STUDY ISLAM
“SHOLAT”
DOSEN PEMBIMBING
Bismillahirrahmanirahim
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Alhamdulillah was
sholatu was salamu ‘ala rasulillah wa ba’ad.
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang
Rumusan Masalah
Tujuan
PENUTUP
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Shalat merupakansalah satuibadah wajib bagi umat muslimdan
shalat merupakan sarana komunikasi antara seorang hamba dengan
Tuhan-Nya sebagai suatu bentuk ibadah yang di dalamnya
terdapatsebuah amalan yang tersusun dari beberapa ucapandan
perbuatan yang diawalidengan takbiratul ikhramdan diakhiri dengan
salam, dan dilakukan sesuai dengan syarat maupunrukun shalat yang
telah ditentukan.
B. Rumusan Masalah
Banyak kita temukan dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah tentang
keutamaan ibadah shalat. Akan tetapi, sungguh mengherankan ketika
kita jumpai kaum muslimin yang tidak mengetahui atau pura-pura tidak
tahu tentang keutamaan dan kedudukan ibadah shalat sehingga
melalaikannya. Bagi sebagian kaum muslimin, shalat adalah ibadah
yang paling tidak menarik, merepotkan, dan melelahkan. Jadilah mereka
tidak mendirikan shalat, tidak menyisihkan waktu untuk mendirikan
shalat, bahkan terkadang mengejek saudaranya yang perhatian dengan
shalat, atau menjadikan shalat sebagai bahan gurauan dan candaan.
A. Hakikat Sholat
Ibnul Qoyyim rahimahullah menguraikan hakikat shalat, “Tidak
dapat diragukan bahwa shalat merupakan perkara yang sangat
menggembirakan hati bagi orang-orang yang mencintainya dan
merupakan kenikmatan ruh bagi orang-orang yang mengesakan Allah,
puncak keadaaan orang-orang yang jujur dan parameter keadaan orang-
orang yang meniti jalan menuju kepada Allah. Shalat merupakan rahmat
Allah yang dianugerahkan kepada hamba-Nya, Allah memberi petunjuk
kepada mereka untuk bisa melaksanakannya dan memperkenalkannya
sebagai rahmat bagi mereka dan kehormatan bagi mereka, supaya
dengan shalat tersebut mereka memperoleh kemulian dari-Nya dan
keberuntungan karena dekat dengan-Nya. Allah tidak membutuhkan
mereka (dalam pelaksanaan shalat), namun justru (hakikatnya shalat
tersebut) merupakan anugerah dan karunia Allah untuk mereka. Dengan
shalat, hati seorang hamba dan seluruh anggota tubuh beribadah.
(Dalam shalat),Allah menjadikan bagian (anugerah) untuk hati lebih
sempurna dan lebih besar, yaitu berupa (hati bisa) menghadap kepada
Rabb nya Subhanahu, bergembira dan merasakan kelezatan berdekatan
dengan-Nya, merasakan nikmat dengan mencintai-Nya, riang gembira
menghadap kepada-Nya, tidak berpaling kepada selain-Nya saat
beribadah (shalat) serta menyempurnakan hak-hak peribadatan kepada-
Nya, sehingga ibadahnya sesuai dengan apa yang Dia ridhoi” (Dzauqush
Shalah, Ibnul Qoyyim. Hal. 8).
B. Kelalaian hati diantara shalat yang satu dengan shalat yang lain
Ibnul Qoyyim rahimahullah menjelaskan tentang hal ini, “(Dalam shalat
lima waktu), diantara dua shalat, pada diri seorang hamba (bisa saja)
terjadi kelalaian, kegersangan, kekerasan dan keberpalingan hati,
ketergelinciran serta kesalahan-kesalahan, hingga (hal ini) menjauhkan
hatinya dari Rabb nya, menyingkirkan dari kedekatan dengan-Nya, (lalu)
jadilah sebuah hati yang terasing dari peribadatan kepada-Nya”
(Asraarush Shalaah, Ibnul Qoyyim. Hal.10).
