Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN PENDAHULUAN

HIV AIDS DENGAN TOXOPLASMA

1. Definisi
AIDS berasal dari kata acquired yang artinya didapat atau bukan penyakit
keturunan, immune berarti sistem kekebalan tubuh, deficiency atau kekurangan dan
syndrome yang berarti kumpulan gejala-gejala penyakit. Jadi, dari kata-kata tersebut
dapat diartikan bahwa AIDS adalah kumpulan gejala penyakit akibat menurunnya sistem
kekebalan tubuh oleh virus yang disebut Human Immunodeficiency Virus (HIV).
Toksoplasmosis adalah penyakit infeksi pada manusia dan hewan yang
disebabkan oleh Toxoplasma gondii. Toxsoplasma adalah parasit protozoa dengan sifat
alami dengan perjalanannya dapat akut atau menahun, juga dapat menimbulkan gejala
simtomatik maupun asimtomatik.
Insiden komplikasi SSP pada penderita AIDS cukup besar. Manifestasi klinis AIDS
pada SSP dapat terjadi karena 2 hal yaitu virus AIDS itu sendiri atau akibat infeksi
oportunistik atau neoplasma.
Ensefalitis toksoplasma merupakan penyebab tersering lesi otak fokal infeksi
oportunistik yang paling banyak terjadi pada pasien AIDS. Ensefalitis toksoplasma muncul
pada kurang lebih 10% pasien AIDS yang tidak diobati. Hal ini disebabkan oleh parasit
Toxoplasma gondii yang dibawa oleh kucing, burung dan hewan lain yang dapat
ditemukan pada tanah yang tercemar oleh tinja kucing dan kadang pada daging mentah
atau kurang matang.
Begitu parasit masuk ke dalam sistem kekebalan, ia menetap di sana, tetapi sistem
kekebalan pada orang yang sehat dapat melawan parasit tersebut hingga mencegah
penyakit. Gejala termasuk ensefalitis, demam, sakit kepala berat yang tidak menanggapi
pengobatan, lemah pada satu sisi tubuh, kejang, kelesuan, kebingungan yang meningkat,
masalah penglihatan, pusing, masalah berbicara dan berjalan, muntah dan perubahan
kepribadian.
2. Etiologi
Ensefalitis toksoplasma disebabkan oleh parasit Toxoplasma gondii, yang dibawa
oleh kucing, burung dan hewan lain yang dapat ditemukan pada tanah yang tercemar oleh
tinja kucing dan kadang pada daging mentah atau kurang matang. Begitu parasit masuk
ke dalam sistem kekebalan, parasit tersebut menetap di sana, sistem kekebalan pada
orang yang sehat dapat melawan parasit tersebut hingga tuntas, dan dapat mencegah
terjadinya suatu penyakit. Namun, pada orang pasien HIV/AIDS mengalami penurunan
kekebalan tubuh sehingga tidak mampu melawan parasit tersebut. Sehingga pasien
mudah terinfeksi oleh parasit tersebut.
Transmisi pada manusia terutama terjadi bila memakan daging babi atau domba
yang mentah dan mengandung oocyst (bentuk infektif dari Toxoplasma gondii). Bisa juga
dari sayur yang terkontaminasi atau kontak langsung dengan feses kucing. Selain itu
dapat terjadi transmisi lewat transplasental, transfusi darah, dan transplantasi organ.
Infeksi akut pada individu yang immunokompeten biasanya asimptomatik. Pada manusia
dengan imunitas tubuh yang rendah dapat terjadi reaktivasi dari infeksi laten. Yang akan
mengakibatkan timbulnya infeksi opportunistik dengan predileksi di otak.

3. Daur Hidup Toxoplasma gondii


Toxoplasma gondii hidup dalam 3 bentuk yaitu thachyzoite, tissue cyst (yang
mengandung bradyzoites) dan oocyst (yang mengandung sporozoites). Bentuk akhir
dari parasit diproduksi selama siklus seksual pada usus halus dari kucing. Kucing
merupakan pejamu definitif dari Toxoplasma gondii. Siklus hidup aseksual terjadi pada
pejamu perantara (termasuk manusia). Dimulai dengan tertelannya tissue cyst atau oocyst
diikuti oleh terinfeksinya sel epitel usus halus oleh bradyzoites atau sporozoites secara
berturut-turut. Setelah bertransformasi menjadi tachyzoite, organisme ini menyebar ke
seluruh tubuh lewat peredaran darah atau limfatik.
Parasit ini berubah bentuk menjadi tissue cysts begitu mencapai jaringan perifer.
Bentuk ini dapat bertahan sepanjang hidup pejamu, dan berpredileksi untuk menetap pada
otak, myocardium, paru, otot skeletal dan retina.
Tissue cyst ada dalam daging, tapi dapat dirusak dengan pemanasan sampai
67 C, didinginkan sampai -20oC atau oleh iradiasi gamma. Siklus seksual entero-epithelial
o

