Anda di halaman 1dari 34

Referat

PERANAN MUTS HOMOLOG 2 (MSH2) PADA


KARSINOMA KOLOREKTAL

Oleh :
Ni Kadek Ayu Maya Damayanti

Pembimbing :
Dr.dr. Ni Wayan Winarti Sp.PA

PROGRAM STUDI SPESIALIS PATOLOGI ANATOMI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR
2020
DAFTAR ISI

BAB I............................................................................................................................2
PENDAHULUAN........................................................................................................2
BAB II..........................................................................................................................4
TINJAUAN PUSTAKA...............................................................................................4
2.1 Karsinoma Kolorektal....................................................................................4
2.1.1 Definisi.............................................................................................................4
2.1.2 Epidemiologi...........................................................................................4
2.1.3 Manifestasi Klinis...................................................................................5
2.1.4 Faktor Risiko..........................................................................................5
2.1.5 Karsinogenesis........................................................................................6
2.2 Mikrosatelit Instability (MSI)......................................................................10
2.2.1 Mismatch Repair System (MMR).........................................................10
2.2.2 Histopatologi KKR dan Kaitannya dengan MSI..................................13
2.2.2.1 Gambaran Makroskopis.......................................................................15
2.2.2.2 Gambaran Mikroskopis .......................................................................16
2.2.3 Grading dan Prognosis Kanker Kolorectal...........................................20
2.3 Peranan MSH2 pada Kanker Kolorektal......................................................22
2.3.1 Struktur dan Fungsi MSH2 dalam Kanker...........................................22
2.3.2 Peran MSH2 sebagai Marker Diagnosis...............................................24
2.3.3 Peran MSH2 sebagai Faktor Prediktif dan Prognosis...........................27
BAB III.......................................................................................................................30
SIMPULAN................................................................................................................30
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................31

1
BAB I
PENDAHULUAN

Kanker kolorektal (KKR) merupakan kanker pada saluran cerna yang paling
banyak ditemui. Kanker ini berkaitan erat dengan faktor genetik dan faktor
lingkungan atau gaya hidup. Kelainan genetik yang diturunkan serta gaya hidup yang
tidak baik memicu terjadinya mutasi pada sel di kolorektal yang berakibat pada
keganasan.

Berdasarkan data Global Burden of Cancer Study (Globocan), KKR


merupakan kanker nomor tiga terbanyak di dunia setelah kanker paru dan kanker
payudara dengan 1,8 juta kasus baru dan 861.000 kematian pada tahun 2018 (Ward
et al, 2019). KKR banyak ditemui pada Negara maju seperti Negara-negara di Eropa,
Autralia, dan Amerika. Meskipun demikian, insiden KKR di Amerika kian menurun
setiap tahunnya. Hal ini berbeda dengan yang tejadi di Indonesia, dimana insiden
KKR ditemukan semakin meningkat tiap tahunnya. Kemkes melaporkan KKR
sebagai kanker terbanyak nomor dua setelah kanker paru, dengan insiden 12,8 per
100.000 populasi pertahun. Mortalitas KKR mencapai 9,5% dari keseluruhan
mortalitas akibat kanker di Indonesia (Kemkes, 2017).

Berdasarkan etilogi, KKR diklasifikasikan menjadi dua jenis yaitu sporadik


dan herediter. KKR sporadik merupakan kanker yang terjadi karena perubahan
epigenetik yang kemungkinan dipicu oleh gaya hidup, kanker tipe ini bertanggung
jawab pada sebagian besar tipe KKR. Sementara itu, KKR herediter merupakan
kanker dengan kelainan genetik yang telah diturunkan, umumnya kanker ini
ditemukan pada pasien usia muda (di bawah 40 tahun). Sampai saat ini,
karsinogensis KKR diperkiarakan terjadi melalui tiga jalur molekukar yang saling
tumpang tindih, yaitu jalur instabilitas kromosom, metilasi, dan instabilitas
mikrosatelit (Dabbs, 2019). Jalur instabilitas kromosom melibatkan perubahan saat
pemisahan kromosom, disfungsi telomer dan respon kerusakan DNA yang
mempengaruhi gen-gen penting yang terlibat dalam perbaikan fungsi sel. Jalur
metilasi yang terjadi berupa hipermetilasi promotor onkogen yang mengakibatkan
kehilangan genetik dan ekspresi proteinnya. Jalur instabilitas mikrosatelit melibatkan
defisiensi DNA mismatch repair (MMR) sehingga mutasi terakumulasi pada

2
pengulangan mikrosatelit. Defisiensi MMR dapat disebabkan oleh kejadian spontan
(hipermetilasi promoter) maupun mutasi germinal seperti yang ditemukan pada
sindrom Lynch. Sindrom Lynch merupakan kelainan genetik dominan yang
mempunyai karakteristik peningkatan resiko kanker pada saluran cerna, ginekologi,
dan organ lainnya (Marmol et al, 2017).

Skrining sindrom Lynch pada KKR sangat penting karena berkaitan dengan
rencana terapi dan prognosis pasien KKR. Awalnya skrining sindrom Lynch
dilakukan menggunakan kriteria Amsterdam II, yang semakin lama dirasakan sering
menghasilkan false negative. Oleh karena itu dikembangkan kembali skrining
algoritma pada pasien KKR untuk mendeteksi adanya sindrom Lynch (Chen &
Frankel, 2019). Berdasarkan alogoritma ini, pemeriksaan ekspresi protein gen MMR
menggunakan pewarnaan immunohistochemistry (IHC) merupakan salah
pemeriksaan utama untuk skrining sindrom Lynch. Pemeriksaan ini memberikan
hasil yang cepat, akurat, dan cost effective dengan spesifisitas dan sensitivitas yang
cukup tinggi dalam mendeteksi sindrom Lynch (Lindor et al, 2017). Salah satu
protein gen MMR yang diperiksa dalam pemeriksaan ini adalah MutS homolog 2
(MSH2).

MutS homolog 2 (MSH2) adalah komponen esensial di dalam DNA MMR


signaling pathway yang berperan untuk mengidentifikasi dan memperbaiki
nukleotida yang salah serta memicu rekombinasi homolog selama replikasi DNA.
Mutasi MSH2 ditemukan pada kasus/jalur instabilitas mikrosatelit dan menjadi salah
satu kriteria status instabilitas mikrosatelit tinggi (MSI-H) (Huo et al, 2017).
Pemeriksaan mutasi pada MSH2 menggunakan MMR IHC merupakan salah satu
langkah penting dalam deteksi sindrom Lynch pada pasien KKR. Selain itu
pemeriksaan mutasi MSH2 ini, juga dapat digunakan sebagai faktor prediktif
keberhasilan terapi dan prognosis pada pasien KKR (Wang et al, 2019). Dengan
demikian, pemeriksaan MSH2 diperkirakan memiliki banyak potensi dalam acuan
tatalaksana pasien KKR. Oleh karena itu, penting untuk dilakukan pengkajian lebih
dalam mengenai peranan MSH2 pada KKR.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Karsinoma Kolorektal


2.1.1 Definisi
Menurut WHO tahun 2019, karsinoma kolorektal merupakan keganasan pada
kolon atau rektum yang berasal dari epitelial. Pada lokasi ini dikatakan tumor ganas
apabila sel tumor telah menembus lapisan muskularis mukosa dan mencapai lapisan
submukosa. Berdasarkan asal mutasi KKR dapat diklasifikasikan menjadi sporadik
(70%), inherited (5%) dan familian (25%) (Marmol, 2017). Sedangkan klasifikasi
berdasarkan histologi KKR menurut WHO dibagi menjadi adenokarsinoma,
adenokarsinoma mukosin, karsinoma sel cinicn, karsinoma sel kecil, karsinoma sel
skuamosa, karsinoma adenoskuamosa, karsinoma meduler dan karsinoma yang tida
berdiferensiasi (Gunasekaran, 2019).

2.1.2 Epidemiologi
Berdasarkan data Globocan pada tahun 2018, KKR merupakan kanker
dengan insiden terbesar nomor tiga di dunia. Berdasarkan jenis kelamin, KKR
merupakan kanker nomor dua tersering pada laki-laki dan nomor tiga tersering pada
perempuan di dunia, dengan 1,8 juta kasus baru dan 861.000 kematian pada tahun
2018 (Ward et al, 2019). KKR sangat sering ditemukan di negara-negara maju
seperti Negara-negara di Eropa Selatan, Australia/Selandia Baru, dan Eropa utara
dengan angka kanker kolon terbesar dan Eropa timur, Autralia/Selandia Baru, dan
Asia Timur dengan angka kanker rektal terbesar. Negara Hungaria merupakan
Negara dengan insiden KKR tertinggi di dunia (70,6 per 100.000 populasi per tahun)
(Rawla et al, 2018).
Di Indonesia, KKR merupakan kanker terbanyak nomor dua setelah kanker
paru, dengan insiden 12,8 per 100.000 populasi pertahun. Mortalitas KKR mencapai
9,5% dari keseluruhan mortalitas akibat kanker di Indonesia (Kemkes, 2017). Di
Bali, KKR merupakan kanker tersering keempat setelah kanker uteri, payudara, dan
nasofaring (Kemkes, 2017).

