Anda di halaman 1dari 7

Manajeman Retensio Urin Pasca Persalinan Pervaginam eJKI Vol. 8, No.

1, April 2020

Tinjauan Pustaka

Manajemen Retensio Urin Pasca Persalinan Pervaginam

Suskhan Djusad

Departemen Obstetri dan Ginekologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia –


RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta, Indonesia
*Penulis korespondensi: dsuskhan007@yahoo.co.id
Disetujui: 28 Maret 2020
DOI: 10.23886/ejki.8.11690.

Abstrak
Retensio urin pascapersalinan (RUPP) adalah ketidakmampuan berkemih spontan atau dapat
berkemih spontan 6 jam setelah persalinan dengan residu urin >200 mL. RUPP menimbulkan peregangan
kandung kemih berlebihan sehingga mengganggu persarafan dan atonia otot detrusor. Faktor risiko RUPP
adalah primipara, persalinan dengan alat, persalinan kala II lama, dan ruptur perineum luas. Gejala klinis
berupa buang air kecil (BAK) sedikit atau tidak dapat BAK. Manajemen RUPP dengan residu urin 200-500
mL dilakukan kateterisasi intermiten tiap 6 jam sampai residu urin <200 mL. Jika residu urin 500-1.000 mL
dilakukan dauer kateter 1x24 jam dan 6 jam kemudian pasien diminta berkemih spontan, 5 menit kemudian
diukur residu urin. Jika residu urin 1.000-2.000 mL, dipasang dauer kateter selama 2x24 jam dan buka tutup
kateter/4-6 jam selama 24 jam. Jika residu urin >2.000 mL, dauer kateter 3x24 jam dan bladder training
selama 24 jam. Enam jam kemudian diukur volume residu urin dan bila residu urin <200 mL maka volume
residu urin dikatakan normal. Pascapersalinan, tatalaksana dilakukan secara simultan dengan pemasangan
kateter diikuti pemberian prostaglandin, antibiotik, dan edukasi minum air 2-3 liter perhari. Perlu
pemeriksaan klinis yang baik pada pengawasan lama kala II, pengosongan kandung kemih dan tatalaksana
robekan jalan lahir.
Kata kunci: retensio urin, pascapersalinan, kateterisasi, pengosongan kandung kemih.

Post-Partum Urinary Retention Management

Abstract
Postpartum urinary retention (PPUR) is defined as inability to pass urine spontaneously or able to pass
urine spontaneously in 6 hours following delivery with residual urine volume of >200 ml. PPUR is causing
overdistention of bladder resulted in neurologic dysfunction and detrusor muscle atonia. Risk factor for
PPUR including primipara, assisted vaginal delivery, prolonged second stage of labor and extensive
perineal rupture. Clinical symptoms related to PPUR are decreasing urine volume or unable to urinate
spontanously. Management in PPUR with residual urine 200-500 ml is by intermitten catether every 6 hours
continued with spontaneously urinate and residual urine will be measured after 5 minutes. PPUR
management with residual urine 500-1000 ml is by applied dauer catheter 1x24 hours continued with
spontaneously urinate after 6 hours and residual urine also will be measured after 5 minutes. PPUR
management with residual urine 1000-2000 ml is by applied dauer catheter 2x24 hours, continued with
opening and closing catheter every 4-6 hours for 24 hours. If residual urine >2000 ml, dauer cathetetr will be
applied for 3x24 hours, continued with bladder training for 24 hours. Residual urine will be measured after 6
hours. The result is normal if residual urine <200 ml. PPUR management is done simultaneously with
catheter application, prostaglandin, antibiotics and hydration 2-3 L/day. Good clinical examination and
management during prolonged second stage of labor, bladder emptying and perineal ruptur management
are needed in preventing post partum urinary retention. Keywords: retention urinary, post partum,
catheterization, bladder emptying.
Pendahuluan dalam waktu 6 jam setelah persalinan
Retensio urin pascapersalinan (RUPP) dengan volume residu urin >200 mL. Di
adalah ketidakmampuan berkemih secara RSCM terdapat 26,7% kasus RUPP pada
spontan atau dapat berkemih spontan tahun 2003-2004.1 Jika tidak diketahui dan