dengan bentuk oocyst hidup pada kucing yang akan menjadi infeksius setelah tertelan
daging yang mengandung tissue cyst. Ekskresi oocysts berakhir selama 7-20 hari dan
jarang berulang. Oocyst menjadi infeksius setelah diekskresikan dan terjadi sporulasi
(pembentukan spora). Lamanya proses ini tergantung dari kondisi lingkungan, tapi
biasanya 2-3 hari setelah diekskresi. Oocysts menjadi infeksius di lingkungan selama lebih
dari 1 tahun.
Transmisi pada manusia terutama terjadi bila makan daging babi atau domba yang
mentah yang mengandung oocyst. Bisa juga dari sayur yang terkontaminasi atau
kontak langsung dengan feces kucing. Selain itu dapat terjadi transmisi lewat
transplasental,transfusi darah, dan transplantasi organ. Infeksi akut pada individu yang
imunokompeten biasanya asimptomatik. Pada manusia dengan imunitas tubuh yang
rendah dapat terjadi reaktivasi dari infeksi laten. yang akan mengakibatkan timbulnya
infeksi oportunistik dengan predileksi di otak. Tissue cyst menjadi ruptur dan melepaskan
invasive tropozoit (tachyzoite). Tachyzoite ini akan menghancurkan sel dan menyebabkan
focus nekrosis.
Pada pasien yang terinfeksi HIV, jumlah CD4 limfosit T dapat menjadi
prediktor kemungkinanan adanya infeksi oportunistik. Pada pasien dengan CD4 < 200
sel/mL kemungkinan untuk terjadi infeksi oportunistik sangat tinggi. Oportunistik infeksi
yangmungkin terjadi pada penderita dengan CD4 < 200 sel/mL adalah pneumocystis
carinii, CD4 < 100 sel/mL adalah toxoplasma gondii , dan CD4 < 50 adalah M. Avium
Complex, sehingga diindikasikan untuk pemberian profilaksis primer. M. tuberculosis dan
candida species dapat menyebabkan infeksi oportunistik pada CD4 > 200 sel/mL.

4. Patofisiologi
a. Patofisiologi HIV/AIDS
HIV secara signifikan berdampak pada kapasitas fungsional dan kualitas
kekebalan tubuh. HIV mempunyai target sel utama yaitu sel limfosit T4, yang
mempunyai reseptor CD4. Beberapa sel lain yang juga mempunyai reseptor CD4
adalah sel monosit, sel makrofag, sel folikular dendritik, sel retina, sel leher rahim, dan
sel langerhans. Infeksi limfosit CD4 oleh HIV dimediasi oleh perlekatan virus
kepermukaan sel reseptor CD4, yang menyebabkan kematian sel dengan
meningkatkan tingkat apoptosis pada sel yang terinfeksi. Selain menyerang sistem
kekebalan tubuh, infeksi HIV juga berdampak pada sistem saraf dan dapat
mengakibatkan kelainan pada saraf.
Human Immunodeficiency Virus (HIV) masuk ke dalam tubuh seseorang dalam
keadaan bebas atau berada di dalam sel limfosit. Virus ini memasuki tubuh dan
terutama menginfeksi sel yang mempunyai molekul CD4. Sel-sel CD4-positif (CD4+)
mencakup monosit, makrofag dan limfosit T4 helper. Saat virus memasuki tubuh,
benda asing ini segera dikenal oleh sel T helper (T4), tetapi begitu sel T helper
menempel pada benda asing tersebut, reseptor sel T helper tidak berdaya; bahkan
HIV bisa pindah dari sel induk ke dalam sel T helper tersebut.
Jadi, sebelum sel T helper dapat mengenal benda asing HIV, ia lebih dahulu
sudah dilumpuhkan. HIV kemudian mengubah fungsi reseptor di permukaan sel T
helper sehingga reseptor ini dapat menempel dan melebur ke sembarang sel lainnya
sekaligus memindahkan HIV. Sesudah terikat dengan membran sel T4 helper, HIV
akan menginjeksikan dua utas benang RNA yang identik ke dalam sel T4 helper.
Dengan menggunakan enzim yang dikenal sebagai reverse transcriptase, HIV
akan melakukan pemrograman ulang materi genetik dari sel T4 yang terinfeksi untuk
membuat double-stranded DNA (DNA utas-ganda). DNA ini akan disatukan ke dalam
nukleus sel T4 sebagai sebuah provirus dan kemudian terjadi infeksi yang permanen.
Fungsi T helper dalam mekanisme pertahanan tubuh sudah dilumpuhkan,
genom dari HIV dan proviral DNA kemudian dibentuk dan diintegrasikan pada DNA sel
T helper sehingga menumpang ikut berkembang biak sesuai dengan perkembangan
biakan sel T helper. Sampai suatu saat ada mekanisme pencetus (mungkin karena
infeksi virus lain) maka HIV akan aktif membentuk RNA, ke luar dari T helper dan
menyerang sel lainnya untuk menimbulkan penyakit AIDS. Karena sel T helper sudah
lumpuh maka tidak ada mekanisme pembentukan sel T killer, sel B dan sel fagosit
lainnya. Kelumpuhan mekanisme kekebalan inilah yang disebut AIDS (Acquired
Immunodeficiency Syndrome) atau sindroma kegagalan kekebalan.