4
2.1.3 Manifestasi Klinis
Secara klinis, beberapa pasien tidak menunjukkan gejala (asimptomatik) dan
lesi neoplastik terdeteksi secara tidak sengaja saat screening. Haematokezia dan
anemia merupakan gejala yang paling sering muncul berkaitan dengan perdarahan
yang diakibatkan dari sel tumor tersebut. Sebagian besar pasien juga mengalami
perubahan pola pencernaan/bowel habits seperti konstipasi, karena feses yang solid
di kolon kiri biasanya berkaitan dengan adanya impaksi oleh massa tumor. Selain itu
gejala lainnya dapat berupa distensi abdomen, obstruksi saluran cerna atau perforasi.
Lesi di area rektosigmoid berkaitan dengan gejala tenesmus dan perdaraan
rektum. Gejala tidak spesifik lainnya meliputi demam, malaise, kehilangan berat
badan dan nyeri abdomen (Hamilton et al, 2010). Sayangnya, gejala diatas lebih
sering mengindikasikan suatu penyakit yang telah lanjut, oleh karena hal tersebut
diperlukan deteksi dini seperti prosedur endoskopi baik pada wanita maupun pria
diatas usia 40 tahun serta pemeriksaan feses untuk mendeteksi darah samar dapat
dipertimbangkan untuk mendeteksi kasus karsinoma stadium awal (Goldblum et al,
2018).

2.1.4 Faktor Risiko


Secara umum, faktor risiko KKR dapat dibagi menjadi faktor genetik dan
lingkungan. Diperkirakan seitar 20% pasien memiliki riwayat keluarga penderita
KKR, selain itu sindrom genetik diperkirakan dapat meningkatkan risiko terjadinya
KKR contohnya pada Hereditary Nonpolupsos colcorectal cancer (HNPCC atau
Lynch syndrome) sebanyak 3% serta pada Gardner syndrome dan Familian
Adenomatous polyposis (FAP) sebanyak 1% pasien menderita KKR. Namun,
mayoritas KKR lebih disebabkan oleh faktor lingkungan dibandingkan faktor genetik
(Suksmarini et al, 2018).
Pada penelitian metaanalisis yang dilakukan oleh Johnson et al pada tahun
2013, terdapat beberapa faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap peningkatan
risiko KKR diantaranya: owerweight atau obesistas, merokok, dan konsumsi daging
olahan ataupun daging merah segar. Diketahui bahwa kanker ini merupakan
akumulasi dari perubahan genetik dan epigenetik pada membran mukosa usus
normal yang membentuk polip adenomatosa menjadi adenokarsinoma (Suksmarini et
al, 2018).

5
2.1.5 Karsinogenesis
Secara umum, perkembangan sel kanker melalui proses yang cukup rumit.
Normalnya, individu akan mempertahankan homeostasis dalam dirinya dengan
menyeimbangkan antara jumlah sel yang berproliferasi dan sel yang mengalami
kematian. Ketika proses homeostasis ini terganggu, baik disebabkan oleh
peningkatan kecepatan proliferasi sel atau pengurangan jumlah sel yang mati, maka
akan muncul neoplasma pada jaringan tersebut yang kemudian berkembang menjadi
tumor. Perubahan ini terjadi akibat dari: 1) Aktivasi proto-onkogen, yang
menyumbangkan gen secara konstitusif aktif atau aktif di bawah kondisi bukan tipe
gen asing, 2) inaktivasi tumor suppressor genes (TSGs), sehingga menghambat
aktivitas gen, 3) aktivasi repair genes yang menjaga perubahan genetic seminimal
mungkin (Suksmarini et al, 2018).
Perkembangan kanker kolorektal berawal dari terbentuknya polip adenoma
dari mukosa usus besar manusia. Proses perubahan mukosa usus ini melibatkan
akumulasi dari perubahan genetik. Perubahan yang berlangsung terus menerus
menyebabkan polip menjadi invasif. Secara umum, terdapat tiga jalur terkait
patofisiologi kanker kolorektal, yaitu jalur chromosomal instability (CIN) diikuti
pola progresivitas adenoma pada 75% kanker kolorektal sporadis, yang kedua adalah
jalur metilasi yaitu CpG island hypermethylation phenotype (CIMP) pada 20% KKR,
serta jalur instabilitas mikrosatelit/microsatellites instability (MSI) atau defisiensi
DNA mismatch repair system (MMR) dimana mutasi gen terdapat pada 15% kanker
sporadis dan 80% kanker kolorektal herediter (Gambar 1). Sering terjadi tumpang
tindih antara CIMP dengan fenotip MMR/MSI sedangkan jarang antara CIN dengan
CIMP atau CIN dengan fenotip MSI (Gambar 2) (Granados-Romero et al, 2017)

6
Gambar 1. Perubahan molekuler, genetik dan epigenetik terhadap progresivitas penyakit
karsinoma kolorektal (Tariq dan Ghias, 2016).

Gambar 2. Subgrup molekuler sampel kanker kolorektal. Terdapat tiga mekanisme utama
karsinogenesis kolorektal, 75% chromosomal instability, 20% metilasi DNA, dan 15%
microsatellites instability atau deficient DNA mismatch repair. MSS: microsatellites
stability, MSI: microsatellites instability, CIMP: CpG island hypermethylation phenotype,
CIN: chromosomal instability (Granados-Romero et al, 2017).

7
CIN atau dikenal sebagai adenoma-carcinoma sequence, merupakan salah
satu dari bentuk ketidakstabilan genom yang berperan dalam karsinogenesis kanker
kolorektal. CIN didefinisikan sebagai suatu kondisi berkurangnya atau bertambahnya
struktur kromosom yang menghasilkan beragam kariotipe dari sel ke sel (Pino &
Chung, 2010). Sebesar 65% hingga 75% perkembangan kanker kolorektal
melibatkan jalur CIN. Beragam mekanisme terlibat dalam terbentuknya CIN seperti
kesalahan segregasi kromosom, disfungsi telomer dan rusaknya respon DNA (Pino &
Chung, 2010).
Kesalahan segregasi kromosom menyebabkan gangguan pada checkpoint
sensor dan sinyal transduksi saat pemisahan sister chromatid dalam proses repilkasi
DNA. Akibatnya, jumlah kromosom yang terbentuk tidak sama pada proses
segregasi. Pada keadaan normal, checkpoint sensor memastikan keakuratan dari
segregasi kromosom dengan memperlambat replikasi DNA menuju tahap anafase.
Checkpoint sensor dapat dengan tepat memastikan apakah kromosom telah
tersegregasi dengan sempurna pada saat metafase. Jika sudah tepat, maka tahap
replikasi dilanjutkan kembali. Pada disfungsi telomer, pemendekan telomere akan
meningkatkan pembentukan tumor dan microadenoma pada saluran pencernaan
sedangkan rusaknya respon DNA mengakibatkan terganggunya proses perbaikan
DNA dan mutasi genetik. CIN memberikan konsekuensi berupa terjadinya
ketidakseimbangan jumlah kromosom (aneuplody), amplifikasi genom kromosom
dan tingginya frekuensi dari loss of heterozygosity (LOH) (Pino & Chung, 2010).
Jalur CIN melibatkan berbagai jalur (Gambar 3).
CpG island adalah suatu bagian dari sekuen DNA yang didominasi oleh
nukleotida sitokin dan guanin secara linier dari arah 5’ ke 3’. CpG nukleotida dapat
termetilasi membentuk 5-methylcytosines dengan penambahan gugus metil oleh
enzim DNA methyltransferase. Termetilasinya sitosin dikaitkan dengan perubahan
fenotipe tanpa mengubah urutan atau sekuen DNA disebut epigenetik.

Gambar 3. Perkembangan kanker kolorektal jalur CIN (Pino & Chung, 2010).

8
CpG island pada daerah promotor DNA pada keadaan normal tidak
termetilasi sedangkan CpG sites pada gene body termetilasi. Akan tetapi, pada
perkembangan kanker kolorektal, daerah dari promotor DNA mengalami metilasi
yang dapat mengubah fenotipe DNA sehingga dikenal dengan istilah CpG island
methylation phenotype (CIMP). CIMP menyebabkan penyimpangan pada tumor
suppressor gene sehingga faktor transkripsi inaktif (LeGolvan & Resnick, 2010).
Adanya hypermethylation pada CpG island promoter DNA akan menyebabkan
silent mutation dan berpengaruh pada DNA repair genes.
Pada jalur MSI, pasien mengalami defisiensi DNA mismatch repair (MMR)
sehingga terjadi mutasi terakumulasi pada pengulangan mikrosatelit, hal ini
menyebabkan kondisi yang disebut instabilitas mikrosatelit (MSI). Kehilangan
ekspresi MMR dapat disebabkan oleh kejadian spontan (hipermetilasi promoter) atau
mutasi germinal seperti yang ditemukan pada sindrom Lynch. Mutasi ini umumnya
tidak terdeteksi karena secara khas mikrosatelit berlokasi di area noncoding tetapi
sekuens mikrosatelit lain berlokasi pada regio coding atau promotor dari gen yang
mengatur pertumbuhan sel, seperti reseptor TGF- tipe II dan protein pro apoptosis
BAX (Gambar 4). Karena TGF- menghambat proliferasi sel epitelial kolon,
reseptor TGF- tipe II mutan dapat berperan dalam pertumbuhan sel yang tidak
terkontrol sedangkan kehilangan BAX dapat meningkatkan kloning abnormal
genetik. Secara umum, tumor MSI memiliki prognosis yang lebih baik dibandingkan
dengan tumor microsatelit stabil (MSS) (Kumar et al, 2018 dan Marmol et al, 2017).