71
Suskhan Djusad eJKI Vol. 8, No. 1, April 2020

tidak segera ditangani, RUPP dapat penurunan kontraktilitas kandung kemih,


menimbulkan dampak klinis seperti kontraksi detrusor yang buruk, kelainan
peregangan kandung kemih berlebihan anatomi, gangguan relaksasi outlet, atau
sehingga menyebabkan gangguan gangguan koordinasi neurologis proses
persarafan dan atonia otot detrusor yang berkemih.5 Patofisiologi pasti RUPP masih
akhirnya mengakibatkan gangguan belum dimengerti sepenuhnya dan
berkemih.2 memiliki mekanisme bervariasi.6
Diagnosis dini RUPP dapat dilakukan Elastisitas traktus urinarius meningkat
dengan mengetahui faktor risiko, gejala, selama kehamilan akibat perubahan
dan tanda klinisnya. Faktor risiko obstetri hormonal sehingga menurunkan tonus otot
RUPP adalah primipara, kelahiran dengan polos. Mulai bulan ketiga kehamilan, tonus
ekstraksi vakum atau forsep, persalinan otot kandung kemih menurun dan
kala II lama, dan ruptur perineum yang kapasitasnya meningkat secara perlahan.
luas. Gejala klinisnya adalah buang air Pasien pada umumnya mulai ingin
kecil sedikit atau tidak dapat buang air berkemih ketika kandung kemih terisi 250-
kecil. Untuk mengetahui volume urin pada 400 mL urin, maksimal 1.000-12.000 mL
persalinan kala III digunakan kateterisasi pada posisi terlentang. Ketika pasien
setelah bayi lahir dan sebelum plasenta berdiri, uterus yang membesar
lahir.3 meningkatkan tekanan kandung kemih
Jika retensio urin dapat diprediksi, sehingga menggandakan tekanan di
maka dapat dilakukan terapi lebih cepat kandung kemih mulai pada minggu ke-38
dan tepat untuk menurunkan morbiditas kehamilan. Hal tersebut menunjukkan
dan mortalitas serta menghemat biaya penurunan kapasitas kandung kemih yang
berobat. Berdasarkan hal tersebut akan hilang saat bayi dilahirkan. Tanpa
diperlukan cara deteksi dini RUPP untuk beban uterus yang membatasi
mencegah komplikasi dan keterlambatan kapasitasnya, kandung kemih
tata laksana. pascapersalinan menjadi hipotoni selama
beberapa hari atau minggu serta kurang
Retensio Urin Pasca-Persalinan sensitif terhadap tekanan intravesikal dan
Retensio urin dibagi dua yakni retensio pengisian yang cepat. Hal itu akan
urin akut dan kronik. Dikatakan RUPP akut bertahan selama beberapa hari hingga
jika pasien tidak mampu mengeluarkan minggu.7
urin lebih dari 24 jam secara mendadak
tanpa rasa nyeri dan memerlukan Patofisiologi RUPP
kateterisasi yang hasilnya paling sedikit Patofisiologi RUPP dibagi dua yaitu
50% dari kapasitas sistometri maksimum. perubahan hormon dan respons kontraktil
Retensio urin kronik adalah kegagalan kandung kemih serta trauma persarafan
pengosongan kandung kemih dan memiliki kandung kemih.
volume residu urin >50% kapasitas
sistometri maksimum.4 Hormon dan Respons Kontraktil
Satu episode distensi berlebihan di Kandung Kemih
kandung kemih pascapersalinan, jika tidak Kandung kemih adalah organ yang
diprediksi dan ditata laksana secara dini, responsif terhadap hormon dan fungsinya
dapat mengakibatkan retensio urin berfluktuasi bergantung pada kadar
persisten dan kerusakan permanen otot hormon selama hamil dan periode
detrusor dengan risiko tinggi infeksi traktus pascapersalinan. Kehamilan menurunkan
urinarius dan kesulitan berkemih persisten. respons dasar kandung kemih dan uretra
terhadap stimulasi alfa adrenergik.
Pengaruh Kehamilan dan Persalinan Penurunan efek muskarinik di bagian
terhadap Retensio Urin Pasca- badan kandung kemih berbanding lurus
Persalinan dengan peningkatan risiko retensio urin
Retensio urin merupakan akibat dari yang berhubungan secara klinis dengan
satu atau lebih mekanisme yaitu kehamilan. Setelah uterus yang membesar
keluar dari pelvis, uterus menekan ureter

