Anda di halaman 1dari 51

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pada Desember 2019 sebuah penyakit baru yang mirip dengan pneumonia dilaporkan terjadi pada kota Wuhan, Provinsi Hubei.
Penyakit ini masih belum diketahui dengan pasti sumber penularannya, namun sementara dicurigai dikaitkan dengan sebuah pasar
di kota Wuhan. Pada awal tahun 2020 virus ini diberi nama corona virus disease 2019 (COVID-19) yang disebabkan oleh Severe
Acute Respiratory Syndrome Coronavirus-2 (SARS-CoV-2). Hingga kini virus ini telah menyebar ke lebih dari 190 negara didunia
dan sekarang telah menjadi pandemi.
Seperti yang dilansir dari Worldometers.info per tanggal 5 Oktober 2020 terdapat 35,490,830 kasus positif Covid-19 di dunia,
dengan jumlah 1,043,150 kasus pasien meninggal dan 26,705,179 kasus pasien sembuh. Untuk negara dengan peringkat pertama
kasus positif terbanyak yaitu merupakan Amerika Serikat, kemudian India, Brazil, Rusia, Colomba, Peru, Spain, Argentina, Mexico
dan South Africa. Sementara dari daftar negara dengan kasus positif terbanyak ini Indonesia menempati peringkat 22.
Indonesia pertama kali mengkonfirmasi kasus positif Covid-19 pada tanggal 2 Maret 2020. Hingga kini per tanggal 5 Oktober
2020 tercatat telah terdapat 307,120 kasus positif Covid-19 di ndonesia, dengan 11,253 kasus pasien meninggal dan 232,593 kasus
pasien sembuh. Hingga kini angka prevalensi dari kasus Covid-19 telah mencapai ± 3.500 kasus perharinya. Hingga kini provinsi
dengan kasus positif terbanyak di Indonesia adalah Provinsi Jakarta dengan total 78.850 kasus positif dan 1.755 kasus dengan
pasien meninggal, kemudian ada Jawa Timur dengan total 44.898 kasus positif dan 3.280 kasus dengan pasien meninggal, dan Jawa
Barat dengan total 23.899 kasus positif dan 480 kasus dengan pasien meninggal. Sementara pada Kabupaten Mojokerto terdapat
total 549 kasus positif dengan 35 kasus meninggal.
Menurut Rothan pada tahun 2020 sebagian besar pasien yang positif Covid-19 biasanya mengalami gejala-gejala pada sistem
pernapasan seperti batu, bersin, sesak napas. Sedangkan menurut Han Y pada tahun 2020 dari 55.924 kasus, gejala yang tersering
adalah batuk kering, demam dan fatigue. Selain itu juga dapat ditemukan beberapa gejala lainnya yaitu sakit tenggorokan, nyeri
kepala, menggigil, mual/muntah, kongesti nasal, dan diare. Sedangkan data dari Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19
gejala yang timbul pada pasien yang positif COVID-19 batuk (76,6%), Riwayat Demam (52,8%), demam (47%), sesak napas
(42%), lemas (33,9%), sakit tenggorokan (32%), pilek (31,1%), sakit kepala (23,6%), mual (19,7%), keram otot (16,9%), menggigil
(11%), diare (8,5%), sakit perut (7,3%), dan lain-lain (0,7%).
Terdapat dua cara untuk mendeteksi infeksi virus corona yaitu adalah rapid test dan PCR test. Rapid test merupakan screening
awal dari covid-19 yang memiliki mekanisme emeriksa virus dengan menggunakan antibodi IgG dan IgM yang ada didalam darah,
namun hasil yang didapatkan dari rapid test tidak dapat dijadikan diagnosis pasti yang menunjukan infeksi covid-19. Maka untuk
pemeriksaan lebih lanjut yang disarankan adalah Polymerase Chain Reaction (PCR). PCR atau swab test dilakukan dengan
menggunakan sampel lendir yang diambil dari dalam hidung maupun tenggorokan. Kedua area tersebut dipilih karena biasanya
pada kedua area tersebut merupakan tempat dimana virus biasanya menggandakan dirinya. Pemeriksaan ini dianggap lebih akurat
karena virus corona akan menempel dibagian dalam hidung atau tenggorokan saat masuk kedalam tubuh penderitanya. Hasil akhir
dari test ini nantinya yang akan digunakan sebagai diagnosa pasti dari Covid-19 yang memperlihatkan keberadaan virus SARS-
COV2 didalam tubuh seseorang.
Dari uraian tersebut penulis ingin mengetahui lebih lanjut mengenai hubungan kelompok umur dan jenis kelamin terhadap hasil
PCR test Covid-19 diwilayah kerja Puskesmas Ngoro Kabupaten Mojokerto.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas, maka timbul permasalahan apakah ada hubungan antara kelompok umur dan jenis kelamin terhadap
hasil PCR test Covid-19 diwilayah kerja Puskesmas Ngoro Kabupaten Mojokerto.
C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Menganalisis hubungan kelompok umur dan jenis kelamin terhadap hasil PCR test Covid-19 di wilayah kerja
Puskesmas Ngoro Kabupaten Mojokerto.
2. Tujuan Khusus
a. Mengidentifikasi usia responden yang melakukan PCR test Covid-19.
b. Mengidentifikasi jenis kelamin yang melakukan PCR test Covid-19.
c. Mengidentifikasi hasil PCR test Covid-19 .
d. Menganalisis hubungan usia dan jenis kelamin responden dengan hasil PCR test Covid-19.
D. Manfaat
1. Manfaat Bagi Masyarakat
Memberikan informasi imiah agar masyarakat lebih paham tentang Covid-19 dan usia dan jenis kelamin yang dapat
mempengaruhi hasil PCR test Covid-19.
2. Manfaat Bagi Puskesmas
Dapat digunakan sebagai informasi tambahan mengenai Covid-19, usia, jenis kelamin dan pengaruhnya dengan hasil
PCR test Covid-19.
3. Manfaat Bagi Peneliti
Menambabh wawasan peneliti dibidang Covid-19 khususnya tentang usia dan jenis kelamin yang dapat empengaruhi
hasil PCR test Covid-19.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. COVID-19
1. Definisi

