Anda di halaman 1dari 3

MAGISTER MANAJEMEN – KAMPUS JAKARTA

FAKULTAS EKONOMIKA DAN BISNIS


CASE REPORT

Nama : Tiffani Annisa


NIM : 20/465370/PEK/26373
Mata Kuliah : Strategic Management
Dosen : Tarsisius Hani Handoko, M.B.A., Dr

IKEA’s International Marketing Strategy in China


1. Case Summary IKEA
IKEA Group merupakan perusahaan ritel perabot global untuk rumah tangga yang berasal
Swedia yang didirikan oleh Ingvar Kamprad pada tahun 1943. Dalam menjalankan bisnisnya,
IKEA memiliki visi yaitu menciptakan kehidupan sehari-hari yang lebih baik bagi banyak orang.
Pada tahun 2017, IKEA memiliki 355 toko yang tersebar di 29 negara dengan memperkerjakan
lebih dari 149.000 karyawan. IKEA mempelopori penjualan dalam desain kemasan dan furnitur,
perkakas, dan aksesori rumah bergaya Skandinavia yang siap dirakit di seluruh dunia. Setiap
tahun, perusahaan memperbarui rangkaian produknya, meluncurkan ribuan produk baru yang
dirancang oleh desainer internal dan ekternal (kontrak). Dalam memasuki pasar global, IKEA
mengadopsi strategi yang mengkombinasikan barang yang terstandardisasi dan berkualitas, biaya
yang rendah, teknologi, serta faktor budaya yang muncul dari selera dan preferensi konsumen yang
berbeda di pasar yang berbeda. Model bisnis IKEA yang unik dan pemosisian merek yang kuat
memungkinkan perusahaan untuk mencapai posisi yang kuat di pasar perabot rumah tangga yang
sangat terfragmentasi di negara-negara tempat IKEA beroperasi, salah satunya di China.
Pada tahun 2020 pasar furnitur China akan diperkirakan tumbuh pada tingkat CAGR
mencapai $86,6 miliar. Didukung dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang sangat pesat di
China menjadikan IKEA memiliki peluang yang besar untuk memperluas operasi bisnisnya di
China. Selain itu, pertumbuhan ekonomi yang pesat berdampak pada tumbuhnya masyarakat
dengan kemampuan ekonomi kelas menengah, terutama di daerah perkotaan. Pertumbuhan
ekonomi juga berdampak pada meningkatnya standar hidup dan daya beli masyarakat China,
khususnya pada pasar furnitur. China juga menghasilkan lonjakan besar pada kepemilikan rumah
antara 1999 hingga 2006. Peningkatan pesat juga terlihat dari akuisisi apartemen unfurnished dan
semifurnished.
Untuk memenuhi permintaan pasar furnitur yang meningkat di China, IKEA melakukan
ekspansi bisnisnya ke Tiongkok pada tahun 1998 dan membuka toko pertamanya di Shanghai
kemudian diikuti oleh satu toko di Beijing di tahun 1999. Pada tahun fiskal 2017, IKEA
mengoperasikan 24 toko di China dan tokonya menarik lebih dari 90 juta pengunjung, naik 11
persen dibandingkan tahun sebelumnya. Dalam operasi bisnisnya di China, IKEA dihadapi dengan
berbagai tantangan, yaitu:
- China memiliki paradigma akan budaya yang rigid. Konsumen China menganggap bahwa
IKEA menawarkan produk yang inovatif dan tidak tradisional, terkadang menyimpang dari
tradisi Tionghoa. Produk IKEA juga dianggap eksklusif di mata konsumennya.
- China tidak siap untuk menerapkan praktik ramah lingkungan, pemberian tarif pengiriman dan
instalasi produk dengan melibatkan harga yang lebih tinggi.
- Persaingan ketat dihadapi oleh IKEA karena harus menghadapi lebih dari 100.000 produsen
furnitur di Tiongkok. Kegagalan strategi penjualan produk IKEA (melalui katalog) karena
produk yang ditawarkan oleh IKEA ditiru dan dijual dengan harga yang lebih murah.
- Peraturan pemerintah terkait dengan pajak impor yang tinggi dan birokrasi atas kebutuhan
bahan baku dan kegiatan produksi.
- Perilaku konsumen yang memanfaatkan waktunya di IKEA tidak untuk berbelanja, melainkan
konsumen hanya datang untuk melihat referensi furnitur dan showroom serta menjadikan IKEA
sebagai “tempat hiburan”.
Setelah berjuang selama bertahun-tahun, IKEA melakukan perubahan dalam strateginya dan
dalam kurun waktu lebih dari 12 tahun, IKEA berhasil memperoleh keuntungan di China.
2. Analisis Strategi IKEA
Dalam menghadapi tantangan maupun kendala yang dihadapi, IKEA melakukan upaya-upaya
strategis sebagai berikut:
a) Segmentasi Target Market
IKEA menargetkan kelompok usia konsumen yang berbeda di pasar Tiongkok. IKEA
memutuskan untuk mengalihkan target pasarnya ke konsumen profesional yang berada di
daerah perkotaan (orang-orang berusia antara 25 dan 35 tahun yang mendapat gaji relatif lebih
tinggi, berpendidikan lebih tinggi, serta memiliki pemahaman yang lebih baik tentang budaya
dan gaya desain Barat). Hal ini dikarenakan konsumen memiliki sifat yang impulsif dan
mudah terpengaruh. Untuk kelompok konsumen lainnya yang berpenghasilan rendah hingga
menengah, IKEA berusaha menekan biayanya untuk mendapatkan harga serendah mungkin.
b) Penentuan Kembali Posisi Merek
IKEA berusaha menciptakan dan mempertahankan kualitas dan citra mereknya di pasar