b. Patofisiologi Toxoplasmosis sebagai komplikasi HIV/AIDS


Infeksi oportunistik dapat terjadi akibat penurunan kekebalan tubuh pada
penderita HIV/AIDS. Infeksi tersebut dapat menyerang sistem saraf yang
membahayakan fungsi dan kesehatan sel saraf.
Setelah infeksi oral, bentuk tachyzoite atau invasif parasit dari Toxoplasma
gonii menyebar ke seluruh tubuh. Takizoit menginfeksi setiap sel berinti, di mana
mereka berkembang biak dan menyebabkan kerusakan. Permulaan diperantarai sel
kekebalan terhadap T gondii disertai dengan transformasi parasit ke dalam jaringan
kista yang menyebabkan infeksi kronis seumur hidup.
Mekanisme bagaimana HIV menginduksi infeksi oportunistik seperti
toxoplasmosis sangat kompleks. Ini meliputi deplesi dari sel T CD4, kegagalan
produksi IL-2, IL-12, dan IFN-gamma, kegagalan aktivitas Limfosit T sitokin. Sel-sel
dari pasien yang terinfeksi HIVmenunjukkan penurunan produksi IL-12 dan IFN-
gamma secara in vitro dan penurunan ekspresi dari CD 154 sebagai respon terhadap
Toxoplasma gondii. Hal ini memainkan peranan yang penting dari perkembangan
toxoplasmosis dihubungkan dengan infeksi HIV.
Ensefalitis toksoplasma biasanya terjadi pada penderita yang terinfeksi virus
HIV dengan CD4 T sel <100/mL. Ensefalitis toxoplasma ditandai dengan onset yang
subakut. Manifestasi klinis yangtimbul dapat berupa defisit neurologis fokal (69%),
nyeri kepala (55%), bingung atau kacau(52%), dan kejang (29%). Pada suatu studi
didapatkan adanya tanda ensefalitis global dengan perubahan status mental pada
75% kasus, adanya defisit neurologis pada 70% kasus, nyeri kepala pada 50 % kasus,
demam pada 45 % kasus dan kejang pada 30 % kasus.
Defisit neurologis yang biasanya terjadi adalah kelemahan motorik dan
gangguan bicara. Bisa juga terdapat abnormalitas saraf otak, gangguan penglihatan,
gangguan sensorik, disfungsi serebelum, meningismus, movement disorders dan
menifestasi neuropsikiatri.
Pada pasien yang terinfeksi HIV, jumlah CD4 limfosit T dapat menjadi
prediktor untuk validasi ke mungkinanan adanya infeksi oportunistik. Pada pasien
dengan CD4< 200sel/mL kemungkinan untuk terjadi infeksi oportunistik sangat tinggi.

