Anda di halaman 1dari 33

REFERAT

PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK

Disusun Oleh :
Anggi Indra Kusuma 1102016024

Pembimbing:
dr. Asyraf, Sp, Pd

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


RSUD KABUPATEN BEKASI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
PERIODE 7 JUNI – 17 JULI 2021
BAB I
PENDAHULUAN

Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik dengan
karakteristik adanya hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progresif
nonreversibel atau reversibel parsial, serta adanya respons inflamasi paru terhadap
partikel atau gas yang berbahaya.
Prevalensi pasti COPD di seluruh dunia sebagian besar tidak diketahui, tetapi
perkiraan bervariasi dari 7-19%. Penelitian The Burden of Obstructive Lung Disease
(BOLD) menemukan prevalensi global sebesar 10,1%. Pria ditemukan memiliki
prevalensi 11,8% dan wanita 8,5%. Jumlahnya bervariasi di berbagai wilayah di dunia.
Cape Town, Afrika Selatan, memiliki prevalensi tertinggi, mempengaruhi 22,2% pria
dan 16,7% wanita.
PPOK yang merupakan penyakit kronis gangguan aliran udara merupakan
penyakit yang tidak sepenuhnya dapat disembuhkan. Gangguan aliran udara ini
umumnya bersifat progresif dan persisten serta berkaitan dengan respon radang yang
tidak normal dari paru akibat gas atau partikel yang bersifat merusak. Namun serangan
akut PPOK dapat dicegah dengan menghindari faktor-faktor pemicu serangan akut
tersebut.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. ANATOMI

Gambar 1. Anatomi Alveolus


Lobulus paru sekunder adalah unit paru terkecil yang dibatasi oleh jaringan
ikat. Ini polihedral dan berisi arteri pulmonalis, vena, limfatik, saluran udara, alveoli,
dan interstitium. Ia disuplai oleh bronkiolus kecil dan cabang arteri pulmonalis dan
dibatasi oleh jaringan ikat septa interlobular, yang mengandung venula paru dan
limfatik. Jalan nafas yang mensuplai lobulus paru sekunder adalah preterminal atau
hanya '' bronkiolus lobular, '' yang menimbulkan beberapa bronkiolus terminal.
Bronkiolus terminal berakhir di bronkiolus pernapasan. Bronkiolus pernapasan
berakhir di saluran alveolar, kantung, dan alveoli secara berurutan. Bronkiolus
pernapasan berfungsi baik untuk konduksi dan pertukaran gas. Acinus didefinisikan
sebagai unit paru-paru yang berada di distal bronkiolus terminal, yang digantikan oleh
3 orde bronkiolus pernapasan. Biasanya acinus mengukur diameter sekitar 7 mm.
Semua asini yang timbul dari bronkiolus terminal terdiri dari lobulus primer;
lobulus sekunder biasanya berisi sekitar 6 lobulus primer dengan bagian tengah dari
setiap lobulus primer yang terletak sekitar setengah jalan antara pusat dan pinggiran
lobulus sekunder. Septasi jaringan ikat yang mengelilingi lobulus sekunder tidak
terdefinisi dengan baik di mana-mana di paru manusia.

B. DEFINISI

The Global Initiative for Chronic Obstructive Pulmonary Disease (GOLD)


tahun 2019 mendefinisikan Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) sebagai penyakit
respirasi kronis yang dapat dicegah dan dapat diobati, ditandai adanya hambatan aliran
udara yang persisten dan biasanya bersifat progresif serta berhubungan dengan
peningkatan respons inflamasi kronis saluran napas yang disebabkan oleh gas atau
partikel iritan tertentu. Eksaserbasi dan komorbid berperan pada keseluruhan beratnya
penyakit pada seorang pasien. Pada definisi ini tidak lagi dimasukan terminologi
bronkhitis kronik dan emfisema dan secara khusus dikemukakan pentingnya
eksaserbasi dan komorbid pada definis GOLD 2014 sehingga dipandang perlu untuk
dicantumkan pada definisi.

Bronkitis kronik dan emfisema tidak dimasukkan definisi PPOK karena;


