Anda di halaman 1dari 27

QAWAID FIQHIYAH

Oleh:
Dyndha Usman Setiawati
NIM: 612062019124
Perbankan S yariah 4 Semester 4

Abstrak

Al-Qawaid al-Fiqhiyyah, Dalam pengertian al-Qawaid al-Fiqhiyyah ada dua

terminologi yang perlu dijelaskan terlebih dahulu, yaitu Qawaid dan Fiqhiyyah. Kata

Qawaid merupakan bentuk jama' dari kata qaidah, dalam istilah bahasa Indonesia

dikenal dengan kata 'kaidah'Urgensi al-Qawaid al-Fiqhiyyah dalam Hukum Fiqh, Al-

Juwaini dari madzhab Syafi’i dalam kitabnya al-Ghayatsi berpendapat bahwa tujuan

akhir dari Qawaid Fiqhiyyah adalah untuk memberi isyarat dalam rangka

mengidentifikasi metode yang dipakainya terdahulu, bukan untuk beristidlal

dengannya. Tak jauh berbeda dengan madzhab Syafi’i, dalam madzhab Hanafi pun tidak

ada kesepakatan di antara para ulama mereka terhadap boleh tidaknya berfatwa atau

berhujjah dengan menggunakan Qawaid Fiqhiyyah. Dalam aktivitas ekonomi, kaidah ini

berlaku pada kebijakan pemerintah dalam penetapan harga (ta’sir). Menurut al-Andalusi,

kenaikan harga yang disebabkan pengaruh penawaran dan permintaan secara alami,

maka pemerintah tidak berhak untuk melakukan intervensi harga pasar. Berbeda halnya,

bila kenaikan harga itu disebabkan oleh ulah manusia (human error), maka pemerintah

berhak melakukan intervensi harga dengan mengembalikan tingkat harga pada

equilibrium price, sebagai institusi formal yang yang memikul tanggung jawab

menciptakan kesejahteraan umum, berhak melakukan intervensi harga ketika terjadi

suatu aktivitas yang dapat membahayakan kehidupan masyarakat luas.


A. PENDAHULUAN

Pengertian al-Qawaid al-Fiqhiyyah, Dalam pengertian al-Qawaid al-Fiqhiyyah

ada dua terminologi yang perlu dijelaskan terlebih dahulu, yaitu Qawaid dan Fiqhiyyah.
Kata Qawaid merupakan bentuk jama' dari kata qaidah, dalam istilah bahasa Indonesia

dikenal dengan kata 'kaidah' yang berarti aturan atau patokan, dalam tinjauan

terminologi kaidah mempuyai beberapa arti.

Sejarah Perkembangan dan Penyusunan al-Qawaid al-Fiqhiyyah

1. Periode Pertama

a. Periode Rasulullah

Dalam periode ini dikongklusikan bahwa ternyata benih-benih al-

Qawaid al-Fiqhiyyah telah ada sejak zaman risalah Muhammad SAW.

Sekalipun dalam era ini Rasulullah dan para sahabat tidak pernah menamakan

hal tersebut adalah kaidah , namun dari pelafadzannya ditemukan oleh ulama

bahwa rasul pun mengeluarkan kaidah bahkan dari matan hadist yang beliau

ucapkan.

b. Periode Sahabat

Para sahabatpun dikenal mempunyai kontribusi nyata dalam

pembentukan al-Qawaid al-Fiqhiyyah. Lagi-lagi sekalipun mereka tidak

menamakannya sebagai kaidah Fiqhiyyah dalam berargumen, namun ulama

dengan ijma’nya sepakat mengakategorikan sejumlah riwayat para sahabat

untuk menjadi landasan sumber kaidah.

c. Periode Tabi’in dan Tabi’u tabi’i

Beberapa ulama dalam lingkup tabi’in dan tabi’u tabi’in juga telah

mengeluarkan sejumlah Qawaid al-Fiqhiyyah

2. Periode Kedua: Masa Perkembangan dan Kodifikasi

Diyakini bahwa pada masa inilah di mana Qawaid Fiqhiyyah mempunyai

posisi tersendiri sebagai disiplin ilmu kedua setelah ushul fiqh. Memasuki abad ke

4 Hijriah dan setelahnya, di mana semangat ijtihad telah melemah sementara


taqlid terus mewabah karena saat itu mulai banyak timbul perkara-perkara baru

dalam kehidupan manusia.

3. Masa Penyempurnaan
Telah terkumpul dan terkodifikasi dalam kitab tersendiri untuk bidang

Qawaid al-Fiqhiyyah. Namun bukan berarti Qawaid Fiqhiyyah telah dinyatakan

sempurna.

Urgensi al-Qawaid al-Fiqhiyyah dalam Hukum Fiqh, Al-Juwaini dari

madzhab Syafi’i dalam kitabnya al-Ghayatsi berpendapat bahwa tujuan akhir dari

Qawaid Fiqhiyyah adalah untuk memberi isyarat dalam rangka mengidentifikasi

metode yang dipakainya terdahulu, bukan untuk beristidlal dengannya. Tak jauh

berbeda dengan madzhab Syafi’i, dalam madzhab Hanafi pun tidak ada

kesepakatan di antara para ulama mereka terhadap boleh tidaknya berfatwa atau

berhujjah dengan menggunakan Qawaid Fiqhiyyah. Mereka yang tidak setuju.

Sedangkan dalam madzhab Maliki, para ulama mereka menempatkan Qawaid

Fiqhiyyah sejajar dengan ushul fiqh.

Perbedaan al-Qawaid al-Fiqhiyyah dengan Qawaid Ushuliyyah, Nadzariyat

Fiqhiyyah, Dhawabit Fiqhiyyah

a. Perbedaan al-Qawaid al-Fiqhiyyah dengan Qawaid Ushuliyyah, Qawaid

Ushuliyyah membahas tentang dalil-dalil syar’iyyah yang bersifat umum.

Sedangkan Qawaid Fiqhiyah adalah kaidah- kaidah pembahasannya tentang

hukum yang bersifat umum.

b. Perbedaan al-Qawaid al-Fiqhiyyah dengan Dhawabit, Fiqhiyyah bahwa Qawaid

Fiqhiyyah lebih luas dari Dhawabith Fiqhiyyah, karena Qawaid Fiqhiyyah tidak

terbatas pada masalah dalam satu bab fiqh, tetapi semua masalah yang terdapat

pada semua bab fiqh. Sedangkan Dhawabith Fiqhiyyah ruang lingkupnya

terbatas pada masalah dalam satu bab fiqh.

Sumber Epistemologis al-Qawaid al-Fiqhiyyah, Epistemologi merupakan

cabang filsafat yang menyelidiki asal, sifat, metode dan batasan pengetahuan
manusia. Epistemologi juga disebut theory of knowledge, karena episteme
adalah bahasa Yunani yang berarti “pengetahuan” dan logos berarti “teori”.

Epistemologi membicarakan tiga persoalan utama; persoalan hakikat

pengetahuan, persoalan asal atau sumber pengetahuan, dan persoalan


metode memperoleh pengetahuan atau juga kajian terhadap kebenaran.

B. PEMBAHASAN

1. Kaidah Assasiyah: Kaidah Pertama - Al Umuru Bi Maqasidiha

a. Pengertian Al-umuru bi maqasidiha

Al-umuru bi maqasidiha merupakan kaidah yang pertama dalam pembahasan

qawaid fiqhiyyah. Asal dari kaidah ini adalah sabda Nabi saw.: “sesungguhnya semua

amal tergantung niatnya.” Hadis ini menegaskan tersebut menegaskan tentang urgensi

niat dalam setiap amal perbuatan manusia.

