Anda di halaman 1dari 8

 PACE JUBI

More Photos

Tulisan Teratas

o Papua Dalam Bayang-Bayang Pelanggaran HAM


o Adat Perlu Diangkat Menjadi Hukum Tertulis dan Diakui Sebagai Hukum
Normatif
o 16 Tahun Foker LSM Papua
o Pertambahan Penduduk dan Aktivitas Tambang di Papua
o Terjadinya Pohon Kelapa

Mayoritas Orang Papua Cenderung Makan Nasi

Posted on April 28, 2008 by Tabloid Jubi

JUBI – Tercatat sebanyak 30 % penduduk Papua mengkonsumsi umbi-umbian (petatas), 15 %


mengkonsumsi sagu dan selebihnya 55 % mengkonsumsi beras.

Krisis pangan tampaknya tak akan pernah usai kalau masyarakatnya masih terus diajak
mengkonsumsi hanya satu pangan saja. Padahal sebagai daerah tropis, mestinya tidak terjadi
penyeragaman bahan pangan. Masyarakat Biak Numfor punya pengalaman tentang rusaknya
makanan pokok keladi dan bete beberapa tahun silam. Hama ulat menghancurkan dan merusak
tanaman keladi bete yang hendak dipanen di wilayah Biak Numfor dan Supiori. Waktu itu terjadi
krisis pangan dan orang tua berusaha mengolah buah bakau atau dalam bahasa Biak disebut
aibon untuk dikonsumsi sebagai pengganti keladi bete. Kini pemerintah Kabupaten Supiori terus
mempromosikan tepung aibon ini untuk konsumsi lokal di sana.
Belajar dari pengalaman hama ulat di Kabupaten Biak Numfor tentunya membuat masyarakat
untuk tidak selalu mengosumsikan satu jenis tanaman pangan saja. Kalau meminjam program
pemerintah yaitu sudah saatnya dilakukan diversifikasi pangan atau keanekaraman pangan perlu
dikembangkan.
Meskipun masyarakat di tanah Papua sudah lama mengenal keanekaragaman pangan mulai dari
pisang, sagu, keladi, talas, kumbili di suku Marind Merauke, batatas di pedalaman
Papua.Ironinya kondisi masyarakat asli di Papua saat ini mulai beralih konsumsi pangan lokal ke
padi padi alias beras sebagai bentuk penyeragaman pangan. Hal ini diperparah lagi dengan
program beras miskin (raskin) sehingga masyarakat sudah jarang berkebun dan hanya menjual
ikan atau hasil tanaman pertanian holtikultura untuk membeli beras murah.
Memang masyarakat Papua telah mengenal sejumlah makanan lokal, seperti sagu, ubi jalar,
keladi, singkong, dan pisang. Tetapi hanya dua jenis makanan yang begitu populer, yakni sagu
bagi masyarakat pantai dan ubi jalar untuk masyarakat pedalaman.
Jika disimak ternyata dari hari ke hari makanan lokal itu diabaikan, sebab pemerintah mulai
mensosialisasikan pola makan beras. Sedangkan budidaya padi di kalangan petani lokal tidak
bisa dikembangkan. Walau masyarakat di Lembah Baliem dan Merauke telah mengolah sawah
tetapi tak bertahan lama. Masyarakat suku Dani di Kampung Yiwika menanam padi di dalam
sawah mereka tetapi merasa banyak menyita waktu sebab malam jaga tikus dan siang usir
burung. Pekerjaan mengolah sawah tak seenak membuat bedeng bedeng kebun hipere.
Dr Josh Mansoben di Jayapura kepada Jubi mengatakan, hasil penelitian sejumlah dosen Uncen
menunjukkan, kecenderungan masyarakat Papua mengonsumsi beras terus meningkat setiap
tahun dibanding makanan lokal. Bahkan, ada sebagian penduduk Papua tidak lagi berupaya
menanam pangan lokal, dengan alasan akan membeli beras.
Padahal, pangan lokal seperti ubi jalar, keladi, pisang, singkong dan sagu sudah dikenal
masyarakat sejak nenek moyang. Makanan ini dari turun-temurun dikenal orang Papua. Bahkan,
sagu memiliki nilai budaya dan tradisi yang sangat tinggi karena mengandung unsur mistis dan
magis.
Data dari Tanaman Pangan Provinsi Papua menyebutkan sejak 1998 tercatat sebanyak 30 %
