurun, tingkat tekanan darah yang lebih tinggi, dan resistensi insulin,
serta obesitas itu snediri merupakan faktor risiko penyakit
kardiovaskular. Studi menunjukkan bahwa tingkay kebugaran yang
7
sedang hingga tinggi berkaitan dengan penurunan mortalitas penyakit
kardiovaskular setengah kalinya (Aaronson dan Ward, 2010).
5. Kadar kolesterol yang tidak normal
Terdapat hubungan yang bermakna antara dislipidemia dengan
penyakit jantung koroner dimana penyakit jantung koroner merupakan
manifestasi terjadinya infark miokard akut. Kelainan pada profil lipid
merupakan faktor terjadinya aterosklerosis. Aterosklerosis adalah
perubahan dinding arteri yang ditandai adanya akumulasi lipid ekstra sel,
menimbulkan penebalan dan kekakuan arteri. Penebalan arteri yang di
sebabkan timbunan lemak akibat ekstra sel ini menyebabkan iskemia
pada jaringan hingga terjadinya infark.Tinggi kadar lemak dalam darah
akan mempengaruhi siklus metabolisme lemak, sehingga hal ini
menyebabkan terjadinya dislipidemia. Terjadinya dislipidemia pada
tubuh mengakibatkan atrerokslerosis dalam arteri proses ini
menyebabkan arteri tersumbat ( Budiman, et al, 2015).
6. Obesitas
Hipertrofi ventrikel kiri adalah hal yang umum terjadi pada pasien
dengan obesitas dan berhubungan dengan hipertensi sitemik, dimana hal
ini terjadi karena peningkatan volume ventrikel kiri dan tegangan dari
dinding jantung meningkatkan stroke volume dan curah jantung. Hal ini
yang merupakan salah satu mekanisme terjadinya gagal jantung (Poirier,
2006).
1. Usia
Usia merupakan faktor penentu penting pada pasien dengan
penyakit jantung. Tahun 2004, sindrom koroner akut menyebabkan 36%
kematian pada orang berusia ≥ 65 tahun di Amerika Serikat. Morbiditas
kardiovaskular dan tingkat kematian meningkat sangat pesat. Pengaruh
usia lanjut pada pasien menjadi lebih berat dua kali lipat. Penjelasan
dalam hal ini karena perubahan fungsi endotel vaskular dan
trombogenesis. Pada orang tua ditandai dengan peningkatan sirkulasi
8
fibrinogen dan faktor VII. Kerusakan fungsi ginjal pada orang tua juga
dapat berkontribusi untuk meningkatkan trombogenesis melalui efek
rusaknya fungsi endotel dengan konsekuensi terganggunya aktivitas
fibrinolitik dan respons vasodilator koroner (Wahyuni, 2014).
2. Jenis kelamin
Perbedaan genetik yang mendasar pada jenis kelamin yang berbeda
adalah kromosom XX bagi perempuan dan XY bagi laki-laki. Beberapa
gen pada kromosom Y berhubungan dengan banyak faktor risiko
kardiovaskular, seperti peningkatan tekanan darah, peningkatan
kolesterol LDL, dan kecenderungan terhadap infark miokard. Pada
wanita pasca menopause resistensi perifer meningkat bersamaan dengan
aktivitas simpatis, mungkin karena kadar estrogen menurun sebab
sensitivitas baroreflex diatur oleh hormon estrogen. Pada usia >40 tahun
prevalensi gagal jantung lebih tinggi pada pria daripada pada wanita, tapi
rasio ini menjadi terbalik pada usia diatas 80 tahun (Razzolini dan Lin,
2015).
3. Riwayat keluarga menderita penyakit kardiovaskular
Riwayat keluarga merupakan refleksi dari predisposisi genetik.