Gambar 4. Perubahan morfologi dan molekuler pada jalur MMR karsinogenesis kolon.
Defek pada gen MMR mengakibatkan MSI dan akumulasi mutasi pada sejumlah gen.
Apabila mutasi ini mempengruhi gen yang mengatur pertahanan dan proliferasi sel, kanker
dapat berkembang. LOH, Loss of heterozygosity (Kumar et al, 2018).

9
2.2 Mikrosatelit Instability (MSI)
2.2.1 Mismatch Repair System (MMR)
Sekitar 15% kanker kolorektal terjadi akibat gangguan pada gen mismatch
repair (MMR). Gangguan ini menyebabkan sel tidak mampu untuk memperbaiki
kesalahan pasangan basa pada DNA dan meningkatkan akumulasi mutasi spontan
yang berisiko untuk terjadinya kanker (Tan, 2013). Kanker kolorektal dengan
gangguan MMR ditandai dengan adanya mutasi pada empat gen MMR yaitu
MLH1, MSH2, MSH 6 atau PMS2 (Gambar 5). Mikrosatelit, atau yang disebut
juga simple sequence repeat, merupakan pengulangan satu sampai enam nukleotida
yang tersebar di seluruh genom. Daerah ini rentan mengalami ketidakstabilan akibat
kesalahan insersi atau delesi saat replikasi DNA. Lokus mikrosatelit dapat
memendek atau memanjang dan menyebabkan timbulnya ketidakstabilan genetik
yang disebut microsatellite instability (MSI). Kondisi ini ditandai dengan besarnya
variasi mikrosatelit pada DNA (microsatellite instability yang tinggi / MSI-H) (Toth
et al, 2011).
MSI jelas ditemukan pada HNPCC (Hereditary Non-Polyposis
Colorectal Cancer) atau yang disebut sebagai sindroma Lynch. Kondisi ini
meliputi kurang dari 5% kasus kanker kolorektal. Sindroma Lynch diturunkan
secara autosomal dominan dan disebabkan oleh mutasi germinal yang terjadi
setidaknya pada salah satu gen MMR, yaitu MLH1, MSH2, PMS2, dan MSH6
(Sinicrope, 2010). Mutasi paling banyak terjadi pada MLH1 dan MSH2 (80-90%),
serta jarang pada MSH6 (10%) dan PMS2 (5%). Inaktivasi gen MSH2 juga dapat
terjadi akibat delesi exon 3’ pada gen EPCAM (Epithelial cell adhesion molecule).
Sekitar 15% kanker kolorektal tipe sporadik memiliki gangguan pada gen MMR
(Sinicrope, 2010).
Kesalahan yang paling sering ditemui berkaitan dengan mikrosatelit adalah
base-base mismatch, dan insersi atau delesi pada regio coding DNA yang
menyebabkan mutasi yang berakibat pada pemotongan protein (Sinicrope et al,
2012). Fungsi sistem MMR untuk memperbaiki kesalahan yang ditemukan pada
mikrosatelit melalui beberapa tahap yang melibatkan interaksi protein-protein
MMR sebagai heterodimer dengan kompleks yang terbentuk oleh MutS dan MutL
(Gambar 6).

10
Gambar 5. Gambaran mekanisme protein mismatch repair, ilutrasi pola klinis
heterodimerisasi (Vilar et al, 2010)

Gambar 6. Fungsi system MMR untuk memperbaiki kesalagan pada mirkosatelit melalui
beberapa tahapan yang melubatkan interaksi protein MMR sebagai heterodimer. (A)
MSH2-MSH6 (MutSα) mengenali mismatch pada single base-pair, ditunjukkan dengan
kesalahan pasangan base (G) dengan T pada templet, dan membentuk sebuah sliding
clamp di sekeliling DNA. Tahap ini membetuhkan pertukaran ATP untuk ADP. Kompleks
MutSα kemudian berikatan dengan kompleks MLH1-PMS2 (MutSα). (B) Eksisi
mismatch muncul ketika protein DNA MMR sliding clamp berinteraksi dengan
eksonuklase 1, PCNA, dan DAN polymerase. Kompleks ini mengeksisi daughter strand
kembali ke letak mismatch. Kompleks ini melepas DNA, dan kemudian resintesis terjadi
dengan perbaikan kesalahan genetik. (C) MSH2-MSH3 (MutSβ) dapat mengenali insersi
atau deletion loops yang lebih besar yang dapat melengkapi fungsi MHS3-MSH6, yang
mengenail single pair mismatch dan insersi atau deletion loops kecil. Interaksi potensial
dengan dimer MutL lain terjadi karena MLH1 dapat berdimerisasi dengan PMS2, PMS1,
atau MLH (Sinicrope et al, 2012).

Ketika sebuah mismatch terdeteksi, MSH2 bergabung dengan MSH6 atau

11
MSH3 membentuk kompleks MutSα dan MutSβ. Selanjutnya MLH1 berinteraksi
dengan PMS2, PMS1 atay MLH3 untuk membentuk kompleks MutSα, MutSβ dan
MutSγ. Eksisi mismatch dilakukan oleh beberapa protein, seperti protein
eksonukleas 1 dan proliferating cell nuclear antigen (PCNA) dan diikuti oleh
resintesis dan religasi stran DNA. Sebagai tambahan pada MMR, DNA repair
system juga termasuk dalam base excision repair, yang menghapus lesi kecil non
helix distorting base dari genom, dan berhubungan dengan jalur nukleutide
excision repair, yang memperbaiki bulky (lesi helix-distortion) (Sinicrope et al,
2012).

Gambar 7. Dua jalur molekular yang dapat mengakibatkan KKR MSI. Germlin mutation
pada gen MMR diikuti oleh second hit pada wild-type copy yang dapat muncul sebagai
point mutation, LOH, atau metilisasi. Germline mutation MMR menyebabkan sindrom
Lynch, yang bertanggung jawab pada sekitar seperlima dari keseluruhan KKR MSI.
Bentuk yang lebih umum, bentuk nonfamilial dari MSI akibar dari inaktivasi epigenetic
MLH1 yang terjadi pada latar belakang hipermetilisai pdad promoter multiple genes,
seperti CIMP. Tumor sporadic ini menunjukkan mutasi hotspot CIMP dan BRAFV600E
yang membedakan bentuk tersebut dengan kasus sindrom Lynch (Sinicrope et al, 2012).

Tumor MSI memuat mutasi pada jalur mononuklitida pada region coding
beberapa gen, termasuk BRAFV600E, TGFβRII, BAX, dan IGFIIR. Defisiensi
MMR dan MSI terjadi akre germline mutation pada gen MMR atau lebih umuna
dari hipermetilasi somatic CpG island di sekitar region promoter MLH1 dan gen
lainnya, yang disebut sebagai CIMP (Gambar 7). Tumor CIMP bertanggung
jawab terhadap sebagian besar KKR MSI sporadik. Selain itu, inaktivasi
epigenetik MLH1 dilaporkan merupakan turunan dari metilasi MSH2 sporadik

12
yang disebabkan oleh delesi pada ekson akhir EPCAM, yang berdekatan dengan
MSH2. Germline mutation pad age MMR mengakibatkan sindrom Lynch, yang
bertanggung jawab pada kurang lebih 3% KKR. Defisiensi MMR yang
ditunjukkan melalui MSI atau hilangnya protein MMR. Meskpiun banyak klinisi
melakukan MSI test dan atau analisis protein MMR dengan immunohistochemistry
untuk mengidentifikasi pasien suspect sindrom Lynch, pemeriksaan ini tanpa
indikasi masih belum mendapat pengakuan banyak pihak.

2.2.2 Pemeriksaan Status MSI dan MMR pada Kanker Kolorektal


Status MSI dan MMR pada kanker kolorektal dapat dipastikan dengan
menggunakan PCR (Polymerase Chain Reaction) dan pemeriksaan
immunohistochemistry (IHC). Pemeriksaan mikrosatelit dilakukan dengan
menggunakan DNA dari jaringan tumor yang telah di-embedding dengan parafin dan
dari jaringan non-neoplastik sebagai pembanding. WHO merekomendasikan
pemeriksaan mikrosatelit untuk karsinoma kolorektal dengan menggunakan lima
standar referensi, yaitu dua sekuens mononukleotida berulang (BAT25 dan BAT26),
serta tiga sekuens dinukleotida berulang (D5S346, D2S123, dan D17S250) (Hall et
al, 2010). Berdasarkan jumlah penanda yang positif, status MSI pada kanker
kolorektal dibedakan menjadi MSI-H yang memiliki ketidakstabilan pada dua atau
lebih penanda, MSI-L yang memiliki ketidakstabilan pada satu dari lima penanda,
dan MSS yang stabil pada seluruh penanda (Sinicrope, 2010). Kanker kolorektal
dengan MSI-H memiliki angka survival rate yang lebih baik dibandingkan dengan
kanker dengan MSS atau MSI-L (Tan, 2013).

