705 - 717
Mujiwati
Alumni Program Studi Magister Ilmu Hukum
Pascasarjana Universitas Islam Bandung
Email : muji.wati1974@gmail.com
Abstrak : Bidan dalam menjalankan praktiknya harus sesuai dengan standar, baik standar
pelayanan, standar profesi, dan standar operasional prosedur. Akan tetapi dalam praktiknya
terkadang bidan menerima pelimpahan tindakan dari dokter dalam menangani pasiennya,
dalam hal terjadinya kerugian terhadap pasien maka diperlukan peraturan yang jelas dalam
akibat hukumnya. Atas dasar latar belakang diatas maka yang menjadi persoalan yaitu
bagaimana pelimpahan kewenangan tindakan kebidanan dihubungkan dengan standar profesi
dalam bidang Kesehatan serta bagaimana perlindungan hukum bagi yang menerima
pelimpahan kewenangan tindakan kebidanan dihubungkan dengan standar profesi dalam
bidang Kesehatan. Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif, spesifikasi
penelitian bersifat deskriptif analisis, Teknik pengumpulan data melalui studi kepustakaan.
Hasil penelitian menunjukan bahwa adanya kekosongan norma mengenai pelimpahan
kewenangan tindakan kebidanan terkait tindakan apa saja yang dapat dilimpahkan sehingga
bidan belum memiliki perlindungan hukum secara jelas. Jika sesuai SOP Bidan tidak dapat
dimintakan pertanggungjawabannya Ketika kecuali terbukti bahwa bidan melakukan tindakan
yang menyebabkan pasien cacat sampai meninggal dunia dapat dimintakan
pertanggungjawaban baik melalui hukum administrasi, perdata maupun pidana.
Abstract: In practice, midwives must comply with standards, both service standards,
professional standards, and standard operating procedures. However, in practice, sometimes
midwives receive a delegation of actions from doctors in treating their patients, in the event
of a loss to the patient, clear regulations are needed in terms of legal consequences. Based on
the above background, the problem is how the delegation of authority for midwifery action is
related to professional standards in the health sector and how legal protection for those who
receive the delegation of authority for midwifery action is related to professional standards
in the health sector. This study uses a normative juridical approach, the research
specification is descriptive analysis. The technique of collecting data is through literature
study. The results showed that there was a vacuum in the norm regarding the delegation of
authority for midwifery actions related to what actions could be delegated so that midwives
did not have clear legal protection. If it is by the SOP, the midwife cannot be held
accountable. When unless it is proven that the midwife has committed an act that causes a
patient to become disabled to death, she can be held accountable through administrative,
civil, and criminal law.
706
Mujiwati, Perlindungan Hukum Terhadap Bidan Yang Menerima Pelimpahan Kewenangan Tindakan
Kebidanan
707
Mujiwati, Perlindungan Hukum Terhadap Bidan Yang Menerima Pelimpahan Kewenangan Tindakan
Kebidanan
708
Mujiwati, Perlindungan Hukum Terhadap Bidan Yang Menerima Pelimpahan Kewenangan Tindakan
Kebidanan
709
Mujiwati, Perlindungan Hukum Terhadap Bidan Yang Menerima Pelimpahan Kewenangan Tindakan
Kebidanan
Praktek Bidan, kewenangan yang dimiliki bekerja di rumah sakit harus bekerja
bidan dalam memberikan pelayanan sesuai dengan standar profesi, standar
kesehatan terdiri dari pelayanan pelayanan rumah sakit, standar prosedur
kesehatan ibu, pelayanan kesehatan anak operasional yang berlaku, etika profesi,
dan pelayanan kesehatan reproduksi menghormati hak pasien dan
perempuan dan keluarga berencana. mengutamakan keselamatan pasien”. Jadi
Seorang bidan dalam menjalankan tenaga kesehatan dalam melakukan
kewenangan harus sesuai standar profesi, pelayanan medis harus bekerja secara
memiliki keterampilan dan kemampuan maksimal dalam mengobati penyakit
untuk melakukan tindakan yang yang di derita oleh pasien dan juga selalu
dilakukan dan mengutamakan kesehatan mengutamakan keselamatan pasien
ibu dan bayi atau janin. (patient safety) yang sedang melakukan
Berdasarkan uraian diatas mengenai pengobatan tersebut.
Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Keputusan Menteri No.
tentang rumah sakit, penulis 496/Menkes/SK/IV/2005 tentang
menyimpulkan bahwa yang Pedoman Audit Medis di Rumah Sakit,
dimaksudkan dengan rumah sakit adalah yang tujuan utamanya adalah untuk
institusi pelayanan kesehatan yang tercapainya pelayanan medis prima di
menyelenggarakan pelayanan kesehatan rumah sakit yang jauh dari medical error
perorangan secara paripurna yang dan memberikan keselamatan bagi
menyediakan pelayanan rawat inap, rawat pasien. Perkembangan ini diikuti oleh
jalan, dan gawat darurat. Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh
Perlindungan terhadap keselamatan Indonesia (PERSI) yang berinisiatif
pasien (patient safety) tidak hanya melakukan pertemuan dan mengajak
dilakukan oleh pihak rumah sakit saja, semua stakeholder rumah sakit untuk
tetapi tenaga kesehatan yang bekerja di lebih memperhatikan keselamatan pasien
rumah sakit pun ikut berperan melindungi (patient safety) di rumah sakit.
keselamatan pasien (patient safety). Hal Hal ini yang menjadi awal mula
tersebut telah diatur di dalam Pasal 13 kesadaran akan keselamatan pasien
Ayat (3) UU No. 44 Tahun 2009 yang (patient safety) mulai terbentuk dan
berbunyi “Setiap tenaga kesehatan yang disadari juga bahwa keselamatan pasien
710
Mujiwati, Perlindungan Hukum Terhadap Bidan Yang Menerima Pelimpahan Kewenangan Tindakan
Kebidanan
711
Mujiwati, Perlindungan Hukum Terhadap Bidan Yang Menerima Pelimpahan Kewenangan Tindakan
Kebidanan
Oleh Bidan dan Perawat, Jurnal Kertha b. Memperoleh informasi yang benar,
Wicara Vol. 9 No. 7 Tahun 2020 :4.) jelas, jujur, dan lengkap dari klien
Menurut Satjipto Raharjo, dan/atau keluarganya;
perlindungan hukum adalah memberikan c. Menolak keinginan klien atau pihak
pengayoman terhadap Hak Asasi lain yang bertentangan dengan kode
Manusia ( HAM ) yang dirugikan orang etik, standar profesi, standar
lain dan perlindungan itu diberikan pelayanan, standar prosedur
kepada masyarakat agar dapat menikmati operasional, dan ketentuan peraturan
semua hak-hak yang diberikan oleh perUndang-Undangan;
hukum. Hukum dapat difungsikan untuk d. Menerima imbalan jasa atas
mewujudkan perlindungan yang sifatnya Pelayanan Kebidanan yang telah
tidak sekedar adaptif dan fleksibel, diberikan;
melainkan juga prediktif dan antisipatif. e. Memperoleh fasilitas kerja sesuai
Hukum dibutuhkan untuk mereka yang dengan standar; dan
lemah dan belum kuat secara sosial, f. Mendapatkan kesempatan untuk
ekonomi dan politik untuk memperoleh mengembangkan profesi.
keadilan sosial. (Satjipto Raharjo, 2000 : Pembuktian tentang ada atau
53) tidaknya kesalahan/kelalaian yang telah
Adapun perlindungan hukum bagi dilakukan oleh bidan merupakan syarat
bidan terdapat dalam Pasal 60 Undang- utama untuk mepertanggungjawabkan
Undang tentang kebidanan yaitu : Bidan pelayanan kesehatan yang dilakukannya.
dalam melaksanakan Praktik Kebidanan Doktrin Res Ispa Loquitor (the thing
berhak: spekas for it self) dengan mudah dapat
a. Memperoleh pelindungan hukum membuktikan tentang adanya kesalahan
sepanjang melaksanakan tugas sesuai yang dilakukan oleh bidan.
dengan kompetensi, kewenangan, dan Penegakkan tindak pidana
mematuhi kode etik, standar profesi, malpraktek dalam pelayanan kesehatan
standar pelayanan profesi, dan standar masih menggunakan ketentuan-ketentuan
prosedur operasional; yang diatur dalam Undang-Undang
Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran, Undang-Undang Nomor 44
712
Mujiwati, Perlindungan Hukum Terhadap Bidan Yang Menerima Pelimpahan Kewenangan Tindakan
Kebidanan
713
Mujiwati, Perlindungan Hukum Terhadap Bidan Yang Menerima Pelimpahan Kewenangan Tindakan
Kebidanan
714
Mujiwati, Perlindungan Hukum Terhadap Bidan Yang Menerima Pelimpahan Kewenangan Tindakan
Kebidanan
715
Mujiwati, Perlindungan Hukum Terhadap Bidan Yang Menerima Pelimpahan Kewenangan Tindakan
Kebidanan
716
Mujiwati, Perlindungan Hukum Terhadap Bidan Yang Menerima Pelimpahan Kewenangan Tindakan
Kebidanan
717