Kaidah Al-umuru bi maqasidiha, yaitu bahwa hukum yang berimplikasi terhadap

suatu perkara yang timbul dari perbuatan atau perkataan subjek hukum (mukallaf)

tergantung pada maksud dan tujuan dari perkara tersebut.

Kaidah pertama ini yaitu Al-umuru bi maqasidiha menegaskan bahwa semua

urusan sesuai dengan maksud pelakunya yaitu sebagaimana yang berbunyi: : Al-umuru

bi maqasidiha, yang artinya segala perkara tergantung pada niatnya.

b. Landasan dari kaidah Al umuru bi maqasidiha

1) Q.S. An-Nisa ayat 100

“barang siapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka

bumi ini tempat hijrah yang luas dan rizki yang banyak. Barangsiapa keluar dari

rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-nya, kemudian

kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah

tetap pahalanya di sisi Allah. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha

Penyayang.”

2) Q.S. An-Nisa ayat 100

“barang siapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka

bumi ini tempat hijrah yang luas dan rizki yang banyak. Barangsiapa keluar dari
rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-nya, kemudian
kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah

tetap pahalanya di sisi Allah. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha

Penyayang.”
3) Q.S. Al-Imran ayat 145

“barang siapa menghendaki pahala dunia, niscaya kami berikan kepadanya

pahala dunia itu, dan barang siapa menghendaki pahala akhirat, kami berikan (pula)

kepadanya pahala akhirat itu. Dan kami akan memberi balasan kepada orang-orang

yang bersyukur.”

4) Q.S. Al-Ahzab ayat 5

“…dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi

(yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu.”

5) Hadis

a) “Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya. Setiap orang akan

mendapatkan apa yang ia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-

nya, maka hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya. Siapa yang hijrahnya karena

mencari dunia atau karena wanita yang dinikahinya, maka hijrahnya kepada yang

ia tuju.” (H.R. Bukhari dan Muslim) [HR. Bukhari, no. 1 dan Muslim, no. 1907].

b) “Barang siapa yang tidur dan ia berniat akan salat malam, kemudian dia ketiduran

sampai subuh, maka ditulis baginya pahala sesuai dengan niatnya.” (HR. al-Nasai

dari Abu Zar).

c) “Tidak ada (pahala) bagi perbuatan yang tidak disertai niat.” (HR. Anas Ibn. Malik

ra.)

d) “Barang siapa berperang dengan maksud meninggikan kalimat Allah, maka dia

ada di jalan Allah.” (HR. Bukhari dan Abu Musa)

c. Analisis kaidah Al-umuru bi maqasidiha

Kaidah yang pertama (Al-umuru bi maqasidiha) membawa maksud bahwa

setiap urusan dinilai berdasarkan tujuan atau niatnya. Secara eksplisit kaidah al-umuru

bi maqasidiha menjelaskan bahwa setiap pekerjaan yang ingin dilakukan oleh seseorang
perlu disertai dengan tujuan/niat. Oleh karena itu, maka setiap perbuatan mukallaf
amat bergantung kepada apa yang diniatkannya, bahkan para ulama fiqh sepakat

bahwa sesuatu perbuatan yang telah diniatkan, namun perbuatan tersebut tidak dapat

dilaksanakan karena sesuatu kesukaran (masyaqqah) ia tetap diberikan pahala atau


ganjaran

d. Konsekuensi niat

Segala macam bentuk sikap dan aktifitas perbuatan seseorang tidak akan

pernah dianggap (berpengaruh) oleh syar’i, kecuali dilandasi dengan niat. Apabila

niatnya baik, maka nilai perbuatannya menjadi baik, namun jika niatnya tidak baik,

maka nilai amal perbuatannya menjadi tidak baik. Oleh sebab itu, niat adalah syarat sah

dari suatu amal. Tanpa adanya niat, sebuah amal bagaikan tubuh tanpa jiwa yang tidak

ada artinya.

e. Penerapan kaidah Al-umuru bi maqasidiha

1) Jika si pemburu mengangkat jaringnya dengan tujuan utnuk mengeringkannya atau

membereskannya kemudian ada seekor burung menyangkut, maka burung itu bagi

orang yang menemukannya, akan tetapi jika si pemburu mengangkat jaringnya

dengan tujaunac berburu, maka burung tersebut untuk yang punya jaring, jika orang

lain yang mengambilnya hukumnya ghasab.

2) Apabila seseorang membeli anggur dengan tujuan atau niat memakan atau

menjualnya hukumnya boleh. Akan tetapi, apabila ia membeli dengan tujuan atau

niat untuk menjadikan anggur tersebut sebagai khamr, atau menjual pada orang

yang akan menjadikannya sebagai khamr, maka hukumnya haram.

3) Apabila seseorang menemukan dompet di jalan yang berisi sejumlah uang lalu

mengambilnya dengan tujuan atau niat mengembalikan kepada pemiliknya, maka ia

tidak menanggung apabila dompet tersebut hilang atau rusak. Akan tetapi, jika ia

mengambilnya dengan tujuan atau niat untuk memilikinya, maka ia haus

dihukumkan sama dengan ghasab (orang yang merampas harta orang) dan jika

dompet tersebut hilang maka ia harus meggantinya secara mutlak.

4) Apabila seseorang menabung di suatu bank konvensional dengan tujuan atau niat
untuk mengamankan uangnya karena belum ada bank syariah di daerahnya, maka ia
dibolehkan karena darurat. Akan tetapi, jika ia menyimpan uang di bank

konvensional itu dengan tujuan atau niat memperoleh lbunga dari bank tersebut,

maka hukumnya haram


f. Pengecualian kaidah Al-umuru bi maqasidiha

Segala macam bentuk sikap dan aktifitas perbuatan seseorang tidak akan

pernah dianggap (berpengaruh) oleh syar’i, kecuali dilandasi dengan niat. Apabila

niatnya baik, maka nilai perbuatannya menjadi baik, namun jika niatnya tidak baik,

maka nilai amal perbuatannya menjadi tidak baik. Oleh sebab itu, niat adalah syarat sah

dari suatu amal. Tanpa adanya niat, sebuah amal bagaikan tubuh tanpa jiwa yang tidak

ada artinya.

g. Cabang-cabang dari kaidah Al-umuru bi maqasidiha

1) Tidak ada pahala kecuali dengan niat). Maksudnya, selama perbuatan itu tidak

dianggap buruk, jika tidak dengan niat, maka amal itu tidak akan memperoleh

pahala. Oleh karena itu, niat dalam perbuatan wudhu, ulama Syafi'iyyah dan

Malikiyyah menganggap niat itu fardhu, Ulama Hanabilah menganggapnya sebagai

syarat sah wudhu. Ulama Hanafiyyah menetapkan sebagai sunnat muakkad.

2) Suatu amal yang tidak disyaratkan untuk dijelaskan,baik secara global atau

terperinci, bila dipastikan dan ternyata salah, maka kesalahannya tidak

membahayakan.

3) Suatu amal yang disyariatkan penjelasannya, maka kesalahannya membatalkan

perbuatan tersebut). Oleh karena itu, dalam salat zuhur berniat dengan salat asar,

atau dalam salat idul fithri berniat dengan idul adha, dalam puasa arafah berniat

dengan puasa asyura. Maka perbuatan itu menjadi batal.