• Emfisema merupakan diagnosis patologik
• Bronkitis kronik merupakan diagnosis klinis
Selain itu keduanya tidak selalu mencerminkan hambatan aliran udara dalam
saluran napas. Hambatan aliran napas kronik pada PPOK adalah merupakan gabungan
dari penyakit saluran napas kecil dan destruksi parenkhim dengan kontribusi yang
ebrbeda antar pasien ke pasien. Pada kenyataannya, PPOK merupakan sebuah
kelompok penyakit dengan gejala klinis yang hampir serupa dengan bronkitis kronis,
emfisema, asma, bronkiektasis, dan bronkiolitis. Hambatan jalan napas yang terjadi
pada penderita OK disebabkan oleh penyakit pada saluran napas dan rusaknya
parenkim paru.
C. FAKTOR RESIKO
Identifikasi faktor risiko merupakan langkah penting dalam pencegahan dan
penatalaksanaan PPOK. Meskipun saat ini pemahaman faktor risiko PPOK dalam
banyak hal masih belum lengkap, diperlukan pemahaman interaksi dan hubungan
antara faktor-faktor risiko sehingga memerlukan investigasi lebih lanjut.
1. Asap Rokok
Kebiasaan merokok adalah satu-satunya penyebab kausal yang
terpenting, jauh lebih penting dari faktor penyebab lainnya. Asap rokok
mempunyai prevalensi yang tinggi sebagai penyebab gejala respirasi dan
gangguan fungsi paru. Dari beberapa penelitian dilaporkan bahwa terdapat
rerata penurunan VEP1.
Tidak semua perokok berkembang menjadi PPOK secara klinis, karena
dipengaruhi oleh faktor risiko genetik setiap individu. Perokok pasif (atau
dikenal sebagai environmental tobacco smoke- ETS) dapat juga memberi
kontribusi terjadinya gejala respirasi dan PPOK, dikarenakan terjadinya
peningkatan jumlah inhalasi pertikel dan gas. Merokok selama kehamilan dapat
berisiko terhadap janin, mempengaruhi tumbuh kembang paru di uterus dan
dapat menurunkan sistem imun awal.
2. Polusi Udara
Berbagai macam partike dan gas yang terdapat di udara sekitar dapat
menjadi penyebab terjadinya polusi udara. Ukuran dan macam partikel akan
memberikan efek yang berbeda terhadap timbulnya dan beratnya PPOK. Agar
lebih mudah mengidentifikasi partikel penyebab, polusi udara terbagi menjadi:
• Polusi di dalam ruangan
- Asap rokok
- Asap kompor
• Polusi di luar ruangan
- Gas buang kendaraan bermotor
- Debu jalanan
• Polusi tempat kerja (bahan kimia, zat iritasi, gas beracun).
3. Stres Oksitdatif
Paru selalu terpajan oleh oksidan endogen dan eksogen. Oksidan
endogen timbul dari sel fagosit dan tipe sel lainnya sedangkan oksidan eksogen
dari polutan dan asap rokok. Oksidan intraseluler (endogen) seperti derivat
elektron mitokondria transpor termasuk dalam mekanisme seluler signaling
pathway.
Sel paru dilindungi oleh oxydative chalenge yang berkembag secara
sistem enzimatik atau non enzimatik. Ketika keseimbangan antara oksidan dan
antioksidan berubah bentuk, misalnya ekses oksidan dan atau deplesi
antioksidan akan menimbulkan stres oksidatif. Stres oksidatif tidak hanya
menimbulkan efek kerusakan pada paru tetapi juga menimbulkan aktifitas
molekuler sebagai awal inflamasi paru.
4. Sosial Ekonomi
Peranan nutrisi sebagai faktor risiko tersendiri penyebab
berkembangnya PPOK belum jelas. Malnutrisi dan penurunan berat badan
dapat menurunkan kekuatan dan ketahanan otot respirasi, karena penurunan
masa otot dan kekuatan serabut otot. Kelaparan dan status anabolik/katabolik
berkembang menjadi empisema pada percobaan binatang. CT scan paru
perempuan dengan kekurangan nutrisi akibat anoreksia nervosa menunjukkan
seperti empisema.
5. Tumbuh Kembang Paru
Pertumbuhan paru ini berhubungan dengan proses selama kehamilan,
kelahiran, dan pajanan waktu kecil. Kecepatan maksimal penurunan fungsi paru
seseorang adalah risiko untuk terjadinya PPOK. Studi metaanalias menyatakan
bahwa berat lahir mempengaruhi nilai VEP1 pada masa anak.
6. Asma
Asma kemungkinan sebagai faktor risiko terjadinya PPOK, walaupun
belum dapat disimpulkan. Pada laporan “The Tucson Epidemiological Study”
didapatkan bahwa orang dengan asma 12 kali lebih tinggi risiko terkena PPOK
daripada bukan asma meskipun telah berhenti merokok.
7. Genetik
PPOK adalah penyakit poligenik dan contoh klasik dari interaksi gen-
lingkungan. Faktor risiko genetik yang paling sering terjadi adalah kekurangan
alpha-1 antitrypsin sebagai inhibitor dari protease serin. Risiko obstruksi aliran
udara yang di turunkan secara genetik telah diteliti pada perokok yang
mempunyai keluarga dengan PPOK berat. Hasil penelitian menunjukkan
keterkaitan bahwa faktor genetik mempengaruhi kerentanan timbulnya PPOK.
Telah diidentifikasi kromosom 2q7 terlibat dalam patogenesis PPOK, termasuk
TGF-1, mEPHX1dan TNF. Gen-gen di atas banyak yang belum pasti kecuali
kekurangan alpha- 1 antitrypsin.

Tabel 1. Protease dan Antiprotease pada PPOK

D. PATOFISIOLOGI

Perubahan patologis karakteristik PPOK ditemukan di saluran napas proksimal,


saluran napas perifer, parenkim dan vascular paru. Perubahan patologis akibat
inflamasi kronis terjadi karena peningkatan sel inflamasi kronis di berbagai bagian paru
yang menimbulkan kerusakan dan perubahan struktural akibat cedera dan perbaikan
berulang. Secara umum, perubahan inflamasi dan struktural saluran napas akan tetap
berlangsung sesuai dengan beratnya penyakit walaupun sudah berhenti merokok.
Pajanan terhadap faktor pencetus PPOK yaitu partikel noxius yang terhirup
bersama dengan udara akan memasuki saluran pernapasan dan mengendap hingga
terakumulasi. Partikel tersebut mengendap pada lapisan mukus yang melapisi mukosa
bronkus sehingga menghambat aktivitas silia. Akibatnya pergerakan cairan yang
melapisi mukosa berkurang dan menimbulkan iritasi pada sel mukosa sehingga
merangsang kelenjar mukosa, kelenjar mukosa akan melebar dan terjadi hiperplasia sel
goblet sampai produksi mukus berlebih. Produksi mukus yang berlebihan
menimbulkan infeksi serta menghambat proses penyembuhan, keadaan ini merupakan
suatu siklus yang menyebabkan terjadinya hipersekresi mukus. Manifestasi klinis yang
terjadi adalah batuk kronis yang produktif.
Dampak lain yang ditimbulkan partikel tersebut dapat berupa rusaknya dinding
alveolus. Kerusakan yang terjadi berupa perforasi alveolus yang kemudian
mengakibatkan bersatunya alveoulus satu dan yang lain membentuk abnormal large-
airspace. Selain itu terjadinya modifikasi fungsi anti-protease pada saluran pernafasan
yang berfungsi untuk menghambat neutrofil, menyebabkan timbulnya kerusakan
jaringan interstitial alveolus. Seiring terus berlangsungnya iritasi di saluran pernafasan
maka akan terjadi erosi epitel serta pembentukan jaringan parut. Akan timbul juga
metaplasia skuamosa dan penebalan lapisan skuamosa yang menimbulkan stenosis dan
obstruksi ireversibel dari saluran nafas. Walaupun tidak menonjol seperti pada asma,
pada PPOK juga dapat terjadi hipertrofi otot polos dan hiperaktivitas bronkus yang
menyebabkan gangguan sirkulasi udara.
Pada bronkitis kronik terdapat pembesaran kelenjar mukosa bronkus,
metaplasia sel goblet, inflamasi, hipertrofi otot polos pernapasan serta distorsi akibat
fibrosis. Pada emfisema ditandai oleh pelebaran rongga udara distal bronkiolus
terminal, disertai kerusakan dinding alveoli yang menyebabkan berkurangnya daya
regang elastis paru.
Gambar 2. Patogenesis PPOK