Pemeriksaan protein MMR pada kanker kolorektal dengan IHC lebih


sederhana dibandingkan pemeriksaan MSI dengan PCR. Pemeriksaan IHC
mengidentifikasi kelainan gen MMR dengan cara melihat ekspresi protein yang
merupakan produk gen tersebut. 12,14 NCCN merekomendasikan pemeriksaan IHC
pada 4 protein, yaitu MSH2, MLH1, MSH6, dan PMS2. Pemeriksaan IHK sangat
spesifik (100%) dan sensitif (92.3%) untuk mendeteksi tumor dengan MSI-H (Lynch
et al, 2009).

13
Gambar 6. Analisis immunohistochemical (gambar kiri) menunjukkan tidak adanya ekpresi
MLH1 dan PMS2 pada sel kanker, berhubungan dengan defective mismatch repair system
pada kanker ini. Hal ini dikonfirmasi menggunakan elektroferogram PCR amplified polyA
microsatelit markers (gambar kanan), dimana profil terlihat bergesser dibandingkan dengan
jaringan normal pada paseien yang sama. Kanker ini merupakan MSI-H (Vilar et al, 2010).

Gambar 7. Analisis immunohistochemical (gambar kiri) menunjukkan ekspresi dari


keempat protein MMR yang berhubungan dengan mismatch repair system pada kanker
kolorektal. Hasil ini dikonfirmasi menggunakan elektroferogram PCR amplified polyA
microsatelit markers (gambar kanan), dimana profil pada tumor sama dengan yang terdapat
pada jaringan normal pada pasien yang sama. Kanker ini merupakan kanker MSS (Vilar et
al, 2010).

Hasil pemeriksaan ekpresi MMR pada IHC dilakukan dengan menilai


proporsi dan intesitas stanning pada sel tumor dibandingkan dengan jaringan
internal control, meliputi sel stroma dan limfosit. Internal control digunakan untuk
menverifikasi stannning dengan tepat dan digunakan sebagai dasar derajat intensitas
stainning pada sel neoplastic. Analisis IHC dilakukan dengan cara menghitung
nuklei tumor secara manual di satu irisan penuh pada setiap kasus. Intensitas staining
dapat dibagi menjadi beberapa derajat di antaranya; (3) intensitas sama atau lebih
dari kontrol, (2) sedikit lebih rendah dari kontrol tetapi dengan staining nuklear
definitif, (1) lebih rendah dari kontrol dengan staining nuklear yang meragukan, (0)
tidak didapatkan stanning nuklaear (Pearlman et al, 2018). Hasil pemeriksaan IHC

14
terhadap protein MMR sangat berhubungan dengan hasil pemeriksaan MSI. Tumor
dengan gangguan MMR memiliki status MSI-H dan akan negatif dengan
pemeriksaan IHC (Gambar 6). Tumor dengan MMR yang baik memiliki status MSS
atau MSI-L dan akan positif dengan pemeriksaan IHC (Gambar 7).15 Hasil IHC
yang negatif pada protein selain MLH1 lebih mengarah pada HNPCC. Pemeriksaan
mutasi BRAF juga akan membantu membedakan KKR MSI-H tipe sporadik degan
HNPCC.

2.2.3 Histopatologi Kanker Kolorektal


2.2.3.1 Gambaran Makroskopis
Gambaran makroskopis karsinoma kolorektal juga sangat bergantung pada
lokasi tumor dan derajat lesi pada saat dilakukan pemeriksaan. Gambaran
makroskopis KKR dapat ditemukan berupa gambaran eksofitik/fungating dengan
pertumbuhan intralumen (a), gambaran endofitik/ulseratif dengan pertumbuhan
intramural (b), gambaran difus infiltratif/linitis plastica dengan pertumbuhan
endofitik halus (c), dan gambaran annular dengan pertumbuhan keliling dari dinding
usus dan penyempitan lumen, gambaran ini sering terjadi tumpang tindih dengan
ulserasi (d) (Gambar 8) (Hamilton et al, 2010 dan Goldblum, 2018).

(a) (b) (c) (d)


Gambar 8. Gambaran makroskopis Kanker Kolorektal (Hamilton et al, 2010).

Lesi eksofitik bertangkai (pedunculated exophytic) dengan tangkai yang


sempit terdiri dari mukosa dan submukosa yang tidak mengandung sel tumor,

15
sedangkan tumor eksofitik sessile (sessile exophytic) memiliki gambaran tumor yang
luas ke dinding. Karsinoma kolon proksimal cenderung dengan gambaran tumor
eksofitik, sementara tumor pada kolon transversum dan kolon descendens dengan
gambaran endofitik dan annular. Pada irisan, sebagian besar karsinoma kolorektal
tampak relatif homogen dan kadang terlihat daerah nekrosis. Pada adenokarsinoma
musinus tampak gambaran dengan daerah yang mengandung musin (Hamilton et al,
2010 dan Goldblum, 2018).

2.2.3.2 Gambaran Mikroskopis


Sekitar 90% dari semua KKR adalah adenokarsinoma yang berasal dari sel
epithelia dari mukosa kolorektal. Gambaran definitif KKR berupa invasi melalui
muskularis mukosa hingga ke submukosa. Walaupun kebanyakan kasus didiagnosis
sebagai adenokarsinoma NOS (not otherwise specified), berbagai subtipe
histopatologis dapat dibedakan melalui karakteristik histopatologis dan molekular
spesifik, di antaranya:
a) Adenokarsinoma musinus: entitas ini digunakan apabila lebih dari 50% lesi
tumor mengandung musin ekstraseluler, dimana epitel ganas menunjukkan pola
asinar, beberapa lapis sel tumor atau sel tumor individual termasuk di dalamnya
sel signet-ring. Ini adalah subtipe yang paling sering, dengan prevalensi 5-20%.
Tidak terdapat perbedaan prognosis dibandingkan dengan adenokarsinoma NOS.
Proporsi kasus dengan MSI meningkat dibandingkan dengan adenokarsinoma
NOS, tetapi adanya MSI tidak memiliki nilai prognosis independen. Karsinoma
dengan area musinus kurang dari 50% dikategorikan sebagai tumor yang
memiliki komponen musinus (Gambar 9).

Gambar 9. Adenokarsinoma musinus (Nagtegaal et al, 2019).

16
b) Karsinoma signet ring cell: varian adenokarsinoma ini didefinisikan lebih dari
50% sel tumor memiliki musin intrasitoplasma yang prominen dan secara khas
ditandai dengan inti yang terdesak ke tepi dan moulding. Subtipe ini memiliki
prevalensi yang rendah, kurang lebih 1%. Tumor sering muncul pada stadium
lanjut dengan prognosis lebih buruk dibandingkan dengan adenokarsinoma NOS
dan karsinoma musinus. Metastasis berkembang dengan cepat. Subtipe ini
memiliki insiden tinggi MSI, hubungan kuat dengan sindrom Lynch, dan
kemungkinan memiliki fenotip MSI/PDL1. Jika komponen signet ring cell
kurang dari 50% dikategorikan sebagai tumor yang memiliki komponen signet
ring cell (Gambar 10).

Gambar 10. Karsinoma signet ring cell (Nagtegaal et al, 2019).

c) Karsinoma medular: varian ini memili pola lembaran sel neoplastik dengan inti
vesikular, nukleoli yang prominen dan sitoplasma eosinofilik luas dengan
infiltrasi prominen dari limfosit dan granulosit neutrofil. Studi menunjukkan
prevalensinya 4%. Subtipe ini banyak mengandung MSI, paling sering kombinasi
dengan mutasi BRAF, dan berhubungan dengan prognosis yang baik (Gambar
11).

Gambar 11. Karsinoma medular (Nagtegaal et al, 2019).

17
d) Adenokarsinoma serrated: varian ini kurang lebih 10-15% dari semua KKR,
gambaran arsitekturnya hampir sama dengan polip sessile serrated dengan
bentuk kelenjar yang serrated disertai area musinus, serta rasio inti dengan
sitoplasma yang rendah (Gambar 12). Tumor ini memiliki fenotip MSI-High
yang kebanyakan terjadi pada kolon proksimal dan berasal dari precursor
serrated lesion. Tumor yang lebih jarang dapat memiliki fenotip MSI-Low atau
stabil.

Gambar 12. Adenokarsinoma serrated (Nagtegaal et al, 2019).

e) Adenokarsinoma mikropapiler: sel-sel tumornya lebih dari 5% membentuk


kelompok kecil dengan ruang-ruang stromal yang mirip dengan pembuluh darah.
Insiden berkisar antara 5-20%. Subtipe ini memiliki resiko tinggi metastasis
kelenjar getah bening, dan faktor prognosis buruk berupa invasi limfatik,
extramural vascular invasion (EMVI), dan invasi perineural (Gambar 13).