4) Suatu amal yang harus dijelaskan secara global dan tidak disyaratkan secara

terperinci, karena apabila disebutkan secara terperinci dan ternyata salah maka

kesalahannya membahayakan.

5) Maksud dari suatu lafazh (ucapan) adalah menurut niat orang yang

mengucapkannya.
‫لشك ا ْل َيق ْن‬
2. Kaidah Assasiyah ( Kedua Yang Berhubungan Dengan ‫ي‬
َّ ُ َ ‫َ ن‬
‫( اليزال ِبا‬Kaidah Yakin)
ِ
Definisi Kaidah Yakin, Al-Yaqin la yuzal bi al-shak, dikatakan juga al-yaqin la yazul
bial-shak. Al-Yaqin secara bahasa adalah keyakinan. Secara sederhana ia bisa dimaknai

dengan tuma’ninah al-qalb, ketetapan hati atas suatu kenyataan atau realitas tertentu.

a. Landasan Kaidah

1) (HR. Muslim: 571)

“Apabila salah seorang dari kalian ragu-ragu dalam salatnya, sehingga dia

tidak tahu sudah berapa rakaat dia salat, maka hendaklah dia mengabaikan

keraguannya dan melakukan yang dia yakini kemudian hendaklah dia sujud dua kali

sebelum salam. Seandainya dia salat lima rakaat maka kedua sujud itu bisa

menggenapkan salatnya, dan jikalau salatnya telah sempurna maka kedua sujud itu

bisa membuat setan marah dan jengkel” (HR. Muslim: 571)

2) (HR. Bukhari: 137 dan Muslim: 361)

“Dari ‘Abbad bin Tamim dari pamannya berkata, “Bahwasanya ada seseorang

yang mengadu kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa dia merasakan

seakan-akan ingin kentut di dalam salatnya. Maka Rasulullah bersabda, “Janganlah

dia membatalkan salatnya hingga dia mendengar suara atau mencium bau.” (HR.

Bukhari: 137 dan Muslim: 361)

b. Analisis Kaidah

Kaidah ini merupakan kaidah yang sangat agung di dalam syariat Islam, dan

banyak permasalahan fikih yang dilandasi oleh kaidah ini. Kaidah ini meng-cover banyak

permasalahan, mulai dari masalah ibadah, muamalah, hingga hal-hal yang berkaitan

dengan hukuman bagi para pelaku kriminal atau yang dikenal dalam dunia fikih dengan

sebutan hudud.

c. Penerapan Kaidah

1) Apabila seseorang telah yakin bahwa sebuah pakaian terkena najis, akan tetapi dia

tidak tahu dibagian mana dari pakaian tersebut yang terkena najis maka dia harus
mencuci pakaian itu seluruhnya.
2) Apabila ada seseorang yang yakin bahwa dia telah berwudu, kemudian dia ragu

apakah telah batal wudunya atau belum, maka dia tidak perlu berwudu lagi.

3) Dan begitu pula sebaliknya, apabila seseorang yakin bahwa wudunya telah batal,
akan tetapi dia ragu apakah dia telah berwudu lagi atau belum, maka wajib baginya

untuk berwudu lagi.

4) Barang siapa yang ragu dalam salatnya apakah dia telah salat tiga rakaat atau empat

rakaat misalnya, maka dia harus mengikuti yang yakin, yaitu yang paling sedikit

rakaatnya, yang mana dalam permasalah ini adalah tiga rakaat.

5) Begitu pula dalam permasalahan putaran tawaf, apabila dia ragu berapa kali dia telah

berputar mengelilingi ka’bah apakah dua kali atau tiga kali, maka dia harus

menganggap bahwa dia baru berputar dua kali, dan begitu seterusnya.

6) Barang siapa yang telah sah nikahnya, kemudian dia ragu apakah telah mentalak

istrinya atau belum, maka pernikahannya tetap sah.

7) Apabila seorang istri ditinggal suaminya berpergian dalam jangka waktu yang lama,

maka dia tetap dihukumi sebagai istri laki-laki tersebut dan tidak boleh baginya untuk

menikah lagi. Karena yang yakin adalah bahwa sang suami pergi dalan keadaan

hidup, maka tidak boleh menghukuminya telah meninggal kecuali dengan berita

yang meyakinkan.

8) Jika ada seseorang yang pergi meninggalkan kampung halamannya dalam keadaan

sehat, akan tetapi setelah bertahun-tahun tidak kunjung pulang dan tidak diketahui

kabarnya, maka dia tetap dihukumi sebagai orang yang hidup. Yang atas dasar ini

tidak boleh diwarisi hartanya sampai datang kabar yang meyakinkan tentang hidup

atau matinya.

9) Apabila seseorang yakin bahwa dirinya pernah berhutang, kemudian dia ragu apakah

dia telah membayar hutang itu atau belum, maka wajib baginya untuk membayar

hutang tersebut kecuali jika pihak yang menghutangi menyatakan bahwa dia telah

membayar hutangnya.
d. Pengecualian Kaidah

Dalam kaidah ini ada pengecualian pada beberapa permasalahan, seperti dalam

persoalan mengucap muzah, ketika ada seseorang muqim (orang yang tidak berpergian)
meragukan apakah ketika dia mengusap itu telah genap sehari semalam, yakni batas

maksimal diperbolehkan mengusap muzah tanpa membasuh kaki saat wudhu. Jika

demikian kondisinya, maka ia tidak diperkenankan mengusap muzah dan wajib

membasuh kedua kakinya ketika berwudhu’.

Jika ada seseorang yang dititipi (muda’) mengaku telah mengembalikan barang

yang dititipkan, maka pengakuannya bias diterima dengan disertai sumpah. Padahal

seharusnya dianggap belum mengembalikan barang yang dititipkan kepadanya

walaupun telah bersumpah selama belum ada kepastian bahwa barang itu sudah

dikembalikan. Sebab kondisi asalnya adalah barang itu tetap berada ditangan muda’

3. Kaidah Assasiyyah Ke-3 “Kaidah Kesulitan”

a. Pengertian Kaidah Kesulitan

Kaidah al-mashaqqah tajlibu al-taysir (kesulitan dapat menarik pada

kemudahan). Masyaqqah (kesukaran) menurut asal-usul bahasanya berarti keletihan

(al-juhd), kepayahan (al-‘ina’), dan kesempitan (asy-syiddah). Sementara jalb asy-

syai’ berarti menggiring dan mendatangkan sesuatu dari satu tempat ketempat yang

lainnya. Sedangkan at-taisir berarti kemudahan dalam suatu pekerjaan, tidak

memaksakan diri dan tidak memberatkan fisik.

Jadi makna kaidah ‫ الوش ييق تجلب التيس ي‬adalah kesulitan menyebabkan adanya

kemudahan. Maksudnya adalah bahwa hukum-hukum yang dalam penerapannya

menimbulkan kesulitan dan kesukaran bagi mukallaf, maka syari’ah meringankannya

sehingga mukallaf mampu melaksanakannya tanpa kesulitan dan kesukaran.

b. Landasan Kaidah

Al-Qur’an

- Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.

[al-Baqarah/2:185].
- Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. [al-

Baqarah/2:286].

- Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. [al-
Hajj/22:78].

- Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu. [at-

Taghâbun/64:16].

