Oleh:
Dyndha Usman Setiawati
NIM: 612062019124
Perbankan S yariah 4 Semester 4
Abstrak
terminologi yang perlu dijelaskan terlebih dahulu, yaitu Qawaid dan Fiqhiyyah. Kata
Qawaid merupakan bentuk jama' dari kata qaidah, dalam istilah bahasa Indonesia
dikenal dengan kata 'kaidah'Urgensi al-Qawaid al-Fiqhiyyah dalam Hukum Fiqh, Al-
Juwaini dari madzhab Syafi’i dalam kitabnya al-Ghayatsi berpendapat bahwa tujuan
akhir dari Qawaid Fiqhiyyah adalah untuk memberi isyarat dalam rangka
dengannya. Tak jauh berbeda dengan madzhab Syafi’i, dalam madzhab Hanafi pun tidak
ada kesepakatan di antara para ulama mereka terhadap boleh tidaknya berfatwa atau
berhujjah dengan menggunakan Qawaid Fiqhiyyah. Dalam aktivitas ekonomi, kaidah ini
berlaku pada kebijakan pemerintah dalam penetapan harga (ta’sir). Menurut al-Andalusi,
kenaikan harga yang disebabkan pengaruh penawaran dan permintaan secara alami,
maka pemerintah tidak berhak untuk melakukan intervensi harga pasar. Berbeda halnya,
bila kenaikan harga itu disebabkan oleh ulah manusia (human error), maka pemerintah
equilibrium price, sebagai institusi formal yang yang memikul tanggung jawab
ada dua terminologi yang perlu dijelaskan terlebih dahulu, yaitu Qawaid dan Fiqhiyyah.
Kata Qawaid merupakan bentuk jama' dari kata qaidah, dalam istilah bahasa Indonesia
dikenal dengan kata 'kaidah' yang berarti aturan atau patokan, dalam tinjauan
1. Periode Pertama
a. Periode Rasulullah
Sekalipun dalam era ini Rasulullah dan para sahabat tidak pernah menamakan
hal tersebut adalah kaidah , namun dari pelafadzannya ditemukan oleh ulama
bahwa rasul pun mengeluarkan kaidah bahkan dari matan hadist yang beliau
ucapkan.
b. Periode Sahabat
Beberapa ulama dalam lingkup tabi’in dan tabi’u tabi’in juga telah
posisi tersendiri sebagai disiplin ilmu kedua setelah ushul fiqh. Memasuki abad ke
3. Masa Penyempurnaan
Telah terkumpul dan terkodifikasi dalam kitab tersendiri untuk bidang
sempurna.
madzhab Syafi’i dalam kitabnya al-Ghayatsi berpendapat bahwa tujuan akhir dari
metode yang dipakainya terdahulu, bukan untuk beristidlal dengannya. Tak jauh
berbeda dengan madzhab Syafi’i, dalam madzhab Hanafi pun tidak ada
kesepakatan di antara para ulama mereka terhadap boleh tidaknya berfatwa atau
Fiqhiyyah lebih luas dari Dhawabith Fiqhiyyah, karena Qawaid Fiqhiyyah tidak
terbatas pada masalah dalam satu bab fiqh, tetapi semua masalah yang terdapat
cabang filsafat yang menyelidiki asal, sifat, metode dan batasan pengetahuan
manusia. Epistemologi juga disebut theory of knowledge, karena episteme
adalah bahasa Yunani yang berarti “pengetahuan” dan logos berarti “teori”.
B. PEMBAHASAN
qawaid fiqhiyyah. Asal dari kaidah ini adalah sabda Nabi saw.: “sesungguhnya semua
amal tergantung niatnya.” Hadis ini menegaskan tersebut menegaskan tentang urgensi
suatu perkara yang timbul dari perbuatan atau perkataan subjek hukum (mukallaf)
urusan sesuai dengan maksud pelakunya yaitu sebagaimana yang berbunyi: : Al-umuru
bumi ini tempat hijrah yang luas dan rizki yang banyak. Barangsiapa keluar dari
kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah
tetap pahalanya di sisi Allah. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.”
bumi ini tempat hijrah yang luas dan rizki yang banyak. Barangsiapa keluar dari
rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-nya, kemudian
kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah
tetap pahalanya di sisi Allah. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.”
3) Q.S. Al-Imran ayat 145
pahala dunia itu, dan barang siapa menghendaki pahala akhirat, kami berikan (pula)
kepadanya pahala akhirat itu. Dan kami akan memberi balasan kepada orang-orang
yang bersyukur.”
