Menurut teori behavioristik, belajar adalah perubahan tingkah laku sebagai akibat dari
adanya interaksi antara stimulus dan respon. Dengan kata lain, belajar merupakan bentuk
perubahan yang dialami siswa dalam hal kemmapuannya untuk bertingkah laku dengan
cara yang baru sebagi hasil interaksi antara stimulus dan respon. Seseorang dianggap telah
belajar sesuatu jika individu dapat menunjukkan perubahan tingkah lakunya. Sebagai
contoh, anak yang belum dapat berhitung perkalian, walaupun sudah belajar dengan giat
dan guru sudah mengajarkan dengan baik, namun jika ia belum dapat mempraktekkan,
maka ia dianggap belum dapat menunjukkan perubahan perilaku sebagai hasil belajar.
Menurut teori ini masukan atau input itu berupa stimulus dan keluaran atau output yang
berupa respon. Dalam contoh diatas, stimulus adalah apa saja yang diberikan guru kepada
siswa misalnya: daftar perkalian, alat peraga, pedoman kerja, atau cara-cara tertentu untuk
membantu belajar siswa, sedangkan respon adalah reaksi atau tanggapan siswa terhadap
stimulus yang diberikan oleh guru tersebut. Menurut teori behavioristik, apa yang terjadi di
antara stimulus dan respon dianggap tidak penting diperhatikan karena tidak dapat diamati
dan tidak dapat diukur. Yang dapat diamati hanyalah stimulus dan respon. Oleh sebab itu,
apa saja yang diberikan oleh guru (stimulus), dan apa saja yang dihasilkan siswa (respon),
semuanya harus dapat diamati dan diukur. Teori ini mengutamakan pengukuran, sebab
pengukuran merupakan suatu hal yang penting untuk melihat terjadi tidaknya perubahan
tingkah laku tersebut.
Untuk memahami bagaiman teori belajar menurut aliran behavioristik, berikut ini ada
beberapa dikemukakan tokoh-tokoh yang memperkenalkannya
Thorndike memandang sebuah pembelajaran sebagai proses coba dan salah (trial and
eror). Belajar coba dan salah itu berawal dari kebutuhan, masalah, tujuan, atau
ketidaknyamanan menganggu akuilibrium makhluk. Makhluk itu kemudian memberi respon
terhadap situasi baru dan dari hasil percobaan diharapkan bertemu dengan kebutuhannya
atau memecahkan masalah dan mencapai tujuan. Kendala yang ditemui merupakan
hambatan kemajuan untuk mencapai tujuan terintegrasi. Gabungan antara respon yang
dibangun dengan stimulus yang memotivasi itulah yang oleh Thorndike dirujuk sebagai
koneksi (connection).
Percobaannya menempatkan kucing lapar, di dalam kandang dan di luar kandang dengan
meletak ikan salmon. Untuk mendapatkan ikan salmon kucing harus membuka kadang.
Kandang tersebut dapat dibuka bila klep di dekat pintu dakang tersentuh. Pertama kucing
mengeong dan menggigit sampai percobaan kle 60 baru kucing menginjak klep tanpa
sengaja dan pintu kadang terbuka. Setelah sampai 100 kali percobaan baru kucing dengan
sengaja menginjakn klep untuk mengarahkan ikan salmon.
Tingkah laku kucing ini tidak mendapat ide bagi Thorndike ketika kucing membuka pintu. Dia
percaya bahwa pemahaman hewan sangat jarang dan pembelajaran hewan sangat jarang
dan pembelajaran hewan mengharapkan respon yang sesuai dan ada yang tidak sesuai.
Thorndike tidak membantah pemahaman dan pandangan manusia, dia percaya bahwa pada
manusia pembelajaran itu terjadi jarang diperoleh secara teratur dan membentuk kebiasaan.
Hukum – hukum belajar Thorndike. Percobaan yang dilakukan oleh Thorndike terhadap
kucing dengan memberikan rangsangan dan memberikan tanggapan yang diberikan untuk
memperlihatkan perilaku belajar. Thorndike merumuskan tiga hukum dasar yang ada
dipercayainya mengatur belajar, baik pada manusia maupun binantang. Tiga hukum itu
adalah: kesiapan (law of readines), latihan (law of exerzise), dan pengaruh akibat (law of
effect).
Setelah tahun 1930, Thorndike memodifikasi hukum akibat/efek bahwa penghargaan bisa
membuat koneksitas dan hukuman tidak selalu melemahkan koneksitas. Teori koneksitas
Thorndike ini sedikitnya memiliki tiga pengaruh penting terhadap perkembangan kurikulum,
yaitu : (1) melalui hukum kesiapan dan pengaruh, teori ini memperhatikan pentingnya
motivasi dalam kesiapan belajar, (2) teori belajar Thorndike yang terdiri dari atas
pembentukan hubungan S – R menentang pandangan psikologi kecerdasan bahwa belajar
dapat dipindahkan secara umum dari satu situasi sekolah ke situasi kehidupan lain, dan (3)
bahwa Thorndike menekankan pada verifikasi ilmiah membuat aspek belajar dalam
kurikulum yang biasanya berada pada aspek spekulasi filosofis dan menjadi berada pada
bidang ilmiah empiris.