Landasan Kaidah Hadis

- Dari Ibn ‘Abbas ra., ia berkata: telah ditanyakan kepada Rasulullah saw:‘Agama

agama manakah yang lebih disukai Allah?‛ Beliau menjawab: (Agama) yang lembut

dan toleran‛. (HR. Ahmad)

- Abu ‘Urwah telah menceritakan kepadaku, kami sedang menunggu Rasulullah saw

kemudian seorang laki-laki keluar .. ‚Ya Rasul, apakah dibebankan suatu kesulitan

bagi kami dalam hal ini?‛ Maka beliau menjawab: ‚Tidak, wahai sekalian manusia.

Sesungguhnya agama Allah ‘Azza wa Jalla berada dalam kemudahan‛. (HR. Ahmad).

c. Analisis Kaidah

Kaidah ini termasuk kaidah fiqih yang sangat penting untuk dipahami. Karena,

seluruh rukhshah dan keringanan yang ada dalam syari’at merupakan wujud dari

kaidah ini. Diantara kaidah fiqh yang menunjukkan kemudahan yang islam berikan

adalah ketika dating kesulitan, maka islam memberikan kemudahan. Ketika sakit,

tidak bisa shalat sambil berdiri, maka boleh shalat sambil duduk. Ketika wanita dating

bulan, maka shalat gugur darinya. Ketika kita bersafar, kita diberi keringanan

mengerjakan shalat 4 raka’at menjadi 2 raka’at, artinya mengerjakannya secara

qoshor. Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah berkata, “Diantara

kaedah syari’at adalah memberikan kemudahan, yaitu kemudahan ketika dating

kesulitan. Maksud dari kaidah tersebut yaitu diantara hikmah dan rahmat Allah,

apabila datang sesuatu kesulitan, maka syari’at diperingan dan dipermudah.


d. Penerapan Kaidah

Contoh umum

Syarat sahnya Thawaf adalah dalam keadaan bersuci. Sedangkan pada


kondisi Thawaf, seorang sangat memungkinkan bersentuhan dengan yang buka

mahromnya. Ada suatu mazhab yang menyatakan bahwa akan batal wudhu

seseorang apabila bersentuhan dengan yang bukan mahromnya..

Hal ini menyebabkan suatu kesulitan untuk para haji apabila masih

menggunakan mazhab ini pada saat Thawaf. Sehingga diperbolehkan untuk

berpindah mazhab, yang menyatakan bahwa tidak apa bersentuhan dengan yang

bukan mahrom apabila tidak disertai dengan hawa nafsu.

Penerapan Kaidah

Kasusnya yaitu ada seorang bapak A, bapak A ini membutuhkan beras untuk

konsumsi acara walimah anaknya. Namun, uang bapak A ini sudah habis untuk

kebutuhan lainnya dan undangan sudah disebar ke warga sekitar rumahnya.

Sehingga diperbolehkan untuk melakukan akad salam pada kasus ini, yaitu dengan

menerima beras tanpa menyerahkan uang terlebih dahulu. Sehingga acara walimah

dapat berjalan dengan lancar.

Adanya kebutuhan kartu kredit yang meningkat dirasakan sangat

membebankan para nasabahnya, karena adanya bunga dalam sistem kartu kredit

konvensional dan tidak ada batasan penggunaan sehingga menciptkan sifat

konsumerisme bagi para pengguna. Terbentuklah suatu kartu kredit syariah yang

menghapus sistem riba dan adanya limit pemakaian sehingga tidak ada pihak yang

didzolimi oleh kartu kredit ini.

4. Kaidah Assasiyah keempat yang berhubungan tentang (Kaidah Kemudharatan)

a. Pengertian Kaidah Kemudharatan

Kaidah ini memiliki sudut pandang yang sedikit mirip dengan kaidah
َ َّْ ‫ال ا‬
sebelumnya. Kaidah ‫لّض نر‬ ‫ ني َز ن‬berkaitan dengan kemudharatan yang terjadi di antara

para hamba, dimana kemudharatan, kesulitan, dan sejenisnya sebisa mungkin


dihilangkan di antara para hamba.
Arti dari kaidah “ad-Dhararu yuzalu” adalah kemudharatan/kesulitan harus

dihilangkan. Jadi, konsepsi kaidah ini memberikan pengertian bahwa manusia harus

dijauhkan dari idhrar (tindak menyakiti), baik oleh dirinya maupun orang lain, dan
tidak semestinya ia menimbulkan bahaya (menyakiti) pada orang lain.

Namun Dharar (Kemudharatan) secara etimologi adalah berasal dari kalimat

"adh Dharar" yang berarti sesuatu yang turun tanpa ada yang dapat menahannya.

Jadi, Dharar disini menjaga jiwa dari kehancuran atau posisi yang sangat mudharat

sekali, maka dalam keadaan seperti ini kemudaratan itu membolehkan sesuatu yang

dilarang.

b. Macam-Macam Kemudharatan

Pada dasarnya, secara umum kemudharatan terbagi ke dalam tiga jenis,

yaitu:

1) Kemudharatan yang memang diizinkan oleh syariat.


َ ْ ْ
2) Kemudharatan yang menimpa banyak orang dan susah dihindari ( ‫)ال َبل َوى ِبي ي ِ ت نعم‬.

Seperti, asap kendaraan dan bunyi klakson di jalan raya, ini merupakan

kemudharatan yang juga dimaafkan karena hampir tidak mungkin

menghilangkannya.

3) Kemudharatan dimana orang yang ditimpa kemudharatan itu telah memafkan.


َ َّْ ‫ال ا‬
c. Penerapan Kaidah ‫لّض نر‬ ‫ني َز ن‬

Contoh-contoh lain dari kaidah sangat banyak, intinya segala hal yang bisa

menimbulkan kemudharatan harus dihilangkan. Akan tetapi, berikut ini beberapa

contoh tentang kaidah ini yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari:

1) Dua orang yang telah selesai melakukan transaksi jual beli. Misal, seorang pembeli

membeli sebuah mobil kepada seorang penjual dengan harga yang jauh melebihi

harga pasaran. Setelah si pembeli mengetahui bahwa dia dibohongi dan merasa

dirugikan dengan harga jual yang terlalu mahal (ghabn) tersebut, maka dia berhak

mengajukan khiyar ghabn ke pengadilan. Bentuknya dengan diberikan

kesempatan kepadanya untuk memilih apakah dia tetap lanjutkan pembelian,


atau dia batalkan, atau dia memilih tetap membeli tetapi mengambil ganti rugi.
Atau dalam kasus yang lain dia ditipu, maka dia berhak mengajukan khiyar tadlis.

Atau dia membeli barang tetapi barang tersebut cacat, maka dia berhak

mengajukan khiyar ‘aib, dengan bentuk penawaran yang sama dengan khiyar
ghabn. Semua bentuk khiyar ini disyariatkan salah satunya dalam rangka untuk

menolak kemudharatan.

2) Seseorang yang memonopoli suatu jenis barang atau makanan lalu dia

menyimpannya. Ketika harga pasar barang tersebut naik, dia menjualnya dengan

harga yang tidak wajar. Maka pemerintah berhak untuk memaksanya agar

menjualnya kembali dengan harga yang wajar.

3) Seseorang yang punya talang air di depan rumahnya sehingga air dari rumahnya

tersebut mengarah ke jalan umum. Maka pemerintah berhak untuk menyuruhnya

agar memasukkan talang tersebut ke bagian rumahnya.