Riwayat keluarga merupakan salah satu dari faktor risiko aterosklerosis
yang tidak bisa dimodifikasi. Terdapat beberapa jumlah yang terkait
dengan penyakit aterosklerosis. Kromosom 9p21.3 merupakan lokalisasi
dari genetik yang berkaitan kuat dengan penyakit arteri koroner dan
infark miokard, dimana penyakit tersebut merupakan salah satu etiologi
dari gagal jantung kongestif (Wahyuni, 2014).
9
2.1.5 Klasfikasi
Tabel 2.1 Klasifikasi gagal jantung berdasarkan kapasitas fungsional New York Heart Association
(NYHA) (PERKI, 2015)
Tabel 2.2 Klasifikasi gagal jantung berdasarkan kelainan struktural jantung American
Heart Assosiaciation (AHA) (PERKI, 2015)
10
Tanda dan gejala yang paling sering dari gagal jantung adalah (1) bernafas
pendek dan sulit untuk bernafas; (2) kelelahan; (3) edema di pergelangan kaki,
kaki, perut, dan pembuluh darah di leher. Semua gejala ini adalah hasil
penumpukan cairan di tubuh. Saat gejala baru terjadi, pasien akan merasa lelah
dan sesak nafas setelah melakukan aktivitas fisik rutin, seperti menaiki tangga.
11
Tidak ada pendekatan yang dapat digunakan untuk mendiagnosa gagal
jantung. Jika pasien memliki tanda dan gejala (Tabel 2.4) pemeriksaan yang
dianjurkan yaitu :
12
Foto toraks : Kardiomegali biasanya ditunjukkan dengan adanya
peningkatan cardiothoracic ratio / CTR (lebih besar dari 0,5) pada tampilan
postanterior (NICH, 2010).
13
mayor dan 2 kriteria minor dari kriteria Framingham untuk diagnosis gagal
jantung (Mahmood dan Wang, 2013).
1. Tujuan Terapi
2. Algoritma Terapi
Penggolongan obat sangat erat kaitannya dengan algoritma pada terapi gagal
jantung kongestif. Berdasarkan Pharmacoterapy Handbook edisi 9tahun 2015
(Dipiro et al., 2015), penggolongan obat pada terapi gagal jantung kongestif
(CHF) adalah sebagai berikut :
14
Mekanisme kerja dari β-blocker sendiri yaitu dengan menghambat
adrenoseptor beta (beta-bloker) di jantung, pembuluh darah perifer
sehingga efek vasodilatasi tercapai. Beta bloker dapat memperlambat
konduksi dari sel jantung dan juga mampu meningkatkan periode
refractory.
c. Angiotensin II receptor type 1 Inhibitor (ARB)
Mekanisme ARB yaitu menghambat reseptor angiotensin II pada
subtipe AT1. Penggunaan obat golongan ARB direkomendasikan hanya
untuk pasien gagal jantung dengan stage A, B, C yang intoleran pada
penggunaan ACE I. Food and Drug Approval (FDA) menyetujui
penggunaan candesartan dan valsartan baik secara tunggal maupun
kombinasi dengan ACE I sebagai pilihan terapi pada pasien gagal jantung
kongestif.
d. Diuretik
Mekanisme kompensasi pada gagal jantung kongestif yaitu dengan
meningkatkan retensi air dan garam yang dapat menimbulkan edema baik
sistemik maupun paru. Penggunaan diuretik pada terapi gagal jantung
kongestif ditujukan untuk meringankan gejala dyspnea serta mengurangi
retensi air dan garam (Figueroa dan Peters, 2006). Diuretik yang banyak
digunakan yaitu dari golongan diuretik tiazid seperti hidroklorotiazid
(HCT) dan golongan diuretik lengkungan yang bekerja pada lengkung
henle di ginjal seperti furosemid.
e. Antagonis aldosterone
Antagonis aldosteron mempunyai mekanisme kerja menghambat
reabsorpsi Na dan eksresi K. Spironolakton merupakan obat golongan
antagonis aldosteron dengan dosis inisiasi 12,5 mg perhari dan 25 mg
perhari pada kasus klinik yang bersifat mayor.
f. Digoksin
Digoxin merupakan golongan glikosida jantung yang mempunyai
sifat inotropik positif yang dapat membantu mengembalikan kontraktilitas
dan meningkatkan dari kerja jantung. Digoxin memiliki indeks terapi
sempit yang berarti dalam penggunaan dosis rendah sudah memberikan
15
efek terapi. Oleh karena itu, diperlukan kehati-hatian pada penggunaan
digoxin dan diperlukan monitoring ketat bila dikhawatirkan terjadi toksik.