2. Ivan Pavlov
Ivan Pavlov memperkenalkan teori pengkondisian klasik. Pengkondisian klasik adalah tipe
pembelajaran dimana suatu organisme belajar untuk mengaitkan atau mengasosiasikan
stimuli. Dalam pengkondisian klasik, stimulus netral (seperti melihat seseorang)
diasosiasikan dengan stimulus yang bermakna (seperti makanan) untuk menimbulkan
kapasitas untuk mengeluarkan respon yang sama. Untuk memahami teori pengkondisian
klasik Pavlov (1927) kita harus memahami dua tipe stimulus dan dua tipe respon :
a. Unconditioned Stimulus (US), adalah sebuah stimulus yang secara otomatis
menghasilkan respons tanpa ada pembelajaran terlebih dahulu. Dalam eksperimen Pavlov,
makanan adalah US.
Pengkondisian klasik dapat berupa pengalaman negatif dan pengalaman positif dalam diri
anak di kelas. Di antara hal-hal di sekolah anak yang menghasilkan kesenangan karena
telah dikondisikan secara klasik dalah lagu favorit, perasaan bahwa kelas adalah tempat
yang aman dan menyenangklan dan kehangatan, serta perhatian guru. Misalnya lagu bisa
jadi hal netral bagi siswa sebelum siswa bergabung dengan siswa lain untuk menyanyikan
dengan diiringi oleh perasaan yang positif. Anak akan merasa takut di kelas jika mereka
mengasosiasikan kelas dengan teguran dan karenanya teguran atau kritik menjadi CS untuk
rasa takut.Pengkondisian klasik juga dapat terjadi dalam kecemasan menghadapi ujian.
Misalnya anak gagal dalam ujian dan ditegur. Hal ini menghasilkan kegelisahan setelah itu
anak mengasosiassikan ujian dengan kecemasan sehingga menjadi CS untuk kecemasan.
Generalisasikan dalam penkondisian klasik adalah tendensi dari stimulus baru yang sama
dengan CS yang asli untuk menghasilkan respon yang sama. Misalnya siswa dimarahi
karena ujiannya buruk. Saat siswa tersebut memulai ujian mata pelajaran lain, dia juga
menjadi gugup karena dua mata pelajaran itu misalnya saling berkaitan. Jadi, siswa
menggeneralisasikan satu ujian mata pelajaran dengan mata pelajaran yang lainnya.
Sedangkan deskriminasi dalam pengkondisian klasik terjadi ketika organisme merespon
stimulus tertentu tetapi tidak merespon stimulus lainnya. Kemudian pelenyapan dalam
pengkondisian klasik merupakan pelemahan CR karena tidak adanya US.
b. Desentralisasi sistematis
Menurut Gredler (1994) terdapat enam asumsi yang melandasi pengkondisian operan, yaitu:
c. Hubungan tingkah laku dan lingkungan hanya dapat ditentuikan kalau sifat-sifat tingkah
laku dan kondisi eksperimennya didefenisikan menurut fisiknya dan diobservasi di bawah
kondisi-kondisi yang dikontrol secara seksama.
d. Data dari studi eksperimental tingkah laku merupakan satu-satunya sumbar informasi
yang dapat diterima tentang penyebab terjadinya tingkah laku.
e. Tingkah laku organisme secara individual merupakan sumber data yang cocok.
f. Dinamika interaksi organisme dengan ,lingkungan itu sama untuk semua jenis makhluk
hidup.
Berdasarkan asumsi dasar tersebut menurut Skinner (dalam Santrock, 2008) unsur yang
terpenting dalam belajar adalah adanya penguatan (reinforcement) dan
hukuman (punishment). Penguatan (reinforcement) adalah konsekuensi yang meningkatkan
probabilitas bahwa suatu perilaku akan terjadi. Sebaliknya, hukuman (punishment) adalah
konsekuensi yang menurukan probabilitas terjadinya suatu probabilitas terjadinya suatu
perilaku.
Skinner membagi penguatan menjadi dua bagian, yaitu : (1) penguatan positif, adalah
penguatan berdasarkan prinsip bahwa frekuensi respon meningkat karena diikuti dengan
stimulus yang mendukung (rewarding). Bentu-bentuk penguatan positif adalah berupa
hadiah (permen, kado, makanan, dan lain-lain), perilaku (sneyum, mengganggukkan kepala
untuk menyetujui, bertepuk tangan, mengacungkan jempol), atau penghargaan (nilai A,
juara 1, dan sebagainya), (2) Penguatan negatif, adalah penguatan berdasarkan prinsip
bahwa frekuensi respon meningkat karena diikuti dengan penghilangan stimulus yang
merugikan (tidak menyenangkan). Bentuk-bentuk penguatan negatif antara lain :
menunda/tidak memberi perhargaan, memberikan tugas tambahan atau menunjukkan
perilaku tidak senang (menggeleng, kening berkerut, muka kecewa, dan lain-lain).
