Anda di halaman 1dari 73

Stres (2):

peran coping
dan
kepribadian

1
Peran Penilaian Kognitif.
 Jika Anda mengalami tekanan,
kadang ringan tapi dipersepsi
berat. Kenapa?
“ Suatu kejadian dapat
menjadi stressfull:
 tergantung pada persepsi atau
penilaian kognitif (cognitive
appraisal): a) apakah dalam
pandangan saya stres itu
ringan/ berat; b) apakah saya
mampu mengatasi/tidak.
Faktor biologis stres:
 Stress sebagai response : Stress
memberikan reaksi pada tubuh
 Stres merupakan stressors atau
stimuli (faktor eksternal, kejadian
yang memicu adanya stress , hal ini
dimediasi oleh: hypothalamus, SNS
(sympathetic nervus system), aktifitas dari
kelenjar hipofisis/ pituitary.
Pengaruh Penilaian kognitif pada The
Human Brain dan efeknya pada emosi.
Cerebral
Cortex

Events
interpreted as
stressors here.

Emotional stress
response begins
here.
The Anterior & Posterior Hypothalamus, The Endocrine
System, and their Roles in the Physio. Stress Response
Cerebral Cortex:
stressor enters!

(Limbic System) Thalamus Hypothalamus

Anterior Hypothalamus Posterior Hypothalamus

Pituitary stimulated SNS stimulated

Adrenal cortex Thyroid Adrenal medulla


stimulated via stimulated stimulated
ACTH

Secretion of Oxytoxin, Thyroxin Secretion of


Corticosteroids Vasopressin Catecholamines
Faktor2 individual yang
memengaruhi respon stres
1. FAKTOR PSIKOLOGIS
A. Kontrol pribadi – hasil riset secara konsisten
menunjukkan bahwa dimilikinya kendali terhadap
situasi penuh stres akan mengurangi pengaruh
stresor dan mengurangi kecemasan & depresi.
 Jika sso dapat mengendalikan stresor dengan
meminimalkan atau menghindarinya, maka
pengalaman stresnya menjadi sedikit, baik secara
subyektif maupun psikologis.
 Sebaliknya, kehilangan kontrol terhadap kejadian
akan menghasilkan tanda respon stres.
 Persepsi terhadap kontrol pribadi dalam situasi
penuh stres harus realistis supaya adaptif.
Faktor2 individual yang
memengaruhi respon stres
 Faktor psikologis
B. Gaya penjelasan: optimisme >< pesimisme
Seligman menemukan bahwa terdapat perbedaan dalam
cara sso menjelaskan kegagalan yang dialami.
 Orang yang menggunakan gaya penjelasan
optimistik cenderung menggunakan faktor
eksternal untuk menyikapi kejadian negatif.
 Orang yang menggunakan gaya penjelasan
pesimistik cenderung menggunakan faktor internal
untuk menyikapi kejadian negatif.
 Orang dengan gaya penjelasan pesimis
dihubungkan dengan tingkat stres yang tinggi &
kondisi fisik yang lemah.
Faktor2 individual yang
memengaruhi respon stres
 Faktor Psikologis
C. Emosi negatif kronis
 Friedman and Booth-Kewley melaporkan bahwa
orang yang terbiasa cemas, depresi/murung,
marah, atau senang bermusuhan, lebih
cenderung mengembangkan penyakit kronis.
 Orang yang mengalami ketegangan kronis,
kemarahan, dan tidak bahagia mengalami lebih
banyak stres daripada orang yang bahagia.
Mereka juga mengalami kejadian harian yang
mengganggu daripada orang dengan mood
positif.
Faktor2 individual yang memengaruhi
respon stres
 Faktor psikologis
D. Kepribadian Tipe A
 Kardiolog Meyer Friedman & Ray Rosenman menjelaskan
pola kepribadian Tipe A, yaitu gaya emosi & perilaku yang
dicirikan oleh terburu-buru, permusuhan, dan persaingan,
sehingga mudah bereaksi stres.
 Sebaliknya, individu yang lebih rileks dan “semeleh”/santai
digolongkan berkepribadian Tipe B.
 Ciri tipe A yang rawan terhadap problem kesehatan adalah
permusuhan. Mereka cenderung mudah marah, senang
mengganggu ketenangan, penuh kebencian, menghina,
dan punya keyakinan negatif terhadap orang lain.
 Rasa permusuhan yang tinggi meningkatkan risiko
kematian karena sebab-sebab alamiah, termasuk serangan
jantung dan kanker.
Kepribadian tipe A