4) Seseorang yang memonopoli suatu jenis barang atau makanan lalu dia

menyimpannya. Ketika harga pasar barang tersebut naik, dia menjualnya dengan

harga yang tidak wajar. Maka pemerintah berhak untuk memaksanya agar

menjualnya kembali dengan harga yang wajar.

5) Seseorang yang punya talang air di depan rumahnya sehingga air dari rumahnya

tersebut mengarah ke jalan umum. Maka pemerintah berhak untuk menyuruhnya

agar memasukkan talang tersebut ke bagian rumahnya.

d. Analisis Kaidah

Kaidah ini memberikan pengertian bahwa manusia harus dijauhkan dari

tindakan menyakiti baik oleh dirinya sendiri maupun oleh oranglain, dan tidak

semestinya menimbulkan bahaya untuk orang lain, kemudian kaidah ini diturunkan

kepada berbagai kasus termasuk pembatasan wewenang dan pembatasan

kebebasan manusia dalam mempergunakan hak utilitasnya pada hal-hal yang

menimbulkan bahaya bagi orang lain.


e. Kaidah-Kaidah Turunan Kemudharatan

1) kemudharatan dihilangkan semaksimal mungkin meskipun tidak seluruhnya

hilang
2) kemudharatan tidak dihilangkan dengan memunculkan kemudharatan yang

semisal apalagi kemudharatan yang lebih parah.

3) menempuh kemudharatan yang lebih ringan yang mana kedua mudharat

tersebut tidak bisa dihindari

4) ditempuh kemudharatan yang khusus untuk menolak kemudharatan yang

umum

menolak kemudharatan lebih diutamakan daripada mendatangkan

kemaslahatan.

5. Kaidah Hukum Dasar Muamalat Adalah Mubah

a. Definifisi Kaidah

Al-Qawa’id bentuk jamak dari kata Aqaidah (kaidah). Para ulama mengartikan

qaidah secara etimologis dan terminologis, (lughatan wa istilahan). Dalam arti bahasa,

qaidah bermakna asas, dasar atau fondasi, baik dalam arti yang konkret maupun yang

absrtak, seperti kata-kata qawa’id al-bait, yang artinya fondasi rumah, qawa’id a-din,

artinya dasar-dasar agama, qawa’id al-ilm, artinya kaidah-kaidah ilmu. Arti ini digunakan

di dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 127 dan surat An-Nahl ayat 26.

b. Landasan Kaidah

Yang dimaksud dengan landasan kaidah adalah dalil-dalil dari Al-Qur’an dan

Hadits atau salah satu dari sumber-sumber ajaran islam yang lain yang menjadi acuan

kaidah tersebut. Keberadaan dalil-dalil yang dijadikan acuan oleh sebuah kaidah

merupakan bukti yang dapat meperkuat bahwa kaidah-kaidah fikih tidak hanya

dibentuk berdasarkan pemikiran para ulama fikih saja, akan tetapi juga ijtihad atau

pengembangan dari sumber-sumber hukum islam yang sesuai dengan prosedur dan

metode yang benar di dalam islam, yaitu dengan kembali kepada Al-Qur’an dan Hadits.
c. Dasar Hukum Kaidah Muamalat

“Hukum asal menetapkan syarat dalam mu’amalah adalah halal dan

diperbolekan kecuali ada dalil (yang melarangnya)”. Para fuqaha telah menjelaskan
bahwa mu’amalah, baik jual beli, sewa menyewa, dan semisalnya hukum asalnya adalah

halal dan diperbolehkan kecuali ada dalil yang melarangnya. Dari sini dapat diketahui

bahwa hukum asal menetapkan syarat dalam mu’amalah juga adalah halal dan

diperbolehkan.

d. Penerapan Kaidah Dalam Berbagai Hukum Transaksi Dan Jual Beli

Kaidah Menyatakan:

“Semua muamalah yang gharar atau jahalah menjadi tujuan utama dalam transaksi,

statusnya batal”

Keterangan:

Secara bahasa, Gharar adalah bentuk masdar dari Gharrara – Yugharriru – Taghrir yang

artinya membahayakan atau seseorang memposisikan dirinya atau hartanya di posisi

bahaya, atau mengurangi. (Al-Mishbah Al-Munir, 2/445). Para ulama menyebutkan,

secara umum, muamalah yang dilarang, karena di sana mengandung salah satu dari 3

unsur yaitu, Dzalim, Gharar, dan Riba

e. Implementasi Kaidah Dalam Merespon Perkembangan Fintech

Fintech adalah inovasi pada industri keuangan dengan menggunakan teknologi

digital dalam layanan/produk yang ditawarkan. Fintech dapat menyasar segment

perusahaan maupun ritel. Tujuan Fintech untuk memudahkan masyarakat mengakses

produk-produk keuangan, mempermudah transaksi dan meningkatkan literasi

keuangan.

Menyadari besarnya potensi bangsa pasar muslim di dunia, startup fintech tidak

menyia-nyiakan kesempatan dengan membangun fintech syariah. Fintech syariah

memiliki kriteria khusus diantaranya tidak mengandung unsur riba, dhoror (penipuan),

dhorot (efek negatif ), dan Al jahalah (tidak ada transparansi) antara penjual dan

pembeli.
Diawali oleh startup fintech syariah pertama Beehive di Dubai (2004). Fintech

yang mendapatkan sertifikat syariah pertamakali di dunia ini menyediakan pembiayaan

murah untuk UMKM yang menggunakan pendekatan peer-to-peer lending marketplace


6. Kaidah Dalam Hukum Transaksi Dan Jual Beli

a. Pengertian Kaidah

Kaidah adalah patokan atau ukuran sebagai pedoman bagi manusia dalam

bertindak. Kaidah juga dapat dikatakan sebagai aturan yang mengatur prilaku manusia

dan perilaku sebagai kehidupan bermasyarakat.

b. Landasan Kaidah

1) Kaidah pertama, ‫بمقاص ي ا األمور‬, artinya semua perkara bergantung pada tujuannya

(niatnya).

2) Kaidah Kedua. (keyakinan tidak bisa dihilangkan dengan keraguan).

3) Kaidah ketiga, (kesukaran memunculkan kemudahan).

c. Penerapan Kaidah dalam Berbagai Hukum Transaksi Dan Jual Beli

Kaidah terkait masalah gharar dan jahalah dalam Jual Beli, Kaidah menyatakan,

Semua muamalah yang gharar atau jahalah menjadi tujuan utama dalam transaksi,

statusnya batal. Keterangan: Secara bahasa, Gharar adalah bentuk masdar dari

gharrara-yugharriru-Taghrir yang artinya membahayakan atau seseorang

memposisikan dirinya atau hartanya di posisi bahaya, atau mengurangi. (al-Mishbah al-

Munir, 2/445).

d. Implementasi Kaidah dalam Hukum Jual Beli Mu'atah,'Inah dan Tawaruq

1) Hukum Jual Beli Mu’athah, Jual beli mu’athah adalah kesepakatan kedua belah pihak

atas harga (tsaman) dan barang yang dijual (mutsaman), dan keduanya saling

memberi tanpa ijab qabul, dan kadang-kadang ada lafadz (perkataan) dari salah satu

pihak.