72
Manajeman Retensio Urin Pasca Persalinan Pervaginam eJKI Vol. 8, No. 1, April 2020

dan meningkatkan tonus intraureteral di Faktor Risiko


bagian atasnya. Dilatasi ureter lebih besar Faktor risiko obstetrik RUPP adalah
di bagian kanan pada 86% ibu. primipara, ruptur perineum, persalinan
Progesteron juga memiliki efek terhadap dengan alat seperti vakum dan forsep,
dilatasi ureter.8 serta persalinan kala II yang lama.
Penggunaan analgesia epidural tidak
Trauma Persarafan Kandung Kemih ditemukan secara bermakna
Lesi di sistem saraf mengganggu menyebabkan retensio urin.
pengosongan kandung kemih yang Primipara dapat meningkatkan risiko
bergantung pada tingkat kerusakannya. RUPP dengan OR 2,36. Artinya, kelompok
RUPP terjadi ketika terdapat lesi primipara 2,36 kali lipat lebih berisiko
neurologis di bawah refleks spinal atau di retensio urin dibandingkan kelompok
bawah level nervus sakral yang multipara.
menyebabkan kandung Trauma perineum menyebabkan
kemih sulit berkontraksi atau hipotoni. 8 retensio urin dengan mengganggu proses
Nervus pudendus dengan cabang relaksasi uretra.9 Carley et al10 melaporkan
saraf aferen (S2-4) yang mempersarafi persalinan per vaginam menggunakan alat
kandung kemih mengalami kerusakan adalah faktor risiko independen yang
selama proses pembedahan pelvis dan bermakna untuk terjadinya retensio urin
persalinan per vaginam. Nervus aferen dengan OR 3,44. Retensio urin tersebut
yang mempersarafi saluran kemih bagian disebabkan ketidaksinergisan otot detrusor
bawah melewati nervus pelvis menuju dengan relaksasi sfingter uretra akibat
korda spinalis sakral. Saraf aferen memiliki nyeri dan edema di sekitar uretra, seperti
diameter serat yang kecil dan edema perineum dan kandung kemih.
berhubungan dengan reseptor tekanan di Durasi persalinan kala II merupakan
dinding kandung kemih. Jalur aferen otot faktor risiko yang sangat bermakna.
lurik sfingter dari uretra, yang menyalurkan Persalinan lebih dari 11 jam dan 40 menit
sensasi hangat, dingin, nyeri dan berhubungan dengan RUPP. Persarafan di
pengisian urin, berjalan di nervus jaringan lunak sekitar pelvis dipengaruhi
pudendus menuju korda spinalis sakrum oleh penekanan janin yang lama di dasar
(S2-4).8 panggul sehingga timbul edema atau
ketidakseimbangan otot detrusor akibat
RUPP per vaginam dapat disebabkan
neuropraksia.
trauma pelvis, hipogastrik, dan nervus
Efek analgesia epidural terhadap
pudendus. Lesi neurologis dan
gangguan fungsi kandung kemih
konsekuensinya bervariasi bergantung
pascapersalinan adalah kontroversial.
pada tingkatan trauma, apakah parsial
Pada systematic review, dibandingkan 6
atau total terhadap sistem saraf
penelitian untuk mengetahui angka
parasimpatik, simpatik, dan somatik.
kejadian retensio urin pada persalinan
Trauma saraf parasimpatik menyebabkan
dengan analgesia epidural dan yang tidak.
hipokontraksi atau ketidakmampuan
Pada dua penelitian yang mendefinisikan
kontraksi sama sekali yang disertai
retensio urin yang bergejala dan
penurunan sensasi kandung kemih.
membutuhkan tatalaksana, angka kejadian
Trauma saraf simpatik menurunkan
RUPP adalah 2,7-4% pada pasien dengan
kemampuan kandung kemih dan
epidural, dibandingkan dengan 0,1-1%
peningkatan tekanan serta kapasitas
pada grup yang tidak. Pada 4 penelitian
kandung kemih karena denervasi beta-
lain, angka kejadian RUPP asimtomatik
adrenergik.8 Persalinan pervaginam
(residu urin 100-150 mL) 4-50%. Dua dari
terutama primipara berhubungan dengan
penelitian tersebut berhubungan dengan
peregangan dasar panggul dan kerusakan
anestesi epidural, sedangkan dua lainnya
nervus pudendus sesaat setelah
tidak. Perbedaan tersebut dapat
persalinan per vaginam namun kembali
disebabkan oleh dosis obat anestesi yang
normal setelah 3 bulan.
digunakan lebih rendah atau perubahan
pada praktik obstetri yaitu memiliki faktor