Penyakit coronavirus 2019 (COVID-19) adalah infeksi saluran pernapasan yang disebabkan oleh coronavirus yang baru
muncul yang pertama dikenali muncul di Wuhan, Tiongkok, pada bulan Desember 2019. Pengurutan genetika virus ini
mengindikasikan bahwa virus ini berjenis betacoronavirus yang terkait erat dengan virus SARS (Team NCPERE, 2019).
Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) adalah penyakit jenis baru yang belum pernah diidentifikasi sebelumnya pada manusia.
Virus penyebab COVID-19 ini dinamakan Sars-CoV-2 (Kemenkes RI, 2020).

2. Klasifikasi
Terdapat beberapa tipe Corona virus yang telah diidentifikasi diantaranya adalah:

a. 229E (alpha Coronavirus)

Klasifikasi virus Corona yang paling sering menginfeksi manusia yang pertama adalah HCoV-229E (alpha Coronavirus).
Virus ini pertama kali ditemukan pada sekitar tahun 1960. Gejala virus ini hampir sama seperti virus Corona yang telah
menginfeksi banyak orang saat ini, yaitu menyerupai flu biasa. Virus HCoV-229E lebih banyak menyerang anak-anak dan
orang berusia lanjut.Namun belum ada laporan korban jiwa yang ditimbulkan akibat terinfeksi virus ini (Wang Z, 2020).
b. NL63 (alpha Coronavirus)

Menurut jurnal yang diterbitkan pada 25 Mei 2010 oleh US National Library of Medicine National Institutes of Health,
virus ini pertama kali ditemukan pada tahun 2004 pada bayi berusia tujuh bulan di Belanda. Virus ini kemudian menyebar dan
diidentifikasi di berbagai negara. HCoV-NL63 telah terbukti lebih banyak menyerang anak-anak dan orang dengan kelainan
imun. Gejalanya bisa berupa masalah pernapasan ringan seperti batuk, demam dan rhinorrhoea, atau yang lebih serius seperti
bronchiolitis dan croup, yang diamati terutama pada anak-anak yang lebih muda (Wang Z, 2020).

c. OC43 (beta Coronavirus)

Klasifikasi virus Corona yang paling sering menginfeksi manusia yang selanjutnya adalah HCoV-OC43
(betacoronavirus). HCoV-OC43 adalah salah satu virus Corona yang paling umum menyebabkan infeksi pada manusia.Virus
ini dapat menyebabkan pneumonia pada manusia. (Wang Z, 2020)

d. HKU1 (beta Coronavirus)

Klasifikasi virus Corona yang paling sering menginfeksi manusia yang keempat adalah HCoV-HKU1. Gejalanya
hampir sama seperti jenis virus Corona lainnya, yaitu infeksi saluran pernapasan atas. Walaupun terkadang pneumonia,
bronchiolitis akut, dan asthmatic axacerbation juga bisa timbul sebagai akibat dari virus ini. Durasi demam yang ditimbulkan
dari virus ini cenderung lebih singkat, yaitu hanya sekitar 1,7 hari (Wang Z 2020).

e. Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS)


Kasus pertama pada sudah terjadi di provinsi Guangdong, Cina Selatan pada tahun 2002.SARS coronavirus (SARS-CoV)
baru bisa diidentifikasi pada 2003. Virus ini dipercaya berasal dari heWang Zang diduga kelelawar, lalu menyebar ke hewan
lain (luwak), hingga terkena manusia (Wang Z, 2020). Virus ini juga dapat menyebar hingga ke negara lain. SARS menyebar
ke lebih dari dua lusin negara di Eropa, Amerika Utara, Amerika Selatan, dan Asia.Pada saat itu virus telah menyerang lebih
dari 8.000 orang di seluruh dunia, dan telah membunuh hampir 800 orang (Wang Z, 2020).

f. Middle East Respiratory Syndrome-Corona Virus (MERS-CoV)

Middle East Respiratory Syndrome (MERS) adalah penyakit pernapasan yang disebabkan oleh virus corona (Middle East
respiratory syndrome syndrome atau MERS-CoV). Virus ini pertama kali diidentifikasi pada 2012 silam di Arab Saudi.
Beberapa kasus menyebutkan pasien tidak menunjukkan gejala klinis. Namun mereka terbukti positif terinfeksi MERS-CoV.
Tapi umumnya gejala MERS di antaranya ialah demam, batuk dan sesak napas.Pneumonia mungkin juga bisa terjadi, tetapi
tidak selalu ada. Gejala gastrointestinal, termasuk diare, juga pernah dilaporkan (Wang Z, 2020).

g. SARS-CoV-2

Virus SARS-CoV-2 merupakan Coronavirus, jenis baru yang menyebabkan epidemi, dilaporkan pertama kali di Wuhan
Tiongkok pada tanggal 31 Desember 2019. Analisis isolat dari saluran respirasi bawah pasien tersebut menunjukkan penemuan
Coronavirus tipe baru, yang diberi nama oleh WHO COVID-19. Pada tanggal 11 Februari 2020, WHO memberi nama
penyakitnya menjadi Coronavirus Disease 2019 (COVID-19). Coronavirus tipe baru ini merupakan tipe ketujuh yang diketahui
di manusia. SARS-CoV-2 diklasifikasikan pada genus beta Coronavirus. Pada 10 Januari 2020, sekuensing pertama genom
SARS-CoV-2 teridentifikasi dengan 5 subsekuens dari sekuens genom virus dirilis. Sekuens genom dari Coronavirus baru
(SARS-CoV-2) diketahui hampir mirip dengan SARS-CoV dan MERS-CoV. Secara pohon evolusi sama dengan SARS-CoV
dan MERS-CoV tetapi tidak tepat sama (Wang Z, 2020).

