Anda di halaman 1dari 36

BAB II

GEOMORFOLOGI

2.1 Geomorfologi Regional

Tinjauan geomorfologi regional daerah penelitian dan sekitarnya didasarkan

pada Peta Geologi Lembar Poso, Sulawesi Tengah. Meliputi Daerah Sigi, Poso,

Tojo una-una dan Morowali Utara yang termasuk dalam wilayah Provinsi

Sulawesi Tengah. Lembar peta geologi ini berbatasan dengan Lembar Palu di

bagian utara, Lembar Malili bagian selatan, Lembar Pasangkayu di bagian barat

dan Lembar Batui di bagian timur.

Menurut Simandjuntak (1991), daerah ini dapat dibagi menjadi 4 satuan

antara lain daerah pegunungan, daerah pebukitan, daerah karst dan daerah

pedataran. Dataran rendah terdapat di dekat muara sungai Puna, sungai Poso,

sungai Sumara, sungai Morowali, sungai La di utara Teluk Tomori. Satuan ini

berdongak antara nol dan puluhan meter di atas muka laut.

Daerah Perbukitan menempati bagian selatan lembar Poso dengan ketinggian

antara 200 - 700 m di atas permukaan laut dan merupakan pebukitan yang agak

landai yang terletak di antara daerah pegunungan dan daerah pedataran.

2.2 Geomorfologi Daerah Penelitian

Pembahasan Geomorfologi daerah penelitian membahas mengenai

geomorfologi Daerah Tojo Kecamatan Tojo, Kabupaten Tojo Una-una, Provinsi

Sulawesi Tengah.

Adapun yang meliputi pembahasan ini yaitu penjelasan pembagian satuan

bentangalam, luas wilayah, relief, tingkat dan jenis pelapukan, tipe erosi, jenis

14
gerakan tanah, kondisi soil, tata guna lahan, stadia daerah dan analisis sungai

berupa jenis sungai, pola pengaliran sungai, klasifikasi sungai dan tipe genetik

sungai. Pembahasan mengenai geomorfologi didasarkan pada gejala-gejala

geomorfologi yang dijumpai di lapangan, interpretasi peta topografi, dan literatur-

literatur terkait.

Dalam menganalisa keadaan geomorfologi suatu daerah penelitian, maka

perlu diperhatikan beberapa faktor yang mempengaruhi pembentukan suatu

bentangalam. Faktor tersebut diantaranya adalah proses geomorfologi, stadia dan

jenis batuan penyusun daerah tersebut, serta struktur geologi (Thornbury, 1954).

2.2.1 Aspek Morfografi

Morfografi merupakan pembagian satuan bentang alam yang didasarkan

pada aspek kualitatif dari bentuk permukaan bumi mencakup dataran, perbukitan,

dan pegunungan. Perbedaan tersebut didasarkan pada ketinggian (elevasi) yang

diukur dari permukaan laut.

Dataran merupakan bentuk lahan dengan dengan ketinggian 0-50 meter

dan kemiringan lereng 0-2 % biasanya digunakan untuk bentuklahan asal marin

(laut), fluvial (sungai), delta, dan plato. Perbukitan memiliki ketinggian 50-500

meter dengan kemiringan lereng antara 7-20 % biasanya digunakan terhadap

bentuk lahan kubah intrusi, karst, dan perbuktian yang dikontrol oleh struktural.

Pegunungan dengan ketinggian lebih dari 500 meter yang biasanya digunakan

untuk bentuk lahan gunungapi atau bentuk lahan yang dipengaruhi oleh tektonik

yang cukup kuat (Tabel 2.1).

15
Tabel 2.1 Hubungan Ketinggian Absolut dengan Morfografi (Van Zuidam, 1985)

Ketinggian Absolut Unsur Morfografi

< 50 meter Dataran Rendah


50 – 100 meter Dataran Rendah Pedalaman
100 – 200 meter Perbuktian Rendah
200 – 500 meter Perbukitan
500 – 1500 meter Perbuktian Tinggi
1500 – 3000 meter Pegunungan
> 3000 meter Pegunungan Tinggi

2.2.2 Aspek Morfometri

Morfometri merupakan pembagian satuan bentang alam yang didasarkan

pada aspek kuantitatif dari bentuk permukaan bumi. Dalam hal ini berkaitan

dengan beda tinggi dan kemiringan. Dalam aspek morfometri bentuk permukaan

bumi tidak hanya dideskripsikan tetapi disertai penjelasan yang memuat angka-

angka kuantitatif. Dalam pengukuran aspek morfometri yang umum digunakan

dalam pengklasifikasiannya yaitu klasifikasi lereng menurut Van Zuidam (1985)

(lihat Tabel 2.2).

Tabel 2.2 Klasifikasi Relief Berdasarkan Sudut Kelerengan dan Beda Tinggi (Van
Zuidam,1985)

16
Sudut Beda
Satuan, Relief Warna
Lereng (o) Tinggi (m)
Datar atau Hampir Datar 0–2 <5 Hijau
Bergelombang / Miring Landai 3-7 5 – 50 Hijau Muda
Bergelombang / Miring 8 – 13 50 – 75 Kuning
Berbukit Bergelombang / Miring 14 – 20 75 – 200 Jingga
Berbukit Tersayat Tajam / Terjal 21 – 55 200 – 500 Merah Muda
Pegunungan Tersayat Tajam / 500 –
56 – 140 Merah Tua
Sangat Terjal 1000
Pegunungan / Sangat Curam > 140 > 1000 Ungu

2.2.3 Aspek Morfogenesa

Morfogenesa merupakan pembagian satuan bentang alam berdasarkan

proses terbentuknya (Tabel 2.3). Proses yang berkembang terhadap pembentukan

tersebut dapat dibagi menjadi dua yaitu proses eksogen dan endogen.