“…dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi
5) Hadis
mendapatkan apa yang ia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-
nya, maka hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya. Siapa yang hijrahnya karena
mencari dunia atau karena wanita yang dinikahinya, maka hijrahnya kepada yang
ia tuju.” (H.R. Bukhari dan Muslim) [HR. Bukhari, no. 1 dan Muslim, no. 1907].
b) “Barang siapa yang tidur dan ia berniat akan salat malam, kemudian dia ketiduran
sampai subuh, maka ditulis baginya pahala sesuai dengan niatnya.” (HR. al-Nasai
c) “Tidak ada (pahala) bagi perbuatan yang tidak disertai niat.” (HR. Anas Ibn. Malik
ra.)
d) “Barang siapa berperang dengan maksud meninggikan kalimat Allah, maka dia
setiap urusan dinilai berdasarkan tujuan atau niatnya. Secara eksplisit kaidah al-umuru
bi maqasidiha menjelaskan bahwa setiap pekerjaan yang ingin dilakukan oleh seseorang
perlu disertai dengan tujuan/niat. Oleh karena itu, maka setiap perbuatan mukallaf
amat bergantung kepada apa yang diniatkannya, bahkan para ulama fiqh sepakat
bahwa sesuatu perbuatan yang telah diniatkan, namun perbuatan tersebut tidak dapat
d. Konsekuensi niat
Segala macam bentuk sikap dan aktifitas perbuatan seseorang tidak akan
pernah dianggap (berpengaruh) oleh syar’i, kecuali dilandasi dengan niat. Apabila
niatnya baik, maka nilai perbuatannya menjadi baik, namun jika niatnya tidak baik,
maka nilai amal perbuatannya menjadi tidak baik. Oleh sebab itu, niat adalah syarat sah
dari suatu amal. Tanpa adanya niat, sebuah amal bagaikan tubuh tanpa jiwa yang tidak
ada artinya.
membereskannya kemudian ada seekor burung menyangkut, maka burung itu bagi
dengan tujaunac berburu, maka burung tersebut untuk yang punya jaring, jika orang
2) Apabila seseorang membeli anggur dengan tujuan atau niat memakan atau
menjualnya hukumnya boleh. Akan tetapi, apabila ia membeli dengan tujuan atau
niat untuk menjadikan anggur tersebut sebagai khamr, atau menjual pada orang
3) Apabila seseorang menemukan dompet di jalan yang berisi sejumlah uang lalu
tidak menanggung apabila dompet tersebut hilang atau rusak. Akan tetapi, jika ia
dihukumkan sama dengan ghasab (orang yang merampas harta orang) dan jika
4) Apabila seseorang menabung di suatu bank konvensional dengan tujuan atau niat
untuk mengamankan uangnya karena belum ada bank syariah di daerahnya, maka ia
dibolehkan karena darurat. Akan tetapi, jika ia menyimpan uang di bank
konvensional itu dengan tujuan atau niat memperoleh lbunga dari bank tersebut,
Segala macam bentuk sikap dan aktifitas perbuatan seseorang tidak akan
pernah dianggap (berpengaruh) oleh syar’i, kecuali dilandasi dengan niat. Apabila
niatnya baik, maka nilai perbuatannya menjadi baik, namun jika niatnya tidak baik,
maka nilai amal perbuatannya menjadi tidak baik. Oleh sebab itu, niat adalah syarat sah
dari suatu amal. Tanpa adanya niat, sebuah amal bagaikan tubuh tanpa jiwa yang tidak
ada artinya.
1) Tidak ada pahala kecuali dengan niat). Maksudnya, selama perbuatan itu tidak
dianggap buruk, jika tidak dengan niat, maka amal itu tidak akan memperoleh
pahala. Oleh karena itu, niat dalam perbuatan wudhu, ulama Syafi'iyyah dan
2) Suatu amal yang tidak disyaratkan untuk dijelaskan,baik secara global atau
membahayakan.
perbuatan tersebut). Oleh karena itu, dalam salat zuhur berniat dengan salat asar,
atau dalam salat idul fithri berniat dengan idul adha, dalam puasa arafah berniat
4) Suatu amal yang harus dijelaskan secara global dan tidak disyaratkan secara
terperinci, karena apabila disebutkan secara terperinci dan ternyata salah maka
kesalahannya membahayakan.
5) Maksud dari suatu lafazh (ucapan) adalah menurut niat orang yang
mengucapkannya.