3. Epidemiologi
Masyarakat dan pemerintah Indonesia tidak dapat lagi bisa tenang dalam penanganan Covid-19 terlebih karena julah kasus
positif saat ini terus meningkat secara signifikan dari hari ke hari. Bahkan penyebaran virus ini telah menyebar ke seluruh
wilayah di Indonesia. Seperti yang dikutip dari situs Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 (Covid19.go.id) bahwa per
tanggal 5 Oktober 2020 tercatat telah terdapat 307,120 kasus positif Covid-19 di ndonesia, dengan 11,253 kasus pasien
meninggal dan 232,593 kasus pasien sembuh. Hingga kini angka prevalensi dari kasus Covid-19 telah mencapai ± 3.500 kasus
perharinya. Kemudian untuk Case Fatality Rate di Indonesia mencapai 4,1%.
Menurut Siagian (2020) bahwa kelompok lanjut usia (lansia) adalah salah satu kelompok yang memiliki risiko lebih tinggi
terinfeksi Virus Corona. Pernyataan ini disepakati oleh hampir semua organisasi (peneliti USA, Jerman, Indonesia, China,
Canada dan Gubernur DKI Jakarta). Meskipun kategori usia lansia yang dimaksud belum seragam, ada yang menyatakan lansia
berusia >80 tahun berisiko tinggi terkena Virus Corona (menurut peneliti China), lansia berusia > 50 tahun (menurut Walikota
New York) bahkan ada peneliti Indonesia yang menyatakan orang berusia 45-65 tahun rentan terpapar Virus Corona.

Tingkat kematian juga lebih tinggi pada populasi lansia seperti pada Cina. Laporan dari Italia menunjukkan tingkat
fatality rate sebesar 7,2%, yang tiga kali lebih tinggi dari yang ada di Cina. Meskipun angka fatality rate pasien berusia 70
tahun atau lebih di Italia lebih tinggi, namun sangat mirip antara usia 0 dan 69 tahun di kedua negara. Karena 23% orang Italia
berusia 65 tahun atau lebih, kasus kematian yang tinggi di Italia dapat dijelaskan oleh karakteristik demografis (Wang Z. 2020).
4. Etiologi
COVID-19 disebabkan oleh coronavirus, yaitu kelompok yang menginfeksi sistem pernafasan. Pada sebagian kasus,
coronavirus hanya menyebabkan infeksi pernafasan ringan sampai sedang, seperti flu. Akan tetapi, virus ini juga
menyebabkan infeksi pernafasan berat, seperti pneumonia, Middle-east Respiratory Syndrome (MERS) dan Serve Acute
Respiratory Syndrome (SARS) (WHO, 2020).

Anggota keluarga besar virus ini dapat menyebabkan penyakit pernapasan, enterik, hati, dan saraf pada spesies
hewan yang berbeda, termasuk unta, sapi, kucing, dan kelelawar. Sampai saat ini, tujuh CoV manusia (HCoV) yang mampu
menginfeksi manusia telah diidentifikasi. Beberapa virus dapat diidentifikasi pada pertengahan 1960-an, sementara yang lain
baru terdeteksi di milenium baru.

5. Patofisiologi
Patogenesis SARS-CoV-2 masih belum banyak diketahui, tetapi diduga tidak jauh berbeda dengan SARS-CoV yang
sudah lebih banyak diketahui. Pada manusia, SARS-CoV-2 terutama menginfeksi sel-sel pada saluran napas yang melapisi
alveoli. SARS-CoV-2 akan berikatan dengan reseptor-reseptor dan membuat jalan masuk ke dalam sel. Glikoprotein yang
terdapat pada envelope spike virus akan berikatan dengan reseptor selular berupa ACE2 pada SARS-CoV-2. Di dalam sel,
SARS-CoV-2 melakukan duplikasi materi genetik dan mensintesis protein-protein yang dibutuhkan, kemudian membentuk
virion baru yang muncul di permukaan sel (Liu Y, 2020).
Sama dengan SARS-CoV, pada SARS-CoV-2 diduga setelah virus masuk ke dalam sel, genom RNA virus akan
dikeluarkan ke sitoplasma sel dan ditranslasikan menjadi dua poliprotein dan protein struktural. Selanjutnya, genom virus
akan mulai untuk bereplikasi. Glikoprotein pada selubung virus yang baru terbentuk masuk ke dalam membran retikulum
endoplasma atau Golgi sel. Terjadi pembentukan nukleokapsid yang tersusun dari genom RNA dan protein nukleokapsid.
Partikel virus akan tumbuh ke dalam retikulum endoplasma dan Golgi sel. Pada tahap akhir, vesikel yang mengandung
partikel virus akan bergabung dengan membran plasma untuk melepaskan komponen virus yang baru (de Wit E, 2020).

