Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

ASUHAN KEPERAWATAN PADA IBU HAMIL


“KEHAMILAN EKTOPIK TERGANGGU”

Dosen Pengampu Mata Kuliah : Ns.Elok Yulidaningsih,S.Kep.,M.Kep

Disusun Oleh Kelompok 8 :


1. Ade Putri Mahendriya (P17240201013)
2. Nabila Putri Ramadhani (P17240201017)
3. Brilliana Lintang Q. (P17240203026)

(Tingkat 2A)

PROGRAM STUDI
D3 KEPERAWATAN TRENGGALEK
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MALANG
Juli 2021
KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdullilah penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Pengasih


karena atas kehendak-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Makalah ini
berjudul “Asuhan Keperawatan pada Ibu Hamil Patologis : Kehamilan Ektopik
Terganggu” yang disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan
Maternitas.

Dalam penyusunan makalah ini, penulis menyadari ada banyak hambatan dan
kesulitan. Hambatan dan kesulitan itu akhirnya dapat diatasi karena adanya bantuan
dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan
terima kasih kepada ibu Ns. Elok Yulidaningsih, S.Kep. M.Kep. dosen mata kuliah
Keperawatan maternitas serta teman-teman yang telah mendukung dalam proses
pembuatan makalah ini. Semoga awal baik yang telah diberikan kepada penulis
mendapat balasan dari Tuhan Yang Maha Esa.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih memiliki keterbatasan. Oleh


karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan demi penyempurnaan
makalah ini. Akhir kata, semoga makalah ini bermanfaat bagi penulis pada khususnya
dari pembaca pada umumnya.

Trenggalek, 28 Juli 2021

Penulis
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Kehamilan merupakan suatu proses fertilisasi atau bertemunya spermatozoa
dan ovum, lalu tertanam di dalam lapisan rahim, kemudian menjadi janin
(Federasi Obstetri Ginekologi Internasional, 2014). Menurut Manuaba (2010)
kehamilan merupakan suatu hubungan yang saling berkesinambungan yang
terdiri dari : ovulasi, migrasi, spermatozoa, dan ovum. Sel sperma bertemu
dengan ovum, kemudian matang di tuba fallopi, dan berimplantasi di
endometrium (Prawirohardjo, 2015). Normalnya seorang wanita hamil adalah
sekitar 280 hari atau sekitar 40 minggu atau sama dengan 9 bulan 7 hari,
terhitung dari hari pertama haid terakhir. Kehamilan terbagi atas 3 trimester,
trimester pertama berlansung 12 minggu pertama, trimester kedua berlansung
pada minggu ke-13 hingga minggu ke-27, dan trimester ketiga berlansung
pada minggu ke-28 hingga minggu ke-40 (Prawirohardjo, 2015). Setiap ibu
hamil berisiko terjadinya penyakit ataupun komplikasi baik ringan maupun
berat, yang dapat menimbulkan ketidaknyamanan ataupun ketidakpuasan bagi
ibu dan bayinya, kesakitan bahkan kematian (Saifuddin, 2010). Berdasarkan
data World Health Organization (WHO) pada tahun 2015, 1 dari 250 ibu
hamil mengalami kehamilan ektopik, 80% dialami wanita hamil pada usia 35
tahun ke atas, dan 60% dialami wanita dengan paritas pertama dan kedua.
Penelitian yang dilakukan oleh 2 Lomboan, Mamengko, dan Wantania (2015)
di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado didapatkan data bahwa angka
kejadian kehamilan ektopik paling banyak terjadi pada rentang usia 21-35
tahun yaitu 32 kasus (65,30%), tidak ada riwayat abortus yaitu 32 kasus
(65,30%), dan pada usia kehamilan kurang dari 8 minggu yaitu 27 kasus
(55,10%)

B. TUJUAN
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui apa itu kehamilan Ektopik Terganggu
2. Tujuan Khusus
Untuk mengetahui dan memahami apa itu kehamilan ektopik terganggu
beserta cara pengobatan

C. RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang dimaksud dengan kehamilan Ektopik dan Kehamilan Ektopik
Terganggu?
2. Mengapa kehamilan Ektopik Terganggu bisa terjadi?
3. Apa saja tanda dan gejala pada ibu hamil yang mengalami kehamilan
ektopik?
4. Bagaimana pengobatan dan cara mengatasi kehamilan ektopik terganggu?
BAB II
PEMBAHASAN

A. DEFINISI
Kehamilan ektopik merupakan kehamilan yang terjadi di luar rongga
uteri (American College of Nurse Practitioners, 2015). Menurut
penelitian yang dilakukan oleh Felin, dkk (2015) di salah satu rumah
sakit di Amerika Serikat didapatkan data bahwa 89% kehamilan
ektopik yang terjadi di rumah sakit tersebut berimplantasi di tuba
fallopi. Implantasi dapat meningkatkan terjadinya vaskularisasi di
tempat tersebut, sehingga berpotensial menimbulkan terjadinya ruptur
organ, perdarahan masif, infertilitas, hingga kematian. Kehamilan
ektopik dapat terjadi pada individu yang mengalami penyakit radang
panggul, pemakaian antibiotika pada penyakit radang panggul,
pemakaian alat kontrasepsi dalam rahim IUD (Intra Uterine Device),
riwayat kehamilan ektopik sebelumnya, infertilitas, kontrasepsi yang
memakai progestin, dan tindakan aborsi (Manuaba, 2010). Penelitian
yang dilakukan oleh Aloysius, Romonta dan Hanafi (2005) di RS.
Imannuel diketahui bahwa kejadian KET tertinggi terjadi pada wanita
yang menggunakan kontrasepsi hormonal, dalam hal ini suntikan
progesteron, yaitu 20 orang (42,5%), sedangkan AKDR 6 orang
(12,77%). Hal ini terjadi karena pengguna kontrasepsi hormonal
mempunyai risiko kelainan peristaltik kontraksi tuba, kemungkinan
juga 3 sebelumnya sudah mengalami infeksi radang panggul, ikut
meningkatkan angka kejadian tersebut, keadaan ini menyebabkan
kerusakan mukosa tuba sehingga meningkatkan kejadian KET.
Kehamilan ektopik yang berakhir dengan keadaan ruptur atau abortus
dikenal dengan kehamilan ektopik terganggu (KET) (Jones, 2014).
Kehamilan ektopik terganggu paling banyak terjadi pada kelompok
usia 20-40 tahun, dengan rata-rata usia 30 tahun (Wibowo, 2012).
Penelitian lainnya dilakukan oleh Annisa Anggraini di RSUP Dr. M.
Djamil Padang selama 3 tahun (2012-2014), ditemukan data 62 kasus
dari 10.612 kehamilan mengalami kehamilan ektopik terganggu
(Anggraini, 2014). Di Amerika Serikat 1 dari 64 hingga 1 dari 241
kehamilan mengalami kehamilan ektopik terganggu, 85-90% kasus
kehamilan ektopik tersebut terjadi ibu yang multigravida (The Centers
of Disease Control and Prevention, 2014). Kehamilan ektopik
terganggu merupakan kegawatdaruratan obstetrik yang dapat
mengancam jiwa, menimbulkan kecacatan, mengganggu kelansungan
hidup janin bahkan risiko kematian ibu pada trimester pertama
kehamilan. Penanganan kehamilan ektopik yang terganggu jika tidak
ditangani secara tepat dan cepat dapat meningkatkan angka kejadian
mortalitas dan morbiditas pada ibu (Prawirohardjo, 2015).

B. ETIOLOGI DAN FAKTOR RESIKO


Pada umumnya, etiologi kehamilan ektopik adalah transportasi embrio
abnormal dan perubahan lingkungan tuba, yang memungkinkan
terjadinya implantasi abnormal. Ada beberapa faktor seperti toksin,
infeksi, gangguan imunologis, dan perubahan hormonal yang dapat
menyebabkan peradangan.