3. Tindakan khusus
Pada penyakit yang mendasari terjadinya gagal jantung dibutuh tindakan khusus
yaitu:
16
Beberapa perangkat medis diperlukan untuk perawatan penyakit
kardiovaskular seperti alat pacu jantung, katup prostetik, dan patches untuk
menutup lubang pada jantung (WHO, 2017).
2.2.1 Defenisi
Coronary Artery Disease (CAD) atau dikenal juga dengan Coronary Heart
Disease (CHD)/Penyakit Jantung Koroner (PJK) didefenisikan suatu keadaan
dimana terjadi penyempitan, penyumbatan, atau kelainan pembuluh darah
koroner. Penyempitan atau penyumbatan ini dapat menghentikan aliran darah ke
otot jantung yang sering ditandai dengan rasa nyeri. Kondisi lebih parah
kemampuan jantung memompa darah akan hilang, sehingga system control irama
jantung akan terganggu dan selanjutnya bias menyebabkan kematian (Soeharto,
2001)
2.2.2 Etiologi
1. Aterosklerosis
2. Trombosis
17
Trombosis ini menyebabkan sumbatan di dalam pembuluh darah jantung, dapat
menyebabkan serangan jantung mendadak, dan bila sumbatan terjadi di pembuluh
darah otak menyebabkan stroke (Kusrahayu, 2004)
2.2.3 Patofisiologi
18
2.2.4 Faktor Resiko
Secara global faktor risiko dibagi menjadi faktor risiko yang tidak dapat
diubah seperti: usia lanjut, laki-laki dan riwayat keluarga. Kemudian faktor risiko
yang dapat diubah seperti: hiperlipidemia, merokok, hipertensi, DM/Sindroma
metabolik, obesitas, dan kurangnya aktivitas fisik (Adi, 2014; Mitchell, 2015).
1. Usia
Studi terbaru menunjukkan prevalensi kasus PJK yang terjadi dibawah usia
45 tahun atau disebut juga dengan PJK prematur sebanyak 1,2%. Etnis Asia
Selatan terutama India lebih rentan terhadap PJK pada kelompok usia muda
dengan prevalensi 5-10%. Pada umumnya PJK pada usia muda memiliki
prognosis yang lebih baik daripada PJK yang terjadi pada usia lebih tua
(Aggarwal et al., 2016).
2. Jenis Kelamin
19
Pada studi penelitian ditemukan bahwa, perempuan premenopause
mempunyai onset yang sangat cepat dan tidak mempunyai gejala angina, tetapi
yang biasa terjadi adalah infark miokard. Penelitian otopsi telah menunjukkan
bahwa lesi arteri koroner pada perempuan muda mengandung lebih sedikit
kalsium dan jaringan fibrosa padat dibandingkan pria dan perempuan yang lebih
tua. Plak aterosklerosis koroner pada pasien muda terutama terdiri dari deposit
lemak, yang sangat mudah pecah dan menyebabkan trombosis koroner akut
sehingga terjadinya penyakit kardiovaskular akut (Yihua et al., 2017).
Penelitian sebelumnya yang dilakukan di Cina, dari 8.739 pasien PJK yang
dilakukan CABG terdapat 6.851 orang (78,4%) berjenis kelamin laki-laki dan
sebanyak 1.888 orang (21,6%) berjenis kelamin perempuan (Hu et al., 2012).