Tabel 2.3 Simbol Huruf dan Warna Unit Utama Geomorfologi (Badan Standarisasi
Nasional, 1999)
Unit Utama Kode / Huruf Warna
Bentukan Asal Struktur S (Structure) Ungu
Bentukan Asal Gunungapi V (Volcanic) Merah
Bentukan Asal Denudasi D (Denudasi) Cokelat
Bentukan Asal Laut M (Marine) Biru
Bentukan Asal Sungai F (Fluvial) Hijau
Bentukan Asal Angin A (Aeolian) Kuning
Bentukan Asal Karst K (Karst) Orange
Bentukan Asal Glasial G (Glacial) Biru Terang

2.2.4 Satuan Geomorfologi

Geomorfologi didefinisikan sebagai studi yang mendeskripsikan bentuk

lahan dan proses serta mencari hubungan antara bentuk lahan dan proses asal

mula pembentukannya yang berkaitan dengan lingkungannya dalam ruang dan

waktu. Lobeck (1939) dalam Noor (2010) menjelaskan dalam penggambaran dan

penafsiran bentuk-bentuk bentangalam (landforms) terdapat tiga faktor yang

17
diperhatikan dalam mempelajari geomorfologi yaitu : stuktur, proses, dan stadia.

Ketiga faktor tersebut merupakan satu kesatuan dalam mempelajari geomorfologi.

Thornbury (1969) menjelaskan tentang konsep geomorfologi untuk

bentanglahan akan lebih baik dalam menggunakan beberapa konsep dan tidak

hanya satu konsep saja dalam penggunaannya, konsep tersebut antara lain sebagai

berikut :

1. Proses yang berlangsung secara fisik saat ini memiliki kecepatan yang

berbeda selaras dengan waktu geologi

2. Geologi struktur merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap

evolusi bentuklahan yang tampak sekarang

3. Relief permukaan bumi yang luas karena proses geomorfologi berlangusng

pada tingkat yang berbeda

4. Proses geomorfologi meninggalkan jejak pada bentuklahan dan proses

geomorfologi yang berkembang membentuk ciri-ciri pada bentuklahan

5. Media erosi yang berbeda pada permukaan bumi membentuk susunan

bentuklahan tertentu

6. Evolusi geomorfologi tidak sesederhana yang dibayangkan

7. Topografi yang paling menonjol adalah topografi yang lebih muda dari

kala Plistosen

8. Pemahaman terhadap bentanglahan sekarang diperlukan pemahaman

kondisi geologi dan iklim pada kala Plistosen

9. Pengenalan iklim sangat penting untuk dapat memahami dengan baik

perbedaan proses geomorfologi yang berlangsung

18
10. Geomorfologi menekankan kondisi sekarang bermanfaat untuk

mengungkap sejarah perkembangan bumi

Pembagian satuan bentangalam secara umum dilakukan melalui tiga

pendekatan yaitu pendekatan morfografi, morfometri, dan morfogenesa.

Pendekatan morfografi mengelompokkan bentangalam berdasarkan aspek

kualitatif meliputi pedataran, perbukitan, dan pegunungan. Pendekatan

morfometri mengelompokkan bentangalam berdasarkan aspek kuantitatif meliputi

perhitungan sudut kemiringan lereng dan beda tinggi. Pendekatan morfogenesa

mengelompokkan bentangalam berdasarkan proses terbentuknya baik secara

konstruksional (endogen) ataupun destruksional (eksogen).

Pembagian satuan bentangalam dilakukan untuk memberikan informasi

geomorfologi suatu daerah sehingga dalam pembagiannya tidak jarang

menggunakan satu aspek pendekatan bahkan biasa menggunakan gabungan dua

aspek pendekatan.

Pada daerah penelitian, pembagian satuan morfologi didasarkan pada

aspek morfografi, morfometri, dan morfogenesa. Dari aspek morfografi dan

morfometri diketahui bentangalam daerah penelitian terdiri atas pedataran,

perbukitan bergelombang, dan perbukitan curam. Sementara dari aspek

morfogenesa diketahui bahwa bentangalam daerah penelitian terdiri atas marine,

fluvial, dan struktural.

Berdasarkan aspek tersebut yang ditunjang dengan gejala-gejala di

lapangan serta interpretasi dari hasil peta topografi skala 1:25.000 maka

19
geomorfologi daerah Tojo Kecamatan Tojo, Kabupaten Tojo Una-una, Provinsi

Sulawesi Tengah. dibagi menjadi empat satuan geomorfologi, antara lain :

1. Satuan Geomorfologi Dataran Marine

2. Satuan Geomorfologi Dataran Fluvial

3. Satuan Geomorfologi Perbukitan Bergelombang Struktural

4. Satuan Geomorfologi Perbukitan Curam Struktural

2.2.4.1 Satuan Geomorfologi Dataran Marine

Satuan Geomorfologi Dataran Marine menempati sekitar ± 4,26 % dari

seluruh daerah penelitian dengan luas ±1,3 km2. Penyebaran dari satuan

geomorfologi ini memanjang di bagian selatan hingga utara yang menempati

daerah barat poros jalan desa Tojo dan desa Pancuma.

Berdasarkan hasil pengamatan langsung dilapangan melalui pendekatan

morfografi bahwa satuan ini mempunyai relief datar yang terletak pada ketinggian

0 meter diatas permukaan laut, sehingga berdasarkan ketinggian relatifnya maka

bentuk topografi atau relief satuan ini merupakan satuan geomorfologi pedataran.