Mudah Menyukai
marah konflik

Tidak Terburu-
sabar buru
Ambisius
Kepribadian Tipe A & penyakit
jantung

(Miller, et.al, 1991)


Faktor2 individual yang
memengaruhi respon stres
2. FAKTOR SOSIAL
A. Dukungan sosial – yaitu sumber2 yang
disediakan oleh orang lain pada saat individu
membutuhkan. Dukungan sosial bermanfaat bagi
kesehatan individu & mengembangkan
kemampuan menghadapi stresor melalui
sejumlah cara:
1) Dukungan sosial dari teman2 dapat mengubah
penilaian terhadap stresor scr signifikan, dari yg
semula dianggap ancaman diubah menjadi tantangan
2) Dukungan sosial dapat menurunkan intensitas reaksi
fisik terhadap stresor
3) Dukungan sosial dapat memengaruhi kesehatan
dengan cara mengurangi emosi negatif.
Faktor2 individual yang
memengaruhi respon stres
 Faktor Sosial
B. Interaksi dengan orang lain dapat juga menjadi
sumber stres
Ketika orang lain dianggap memberi penilaian thd
perilaku sso, kehadiran orang lain justru
meningkatkan reaksi fisik terhadap stresor.
Stres juga meningkat jika kawan akrab atau kerabat
dekat menawarkan dukungan sosial yang tidak
diinginkan/tidak sesuai keinginan.
Faktor2 individual yang
memengaruhi respon stres
 Faktor Sosial
C. Perbedaan jender dalam memaknai dukungan
sosial
Perempuan cenderung rawan terhadap beberapa
problem terkait dukungan sosial:
 Perempuan dituntut untuk lebih memberikan
dukungan sosial  peran yang potensial menjadi
stresor. Perempuan lebih rentan stres apabila ada
akibat buruk dari dukungan sosial yang telah
diberikan kepada orang lain.
 Pria cenderung lebih dekat dengan pasangan, tidak
begitu mementingkan relasi yang intens dengan
orang lain. Karena kecilnya jejaring sosial, pria
rentan untuk mengalami isolasi sosial apabila
kehilangan pasangan hidup.
Koping: Bagaimana individu
menghadapi stres
 Dua strategi koping: berfokus problem &
berfokus emosi
 Koping melibatkan usaha2 untuk mengubah kejadian
atau pemaknaan terhadap kejadian, membuat
pemaknaan positif terhadap kejadian.
 Koping merupakan proses yang dinamis dan
berlangsung terus dalam diri kita.
 Jika koping efektif (adaptif), kita mampu beradaptasi
thd situasi sehingga stres berkurang.
 Koping maladaptif berupa pemikiran & perilaku yang
justru meningkatkan intensitas atau mempertahankan
distres atau membuat sso menyalahkan dirinya
sendiri.
Koping: Bagaimana individu
menghadapi stres
 Respon koping yang adaptif memiliki fungsi:
1. Koping ini mencakup penilaian yang realistis thd
situasi & menentukan apa yang harus dilakukan untuk
meminimalkan dampak stresor.
2. Mencakup kesepakatan dengan aspek emosional dari
situasi
3. Diarahkan untuk menghadapi hubungan yang penting
selama pengalaman penuh stres.
 Lazarus & Folkman menjelaskan 2 tipe koping
 Problem-focused coping – mengacu pada usaha2
koping yang terutama ditujukan untuk merubah
atau mengelola secara langsung stresor yang
mengancam
 Emotion-focused coping – mengacu pada usaha2
koping yang terutama ditujukan untuk memulihkan
atau mengatur dampak emosional dari situasi stres.
Koping: Bagaimana individu
menghadapi stres
 Strategi problem-focused coping (PFC):
mengubah stresor
 PFC merepresentasikan tindakan yang bertujuan
untuk mengubah atau meminimalkan stresor.
 Jika sso menggunakan usaha yang agresif atau
berisiko untuk mengubah situasi, berarti ia terlibat
dalam koping confrontatif.
 Jika sso secara rasional menganalisis situasi,
mengidentifikasi solusi yang potensial, berarti ia
terlibat dalam planful problem solving
(pemecahan masalah yang terencana).
Koping: Bagaimana individu
menghadapi stres
 Strategi emotion-focused coping (EFC) :
mengubah reaksi terhadap stresor.
Jika stresornya tidak mungkin diubah, maka
dampak emosi dari stresor-lah yang dapat
dikendalikan.
Koping: Bagaimana individu
menghadapi stres
 Strategi EFC:
1. The escape-avoidance: mengalihkan perhatian dari
stresor & melakukan kegiatan lain.
2. Seeking social support : melibatkan teman2 atau orang
yang dekat untuk mencari dukungan secara emosi,
informatif atau nyata.
3. Distancing: mengakui stresor namun mencoba
meminimalkan dampak emosi yang muncul
4. Denial: menolak untuk mengakui bahwa problem tsb
masih terjadi.
5. Positive reappraisal: tidak hanya meminimalkan
dampak negatif emosi, melainkan juga mencoba
menciptakan pemaknaan dengan fokus pada
pertumbuhan pribadi.
Orang biasanya menggunakan beragam strategi dalam
menghadapi berbagai situasi stres.
Koping: Bagaimana individu
menghadapi stres
 Budaya memainkan peran penting dalam
pemilihan strategi koping.
 Pada budaya individualistis, lebih ditekankan pada otonomi
dan tanggung jawab pribadi untuk mengatasi masalah. Jadi,
mereka jarang mencari dukungan sosial. Koping yang
digunakan cenderung PFC.
 Pada budaya kolektivistik, usaha terbesar terletak pada
mengendalikan reaksi pribadi terhadap situasi stres, bukan
mengontrol situasi. Koping yang digunakan cenderung EFC.
COPING &
SOCIAL SUPPORT