Gambar 13. Adenokarsinoma mikropapiler (Nagtegaal et al, 2019).

f) Adenokarsinoma adenoma-like: subtipe ini sebelumnya disebut adenokarsinoma


vilus dan adenokarsinoma papiler invasif merupakan adenokarsinoma invasif
dimana 50% area invasif memiliki aspek adenoma-like dengan struktur vilus
yang low-grade. Reaksi desmoplastik minimal terjadi, dan terdapat pushing

18
growth pattern dengan insiden berkisar 3-9%. Subtipe ini memiliki karakteristik
sulit dalam menegakkan diagnosis komponen invasif dari sediaan biopsi, mutasi
KRAS yang tinggi, dan prognosisnya baik (Gambar 14).

Gambar 14. Adenokarsinoma adenoma-like (Nagtegaal et al, 2019).

g) Karsinoma adenoskuamosa; varian yang jarang terjadi dengan insiden kurang


dari 0,1% dan memiliki gambaran karsinoma sel skuamous dan adenokarsinoma
(Gambar 15).

Gambar 15. Karsinoma adenoskuamosa (Nagtegaal et al, 2019).

h) Karsinoma dengan komponen sarkomatoid: varian ini memiliki histologi


undifferentiated dan aspek sarkomatoid seperti komponen sel spindel atau
rhabdoid. Secara umum, pasien memiliki prognosis yang buruk. Sel-sel tumor
memiliki morfologi rhabdoid dengan eosinophilic rhabdoid bodies
intracytoplasmic yang tersusun diskohesif dan berada dalam matriks miksoid.
Sel-sel datia pleomorfik atau spindel serta diferensiasi glandular dapat terlihat.
Secara khas tampak hilangnya pengecatan inti untuk SMARCB1 (INI1), subunit
inti dari kompleks chromatin-remodelling SWI/SNF.

(i) Karsinoma undifferentiated: tumor ini tidak memiliki gambaran morfologi


spesifik, imunohistokimia dan bukti biologi molekuler penanda diferensiasi

19
epitel. Subtipe ini berbeda dari karsinoma medular karena kurangnya pushing
borders, pola sinsitial, dan infiltrat prominen limfoplasmasitik. Varian ini jarang
menunjukkan MSI (Gambar 16).

Gambar 16. Karsinoma undifferentiated (Nagtegaal et al, 2019).

2.2.3 Grading dan Prognosis Kanker Kolorektal


Grading pada KKR berdasarkan pembentukan kelenjar dan komponen
diferensiasi (Tabel 1). Low-grade untuk diferensiasi baik hingga sedang dan high-
grade. Dikatakan diferensiasi baik jika menunjukkan struktur glanduler pada lebih
dari 95% tumor berbentuk simpel atau kompleks dengan polaritas sel baik dan inti
sel yang relatif uniform (Gambar 17 A); diferensiasi sedang jika memiliki 50 – 95%
struktur glanduler dengan bentuk yang lebih ireguler dan polaritas inti yang
berkurang (Gambar 17 B); diferensiasi buruk jika memiliki 0 – 49% struktur
glanduler yang ireguler dan kehilangan polaritas inti sel (Gambar 17 C). Sedangkan
kategori karsinoma yang tidak berdiferensiasi mengacu pada karsinoma tanpa
bentukan glanduler, produksi musin, atau menunjukkan diferensiasi neuroendokrin,
skuamus, dan sarkomatoid (Hamilton et al, 2010; Fleming et al, 2012). Derajat
diferensiasi histopatologi secara signifikan mempengaruhi tingkat survival disamping
stadium. Pasien dengan well differentiated karsinoma (grade 1 dan 2) mempunyai 5-
year survival rates yang lebih baik dibandingkan dengan poorly differentiated
karsinoma (grade 3 dan 4) (Chong et al, 2006).
Prediksi prognosis pada KKR merupakan hal yang penting dalam
pertimbangan pemilihan pilihan terapi. Histopalagi masih menjadi yang terpenting
dalam hal ini. Beberapa faktor seperti ukuran tumor, tipe dan subtipe histopatologi,
didapatkannya morfologi signet ring dan derajat diferensiasi seperti terdapat invasi
limfovaskular dan keterlibatan kelenjar getah bening merupakan faktor yang
diketahui dapat mempengaruhi outcome terapi. Beberapa marker molekular dan

20
genetik seperti KRAS, BRAF dan MSI juga sangat penting dan berhubungan dengan
gambaran histopatologi pada beberapa pasien (Marzouk & Schofield, 2011).

Tabel 1. Kriteria derajat histologis adenokarsinoma kolorektal


Kriteria Kategori Derajat dalam Deskripsi derajat
diferensiasi numerika
Bentuk kelenjar > 95% Diferensiasi baik 1 Rendah

Bentuk kelenjar 50 – 95% Diferensiasi 2 Rendah


sedang
Bentuk kelenjar 0 – 49% Diferensiasi 3 Tinggi
buruk
a
kategori undifferentiated carcinoma (derajat 4) digunakan pada karsinoma yang tidak
memiliki bentuk kelenjar, produksi musin atau neuroendokrin serta tidak dengan diferensiasi
skuamous maupun sarkomatoid (Goldblum JR, 2018).

Gambar 17. Tipe diferensiasi karsinoma kolorektal. A. Diferensiasi baik. B. Diferensiasi


sedang. C. Diferensiasi buruk (Fenoglio-Preiser et al, 2009).

Faktor prognostik pada kanker kolorektal dapat diklasifikasikan secara


umum menjadi faktor klinis, fakto patologis dan marker molekular. Faktor klinis
yang menandakan prognosis yang buruk ditandai dengan adanya metastase, adanya
perforasi atau obstruksi dan tingginya level Carcioneembryonic antigen (CEA).
Level CEA yang tingi berhubungan dengan peningkatan risiko rekurensi dan poor
survival ketika ditemukan meningkat pada saat preoperasi dan postoperasi (Park et
al, 2009). Prognosis buruk juga ditemui pada pasien dengan penurunan CEA
clearance setelah reseksi tumor (Marzouk & Schofield, 2011).
Faktor patologis dalam penentuan prognosis termasuk dalam pathological
tumor stage (keterlibatan kelenjar getah bening, serosa, peritoneal carcinomatosis,
penyebaran yang lebih jauh). Kareteristik tumor primer (kedalaman penetrasi tumor
pada dinding usus, subtipe histopatologi, derajat dan diferensi histologi). Faktor

21
marker molekular yang digunakan untuk menentukan prognosis KKR sangatlah
bervariasi dan sampai sekarang masih terus dipelajari (Marzouk & Schofield, 2011).
Molekuar marker yang sering digunakan untuk menilai prognosis KKR
tersering adalah KRAS, BRAF, dan MSI. Protein RAS adalah keluarga protein small
GTPase-related yang terlibat dalam transduksi sinyal sel. Mutasi pada onkogen
RAS, mutasi tersering pada kanker manusia, dan terbukti signifikan pada KKR. Ada
tiga gen RAS, dua di antaranya (KRAS dan NRAS) berefek pada terapi (Nagtegaal
et al, 2019).
BRAF adalah jenis onkogen dari keluarga RAF threonine kinase. BRAF
adalah biomarker super relevan pada terapi diagnosis melanoma, hairy cell
leukaemia, adenokarsinoma paru, dan kanker tiroid. Pada KKR, BRAF merupakan
biomarker penting. Mutasi BRAF di dalam dan sekitar asam amino 600 (tersering
p.V600E) mengakibatkan prognosis yang berlawanan. Mutasi BRAF digunakan
dalam eksklusi sindrom Lynch dan overekspresi pada beberapa subtipe morfologi.
Sindrom Lynch merupakan kelainan genetik dominan yang mempunyai karakteristik
peningkatan resiko kanker pada saluran cerna, ginekologi, dan organ lainnya.
Beberapa studi menunjukkan, para ahli onkologi menggunakan BRAF dalam
memutuskan terapi yang akan digunakan (Hu et al, 2017 dan Nagtegaal et al, 2019).
MSI akibat dari mekanisme mismatch repair yang tidak efektif sangat rentan
terhadap mutasi. MSI merupakan alah satu kunci mekanisme onkogenesis pada KKR
dan salah satu tes dalam mendiagnosis sindrom Lynch. Dalam menentukan
keputusan terapi, MSI penting dalam dua hal. Pertama, pada kasus BRAF-wildtype,
MSI memiliki prognosis yang baik walaupun menurunkan keuntungan terapi
fluorouracil-based. KKR yang merupakan microsatellite stable (MSS), dalam hal
mutasi BRAF memiliki prognosis yang buruk. Kedua, adanya MSI penting di dalam
imunoterapi kanker. Beberapa studi saat ini menunjukkan kanker-kanker MSI (KKR
dan yang lainnya) berespon signifikan terhadap anti-PDL1 pada pasien yang
mengalami kegagalan terhadap terapi konvensional (Nagtegaal et al, 2019).