Satu cara untuk mengingat perbedaan antara penguatan positif dan penguatan negatif
adalah dalam penguatan positif ada sesuatu yang ditambahkan atau diperoleh, sedangkan
dalam penguatan negatif, ada sesuatu yang dikurangi atau dihilangkan. Perlu dibedakan
antara penguatan positif dan negatif dengan hukuman. Ingat bahwa penguatan negatif
meningkatkan probabilitas terjadinya suatu perilaku , sedangkan hukuman menurukan
probabilitas terjadinya perilaku. Berikut disajikan contoh dari konsep penguatan positif,
negatif, dan hukuman (Santrock, 2008).
Penguatan positif
Perilaku Konsekuensi Perilaku kedepan
a. Hasil belajar harus segera diberitahu kepada siswa, jika salah dibetulkan, jika benar
diberi penguatan.
f. Siswa yang melakukan tingkah laku yang diinginkan pendidik, diberi hadiah
4. Watson
Watson adalah seorang behavioris murni, karena kajian tentang belajar disejajarkan dengan
ilmu-ilmu lain seperti fisika atau biologi yang sangat berorientasi pada pengalaman empirik,
yaitu sejauh dapat diamati dan dapat diukur. Asumsinya bahwa, hanya dengan cara
demikianlah maka akan dapat diramalkan perubahan-perubahan apa yang bakal terjadi
setelah seseorang melakukan tindak belajar. Para tokoh aliran behavioristik cenderung
untuk tidak memperhatikan hal-hal yang tidak dapat diukur dan tidak dapat diamati, seperti
perubahan-perubahan mental yang terjadi ketika belajar, walaupun demikian mereka tetap
mengakui hal itu penting.
5. Clark Hull
6. Edwin Guthrie
a. Perilaku nyata dan terukur memiliki makna tersendiri, bukan sebagai perwujudan dari
jiwa atau mental yang abstrak.
b. Aspek mental dari kesadaran yang tidak memiliki bentuk fisik adalah pseudo
problem untuk science, harus dihindari.
f. Banyak ahli membagi behavioristik ke dalam dua periode, yaitu behavioristik awal dan
yang lebih belakangan.
Menurut Santrock (2008) penerapan teori behavioristik dalam pembelajaran terkait dengan
hal sebagai berikut :
1. Meningkatkan perilaku yang diharapkan
a. Memilih penguatan yang efektif. Tidak semua penguatan saam efeknya bagi semua
siswa. Oleh sebab itu, gunakan atau pilihlah penguatan yang efektif untuk diberikan kepada
siswa.
b. Menjadikan penguatan kontigen dan tepat waktu. Agar sebuah penguat dapat efektif,
guru harus memberikan hanya setelah siswa melakukan perilaku tertentu.
c. Memilih jadwal penguatan terbaik. Konsep jadwal penguatan parsial yang menekankan
kapan suatu respon akan diperkuat. Empat jadwal penguatan utama adalah rasio tetap,
rasio variabel, interval tetap, dan interval variabel.
a. Menggunakan penguatan diferensial. Guru memperkuat perilaku yang lebih tepat atau
tidak sesuai dengan apa yang dilakukan anak . misalnya guru mungkin lebih memperkuat
aktivitas belajar anak di komputer daripada bermain games atau memperkuat perilaku sopan
atau duduk tenang ketimbang berlarian di kelas.
c. Menghilangkan stimuli yang diinginkan. Dengan time out yaitu menghilangkan stimulus
yang diinginkan dengan menjauhkan penguatan positif dari siswa. Kemudian dengan
responecost, yaitu menjauhkan penguatan positif dari siswa dengan tidak memberikan
waktu istirahat.
Aplikasi teori belajar behavioristik dalam pembelajara juga meliputi :
d. Siswa yang diharapkan akan memiliki pemahaman yang sama terhadap pengetahuan
yang diajarkan. Artinya, apa yang dipahami oleh pengajar atau guru itulah yang harus
dipahami oleh peserta didik (Degeng, 2006).
e. Dalam prose belajar mengajar, siswa dianggap objek pasif yang selalu membutuhkan
motivasi dan pengetahuan dari pendidik. Oleh karena itu, para pendidik mengembangkan
kurikulum yang terstruktur dengan menggunakan standar-standar tertentu dalam proses
pembelajaranyang harus dicapai oleh para siswa.
f. Dalam proses evaluasi belajar, yang diukur hanya pada hal-hal yang nyata dan dapat
diamati sehingga hal-hal yang bersifat unobservable kurang dijangkau dalam proses
evaluasi.
A. RANGKUMAN
Thorndike merumuskan tiga hukum dasar yang ada dipercayainya mengatur belajar, baik
pada manusia maupun binantang. Tiga hukum itu adalah: kesiapan (law of readines),
latihan (law of exerzise), dan pengaruh akibat (law of effect).
Watson (dalam Santrock, 2008) menyatakan bahwa belajar adalah proses interaksi antara
stimulus dan respon, namun stimulus dan respon yang dimaksud harus berbentuk tingkah
laku yang dapat diamati (observable) dan dapat diukur. Dengan kata lain, walaupun ia
mengakui adanya perubahan-perubahan mental dalam diri seseorang selama proses
belajar.