21
Cultural & social context
Faktor kultural adalah hal-hal seperti
tradisi setempat, beliefs, praktek
sehari-hari yang mencerminkan
kebiasaan setempat.
Faktor sosial adalah hal-hal yang termasuk
sebagai struktur sosial (klas sosek,
struktur kekuasaan, dsb.) dan berbagai
setting kelompok masyaraka yang lain.
Semua itu mempengaruhi munculnya stress
(risk factors) sekaligus mencegah
munculnya stress (protective factors).
22
Stressors (1)
Stressors adalah hal-hal yang
menjadi sumber timbulnya stress
pada individu. Stressor dibentuk
oleh konteks kultur dan sosial
setempat.

Tipe-tipe stressors:
a. Major life events  kejadian
berat yang disebabkan karena
kehilangan sesuatu yang sangat
berarti (kematian pasangan,
kehilangan pekerjaan, dsb.)
23
Stressors (2)
 Lifetransition  perubahan penting dalam
kehidupan yang tidak sekedar jangka
pendek tetapi berkelanjutan sehingga
memerlukan skill untuk mengatasi agar
individu tidak stress. Misalnya menjadi
isteri/suami, menjadi janda/duda, dsb.

 Daily
hassless  hal-hal sehari-hari yang
menjengkelkan tetapi skalanya kecil.
Misalnya kursi patah, motor macet, dsb.
24
Stressors (3)
 Ambient / chronic stressors 
hal-hal atau situasi-situasi yang
menimbulkan stress bagi individu
dimana dimana situasi tersebut
berlangsung atau terjadi relatif
terus menerus. Misalnya
lingkungan tempat tinggal yang
kumuh, penuh polusi dan kotor,
bising, dsb. Termasuk dalam hal
ini adalah bekerja dalam bidang
yang sulit dan stresful.