Mediator inflamasi
Sel inflamasi PPOK ditandai dengan pola tertentu peradangan yang melibatkan
neutrofil, makrofag, dan limfosit. Sel-sel ini melepaskan mediator inflamasi dan
berinteraksi dengan sel-sel struktural dalam saluran udara dan parenkim paru-paru.
• Neutrofil: meningkat dalam dahak perokok. Peningkatan neutrophil pada PPOK
sesuai dengan beratnya penyakit. Neutrofil ditemukan sedikit pada jaringan.
Keduanya mungkin berhubungan dengan hipersekresi lendir dan pelepasan
protease.
• Makrofag: banyak ditemukan di lumen saluran napas, parenkim paru dan cairan
bronchoalveolar lavage (BAL). Berasal dari monosit yang mengalami diferensiasi
di jaringan paru. Makrofag meningkatkan mediator inflamasi dan protease pada
pasien PPOK sebagai respon terhadap asap rokok dan menunjukkan fagositosis
yang tidak sempurna.
• Limfosit T: sel CD4+ dan CD8+ meningkat pada dinding saluran napas dan
parenkim paru, dengan peningkatan rasio CD8+: CD4+. Peningkatan sel T CD8+
(Tc1) dan sel Th1 yang mensekresikan interferon- dan mengekspresikan reseptor
kemokin CXCR3, mungkin merupakan sel sitotoksik untuk sel-sel alveolar yang
berkontribusi terhadap kerusakan alveolar.
• Limfosit B meningkat dalam saluran napas perifer dan folikel limfoid sebagai
respon terhadap kolonisasi kuman dan infeksi saluran napas
• Eosinofil meningkat di dalam sputum dan dinding saluran napas selama
eksaserbasi.
• Sel epitel: mungkin diaktifkan oleh asap rokok sehingga menghasilkan mediator
inflamasi.5,9
Berbagai macam mediator inflamasi yang telah terbukti meningkat pada pasien PPOK
menarik sel inflamasi dari sirkulasi (faktor kemotaktik), menguatkan proses inflamasi
(sitokin pro inflamasi), dan mendorong perubahan struktural (faktor pertumbuhan).
• Faktor kemotaktik:
Lipid mediator: misalnya, leukotriene B4 (LTB4) menarik neutrofil dan limfosit
T
• Kemokin: misalnya, interleukin-8 (IL-8) menarik neutrofil dan monosit.Sitokin
proinflamasi: misalnya tumor necrosis factor-α (TNF-α), IL-1β, dan IL-6
memperkuat proses inflamasi dan berkontribusi terhadap efek sistemik PPOK.
• Faktor pertumbuhan: misalnya, TGF-ß dapat menyebabkan fibrosis pada saluran
napas perifer.
Tabel 2. Perubahan patologis pada PPOK

Keterbatasan Aliran Udara dan Air Trapping


Tingkat peradangan, fibrosis, dan eksudat luminal dalam saluran nafas kecil
berkorelasi dengan penurunan FEV1 dan rasio FEV1/FVC. Penurunan FEV1
merupakan gejala yang khas pada PPOK, obstruksi jalan napas perifer ini
menyebabkan udara terperangkap dan mengakibatkan hiperinflasi.
Hiperinflasi mengurangi kapasitas inspirasi seperti peningkatan kapasitas
residual fungsional, khususnya selama atihan (bila kelainan ini dikenal sebagai
hiperinflasi dinamis), yang terlihat sebagai dyspnea dan keterbatasan kapasitas
atihan. Hiperinflasi yang berkembang pada awal penyakit merupakan mekanisme
utama timbulnya dyspnea pada aktivitas. Bronkodilator yang bekerja pada saluran
napas perifer mengurangi perangkap udara, sehingga mengurangi volume paru residu
dan gejala serta meeningkatkan dan kapasitas berolahraga.
Gambar 3. Air Trapping pada PPOK
Mekanisme Pertukaran Gas
Ketidakseimbangan pertukaran gas menyebabkan kelainan hipoksemia dan
hypercapnia yang terjadi karena beberapa mekanisme. Secara umum, pertukaran gas
akan memburuk selama penyakit berlangsung. Tingkat keparahan emfisema
berkorelasi dengan PO2 arteri dan tanda lain dari ketidakseimbangan ventilasi-perfusi
(VA / Q). Obstruksi jalan napas perifer juga menghasilkan ketidakseimbangan VA / Q,
dan penggabungan dengan gangguan fungsi otot ventilasi pada penyakityang sudah
parah akan mengurangi ventilasi, yang menyebabkan retensi karbon dioksida. Kelainan
pada ventilasi alveolar dan berkurangnya pembuluh darah paru akan lebih
memperburuk kelainan VA / Q.
Hipersekresi lendir
Hipersekresi lendir, yang mengakibatkan batuk produktif kronis, adalah
gambaran dari bronkitis kronis tidak selalu dikaitkan dengan keterbatasan aliran udara.
Sebaliknya, tidak semua pasien dengan PPOK memiliki gejala hipersekresi lendir. Hal
ini disebabkan karena metaplasia mukosa yang meningkatkan jumlah sel goblet dan
membesarnya kelenjar submukosa sebagai respons terhadap iritasi kronis saluran napas
oleh asap rokok atau agen berbahaya lainnya. Beberapa mediator dan protease
merangsang hipersekresi lendir melalui aktivasi reseptor faktor EGFR.
Hipertensi Paru
Hipertensi paru ringan sampai sedang mungkin terjadi pada PPOK akibat
proses vasokonstriksi yang disebabkan hipoksia arteri kecil pada paru yang kemudian
mengakibatkan perubahan struktural yang meliputi hiperplasia intimal dan kemudian
hipertrofi otot polos / hiperplasia.
Hilangnya kapiler paru pada emfisema juga dapat menyebabkan peningkatan tekanan
dalam sirkulasi paru sehingga terjadi pulmonary hypertension yang bersifat progresif
dapat mengakibatkan hipertrofi ventrikel kanan akhirnya gagal jantung (cor pulmonal).
Eksaserbasi
Eksaserbasi merupakan amplifikasi lebih lanjut dari respon inflamasi dalam
saluran napas pasien PPOK, dapat dipicu oleh infeksi bakteri atau virus atau oleh polusi
lingkungan. Mekanisme inflamasi yang mengakibatkan eksaserbasi PPOK, masih
banyak yang belum diketahui. Dalam eksaserbasi ringan dan sedang terdapat
peningkatan neutrophil, beberapa studi lainnya juga menemukan eosinofil dalam dahak
dan dinding saluran napas. Hal ini berkaitan dengan peningkatan konsentrasi mediator
tertentu, termasuk TNF- , LTB4 dan IL-8, serta peningkatan biomarker stres oksidatif.
Pada eksaserbasi berat masih banyak hal yang belum jelas, meskipun salah satu
penelitian menunjukkan peningkatan neutrofil pada dinding saluran nafas dan
peningkatan ekspresi kemokin. Selama eksaserbasi terlihat peningkatan hiperinflasi
dan terperangkapnya udara, dengan aliran ekspirasi berkurang, sehingga terjadi sesak
napas yang meningkat. Terdapat juga memburuknya abnormalitas VA / Q yang
mengakibatkan hipoksemia berat.
E. DIAGNOSIS
Pasien biasanya datang dengan kombinasi tanda dan gejala bronkitis kronis, emfisema,
dan penyakit saluran napas reaktif. Gejalanya meliputi:
Gejala Keterangan
Sesak Progresif (sesak bertambah berat seiring
berjalannya waktu)
Bertambah berat dengan aktivitas
Persistent (menetap sepanjang hari)
Dijelaskan oleh bahasa pasien sebagai
"Perlu usaha untuk bernapas,"
Berat, sukar bernapas, terengah-engah
Batuk Kronik Hilang timbul dan mungkin tidak berdahak.
Batuk kronik berdahak: Setiap batuk kronik berdahak dapat
mengindikasikan PPOK.
Riwayat terpajan factor Asap rokok.
resiko, terutama Debu dan bahan kimia di tempat kerja
Asap dapur