BAB III
MENGAPA ALLAH MEWAJIBKAN SHOLAT
Di dalam ayat ini terdapat sepuluh hak yang wajib kita tunaikan. Oleh karena
itu, ayat ini disebut dengan “huquuqul ‘asyroh” (hak-hak yang berjumlah
sepuluh), yaitu hak Allah Ta’ala, hak kedua orang tua, dan seterusnya sampai
dengan hak hamba sahaya (budak). Dalam ayat ini, Allah Ta’ala memulai
dengan menyebutkan hak-Nya, yaitu (yang artinya),”Sembahlah Allah dan
janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun.” Ini adalah bukti
bahwa tauhid merupakan perintah Allah Ta’ala yang pertama kali diserukan
kepada seseorang dan merupakan kewajiban terbesar seorang hamba dalam
sepanjang hidupnya, sebelum menunaikan kewajiban yang lainnya.
Allah Ta’ala berfirman,
ﻘ ْﻞ ﻟَ ُﻬTُﻼ َﺗTَﻼ ُﻫ َﻤﺎ َﻓTَْ َ ْ ِﻛ
ﱟ ُ ﺒTَﻜTِﺪ ك اﻟTَﻧﺎ ِإ ﱠﻣﺎ َﯾْﺒﻠُ َﻐ ﱠﻦ ِﻋﻨTًﺪْﯾ ِﻦ ِإ ْﺣ َﺴﺎTَِﺑﺎﻟْ َﻮاﻟTِﺪوا َوTُﺒTُﻻ َﺗ ْﻌTَرﱡﺑ َﻚ أَﱠ ﻗ َﻀﻰTََو
َﻤﺎ أ ف
ﺪ ُﻫ َﻤﺎ أَ ْوTَُﺮ أَ َﺣ هTُﻻ ِإﱠﯾﺎTِإﱠ
َوَﻻ َﺗﻨْ َﻬ ْﺮ ُﻫ َﻤﺎ ْﻞ ﻟَ ُﻬ َﻤﺎ َﻗ ْﻮًﻻ َﻛ ِﺮﯾ ًﻤﺎ
) َوُﻗ23(
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah
selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan
sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-
duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali
janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah”
dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka
perkataan yang mulia.” (QS. Al-Isra’ [17]: 23).
Dalam ayat ini, Allah Ta’ala juga memulai dengan perintah bertauhid. Dan sekali
lagi, hal ini menunjukkan bahwa tauhid adalah perintah Allah Ta’ala yang terbesar.
Allah Ta’ala berfirman,
أَ ْوَ َﻻد ُﻛ ْﻢ ِﻣ ْﻦ ِإ ْﻣَﻼ ٍق َﻧ
ََِاﺪﯾِْﻟ ِﻦ ِإ ْﺣTَِوﺑﺎﻟْ َ ﻮ ﻻ ُﺗTﻜ ْﻢ أَﱠTُﻜ ْﻢ َﻋﻠَْﯿTُم َرﱡﺑTََﺣ ﱠﺮ ْﻞ َﺗ َﻌﺎﻟَ ْﻮا أَﺗْ ُﻞ ُﻗ
ْﺤ ُﻦ َوَﻻ َﺗﻘُُْﺘﻠﻮا
َﺴﺎًﻧﺎ َﺷﯿًْﺌﺎ ْﺸ ِﺮ ُﻛﻮا ِﺑ ِﻪ َﻣﺎ
ﻻ ِﺑﺎﻟْ َﺤTﷲ ِإﱠ
ُ م ا ﱠTَﻻ َﺣ ﱠﺮTَﺑﻮا اﻟَْﻔ َﻮا ِﺣ َﺶ َﻣﺎ َﻇ َﻬ َﺮ ِﻣﻨْ َﻬﺎ َو َﻣﺎ َﺑ َﻄ َﻦ َوTُﻻ َﺗﻘْ َﺮTََو ْﺮ ُزُﻗ َوإِﯾﱠﺎ َﻧ
ﱢﻖ َذِﻟ ُﻜ ْﻢ ﺘﻠُﻮا اﻟﻨﱠﻔْ َﺲ اﻟِﱠﺘﻲTَُْﺗﻘ ُﻜ ْﻢ ُﻫ ْﻢ
)151( ﻘﻠُﻮ َنTِﻜ ْﻢ َﺗ ْﻌTَو ﱠﺻﺎ ُﻛ ْﻢ ِﺑ ِﻪ ﻟَ َﻌﻠُﱠ
“Katakanlah,’Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh
Tuhanmu, yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia,
berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu dan bapak, dan janganlah
kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan, Kami akan
memberi rizki kepadamu dan kepada mereka, dan janganlah kamu
mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang tampak di
antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa
yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab)
yang benar’. Demikian itu yang diperintahkan kepadamu supaya kamu
memahami(nya).” (QS. Al-An’am [6]: 151).