25
Resources
Adalah faktor-faktor yang bersumber dari
unsur personal, sosial dan material yang
dapat melindungi individu dari mengalami
stress (protective factors from stress).
Sumber personal  kompetensi,
ketrampilan, optimisme, kamauan.
Sumber sosial  keluarga, teman,
perkumpulan sosial, serta adat dan tradisi
yang melindungi individu dari stress.
Sumber material  uang, pekerjaan,
perumahan, pakaian, makanan,
transportasi.
26
Appraisal
 Adalah
bagiamana individu menilai dan
mengartikan suatu situasi.

Primary appraisal  estimasi individu atas


kekuatan/intensitas stressor (Harm?
Threaten?).
Secondary appraisal  estimasi sumber
coping yang ada dan bagaimana
menjalankannya agar dapat mengatasi
situasi yang stressful.
27
Coping response
 Adalah bagaimana individu
secara spesifik menghadapi
situasi yang stressful.

Problem focused coping:


mencoba mereduksi stress
dengan cara problem solving
 semua masalah pada
dasarnya dapat dipecahkan.

28
Coping response

Emotion focused coping:


mencoba mereduksi
stress dengan cara
mengatur/ mengelola
emosi agar terjaga
keseimbangannya

29
RESOURCES FOR COPING
(sumber-sumber koping)

 SOCIAL SUPPORT

 PSYCHOSOCIAL
COMPETENCIES

 RELIGION&
SPIRITUALITY

30
Social support
 Semua dukungan yang diberikan kepada
individu dari lngkungan sosialnya (keluarga,
kawan, guru, profesional, dsb.)

Specific support  encouragement,


informational & tangible.

31
Social support

Generalized support 
dukungan yang sehari-
harinya ada dan diterima
individu. Misalnya:
friendship, relationship,
membership, caring &
comfort.

32
Psychosocial competencies
 Self & emotional awareness 
memahami perasaan dan kekuarangan-
kelebihan orang lain.
 Self & emotional regulation 
manajemen emosi secara memadai,
fleksibilitas terhadap perubahan-
perubahan, dan tanggung jawab.
 Problem solving  identifikasi masalah,
mencari strategi, mengantisipasi
konsekuensi dan membuat keputusan
akhir. 33
Psychosocial competencies
(kompetensi psikososial)
 Empati
 Analisis sosial  memahami
dinamika sosial/kelompok,
peta pergaulan sosial
masyarakat.
 Kolaborasi
 Keterkaitan diri dengan
lingkungan sosial
 Manajemen konflik dengan
lingkungan sosial.
34
Penyebab kematian sebelum
usia 65

(Powell, et.al, 1986)


Teori Emosi
 James- Lange (1884): stimuli sensorik yang
menginduksi emosi diinterpretasikan oleh
korteks, yang memicu perubahan pada organ-
organ visceral melalui sistem syaraf otonom
dan otot-otot skeletal melalui sistem syaraf
somatik, kemudian respon- respon somatik akan
memicu pengalaman emosi di otak.
Teori James-Lange
Persepsi tentang
beruang

Reaksi fisiologis
(syaraf otonom), otot-
Otot skeletal
(syaraf somatik)

Perasaan takut
Pandangan common sense
Persepsi
tentang
beruang

Perasaan takut

Reaksi
fisiologis
 TeoriJames- Lange tersebut berlawanan dengan
pandangan common-sense tentang hubungan kausal
antara pengalaman emosi dan ekspresinya. Teori
James- Lange mengatakan bahwa aktifitas dan
perilaku otonom yang dipicu oleh kejadian
emosional, seperti adanya detak jantung yang
cepat dan perilaku melarikan diri akan
menghasilkan perasaan emosi tertentu; sedangkan
common-sense mengatakan sebaliknya.
Teori Cannon- Bard
Persepsi
Tentang
beruang