penduduk Papua mengosumsi umbi umbian (petatas), 15 % mengosumsi sagu dan selebihnya 55
% mengosumsi beras.
Bukan itu saja tetapi pada tahun 1996-1998, produksi ubi jalar di Papua sebanyak 435.000 ton.
Tetapi jumlah ini terus menurun setiap tahun. Pada tahun 1999-2001 hanya mencapai 340.000
ton. Tahun 2003 lebih parah lagi dengan jumlah produksi hanya 250.000 ton. Produksi ubi jalar
terbesar di daerah Pegunungan Tengah (Paniai, Puncak Jaya, Jayawijaya, Tolikara, Yahokimo,
Pegunungan Bintang, dan Nabire).
Sedangkan menurut Ir Leonardo A Rumbarar Kepala Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura
Provinsi Papua belum lama ini di Jayapura menyebutkan potensi lahan tanaman pangan dan
holtikultura di Provinsi Papua seluas 14.269.376 Ha. Dalam tahun 2006 penggunaan lahan untuk
sawah seluas 25.127 hektar dan untuk lahan kering hanya 165.505 hektar.
Adapun sentra tanaman pangan padi padian terdapat di Kabupaten Merauke, Kota Jayapura,
Nabire, Waropen, Kabupaten Jayapura, Sarmi dan Mimika. Sentra tanaman jagung terdapat di
Paniai, Keerom, Kota Jayapura, Kab Jayapura, Sarmi, Biak Numfor dan Nabire. Sentra tanaman
kedelai di Kab Keerom, Merauke, Jayapura, Nabire dan Sarmi. Sentra tanaman kacang tanah di
Kabupaten Merauke, Nabire, Jayapura, Sarmi, Paniai. Sentra kacang hijau hanya di Kabupaten
Biak Numfor. Ubi jalar (hipere) di Kabupaten Jayawijaya, Jayapura, Paniai, Puncak Jaya,
Tolokara, Yahukimo, Pegunungan Bintang, Merauke dan Keerom. Sentra keladi di Kabupaten
Biak Numfor dan Kabupaten Supiori.
Bahkan data dari Dinas Tanaman Pangan dan Holtikultura mencatat produksi dan kebutuhan
padi di Papua tahun 2005-2007 hanya 73.775 ton saja sedangkan kebutuhannya mencapai
297.940 ton Sedangkan produksi ubi jalar sekitar 307.871 ton sementara kebutuhannya sebesar
284.847 ton. Berarti terdapat kelebihan stok ubi jalar atau hipere.
Masyarakat Pegunungan Tengah terutama di Lembah Baliem suku Dani (Jayawijaya) menyebut
ubi jalar dengan sebutan hipere (Ipomea batatas). Penduduk suku Kurima (Jayawijaya) menyebut
supuru, dan penduduk di Tiom menyebut mbi. Ubi jalar asal Baliem, termasuk jenis raksasa
dengan panjang 2 meter dan garis tengah mencapai 30 cm, dan beratnya mencapai 15 kg.
Bahkan mereka mengenal ratusan jenis ubi jalar sesuai dengan nama yang diberikan sendiri.
Terkadang dalam satu bedeng berukuran 10 meter x 20 meter ditanam lebih dari 20 jenis ubi
jalar.Ubi jalar juga lebih tahan hawa pegunungan ketimbang bete(taro) dan syafu(yam), dan
dapat ditanam sampai ketinggian 2700 meter.
Hal ini memungkinkan penduduk asli Papua tinggal menghuni lembah lembah yang tinggi.
Betatas yang daunnya sangat lebat dan cukup bergizi berguna ( sebagai pakan) untuk
pemeliharaan babi secara besar besaran.
Cara bertanam ubi pada masyarakat Dani ialah dengan membuat gundukan atau timbunan tanah
setinggi kurang lebih 10 cm yang disebut hipere ukul. Di dalam hipere ukul ini ditanam dua
batang bibit ubi atau hipere ai.
Secara umum terdapat tiga tipe cara berkebun yang dikembangkan sesuai kondisi lahan antara
lain ;
1. Di lereng gunung : kebun dibuat dengan sistem teras yang memanjang atau menuruni lereng.
Tetapi pada lokasi lokasi tertentu dibuat teras membujur sebagai penyangga tanah.
2. Di tanah/daerah andai : kebun dibuat dengan membangun parit parit kecil yang dangkal atau
wen tinak antar bedeng. Parit dalam dibuat di sekeliling kebun.
3.Di daerah rawa : kebun dibuat dengan parit parit lebar dan dalam atau wen ika antar bedeng.