2.3 Peranan MSH2 pada Kanker Kolorektal


2.3.1 Struktur dan Fungsi MSH2
MutS homolog 2 (MSH2) adalah protein yang merupakan komponen esensial
di dalam DNA MMR signaling pathway. MSH2 berperan penting di dalam
memelihara integritas genom untuk mengidentifikasi dan memperbaiki nukleotida

22
yang salah menggunakan parental strand sequence sebagai bagian yang benar.
MSH2 dapat pula memicu rekombinasi homolog selama replikasi DNA. MSH2
berlokasi pada kromosom 2p21 dan membentuk MSH3 dan MSH6. Defek pada gen
MSH2 dapat menghilangkan respon MMR sehingga menimbulkan instabilitas genom
dan meningkatkan resiko transformasi ke arah malignansi (Huo et al, 2017 dan Wang
et al, 2019).
Pada bentuk eukaryotes, MSH2 berdimerisasi dengan MSH6 untuk
membentuk kompleks MutSα, yang memiliki peran pada mismatch repair bases dan
insersi atau deletion loops pendek (Hargreaves et al, 2010). Heterodimerisasi MSH2
menstabilkan MSH6, yang awalnya tidak stabil karena kerusakan pada domain N-
terminal. Sebaliknya, MSH2 tidak memiliki nuclear localization sequence (NLS),
sehingga dipercaya bahwa MSH2 dan MSH6 dimetirisasi di sitoplasma dan
kemudian dimasukkan secara bersamaan kedalam nukleus. Pada dimer MutSα,
MSH6 berikteraksi dengan DNA untuk mismatch recognition sementara MSH2
menyediakan stabilitas yang dibutuhkan oleh MSH6. MSH2 dapat dimasukkan ke
dalam nukleus tanpa dimetirasi dengan MSH6, pada kasus ini, MSH2 kemungkinan
berdimetirasi dengan MSH3 untuk membentuk MutSβ. MHS2 memiliki dua domain
interaksi dengan MSH6 pada heterodimer MutSα, pertama domain interaksi DNA
dan kedua domain ATPase (Edelbrock et al, 2012).
Dimer MutSα memindai strain ganda DNA pada nukleus, mencari informasi
mismatched bases. Ketika kompleks MutSα menemukan suatu mutasi, maka mutasi
tersebut akan diperbaiki melalui ATP dependent manner. Domain MSH2 pada
MutSα lebih sering menggunakan ADP dibanding ATP, hal sebaliknya terjadi pada
domain MSH6. Beberapa penelitian telah mengindikasikan bahwa MutSα hanya
memindai DNA dengan domain MSH2 yang menyimpan ADP. MutSα kemudian
bergabung dengan MLH1 akan memperbaiki kerusakan DNA (Edelbrock et al,
2012).
MutSβ dibentuk ketika MSH2 bergabung dengan MSH3. Dimerisasi ini
memperbaiki insersi atau deletion loops yang lebih panjang dibanding dengan
MutSα. Oleh karena sifat mutasi yang diberbaiki oleh kompleks ini, kemungkinan
menjadi dasar keadaan mutasi fenotipe MSI. Insersi dan delesi DNA yang besar
secara instriktik menyebabkan DNA menekuk menjadi double helix. Dimer
MSH2/MSH3 dapat mengenali topologi ini dan dengan segera memperbaikinya.
Mekanisme dimana kompleks ini mengenai mutasi berbeda dengan komplek MutSα,

23
dimana kompleks ini memisahkan dua strain DNA yang tidak dilakukan oleh MutSα
(Edelbrock et al, 2012).
Mutasi pada gen MSH2 berhubungan dengan MSI dan beberapa kanker,
khususnya HNPCC. HNPCC atau juga sering disebut sebagai sindrom Lynch
merupakan kelainan genetik yang diturukan secara autosomal dominant, dimana satu
copy turunan mutasi gen mismatch repair cukup menyebabkan penotipe penyakit ini.
Mutasi pada gen MSH-2 bertanggung hawab pada sekitar 40% kesalahan genetik
yang berhubungan dengan sindrom Lynch dan merupakan penyabab utama, bersama
dengan mutasi MLH1 (Muller & Fishel, 2012).

Gambar 18. Pewarnaan IHC dengan antibodi anti-MSH2 pada karsinoma kolorektal, 400x
(a) ekspresi negatif MSH2 atau disebut sebagai MSI MSH2 positif ditandai dengan tidak
adanya nuclei staining (b) ekspresi MSH2 positif atau disebut sebagai MSH2 MSI negative
ditandai dengan intensitas staining yang sama dengan kontrol (Arshita et al, 2018).

Pemeriksaan MSH2 untuk menentukan status MSI dapat dilakukan dengan


analisis IHC. Analisis ini dilakukan dengan menilai ada tidaknya ekspresi protein
MSH2 pada sampel tumor, dimana adanya ekspresi protein MSH2 pada IHC
menandakan tidak adanya mutasi pada gen MSH2 yang sering disebut sebagai MSH2
negatif. Begitupun sebaliknya, apabila pada analisa IHC tidak didapatkan ekspresi
protein MSH2 menandakan adanya mutasi pada gen MSH2 yang disebut juga MSH2
positif. Pewarnaan imunohistokimia MMRp untuk observasi ekspresi MSH2 dapat
terlihat adanya inti yang berwarna cokelat pada sel tumor. Ekspresi negatif MMRp
didefinisikan sebagai MSI yang mempunyai karakteristik tidak adanya inti sel-sel
tumor yang terwarnai (Gambar 18) (Arshita et al, 2018).

2.3.2 Peran MSH2 sebagai Marker Diagnosis


Mutasi pada DNA MMR merupakan hasil dari kegagalan hingga kesalahan
repair pada sekuens yang repetitif, yang menyebabkan MSI pada tumor. MSI dapat
terjadi pada semua jenis tumor, akan tetapi MSI merupakan pertanda utama pada
24
KKR. Dimana MSI terjadi pada 15% semua jenis kanker kolorektal dan 90% pasien
dengan sidrom Lynch (Kurzawski et al, 2014).
Pemeriksaan MSI menggunakan MMR IHC merupakan salah satu alternative
pemeriksaan yang mudah, cepat, akurat, dan cost effective (Lindor et al, 2017). Tidak
adanya gambaran ekspresi protein MMR pada MMR IHC merupakan pertanda
adanya mutasi pada gen MMR yang juga merupakan kriteria diagnosis MSI-H.
Mutasi pada MSH2 merupakan mutasi tersering kedua yang terjadi pada MMR
setelah mutasi gen MLH1 (Ollila et al, 2006). Mutasi pada MSH2 berkaitan erat
dengan adanya sindrom Lynch, oleh karena ini adanya pemeriksan MMR IHC
dengan MSH2 positif dapat langsung dikonfimasi dengan pemeriksaan gene testing
(Gambar 17). Sedangkan pada pasien dengan MLH1 positif masih perlu dilakukan
pemeriksaan mutasi BRAF dan test MLH1 metilasi yang lebih mengarah pada KKR
sporadik dibanding sindrom Lynch (Chen & Frankel, 2019).

Pre-skrining pada semua pasien yang baru terdiagnosis KKR digunakan


beberapa spesialis di sentral Amerika Serikat dan Eropa dengan tujuan
mengidentifikasi sindrom Lynch pada pasien KKR yang tidak memiliki riwayat
keluarga. Penelitian multi-senter pada 10.000 pasien yang baru terdiagnosis KKR,
menunjukkan MMR IHC merupakan strategi pendekatan paling efektif dalam
mengidentifikasi karier mutasi (sensitivitas 100%, spesifitas 93%) (Newton et al,
2014). Germline mutation pada MLH1 dan MSH2 bertanggung jawab pada hampir
90% mutasi yang terdeteksi pada keluarga dengan sindrom Lynch. Sedangkan MSH6
(7-10%) dan PMS2 (<5%) memiliki presentasi yang lebih kecil pada keluarga
dengan sindrom Lynch.

Algoritma skrining pada pasien KKR menggunakan MMR IHC disarankan


secara universal (Gambar 19). Berdasarkan algoritma tersebut semua pasien KKR
disarankan untuk MMR IHC. Jika terdapat ekspresi keempat protein MMR dalam
analisa IHC, menandakan KKR dengan mikrosatelit stabil (MSS). Dengan demikian,
tidak dibutuhkan pemeriksaan lebih lanjut kecuali jika terdapat klinis yang
mencurigakan pada sindrom Lynch atau pada pasien dengan usia kurang dari 50
tahun (Chen & Frankel, 2019).

25
Gambar 17. Algoritma skrining pada defisiensi MMR dan sindrom Lynch. Semua
pasien KKR dilakukan immunostained untuk protein MLH1, MSH2, MSH6 dan PMS2. Jika
terdapat ekspresi keempat protein tersebut makan tidak dibutuhkan pendekatan diagnosis
lebih lanjut keculai jika pada pasien dengan klinis yang mencurigakan. Ketika tidak
didapatkan ekspresi protein MLH1 dan PMS2, maka dilakukan analisis mutasi
BRAFV600E. Mutasi BRAF sangat penting untuk menyingkirkan diagnosis sindrom Lynch.
Jika tidak diapatkan mutasi BRAF, langkah selanjutnya tergantung dari derajat kecurigakan
ke arah sindrom Lynch berdasarakan usia dan riwayat penyakit pasien; jika kecurigaan tinggi
maka dilakukan pemeriksaan genetik sekuen MLH1 atau PMS2; jika kecurigaan rendah
dilakukan pemeriksaan analisi promoter MLH1 hipermetilisasi. Jika tidak ditemukan
metilasi MLH1, maka perlu dilakukan germline sequencing MLH1 atau PMS2; jika di
dapatkan metilasi MLH1 mengarah kepada tumor sporadik dan pendekatan diagnosis
sindrom Lynch selanjutnya tidak perlu dilakukan. Beberapa laboratorium lebih sering
menggunakan test MLH1 metilasi dibanding analisis mutasi BRAF setelah IHC dengan hasil
MLH1 positif. Kasus dengan IHC MSH2/MSH6 positif, mengarah pada sindrom Lynch dan
disarankan menjalani test germline sequencing. Jika mutasi germline sindrom Lynch tidak
didapatkan makan tidak ada dindeikasi defisiensi MMR pada kasus (Chen & Frankel,
2019).