Sedangkan berdasarkan hasil pengolahan data morfometri menunjukkan

kemiringan lereng 0 %, persentase sudut lereng sekitar 0 ̊ dengan beda tinggi 0

meter, sehingga morfologi lereng dapat digolongkan kedalam satuan

geomorfologi pedataran.

Dan berdasarkan pada pendekatan morfogenesa dilakukan dengan analisis

proses-proses geomorfologi yang dominan bekerja pada daerah penelitian. Proses-

proses geomorfologi yang dominan bekerja ialah abrasi, deposisi, dan

sedimentasi. Membentuk Tanjung dan Gisik yang merupakan penciri dari satuan

20
geomorfologi dataran Marine. Satuan morfologi pedataran ini disusun oleh

litologi Endapan Pasir lepas

Proses pelapukan yang umumnya dijumpai di lapangan merupakan

pelapukan fisika dan biologi. Yakni pelapukan fisika yang dipengaruhi oleh

aktivitas gelombang air laut, regresi, transgresi, dan transportasi yang

mengakibatkan perubahan bentuk dan ukuran pada batuan sehingga menjadi

endapan pasir lepas (Gambar 2.1). Adapun pelapukan biologi didorong oleh

aktivitas organisme yaitu adanya tekanan dari tubuh maupun akar tumbuhan pada

celah batuan sehingga merusak lapisan batuan (Gambar 2.2)

Tingkat pelapukan pada daerah ini relatif rendah, hal ini dapat dilihat dari

tebal soil pembentuk satuan geomorfologi ini yaitu sekitar 0,1– 0,5 meter warna

soil coklat kehitaman dengan jenis soil adalah Residual soil. Dilihat dari

parameter erosinya, pada satuan geomorfologi ini dijumpai erosi pesisir yang

diakibatkan oleh adanya gerak air dalam hal ini bisa berupa arus yang mengikis

endapan atau aktivitas gelombang yang menyebabkan abrasi pada batuan di

daerah penelitian. Erosi tidak hanya berlangsung dipermukaan, namun juga yang

terjadi dipermukaan sedimen dasar perairan (Gambar. 2.2)

21
Gambar 2.1 Kenampakan satuan geomorfologi dataran marine difoto pada bagian
selatan barat daya Jalan poros desa Tojo dan desa Pancuma, stasiun 48
dengan arah foto N2100 E.

Berdasarkan hasil pengamatan dilapangan dan pengambilan sampel

sedimen pesisir pantai pada lokasi penelitian menunjukan bahwa kondisi sedimen

pesisir pantai di daerah penelitian dominan berukuran pasir hingga kerikilan.

Secara umum kondisi pesisir pantai di daerah penelitian tersusun oleh pasir, hal

itu menunjukan bahwa energi yang bekerja di wilayah ini berupa energi cukup

besar dari gelombang laut dari arah barat daya menuju timur laut membentuk arus

longshore. Arus longshore ini mengakibatkan adanya deposisi atau akresi

dibagian timur.

22
Foto 2.2 Kenampakan satuan geomorfologi dataran marine difoto pada bagian
selatan barat daya Jalan poros desa Tojo dan desa Pancuma, stasiun 48
dengan arah foto N2100 E.
Gambar 2.2 Kenampakan erosi yang diakibatkan oleh abrasi pantai pada satuan
geomorfologi dataran marine difoto pada bagian selatan barat daya Jalan
poros desa Tojo dan desa Pancuma, stasiun 48 dengan arah foto N 2150 E.

2.2.4.2 Satuan Geomorfologi Dataran Fluvial

Satuan ini menempati sekitar ± 11,25 % dari seluruh daerah penelitian

dengan luas sekitar ±3,4 Km2. Satuan ini menempati bagian selatan dan barat dari

daerah penelitian mencakup Koro Tojo pada bagian selatan dan Koro Mosologi

dibagian barat daerah penelitian.

Berdasarkan hasil pengamatan langsung dilapangan melalui pendekatan

morfografi bahwa satuan ini mempunyai relief datar yang terletak pada ketinggian

0 meter diatas permukaan laut, sehingga berdasarkan ketinggian relatifnya maka

bentuk topografi atau relief satuan ini merupakan satuan geomorfologi pedataran.

Sedangkan berdasarkan hasil pengolahan data morfometri menunjukkan

persentase sudut lereng sekitar 3 ̊ dengan beda tinggi 6 meter, sehingga morfologi

lereng dapat digolongkan kedalam satuan geomorfologi pedataran.

Berdasarkan pada pendekatan morfogenesa dilakukan dengan analisis

proses-proses geomorfologi yang dominan bekerja pada daerah penelitian. Proses-

proses geomorfologi yang dominan bekerja ialah sedimentasi. membentuk dataran

banjir yang merupakan penciri dari satuan geomorfologi fluvial.

23
Gambar 2.3 Kenampakan satuan geomorfologi dataran fluvial difoto pada bagian Selatan
barat daya Koro Mosologi, stasiun 41 dengan arah foto N205 0E

Proses pelapukan yang umumnya dijumpai di lapangan merupakan

pelapukan fisika dan biologi yakni pelapukan fisika proses perubahan batuan

menjadi fragmen batuan yang lebih kecil tanpa merubah komposisi kimia dan

mineralnya. Pelapukan fisika yang terjadi adalah perubahan bentuk dan ukuran

Gambar 2.4 Kenampakan satuan geomorfologi dataran fluvial difoto pada bagian barat
Koro Tojo, stasiun 5 dengan arah foto N2600 E

pada batuan sehingga batuan tersebut menjadi material material berukuran kecil.