Adapun kegunaan parit parit adalah sebagai sumber air berlebih, sebagai saluran pembuangan,
sumber air pada musim kemarau. Biasanya parit tersebut dihubungkan dengan sungai kecil atau
parit alam.
Pekerjaan kaum laki laki dalam berkebun yaitu membuka lahan sebagai lokasi kebun baru
dibersihkan dengan memakai kapak dan parang. Selanjutnya tanah diolah dengan tongkat
penggali/sege, gumpalan gumpalan tanah digali lalu disebarkan dengan tangan di atas bedengan.
Sedangkan kaum perempuan menghaluskan tanah dalam bedengan. Kaum pria
bertanggungjawab untuk membangun pagar dari kayu atau batu batuan di sekitar kebun untuk
mencegah perusakan oleh babi.
Penanaman dilakukan bervariasi. Bila larik pertama ditanami jenis ubi jalar jenis saporeken,
musan, sapoleleke, dan pilhabaru, maka larik berikutnya ditanami jenis lain. Variasi jenis
tanaman ini dimaksudkan agar tidak bosan mengonsumsi satu jenis ubi jalar tertentu. Karena rasa
dan aroma setiap ubi jalar berbeda
Pembantu Rektor I Universitas Cenderawasih Sam Renyaan mengatakan masyarakat Dani
mengenal banyak jenis ubi jalar (batatas) sekitar 24 jenis dan ada jenis batatas yang tepungnya
sangat bagus untuk ayam goreng Kentucky. “Saya harap suatu saat nanti ada penelitian yang
memakai tepung petatas asal Jayawijaya dalam adonan ayam goreng,”ujar Renyaan dalam dialog
Pengelolaan Sumber Daya Alam Forum Komunitas Pengetahuan, Kawasan Timur Indonesia di
Jayapura belum lama ini.
Pengetahuan masyarakat Pegunungan Tengah mengenai manfaat ubi termasuk tinggi, terutama
untuki anak-anak atau bayi biasanya diberikan jenis walelum karena teksturnya halus, tidak
berserat dan mengandung betakarotein tinggi. Jenis helalekue dan arugulek dikonsumsi oleh
orang dewasa, dan untuk makanan ternak (babi) biasanya diberikan jenis musan, yang tidak
bercitarasa dan kulitnya tampak pecah-pecah.
Hasil penelitian dari Uncen menyebutkan, di Papua terdapat 681 jenis umbi-umbian dan sekitar
15 persen di antaranya setelah diteliti ternyata memiliki sejumlah kesamaan. Penelitian itu hanya
berfokus pada jenis daun, tulang daun, warna kulit, dan daging umbi.
Ubi jalar dapat dipanen antara 6 dan 8 bulan, tergantung jenis tanah, sinar matahari, dan jenis
ubi. Tanah berhumus dengan tingkat kelembaban cukup tinggi, mempercepat ubi berisi dan
dalam waktu enam bulan dapat dipanen. Masyarakat Pegunungan Tengah hanya mengonsumsi
ubi jalar dengan cara direbus, dibakar, dan sebagian dijemur di sinar matahari kemudian
disimpan. Belum ada yang mencoba mengelola ubi jalar untuk bahan kue.
Ubi jalar termasuk tidak tahan terhadap proses pembusukan dan ulat ubi. Makin lama disimpan
citarasa dan aromanya terus menurun. Malah bila disimpan di tempat yang lembab menjadi
tumbuh, berkecambah. Karena itu, ribuan ton ubi jalar milik petani di Pegunungan Tengah sering
rusak dan membusuk. Ubi jalar hanya bertahan 3-4 bulan jika disimpan di tempat dengan suhu
udara 20-30 derajat Celsius.
Saah satu cara menyimpan batatas atau mengawetkan pernah dilakukan oleh Women and Their
Children Health (WATCH) Program Wamena. Cara ini mereka tiru dari Papua New Guinea
(PNG) orang PNG menyebut batatas kering dengan nama kao kao rice. Cara membuatnya batatas