73
Suskhan Djusad eJKI Vol. 8, No. 1, April 2020

risiko lain seperti primipara dan atau pasien yang membutuhkan kateterisasi,
persalinan seksio sesaria.7,11 direkomendasikan antibiotik profilaksis
untuk menurunkan kemungkinan infeksi
Diagnosis saluran kemih. Antibiotik profilaksis yang
Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik diperbolehkan adalah nitrofurantoin,
Gejala gangguan berkemih adalah ampisilin, atau
hesitansi (menunggu untuk memulai buang trimetroprimsulfametoksazol.11 Efek
air kecil), kesulitan mengeluarkan urin, berbahaya RUPP terhadap kandung kemih
pancaran lemah atau intermiten, berawal dari volume residu urin 500-800
mengedan saat berkemih, dan merasa mL sehingga perlu deteksi awal RUPP,
tidak lampias setelah berkemih. terutama pada pasien RUPP tipe kovert
Sensitivitas dan spesifisitas gejala klinis dengan mengukur volume residu urin
dalam prediksi retensio urin hanya 41,7% dengan ultrasonografi (USG) atau
dan 99,5%. Tidak ada perbedaan kateter. 15

bermakna pada volume residu urin pada


pasien yang bergejala klinis dan pasien Ultrasonografi
asimtomatik. Gejala retensio urin antara Saat ini USG translabial/perineal
lain kesulitan dalam berkemih dan nyeri menjadi lebih populer dalam menilai
buang air kecil yang spesifik (92,3%) untuk pasien dengan gejala disfungsi dasar
retensio urin namun nilai sensitivitasnya panggul. Penggunaan USG translabial
rendah (30,6%).12 Pada pemeriksaan atau perineal semakin meningkat untuk
RUPP, terdapat sensasi nyeri saat mengevaluasi pasien inkontinensia dan
kandung kemih ditekan atau diraba prolaps, karena tidak invasif, tidak mahal,
sedangkan pada pemeriksaan abdomen tidak sakit, dan
dan bimanual teraba kandung kemih yang tidak mengandung sinar radiasi. 16
membesar.13 Portable bladder scan adalah alat
yang menggunakan metode ultrasound
Kateterisasi non-invasif yang memberikan gambaran
Jika pasien memiliki gejala dan tanda 3D kandung kemih dan volume urin yang
yang mengarah ke retensio urin, perlu tersisa. Bladder scan sering digunakan
dilakukan pengukuran volume residu urin, pada perawatan fase akut, perawatan
salah satunya menggunakan kateter. jangka panjang, dan rehabilitasi. Tanpa
Pasien diprediksi retensio urin jika volume bladder scan, sisa urin diukur dengan
residu urin >200 mL pada kasus obstetri.14 kateterisasi yang berpotensi meningkatkan
Pada pasien rawat inap, infeksi.17
direkomendasikan kateterisasi intermiten Portable bladder scan terdiri atas dua
4-6 jam sampai pasien dapat berkemih bagian utama, transduser yang mudah
spontan hingga volume residu urin <150 dipegang dan unit dasar dengan layar
mL. Jika pasien tidak dapat berkemih tampil. Transduser diletakkan di area
hingga waktu kepulangan dari rumah sakit, abdomen yang telah diberikan gel
strategi berikutnya adalah mengajarkannya konduksi dan diarahkan ke kandung
kateterisasi mandiri secara intermiten di kemih. Ketika transduser menyentuh kulit
rumah hingga volume residu urin <150 abdomen, layar LCD unit dasar akan
mL.11 memberikan gambaran kandung kemih
Kateterisasi berhubungan dengan yang sedang diperiksa. Alat tersebut
peningkatan risiko bakteriuria, sistitis, secara automatis menampilkan gambar 2
pielonefritis dan septikemia bakteri gram dimensi dan dapat menghitung volume
negatif. Kejadian infeksi saluran kemih kandung kemih yang tertera di layar. Alat
meningkat pada penggunaan kateter model terbaru dapat menampilkan
dengan prevalensi 3-33%. Kateterisasi gambaran 3 dimensi. 17

juga berhubungan dengan Keuntungan bladder scan adalah non-


ketidaknyamanan maternal, infeksi, iritasi invasif, aman serta terhindar dari trauma
mukosa, dan perlukaan uretra. Pada saluran kemih dan risiko infeksi akibat
pemasangan kateter. Bladder scan dapat