24
Adapun pelapukan biologi didorong oleh aktivitas organisme yaitu adanya

tekanan dari tubuh maupun akar tumbuhan pada celah batuan sehingga merusak

lapisan batuan

Tingkat pelapukan pada daerah ini relatif rendah, hal ini dapat dilihat dari

tebal soil pembentuk satuan bentangalam ini yaitu sekitar 0,5 – 1 meter warna soil

coklat muda dengan jenis soil adalah residual soil dan transported soil. Dilihat

dari parameter erosinya, pada bentang alam ini dijumpai erosi lateral pada Koro

Tojo dan Koro Mosologi. Erosi tersebut terbentuk akibat erosi horisontal lebih

dominan dibanding erosi vertikal.

Sungai yang mengalir pada satuan geomorfologi ini yaitu Koro Tojo dan

Koro Mosologi. Jenis sungainya berupa sungai periodik pada Koro Tojo dan

sungai permanen pada koro Mosologi. Tipe genetik berupa subsekuen dan

obsekuen dengan pola aliran sungai trellis. Profil sungainya menyerupai huruf

“U” dan relatif lebar. Erosi sungai yang berlangsung yaitu erosi lateral tepi sungai

sehingga sungai mengalami pelebaran (Gambar 2.6). Hasil erosi tersebut sebagian

terendapkan sebagai endapan sungai dimana dijumpai pula adanya point bar,

meandering, floodplain. Berdasarkan karakteristik tersebut maka stadia sungai

pada satuan geomorfologi ini yaitu stadia dewasa.

Satuan geomorfologi ini disusun oleh litologi endapan aluvial. Tata guna

lahan pada satuan geomorfologi ini adalah pemukiman dan jalan.

25
(a)

Gambar 2.5 Kenampakan profil sungai “U” dengan endapan sungai channel bar (a), hasil
dari transportasi material sedimen pada satuan geomorfologi dataran fluvial
difoto pada bagian barat daya Koro Tojo, stasiun 6 dengan arah foto N227 0E.

(a) (b)
(c)

(d)
Gambar 2.6 Kenampakan point bar (a), meandering (b), floodplain (c), dan teras sungai
(d), pada satuan geomorfologi dataran fluvial difoto pada bagian barat laut
Koro Mosologi, stasiun 42 dengan arah foto N 3150 E.

26
(a)

(b)

Gambar 2.7 Kenampakan soil dan endapan aluvial pada satuan geomorfologi dataran
fluvial
2.2.1.3 Satuan difoto pada bagian
Geomorfologi selatan Bergelombang
Perbukitan Koro Tojo, stasiun 7 dengan arah foto
Struktural
N1820 E.

2.2.4.3 Satuan Geomorfologi Perbukitan Bergelombang Struktural

Satuan geomorfologi perbukitan bergelombang struktural ini menempati

sekitar ± 44,35 % dari seluruh daerah penelitian dengan luas sekitar ±13,7 km2.

Satuan ini menempati bagian selatan dan utara dari daerah penelitian mencakup

Desa Tojo pada bagian selatan dan Desa Pancuma dibagian utara daerah

penelitian. Secara umum kenampakan topografi dari satuan ini digambarkan oleh

bentuk kontur yang agak rapat, bentuk puncak tumpul serta lembah berbentuk

huruf “V”.

Berdasarkan hasil pengamatan langsung dilapangan melalui pendekatan

morfografi bahwa satuan ini mempunyai relief bergelombang yang terletak pada

ketinggian 50 - 200 meter diatas permukaan laut, sehingga berdasarkan ketinggian

27
relatifnya maka bentuk topografi atau relief satuan ini merupakan satuan

geomorfologi perbukitan.

Sedangkan berdasarkan hasil pengolahan data morfometri menunjukkan

kemiringan lereng 15 - 30 %, persentase sudut lereng sekitar 8 - 16 ̊ dengan beda

tinggi 50 - 200 meter, sehingga morfologi lereng dapat digolongkan kedalam

satuan geomorfologi bergelombang.

Berdasarkan pada pendekatan morfogenesa dilakukan dengan analisis proses-

proses geomorfologi yang dominan bekerja pada daerah penelitian. Beberapa titik

pengamatan dijumpai struktur geologi berupa lipatan, kekar, dan sesar yang

diakibatkan oleh aktivitas tektonik yang berkembang.

Gambar 2.8 Kenampakan Satuan geomorfologi perbukitan bergelombang struktural difoto


pada bagian timur Koro Mosologi, stasiun 43 dengan arah foto N 98 0 E. 28
Gambar 2.9 Kenampakan struktur geologi berupa lipatan minor pada satuan
geomorfologi perbukitan bergelombang struktural difoto pada
bagian barat daya Koro Pancuma, stasiun 79 dengan arah foto N
2250 E.

29
Gambar 2.10 Kenampakan struktur geologi berupa kekar gerus pada satuan geomorfologi
perbukitan bergelombang struktural difoto pada bagian barat laut Koro
Pancuma, stasiun 83 dengan arah foto N 2250 E

Gambar 2.11 Kenampakan struktur geologi yang memperlihatkan Offset litology berupa
sesar geser naik pada litologi perselingan batupasir dan batulempung pada
satuan geomorfologi perbukitan bergelombang struktural difoto pada
bagian barat Koro Pancuma, stasiun 72 dengan arah foto N 2770 E

Proses pelapukan yang umumnya dijumpai di lapangan merupakan pelapukan

fisika, biologi dan kimia. Pelapukan fisika yakni proses perubahan batuan menjadi

fragmen batuan yang lebih kecil tanpa merubah komposisi kimia dan mineralnya.