2) Hukum jual beli Al'inah, Jual Beli al-'Inah adalah seseorang yang menjual barang

kepada orang lain secara kredit, kemudian dia membelinya kembali dari pembelinya

yang pertama kali secara kontan dengan harga yang lebih murah.
3) Hukum jual beli tawaruq, jual beli at-Tawarruq adalah seseorang membeli barang

dari seorang penjual dengan cara kredit, kemudian ia menjual barang tersebut

kepada pihak ketiga dengan cara kontan dengan harga lebih murah.
e. Relevansi kaidah dengan konsep hilal (siasat/rekayasa) fiqih dalam PerbankanSyariah

Ada kesulitan serius bagi DSN-MUI untuk mentrasformasi akad-akad muamalah

fikih klasik ke dalam teknis jual beli murabahah pada bank syari’ah, terutama pada

tahap pembelian barang. Penyesuaian tata cara jual beli di bank syari’ah menunjukkan

adanya kesulitan dimaksud. Bank syari’ah bukan pedagang, ia adalah penyedia dana.

Bisnis bank syari’ah adalah jasa keuangan berdasarkan prinsip syari’ah.

7. Kaidah Kebutuhan Menduduki Posisi Darurat, Baik Hajat Umum Maupun Khusus

a. Pengertian Kaidah

Kaidah adalah patokan atau ukuran sebagai pedoman bagi manusia dalam

bertindak. Kaidah juga dapat dikatakan sebagai aturan yang mengatur perilaku

manusia dan perilaku sebagai kehidupan bermasyarakat

b. Landasan Kaidah

Sejarah munculnya kaidah fikih, kaidah fikih ini telah mempunyai bibit sejak

zaman Rasulullah SAW. Akar-akar kaidah fikih ini telah ada pada zaman RasulullahSAW

yang diinduksi oleh ulama fikih dan dijadikan suatu kaidah. Akar kaidah fikih itu

bermula dari ayat al-Quran dan hadis Nabi, karena memang setiap kaidah memiliki

sumber dari keduanya sebagaimana yang dicantumkan oleh imam suyuti dalam kitab

asybah-nya.

c. Penerapan Kaidah dalam Berbagai Hukum Transaksi Dan Jual Beli

Kaidah terkait masalah gharar dan jahalah dalam Jual Beli Kaidah menyatakan,

Semua muamalah yang gharar atau jahalah menjadi tujuan utama dalam transaksi,

statusnya batal. Keterangan: Secara bahasa, Gharar adalah bentuk masdar dari

gharrara-yugharriru-Taghrir yang artinya membahayakan atau seseorang

memposisikan dirinya atau hartanya di posisi bahaya, atau mengurangi. (al-Mishbah

al-Munir, 2/445).
Peran kaidah dalam merespon kebutuhan manusia dan relevansinya dengan

perkembangan ekonomi dan keuangan islam Kitab kitab fiqh, terdapat karya-karya

ulama klasik yang sangat melimpah dan secara luas membahas konsep dan ilmu
ekonomi Islam Untuk membantu umat Islam dalam membahas suatu tema hukum

Ekonomi Islam misalnya, maka mempelajari kaidah - kaidah fiqh merupakan suatu

keharusan untuk memperoleh kemudahan mengetahui hukum hukum kontemporer

ekonomi yang tidak memiliki nash sharîh (dalil pasti) dalam Al-quran maupun hadis.

Begitu pula mempermudah kita menguasai permasalahan furu’iyyah (cabang) yang

terus berkembang dan tidak terhitung jumlahnya hanya dalam waktu singkat dan

dengan cara yang mudah, yaitu melalui sebuah ungkapan yang padat dan ringkas

berupa kaidah - kaidah fiqh. Hal ini mempermudah alad (transaksi), mal (aset

kekayaan), perbankan dan arbitrase.

d. Perbedaan antara Keterpaksaaan dan Kebutuhan

Keterpaksaan adalah segala sesuatu yang menjadi keharusan baik dari segi

positif maupun negatif dalam kelas nominal atau kata benda sehingga keterpaksaan

dapat menyatakan nama dari seseorang, tempat, atau semua benda dan segala yang

dibendakan. Kebutuhan adalah segala sesuatu yang dibutuhkan manusia untuk

mempertahankan kelangsungan hidupnya secara alamiah melalui pencapaian

kesejahteraan.

8. Kaidah Setiap Yang Membawa Manfaat Dibolehkan Dan Yang Menimbulkan Keburukan

Dilarang

a. Pengertian Kaidah

Kaidah adalah patokan atau ukuran sebagai pedoman bagi manusia dalam

bertindak. Kaidah juga dapat dikatakan sebagai aturan yang mengatur

prilaku manusia dan perilaku sebagai kehidupan bermasyarakat

b. Landasan Kaidah

- Semua perkara bergantung pada tujuannya (niatnya).

- keyakinan tidak bisa dihilangkan dengan keraguan.


- kesukaran memunculkan kemudahan.
- kaidah fikih ini telah mempunyai bibit sejak zaman Rasulullah SAW.

- Akar-akar kaidah fikih ini telah ada pada zaman Rasulullah SAW yang diinduksi oleh

ulama fikih dan dijadikan suatu kaidah.


c. Implementasi Kaidah dalam Hukum Praktik Dumping

Dalam islam penerapan praktik dumping itu dilarang sebab dapat

menimbulkan kemudharatan namun jika dilakukan dengan prosedur dan ketentuan

yang benar maka praktik dumping dibolehkan. Oleh karena itu seperti pada kaidah,

setiap yang membawa manfaat dibolehkan dan yang menimbulkan keburukan

dilarang.

Peran Kaidah dalam Merumuskan Kebijakan-Kebijakan Ekonomi dan

Keuangan Islam Kebijakan-Kebijakan Ekonomi Kaidah - kaidah fiqh dalam bidang

ekonomi bertugas menjustifikasi dan melegitimasi seluruh aktifitas ekonomi umat

Islam dalam berbagai bidang transaksi ekonomi, baik yang terkait dengan transaksi-

transaksi mono akad maupun multi akad. Transaksi mono akad atau akad tunggal

seperti jaul-beli, sewa-menyewa, gadai, hutang-piutang pada gilirannya sesuai

kebutuhan aktifitas ekonomi masyarakat kontemporer, memerlukan transaksi multi

akad.

d. Relevansi Kaidah dengan Konsep Istishab

Relevansi diartikan sebagai hubungan atau keterkaitan. Oleh karena itu

hubungan antara kaidah dengan konsep istishab yaitu dapat di jadikan sebagai dasar

hukum namun kedudukan istihab lebih rendah dari pada kaidah-kaidah fiqih sebab

mayoritas ulama menggunakan istishab sebagai dasar hukum terakhir setelah

berusaha mencari ketentuan hukum pada sumber yang disepakati.

9. Sektor Moneter Dan Sektor Riil Harus Saling Terikat

a. Pengertian Kaidah

Kaidah adalah patokan atau ukuran sebagai pedoman bagi manusia dalam

bertindak. Kaidah juga dapat dikatakan sebagai aturan yang mengatur prilaku

manusia dan perilaku sebagai kehidupan bermasyarakat. Secara umum kaidah


dibedakan atas dua hal yaitu kaidah etika atau kaidah hukum. Kaidah etika
merupakan kaidah yang meliputi norma susila, norma agama dan norma

kesopanan,Pada dasarnya kaidah etika datang dari diri dalam manusia itu sendiri.