74
Manajeman Retensio Urin Pasca Persalinan Pervaginam eJKI Vol. 8, No. 1, April 2020

digunakan pada kasus gangguan frekuensi diagnostik yang baik sehingga alat
berkemih, penurunan jumlah urin yang tersebut menjadi modalitas diagnostik
keluar, distensi kandung kemih, yang pertama digunakan pada pasien
ketidakmampuan berkemih setelah uroginekologi.19 Komplikasi Retensio
pelepasan kateter, dan fase awal program Urin Pasca-Persalinan
kateterisasi intermiten. Keterbatasan Komplikasi RUPP kandung kemih
portable bladder scan adalah tidak dapat dimulai pada volume residu urin 500-800
digunakan pada pasien hamil, pasien mL. Deteksi dini retensio urin sangat
dengan kista organ pelvis, pasien yang penting karena mengakibatkan kerusakan
membutuhkan dialisis peritoneal dan permanen akibat peregangan kandung
augmentasi kandung kemih.17 kemih berlebihan. Peregangan berlebih
kandung kemih dapat menimbulkan RUPP
Uroflowmetri persisten dan kerusakan irreversible
Uroflowmetri menilai fungsi berkemih terhadap otot detrusor dengan infeksi
dengan mengukur volume urin yang traktus urinarius berulang dan gangguan
dikeluarkan dan interval waktu yang berkemih persisten. Pada RUPP sisa urin
dibutuhkan untuk mendeteksi abnormalitas dapat menyebabkan sistitis, ruptur
anatomi atau fungsi berkemih. Gangguan kandung kemih spontan, uremia dan
berkemih obstruktif akibat kelainan sepsis.13
anatomi jarang ditemukan dan biasanya
ditandai dengan aliran yang rendah dan Pencegahan Retensio Urin Pasca-
interval berkemih memanjang. Pola Persalinan
tersebut dapat dilihat pada pasien dengan Pada pasien yang tidak dapat
kontraksi detrusor yang buruk saat berkemih spontan dalam 6 jam pasca
berkemih. Gangguan berkemih obstruktif persalinan, pemeriksaan USG atau kateter
akibat gangguan fungsional dapat terjadi dapat mengidentifikasi RUPP secara dini.
pada infeksi traktus urinarius berulang, Pengukuran volume urin residu
spasme uretra, atau disinergia sfingter menggunakan USG cukup akurat dan
detrusor.18 dapat digunakan sebagai panduan apakah
Uroflowmetri merupakan alat skrining kateterisasi transuretral penting untuk
paling penting, mudah dan tidak invasif. dilakukan.
Pengukurannya perlu dilakukan dua kali Edukasi kateterisasi intermiten yang
karena pengukuran tunggal tidak dapat berkesinambungan pascapersalinan
untuk mengambil kesimpulan. Kecepatan hingga residu urin <150 mL sangat
aliran di bawah 15 mL/detik untuk volume penting. Selain itu, pada pasien yang tidak
lebih dari 150 mL mengindikasikan mampu berkemih 6 jam pascapersalinan
gangguan berkemih yang akan menjadi perlu dievaluasi volume kandung kemih
awal mula retensio urin. Dapat terjadi dengan USG atau kateterisasi untuk
obstruksi berkemih walaupun flowmetri mengidentifikasi apakah diperlukan
normal karena kandung kemih memiliki penatalaksanaan lebih lanjut.
kemampuan berkompensasi melalui Pencegahan RUPP perlu dilakukan
peningkatan kekuatan kontraksi yang pada pasien yang memiliki faktor risiko
berhubungan dengan peningkatan tekanan yaitu primipara, robekan jalan lahir luas,
saat berkemih.19 persalinan menggunakan alat, dan
Ketika mendiagnosis kesulitan persalinan kala II lama. Pencegahan
berkemih pada perempuan, dapat tersebut dilakukan dengan pemasangan
diidentifikasi puncak aliran <15 mL/detik kateter folley selama 24 jam setelah
dan atau residu urin >50 mL dengan persalinan per vaginam. Setelah kateter
kapasitas minimal kandung kemih 150 mL dilepas, volume urin residu diukur 6 jam
sebelum berkemih dan untuk aliran urin kemudian dan pasien harus minum air
maksimal yang terletak pada 10th centil di putih 100 mL/jam atau 2-3 L/hari. Jika
kurva nomogram Liverpool. Uroflowmetri residu urinnya <200 mL maka pasien
memiliki spesifisitas yang baik, negative dikatakan normal, namun jika >200 mL,
predictive value yang tinggi, dan kapasitas