Dalam ayat ini terdapat lima wasiat bagi seorang hamba. Yaitu mentauhidkan
Allah, berbuat baik kepada kedua orang tua, tidak membunuh anak-anak kita,
tidak boleh mendekati perbuatan keji, dan tidak membunuh jiwa yang Allah
Ta’ala kecuali dengan alasan yang dapat dibenarkan (Lihat Al-Qoulul Mufiid,
1/20, karya Syaikh Ibnu ‘Utsaimin). Dalam ayat ini, Allah Ta’ala memulai
wasiat-Nya dengan perintah untuk bertauhid.
Allah Ta’ala berfirman,
C. Shalat adalah tiang agama dan agama seseorang tidak tegak kecuali
dengan menegakkan shalat.
َﻻ ُﯾْﺒِﻘﻰ ِﻣْﻦ َدَرِﻧ: « َﻗﺎﻟُﻮا. ِﻪ ؟ َﻣﺎ ﺗَﻘُﻮلُ ذَِﻟ َﻚ ُﯾْﺒِﻘﻰ أََرأَْﯾﺘُْﻢ ﻟَْﻮ أَﱠن َﻧَﻬًﺮا، م َﺧْﻤًﺴﺎTﺴُﻞ ِﻓﯿ ﻪِ ُﻛﻞﱠ َﯾ ٍْﻮTَِ َﯾﻐْﺘ، ﺪُﻛْﻢTِِﺑَﺒﺎ ِب أََﺣ
اﻟَْﺨﻄَﺎَﯾﺎ ﱠﷲُ ِﺑَﻬﺎ َﯾْﻤُﺤﻮ ا ﱠﺼﻠََﻮا ِت، » ﻓَﺬَِﻟ ﻣﺜﻞ اﻟ َﻚ اﻟَْﺨْﻤ ِﺲ: ﻗَﺎَل. ِﻣْﻦ َدَرِﻧ ِﻪ ﺷَْﯿﺌًﺎ
Oleh karena itu, pantas jika shalat yang dilakukan dengan baik bisa
mencegah pelakunya dari perbuatan keji dan mungkar.
Di awal telah dijelaskan bahwa shalat merupakan tiang agama dan merupakan
pembeda antara muslim dan kafir. Lalu bagaimanakah hukum meninggalkan
shalat itu sendiri, apakah membuat seseorang itu kafir?
Perlu diketahui, para ulama telah sepakat (baca: ijma’) bahwa dosa
meninggalkan shalat lima waktu lebih besar dari dosa-dosa besar lainnya.
Ibnu Qayyim Al Jauziyah –rahimahullah- mengatakan, ”Kaum muslimin
bersepakat bahwa meninggalkan shalat lima waktu dengan sengaja adalah
dosa besar yang paling besar dan dosanya lebih besar dari dosa membunuh,
merampas harta orang lain, berzina, mencuri, dan minum minuman keras.
Orang yang meninggalkannya akan mendapat hukuman dan kemurkaan
Allah serta mendapatkan kehinaan di dunia dan akhirat.”
Adapun berbagai kasus orang yang meninggalkan shalat, kami dapat rinci
sebagai berikut:
Kasus ketiga: Tidak rutin dalam melaksanakan shalat yaitu kadang shalat dan
kadang tidak. Maka dia masih dihukumi muslim secara zhohir (yang nampak pada
dirinya) dan tidak kafir. Inilah pendapat Ishaq bin Rohuwyah yaitu hendaklah
bersikap lemah lembut terhadap orang semacam ini hingga dia kembali ke
jalan yang benar. Wal ‘ibroh bilkhotimah [Hukuman baginya dilihat dari
keadaan akhir hidupnya].
Kasus kelima: Mengerjakan shalat hingga keluar waktunya. Dia selalu rutin
dalam melaksanakannya, namun sering mengerjakan di luar waktunya. Maka
orang semacam ini tidaklah kafir, namun dia berdosa dan perbuatan ini sangat
tercela sebagaimana Allah berfirman (yang artinya), “Maka kecelakaanlah bagi
orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya.” (QS.
Al Maa’un [107] : 4-5)
PENUTUP