Sensitivitas pemeriksaan fisik dalam mendeteksi PPOK ringan hingga sedang relatif
buruk, namun tanda fisik cukup spesifik dan sensitif untuk penyakit berat. Temuan
pada penyakit parah meliputi:
• Takipnea dan gangguan pernapasan dengan aktivitas sederhana
• Penggunaan otot pernafasan tambahan dan penggambaran paradoks dari ruang
interkostal bawah (tanda Hoover)
• Sianosis
• Denyut nadi jugularis tinggi (JVP)
• Edema perifer

ANAMNESIS
• Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala pernapasan
• Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja
• Riwayat penyakit emfisema pada keluarga
• Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, mis berat badan lahir rendah
(BBLR), infeksi saluran napas berulang, lingkungan asap rokok dan polusi
udara
• Batuk berulang dengan atau tanpa dahak
• Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi

PEMERIKSAAN FISIK
1. Inspeksi
- Pursed-lips breathing (mulut setengah terkatup / mencucu)
- Barrel chest (diameter antero-posterior dan transversal sebanding)
- Penggunaan otot bantu napas
- Hipertropi otot bantu napas
- Pelebaran sela iga
- Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis di leher dan
edema tungkai
- Penampilan pink puffer atau blue bloater
2. Palpasi
Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar
3. Perkusi
Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak diafragma rendah,
hepar terdorong ke bawah
4. Auskultasi
- Suara napas vesikuler normal, atau melemah
- Terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada
ekspirasi paksa
- Ekspirasi memanjang
- Bunyi jantung terdengar jauh
PEMERIKSAAN PENUNJANG

Spirometri
• Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi (%) dan atau VEP1/KVP
(%).
• Obstruksi : % VEP1 (VEP1/VEP1 pred) < 80% VEP1% (VEP1/KVP) <
75%
• VEP1 % merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk menilai
beratnya PPOK dan memantau perjalanan penyakit
• Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin dilakukan, APE meter
walaupun kurang tepat, dapat dipakai sebagai alternatif dengan memantau
variabiliti harian pagi dan sore, tidak lebih dari 20% .
• Klasifikasi PPOK berdasarkan hasil pengukuran FEV1 dengan spirometri
setelah pemberian bronkodilator dibagi menjadi GOLD 1, 2, 3, dan 4.
Pengukuran spirometri harus memenuhi kapasitas udara yang dikeluarkan
secara paksa dari titik inspirasi maksimal (Forced Vital Capacity (FVC)),
kapasitas udara yang dikeluarkan pada detik pertama (Forced Expiratory
Volume in one second (FEV1)), dan rasio kedua pengukuran tersebut
(FEV1/FVC).
Pemeriksaan Radiologi

Rontgen dada posteroanterior dan lateral adalah bagian standar dari evaluasi
klinis subjek dengan PPOK. Pekerjaan sebelumnya oleh beberapa kelompok telah
menghasilkan beberapa kriteria yang diusulkan untuk mendeteksi emfisema :
1. Peningkatan radiolusensi bidang paru-paru
2. Perataan diafragma
3. Bayangan vaskular meruncing
4. Peningkatan ruang udara retrosternal
5. Pelebaran ruang interkostal
6. Siluet jantung lebih sempit dan vertikal.
Bronkitis kronis dikaitkan dengan peningkatan tanda bronkovaskular dan
kardiomegali. Dengan komplikasi hipertensi pulmonal, bayangan vaskular hilus
menonjol, dengan kemungkinan pembesaran ventrikel kanan dan opasitas di ruang
udara retrosternal bawah.

Gambar 4. Posteroanterior (PA) dan foto toraks lateral pada pasien


dengan penyakit paru obstruktif kronik berat (PPOK). Hiperinflasi, depresi
diafragma, peningkatan ruang retrosternal, dan hipovaskularitas parenkim
paru ditunjukkan.
Gambar 5. Hiperinflasi Paru

Hiperinflasi paru-paru terjadi pada asma, emfisema, dan bronkitis kronis.