Pelapukan fisika yang terjadi adalah perubahan bentuk dan ukuran pada batuan

sehingga batuan tersebut menjadi material material berukuran kecil (Gambar

2.12).

30
Gambar 2.12 Kenampakan pelapukan fisika berupa kekar-kekar yang dapat menyebabkan
batuan pecah dan berubah ukuran pada litologi batupasir. Dijumpai pada
satuan geomorfologi perbukitan bergelombang struktural difoto pada
bagian timur Koro Pancuma, stasiun 84 dengan arah foto N 590 E

Adapun pelapukan biologi didorong oleh aktivitas organisme yaitu adanya

tekanan dari tubuh maupun akar tumbuhan pada celah batuan sehingga merusak

lapisan batuan dan menjadi rekahan rekahan (Gambar 2.13). dan pelapukan kimia

yakni pelapukan yang di pengaruhi oleh proses-proses kimia yang mengakibatkan

adanya perubahan warna dan komposisi pada batuan (Gambar 2.14).

31
Gambar 2.13 Kenampakan pelapukan biologi yakni adanya pengaruh akar tumbuhan
pada litologi batulempung. Pada satuan geomorfologi perbukitan
bergelombang struktural difoto pada bagian utara Koro Pancuma, stasiun 81
dengan arah foto N 220 E

(a)

(b)

Gambar 2.14 Kenampakan pelapukan kimia yakni perubahan warna batuan akibat proses
oksidasi (a) pada litologi konglomerat dan (b) merupakan litologi yang
Gerakan belum
tanah mengalami
berupa longsoran batuan pada
oksidasi. Diumpai rombakan
satuan atau debris fall
geomorfologi yang
perbukitan
bergelombang struktural difoto pada bagian timur Koro Pancuma, stasiun
ditandai dengan hasil gerakan
84 dengan tanah
arah foto N 59bercampur
0
E batuan yang dijumpai di sepanjang

bidang batuan (Gambar 2.15).

32
Tingkat pelapukan pada daerah ini relatif rendah hingga sedang, hal ini dapat

dilihat dari tebal soil pembentuk satuan geomorfologi ini yaitu sekitar 0,5 – 1

meter warna soil coklat muda hingga coklat tua. Jenis soil adalah residual soil dan

transported soil. Dilihat dari parameter erosinya, pada satuan geomorfologi ini

dijumpai erosi lateral pada Koro Tojo, Koro Mosologi, dan Koro Pancuma. Erosi

tersebut terbentuk akibat erosi horisontal lebih dominan dibanding erosi vertikal.

Sungai yang mengalir pada satuan geomorfologi ini yaitu koro Mosologi

dan koro Pancuma. Jenis sungainya berupa sungai permanen. Tipe genetik berupa

subsekuen dan obsekuen dengan pola aliran sungai trellis. Profil sungainya

menyerupai huruf “V - U” dan relatif lebar. Erosi sungai yang berlangsung yaitu

erosi lateral tepi sungai sehingga sungai mengalami pelebaran (Gambar 2.16).

Hasil erosi tersebut sebagian terendapkan sebagai endapan sungai dimana

dijumpai pula adanya point bar. Berdasarkan karakteristik tersebut maka stadia

sungai pada satuan geomorfologi ini yaitu stadia muda menjelang dewasa.

Satuan geomorfologi perbukitan bergelombang struktural ini disusun oleh

litologi berupa batulempung, batupasir, dan konglomerat. Tata guna lahan pada

satuan geomorfologi ini adalah pemukiman, perkebunan, dan pertambangan.

33
(a)

Gambar 2.16 Kenampakan endapan sungai berupa point bar (a), yang merupakan hasil
dari transportasi material sedimen, ditunjukkan oleh garis panah merah
merupakan erosi lateral yang mengakibatkan sungai makin lebar pada
satuan geomorfologi perbukitan bergelombang struktural difoto pada
bagian barat Koro Mosologi, stasiun 88 dengan arah foto N 2780 E
2.2.4.4 Satuan Geomorfologi Perbukitan Curam Struktural

Satuan geomorfologi perbukitan curam struktural ini menempati sekitar ±

40,34 % dari seluruh daerah penelitian dengan luas sekitar ±12,4 Km2. Satuan ini

menempati bagian timur, selatan dan utara dari daerah penelitian mencakup Desa

Tojo pada bagian selatan dan Desa Pancuma dibagian utara daerah penelitian.

Secara umum kenampakan topografi dari satuan ini digambarkan oleh bentuk

kontur yang agak rapat, bentuk puncak tajam serta lembah berbentuk huruf “V”.

Berdasarkan hasil pengamatan langsung dilapangan melalui pendekatan

morfografi bahwa satuan ini mempunyai relief curam yang terletak pada

ketinggian 200 - 500 meter diatas permukaan laut, sehingga berdasarkan

ketinggian relatifnya maka bentuk topografi atau relief satuan ini merupakan

satuan geomorfologi perbukitan.

34
Sedangkan berdasarkan hasil pengolahan data morfometri menunjukkan

kemiringan lereng 31 - 70 %, persentase sudut lereng sekitar 16 - 30 ̊ dengan beda

tinggi 200 - 500 meter, sehingga morfologi lereng dapat digolongkan kedalam

satuan geomorfologi curam.