Selain menggunakan algoritma skrining, penegakan diagnosis sindrom Lynch


dapat dilakukan dengan menggunakan kriteria Berhesda (Tabel 2) (Kurzawski et al,
2014). Gabungan diagnosis menggunakan kriteria Berhesda dengan MMR IHC
memiliki sensitifitas 89% untuk MLH1/MHS2 dan kurang dari 80% untuk MSH6
dan PMS2 dalam mendiagnosis sindrome Lynch, dengan spesifitas 90% untuk
masing-masing gen (Newton et al, 2014).

26
Tabel 2. Kriteia Berhesda
KKR pada individu perlu dipertimbangkan MSI testing pada kondisi sebagai
berikut :

1. KKR yang diagnosis pada pasien usia < 50 tahun


2. Terdapat synchoronous, metachornous kolorektal atau bentuk lain
HNPCC-related tumoursa, pada segala usia.
3. KKR dengan histologi MSI-Hb, terdiagnosis pada pasien usia < 60 tahun.
4. KKR terdiagnosis pada satu atau lebih keluarga first-degree dengan salah
satu jenis tumor HNPCC, dengan salah satu terdiagnosis pada usia di
bawah 50 tahun.
5. KKR terdiagnosis pada dua atau lebih keluarga first-degree atau second-
degree dengan HNPCC-related tumours, pada segala usia.

a
HNPCC-related tumours terdiri dari tumor colorectal, endometrial, perut, ovarium,
pankreas, ureter dan pelvis renal, traktur biliari dan otak (biasanya glioblastoma
seperti yang ditemukan pada sindrom Turcot), sebaceaous gland adenomas dan
keratocenthomas pada sindrom Muir-Torren, dan karsnima pada usus halus.
b
Terdapat tumor infiltrate limfosit, Crohn-like lymphotic reaction, diferensiasi
mucosinus/signet-ring atau pola pertumbuhan medular ) (Kurzawski et al, 2014).

2.3.3 Peran MSH2 sebagai Faktor Prediktif dan Prognosis


Selain sebagai skrining diagnosis pemeriksaan ekspresi MSH2 pada analisis
IHC untuk menentukan status MSH dapat digunakan sebagai faktor prediktif maupun
prognosis pada pasien KKR. Tumor dengan status MSI-H diprediksi bersifat seperti
tumor dengan derajat rendah. Tumor dengan MSI-L atau MSS diprediksi memiliki
sifat lebih agresif seperti tumor dengan derajat tinggi atau yang berdiferensiasi
buruk, terutama jika terdeteksi pada stadium lanjut. Karsinoma kolorektal tipe
meduler berhubungan kuat dengan status MSI-H, sehingga biasanya memiliki
prognosis yang baik, meskipun tumor memiliki gambaran differensiasi yang buruk
(Kristina et al, 2019).
Penelitian yang dilakukan Wang et al pada tahun 2014, menunjukkan adanya
hasil postif antara ekspresi MSH2 terhadap prognosis pasien KKR. Pasien KKR
dengan MSI-H memiliki survival advantage dibanding dengan pasien MSS. Insiden
metastase yang lebih luas dan metastase regional kelenjar getah bening pada pasien
MSI-H ditemukan lebih rendah dibandingkan dengan pasien dengan tumor micro
satellite stable (MSS). Pada penelitian meta-analisis 12.782 pasien, didapatkan
korelasi signifikan antara tumor MSI-H dan peningkatan overall survival (OS). Data

27
menunjukkan OS pasien dengan MSI-H secara sigfinikan lebih baik dibandingkan
pada pasien dengan MSI-L dan MSS (p<0,001), dengan odd ratio 0,6 (95%CI 0,53-
0,69) (Guastadisegni et al, 2010). Selain itu, disease-free survical (DFS) juga
menunjukkan hasil signifikan yang berbeda. Pada penelitian Wang et al, pasien
dengan MLH1/MSH2 negatif pada KKR stadium II-III memilki clinical outcome
yang lebih baik dibandingkan dengan pasien dengan MLH1/MSH2 positif. Selain itu,
pada analisis multivariate didadapatkan, MSH2 negatif adalah faktor independent
surivival advantage tanpa melihat parameter klinis dan patologis lain (Wang et al,
2014).
Kemoterapi adjuvant merupakan terapi yang dipertimbangkan sebagai gold
standard pada pasien KKR stadium III. Meskipun demikian terapi ini masih menjadi
kontroversi pada pasien KKR stadium II yang telah menjalani operasi. Guideline The
National Comprehensive Cancer Network (NCCN) tahun 2013 mengusulkan MMR
protein test pada semua pasien dibawah 50 tahun dengan KKR stadium II. Pasien
KKR Stadium II dengan MSI-H diperkirakan memiliki prognosis yang bagus dan
tidak mendapat keuntungan yang signifikan dari dari terapi adjuvant 5-FU. Hal ini
juga ditunjukkan pada penelitan yang dilakukan Wang et al, dimana tidak ada
perbedaan outcome antara pasieen dengan MSH2 positif maupun negatif pada pasien
KKR stadium II. Akan tetapi, pada pasien stadium III yang menerima terapi adjuvan,
ditemukan OS yang lebih tinggi pada pasien dengan MSH2 negatif dibandingkan
dengan MSH2 positif (Wang et al, 2914).
Hal serupa juga didapatkan dalam penelitian Ward et al tahun 2010, analisis
pada 310 sampel tumor yang didapatkan dari 302 pasien KKR sporadik yang
menjalani operasi kuratif. Meskipun tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara
status MSI dengan survival curve, namun terdapat kecenderunga n dimana pasien
dengan status MSI-H memiliki prognosis yang lebih baik (Ward et al, 2010).
Berdasarkan beberapa penelitian, keadaan ini diperkiarakan karena MSI dapat
mengiduksi respon antitumor, hal ini dibuktikan dengan adanya infiltrate limfosit
pada tumor dengan stataus MSI-H. Meskipun demikian beberapa hasil penelitian
melihat kecenderungan prognosis baik pada pasien-pasien muda (usia < 50 tahun)
dengan MSI-H, hal ini juga menjadi pertimbangan bahwa terdapat tren biologikal
yang berbeda antara pasien KKR tua dan muda (Gryfe et al, 2010).
Prognosis yang baik pada pasien dengan status MSI-H juga diperkirakan
karena tumor MSI-H umumnya mengalami kegagalan dalam berkembang dari KKR

28
stadium II ke III. Hal ini terlihat dari hasil penelitian Ward et al, pasien dengan status
MSI-H memiliki presentase KKR stadium II yang meningkat serta KKR stadium III
yang menurun. Dasar biologis pada fenomena ini sebenernya belum begitu jelas,
tetapi diperkirakan hal ini berhubungan dengan frekuensi mutasi p53 pada pasien
dengan tumor MSI, yang kemungkinan berhubungan dengan inhibisi tumor (Gryfe et
al, 2010).

29
BAB III
SIMPULAN

MutS homolog 2 (MSH2) adalah komponen esensial di dalam DNA MMR


signaling pathway yang berlokasi pada kromosom 2p21 dan membentuk MSH3 dan
MSH6. MSH2 berperan penting di dalam mengenali setiap kesalahan replikasi DNA
dan memperbaiki nukleotida yang salah serta memicu rekombinasi homolog selama
replikasi DNA. Defek pada gen MSH2 dapat menghilangkan respon MMR sehingga
menimbulkan instabilitas genom dan meningkatkan resiko transformasi ke arah
malignansi.
Protein MSH2 menunjukkan fungsinya dengan membentuk heterodimer
dengan MSH6. Kekurangan MSH2 dapat disebabkan mutasi MSH2 dan EpCAM
(epithelial cellular adhesion molecule). Sedangkan MSH6 hanya dapat diekspresikan
ketika berikatan dengan MSH2. Sebagai tambahan, mutasi MSH2 juga dapat
menyebabkan MSH6 tidak terikat atau ikatan lemah, yang menyebabkan degenerasi
dari MSH6. Ekspresi MSH2 yang mengalami mutasi umumnya mencapai 50% pada
kasus kanker kolorektal.
MMR IHC test dengan MSH2 dapat digunakan sebagai skrining sindrom
Lynch dengan spesivisitas 89% dan spesifisitas 90%. Selain itu, MSH2 juga dapat
digunakan sebagai faktor prediktif dan prognosis independent keberhasilan terapi
pada pasien KKR.