Temuan hiperinflasi adalah:
o Bidang paru-paru gelap.
o Diafragma set rendah di rusuk posterior ke-11 atau ke-12.
o Jantung berbentuk vertikal dan sempit. Ini adalah hasil dari dorongan
diafragma ke bawah oleh paru-paru.
o Diafragma pipih di dada lateral.
o Udara infra jantung: Diafragma kiri terlihat secara keseluruhan.
o Udara retrosternal meningkat.
o Menambah diameter AP.
F. DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis Gejala
PPOK Onset pada usia pertengahan.
Gejala progresif lambat.
Lamanya riwayat merokok.
Sesak saat aktivitas
Sebagian besar hambatan aliran udara ireversibel.
ASMA Onset awal sering pada anak.
Gejala bervariasi dari hari ke hari.
Gejala pada malam / menjelang pagi.
Disertai alergi, rinitis atau eksim .
Riwayat keluarga dengan asma.
Sebagian besar keterbatasan aliran udara reversibel
Gagal Jantung Kongestif Auskultasi,terdengar ronchi halus di bagianbasal.
Foto toraks tampak jantung membesar, edema paru.
Uji fungsi paru menunjukkan restriksi bukan obstruksi
Broniotaksis Sputum produktif dan purulen.
Umumnya terkait dengan infeksi bakteri.
Auskultasi terdengar ronki kasar
Foto toraks /CT-scan toraks menunjukkan pelebaran
dan penebalan bronkus.
Tuberkolosis Onset segala usia
Foto toraks menunjukkan infiltrat di paru.
Konfirmasi mikrobiologi (sputum BTA)
Prevalensi tuberkulosis tinggi di daerah endemis

G. TATALAKSANA
Tujuan dari penatalaksanaan PPOK adalah untuk meningkatkan status
fungsional dan kualitas hidup pasien dengan mempertahankan fungsi paru yang
optimal, memperbaiki gejala, dan mencegah kekambuhan eksaserbasi. Saat ini, tidak
ada pengobatan selain transplantasi paru yang terbukti secara signifikan meningkatkan
fungsi paru-paru atau menurunkan angka kematian; namun, terapi oksigen (bila sesuai)
dan berhenti merokok dapat mengurangi mortalitas. Setelah diagnosis PPOK
ditegakkan, penting untuk mendidik pasien tentang penyakit tersebut dan mendorong
partisipasi aktifnya dalam terapi.
Berhenti Merokok
Berhenti merokok merupakan satu-satunya intervensi yang paling efektif dalam
mengurangi risiko berkembangnya PPOK dan memperlambat progresivitas penyakit.
Strategi untuk membantu pasien berhenti merokok 5A:
• Ask (Tanyakan)
Mengidentifikasi semua perokok pada setiap kunjungan.
• Advise (Nasihati)
Dorongan kuat pada semua perokok untuk berhenti merokok.
• Assess (Nilai)
Keinginan untuk usaha berhenti merokok (misal: dalam 30
hari ke depan).
• Assist (Bimbing)
Bantu pasien dengan rencana berhenti merokok, menyediakan konseling praktis,
merekomendasikan penggunaan farmakoterapi.
• Arrange (Atur)
Buat jadwal kontak lebih lanjut.
Bronkodilator

Tabel 4. Derajat dan rekomendasi pengobatan PPOK


Berdasarkan Combined COPD Assesment, maka tatalaksana sesuai dengan 4
kelompok yang ada , yaitu :
Kelompok A
- Semua pasien diberi terapi bronkodilator berdasarkan efeknya terhadap sesak
napas, bisa berupa bronkodilator kerja singkat atau kerja panjang.
- Terapi bisa dilanjutkan jika ditemukan manfaat simtomatik.
Kelompok B
- Terapi awal bronkodilator kerja panjang karena lebih unggul dibanding
bronkodilator kerja singkat.
- Tidak ada bukti rekomendasi salah satu bronkodilator kerja panjang untuk
terapi awal gejala. Pemilihan obat tergantung persepsi pasien.
- Jika sesak napas menetap dengan monoterapi, direkomendasikan
menggunakan dua bronkodilator.
- Untuk sesak napas berat, dapat direkomendasikan terapi awal menggunakan
dua bronkodialtor.
- Jika penambahan bronkodilator kedua tidak memperbaiki gejala, terapi dapat
dikembalikan ke bronkodilator tunggal, pada kelompok ini sebaiknya
diperiksa kemungkinan komorbiditas yang dapat menambah gejala dan
mempengaruhi prognosis.
Kelompok C
- Terapi awal bronkodilator kerja panjang tunggal. LAMA (long acting
muscarinic antagonist) lebih unggul dibanding LABA (long acting beta-2
agonist) dalam mencegah eksaserbasi, sehingga LAMA lebih
direkomendasikan untuk terapi awal kelompok ini.
- Penambahan bronkodilator kerja panjang kedua (LABA/LAMA) atau
kombinasi LABA dengan corticosteroid inhalasi (ICS) dapat bermanfaat pada
pasien dengan eksaserbasi menetap. Mengingat ICS dapat meningkatkan
risiko pneumonia, pilihan utama adalah kombinasi LABA/ LAMA.
Kelompok D
- Direkomendasikan terapi awal menggunakan kombinasi LABA/LAMA
karena:
a. Studi menunjukkan LABA/LAMA lebih unggul dibanding obat
tunggal. LAMA lebih dipilih untuk mencegah eksaserbasi dibandingkan
dengan LABA.
b. Kombinasi LABA/LAMA lebih tunggul dibanding kombinasi
LABA/ICS dalam mencegah eksaserbasi.
- Pasien kelompok D mempunyai risiko pneumonia lebih tinggi jika mendapat
terapi ICS.
- Pada beberapa pasien, pilihan pertama untuk terapi awal adalah kombinasi
LABA/ICS, seperti pada riwayat dan/ atau penemuan yang menunjukkan
tumpang tindih antara asma dengan PPOK. Tingginya eosinofil darah juga
dipertimbangkan sebagai parameter yang mendukung penggunaan ICS,
meskipun masih diperdebatkan.
- Pasien eksaserbasi lebih lanjut dengan terapi LABA/LAMA dianjurkan untuk:
a. Eskalasi ke kombinasi LABA/LAMA/ICS untuk mencegah eksaserbasi.
b. Beralih ke kombinasi LABA/ICS, namun tidak ada bukti hal ini dapat
lebih baik mencegah eksaserbasi. Jika terapi LABA/ICS tidak berdampak
positif, dapat ditambahkan LAMA.
- Jika pasien dengan terapi LABA/LAMA/ ICS masih mengalami eksaserbasi,
pilihan berikut:
a. Ditambahkan roflumilast, yang dapat dipertimbangkan pada pasien
dengan FEV1 diprediksi <50% dan bronchitis kronik, khususnya jika
mengalami minimal sekali perawatan di rumah sakit untuk sekali
eksaserbasi dalam tahun sebelumnya.
b. Ditambahkan macrolide. Pilihan terbaik adalah azithromycin.
Pertimbangkan juga perkembangan resistensi organisme.
c. Penghentian terapi ICS. Kurangnya laporan efikasi dan peningkatan
risiko efek samping (termasuk pneumonia) dan bukti yang tidak
menunjukkan bahaya bermakna penghentian ICS, mendukung
rekomendasi ini.