5. Manifestasi Klinis
Gejala termasuk ensefalitis, demam, sakit kepala berat yang tidak respon
terhadap pengobatan, lemah pada satu sisi tubuh, kejang, kelesuan, kebingungan yang
meningkat, masalah penglihatan, pusing, masalah berbicara dan berjalan, muntah dan
perubahan kepribadian. Tidak semua pasien menunjukkan tanda infeksi.
Nyeri kepala dan rasa bingung dapat menunjukkan adanya perkembangan
ensefalitis fokal dan terbentuknya abses sebagai akibat dari terjadinya infeksi
toksoplasma. Keadaan ini hampir selalu merupakan suatu kekambuhan akibat hilangnya
kekebalan pada penderita-penderita yang semasa mudanya telah berhubungan dengan
parasit ini. Gejala-gejala fokalnya cepat sekali berkembang dan penderita mungkin akan
mengalami kejang dan penurunan kesadaran

6. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Serologi
Didapatkan seropositif dari anti-Toxoplasma gondii IgG dan IgM. Deteksi juga dapat
dilakukan dengan indirect fluorescent antibody (IFA), aglutinasi, atau enzyme linked
immunosorbentassay (ELISA). Titer IgG mencapai puncak dalam 1-2 bulan setelah
terinfeksi kemudian bertahan seumur hidup.
b. Pemeriksaan cairan serebrospinal
Menunjukkan adanya pleositosis ringan dari mononuklear predominan dan
elevasi protein.
c. Pemeriksaan Polymerase Chain Reaction (PCR)
Digunakan untuk mendeteksi DNA Toxoplasmosis gondii. Polymerase Chain
Reaction (PCR) untuk Toxoplasmosis gondii dapat juga positif pada cairan
bronkoalveolar dan cairan vitreus atau aquos humor dari penderita toksoplasmosis
yang terinfeksi HIV. Adanya PCR yang positif pada jaringan otak tidak  berarti
terdapat infeksi aktif karena tissue cyst dapat bertahan lama berada di otak setelah
infeksi akut.
d. CT scan
Menunjukkan fokal edema dengan bercak-bercak hiperdens multiple dan biasanya
ditemukan lesi berbentuk cincin atau penyengatan homogen dan disertai edema
vasogenik pada jaringan sekitarnya. Ensefalitis toksoplasma jarang muncul dengan
lesi tunggal atau tanpa lesi.
e. Biopsi otak 
Untuk diagnosis pasti ditegakkan melalui biopsi otak 

7. Penatalaksanaan
a. Toksoplasmosis otak diobati dengan kombinasi pirimetamin dan sulfadiazin. Kedua
obat ini dapat melalui sawar-darah otak. 
b. Toxoplasma gondii, membutuhkan vitamin B untuk hidup. Pirimetamin
menghambat pemerolehan vitamin B oleh tokso. Toxoplasma gondii. Sulfadiazin
menghambat penggunaannya.
c. Kombinasi pirimetamin 50-100mg perhari yang dikombinasikan dengan
sulfadiazin1-2 g tiap 6 jam.
d. Pasien yang alergi terhadap sulfa dapat diberikan kombinasi pirimetamin 50-100
mg perhari dengan clindamicin 450-600 mg tiap 6 jam.
e. Pemberian asam folinic 5-10 mg perhari untuk mencegah depresi sumsum tulang.
f. Pasien alergi terhadap sulfa dan clindamicin, dapat diganti dengan Azitromycin
1200mg/hr, atau claritromicin 1 gram tiap 12 jam, atau atovaquone 750 mg tiap 6
jam. Terapi ini diberikan selam 4-6 minggu atau 3 minggu setelah perbaikan gejala
klinis.
g. Terapi anti retro viral (ARV) diindikasikan pada penderita yang terinfeksi
HIVdengan CD4 kurang dari 200 sel/mL, dengan gejala (AIDS) atau limfosit
totalkurang dari 1200. Pada pasien ini, CD4 42, sehingga diberikan ARV.
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