لشك ا ْل َيق ْن
2. Kaidah Assasiyah ( Kedua Yang Berhubungan Dengan ي
َّ ُ َ َ ن
( اليزال ِباKaidah Yakin)
ِ
Definisi Kaidah Yakin, Al-Yaqin la yuzal bi al-shak, dikatakan juga al-yaqin la yazul
bial-shak. Al-Yaqin secara bahasa adalah keyakinan. Secara sederhana ia bisa dimaknai
dengan tuma’ninah al-qalb, ketetapan hati atas suatu kenyataan atau realitas tertentu.
a. Landasan Kaidah
“Apabila salah seorang dari kalian ragu-ragu dalam salatnya, sehingga dia
tidak tahu sudah berapa rakaat dia salat, maka hendaklah dia mengabaikan
keraguannya dan melakukan yang dia yakini kemudian hendaklah dia sujud dua kali
sebelum salam. Seandainya dia salat lima rakaat maka kedua sujud itu bisa
menggenapkan salatnya, dan jikalau salatnya telah sempurna maka kedua sujud itu
“Dari ‘Abbad bin Tamim dari pamannya berkata, “Bahwasanya ada seseorang
yang mengadu kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa dia merasakan
dia membatalkan salatnya hingga dia mendengar suara atau mencium bau.” (HR.
b. Analisis Kaidah
Kaidah ini merupakan kaidah yang sangat agung di dalam syariat Islam, dan
banyak permasalahan fikih yang dilandasi oleh kaidah ini. Kaidah ini meng-cover banyak
permasalahan, mulai dari masalah ibadah, muamalah, hingga hal-hal yang berkaitan
dengan hukuman bagi para pelaku kriminal atau yang dikenal dalam dunia fikih dengan
sebutan hudud.
c. Penerapan Kaidah
1) Apabila seseorang telah yakin bahwa sebuah pakaian terkena najis, akan tetapi dia
tidak tahu dibagian mana dari pakaian tersebut yang terkena najis maka dia harus
mencuci pakaian itu seluruhnya.
2) Apabila ada seseorang yang yakin bahwa dia telah berwudu, kemudian dia ragu
apakah telah batal wudunya atau belum, maka dia tidak perlu berwudu lagi.
3) Dan begitu pula sebaliknya, apabila seseorang yakin bahwa wudunya telah batal,
akan tetapi dia ragu apakah dia telah berwudu lagi atau belum, maka wajib baginya
4) Barang siapa yang ragu dalam salatnya apakah dia telah salat tiga rakaat atau empat
rakaat misalnya, maka dia harus mengikuti yang yakin, yaitu yang paling sedikit
5) Begitu pula dalam permasalahan putaran tawaf, apabila dia ragu berapa kali dia telah
berputar mengelilingi ka’bah apakah dua kali atau tiga kali, maka dia harus
menganggap bahwa dia baru berputar dua kali, dan begitu seterusnya.
6) Barang siapa yang telah sah nikahnya, kemudian dia ragu apakah telah mentalak
7) Apabila seorang istri ditinggal suaminya berpergian dalam jangka waktu yang lama,
maka dia tetap dihukumi sebagai istri laki-laki tersebut dan tidak boleh baginya untuk
menikah lagi. Karena yang yakin adalah bahwa sang suami pergi dalan keadaan
hidup, maka tidak boleh menghukuminya telah meninggal kecuali dengan berita
yang meyakinkan.
8) Jika ada seseorang yang pergi meninggalkan kampung halamannya dalam keadaan
sehat, akan tetapi setelah bertahun-tahun tidak kunjung pulang dan tidak diketahui
kabarnya, maka dia tetap dihukumi sebagai orang yang hidup. Yang atas dasar ini
tidak boleh diwarisi hartanya sampai datang kabar yang meyakinkan tentang hidup
atau matinya.
9) Apabila seseorang yakin bahwa dirinya pernah berhutang, kemudian dia ragu apakah
dia telah membayar hutang itu atau belum, maka wajib baginya untuk membayar
hutang tersebut kecuali jika pihak yang menghutangi menyatakan bahwa dia telah
membayar hutangnya.
d. Pengecualian Kaidah
Dalam kaidah ini ada pengecualian pada beberapa permasalahan, seperti dalam
persoalan mengucap muzah, ketika ada seseorang muqim (orang yang tidak berpergian)
meragukan apakah ketika dia mengusap itu telah genap sehari semalam, yakni batas
maksimal diperbolehkan mengusap muzah tanpa membasuh kaki saat wudhu. Jika
Jika ada seseorang yang dititipi (muda’) mengaku telah mengembalikan barang
yang dititipkan, maka pengakuannya bias diterima dengan disertai sumpah. Padahal
walaupun telah bersumpah selama belum ada kepastian bahwa barang itu sudah
dikembalikan. Sebab kondisi asalnya adalah barang itu tetap berada ditangan muda’
syai’ berarti menggiring dan mendatangkan sesuatu dari satu tempat ketempat yang
Jadi makna kaidah الوش ييق تجلب التيس يadalah kesulitan menyebabkan adanya
b. Landasan Kaidah
Al-Qur’an
[al-Baqarah/2:185].
- Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. [al-
Baqarah/2:286].
- Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. [al-
Hajj/22:78].
Taghâbun/64:16].
- Dari Ibn ‘Abbas ra., ia berkata: telah ditanyakan kepada Rasulullah saw:‘Agama
agama manakah yang lebih disukai Allah?‛ Beliau menjawab: (Agama) yang lembut
- Abu ‘Urwah telah menceritakan kepadaku, kami sedang menunggu Rasulullah saw
kemudian seorang laki-laki keluar .. ‚Ya Rasul, apakah dibebankan suatu kesulitan
bagi kami dalam hal ini?‛ Maka beliau menjawab: ‚Tidak, wahai sekalian manusia.
Sesungguhnya agama Allah ‘Azza wa Jalla berada dalam kemudahan‛. (HR. Ahmad).
c. Analisis Kaidah
Kaidah ini termasuk kaidah fiqih yang sangat penting untuk dipahami. Karena,
seluruh rukhshah dan keringanan yang ada dalam syari’at merupakan wujud dari
kaidah ini. Diantara kaidah fiqh yang menunjukkan kemudahan yang islam berikan
adalah ketika dating kesulitan, maka islam memberikan kemudahan. Ketika sakit,
tidak bisa shalat sambil berdiri, maka boleh shalat sambil duduk. Ketika wanita dating
bulan, maka shalat gugur darinya. Ketika kita bersafar, kita diberi keringanan
kesulitan. Maksud dari kaidah tersebut yaitu diantara hikmah dan rahmat Allah,
Contoh umum
mahromnya. Ada suatu mazhab yang menyatakan bahwa akan batal wudhu
Hal ini menyebabkan suatu kesulitan untuk para haji apabila masih
berpindah mazhab, yang menyatakan bahwa tidak apa bersentuhan dengan yang
Penerapan Kaidah
Kasusnya yaitu ada seorang bapak A, bapak A ini membutuhkan beras untuk
konsumsi acara walimah anaknya. Namun, uang bapak A ini sudah habis untuk
Sehingga diperbolehkan untuk melakukan akad salam pada kasus ini, yaitu dengan
menerima beras tanpa menyerahkan uang terlebih dahulu. Sehingga acara walimah
membebankan para nasabahnya, karena adanya bunga dalam sistem kartu kredit
konsumerisme bagi para pengguna. Terbentuklah suatu kartu kredit syariah yang
menghapus sistem riba dan adanya limit pemakaian sehingga tidak ada pihak yang
Kaidah ini memiliki sudut pandang yang sedikit mirip dengan kaidah
َ َّْ ال ا
sebelumnya. Kaidah لّض نر ني َز نberkaitan dengan kemudharatan yang terjadi di antara
dihilangkan. Jadi, konsepsi kaidah ini memberikan pengertian bahwa manusia harus
dijauhkan dari idhrar (tindak menyakiti), baik oleh dirinya maupun orang lain, dan
tidak semestinya ia menimbulkan bahaya (menyakiti) pada orang lain.
"adh Dharar" yang berarti sesuatu yang turun tanpa ada yang dapat menahannya.
Jadi, Dharar disini menjaga jiwa dari kehancuran atau posisi yang sangat mudharat
sekali, maka dalam keadaan seperti ini kemudaratan itu membolehkan sesuatu yang
dilarang.
b. Macam-Macam Kemudharatan
yaitu:
Seperti, asap kendaraan dan bunyi klakson di jalan raya, ini merupakan
menghilangkannya.
Contoh-contoh lain dari kaidah sangat banyak, intinya segala hal yang bisa
1) Dua orang yang telah selesai melakukan transaksi jual beli. Misal, seorang pembeli
membeli sebuah mobil kepada seorang penjual dengan harga yang jauh melebihi
harga pasaran. Setelah si pembeli mengetahui bahwa dia dibohongi dan merasa
dirugikan dengan harga jual yang terlalu mahal (ghabn) tersebut, maka dia berhak
Atau dia membeli barang tetapi barang tersebut cacat, maka dia berhak
mengajukan khiyar ‘aib, dengan bentuk penawaran yang sama dengan khiyar
ghabn. Semua bentuk khiyar ini disyariatkan salah satunya dalam rangka untuk
menolak kemudharatan.