Reaksi
Perasaan takut
fisiologis
Teori Cannon- Bard (1915)
 Teori Cannon- Bard (1915):
stimuli emosionil mempunyai dua efek eksitatorik
independen, yakni dapat membangkitkan perasaan
emosi di otak maupun ekspresi emosi di syaraf
otonom dan somatik; artinya teori ini berlawanan
dengan teori James- Lange karena melihat pengalaman
emosional dan ekspresi emosional sebagai proses yang
paralel yang tidak memiliki hubungan kausal
langsung.
Pandangan Biopsikologi Modern
 Tidak ditemukannya dukungan yang berkualitas
untuk teori James- Lange maupun Cannon- Bard
melahirkan pandangan biopsikologi modern; yakni
adanya saling mempengaruhi antara persepsi
tentang stimulus yang menginduksi emosi, respon
otonom dan somatik terhadap stimulus tersebut
serta pengalaman emosi.
Pandangan Biopsikologi Modern
Persep
si
Reaksi
tentang
fisiologi
s
beruan
g
Perasa
an takut
Sistem Limbik
Pada 1937 Papez mengusulkan bahwa
ekspresi emosional diatur oleh beberapa
struktur neural yang saling berhubungan yang
disebutnya sebagai sistem limbik (limbik
berarti “batas”); yang terdiri dari amigdala,
badan mamilaria, hipokampus, forniks, korteks
gyrus singulatus, septum, bulba olfaktori dan
hipotalamus.
Kerusakan pada daerah amigdala akan
menimbulkan sindrom Kluver- Bucy, pada
manusia ditandai dengan afek datar, tidak
peduli terhadap orang atau situasi, emosi
tidak sesuai, meniru gerak- geraik orang lain,
ada eksplorasi oral terhadap obyek yang ada
dalam jangkauannya, seperti dijilat, diisap,
dikunyah.
Ekspresi Wajah
 Ekman & Fiesen menyimpulkan ada 6 ekspresi wajah
primer : terkejut, marah, sedih, muak, takut dan
senang. Ekspresi wajah lain merupakan campuran
yang dapat diprediksi dari keenam ekspresi primer
tersebut, misalnya ketika menjenguk teman yang sakit
orang akan menunjukkan ekspresi sedih dan bahagia.
Separuh wajah atas utk ekspresi sedih dan wajah
bagian bawah terutama bagian mulut untuk wajah
bahagia.
Facial feedback hypothesis
Facial feedback hypothesis (hipotesis
umpan balik fasial) menyatakan bahwa
ekspresi wajah kita mempengaruhi
pengalaman emosional kita. Tersenyumlah,
maka Anda akan bahagia…, bukan
berbahagialah maka Anda akan
tersenyum…
Kontrol ekspresi wajah yang disengaja
 Karena manusia dapat mengontrol otot- otot wajah
secara sengaja, maka dimungkinkan untuk
menghambat ekspresi wajah aslinya dan
menggantinya dengan ekspresi wajah palsu; sebagian
di antaranya positif, misalnya memasang senyuman
palsu untuk menenangkan teman, sebagian lain
negatif misalnya memasang senyuman palsu untuk
menutupi kebohongan.
Membedakan ekspresi wajah asli dan palsu
Pertama, dengan dengan micro-expression
(ekspresi wajah singkat); biasanya sebuah
emosi riil sering menerobos di antara
ekspresi wajah palsu, hanya berlangsung
0.95 detik, tetapi dengan latihan dapat
dideteksi tanpa bantuan fotografi gerak
lambat.
Kedua, dengan membedakan area okuli
orbikularis (yang melingkari mata dan
menarik daerah pipi dan kening ke arah bola
mata) dan daerah Zigomatikus mayor (yang
menarik ujung- ujung bibir ke atas). Area
okuli orbikularis akan terbentuk pada
senyuman yang tulus (disebut senyuman
Duchenne, ahli anatomi Perancis 1862)
Agresi dan testosteron
Perilaku agresif mempunyai fungsi primer
menyerang atau mencelakai. Dua macam
agresi yakni agresi predatorik dan agresi
sosial. Agresi preadatorik bertujuan
memakan spesies lain; agresi sosial
bertujuan untuk memantapkan, mengubah
dan mempertahankan hirarki sosial dalam
spesiesnya.
Agresi dan testosteron
 Testosteron meningkatkan agresi sosial pada jantan
di banyak spesies; agresi terlihat berkurang jika
dilakukan kastrasi alat kelamin pada spesies yang
sama.
 Pada beberapa spesies, kastrasi tidak menimbulkan
pengaruh pada agresi sosial, namun pada beberapa
spesies, kastrasi menimbulkan pengaruh terutama
pada musim kawin, namun tidak di waktu lain.
Hubungan antara kadar testosteron dengan
agresi sulit diprediksi, misalnya hanya
bermain- main dengan senjata api saja
dapat menaikkan kadar testosteron pada
mahasiswa laki-laki (Klinesmith dkk, 2006).
Takut yang terkondisi
Percobaan Watson dan Reiner pada little
Allbert, tentang takut yang terkondisi.
Stimulus netral diperlihatkan beberapa kali
(sebagai stimulus kondisional) kemudian
diikuti stimulus aversif, misalnya kejutan
listrik (stimulus tak-kondisional).
Yang terlibat secara kritis dalam
perolehan, penyimpaan dan pengekspresian
ketakutan terkondisi adalah nukleus lateral
amigdala, tidak semua bagian amigdala.
DETERMINAN KEPRIBADIAN