Berdasarkan pada pendekatan morfogenesa dilakukan dengan analisis

proses-proses geomorfologi yang dominan bekerja pada daerah penelitian.

Beberapa titik pengamatan dijumpai struktur geologi berupa gawir sesar yang

diakibatkan oleh aktivitas tektonik yang berkembang.

Gambar 2.17 Kenampakan satuan geomorfologi perbukitan curam struktural difoto pada
bagian utara jalan proyek, stasiun 21 dengan arah foto N 280 E.

35
Gambar 2.18 Kenampakan gawir sesar pada litologi konglomerat diamati pada stasiun 62
Koro Mosologi, merupakan indikasi geologi yang menandakan adanya
sesar, dengan arah foto N 980 E.

Proses pelapukan yang umumnya dijumpai di lapangan merupakan

pelapukan fisika, biologi dan kimia. Pelapukan fisika yakni proses perubahan

batuan menjadi fragmen batuan yang lebih kecil tanpa merubah komposisi kimia

dan mineralnya. Pelapukan fisika yang terjadi adalah perubahan bentuk dan

ukuran pada batuan sehingga batuan tersebut menjadi material material berukuran

kecil (Gambar 2.19). Adapun pelapukan biologi didorong oleh aktivitas

organisme yaitu adanya tekanan dari tubuh maupun akar tumbuhan pada celah

batuan sehingga merusak lapisan batuan dan menjadi rekahan rekahan (Gambar

2.19). dan pelapukan kimia yakni pelapukan yang di pengaruhi oleh proses-proses

kimia yang mengakibatkan adanya perubahan warna dan komposisi pada batuan

(Gambar 2.19).

(a)

36
(b)

Gambar 2.19 Kenampakan pelapukan biologi ditandai oleh adanya akar tumbuhan pada
singkapan litologi konglomerat (a), dan kenampakan pelapukan fisika (b)
yang menyebabkan perubahan ukuran menjadi bongkahan pada litologi
batupasir. Satuan geomorfologi perbukitan curam struktural difoto pada
bagian timur Koro Pancuma, stasiun 93 dengan arah foto N 1050 E

Tingkat pelapukan pada daerah ini relatif rendah hingga sedang, hal ini

dapat dilihat dari tebal soil pembentuk satuan geomorfologi ini yaitu sekitar 1 –

1,5 meter warna soil coklat muda hingga coklat tua. Dengan jenis soil adalah

residual soil dan transported soil. Dilihat dari parameter erosinya, pada satuan

geomorfologi ini dijumpai erosi lateral pada Koro Tojo, Koro Mosologi, dan Koro

Pancuma. Erosi tersebut terbentuk akibat erosi horisontal lebih dominan

dibanding erosi vertikal.

37
Gambar 2.20 Kenampakan pelapukan kimia yakni yang menyebabkan
perubahan warna dan komposisi pada litologi
konglomerat. Dijumpai pada satuan geomorfologi curam
struktural difoto pada bagian timur Koro Pancuma, stasiun
92 dengan arah foto N 790 E

Gerakan tanah yang dijumpai berupa jatuhan batuan atau rock fall yang

dipengaruhi oleh ketidakstabilan tanah dan batuan akibat hilangnya penyangga

serta kemiringan lereng yang sangat terjal (Gambar 2.20).

Sungai yang mengalir pada satuan geomorfologi ini yaitu Koro Mosologi

dan Koro Pancuma. Jenis sungainya berupa sungai permanen. Tipe genetik berupa

subsekuen dan obsekuen dengan pola aliran sungai trellis. Profil sungainya

menyerupai huruf “V - U” dan relatif lebar. Erosi sungai yang berlangsung yaitu

erosi lateral tepi sungai sehingga sungai mengalami pelebaran. Hasil erosi tersebut

sebagian terendapkan sebagai endapan sungai dimana dijumpai pula adanya

meandering. Berdasarkan karakteristik tersebut maka stadia sungai pada satuan

geomorfologi ini yaitu stadia muda menjelang dewasa.

Satuan geomorfologi perbukitan bergelombang struktural ini disusun oleh

litologi berupa batulempung, batupasir, dan konglomerat. Tata guna lahan pada

satuan geomorfologi ini adalah perkebunan.

38
Gambar 2.21 Kenampakan gerakan tanah rock fall pada dinding batuan konglomerat di
stasiun 96 dengan arah foto N730E.

2.3 Sungai

Sungai merupakan tempat air mengalir secara alamiah membentuk suatu

pola dan jalur tertentu di permukaan (Thornbury,1969). Pembahasan tentang

sungai pada daerah penelitian meliputi pembahasan tentang klasifikasi sungai

yang didasarkan pada kandungan air yang mengalir pada tubuh sungai sepanjang

waktu. Pola aliran sungai dikontrol oleh beberapa faktor seperti kemiringan

lereng, kontrol struktur, vegetasi dan kondisi iklim. Tipe genetik menjelaskan

tentang hubungan arah aliran sungai dan kedudukan batuan. Berdasarkan hasil

pembahasan diatas maka pada akhirnya dapat dilakukan penentuan stadia sungai

daerah penelitian.

39
2.3.1 Klasifikasi Sungai

Klasifikasi atau pembagian sungai pada daerah penelitian didasarkan pada

sifat aliran sungai dan kuantitas air yang mengalir pada saluran tersebut sepanjang

tahun. Berdasarkan sifat alirannya maka aliran sungai pada daerah penelitian yaitu

Sungai eksternal (Run off water), yaitu aliran air yang mengalir di permukaan

bumi membentuk sungai, meliputi koro Tojo, koro Mosologi, koro Pancuma, dan

anak sungainya.