1. Pengkajian
1. Aktivitas/istirahat
a. Gejala : mudah lelah, berkurangnya toleransi terhadap aktifitas,
kelelahan.
b. Tanda : kelemahan otot, nyeri otot, menurunnya massa otot, respon
fisiologi terhadap aktifitas.
2. Sirkulasi
a. Gejala : demam, proses penyembuhan luka yang lambat, perdarahan
lama bila cedera
b. Tanda : suhu tubuh meningkat, berkeringat, takikardia, mata cekung,
anemis, perubahan tekanan darah postural, volume nadi perifer menurun,
pengisian kapiler memanjang.
3. Integritas ego
a. Gejala : merasa tidak berdaya, putus asa, rasa bersalah, kehilangan
kontrol diri, dan depresi.
b. Tanda : mengingkari, cemas, depresi, takut, menarik diri, marah,
menangis, kontak mata kurang.
4. Eliminasi
a. Gejala : diare, nyeri pinggul, rasa terbakar saat berkemih.
b. Tanda : feces encer disertai mucus atau darah, nyeri tekan
abdominal, lesi pada rectal, ikterus, perubahan dalam jumlah warna urin.
5. Makanan/cairan
a. Gejala : tidak ada nafsu makan, mual, muntah, sakit tenggorokan.
b. Tanda : penurunan BB yang cepat, bising usus yang hiperaktif, turgor
kulit jelek, lesi pada rongga mulut, adanya selaput putih/perubahan warna
mukosa mulut
6. Hygiene
a. Tanda : tidak dapat menyelesaikan ADL, mempeliahtkan penampilan
yang tidak rapi.
7. Neurosensorik
a. Gejala : pusing, sakit kepala, photofobia.
b. Tanda : perubahan status mental, kerusakan mental, kerusakan
sensasi, kelemahan  otot, tremor, penurunan visus, bebal, kesemutan pada
ekstrimitas.
8. Nyeri/kenyamanan
a. Gejala : nyeri umum atau lokal, sakit, nyeri otot, sakit tenggorokan,
sakit kepala, nyeri dada pleuritis, nyeri abdomen.
b. Tanda : pembengkakan pada sendi, hepatomegali, nyeri tekan,
penurunan ROM, pincang.
9. Pernapasan
a. Tanda : terjadi ISPA, napas pendek yang progresif, batuk
produktif/non, sesak pada dada, takipneu, bunyi napas tambahan, sputum
kuning.
10. Keamanan
a. Gejala : riwayat jatuh, terbakar, pingsan, luka lambat proses
penyembuhan.
b. Tanda : demam berulang
11. Seksualitas
a. Tanda : riwayat perilaku seksual resiko tinggi, penurunan libido,
penggunaan kondom yang tdk konsisten, lesi pada genitalia, keputihan.
12. Interaksi social
a. Tanda : isolasi, kesepian, perubahan interaksi keluarga, aktifitas
yang tidak terorganisir

2. Pemeriksaan Diagnostik
a. Pemeriksaan yang dilakukan adalah pemeriksaan antibodi spesifik toksoplasma,
yaitu IgG, IgM dan IgG affinity.
 IgM adalah antibodi yang pertama kali meningkat di darah bila terjadi
infeksi toksoplasma.
 IgG adalah antibodi yang muncul setelah IgM dan biasanya akan menetap
seumur hidup pada orang yang terinfeksi atau pernah terinfeksi.
 IgG affinity adalah kekuatan ikatan antara antibodi IgG dengan organisme
penyebab infeksi. Manfaat IgG affinity yang dilakukan pada wanita yang
hamil atau akan hamil karena pada keadaan IgG dan IgM positif diperlukan
pemeriksaan IgG affinity untuk memperkirakan kapan infeksi terjadi,
apakah sebelum atau pada saat hamil. Infeksi yang terjadi sebelum
kehamilan tidak perlu dirisaukan, hanya infeksi primer yang terjadi pada
saat ibu hamil yang berbahaya, khususnya pada trimester I.
 Bila IgG (-) dan IgM (+). Kasus ini jarang terjadi, kemungkinan merupakan
awal infeksi. Harus diperiksa kembali 3 minggu kemudian dilihat apakah
IgG berubah jadi (+). Bila tidak berubah, maka IgM tidak spesifik, yang
bersangkutan tidak terinfeksi toksoplasma.
 Bila IgG (-) dan IgM (-). Belum pernah terinfeksi dan beresiko untuk
terinfeksi. Bila sedang hamil, perlu dipantau setiap 3 bulan pada sisa
kehamilan (dokter mengetahui kondisi dan kebutuhan pemeriksaan anda).
Lakukan tindakan pencegahan agar tidak terjadi infeksi.
 Bila IgG (+) dan IgM (+). Kemungkinan mengalami infeksi primer baru atau
mungkin juga infeksi lampau tapi IgM nya masih terdeteksi. Oleh sebab itu
perlu dilakukan tes IgG affinity langsung pada serum yang sama untuk
memperkirakan kapan infeksinya terjadi, apakah sebelum atau sesudah
hamil.
 Bila IgG (+) dan IgM (-). Pernah terinfeksi sebelumnya. Bila pemeriksaan
dilakukan pada awal kehamilan, berarti infeksinya terjadi sudah lama
(sebelum hamil) dan sekarang telah memiliki kekebalan, untuk selanjutnya
tidak perlu diperiksa lagi.
b. Pemeriksaan cairan serebrospinal
Menunjukkan adanya pleositosis ringan dari mononuklear predominan dan
elevasi protein.
c. Pemeriksaan Polymerase Chain Reaction (PCR)
Digunakan untuk mendeteksi DNA Toxoplasmosis gondii. Polymerase Chain
Reaction (PCR) untuk Toxoplasmosis gondii dapat juga positif pada cairan
bronkoalveolar dan cairan vitreus atau aquos humor dari penderita toksoplasmosis
yang terinfeksi HIV. Adanya PCR yang positif pada jaringan otak tidak  berarti
terdapat infeksi aktif karena tissue cyst dapat bertahan lama berada di otak setelah
infeksi akut.
d. CT scan
Menunjukkan fokal edema dengan bercak-bercak hiperdens multiple dan biasanya
ditemukan lesi berbentuk cincin atau penyengatan homogen dan disertai edema
vasogenik pada jaringan sekitarnya. Ensefalitis toksoplasma jarang muncul dengan
lesi tunggal atau tanpa lesi.
e. Biopsi otak 
Untuk diagnosis pasti ditegakkan melalui biopsi otak.

3. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri kronik berhubungan dengan adanya proses infeksi atau inflamasi
b. Hipertermi berhubungan dengan peningkatan metabolisme dan penyakit, ditandai
dengan peningkatan suhu tubuh, tubuh menggigil
c. Kekurangan volume caiaran berhubungan dengan tidak adekuat masukan
makanan dan cairan.

4. Perencanaan keperawatan
a. Nyeri kronik berhubungan dengan adanya proses infeksi/inflamasi.
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 x 24 jam nyeri dapat
berkurang, pasien dapat tenang dan keadaan umum cukup baik
Kriteria Hasil:
·  Klien mengungkapakan nyeri yang dirasakan hilang dan terkontrol
·  Klien tidak menyeringai kesakitan
·  TTV dalam batasan normal
·  Intensitas nyeri berkurang (skala nyeri berkurang 1-10)
·  Klien menunjukkan rileks, istirahat tidur, peningkatan aktivitas dengan cepat

Intervensi
INTERVENSI RASIONAL
1. Selidiki keluhan nyeri, perhatikan 1. Nyeri insisi bermakna pada pasca
lokasi, itensitas nyeri, dan skala operasi awal diperberat oleh
gerakan
2. Anjurkan pasien untuk 2. Intervensi dini pada kontrol nyeri
melaporkan nyeri segera saat memudahkan pemulihan otot
mulai dengan menurunkan tegangan
otot
3. Pantau tanda-tanda vital 3. Respon autonomik meliputi,
perubahan pada TD, nadi, RR,
yang berhubungan dengan
penghilangan nyeri
4. Jelaskan sebab dan akibat nyeri 4. Dengan sebab dan akibat nyeri
pada klien serta keluarganya diharapkan klien berpartisipasi
dalam perawatan untuk
mengurangi nyeri
5. Anjurkan istirahat selama fase 5. Mengurangi nyeri yang diperberat
akut oleh gerakan
6. Menurunkan tegangan otot,
6. Anjurkan teknik distruksi dan meningkatkan relaksasi, dan
relaksasi meningkatkan rasa kontrol dan
kemampuan koping
7. Menurunkan gerakan yang dapat
7. Tingkatkan tirah baring, bantulah meningkatkan nyeri
kebutuhan perawatan diri 8. Memberikan dukungan (fisik,
8. Berikan situasi lingkungan yang emosional, meningkatkan rasa
kondusif kontrol, dan kemampuan koping)
9. Dapat membantu merelaksasikan
9. Berikan latihan rentang gerak ketegangan otot yang
aktif/pasif secara tepat dan meningkatkan reduksi nyeri/rasa
masase otot daerah leher/bahu tidak nyaman tersebut
10. Menghilangkan atau mengurangi
10. Kolaborasi dengan tim medis keluhan nyeri klien
dalam pemberian tindakan