RetensioUrin
75

Kateterisasi
Urin<500ml Urin 500 -1000 ml Urin 1000 -2000 ml Urin>2000ml

Suskhan Djusad eJKI Vol. 8, No. 1, April 2020


Intermiten Dauer Kateter Dauer Kateter Dauer Kateter
(kateterisasi 1x24 jam 2x24 jam 3x24 jam
maka dilakukan tatalaksana
tiap 6 jam retensio urin
selama 24 jam)
menyebabkan kontraksi otot detrusor dan
sesuai protokol. relaksasi bladder outlet melalui sistem
sarafBukasimpatik pada
-tutupkateter/6 jam detrusor dan outlet
Selama 24 jam (kecualidapat BAK)
Manajemen Retensio Urin Pasca dengan efek relaksasi langsung pada
Persalinan Kateterisasi outlet.
Di RSCM, manajemen RUPP yang Kateterdilepaspagihari
digunakan tertera pada Gambar 1. Pada Pemberian Cairan
pasien dengan residu urin 200-500 mL Pasien perlu diberikan minum 2-3 L/24
dilakukan tatalaksana kateterisasi jam atau 100 mL/jam untuk mencegah
intermiten tiap 6 jam sampai residu Spontan kolonisasi bakteri.
urin
Dapat BAK Pascapersalinan
Tidakdapat BAK per
kurang dari 200 mL. Apabila residu urin vaginam, tatalaksana dilakukan secara
sekitar 500-1.000 mL, dilakukan proses simultan dengan pemasangan kateter
dauer kateter 1x24 jam> 200dan
Urinresidu 6 )jam
mL (obstetri
yang Urinresidu<
diikuti 200mlpemberian
(obstetri)
prostaglandin,
kemudian pasienUrinresidu>
diminta berkemih
100mL (ginekologi) antibiotik, dan edukasi
Urinresidu< minum air putih 2-3
100ml (ginekologi)
spontan, 5 menit kemudian diukur residu liter perhari untuk menurunkan koloni
urin. Jika volume residu urin <200 mL, bakteri, pemeriksaan urinalisis dan kultur
maka dikatakan normal.3 urin. Pulang

Jika pasien memiliki residu urin 1.000-


2.000 mL, dipasang dauer kateter Gambarselama Penutup
1. Manajemen Retensio Urin di RSCM
3

2x24 jam dan buka tutup kateter/4-6 jam Penolong persalinan perlu melakukan
(bladder training) selama 24 jam. Enam pengawasan proses persalinan dengan
jam kemudian setelah lepas kateter, diukur baik untuk memprediksi retensio urin.
volume residu urin. Dikatakan normal jika Perlu dilakukan observasi dan
volume <200 mL, tetapi jika residu urin pemeriksaan klinis yang baik pada setiap
>2.000 mL, dilakukan proses dauer kateter tahap penilaian retensio urin yaitu pada
3x24 jam dengan bladder training selama pengawasan lama kala II, pengosongan
24 jam. Enam jam kemudian diukur kandung kemih untuk mengukur urin pada
volume residu urin dan bila didapat volume kala III dan tatalaksana robekan jalan lahir.
residu urin <200 mL untuk kasus obstetrik,
maka volume residu urin dikatakan normal Daftar Pustaka
1. Dewi I. Korelasi kateter dan ultrasonografi
dan pasien boleh pulang.3
transabdominal untuk mengukur volume
Pada penatalaksanaan retensio urin di kandung kemih dan urin sisa wanita post
RSCM klasifikasi urin adalah <500 mL, partum [tesis]. Jakarta: Universitas
500-1.000 mL, 1.000-2.000 mL dan >2.000 Indonesia; 2004.
mL. Volume tersebut merupakan 2. Buchanan J, Beckmann M. Postpartum
modifikasi dari penelitian sebelumnya yang voiding dysfunction: identifying the risk
menyatakan bahwa kateterisasi harus factors. Aust NZJ Obstet Gynaecol.
mulai dilakukan sejak volume residu urin 2014;54:41-5.
400-800 mL untuk menghindari 3. Djusad S. Penatalaksanaan retensio urin
kelumpuhan kandung kemih ketika volume pascabedah. Dalam: Junizaf, editor. Buku
urin >1.000 mL.3 ajar Uroginekologi. Jakarta: Subbagian
Uroginekologi-Rekonstruksi Bagian
Obstetri dan Ginekologi; 2002.p.63.
Terapi Medikamentosa
4. Cavkaytar S, Kokanali MK, Baylas A,
Manajemen RUPP juga dapat dilakukan
Topcu HO, Laleli B, Tasci Y. Postpartum
menggunakan obat yang berfungsi urinary retention after vaginal delivery:
meningkatkan kontraksi kandung kemih assessment of risk factors in a case-control
dan menurunkan resistensi uretra. Obat study. J Turk Ger Gynecol Assoc.
tersebut bekerja pada sistem saraf 2014;15(3):140-3.
parasimpatis misalnya betanekol, karbakol, 5. Mevcna A, Drake MJ. Etiology and
metakolin; pada sistem saraf simpatis management of urinary retention in women.
misalnya fenoksibenzamin dan pada otot Indian J Urol. 2010;26:230-5.
polos misalnya prostaglandin E2. 6. Glavind K, Bjork J. Incidence and treatment
Efek prostaglandin E1, E2, F1a dan F2a of urinary retention postpartum. Int
terhadap kandung kemih dan uretra adalah