30
DAFTAR PUSTAKA

Arshita N., Lestari R.V., Hutajulu S.H., Ghozali A., Paramita D.K. 2018. The
tendency of having MSH2 and MSH6 microsatellite instability among
clinicopathological features in patients with coorectal cancer. Asian Pacific
Journal of Cancer Prevention, 19,3147-51.
Chen W & Frankel W. 2019. A practical guide to biomarker for the evaluation of
colorectal cancer. Modern pathology, 32:1-15.
Chong G et al. 2006. Phase III Trial of 5-fluorouracil and Leucovorin Plus Either
3H1 Anti idiotype Monoclonal Anti body or Placebo in Patients with
Advanced Colorectal Cancer. Annals of Oncology, 17;437-42.
Dabbs D.J. 2019. Diagnostic immunohistochemistry: theranostic and genomic
applications, fifth edition. Elsevier, 14,525-527.
Edelbrock et al. 2012. Structural, molecular, and cellular f7nction of MSH2 and
MSh6 during DNA mismatch repair, damage signaling and other
noncanonical activities. Mutat Res, 743-744:53-66.
Fleming, M., Ravula, S., Tatishchev, S.F., Wang, H.L. 2012. Colorectal carcinoma:
Pathologic aspects. J Gastrointest Oncol. 3(3): 153-173.
Goldblum J.R., Lamp L.W., McKenny J.K., Myers J.L. 2018. Rosai and Ackerman’s
Surgical Pathology, eleventh edition. Philadelphia: Elsevier. p. 648-685.
Granados-Romero J.J., Valderraman-Trevino A.I., Contreras-Flores E.H., Barrera-
Mera B., Enriquez M.H., Uriarte-Ruiz K., Ceballos-Villalva J.C., Estrada-
Mata A.G., Rodriguez C.A., Arauz-Pena G. 2017. Colorectal cancer: a
review. International Journal of Research in Medical Sciences, 5(11),4667-
76.
Gryfe at al. 2010. Tumor microsatellite instability and clinical aoutcome in young
pastient with colorectal cancer. N Engl J Med, 342:69-77.
Guastadisegni et al. 2010 Microsatellite instability as a marker of prognosis and
response to therapy: a meta-analysis of colorectal cancer survival data. Eur J
Cancer. 46: 2.788-2798.
Gunasakeran et al. 2019. Karakeristik klinikopatologi karsinoma kolorektal di RSUP
sanglah Bali. Intisari sains medis, 10(3):552-556.
Hall G et al. 2010. Immuno- histochemistry for PMS2 and MSH6 alone can replace a
four antibody panel for mismatch repair deficiency screening in colorectal
adenocarcinoma. Pathology, 42:409-13.
Hamilton, S.R., Nakamura, S.I., Bosman, F.T., Quirke, P., Boffetta, P., Riboli, E.,
Iiyas, M., Sobin, L.H., Morreau, H. 2010. Carcinoma of the colon and
rectum. In: Bosman, F.T., Jaffe, E.S., Lakhani, S.R. &Ohgaki, H., editors.
WHO Classification of Tumours of the Dygestive System, 4th Ed. Lyon IARC
Press. p. 134-146.
Hargreaves et al. 2010. Interaction between the MSH2 and MSH6 nucleotide binding
sites in the Saccagromyces cerevisie: MSH2-MSh6 complex. J Biol Chem,
285(12): 9301-10.
Hu H., Li H., Jiao F., Han T., Zhuo M., Cui J., Li Y., Wang. 2017. Association of a
novel point mutation in MSH2 gene with familial multiple primary cancers.
Journal of Hematology and Oncology, 10(158),1-12.
Huang S-C., Huang S-F, Chen Y-T., Chang Y., Chiu Y-T., Chang I-C, Wu H.I.,
Chen J-S. 2017. Overexpression of MutL homolog 1 and MutS homolog 2

31
proteins have reversed prognostic implications for stage I-II colon cancer
patients. Biomedical Journal, 40,39-48.
Huo X., Li Z., Zhang S., Li C., Guo M., Lu J., Lv J., Du X., Chen Z. 2017. Analysis
of the expression level and methylation of tumor protein p53, phosphatase
and tensin homolog 2 in N-methyl-N-nitrosourea-induced thymic lymphoma
in C57BL/6 mice. Oncology Letters, 14,4339-48.
Kementrian kesehatan Republik Indonesia. 2017. Adenokarsinoma kolorektal
[Online]. Available at: http://kanker.kemkes.go.id/guidelines/PNPK
kolorektal.pdf [Accessed November 30, 2019].
Kristina et al. 2019. Aspek Molekular dan Histopatologik Kanker Kolorektal yang
Resisten terhadap 5-Fluorouracil. Prasista Patologi, 6(1):17-22.
Kumar V., Abbas A.K., Aster J.C. 2018. Robbins basic pathology, tenth edition.
Elsevier. p. 631-634.
Kurzawski et al. 2014. Importance of microsatellite instability (MSI) in colorectal
cancer; MSI as a diagnostic tool. Annals of oncology, 15(4): 283-284.
LeGolvan MP, Resnick M. Pathobiology of colorectal cancer hepatic metastases with
an emphasis on prognostic factors. Journal of surgical oncology, 102(8):898-
908.
Lindor et al. 2017. Immunohistochemistry versus Microsatelite Instability Testing in
Phenotyping Colorectal Tumors. Journal of Clinical Oncology, 20(4):1043-
1048.
Lynch HT et al. 2009. Review of the Lynch syndrome: history, molecular genetics,
screening, differential diagnosis, and medicolegal ramifications. Clin Genet,
76:1-18.
Marmol I., Sanchez-de-Diego C., Dieste A.P., Cerrada E., Yoldi M.J.R. 2017.
Colorectal carcinoma: a general overview and futue perspectives in colorectal
cancer. International Journal of Molecular Sciences, 18,197,1-39.
Marzouk O & Scholfield. 2011. Review of Histopathological and Molecular
Prognostic Features in Colorectal Cancer. Cancers (Basel), 3(2); 2767-2810.
Muller A & Fisherl R. 2012. Mismatch repair and the heredity non polyposis
colorectal cancer syndrome. Cancer Invest. 20(1): 102-9.
Nagtegaal I.D., Arends M.J., Odze R.D. 2019. Tumours of the colon and rectum:
introduction. In: Lokuhetty D., White V.A., Watanabe R., Cree I.A., editors.
World Health Organization Classification of Tumours, 5th Ed. France:
International Agency for Research on Cancer. p. 157-186.
Newton et al. 2014. Tumor MLH1 promoter region methylation testing is an
effectice prescreen for Lynch Syndrome (HNPCC). Journal of medical
genetic, 51(12):789-796.
Ollila et al. 2006. Pathogenecity of MSH2 Missnese Mutations in Typically
Associated with Impaired Repair Capability of the Mutated Protein.
Gastroenterology, 131:1408-1417.
Park et al. 2009. Seryn carcioembryonic antigen monitoring after curative resection
for colorectal cancer: clinical significance of preoperative leve. Ann Surg
Oncl, 16:3087-3093.
Pearlman et al. 2018. Assessment of tumor sequencing as a replacement for Lynch
syndrome screening and current molecular cancer. JAMA Oncol, 4:806-13.
Pino MS, Chung DC. 2010. The chromosomal instability pathway in colon cancer.
Gastroenterology, 138(6):2059-72.
Rawla et al. 2018. Epidemiology of colorectal cancer: incidence, mortality and risk
factors.Prz Gastroenterol, 14(2):88-103.

32
Sinicrope et al. 2012. Molecular pathways: microsatellite instability in colorectal
cancer: prognostic, predictive, and therapeutic implications. Clin cancer res;
18(6):1506-1512.
Sinicrope FA. 2010. DNA mismatch repair and adjuvant chemotherapy in sporadic
colon cancer. Nat Rev Clin Oncol, 7:174-7.
Suksmarini. 2018. Metilasi DNA dalam perkembangan kanker kolorektal. Intisari
sains medis, 9(2): 69-74.
Tan D. 2013. Molecular diagnostics of colorectal cancer. In: Tan D, Lynch HT,
editors. Principles of molecular diagnostics and personalized cancer
medicine. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; p339-55.
Tariq K. dan Ghias K. 2016. Colorectal cancer carcinogenesis: a review of
mechanisms. Cancer Biology and Medicine, 120-135.
Toth E et al. 2011. Molecular pathways and pathomorphology of colorectal cancers.
Rom J Morphol Embryol, 52:767-73.
Vilar et al. 2010 Microsatelite instability in colorectal cancer_the stable evidence.
Nat Rev Clin Oncol, 7(3):153-162.
Wang et al. 2019. Clinical significance of MLH1/MSH2 for stage II/III sporadic
colorectal cancer. World Journal of Gastrointestinal Oncology, 11(11),1065-
80.
Ward et al. 2010. Microsatelote instability and clincicopathological features of
sporadic colcorectal cancer. British Society of Gastroenterology Journal,
48:821-829.
Ward et al. 2019. Annual report to the nation on the status of cancer, feautureing
cander in men an women age 20-49. J Natl Cancer Inst, 111(12);1279.

33

Anda mungkin juga menyukai