b. Hipertermi berhubungan dengan peningkatan metabolisme dan penyakit, ditandai


dengan peningkatan suhu tubuh, tubuh menggigil.
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam suhu tubuh
dapat dipertahankan dalam batas normal.
Kriteria Hasil:
·  Suhu antara 36o-37o c
·  RR dan nadi dalam batas normal
·  Membran mukosa lembab
·  Kulit dingin dan bebas dari keringat yang berlebih.
·  Pakaian dan tempat tidur pasien kering
intervensi
INTERVENSI RASIONAL
1. Monitor tanda-tanda infeksi. 1. Infeksi pada umumnya
menyebabkan peningkatan suhu
2. Monitor tanda-tanda vital tiap 2 tubuh
jam. 2. Deteksi resiko peningkatan suhu
tubuh yang ekstrem, pola yang
dihubungkan dengan patogen
tertentu, menurun dihubungkan
dengan resolusi infeksi.
3. Berikan suhu lingkungan yang
3. Kehilangan panas tubuh melalui
nyaman bagi pasien. Kenakan
konveksi dan evaporasi
pakaian tipis pada pasien.
4. Kompres hangat, hindari
4. Dapat membantu mengurangi
penggunaan alcohol
demam, penggunaan air es atau
alkohol dapat menyebabkan
peningkatan suhu secara actual
5. Berikan cairan iv sesuai order atau
5. Menggantikan cairan yang hilang
anjurkan intake cairan yang
lewat keringat.
adekuat.
6. Berikan antipiretik, jangan berikan 6. Aspirin bersiko terjadi perdarahan GI
aspirin. yang menetap.
7. Monitor komplikasi neurologis 7. Febril dan enselopati bisa terjadi bila
akibat demam. suhu tubuh yang meningkat.

c.Kekurangan volume caiaran berhubungan dengan tidak adekuat masukan makanan dan
cairan
Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam, asupan cairan adekuat
Kriteria hasil:
·  Memiliki keseimbangan asupan dan haluaran yang seimbang dalam 24 jam.
·  Tanda-tanda vita, dalam batas normal
·  Membran mukosa lembab
·  Nadi perifer teraba
·  Menampilkan hidrasi yang baik misalnya membran mukosa yang lembab.
·  Memiliki asupan cairan oral dan atau intravena yang adekuat.

Intervensi
INTERVENSI RASIONAL
1. Kaji tanda-tanda dehidrasi. 1. Intervensi lebih dini
2. Pantau Tanda-tanda vital, status 2. Sebagai indikator ke adekuatan
membran mukosa dan turgor kulit sirkulasi
3. Pantau tekanan darah atau denyut 3. Pengurangan dalam sirkulasi volume
jantung cairan dapat mengurangi tekanan
darah.
4. Palpasi denyut perifer 4. Denyut yang lemah dan mudah
hilang dapat menyebabkan
5. Berikan minum per oral sesuai hipovolemia.
toleransi. 5. Mempertahankan intake yang
6. Atur pemberian cairan infus sesuai adekuat
order. 6. Melakukan rehidrasi
7. Ukur semua cairan output (muntah,
urine, diare). 7. Mengatur keseimbangan antara
8. Ukur semua intake cairan. intake dan output
8. Mengetahui status nutrisi pasien,
Mengetahui keseimbangan nutrisi
pasien

DAFTAR PUSTAKA

Doenges Marilynn E, Rencana Asuhan Keperawatan (Pedoman Untuk Perencanaan dan


Pendokumentasian Perawatan Pasien), Edisi 3, Penerbit Buku Keoikteran EGC,
Tahun 2002, Hal ; 52 – 64 & 240 – 249.
Price, Sylvia A dan Lorraine M Wilson. (1995). Patofisiologi Konsep Kllinis Proses-proses
Penyakit. Edisi 4. Jakarta : EGC
http://id.scribd.com/doc/97328423/Asuhan-Keperawatan-HIV. diakses tanggal 7 april 2013
jam 3.13
http://id.scribd.com/doc/22745321/Hiv-Aids. diakses tanggal 7 april 2013 jam 3.13
http://id.scribd.com/doc/51505153/makalah-HIV-aids. diakses tanggal 7 april 2013 jam
3.15

Anda mungkin juga menyukai