76
Manajeman Retensio Urin Pasca Persalinan Pervaginam eJKI Vol. 8, No. 1, April 2020

Urogynecol J Pelvic Floor Dysfunct.


2003;14:119-21.
7. Rizvi RM. Management of postpartum
urinary retention. Gynaecology and
Perinatal Practice. 2006;6:140-4.
8. Yip S, Sahota D, Pang M, Chang A.
Postpartum urinary retention. Acta Obstet
Gynecol Scand. 2004;83:881-91.
9. Chaurasia A, Tyagi K. Persistent
postpartum urinary retention following
vaginal delivery: a rare complication in
obstetrics practice. Int J Reprod Contracept
Obstet Gynecol. 2013;2(3):475-7.
10. Carley M, Carley J, Vasdev G, Lesnick T,
Webb M, Ramin K, et al. Factors that are
associated with clinically overt postpartum
urinary retention after vaginal delivery. Am
J Obstet Gynecol. 2002;187:430-3.
11. Yip SK, Sahota D, Pang MW, Day L.
Postpartum urinary retention. Obstetrics &
gynecology. 2005;106:602-6.
12. Kekre A, Vijayanand S, Dasgupta R, Kekre
N. Postpartum urinary retention after
vaginal delivery. Int J Gynaecol Obstet.
2011;112(2):112-5.
13. Mulder FE, Hakvoort RA, Schoffelmeer MA,
Limpens J, Van der Post JA, Roovers JP.
Postpartum urinary retention: a systematic
review of adverse effects and
management. Int Urogynecol J. 2014.
14. Pifarotti P, Gargasole C, Folcini C, Gattei
U, Nieddu E, Sofi G, et al. Acute post-
partum urinary retention: analysis of risk
factors, a case-control study. Archives of
gynecology and obstetrics.
2014;289(6):1249-53.
15. Rizvi RM, Khan ZS, Khan Z. Diagnosis and
management of postpartum urinary
retention. Int J Gynaecol Obstet.
2005;91:71-2.
16. Dietz H, Velez D, Shek K, Martin A.
Determination of postvoid residual by
translabial ultrasound. Int Urogynecol J.
2012;23:1749-52.
17. Health Quality O. Portable bladder
ultrasound: an evidence-based analysis.
Ont Health Technol Assess Ser. 2006;6:1-
51.
18. Jundt K, Peschers U, Kentenich H. The
investigation and treatment of female pelvic
floor dysfunction. Dtsch Arztebl Int.
2015;112:564–74. doi:10.3238/
arztebl.2015.0564
19. Majumdar A, Toozs-Hobson P. Non-
neurogenic voiding difficulty and retention.
Dalam: Cardozo L, Starskin D, editors.
Textbook of female urology and
urogynaecology. USA;2006.p.583-92.

77

Anda mungkin juga menyukai