Menurut Van Zuidam, 1985 sungai berdasarkan atas kandungan air dalam

tubuh sungai, maka sungai yang mengalir di daerah penelitian adalah dapat dibagi

dalam dua (2) bagian, yaitu :

1. Sungai Permanen / Perennial

Sungai permanen ini merupakan sungai yang mempunyai debit aliran tetap

tidak dipengaruhi oleh musim kemarau atau penghujan. Jenis sungai

permanen pada daerah penelitian yaitu pada sungai utama yaitu koro

Mosologi dan koro Pancuma. Sungai tersebut merupakan sungai berorde

besar yang terdapat pada daerah penelitian, dimana arah aliran dari anak

sungainya menuju ke tubuh sungai tersebut. Jenis sungai seperti ini

berkembang pada satuan gomorfologi perbukitan bergelombang struktural

dan satuan gomorfologi perbukitan tersayat tajam struktural.

2. Sungai Periodik / Intermittent

Sungai periodik merupakan sungai yang kandungan airnya tergantung pada

musim, dimana pada musim hujan debit alirannya menjadi besar dan pada

musim kemarau debit alirannya menjadi kecil. Jenis sungai periodik pada

40
daerah penelitian adalah Koro Tojo. Jenis sungai seperti ini berkembang pada

satuan geomorfologi dataran fluvial dan satuan geomorfologi perbukitan

bergelombang struktural.

2.3.2 Pola Aliran Sungai

Pola aliran sungai merupakan penggabungan dari beberapa individu sungai

yang saling berhubungan, membentuk suatu pola dalam kesatuan ruang. Pola

aliran sungai mengacu pada bentuk tertentu atau kenampakan dari setiap individu

sungai secara kolektif dan dapat dibedakan dari beberapa hal yang membentuk

alur–alur aliran dari sungai, serta hubungan antara satu dengan lainnya

(Thornburry, 1954). Perkembangan pola aliran sungai yang ada pada daerah

penelitian dikontrol oleh faktor–faktor seperti kemiringan lereng, kontrol struktur,

dan stadia geomorfologi berupa vegetasi dan kondisi iklim.

Berdasarkan faktor pengontrol tersebut yang disebandingkan dengan hasil

interpretasi peta topografi dan hasil pengamatan langsung di lapangan, maka pola

aliran pada daerah penelitian termasuk dalam jenis pola aliran Trellis (Gambar

2.22).

41
Gambar 2.22 Peta pola aliran sungai pada daerah penelitian

Menurut William D. Thornbury, pola aliran trellis memperlihatkan suatu

sistem sungai yang sub-paralel, dimana terdapat sungai-sungai besar yang

mengalir sepanjang jurus formasi batuan atau sejajar dengan kenampakan

topografi yang parallel.

Ranting-ranting sungai (sungai primer) mengalir tegak lurus terhadap

sungai cabangnya (main stream) dan kadangkala memotong tegak lurus diantara

pungungan-punggungan, cabang-cabang sungai mengalir searah dengan sungai

utama (master stream). Pola trellis mencerminkan adanya pengaruh struktur pada

sebagian besar sungai, kecuali pada sungai utama. Pola pengaliran Trellis

dijumpai pada sesar-sesar yang parallel, dimana sungai-sungai mengalir

berselingan dengan daerah batuan lunak diantara daerah batuan keras. Pola aliran

ini terutama dikontrol oleh aktivitas struktur geologi, yaitu hampir pada setiap

bagian daerah penelitian di daerah Tojo dan sekitarnya melewati setiap satuan

pada daerah penelitian.

42
2.3.3 Tipe Genetik Sungai

Tipe genetik sungai merupakan jenis sungai yang didasarkan hubungan

antara kedudukan perlapisan batuan sedimen terhadap arah aliran sungai

(Thornbury, 1954). Pada daerah penelitian secara umum termasuk pada tipe

genetik sungai subsekuen dan obsekuen.

Tipe genetik subsekuen, dimana arah aliran sungai relatif sejajar dengan

jurus perlapisan batuan. Tipe genetik ini berkembang sebagian pada Koro

Mosologi dan Koro Pancuma (Gambar 2.23) Tipe genetik obsekuen, dimana arah

aliran sungai relatif berlawanan dengan kemiringan lapisan batuan. Tipe genetik

ini sebagian berkembang pada Koro Mosologi dan Koro Pancuma (Gambar 2.24).

Tipe genetik konsekuen, dimana arah aliran sungai relatif searah dengan

kemiringan lapisan batuan. Tipe genetik ini sebagian berkembang pada Koro

Pancuma (Gambar 2.25).

43
Gambar 2.23 Kenampakan arah aliran sungai yang terdapat pada satuan batulempung di
Koro Pancuma yang memperlihatkan tipe genetik subsekuen, dengan arah
aliran N132oE, dengan arah foto N155oE.

2.3.4 Stadia Sungai


Gambar 2.24 Kenampakan arah aliran sungai yang terdapat pada satuan konglomerat di
Koro Mosologi yang memperlihatkan tipe genetik obsekuen, dengan arah
aliran N172oE, dengan arah foto N254oE.

44
Gambar 2.25 Kenampakan arah aliran sungai yang terdapat pada satuan batulempung di
Koro Mosologi yang memperlihatkan tipe genetik konsekuen, dengan arah
aliran N345oE, dengan arah foto N130oE.