2) Seseorang yang memonopoli suatu jenis barang atau makanan lalu dia
menyimpannya. Ketika harga pasar barang tersebut naik, dia menjualnya dengan
harga yang tidak wajar. Maka pemerintah berhak untuk memaksanya agar
3) Seseorang yang punya talang air di depan rumahnya sehingga air dari rumahnya
4) Seseorang yang memonopoli suatu jenis barang atau makanan lalu dia
menyimpannya. Ketika harga pasar barang tersebut naik, dia menjualnya dengan
harga yang tidak wajar. Maka pemerintah berhak untuk memaksanya agar
5) Seseorang yang punya talang air di depan rumahnya sehingga air dari rumahnya
d. Analisis Kaidah
tindakan menyakiti baik oleh dirinya sendiri maupun oleh oranglain, dan tidak
semestinya menimbulkan bahaya untuk orang lain, kemudian kaidah ini diturunkan
hilang
2) kemudharatan tidak dihilangkan dengan memunculkan kemudharatan yang
umum
kemaslahatan.
a. Definifisi Kaidah
Al-Qawa’id bentuk jamak dari kata Aqaidah (kaidah). Para ulama mengartikan
qaidah secara etimologis dan terminologis, (lughatan wa istilahan). Dalam arti bahasa,
qaidah bermakna asas, dasar atau fondasi, baik dalam arti yang konkret maupun yang
absrtak, seperti kata-kata qawa’id al-bait, yang artinya fondasi rumah, qawa’id a-din,
artinya dasar-dasar agama, qawa’id al-ilm, artinya kaidah-kaidah ilmu. Arti ini digunakan
di dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 127 dan surat An-Nahl ayat 26.
b. Landasan Kaidah
Yang dimaksud dengan landasan kaidah adalah dalil-dalil dari Al-Qur’an dan
Hadits atau salah satu dari sumber-sumber ajaran islam yang lain yang menjadi acuan
kaidah tersebut. Keberadaan dalil-dalil yang dijadikan acuan oleh sebuah kaidah
merupakan bukti yang dapat meperkuat bahwa kaidah-kaidah fikih tidak hanya
dibentuk berdasarkan pemikiran para ulama fikih saja, akan tetapi juga ijtihad atau
pengembangan dari sumber-sumber hukum islam yang sesuai dengan prosedur dan
metode yang benar di dalam islam, yaitu dengan kembali kepada Al-Qur’an dan Hadits.
c. Dasar Hukum Kaidah Muamalat
diperbolekan kecuali ada dalil (yang melarangnya)”. Para fuqaha telah menjelaskan
bahwa mu’amalah, baik jual beli, sewa menyewa, dan semisalnya hukum asalnya adalah
halal dan diperbolehkan kecuali ada dalil yang melarangnya. Dari sini dapat diketahui
bahwa hukum asal menetapkan syarat dalam mu’amalah juga adalah halal dan
diperbolehkan.
Kaidah Menyatakan:
“Semua muamalah yang gharar atau jahalah menjadi tujuan utama dalam transaksi,
statusnya batal”
Keterangan:
Secara bahasa, Gharar adalah bentuk masdar dari Gharrara – Yugharriru – Taghrir yang
secara umum, muamalah yang dilarang, karena di sana mengandung salah satu dari 3
keuangan.
Menyadari besarnya potensi bangsa pasar muslim di dunia, startup fintech tidak
memiliki kriteria khusus diantaranya tidak mengandung unsur riba, dhoror (penipuan),
dhorot (efek negatif ), dan Al jahalah (tidak ada transparansi) antara penjual dan
pembeli.
Diawali oleh startup fintech syariah pertama Beehive di Dubai (2004). Fintech
a. Pengertian Kaidah
Kaidah adalah patokan atau ukuran sebagai pedoman bagi manusia dalam
bertindak. Kaidah juga dapat dikatakan sebagai aturan yang mengatur prilaku manusia
b. Landasan Kaidah
1) Kaidah pertama, بمقاص ي ا األمور, artinya semua perkara bergantung pada tujuannya
(niatnya).
Kaidah terkait masalah gharar dan jahalah dalam Jual Beli, Kaidah menyatakan,
Semua muamalah yang gharar atau jahalah menjadi tujuan utama dalam transaksi,
statusnya batal. Keterangan: Secara bahasa, Gharar adalah bentuk masdar dari
memposisikan dirinya atau hartanya di posisi bahaya, atau mengurangi. (al-Mishbah al-
Munir, 2/445).