6. Manifestasi klinis
Berdasarkan dari beratnya kasus, Covid-19 dibedakan menjadi beberapa gejala diantaranya (Erlina Burhan dkk, 2020) :
a. Tanpa gejala
Kondisi ini merupakan kondisi paling ringan. Pasien tidak ditemukan gejala.
b. Ringan
Pasien dengan gejala tanpa ada bukti pneumonia virus atau tanpa hipoksia. Gejala yang muncul seperti demam, batuk,
fatigue, anoreksia, napas pendek, mialgia. Gejala tidak spesifik lainnya seperti sakit tenggorokan, kongesti hidung, sakit
kepala, diare, mual dan muntah, hilang pembau (anosmia) atau hilang perasa (ageusia) yang muncul sebelum onset gejala
pernapasan juga sering dilaporkan. Pasien usia tua dan immunocompromised gejala atipikal seperti fatigue, penurunan
kesadaran, mobilitas menurun, diare, hilang nafsu makan, delirium, dan tidak ada demam.
c. Sedang/Moderat
Pada pasien remaja atau dewasa : pasien dengan tanda klinis pneumonia (demam, batuk, sesak, napas cepat) tetapi tidak
ada tanda pneumonia berat termasuk SpO2 > 93% dengan udara ruangan ATAU Anak-anak : pasien dengan tanda klinis
pneumonia tidak berat (batuk atau sulit bernapas + napas cepat dan/atau tarikan dinding dada) dan tidak ada tanda
pneumonia berat).
d. Berat /Pneumonia Berat
Pada pasien remaja atau dewasa : pasien dengan tanda klinis pneumonia (demam, batuk, sesak, napas cepat) ditambah satu
dari: frekuensi napas > 30 x/menit, distres pernapasan berat, atau SpO2 < 93% pada udara ruangan. ATAU pada pasien
anak : pasien dengan tanda klinis pneumonia (batuk atau kesulitan bernapas), ditambah setidaknya satu dari berikut ini:
1) Sianosis sentral atau SpO2 <93%
2) Distress pernapasan berat (seprti napas cepat, grunting, tarikn dinding dada yang sangat berat)
3) Tanda bahaya umum: ketidakmampuan menyusui atau minum, letargi atau penutunan kesadaran, atau kejang.
e. Kritis
Pasien dengan Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS), sepsis dan syok sepsis.
7. Penatalaksanaan pasien Covid-19