Gambar 6. Skema Terapi Farmakologi pada PPOK

a) Bronkodilator

Bonkodilator merupakan obat yang meningkatkan FEV1 dan/atau memperbaiki


variabel spirometri lainnya dengan mempengaruhi tonus otot polos jalan napas dan
memperbaiki aliran udara ekspirasi, yang mencerminkan pelebaran jalan napas
daripada perubahan elastisitas paru. Bronkodilator cenderung menurunkan
hiperinflasi dinamik saat istirahat ataupun selama latihan fisik, serta memperbaiki
performa latihan. Besarnya perubahan ini, khususnya pada pasien dengan PPOK
berat dan sangat berat, tidak mudah diprediksi dari perbaikan FEV1 saat istirahat.
Peningkatan dosis bronkodilator, khususnya yang diberikan dengan nebulizer,
tampaknya memberikan manfaat subjektif pada episode akut, tetapi tidak membantu
pada penyakit stabil. Obat bronkodilator paling sering diberikan reguler untuk
mencegah atau mengurangi gejala. Namun, penggunaan bronkodilator kerja singkat
pada basis regular secara umum tidak dianjurkan.
Bronkodilator yang digunakan pada PPOK adalah agonis β2 dan antikolinergik
(antagonis muskarinik)
1. Agonis β2
Kerja utama agonis β2 adalah merelaksasi otot polos jalan napas dengan
menstimulasi reseptor adrenergik beta-2, yang meningkatkan cAMP dan
menghasilkan antagonisme fungsional terhadap bronkokonstriksi. Efek samping
berupa sinus takikardia saat istirahat dan berpotensi mencetuskan gangguan
irama jantung, dan tremor somatik.
Agonis β2 terdiri dari short-acting (SABA) dan long-acting (LABA) beta2-
agonist.
SABA (short acting beta2-agonist)
- Efek SABA biasanya hilang dalam 4-6 jam.
- Penggunaan SABA dapat memperbaiki FEV1 dan gejala.
Contoh: salbutamol, fenoterol
- Salbutamol lebih selektif, sehingga menimbulkan lebih sedikit efek
samping dibanding fenoterol.
LABA (long acting beta2-agonist)
- Durasi kerja 12 jam atau lebih
- Contoh: Formoterol, salmeterol, indacaterol, oladaterol, vilanterol
(inhalasi)
- Formoterol & salmeterol merupakan LABA yang diberikan dua kali
sehari yang secara bermakna memperbaiki FEV1 dan volume paru, sesak
napas, status kesehatan, frekuensi eksaserbasi dan jumlah perawatan di
rumah sakit (Evidence A), tetapi tidak mempunyai efek dalam penurunan
mortalitas dan fungsi paru.
- Salmeterol mengurangi risiko perawatan di rumah sakit (Evidence B).
- Indacaterol merupakan LABA sekali sehari dengan durasi kerja 24 jam
dan secara signifikan memperbaiki sesak nafas, status kesehatan, dan
tingkat eksaserbasi (Evidence A). Namun beberapa pasien mengalami
batuk setelah inhalasi indacaterol.
- Oladaterol dan vilanterol merupakan LABA sekali sehari tambahan yang
memperbaiki fungsi paru dan gejala PPOK.9
2. Anti Kolinergik
Bekerja memblokade efek bronkokonstriktor asetilkolin pada reseptor
muskarinik M3 yang diekspresikan pada otot polos jalan napas. Antikolinergik
inhalasi hampir tidak diabsorpsi sehingga efek samping sistemiknya lebih
rendah dibanding atropine. Secara umum obat ini relatif aman, dengan efek
samping utama mulut kering. Antikolinergik terdiri dari short-acting (SAMA)
dan long-acting (LAMA) muscarinic antagonist.
SAMA (short acting muscarinic antagonist)
- Juga bekerja dengan menghambat reseptor neuron M2 yang berpotensi
menyebabkan bronkokonstriksi secara vagal
- Efek bronkodilator SAMA inhalasi lebih lama dibanding SABA
Contoh: Ipratropium, oxitropium
- Kajian sistematik dari studi acak dengan kontrol menunjukkan bahwa
ipratropium memberikan sedikit manfaat lebih dibanding SABA dalam
fungsi paru, status kesehatan, dan kebutuhan steroid oral. Namun pada
beberapa pasien dapat menyebabkan efek samping rasa logam atau pahit
pada lidah.

LAMA (long acting muscarinic antagonist)