1) Hukum Jual Beli Mu’athah, Jual beli mu’athah adalah kesepakatan kedua belah pihak
atas harga (tsaman) dan barang yang dijual (mutsaman), dan keduanya saling
memberi tanpa ijab qabul, dan kadang-kadang ada lafadz (perkataan) dari salah satu
pihak.
2) Hukum jual beli Al'inah, Jual Beli al-'Inah adalah seseorang yang menjual barang
kepada orang lain secara kredit, kemudian dia membelinya kembali dari pembelinya
yang pertama kali secara kontan dengan harga yang lebih murah.
3) Hukum jual beli tawaruq, jual beli at-Tawarruq adalah seseorang membeli barang
dari seorang penjual dengan cara kredit, kemudian ia menjual barang tersebut
kepada pihak ketiga dengan cara kontan dengan harga lebih murah.
e. Relevansi kaidah dengan konsep hilal (siasat/rekayasa) fiqih dalam PerbankanSyariah
fikih klasik ke dalam teknis jual beli murabahah pada bank syari’ah, terutama pada
tahap pembelian barang. Penyesuaian tata cara jual beli di bank syari’ah menunjukkan
adanya kesulitan dimaksud. Bank syari’ah bukan pedagang, ia adalah penyedia dana.
7. Kaidah Kebutuhan Menduduki Posisi Darurat, Baik Hajat Umum Maupun Khusus
a. Pengertian Kaidah
Kaidah adalah patokan atau ukuran sebagai pedoman bagi manusia dalam
bertindak. Kaidah juga dapat dikatakan sebagai aturan yang mengatur perilaku
b. Landasan Kaidah
Sejarah munculnya kaidah fikih, kaidah fikih ini telah mempunyai bibit sejak
zaman Rasulullah SAW. Akar-akar kaidah fikih ini telah ada pada zaman RasulullahSAW
yang diinduksi oleh ulama fikih dan dijadikan suatu kaidah. Akar kaidah fikih itu
bermula dari ayat al-Quran dan hadis Nabi, karena memang setiap kaidah memiliki
sumber dari keduanya sebagaimana yang dicantumkan oleh imam suyuti dalam kitab
asybah-nya.
Kaidah terkait masalah gharar dan jahalah dalam Jual Beli Kaidah menyatakan,
Semua muamalah yang gharar atau jahalah menjadi tujuan utama dalam transaksi,
statusnya batal. Keterangan: Secara bahasa, Gharar adalah bentuk masdar dari
al-Munir, 2/445).
Peran kaidah dalam merespon kebutuhan manusia dan relevansinya dengan
perkembangan ekonomi dan keuangan islam Kitab kitab fiqh, terdapat karya-karya
ulama klasik yang sangat melimpah dan secara luas membahas konsep dan ilmu
ekonomi Islam Untuk membantu umat Islam dalam membahas suatu tema hukum
Ekonomi Islam misalnya, maka mempelajari kaidah - kaidah fiqh merupakan suatu
ekonomi yang tidak memiliki nash sharîh (dalil pasti) dalam Al-quran maupun hadis.
terus berkembang dan tidak terhitung jumlahnya hanya dalam waktu singkat dan
dengan cara yang mudah, yaitu melalui sebuah ungkapan yang padat dan ringkas
berupa kaidah - kaidah fiqh. Hal ini mempermudah alad (transaksi), mal (aset
Keterpaksaan adalah segala sesuatu yang menjadi keharusan baik dari segi
positif maupun negatif dalam kelas nominal atau kata benda sehingga keterpaksaan
dapat menyatakan nama dari seseorang, tempat, atau semua benda dan segala yang
kesejahteraan.
8. Kaidah Setiap Yang Membawa Manfaat Dibolehkan Dan Yang Menimbulkan Keburukan
Dilarang
a. Pengertian Kaidah
Kaidah adalah patokan atau ukuran sebagai pedoman bagi manusia dalam
b. Landasan Kaidah
- Akar-akar kaidah fikih ini telah ada pada zaman Rasulullah SAW yang diinduksi oleh
yang benar maka praktik dumping dibolehkan. Oleh karena itu seperti pada kaidah,
dilarang.
Islam dalam berbagai bidang transaksi ekonomi, baik yang terkait dengan transaksi-
transaksi mono akad maupun multi akad. Transaksi mono akad atau akad tunggal
akad.
hubungan antara kaidah dengan konsep istishab yaitu dapat di jadikan sebagai dasar
hukum namun kedudukan istihab lebih rendah dari pada kaidah-kaidah fiqih sebab
a. Pengertian Kaidah
Kaidah adalah patokan atau ukuran sebagai pedoman bagi manusia dalam
bertindak. Kaidah juga dapat dikatakan sebagai aturan yang mengatur prilaku
kesopanan,Pada dasarnya kaidah etika datang dari diri dalam manusia itu sendiri.