Faktor Risiko
Secara teori, segala sesuatu yang menghambat migrasi sel telur yang
telah dibuahi (blastokista) ke rongga endometrium dapat menyebabkan
kehamilan ektopik. Faktor risiko yang paling umum dipelajari adalah
faktor risiko kehamilan ektopik tuba. Namun, kehamilan ektopik
nontubal (seperti di ovarium) juga memiliki faktor risiko serupa.

Usia

Usia ibu telah terbukti menjadi faktor risiko kehamilan ektopik.


Insidensi tertinggi terjadi pada wanita berusia >35 tahun, baik dalam
kasus kehamilan spontan ataupun assisted reproductive technology.
Penjelasan pasti untuk temuan ini belum diketahui tetapi usia
disimpulkan dapat memengaruhi fungsi tuba, termasuk keterlambatan
transportasi oosit.

Riwayat Kehamilan Ektopik

Riwayat kehamilan ektopik sebelumnya merupakan faktor risiko kuat.


Tingkat rekurensi dilaporkan berkisar antara 5–25% atau sekitar 10
kali lipat risiko populasi umum. Tata laksana kehamilan ektopik
sebelumnya, baik dengan terapi medikamentosa maupun operasi, juga
mengakibatkan perubahan patologis pada motilitas tuba, fungsi silia,
dan kontraksi uterus, sehingga dapat turut menjadi faktor risiko.

Kebiasaan Merokok

Kebiasaan merokok diduga dapat meningkatkan risiko kehamilan


ektopik dengan cara menyebabkan disfungsi tuba, termasuk
desiliasi. Tobacco dan nikotin dalam rokok bisa menyebabkan
gangguan epitelisasi dan disregulasi sinyal parakrin yang dibutuhkan
untuk transportasi dan perkembangan embrio secara terkoordinasi.
Menurut suatu penelitian retrospektif, kemungkinan kehamilan
ektopik adalah tiga kali lebih tinggi pada wanita perokok.
Riwayat Penyakit Inflamasi Panggul

Riwayat infeksi panggul atau penyakit radang panggul dikaitkan


dengan peningkatan risiko kehamilan ektopik. Chlamydia
trachomatis secara khusus terlibat sebagai faktor risiko kehamilan
ektopik. Infeksi secara asenden dan salpingitis yang dihasilkan bisa
menyebabkan disfungsi tuba dan kelainan implantasi. Infeksi lain yang
juga berpotensi mengganggu fungsi tuba adalah infeksi Neisseria
gonorrhoeae, infeksi Mycoplasma, dan schistosomiasis.
Riwayat Operasi

Riwayat operasi tuba sebelumnya (seperti reanastomosis,


salpingostomi, tuboplasti, dan lisis adhesi) merupakan faktor risiko
kehamilan ektopik. Riwayat operasi lain yang menyebabkan adhesi
regio pelvis seperti endometriosis dan appendicitis juga mungkin
mengubah anatomi tuba falopi dan menjadi faktor risiko.
Sterilisasi dan Penggunaan Intrauterine Device (IUD)

Pada wanita yang menjalani sterilisasi dengan metode operasi, tingkat


kegagalan diperkirakan mencapai 18,5 per 1.000 kasus. Wanita yang
disterilisasi sebelum usia 30 tahun memiliki risiko dua kali lebih tinggi
untuk mengalami kehamilan ektopik daripada mereka yang
disterilisasi setelah usia 30 tahun.
Tingkat kehamilan ektopik bervariasi berdasarkan teknik sterilisasi.
Pada koagulasi bipolar, 65% kehamilan adalah ektopik. Sementara itu,
pada sterilisasi unipolar atau klip, sekitar 15% kehamilan adalah
ektopik. Pada kehamilan dengan IUD, setengah kasus terjadi pada
penggunaan IUD hormonal dengan kandungan levonorgestrel.
Assisted Reproductive Technology