Penatalaksanaan klinis dilakukan pada pasien COVID-19 tanpa gejala, ringan, sedang dan berat. Berikut tatalaksana
klinis pasien terkonfirmasi COVID-19 (Erlina Burhan, 2020):
a. Tanpa gejala
Isolasi dan Pemantauan
1) Isolasi mandiri di rumah selama 10 hari sejak pengambilan spesimen diagnosis konfirmasi, baik isolasi mandiri di
rumah maupun di fasilitas publik yang dipersiapkan pemerintah.
2) Pasien dipantau melalui telepon oleh petugas Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP)
3) Kontrol di FKTP terdekat setelah 10 hari karantina untuk pemantauan klinis
Farmakologi
1) Bila terdapat penyakit penyerta/komorbid, dianjurkan untuk tetap melanjutkan pengobatan yang rutin dikonsumsi.
Apabila pasien rutin meminum terapi obat antihipertensi dengan golongan obat ACEinhibitor dan Angiotensin
Reseptor Blocker perlu berkonsultasi ke Dokter Spesialis Penyakit Dalam atau Dokter Spesialis Jantung
2) Vitamin C (untuk 14 hari)
3) Obat-obatan suportif baik tradisional (Fitofarmaka) maupun Obat Modern Asli Indonesia (OMAI) yang teregistrasi
di BPOM dapat dipertimbangkan untuk diberikan namun dengan tetap memperhatikan perkembangan kondisi klinis
pasien.
4) Obat-obatan yang memiliki sifat antioksidan dapat diberikan.
b. Ringan
Isolasi dan Pemantauan
1) Isolasi mandiri di rumah/ fasilitas karantina selama maksimal 10 hari sejak muncul gejala ditambah 3 hari bebas
gejala demam dan gangguan pernapasan. Isolasi dapat dilakukan mandiri di rumah maupun di fasilitas publik yang
dipersiapkan pemerintah.
2) Petugas FKTP diharapkan proaktif melakukan pemantauan kondisi pasien.
3) Setelah melewati masa isolasi pasien akan kontrol ke FKTP terdekat.
Farmakologis
1) Vitamin C dengan pilihan:
a) Tablet Vitamin C non acidic 500 mg/6-8 jam oral (untuk 14 hari)
b) Tablet isap vitamin C 500 mg/12 jam oral (selama 30 hari)
c) Multivitamin yang mengandung vitamin c 1-2 tablet /24 jam (selama 30 hari),
d) Dianjurkan vitamin yang komposisi mengandung vitamin C,B, E, zink
2) Azitromisin 1 x 500 mg perhari selama 5 hari
3) Salah satu dari antivirus berikut ini:
a) Oseltamivir (Tamiflu) 75 mg/12 jam/oral selama 5-7 hari Atau
b) Kombinasi Lopinavir + Ritonavir (Aluvia) 2 x 400/100mg selama 10 hari Atau
c) Favipiravir (Avigan) 600 mg/12 jam/oral selama 5 hari
4) Klorokuin fosfat 500 mg/12 jam oral (untuk 5-7 hari) ATAU Hidroksiklorokuin (sediaan yang ada 200 mg) dosis
400 mg/24 jam/oral (untuk 5-7 hari) dapat dipertimbangkan apabila pasien dirawat inap di RS dan tidak ada
kontraindikasi.
5) Pengobatan simptomatis seperti parasetamol bila demam.
6) Obat-obatan suportif baik tradisional (Fitofarmaka) maupun Obat Modern Asli Indonesia (OMAI) yang teregistrasi
di BPOM dapat dipertimbangkan untuk diberikan namun dengan tetap memperhatikan perkembangan kondisi klinis
pasien.
7) Pengobatan komorbid dan komplikasi yang ada
c. Sedang/moderat
Isolasi dan Pemantauan
1) Rujuk ke Rumah Sakit ke Ruang Perawatan COVID-19/ Rumah Sakit Darurat COVID-19
2) Isolasi di Rumah Sakit ke Ruang PerawatanCOVID-19/ Rumah Sakit Darurat COVID-19
Farmakologis
1) Vitamin C 200 – 400 mg/8 jam dalam 100 cc NaCl 0,9% habis dalam 1 jam diberikan secara drips Intravena (IV)
selama perawatan
2) Diberikan terapi farmakologis berikut:
a) Klorokuin fosfat 500 mg/12 jam oral (untuk 5-7 hari) atau Hidroksiklorokuin (sediaan yg ada 200 mg) hari
pertama 400 mg/12 jam/oral, selanjutnya 400 mg/24 jam/oral (untuk 5-7 hari) Ditambah
b) Azitromisin 500 mg/24 jam per iv atau per oral (untuk 5-7 hari) atau sebagai alternatif Levofloksasin dapat
diberikan apabila curiga ada infeksi bakteri: dosis 750 mg/24 jam per iv atau per oral (untuk 5-7 hari).
Ditambah salah satu antivirus berikut :
I. Oseltamivir 75 mg/12 jam oral selama 5-7 hari Atau
II. Kombinasi Lopinavir + Ritonavir (Aluvia) 2 x 400/100mg selama 10 hari Atau
III. Favipiravir (Avigan sediaan 200 mg) loading dose 1600 mg/12 jam/oral hari ke-1 dan selanjutnya 2 x 600
mg (hari ke 2-5) Atau
IV. Remdesivir 200 mg IV drip/3jam dilanjutkan 1x100 mg IV drip/3 jam selama 9 – 13 hari
3) Antikoagulan LMWH/UFH berdasarkan evaluasi DPJP
d. Berat atau kritis
1) Pemantauan laboratorium Darah Perifer Lengkap beriku dengan hitung jenis, bila memungkinkan ditambahkan
dengan CRP, fungsi ginjal, fungsi hati, Hemostasis, LDH, D-dimer.
2) Pemeriksaan foto toraks serial bila perburukan
3) Monitor tanda-tanda sebagai berikut;
a) Takipnea, frekuensi napas ≥ 30x/min,
b) Saturasi Oksigen dengan pulse oximetry ≤93% (di jari),
c) PaO2/FiO2 ≤ 300 mmHg,
d) Peningkatan sebanyak >50% di keterlibatan area paru-paru pada pencitraan thoraks dalam 24-48 jam,
e) Limfopenia progresif,
f) Peningkatan CRP progresif,
g) Asidosis laktat progresif.
4) Monitor keadaan kritis
a) Gagal napas yg membutuhkan ventilasi mekanik, syok atau gagal multiorgan yang memerlukan perawatan
ICU.
b) Bila terjadi gagal napas disertai ARDS pertimbangkan penggunaan ventilator mekanik
5) Terapi oksigen:
a) NRM : 15 liter per menit, lalu titrasi sesuai SpO2
b) HFNC (High Flow Nasal Canulla), FiO2 100% lalu titrasi sesuai SpO2
I. Tenaga kesehatan harus menggunakan respirator (PAPR, N95).
II. Lakukan pemberian HFNC selama 1 jam, kemudian lakukan evaluasi. Jika pasien mengalami perbaikan
dan mencapai kriteria ventilasi aman (indeks ROX >4.88 pada jam ke2, 6, dan 12 menandakan bahwa
pasien tidak membutuhkan ventilasi invasif, sementara ROX <3.85 menandakan risiko tinggi untuk
kebutuhan intubasi).
c) NIV (Noninvasif Ventilation)
I. Tenaga kesehatan harus menggunakan respirator (PAPR, N95).
II. Lakukan pemberian NIV selama 1 jam, kemudian lakukan evaluasi. Jika pasien mengalami perbaikan
dan mencapai kriteria ventilasi aman (volume tidal [VT] <8 ml/kg, tidak ada gejala kegagalan pernapasan
atau peningkatan FiO2/PEEP) maka lanjutkan ventilasi dan lakukan penilaian ulang 2 jam kemudian.
III. Pada kasus ARDS berat, disarankan untuk dilakukan ventilasi invasif.
IV. Jangan gunakan NIV pada pasien dengan syok.
V. Kombinasi Awake Prone Position + HFNC / NIV 2 jam 2 kali sehari dapat memperbaiki oksigenasi dan
mengurangi kebutuhan akan intubasi pada ARDS ringan hingga sedang. Hindari penggunaan strategi ini
pada ARDS berat bila ternyata prone position ditujukan untuk menunda atau mencegah intubasi.
NIV dan HFNC memiliki risiko terbentuknya aerosol, sehingga jika hendak diaplikasikan, sebaiknya di
ruangan yang bertekanan negatif (atau di ruangan dengan tekanan normal, namun pasien terisolasi dari pasien
yang lain) dengan standar APD yang lengkap. Bila pasien masih belum mengalami perbaikan klinis maupun
oksigenasi setelah dilakukan terapi oksigen ataupun ventilasi mekanik non invasif, maka harus dilakukan
penilaian lebih lanjut.
d) Ventilasi Mekanik invasif (Ventilator)
Tatalaksana setting ventilator pada COVID-19 sama seperti protokol ventilator ARDS dimana dilakukan
Tidal volume < 8 mL/kg, Pplateau < 30 cmH2O, titrasi PEEP dan Recruitment Maneuver, serta target driving