 Kepribadian dapat meningkatkan kerja faali hormon


yang lama-kelamaan menyebabkan anomali kerja
fa’ali sehingga menyebabkan penyakit.
 Contoh tipe kepribadian A yang ingin serba cepat/
perfectionist.
 Risiko stres pada gastric ulcers (maag), penyakit
jantung, asma, depresi.
Type A Behavior
 (Friedman and Rosenman, 1974)
 A syndrome of several traits:
 Achievement motivation and competitiveness
 Time urgency
 Hostility and aggressiveness

 Earlyresearch found a relationship


between Type A and risk for heart
attack
 Hostility
 The “toxic-core”
 Most significant feature for risk of
heart disease and mortality
 Explosive reaction to stress

 Some theorists distinguish from “Type

A” and call “Type H”


 More noncompliant with medical
advice
 How Are the Arteries Damaged by
Hostility?
 Flight or fight increases blood

pressure
 More blood going through small
arteries
 Arteriosclerosis
Type B
 The absence of Type A behaviors; more relaxed
and “laid-back”
Type C
 “Cancer-prone personality”
 Suppression of emotion
 Compliant and conforming
 Arousal  Heightened activity  No outlet 
Remain in state of heightened activation 
Reduction of immune system functioning 
Greater vulnerability to disease
C personality pattern characterized
by:
  passive-aggressive behaviors,
 external locus of control (victimhood),