Kaidah hukum merupakan kaidah yang memiliki sanksi tegas. Kaidah hukum ialah
kaidah yang mengatur hubungan atau intraksi antar pribadi, baik secara langsung

atau tidak langsung oleh karena itu kaidah hukum ditujukan untuk kedamaian,

ketentraman, dan ketertiban hidup bersama. Kaidah hukum biasanya ada paksaan

yang berwujud ancaman bagi para pelanggarnya.

b. Landasan Kaidah

Sejarah munculnya kaidah fikih, kaidah fikih ini telah mempunyai bibit sejak

zaman Rasulullah SAW. Akar-akar kaidah fikih ini telah adda pada zaman Rasulullah

SAW yang diinduksi oleh ulama fikih dan dijadikan suatu kaidah. Akar kaidah fikih ini

bermula dari ayat al-quran dan hadis nabi, karen memang setiap kaidah memilki

sumber dari keduanya sebagaimana yang dicantumkan oleh imam suyuti dalam kitab

asybah-nya. Selanjutnya, yang dimaksud sumber pengambilan dalam uraian ini ialah

dasar-dasar perumusan kaidah fikih atau al-qawidah al-fiqhiyyah, yang meliputi

dasar formal dan materialnya.

Berikut ini adalah beberapa sumber dan landasan peperumusanatas lima

kaidah utama yang dijelaskan di atas.

- Kaidah pertama, ‫ بمقاص ي ااألمور‬, artinya semua perkara bergantung pada tujuannya

(niatnya).
ْ
- Kaidah Kedua, ‫الیقي‬ ‫ ( بالشك یزال ال‬keyakinan tidak bisa dihilangkan dengan keraguan).

- Kaidah ketiga, ‫( التیس تجلب المشق‬kesukaran memunculkan kemudahan).


ْ ‫( یزال‬Kemudaratan harus dihilangkan).
- Kaidah keempat, ‫الّضر‬

- Kaidah kelima, ‫( محكم العادة‬Adat bisa dijadikan hukum).

c. Implementasi kaidah dalam praktik perbankan syariah

Implementasi dalam perbankan syariah dikenal dengan produk qardu al-

hasan dimana terdapat aqd tathawwui atau akad saling membantu dan bukan

transaksi komersial, dengan demikian qardhu al-hasan merupakan akad pinjaman.


dalam arti penyerahan harta berbentuk uang untuk dikembalikan pada waktunya

dengan nilai yang sama

d. Peran kaidah dalam merumuskan produk-produk perbankan syariah.


bahwa dalam peran regulasi perbankan syariah yang terpenting adalah

tercapainya maqâshid syariah, yakni keseimbangan dan terwujudnya kemaslahatan

antara sektor moneter dan sektor riil. Dengan demikian kemaslahatan itu tidak

hanya diperuntukkan bagi sektor moneter (lembaga keuangan syariah) akan tetapi

juga kemaslahatan bagi sektor riil yang membutuhkan (nasabah atau dunia usaha).

10. Qawaid Fiqhiyyah

a. Pengertian Kaidah

Kaidah adalah patokan atau ukuran sebagai pedoman bagi manusia dalam

bertindak. Kaidah juga dapat dikatakan sebagai aturan yang mengatur prilaku

manusia dan perilaku sebagai kehidupan bermasyarakat.

Secara umum kaidah dibedakan atas dua hal yaitu kaidah etika atau kaidah

hukum, kaidah etika merupakan kaidah yang meliputi norma susila, norma agama

dan norma kesopanan, pada dasarnya kaidah etika datang dari diri dalam manusia

itu sendiri, Kaidah hukum ialah kaidah yang mengatur hubungan atau inKaidah

hukum ialah kaidah yang mengatur hubungan atau intraksi antar pribadi, baik secara

langsung atau tidak langsung oleh karena itu kaidah hukum ditujukan untuk

kedamaian, ketentraman, dan ketertiban hidup bersama, kaidah hukum biasanya

ada paksaan yang berwujud ancaman bagi para pelanggarnya.traksi antar pribadi,

baik secara langsung atau tidak langsung oleh karena itu kaidah hukum ditujukan

untuk kedamaian, ketentraman, dan ketertiban hidup bersama, kaidah hukum

biasanya ada paksaan yang berwujud ancaman bagi para pelanggarnya.

Secara etimologi kaidah fikih atau dalam bahasa Arabnya disebut dengan al-

qawa’id al-fiqhiyyah berasal dari dua kata: ‫القواع‬jamak dari kata ‫القاع ة‬yang berarti

dasar, asas, pondasi, atau fundamen segala sesuatu.


Al-Jurjani menjelaskan bahwakaidah dalam fikih itu rumusan yang global yang

diperuntukkan terhadap seluruh bagian-bagiannya.² Sedangkan kata ‫ الفقھی‬berasal

dari kata kerja (fi’il) ‫ فقھ‬yang ditambah ya’ nisbat dan ta’ marbuthah, yang berfaidah
penjenisan dan pembangsaan, sehinggabermakna sesuatu yang berkaitan dengan

fikih.

b. Landasan Kaidah

Sejarah munculnya kaidah fikih, kaidah fikih ini telah mempunyai bibit sejak

zaman Rasulullah SAW. Akar-akar kaidah fikih ini telah ada pada zaman Rasulullah

SAW yang diinduksi oleh ulama fikih dan dijadikan suatu kaidah. Akar kaidah fikihitu

bermula dari ayat al-Quran dan hadis Nabi, karena memang setiap kaidahmemiliki

sumber dari keduanya sebagaimana yang dicantumkan oleh imam suyutidalam kitab

asybah-nya.

Berikut ini adalah beberapa sumber dan landasan perumusan atas lima

kaidah utama

1) ‫ بمقاص ا األمو‬artinya semua perkara bergantung pada tujuannya (niatnya).


ْ
2) ‫الیقي‬ ‫( بالشك یزال ال‬keyakinan tidak bisa dihilangkan dengan keraguan).

3) ‫( التیس تجلب المشق‬kesukaran memunculkan kemudahan.


ْ ‫یزال‬.(Kemudaratan harus dihilangkan).
4) ‫الّضر‬

c. Implementasi Kaidah dalam Praktik Valas dan Tranding

Arti harfiah dari Sarf adalah penambahan, penukaran, penghindaran,

pemalingan atau transaksi jual beli. berubah sewaktu-waktu, sesuai dengan kondisi

perekonomian negara tersebut. Adanya fluktuasi nilai kurs dan kebutuhan akan

konversi mata uang tersebut akan menarik pihak-pihak yang berkepentingan

terhadap valuta asing seperti investor, exportir, importir atau bahkan spekulan untuk

melakukan transaksi valuta asing.

Arti harfiah dari Sarf adalah penambahan, penukaran, penghindaran,

pemalingan atau transaksi jual beli. Yang dimaksud dengan valuta asing adalah mata

uang luar negeri seperti Dolar Amerika,Poundsterling Inggris, Ringgit Malaysia dan
sebagainya. Apabila antara negara terjadi perdagangan internasional maka tiap
negara membutuhkan valuta asing untuk alat bayar luar negeri yang dalam dunia

perdagangan disebut devisa.