pressure yang rendah.
e) ECMO (Extra Corporeal Membrane Oxygenation)
Pasien COVID-19 dapat menerima terapi ECMO di RS tipe A yang memiliki layanan dan sumber daya
sendiri untuk melakukan ECMO. Pasien COVID-19 kritis dapat menerima terapi ECMO bila memenuhi
indikasi ECMO setelah pasien tersebut menerima terapi posisi prone (kecuali dikontraindikasikan) dan terapi
ventilator ARDS yang maksimal menurut klinisi.
Indikasi ECMO :
I. PaO2/FiO2 6 jam
II. PaO2/FiO2 3 jam
III. pH 80mmHg selama >6 jam
Kontraindikasi relatif :
I. Usia ≥ 65 tahun
II. Obesitas BMI ≥ 40
III. Status imunokompromis
IV. Tidak ada ijin informed consent yang sah.
V. Penyakit gagal jantung sistolik kronik
VI. Terdapat penyebab yang berpotensi reversibel (edema paru, sumbatan mucus bronkus, abdominal
compartment syndrome)
Kontraindikasi absolut :
I. Clinical Frailty Scale Kategori ≥ 3
II. Ventilasi mekanik > 10 hari
III. Adanya penyakit komorbid yang bermakna :
a. Gagal ginjal kronis ≥ III
b. Sirosis hepatis
c. Demensia
d. Penyakit neurologis kronis yang tidak memungkinkan rehabilitasi.
e. Keganasan metastase
f. Penyakit paru tahap akhir
g. Diabetes tidak terkontrol dengan disfungsi organ kronik
h. Penyakit vaskular perifer berat
IV. Gagal organ multipel berat
V. Injuri neurologik akut berat.
VI. Perdarahan tidak terkontrol.
VII. Kontraindikasi pemakaian antikoagulan.
VIII. Dalam proses Resusitasi Jantung Paru.
Komplikasi berat sering terjadi pada terapi ECMO seperti perdarahan, stroke, pneumonia, infeksi septikemi,
gangguan metabolik hingga mati otak
Farmakologis
1) Vitamin C 200 – 400 mg/8 jam dalam 100 cc NaCl 0,9% habis dalam 1 jam diberikan secara drips Intravena (IV)
selama perawatan
2) Vitamin B1 1 ampul/24 jam/intravena
3) Klorokuin fosfat, 500 mg/12 jam/oral (hari ke 1-3) dilanjutkan 250 mg/12 jam/oral (hari ke 4-10) atau
Hidroksiklorokuin dosis 400 mg /24 jam/oral (untuk 5 hari), setiap 3 hari kontrol EKG
4) Azitromisin 500 mg/24 jam per iv atau per oral (untuk 5-7 hari) atau sebagai alternatif Levofloksasin dapat
diberikan apabila curiga ada infeksi bakteri: dosis 750 mg/24 jam per iv atau per oral (untuk 5-7 hari).
5) Bila terdapat kondisi sepsis yang diduga kuat oleh karena ko-infeksi bakteri, pemilihan antibiotik disesuaikan
dengan kondisi klinis, fokus infeksi dan faktor risiko yang ada pada pasien. Pemeriksaan kultur darah harus
dikerjakan dan pemeriksaan kultur sputum (dengan kehati-hatian khusus) patut dipertimbangkan.
6) Antivirus :
a) Oseltamivir 75 mg/12 jam oral selama 5-7 hari Atau
b) Kombinasi Lopinavir + Ritonavir (Aluvia) 2 x 400/100mg selama 10 hari Atau
c) Favipiravir (Avigan sediaan 200 mg) loading dose 1600 mg/12 jam/oral hari ke-1 dan selanjutnya 2 x 600 mg
(hari ke 2-5) Atau
d) Remdesivir 200 mg IV drip/3jam dilanjutkan 1x100 mg IV drip/3 jam selama 9 – 13 hari
7) Antikoagulan LMWH/UFH berdasarkan evaluasi DPJP (lihat halaman 56-64)
8) Deksametason dengan dosis 6 mg/ 24 jam selama 10 hari atau kortikosteroid lain yang setara seperti hidrokortison
pada kasus berat yang mendapat terapi oksigen atau kasus berat dengan ventilator.
9) Pengobatan komorbid dan komplikasi yang ada
10) Apabila terjadi syok, lakukan tatalaksana syok sesuai pedoman tatalaksana syok yang sudah ada
11) Obat suportif lainnya dapat diberikan sesuai indikasi
12) Pertimbangkan untuk diberikan terapi tambahan, sesuai dengan kondisi klinis pasien dan ketersediaan difasilitas
pelayanan kesehatan masing-masing apabila terapi standard tidak memberikan respons perbaikan. Pemberian
dengan pertimbangan hati-hati dan melalui diskusi dengan tim COVID-19 rumah sakit. Contohnya anti-IL 6
(tocilizumab), plasma konvalesen, IVIG atau Mesenchymal Stem Cell (MSCs) / Sel Punca dan lain lain
B. Polymerase Chain Reaction
1. Definisi
Polymerase Chain Reaction atau PCR adalah suatu metode enzimatis untuk amplifikasi DNA dengan cara in vitro. Pada
proses PCR diperlukan beberapa komponen utama, yaitu DNA cetakan, Oligonukleotida primer, Deoksiribonukelotida trifosfat
(dNTP), Enzim DNA Polimerase, dan Komponen pendukung lain adalah senyawa buffer. Pada proses PCR menggunakan
menggunakan alat termosiklus. Sebuah mesin yang memiliki kemampuan untuk memanaskan sekaligus mendinginkan tabung
reaksi dan mengatur temperatur untuk tiap tahapan reaksi. Ada tiga tahapan penting dalam proses PCR yang selalu terulang
dalam 30-40 siklus dan berlangsung dengn cepat yaitu denaturasi, anneling, dan pemanjangan untai DNA (Zuhriana K Yusuf,
2010).
2. Prosedur PCR test
Teknik swab merupakan cara untuk mendapatkan sampel yang digunakan dalam metode PCR atau Polymerase Chain
Reaction. Pemeriksaan ini menggunakan sampel lendir yang kemudian akan digunakan untuk melihat apakah ada atau tidaknya
virus dalam tubuh seseorang.
Berikut tahapan melakukan teknik swab:
a. Pasien diminta duduk di kursi
b. Tenaga kesehatan akan sedikit mendorong kepala pasien ke arah atas dan memasukkan alat berbentuk seperti cotton
bud namun dengan ukuran yang jauh lebih panjang ke dalam lubang hidung
c. Alat ini akan dimasukkan hingga mentok ke bagian belakang hidung
d. Teknik swab dilakukan untuk menyapu alat tersebut ke area belakang hidung
e. Alat memiliki bagian ujung yang dapat menyerap cairan atau lendir yang terdapat di area tersebut
f. Alat akan berada di dalam area itu selama beberapa detik agar cairan terserap sempurna
g. Setelah itu, alat swab langsung akan dimasukkan ke tabung khusus dan ditutup
h. Kemudian tabung akan dimasukkan ke dalam wadah khusus dan selanjutnya dikirim ke laboratorium untuk
dilakukan pemeriksaan menggunakan teknik PCR
i. Jika swab dihidung tidak memungkinkan, maka swab juga dapat dilakukan melalui tenggorokan.
3. Kelebihan
PCR  menggunakan sampel lendir yang diambil dari dalam hidung maupun tenggorokan. Dua area tersebut dipilih
karena menjadi tempat virus menggandakan dirinya. Pemeriksaan ini dinilai lebih akurat, sebab virus corona akan menempel di
bagian dalam hidung atau tenggorokan saat masuk ke dalam tubuh. Hasil akhir dari pemeriksaan PCR  ini nantinya akan benar-
benar memperlihatkan keberadaan virus SARS-COV2 di dalam tubuh seseorang (Maureen, 2020).
4. Hasil
Terdapat beberapa hasil yang bisa didapatkan dari hasil Polymerase Chain Reaction test, diantaranya adalah:
a. Positif
Terdapat strain virus pada sampel yang diuji
b. Negatif
Tidak ditemukan strain virus pada sampel yang telah diuji.
c. Inkonklusif
Dari hasil pemeriksaan yang didapatkan untuk hasilnya masih meragukan dan perlu dilakukan pemeriksaan ulang.
5. Faktor yang mempengaruhi
Menurut Anggun Feranisa pada tahun 2016, terdapat beberapa faktor yang dapat menentukan tingkat keberhasilan
teknik amplifikasi DNA menggunakan PCR. Faktor-faktor itu antara lain :
a. Deoksiribonukleotida triphosphat (dNTP);
b. Oligonukleotida primer
c. DNA cetakan (template)
d. Komposisis larutan buffer
e. Jumlah siklus reaksi
f. Enzim yang digunakan
g. Faktor teknis dan non-teknis lainnya, seperti kontaminasi.