Assisted reproductive technology merupakan faktor risiko kehamilan


ektopik. Sekitar 2–5% kehamilan dari metode ini ditemukan ektopik.
Tiga faktor risiko utama adalah jenis prosedur yang digunakan,
karakteristik kesehatan reproduksi wanita, dan perkiraan potensi
implantasi embrio. Riwayat infertilitas, bahkan tanpa adanya penyakit
tuba yang diketahui, dikaitkan pula dengan kehamilan ektopik.
C. PATOFISIOLOGI
Salah satu fungsi saluran telur yaitu untuk membesarkan hasil
konsepsi (zigot) sebelum turun dalam rahim, tetapi oleh beberapa
sebab terjadi gangguan dari perjalanan hasil konsepsi dan tersangkut
serta tumbuh dalam tuba. Saluran telur bukan tempat ideal untuk
tumbuh kembang hasil konsepsi. Disamping itu penghancuran
pembuluh darah oleh proses proteolitik jonjot koreon menyebabkan
pecahnya pembuluh darah. Gangguan perjalanan hasil konsepsi
sebagian besar karena infeksi yang menyebabkan perlekatan saluran
telur. Pembuluh darah pecah karena tidak mempunyai kemampuan
berkontraksi maka perdarahan tidak dapat dihentikan dan tertimbun
dalam ruang abdomen. Perdarahan tersebut menyebabkan perdarahan
tuba yang dapat mengalir terus ke rongga peritoneum dan akhirnya
terjadi ruptur, nyeri pelvis yang hebat dan akan menjalar ke bahu. 9
Ruptur bisa terjadi pada dinding tuba yaitu darah mengalir antara 2
lapisan dari mesosalping dan kemudian ke ligamentum latum.
Perubahan uterus dapat ditemukan juga pada endometrium. Pada suatu
tempat tertentu pada endometrium terlihat bahwa sel-sel kelenjar
membesar dan hiperskromatik, sitoplasma menunjukkan vaskularisasi
dan batas antara sel-sel kurang jelas. Perubahan ini disebabkan oleh
stimulasi dengan hormon yang berlebihan yang ditemukan dalam
endometrium yang berubah menjadi desidua. Setelah janin mati
desidua mengalami degenerasi dan dikeluarkan sepotong demi
sepotong. Pelepasan desidua ini disertai dengan perdarahan dan
kejadian ini menerangkan gejala perdarahan pervaginam pada
kehamilan ektopik terganggu (Dewi, 2016: 47-48)

D. TANDA DAN GEJALA KET


Gambaran kehamilan ektopik yang belum terganggu tidak khas dan
penderita maupun petugas medis biasanya tidak mengetahui adanya
kelainan dalam kehamilan.
Pada umumnya penderita menunjukkan gejala-gejala sebagai berikut:
a. Amenorhoe
b. Nyeri perut bagian bawah
c. Gejala kehamilan muda
d. Level hormon Human Chorionic Gonadotropin (HCG) rendah
e. Perdarahan pervaginam berwarna coklat tua
f. Pada pemeriksaan pervagina terdapat nyeri goyang bila serviks
digoyangkan dan kavum douglasi menonjol karena ada pembekuan
darah.
Gejala dan tanda kehamilan ektopik sangat berbeda-beda dari
perdarahan banyak tiba-tiba dalam rongga perut sampai terdapatnya
gejala tidak jelas, sehingga sukar membuat diagnosisnya, gejala dan
tanda bergantung pada lamanya kehamilan ektopik, abortus atau ruptur
tuba, tuanya kehamilan, derajat perdarahan yang terjadi dan keadaan
umum penderita sebelum hamil (Norma dan Mustika, 2018: 72)