 chronic depression (“anger turned


inward”),
 unexpressed hostility and anger.
 it is these last 2 factors that place Type C’s
at  risk for CHD & auto-immune dis-eases
(cancer, arthritis).
MEDIATING FACTORS
 KARAKTERISTIK STRESOR
 KARAKTERISTIK INDIVIDUAL
 VARIABEL EKSTERNAL (social
networks/ support system, minority
membership)
KARAKTERISTIK STRESOR
 Intensitas
 Durasi (prolonged exposure)
 Terduga/ tidak (preparedness)
 Novelty (hal yang baru/ tidak) prior
experiences
KARAKTERISTIK
INDIVIDUAL
 Inteligensi
 Tipe Kepribadian
 Self-Efficacy
 Sense of mastery over the fact
 Demografis: usia, pendidikan, income
 Appraisal atas stresor
Stres dan Gastric Ulcers (luka lambung)
 GU adalah luka pada lambung dan
duodenum (usus 12 jari) yang pada kasus
tertentu dapat mengancam jiwa. Di AS
dilaporkan 500 ribu kasus baru ditemukan
setiap tahun.
 Salah satu penyebab GU adalah bakteria
Helicobacter Pylori, namun HP saja tidak
mencukupi utk munculnya GU, ada faktor
lain yang menjadi penyebab yakni stres.
psikoneuroimunologi
 Yakni studi tentang interaksi antara
faktor psikologis, sistem syaraf dan
sistem imun atau sistem kekebalan.
 Ada antigen- yakni molekul protein di
permukaan sel yang berperan penting
dalam sistem kekebalan, yakni dengan
kemampuan membedakan benda-
benda asing atau bukan.
2 sistem kekebalan
1. sistem kekebalan bawaan
adalah sistem kekebalan lini pertama yang akan
menyerang patogen (agen-agen penyebab penyakit).
Jika sistem ini gagal maka akan digunakan sistem
kekebalan adaptif.
2. sistem kekebalan adaptif
adalah sistem kekebalan yang mampu mengikatkan diri
pada antigen di sel- sel asing dan menghancurkannya/
menandainya untuk dihasilkan oleh sel- sel lain.
Keunikannya adalah kemampuannya mengingat
patogen sehingga jika datang lagi akan dieliminasi--- ex.
Vaksinasi, memasukkan virus yang dilemahkan untuk
memunculkan sistem kekebalan adaptif.
Caraa kerja Sistem kekebalan bawaan,
Phagnocytes: macrophage dan mikroglia
 Macrophage/ makrofagus maupun mikroglia
adalah sel yang mempunyai kemampuan
phagocyt, yakni memakan benda- benda asing/
patogen. Dalam proses ini akan dilepaskan
sitokin, yang mampu memicu respon
inflamatorik, seperti pembengkakan dan warna
merah ditempat infeksi lokal dan menghasilkan
demam, pegal- pegal, dan gejala mirip flu
lainnya, yang sering menyertai infeksi tubuh
pada umumnya.
 siStokin mampu mengaktifkan sel- sel
divisi kedua, yakni sistem kekebalan
adaptif; yakni sel- sel lymfosit/ sel darah
putih yang terspesialisasi yang dihasilkan
dalam sumsum tulang dan kelenjar
thymus. Sel ini tersimpan dalam sistem
limfatik sampai mereka diaktifkan.
 Ada banyak jenis limfosit, tapi mereka
dianggap sebagai 2 tipe umum, yakni
limfosit/ sel T dan limfosit/ sel B.
Sel T & sel B
 kekebalanyang dimediasi oleh sel,
akan dipimpin oleh sel T.

 Kekebalan yang dimediasi oleh


antibodi, dipimpin oleh sel B.
Cara kerja sel T
 Makrofagus mencerna sebuah mikroorganisme
asing, kemudian memperlihatkan antigen di
atas permukaan membran selnya, sehingga
menarik sel T. Setiap sel T mempunyai 2
reseptor di permukaan selnya, yang satu untuk
molekul- molekul dan yang kedua untuk
antigen asing tertentu - sel T dengan
reseptor yang sesuai mengikatkan diri pada
makrofagus  sel T yang terikat berkembang
menjadi sebuah bentuk yang membunuh
mikroorganisme asing dan sel- sel tubuh yang
terinfeksi oleh mikroorganisme.
Cara kerja sel B
 Antigen asing diikat oleh sel B dengan
reseptor yang sesuai  sel B
bereplikasi dan berkembang menjadi
sebuah bentuk yang melepaskan
antibodi ke antigen  antibodi
mengikatkan pada antigen dan
membunuh atau mendeaktivasi
mikroorganisme.
Catatan:

 Stres
singkat (akut) memperbaiki fungsi
kekebalan sedangkan stres panjang
(kronis) mempengaruhi sistem
kekebalan secara adversif.

Anda mungkin juga menyukai