China disertai dengan peluncuran berbagai produk yang mempertimbangkan nuansa model
China sehingga menciptakan positioning di benak konsumen.
c) Pendekatan Transnational (Think Global Act Local)
- Mengadaptasi konsep "Yi Jia" yang berarti rumah dan furnitur yang nyaman. IKEA pun
menarik konsumen dengan menambahkan warna merah dalam produknya.
- Mendesain ulang tata letak toko, memberikan solusi dan penyajian produk sesuai dengan
kebutuhan konsumen. IKEA berusaha keras untuk menyesuaikan produknya dengan selera
dan permintaan lokal.
- Mendesain ulang struktur organisasi dan kompetensinya di Tiongkok agar cocok dengan
mitra strategis dalam jaringannya. Perusahaan memilih joint venture dan aliansi strategis
dibandingkan konsep waralaba karena dapat membantu meningkatkan kepekaan budaya
dan pengendalian operasional melalui pembentukan kemitraan strategis.
- Mendirikan toko di pinggir kota dengan jalur transportasi umum karena hanya 20%
pengunjung di Shanghai yang memiliki mobil.
d) Multichannel Retailing
IKEA melakukan ekspansi ke kota-kota tier-2 di China dan IKEA terjun ke bisnis e-
commerce di Cina sebagai bagian dari strategi ritel multichannel. Bisnis e-commerce
bertujuan untuk membantu perusahaan dalam mengatasi masalah oversaturation toko IKEA
yang terletak di kota-kota tier-1 dan tier-2 dan menjadi alatnya untuk menjangkau lebih
banyak pelanggan China dari kota-kota kecil. IKEA menyiapkan beberapa titik penjemputan
dan pemesanan di kota-kota kecil.
e) Pricing Strategy
IKEA berfokus pada penawaran harga produk yang rendah didukung dengan
pemotongan biaya operasional seperti melakukan produksi dalam negeri (80% barang
diproduksi dalam negeri) dan memotong biaya supply chain. Hal ini untuk mengurangi pajak
impor yang dan biaya logistik. IKEA juga menghemat biaya perbaikan karena pemeriksaan
kualitas produk menjadi lebih dekat.
f) Edukasi Pelanggan
IKEA memberikan pengetahuan tentang perabotan rumah kepada pelanggannya. Untuk
mempersiapkan konsumen Cina merasakan pengalaman toko IKEA, pengecer perabotan
menerbitkan katalog dan brosur, memasang instruksi di dalam toko dan saran desain, dan
mengoperasikan situs web. IKEA menggunakan media sosial Tiongkok dan Sina Weibo
untuk menargetkan kaum muda perkotaan. Perusahaan mensponsori acara televisi singkat di
mana pemirsa ditawari pelajaran tentang dekorasi rumah. IKEA juga melakukan kampanye
multimedia dengan mengedepankan tema produk dengan sentuhan budaya China. Perusahaan
juga membawa jurnalis Tiongkok ke Swedia dan Almhult di mana mereka diajari tentang
IKEA dan akar perusahaan.
g) Tempat Sosial
Perusahaan mercancang pusat perbelanjaan dan produknya sebagai tempat sosial
sehingga menciptakan pengalaman yang lebih dari sekedar berbelanja furnitur. Hal ini
dikarenakan konsumen China tidak hanya menggunakan toko untuk membeli kebutuhan
mereka tetapi juga untuk hiburan. IKEA percaya bahwa berbelanja adalah hiburan bagi
pelanggannya.
3. Rekomendasi
Berdasarkan kasus ini, IKEA dikatakan mampu menghadapi tantangan bisnis di China
sehingga mampu bertahan hingga 12 tahun dan mendapatkan keuntungan. Dengan adanya
perubahan strategi yang dilakukan oleh IKEA disertai dengan pendekatan transnasional yang
dilakukannya terhadap konsumen di China memberikan dampak yang jauh lebih baik bagi
perusahaan. Dalam menghadapi tantangan ke depannya, IKEA dapat terus meneruskan strategi
barunya beserta pendekatan transnasionalnya. Selain itu, IKEA perlu mempertimbangkan hal-hal
sebagai berikut:
- Mendalami budaya, persepsi, karakter, dan perilaku konsumen sehingga perusahaan dapat
memformulasikan strategi ke depannya menjadi lebih baik.
- Perlu adanya pertimbangan bisnis pada perusahaan untuk menggunakan strategi kemitraan atau
joint venture dibandingkan dengan wholly owned subsidiary berdasarkan tingkat risiko yang
dihadapi, tingkat kendali perusahaan, dan fleksibilitas bisnis.
- Meningkatkan customer experience baik pada toko offline maupun online baik berupa
peningkatan layanan yang sudah ada dan juga memunculkan layanan-layanan baru yang dapat
ditawarkan kepada konsumen, seperti layanan konsultasi dekorasi menggunakan produk IKEA
secara gratis dan penambahan teknologi virtual reality sehingga konsumen dapat
mensimulasikan produk tanpa harus datang ke toko (terlebih bagi konsumen yang memiliki
akses yang jauh dari toko offline).
- Perusahaan menggunakan konsep “near market knowledge” sebagai pengetahuan perusahaan
yang ada tidak hanya berasal dari pasar domestik, tetapi juga pengetahuan pasar internasional.
- Perusahaan dapat menggunakan strategi word of mouth dalam menjaga reputasi dan citra
perusahaannya, agar dapat menjaga loyalitas para konsumennya.

Anda mungkin juga menyukai