3. Riwayat keluarga
1. Hiperlipidemia
20
kolesterol ke jaringan perifer. Proses ini diawali oleh pengambilan dan oksidasi
dari lipoprotein pada lokasi yang rentan terbentuknya lesi. LDL telah terbukti
bersifat sitotoksik dan aterogenik akibat modifikasi oksidatif di sel endotelial.
Sebaliknya High-density Lipoprotein (HDL); (“kolesterol baik”) mengangkut
kolesterol agar tidak terbentuknya ateroma dan memindahkannya ke hati untuk
diekskresikan di empedu. Alhasil peningkatan kadar HDL secara korelatif dapat
menurunkan risiko (Mitchell, 2015).
2. Merokok
21
3. Hipertensi
5. Obesitas
Kelebihan berat badan dan obesitas merupakan faktor risiko mayor pada
penyakit kardiovaskular termasuk PJK dan stroke. Pegukuran obesitas dapat
diukur dengan perhitungan Body Mass Index (BMI) ataupun dengan rasio lingkar
pinggang. Dibandingkan dengan individu yang memiliki BMI normal yaitu 20-
22
24,9 kg/m2 , individu dengan BMI > 25kg/m2 mempunyai prevalensi, tingkat dan
keparahan PJK yang lebih tinggi (Mozaffarian et al., 2016).
2.2.5 DIAGNOSIS
A. Gejala klinis
Penyakit jantung coroner terbagi menjadi 2, yaitu stable angina pectoris dan
acute coronary syndrome. Acute coronary syndrome terbagi menjadi 3, yaitu
unstable angina, ST elevation myocardial infarction (STEMI), dan non ST
elevation myocardial infarction (NSTEMI).
23
B. Pemeriksaan Penunjang
1. Elektrokardiografi istirahat
Elektrokardiografi (EKG) istirahat dilakukan bila belum dapat dipastikan
bahwa nyeri dada adalah non kardiak (Ginanjar dan Rachman, 2014).
Gambaran EKG yang dijumpai pada pasien dengan keluhan angina cukup
bervariasi, yaitu: normal, nondiagnostik, Left Bundle Branch Block
(LBBB) baru/persangkaan baru, elevasi segmen ST yang persisten (≥20
menit) maupun tidak persisten, atau depresi segmen ST dengan atau tanpa
inversi gelombang T (PERKI, 2015).
2. Foto toraks
Pemeriksaan ini dapat menunjukkan adanya kalsifikasi koroner maupun
katup jantung,serta tanda-tanda lain seperti pasien yang juga menderita
gagal jantung, penyakit jantung katup, perikarditis, aneurisma, dan diseksi,
serta pasien-pasien yang cenderung mengeluhkan nyeri dada karena
kelainan paru (Ginanjar dan Rachman, 2014).
3. Elektrokardiografi waktu latihan
Pemeriksaan EKG saat latihan direkomendasikan pada pasien dengan
abnormalitas EKG saat istirahat yang perlu dievaluasi lebih lanjut yakni
pasien PJK stabil yang mengalami perburukan pada gejala dan pasien
postrevaskularisasi dengan perburukan gejala (Ginanjar dan Rachman,
2014).
4. Angiografi coroner
Angiografi dengan menyuntikkan bahan kontras ke dalam arteria
koroneria merupakan tindakan yang paling sering digunakan untuk
menentukan lokasi, luas dan keparahan sumbatan dalam arteria koronaria.
Indikasi lain untuk melakukan angiografi arteria koronaria adalah angina
atipik serta hasil revaskularisasi arteria koronaria (Price dan Wilson,
2014).
24
2.2.6 Komplikasi
1. Disfungsi ventricular
2. Aritmia pasca STEMI
3. Gangguan Hemodinamik
4. Takikardi dan fibrilasi atrium dan ventrikel
5. Syok Kardiogenik
6. Gagal Jantung Kongestif
7. Kematian Mendadak.
25
26