E. PENATALAKSANAAN KET
Penanganan kehamilan ektopik terganggu mempertimbangkan
beberapa hal yaitu kondisi ibu, keinginan ibu untuk mempertahankan
fungsi reproduksinya, lokasi kehamilan ektopik, kondisi anatomis
organ pelvis, kemampuan teknik bedah mikro dokter, dan kemampuan
teknologi fertilisasi in vitro setempat. Pada keadaan kondisi ibu buruk
yaitu dalam keadaan syok, lebih baik dilakukan salpingektomi. Pada
kasus kehamilan ektopik di pars ampularis tuba yang belum pecah
biasanya ditangani dengan menggunakan kemoterapi untuk
menghindari pembedahan. Kehamilan ektopik dapat mengancam
nyawa, maka deteksi dini dan pengakhiran kehamilan adalah tata
laksana yang disarankan (Dewi, 2016: 51).
Selanjutnya adalah dengan terapi medis tindakan operatif yaitu
salpingektomi. Salpingektomi adalah prosedur bedah untuk
mengangkat salah satu atau kedua tuba fallopi, namun tetap
membiarkan keberadaan rahim dan indung telur. Ini dirancang sebagai
prosedur pengobatan utama untuk kehamilan ektopik, tapi bisa juga
dilaksanakan untuk menangani kondisi atau gangguan pada sistem
reproduksi wanita (Johnson, 2010). Tindakan ini dilakukan dengan
cara bagian tuba antara uterus dan massa hasil konsepsi diklem,
digunting dan sisanya (stump) diikat dengan jahitan ligasi. Arteri
tuboovarika diligasi, sedangkan arteri uteroovarika dipertahankan.
Tuba yang direseksi dipisah dari mesosalping (Johnson, Voorst,
Sowter, Strandell & Mol, 2010). Meskipun klien telah mengalami
tindakan pembedahan bukan berarti masalah sudah teratasi, tetapi akan
timbul dampak akibat pembedahan, seperti perubahan siklus hormon,
dan nyeri (Bobak, 2005). Hal ini sesuai dengan penelitian yang
dilakukan Arthur (1984) di Rumah Sakit Pelayanan Ginekologi Israel
dan Harlem menunjukkan data bahwa seluruh pasien yang menjalani
tindakan salpingektomi mengeluhkan nyeri pada area insisi.
Teknik relaksasi benson yaitu suatu teknik pengobatan untuk
menghilangkan nyeri, insomnia (tidak bisa tidur) atau kecemasan.
Tehnik ini merupakan upaya untuk memusatkan perhatian pada
sesuatu, fokus dengan menyebut berulang-ulang kalimat ritual dan
menghilangkan berbagai pikiran yang mengganggu (International
Journal of Allied Medical Science and Clinical Research, 2014).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan di rumah sakit tersebut,
diketahui bahwa tenik relaksasi benson sangat efektif dalam mengatasi
nyeri, mengurangi ansietas, mengatasi gangguan tidur, dan mengontrol
tekanan darah. Sehingga penerapan teknik relaksasi benson sangat
dianjurkan 6 untuk dilakukan kepada pasien yang mengalami keluhan
nyeri, ansietas, insomnia, dan hipertensi (Sukarmin dan Himawan,
2016). Berdasarkan hasil studi di atas di atas, ditemukan beberapa
masalah pada Ny. Y (32 tahun), post laparatomi salpingektomi dekstra
atas indikasi kehamilan ektopik terganggu sehingga diperlukan asuhan
keperawatan yang komprehensif guna mengatasi keluhan tersebut.
Olehkarena itu, penulis tertarik untuk mengangkat kasus tersebut
dengan judul “Asuhan Keperawatan Pada Ny.Y (32 tahun) Dengan
P3A1H3 Post Salpingektomi Dekstra Atas Indikasi Kehamilan
Ektopik Terganggu dan Penerapan Evidence Base Nursing Practice
Teknik Relaksasi Benson di Ruang Kebidanan RSUP Dr. M. Djamil
Padang”

http://scholar.unand.ac.id/41419/2/BAB%20I.pdf
https://www.alomedika.com/penyakit/obstetrik-dan-
ginekologi/kehamilan-ektopik/etiologi

Anda mungkin juga menyukai