2.3.4 Stadia Sungai

Penentuan stadia sungai pada daerah penelitian didasarkan pada profil

lembah sungai, jenis erosi, serta proses sedimentasi yang bekerja. Stadia atau

tahapan sungai dapat dibagi menjadi lima, yakni stadia sungai awal (initial age),

stadia muda (young driver), stadia dewasa (mature driver), stadia tua (old age

driver), dan peremajaan sungai (rejuvenation) (Noor, 2012).

Profil lembah pada sungai di daerah penelitian ini berbentuk “V-U”,

dimana jenis erosi yang berkembang adalah erosi vertikal dan erosi lateral tetapi

lebih dominan erosi lateral dibanding erosi vertikal (Gambar 2.26), dengan proses

sedimentasi material sedimen yang berukuran bongkah-kerikil dengan bentuk

material sub angular hingga angular, hal tersebut menunjukkan proses sedimentasi

material belum jauh dari sumbernya.

45
Gambar 2.26 Kenampakan profil sungai “V-U” dengan endapan sungai berupa
bongkahan yang di tandai dengan garis kuning hasil dari transportasi
material sedimen. difoto pada bagian timur Koro Pancuma, stasiun 88
dengan arah foto N 1050 E
Berdasarkan pada karakter profil sungai, pola saluran, proses erosi dan

sedimentasi pada Sungai daerah penelitian, maka dapat disimpulkan bahwa sungai

pada daerah penelitian berstadia muda menjelang dewasa.

2.3.5 Stadia Daerah Penelitian

Stadia atau tingkatan bentangalam dinyatakan untuk mengetahui seberapa

jauh tingkat kerusakan yang telah terjadi dan dalam tahapan atau stadia apa

kondisi bentangalam saat ini. Tingkatan bentang alam digunakan istilah muda,

dewasa dan tua. Tiap-tiap tingkatan dalam geomorfologi itu ditandai oleh sifat-

sifat tertentu yang spesifik, bukan ditentukan oleh umur bentangalam (Noor,

2012).

Stadia muda dicirikan oleh lembah relatif terjal, kenampakan sungai yang

pada umumnya lurus dan sempit, aktivitas aliran sungainya mengerosi kearah

vertikal. Stadia dewasa dicirikan oleh permukaaan yang bergelombang sampai

relatif datar, kenampakan sungai pada umumnya mulai berkelok, sungai mulai

46
mengalami erosi lateral. Stadia tua dicirikan oleh permukaaan yang relatif datar,

endapan alluvial di sepanjang tubuh sungai.

Analisa morfogenesa daerah penelitian secara umum terdiri dari morfologi

daerah penelitian, proses erosi dan tingkat pelapukan. Morfologi daerah penelitian

secara umum memiliki relief landai hingga terjal, bentuk puncak relatif tumpul

hingga lancip, dan bentuk lembah yang umumnya berbentuk “V-U“.Tingkat

pelapukan pada daerah penelitian relatif rendah hingga sedang. Hal ini dapat

dilihat dari ketebalan soil yaitu sekitar 10-150 cm. Tingkat erosi pada daerah

penelitian relatif sedang, hal ini dapat dilihat dari proses pengikisan lembah

sungai yaitu erosi lateral lebih dominan dibandingkan erosi vertikal. Berdasarkan

ciri-ciri tersebut maka dapat disimpulkan bahwa perkembangan daerah penelitian

berada pada stadia dewasa.

47
Tabel 2.4 Tabel Geomorfologi Daerah Penelitian

TABEL GEOMORFOLOGI

Perbukitan Bergelombang Perbukitan Curam


SATUAN GEOMORFOLOGI Dataran Marine Dataran Fluvial
Struktural Struktural
1,3 Km² 3,4 Km² 13,7 Km² 12,4 Km²
Luas Penyebaran
4,26% 11,25% 44,35% 40,34%
Slope (%) 0 3 15-30 31-70
Morfometri Relief Dataran Dataran Bergelombang Curam
h (Mdpl) 0 6 50-200 200-500
Bentuk Lahan Dataran Perbukitan
Bentuk Lembah - - V Tumpul V Tajam
Morfografi
Pola Punggungan - - Berbelok Berbelok
Bentuk Lereng - - Cembung Cembung
Bentuk Morfologi Dataran pesisir Dataran Banjir Lipatan Gawir Sesar
Proses Abrasi Sedimentasi Sedimentasi, tektonik, erosi
Lempung, Batupasir, Lempung, Batupasir,
Litologi Penyusun Endapan Pasir Endapan Alluvial
Konglomerat Konglomerat
Residual soil dan Residual soil dan Transported Residual soil dan
Jenis Transported Soil
Transported Soil Soil Transported Soil
Soil
Tebal (m) 0,1-0,5 m 0,5-1,0 m 0,5-1,0 m 1,0-1,5 m
Morfogenesa
Warna Coklat Muda Coklat Muda Coklat Muda-Coklat Tua Coklat Muda-Coklat Tua
Pola Aliran - Trellis Trellis Trellis
Subsekuen, Obsekuen,
Tipe Genetik - Subsekuen, Obsekuen Subsekuen, Obsekuen
Konsekuen
Sungai
Stadia - Dewasa Dewasa Muda-Dewasa
Jenis - Periodik-permanen permanen permanen
Penampang - "U" "V-U" "V-U"
Tutupan Lahan Vegetasi Vegetasi, pemukiman Vegetasi, pemukiman Vegetasi
Pemukiman, perkebunan,
Tata Guna Lahan - Pemukiman, jalan Perkebunan
pertambangan
Struktur Geologi - - Sesar, Lipatan, Kekar Gawir Sesar
Stadia Daerah Dewasa

Anda mungkin juga menyukai