dibilas dengan air hingga bersih kemudian dikuliti atau diiris tipis menyerupai keripik singkong.
Keripik batatas ini dijemur sampai kering dan bisa bertahan sampai delapan bulan. Cara
memasaknya bisa seperti menanak nasi didandang. Keripik batatas dihancurkan dan dibasahi
dengan air bersih, dibungkus serta dibakar dengan batu sesuai cara memasak orang Dani. Bisa
juga dibuat bubur batatas ducampur wortel dan sayuran lainnya tanpa mengurangi rasa ubinya.
Selain batatas dan taro di Provinsi Papua termasuk salah satu provinsi di Indonesia yang
memiliki potensi sagu terbesar, bahkan terluas di seluruh dunia. Luas lahan sagu 771.716 hektar
atau sekitar 85 persen dari luas hutan sagu nasional. Wilayah sebarannya di Waropen Bawah,
Sarmi, Asmat, Merauke, Sorong, Jayapura, Manokwari, Bintuni, Inawatan, dan daerah yang
belum terinventarisasi.
Di Kabupaten Asmat sagu sebagai makanan khas pemberian nenek moyang dan cara masaknya
mereka hanya membakar saja. Orang Asmat biasa menyebut sagu bola yang dibakar. Kebiasaan
jaman dulu di Asmat, menokok sagu harus diawali dengan upacara adat. Maksudnya agar nenek
moyang yang menjaga sagu itu dapat memberikan sari yang bagus dan dapat dikonsumsi untuk
pertumbuhan dan kesehatan.
Data dari Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan Kabupaten Jayapura, luas lahan sagu di Jayapura
38.670 ha, terdiri dari 14.000 ha areal budidaya dan sisanya areal hutan sagu alam. Dari areal ini
diperoleh tepung sagu sebanyak 6.546 ton, sebanyak 62,98 persen di antaranya dijadikan stok
pangan penduduk Kabupaten Jayapura, sisanya untuk bahan makanan penduduk kota Jayapura.
Produksi sagu di Papua diperkirakan 1,2 juta ton setiap tahun.
Mantan Bupati Jayapura Yan Pieter Karafir pernah mengeluarkan SK Bupati tentang
perlindungan dan pengembangan sagu alam di Kabupaten Jayapura. Dalam Simposium Sagu di
Jayapura YP Karafir memperoleh penghargaan karena membudidaya dan mengamankan sagu
sebagai pangan lokal bagi masyarakat Papua.
Sam Renyaan menambahkan sagu juga bisa dikembangkan jadi bahan baku mie dan juga untuk
produk tepung sagu untuk bahan kue dan roti. Memang sagu tidak hanya dimanfaatkan sebagai
sumber karbohidrat, tetapi juga digunakan untuk produk industri modern, seperti proses
pembuatan kayu lapis, sohun, kerupuk, kue kering, jeli. Di Jepang pati sagu setelah dicampur
dengan bahan tertentu digunakan untuk bahan baku plastik daur ulang, lampu komputer, dan
layar flat monitor TV.
Meski pun sagu tumbuh secara alami tetapi upaya untuk melakukan budi daya dan perkebunan
sagu jelas sangat tepat sebab jika tidak akan terus berkurang karena alih fungsi lahan. Fakta telah
menunjukan bahwa akibat pengembangan Kota Jayapura terpaksa dusun dusun sagu milik warga
Tobati dan Injros harus ditebang. Kini ketergantungan terhadap pangan beras sangat tinggi di
tanah Papua sementara produksi beras sendiri masih kurang. Pilihan terbaik adalah jangan
tergantung pada satu tanaman pangan saja sebab selama berabad abad sagu jarang terkena hama
atau gagal panen. (Dominggus A. Mampioper dari berbagai sumber)

Filed under: JUBI UTAMA

« Padi di Papua Ditanam Sejak Jaman Belanda Di Asmat, PNS Juga Mau Ikut Ujian »

Blog pada WordPress.com. Theme: Digg 3 Column by WP Designer.

Anda mungkin juga menyukai