- Mempunyai ikatan yang lama pada reseptor muskarinik M3, dengan
disosiasi yang lebih cepat dari reseptor muskarinik M2, sehingga
memperpanjang durasi efek bronkodilator
- Dapat mengurangi eksaserbasi dan perawatan di rumah sakit, memperbaiki
gejala dan status kesehatan (Evidence A), serta memperbaiki efektivitas
rehabilitasi pulmonal (Evidence B).
- Contoh: Tiotropium, aclidinium, umeclidinium, glycopyrronium bromide
- Di antara LAMA, tiopropium dan umeclidinium diberikan sekali sehari,
sedangkan aclidinium dua kali sehari, dan glycopyrronium 1-2 kali sehari.
- Tiotropium memperbaiki gejala, status kesehatan, efektivitas rehabilitasi
paru, dan menurunkan eksaserbasi serta perawatan di rumah sakit, namun
tidak mempunyai efek pada tingkat penurunan fungsi paru.
- Uji klinik juga menunjukkan bahwa efek pada tingkat eksaserbasi LAMA
(tiotropium) lebih besar dibanding terapi LAMA.
3. Derivat Xanthine
- Efek pasti obat golongan ini masih kontroversi, bisa bekerja sebagai
penghambat phosphodiesterase nonselektif, tetapi juga dilaporkan
mempunyai efek bronkodilator yang kemaknaannya masih diperdebatkan.
- Data mengenai lama kerja pada PPOK masih kurang. Rasio terapeutik
derivat xanthine kecil dan sebagian besar manfaatnya terjadi hanya saat
diberikan pada dosis yang hampir toksik. Efek samping meliputi palpitasi,
kejang grand mal, sakit kepala, insomnia, mual, dan nyeri ulu hati.
- Obat ini juga berinteraksi signifikan dengan obat lain seperti digitalis dan
coumadin.
- Derivat xanthine juga dapat meningkatkan risiko overdosis obat ini.„ Contoh
derivat xanthin adalah theophylline dan doxofylline yang diberikan per oral.
- Penambahan theophylline pada salmeterol menyebabkan perbaikan FEV1
dan sesak napas yang lebih baik disbanding salmeterol saja.
- Doxofylline mempunyai profil keamanan dan tolerabilitas yang lebih baik
dan interaksi obat yang lebih rendah dibanding theophylline, relatif aman
pada pasien jantung atau usia lanjut yang menderita asma bronkial atau
PPOK.
b) Antiinflamasi
Hingga saat ini, eksaserbasi (tingkat eksaserbasi, pasien dengan minimal sekali
eksaserbasi, waktu hingga pertama kali mengalami eksaserbasi) mencerminkan
endpoint utama yang klinis relevan untuk menilai efikasi obat antiinflamasi.
Antiinflamasi yang dapat digunakan pada PPOK adalah corticosteroid dan
phosphodiesterase-4 inhibitor. Bukti in vitro menunjukkan bahwa inflamasi terkait
PPOK mempunyai responsivitas terbatas terhadap corticosteroid, namun,
beberapa obat seperti agonis β2, theophylline, atau macrolide dapat secara pasial
meningkatkan sensitivitas corticosteroid. Data in vivo menunjukkan bahwa kaitan
dosisrespons dengan keamanan jangka panjang (>3 tahun) corticosteroid inhalasi
pada pasien PPOK masih belum jelas dan memerlukan penelitian lebih lanjut.
1. Kortikosteroid
- Corticosteroid yang diberikan regular dapat memperbaiki gejala, fungsi
paru, kualitas hidup, frekuensi eksaserbasi pada pasien dengan FEV1
diprediksi < 60%.
- Namun kebanyakan studi telah menemukan bahwa terapi reguler dengan
corticosteroid inhalasi tidak memodifikasi penurunan FEV1 atau mortalitas
jangka panjang pada pasien PPOK.
- Contoh: Fluticasone, Budesonide
- Dalam studi TORCH terdapat kecenderungan mortalitas lebih tinggi pada
pasien yang diterapi fluticasone propionate saja dibanding pasien yang
diterapi plasebo atau kombinasi salmeterol plus fluticasone propionate.9
- Namun peningkatan mortalitas tidak ditemukan pada pasien PPOK yang
diterapi dengan fluticasone furoate dalam studi Survival in Chronic
Obstructive Pulmonary Disease with Heightened Cardiovascular Risk
(SUMMIT).12
- Studi acak dengan kontrol menunjukkan bahwa penggunaan ICS dikaitkan
dengan peningkatan prevalensi kandidiasis oral, suara serak, memar kulit,
dan pneumonia.13
- Pasien lebih berisiko pneumonia meliputi perokok, usia > 55 tahun, riwayat
eksaserbasi atau pneumonia, indeks massa tubuh < 25 kg/m2, derajat sesak
MRC buruk dan/atau hambatan aliran udara berat.
- Penggunaan ICS juga dikaitkan dengan peningkatan risiko diabetes/kontrol
diabetes yang buruk, katarak, dan infeksi mycobacterial termasuk
tuberkulosis.
- Terdapat laporan peningkatan eksaserbasi dan/atau gejala, serta penurunan
FEV1 (sekitar 40 mL) pada penghentian terapi ICS, pemberian
bronkodilator kerja panjang dapat meminimalisasi efek penghentian ICS.
2. Glucocorticoid oral
- Penggunaan glucocorticoid sistemik untuk terapi eksaserbasi akut pada
pasien dirawat di rumah sakit, atau selama di unit gawat darurat,
menurunkan tingkat kegagalan terapi, tingkat relaps, dan memperbaiki
fungsi paru dan sesak napas, namun penggunaannya pada terapi harian
jangka panjang pada PPOK tidak dianjurkan karena komplikasi sistemik
yang tinggi.14
- Glucocorticoid oral dapat menyebabkan efek samping seperti miopati
steroid, yang dapat berkontribusi pada kelemahan otot, penurunan
fungsionalitas, dan gagal napas pada pasien PPOK yang sangat berat.8
3. Phosphodiesterase-4 inhibitor
- Kerja utama PDE4 inhibitor adalah mengurangi inflamasi dengan
menghambat pemecahan C-AMP intraseluler.
- Roflumilast merupakan obat golongan ini yang diberikan sekali sehari
secara oral.
- Roflumilast tidak mempunyai efek bronkodilator langsung, namun bisa
menurunkan eksaserbasi sedang dan berat pada pasien dengan bronkitis
kronik, PPOK berat hingga sangat berat, dan riwayat eksaserbasi, yang
diterapi dengan corticosteroid sistemik.
- Efek pada fungsi paru juga tampak jika roflumilast ditambahkan pada
bronkodilator kerja panjang dan pada pasien yang tidak terkontrol dengan
kombinasi tetap LABA/ICS.
- Untuk pasien PPOK, PDE4 inhibitor mempunyai efek samping yang lebih
besar dibanding obat inhalasi, seperti diare, mual, penurunan nafsu makan,
penurunan berat badan, nyeri abdomen, ganggun tidur, dan sakit kepala.
Sebaiknya dihindari pada pasien kurus dan hatihati pada pasien dnegan
depresi. Efek samping tampaknya terjadi pada awal terapi namun akan
menghilang dengan diteruskannya terapi.
- Efek samping: mual, menurunkan nafsu makan, sakit perut, diare,
gangguan tidur, dan sakit kepala.
c) Terapi Kombinasi
1. Kombinasi Bronkodilator
Mengkombinasikan bronkodilator dengan mekanisme dan lama kerja
berbeda dapat meningkatkan derajat bronkodilatasi dengan risiko efek
samping lebih rendah disbanding meningkatkan dosis bronkodilator tunggal.13
Kombinasi SABA dan SAMA lebih unggul dibanding obat tunggal dalam
memperbaiki FEV1 dan gejala PPOK.14 Terapi dengan formoterol dan
tiotropium dalam inhaler terpisah memberikan dampak yang lebih besar
dibanding obat tunggal.15
Saat ini sudah tersedia kombinasi LABA dengan LAMA dalam satu
inhaler. Kombinasi ini memperbaiki fungsi paru dibandingkan dengan
plasebo, dan perbaikan ini secara konsisten lebih besar dibanding efek
monoterapi bronkodilator kerja panjang. Kombinasi LABA dengan LAMA
juga menghasilkan perbaikan yang lebih besar dalam kualitas hidup dibanding
dengan plasebo dan bronkodilator tunggal pada pasien dengan gejala basal
yang lebih berat. Kombinasi LABA/LAMA dengan dosis yang lebih rendah
yang diberikan dua kali sehari juga menunjukkan perbaikan gejala dan status
kesehatan pada pasien PPOK.
Salah satu studi pada pasien dengan riwayat eksaserbasi menunjukkan
bahwa kombinasi bronkodilator kerja panjang lebih efektif dibanding
monoterapi bronkodilator kerja panjang untuk mencegah eksaserbasi. Selain
itu, studi lain pada pasien dengan riwayat eksaserbasi mengkonfirmasi bahwa
kombinasi LABA/LAMA menurunkan eksaserbasi lebih besar dibanding
kombinasi LABA/ICS.
2. Kombinasi LABA/ICS
Pada pasien dengan PPOK sedang hingga sangat berat dan eksaserbasi,
kombinasi LABA/ICS lebih efektif dibanding obat tunggal dalam
memperbaiki fungsi paru, status kesehatan, dan menurunkan eksaserbasi.18,19
Namun studi klinis, gagal menunjukkan efek bermakna dari terapi kombinasi
pada kelangsungan hidup.
3. Terapi Inhalasi
Penambahan LAMA pada kombinasi LABA/ICS dapat memperbaiki fungsi
paru dan outcome, khususnya pada risiko eksaserbasi.22 Namun uji klinik
acak dengan kontrol tidak menunjukkan manfaat penambahan ICS pada
kombinasi LABA/LAMA dalam hal eksaserbasi.23 Suatu studi tersamar
ganda dengan kontrol melaporkan bahwa terapi dengan terapi 3 obat
mempunyi manfaat klinis yang lebih besar dibandingkan tiotropium pada
pasien dengan PPOK simtomatik, FEV1 <50%, dan riwayat eksaserbasi.24
Studi tersamar ganda dengan kontrol lainnya melaporkan manfaat terapi
inhaler tunggal 3 obat dibandingkan dengan terapi LABA/ICS pada pasien
dengan PPOK lanjut.
d) Obat Lain
1. Antibiotik
Studi baru-baru ini menunjukkan bahwa penggunaan reguler beberapa
antibiotic dapat menurunkan tingkat eksaserbasi PPOK. Azithromycin (250
mg/hari atau 500 mg 3 kali seminggu) atau erythromycin (500 mg 2 kali sehari)
selama 1 tahun pada pasien yang rentan eksaserbasi, dapat menurunkan risiko
eksaserbasi dibanding perawatan biasa.20
Namun penggunaan azithromycin dikaitkan dengan peningkatan kejadian
resistensi bakteri dan gangguan tes pendengaran, dan tidak ada data mengenai
efikasi atau keamanan terapi azithromycin kronik (> 1 tahun terapi) untuk
mencegah eksaserbasi PPOK.
2. Mukolitik
Pada pasien PPOK yang tidak mendapat ICS, terapi reguler dengan mukolitik
seperti carbocysteine dan N-acetylcysteine dapat menurunkan eksaserbasi dan
sedikit memperbaiki status kesehatan.
3. Alpha-1 antitrypsin augmentation therapy
- Obat ini diberikan secara intravena untuk meminimalisasi
perkembangan dan progresivitas penyakit paru serta menjaga fungsi
dan struktur paru pada pasien dengan defisiensi alpha-1 antitrypsin
(AATD).8
-
Suatu studi observasi menunjukkan adanya penurunan progresivitas
spirometrik pada pasien yang diterapi dengan obat ini dibanding yang
tidak, dan penurunan tersebut lebih efektif pada pasien dengan FEV1
diprediksi 35-49%.9
- Bukan atau bekas perokok dengan FEV1 diprediksi 35-60%
merupakan kelompok pasien yang paling dianjurkan untuk terapi obat
ini (Evidence B).8
- Tidak semua pasien dengan AATD mengalami atau menetap dengan
progresivitas spirometrik yang cepat setelah berhenti merokok,
sehingga obat ini sebaiknya digunakan pada pasien dengan bukti
progresivitas yang terusmenerus dan cepat setelah berhenti merokok.9
Obat ini direkomendasikan pada pasien dengan AATD dan
FEV1 diprediksi <65%. Namun studi baru-baru ini merekomendasikan
bahwa semua pasien dengan bukti penyakit paru progresif sebaiknya
dipertimbangkan untuk penyakit paru terkait AATD, dan FEV1 >65%.
DAFTAR PUSTAKA