Menurut Taqiyuddin an-Nabhani mendefinisikan as-Sarf dengan


pemerolehan harta dengan harta lain, dalam bentuk emas dan perak, yang sejenis

dengan saling menyamakan antara emas yang satu dengan emas yang lain, atau

antara perak satu dengan perak yang lain (ataunberbeda sejenisnya) semisal emas

dengan perak, dengan menyamakan atau melebihkan antara jenis yang satu dengan

jenis yang lain. Sarf merupakan akad jual beli beli mata uang baik dengan sesama

mata uang yang sejenis.

d. Peran Kaidah dalam Merumuskan Hukum Transaksi Valas dan Tranding

Di samping itu, para ulama sepakat (ijma) bahwa akad al-S{arf di syariatkan

dengan syarat-syarat sebagai berikut:

1) Tidak untuk spekulasi (untung-untungan).

2) Ada kebutuhan transaksi atau untuk berjaga-jaga (simpanan),

3) Transaksi dilakukan terhadap mata uang sejenis maka nilainya harus sama (al-

tamathul ) dan secara tunai (al-taqabudh) sebelumnya kedua belah pihak (penjual

dan pembeli) berpisah serta tidak ada khiyar syarat

4) Apabila berlainan jenis maka harus dilakukan dengan nilai tukar (kurs) yang

berlaku pada saat transaksi dilakukan dan secara tunai

Adapun aktivitas-aktivitas yang dapat dikategorikan dalam transaksi jual

beli mata uang menurut Taqiyuddin an-Nabhani meliputi:

1) Pembelian mata uang dengan mata uang yang serupa seperti pertukaran uang

kertas dinar baru dengan kertas dinar lama.

2) Pertukaran mata uang asing seperti pertukaran dolar dengan Pound Mesir.

3) Pembelian barang dengan uang tertentu serta pembelian mata uang tersebut

dengan mata uang asing seperti membeli pesawat dengan dolar, serta pertukaran

dolar dengan dinar Irak dalam suatu kesepakatan.

4) Penjualan barang dengan mata uang, misalnya dengan dolar Australia.


5) Penjualan promis (surat perjanjian untuk membayar sejumlah uang) dengan mata

uang tertentu.

6) Penjualan saham dalam perseroan tertentu dengan mata uang tertentu.


Pasar valas menyediakan sarana fisik dan institusional untuk melakukan

perdagangan valuta asing, menentukan nilai tukar dan menerapkan manajemen

valuta asing. Pasar valas ini dapat menjalankan beberapa fungsi antara lain: Pertama,

sebagai mekanisme dimana orang dapat mentransfer daya beli antar negara; Kedua,

sebagai tempat untuk mendapatkan atau menyediakan kredit untuk transaksi

perdagangan internasional dan Ketiga, sebagai wahana untuk meminimalkan

kemungkinan resiko kerugian akibat terjadinya fluktuasi kurs suatu mata uang.

Analisis transaksi valuta asing, (al-sarf) dalam kaidah hukum islam Pada

prinsipnya praktek jual beli seperti al-S{arf diperbolehkan dalam Islam. Dalam prinsip

syariahnya, praktek jual beli valuta asing dapat dianalogikan dan dikategorikan

dengan pertukaran antara emas dan perak atau dikenal dalam terminologi fikih

dengan istilah alSarf yang disepakati para ulama tentang keabsahannya.

11. Kaidah “Penetapan Harga Berdasarkan Ada Dan Tiadanya Kemaslahatan”

a. Pengertian

Kata ta’sir berasal dari kata sa’ara-yas’aru-sa’ran, yang artinya menyalakan.

Lalu di bentuk menjadi kata as-si’ru dan jamaknya as’ar yang artinya harga (sesuatu).

Adapun dalam etimologis kata ta’sir berasal dari kata Saarat asy-syaya tasiran,

artinya menetapkan harga sesuatu yang merupakan titik berhenti tawar-menawar.

Jika dikatakan, Asaru wa saaru, aartinya mereka telah bersepakat atas suatu harga

tertentu. Oleh karena itu, ta’sir secara bahasa berarti taqdir as-si’ri (penetapan/

penentuan harga).

b. Landasan Kaidah Penetapan Harga Berdasarkan Ada Dan Tiadanya Kemaslahatan

Adapun dasar kaidah ini adalah hadis dari Anas ra, dia berkata,”harga

melonjak pada masa Rasululllah saw,. Maka berkatalah orang-orang, “wahai

Rasulullah, tetapkanlah harga untuk kami,’ Maka bersabda Nabi saw.,”Sesunggunhya


Allah adalah Dzat yang menetapkan harga, yang memegang rizki, yang melapangkan
rizki, yang maha pemberi rizki. Dan sungguh akan betul-betul berharap berjumpa

dengan Tuhanku sementara tak ada seorang pun dari kalian yang akan menuntutku

karena suatu kezhaliman dalam urusan harta atau nyawa.”(HR.Abu Dawud, hadis no
3450).

c. Relevansi Kaidah Dengan Teori Mekanisme Pasarrelevansi Kaidah Dengan Teori

Mekanisme Pasar

Dalam aktivitas ekonomi, kaidah ini berlaku pada kebijakan pemerintah

dalam penetapan harga (ta’sir). Menurut al-Andalusi, kenaikan harga yang

disebabkan pengaruh penawaran dan permintaan secara alami, maka pemerintah

tidak berhak untuk melakukan intervensi harga pasar. Berbeda halnya, bila kenaikan

harga itu disebabkan oleh ulah manusia (human error), maka pemerintah berhak

melakukan intervensi harga dengan mengembalikan tingkat harga pada equilibrium

price, sebagai institusi formal yang yang memikul tanggung jawab menciptakan

kesejahteraan umum, berhak melakukan intervensi harga ketika terjadi suatu

aktivitas yang dapat membahayakan kehidupan masyarakat luas.

C. PENUTUP

Al-Qawaid al-Fiqhiyyah, Dalam pengertian al-Qawaid al-Fiqhiyyah ada dua

terminologi yang perlu dijelaskan terlebih dahulu, yaitu Qawaid dan Fiqhiyyah. Kata

Qawaid merupakan bentuk jama' dari kata qaidah, dalam istilah bahasa Indonesia dikenal

dengan kata 'kaidah'Urgensi al-Qawaid al-Fiqhiyyah dalam Hukum Fiqh, Al-Juwaini dari

madzhab Syafi’i dalam kitabnya al-Ghayatsi berpendapat bahwa tujuan akhir dari

Qawaid Fiqhiyyah adalah untuk memberi isyarat dalam rangka mengidentifikasi metode

yang dipakainya terdahulu, bukan untuk beristidlal dengannya.

Tak jauh berbeda dengan madzhab Syafi’i, dalam madzhab Hanafi pun tidak ada

kesepakatan di antara para ulama mereka terhadap boleh tidaknya berfatwa atau

berhujjah dengan menggunakan Qawaid Fiqhiyyah. Dalam aktivitas ekonomi, kaidah ini

berlaku pada kebijakan pemerintah dalam penetapan harga (ta’sir). Menurut al-Andalusi,

kenaikan harga yang disebabkan pengaruh penawaran dan permintaan secara alami, maka
pemerintah tidak berhak untuk melakukan intervensi harga pasar.
Berbeda halnya, bila kenaikan harga itu disebabkan oleh ulah manusia (human

error), maka pemerintah berhak melakukan intervensi harga dengan mengembalikan

tingkat harga pada equilibrium price, sebagai institusi formal yang yang memikul
tanggung jawab menciptakan kesejahteraan umum, berhak melakukan intervensi harga

ketika terjadi suatu aktivitas yang dapat membahayakan kehidupan masyarakat luas.

Anda mungkin juga menyukai