Kaidah hukum merupakan kaidah yang memiliki sanksi tegas. Kaidah hukum ialah
kaidah yang mengatur hubungan atau intraksi antar pribadi, baik secara langsung
atau tidak langsung oleh karena itu kaidah hukum ditujukan untuk kedamaian,
ketentraman, dan ketertiban hidup bersama. Kaidah hukum biasanya ada paksaan
b. Landasan Kaidah
Sejarah munculnya kaidah fikih, kaidah fikih ini telah mempunyai bibit sejak
zaman Rasulullah SAW. Akar-akar kaidah fikih ini telah adda pada zaman Rasulullah
SAW yang diinduksi oleh ulama fikih dan dijadikan suatu kaidah. Akar kaidah fikih ini
bermula dari ayat al-quran dan hadis nabi, karen memang setiap kaidah memilki
sumber dari keduanya sebagaimana yang dicantumkan oleh imam suyuti dalam kitab
asybah-nya. Selanjutnya, yang dimaksud sumber pengambilan dalam uraian ini ialah
- Kaidah pertama, بمقاص ي ااألمور, artinya semua perkara bergantung pada tujuannya
(niatnya).
ْ
- Kaidah Kedua, الیقي ( بالشك یزال الkeyakinan tidak bisa dihilangkan dengan keraguan).
hasan dimana terdapat aqd tathawwui atau akad saling membantu dan bukan
antara sektor moneter dan sektor riil. Dengan demikian kemaslahatan itu tidak
hanya diperuntukkan bagi sektor moneter (lembaga keuangan syariah) akan tetapi
juga kemaslahatan bagi sektor riil yang membutuhkan (nasabah atau dunia usaha).
a. Pengertian Kaidah
Kaidah adalah patokan atau ukuran sebagai pedoman bagi manusia dalam
bertindak. Kaidah juga dapat dikatakan sebagai aturan yang mengatur prilaku
Secara umum kaidah dibedakan atas dua hal yaitu kaidah etika atau kaidah
hukum, kaidah etika merupakan kaidah yang meliputi norma susila, norma agama
dan norma kesopanan, pada dasarnya kaidah etika datang dari diri dalam manusia
itu sendiri, Kaidah hukum ialah kaidah yang mengatur hubungan atau inKaidah
hukum ialah kaidah yang mengatur hubungan atau intraksi antar pribadi, baik secara
langsung atau tidak langsung oleh karena itu kaidah hukum ditujukan untuk
ada paksaan yang berwujud ancaman bagi para pelanggarnya.traksi antar pribadi,
baik secara langsung atau tidak langsung oleh karena itu kaidah hukum ditujukan
Secara etimologi kaidah fikih atau dalam bahasa Arabnya disebut dengan al-
qawa’id al-fiqhiyyah berasal dari dua kata: القواعjamak dari kata القاع ةyang berarti
dari kata kerja (fi’il) فقھyang ditambah ya’ nisbat dan ta’ marbuthah, yang berfaidah
penjenisan dan pembangsaan, sehinggabermakna sesuatu yang berkaitan dengan
fikih.
b. Landasan Kaidah
Sejarah munculnya kaidah fikih, kaidah fikih ini telah mempunyai bibit sejak
zaman Rasulullah SAW. Akar-akar kaidah fikih ini telah ada pada zaman Rasulullah
SAW yang diinduksi oleh ulama fikih dan dijadikan suatu kaidah. Akar kaidah fikihitu
bermula dari ayat al-Quran dan hadis Nabi, karena memang setiap kaidahmemiliki
sumber dari keduanya sebagaimana yang dicantumkan oleh imam suyutidalam kitab
asybah-nya.