1. Mirza S, et al. COPD Guidelines: A Review of the 2019 GOLD Report. Mayo
Clin Proc. 2018 Oct. 93 (10):1488-1502. [Medline].
2. GOLD. Pocket Guide to COPD Diagnosis, Management and Prevention: A
Guide for Healthcare Professionals. 2017 ed. Sydney: Global Initiative for
Chronic Obstructive Lung Disease Inc.; 2017.
3. Kementerian Kesehatan RI. Petunjuk Teknis Penerapan Pendekatan Praktis
Kesehatan Paru Di Indonesia. Jakarta: Jenderal Pengendalian Penyakit Dan
Penyehatan Lingkungan; 2015.
4. Snell, Richard S. Anatomi Klinik ed. 6. EGC : Jakarta. 2006.
5. George R. Washko, M.D. Diagnostic Imaging in COPD. Semin Respir Crit
Care Med. 2017 June ; 31(3): 276–285. doi:10.1055/s-0030-1254068.
6. David A et al. CT-Definable subtypes of chronic Obstructive Pulmonary
Disease: A Statement of the Fleischner Society. Radiology: Volume 277:
Number 1—October 2015
7. Zab Mosenifar, MD, FACP, FCCP. Chronic obstructive pulmonary disease
(COPD) treatment and management. 2020.
https://emedicine.medscape.com/article/297664-treatment
8. Kristiningrum E,. Farmokoterapi Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK).
Departemen Medical PT Kalbe Darma Jakarta 2019 : CDK-275/ vol. 46 no. 4
th. 2019
9. Yawn Barbara P, et al. GOLD in Practice: Chronic Obstructive Pulmonary
Disease Treatment and Management in the Primary Care Setting. 2021. Int J
Chron Obstruct Pulmon Dis; 16: 289–299
10. BCGuidelines.ca: Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD): Diagnosis
and Management (2017)

Anda mungkin juga menyukai