Berikut ini adalah beberapa sumber dan landasan perumusan atas lima
kaidah utama
pemalingan atau transaksi jual beli. berubah sewaktu-waktu, sesuai dengan kondisi
perekonomian negara tersebut. Adanya fluktuasi nilai kurs dan kebutuhan akan
terhadap valuta asing seperti investor, exportir, importir atau bahkan spekulan untuk
pemalingan atau transaksi jual beli. Yang dimaksud dengan valuta asing adalah mata
uang luar negeri seperti Dolar Amerika,Poundsterling Inggris, Ringgit Malaysia dan
sebagainya. Apabila antara negara terjadi perdagangan internasional maka tiap
negara membutuhkan valuta asing untuk alat bayar luar negeri yang dalam dunia
dengan saling menyamakan antara emas yang satu dengan emas yang lain, atau
antara perak satu dengan perak yang lain (ataunberbeda sejenisnya) semisal emas
dengan perak, dengan menyamakan atau melebihkan antara jenis yang satu dengan
jenis yang lain. Sarf merupakan akad jual beli beli mata uang baik dengan sesama
Di samping itu, para ulama sepakat (ijma) bahwa akad al-S{arf di syariatkan
3) Transaksi dilakukan terhadap mata uang sejenis maka nilainya harus sama (al-
tamathul ) dan secara tunai (al-taqabudh) sebelumnya kedua belah pihak (penjual
4) Apabila berlainan jenis maka harus dilakukan dengan nilai tukar (kurs) yang
1) Pembelian mata uang dengan mata uang yang serupa seperti pertukaran uang
2) Pertukaran mata uang asing seperti pertukaran dolar dengan Pound Mesir.
3) Pembelian barang dengan uang tertentu serta pembelian mata uang tersebut
dengan mata uang asing seperti membeli pesawat dengan dolar, serta pertukaran
uang tertentu.
valuta asing. Pasar valas ini dapat menjalankan beberapa fungsi antara lain: Pertama,
sebagai mekanisme dimana orang dapat mentransfer daya beli antar negara; Kedua,
kemungkinan resiko kerugian akibat terjadinya fluktuasi kurs suatu mata uang.
Analisis transaksi valuta asing, (al-sarf) dalam kaidah hukum islam Pada
prinsipnya praktek jual beli seperti al-S{arf diperbolehkan dalam Islam. Dalam prinsip
syariahnya, praktek jual beli valuta asing dapat dianalogikan dan dikategorikan
dengan pertukaran antara emas dan perak atau dikenal dalam terminologi fikih
a. Pengertian
Lalu di bentuk menjadi kata as-si’ru dan jamaknya as’ar yang artinya harga (sesuatu).
Adapun dalam etimologis kata ta’sir berasal dari kata Saarat asy-syaya tasiran,
Jika dikatakan, Asaru wa saaru, aartinya mereka telah bersepakat atas suatu harga
tertentu. Oleh karena itu, ta’sir secara bahasa berarti taqdir as-si’ri (penetapan/
penentuan harga).
Adapun dasar kaidah ini adalah hadis dari Anas ra, dia berkata,”harga
dengan Tuhanku sementara tak ada seorang pun dari kalian yang akan menuntutku
karena suatu kezhaliman dalam urusan harta atau nyawa.”(HR.Abu Dawud, hadis no
3450).
Mekanisme Pasar
tidak berhak untuk melakukan intervensi harga pasar. Berbeda halnya, bila kenaikan
harga itu disebabkan oleh ulah manusia (human error), maka pemerintah berhak
price, sebagai institusi formal yang yang memikul tanggung jawab menciptakan
C. PENUTUP
terminologi yang perlu dijelaskan terlebih dahulu, yaitu Qawaid dan Fiqhiyyah. Kata
Qawaid merupakan bentuk jama' dari kata qaidah, dalam istilah bahasa Indonesia dikenal
dengan kata 'kaidah'Urgensi al-Qawaid al-Fiqhiyyah dalam Hukum Fiqh, Al-Juwaini dari
madzhab Syafi’i dalam kitabnya al-Ghayatsi berpendapat bahwa tujuan akhir dari
Qawaid Fiqhiyyah adalah untuk memberi isyarat dalam rangka mengidentifikasi metode
Tak jauh berbeda dengan madzhab Syafi’i, dalam madzhab Hanafi pun tidak ada
kesepakatan di antara para ulama mereka terhadap boleh tidaknya berfatwa atau
berhujjah dengan menggunakan Qawaid Fiqhiyyah. Dalam aktivitas ekonomi, kaidah ini
berlaku pada kebijakan pemerintah dalam penetapan harga (ta’sir). Menurut al-Andalusi,
kenaikan harga yang disebabkan pengaruh penawaran dan permintaan secara alami, maka
pemerintah tidak berhak untuk melakukan intervensi harga pasar.
Berbeda halnya, bila kenaikan harga itu disebabkan oleh ulah manusia (human
tingkat harga pada equilibrium price, sebagai institusi formal yang yang memikul
tanggung jawab menciptakan kesejahteraan umum, berhak melakukan intervensi harga
ketika terjadi suatu aktivitas yang dapat membahayakan kehidupan masyarakat luas.