C. Usia dan Jenis Kelamin


Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh CDC China, diketahui bahwa kasus paling banyak terjadi pada pria (51,4%) dan
terjadi pada usia 30-79 tahun dan paling sedikit terjadi pada usia <10 tahun (1%). Sebanyak 81% kasus merupakan kasus yang
ringan, 14% parah, dan 5% kritis (Wang Z, 2020). Orang dengan usia lanjut atau yang memiliki penyakit bawaan diketahui lebih
berisiko untuk mengalami penyakit yang lebih parah. Usia lanjut juga diduga berhubungan dengan tingkat kematian. CDC China
melaporkan bahwa CFR pada pasien dengan usia ≥ 80 tahun adalah 14,8%, sementara CFR keseluruhan hanya 2,3%.
Pada laki – laki selain pengaruh enzim ACE 2, sejumlah faktor lain diduga juga mempengaruhi. Melansir dari Kompas.id,
faktor sosial utamanya dalam hal perilaku dianggap memberikan pengaruh besar kepada jumlah kematian laki-laki karena Covid.
Faktor tersebut terkait dengan kebiasaan merokok yang dominan pada lelaki serta kebiasaan malas cuci tangan. ”Merokok
meningkatkan risiko penyakit komorbid, seperti jantung dan radang paru, sehingga menambah dampak infeksi Covid-19. Rokok
juga menyebabkan sel imunitas terganggu,”.New Scientist, kemungkinan lain adalah adanya perbedaan kekebalan tubuh atau
imunitas. Wanita memiliki dua kromosom X per sel sedangkan pria hanya memiliki satu. Padahal sejumlah gen kekebalan yang
penting terletak di kromosom X, khususnya gen untuk protein yang disebut TLR7 yang mampu mendeteksi virus RNA rantai
tunggal seperti virus corona (Rahmi,2020;Adinda,2020).
D. Hubungan antara hubungan kelompok umur dan jenis kelamin terhadap hasil PCR Covid-19.
Polymerase Chain Reacton (PCR) adalah suatu teknik sintesis dan amplifikasi DNA secara in vitro. Teknik ini pertama kali
dikembangkan oleh Karry Mullis pada tahun 1985. Teknik PCR dapat digunakan untuk mengamplifikasi segmen DNA dalam
jumlah jutaan kali hanya dalam beberapa jam. Dengan diketemukannya teknik PCR di samping juga teknik-teknik lain seperti
sekuensing DNA, merevolusi bidang sains dan teknologi khususnya di bidang diagnosa penyakit genetik, kedokteran forensik dan
evolusi molekular (Darmo Handoyo, 2001). Untuk diagnostik pasti yang dapat digunakan untuk menentukan Covid-19 adalah PCR.
Fungsi sistem imunitas tubuh (immunocompetence) menurun sesuai umur. Kemampuan imunitas tubuh melawan infeksi menurun
termasuk kecepatan respons imun dengan peningkatan usia. Hal ini bukan berarti manusia lebih sering terserang penyakit, tetapi
saat menginjak usia tua maka resiko kesakitan meningkat seperti penyakit infeksi, kanker, kelainan autoimun, atau penyakit
kronik.Hal ini disebabkan oleh perjalanan alamiah penyakit yang berkembang secara lambat dan gejala-gejalanya tidak terlihat
sampai beberapa tahun kemudian. Di samping itu, produksi imunoglobulin yang dihasilkan oleh tubuh orang tua juga berkurang
jumlahnya sehingga vaksinasi yang diberikan pada kelompok lansia kurang efektif melawan penyakit. Masalah lain yang muncul
adalah tubuh orang tua kehilangan kemampuan untuk membedakan benda asing yang masuk ke dalam tubuh atau memang benda
itu bagian dari dalam tubuhnya sendiri. Salah satu perubahan besar yang terjadi seiring pertambahan usia adalah proses thymic
involution. Thymus yang terletak di atas jantung di belakang tulang dada adalah organ tempat sel T menjadi matang. Sel T sangat
penting sebagai limfosit untuk membunuh bakteri dan membantu tipe sel lain dalam sistem imun. Seiring perjalanan usia, maka
banyak sel T atau limfosit T kehilangan fungsi dan kemampuannya melawan penyakit. Volume jaringan timus kurang dari 5%
daripada saat lahir. Saat itu tubuh mengandung jumlah sel T yang lebih rendah dibandingkan sebelumnya (saat usia muda), dan juga
tubuh kurang mampu mengontrol penyakit dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya. (Wahyuningsih dkk, 2014; Fatmah,2014).
Penyebab laki – laki lebih banyak reaktif dari pada perempuan adalah pengaruh enzim ACE 2, sejumlah faktor lain diduga
juga mempengaruhi. Melansir dari Kompas.id, faktor sosial utamanya dalam hal perilaku dianggap memberikan pengaruh besar
kepada jumlah kematian laki-laki karena COVID. Faktor tersebut terkait dengan kebiasaan merokok yang dominan pada lelaki serta
kebiasaan malas cuci tangan. Sementara dari segi usia yang lebih banyak reaktif pada usia 65 tahun ke atas dikarenakan pada pasien
lansia dengan memiliki komorbid, seperti penyakit kardiovaskular dan diabetes mellitus, lebih berisiko sakit parah dan meninggal.
Pasien-pasien ini bisa saja menunjukkan gejala-gejala ringan tetapi keadaannya berisiko tinggi. (Kemenppa,2020; Rohmi,2020).
BAB III

KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN

A. Kerangka Konsep
Variabel diteliti

Variabel yang tidak diteliti

Berdasarkan Gambar III.1 terdapat beberapa faktor yang dapat memengaruhi hasil test PCR COVID-19, antara lain kebiasaan

merokok, proses pengambilan sampel, sistem kekebalan tubuh, dan lain-lain. Yang diteliti pada penelitian ini yaitu faktor umur dan jenis

kelamin yang dapat memengaruhi hasil test COVID-19.


B. Kerangka Teori

Gambar III.2: Kerangka konsep system imun menginterprestasi hasil Rapid (BiosM info, 2020).
Imunitas yang berkembang terhadap suatu patogen melalui infeksi alami merupakan suatu proses bertahap yang biasanya

berlangsung selama 1-2 minggu. Tubuh segera merespons infeksi virus dengan respons bawaan (innate) yang bersifat umum di mana

makrofagus, neutrofil, dan sel dendrit memperlambat perkembangan virus dan dapat mencegah virus menimbulkan gejala. Respons

umumnya diikuti oleh respons adaptif di mana saat tubuh memproduksi antibodi yang spesifik mengikat virus tersebut. Antibodi ini

merupakan protein yang disebut imunoglobulin. Tubuh juga memproduksi sel T yang dapat mengenali dan mengeliminasi sel-sel lain yang

terinfeksi virus ini. Kondisi ini disebut imunitas seluler. Respons adaptif dapat membersihkan virus dari tubuh jika respons ini cukup kuat,

dapat mencegah berkembangnya penyakit yang parah atau reinfeksi akibat virus yang sama. Proses ini sering kali diukur berdasarkan ada

atau tidaknya antibodi di dalam darah (WHO, 2020).

PCR  menggunakan sampel lendir yang diambil dari dalam hidung maupun tenggorokan. Dua area tersebut dipilih karena menjadi
tempat virus menggandakan dirinya. Pemeriksaan ini dinilai lebih akurat, sebab virus corona akan menempel di bagian dalam hidung atau
tenggorokan saat masuk ke dalam tubuh. Hasil akhir dari pemeriksaan PCR  ini nantinya akan benar-benar memperlihatkan keberadaan
virus SARS-COV2 di dalam tubuh seseorang.
C. Hipotesis Penelitian

Ada hubungan usia dan jenis kelamin dengan hasil tes PCR COVID-19 di Puskemas Ngoro Kabupaten Mojokerto bulan Juni

sampai September tahun 2020.


BAB IV

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah penelitian observasional analitik dengan pendekatan cross

sectional (potong lintang) yaitu penelitian dengan satu kali pengukuran pada waktu tertentu. Data dikumpulkan dengan cara

mengumpulkan karakteristik responden dan hasil pemeriksaan test PCR COVID-19 di Puskesmas Ngoro, Kabupaten Mojokerto.

B. Lokasi dan Waktu Penelitian

1. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Ngoro Kabupaten Mojokerto.

2. Waktu Penelitian

Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan Juni-September 2020.

C. Populasi dan Sampel Penelitian


Populasi dan Sampel/Subyek Penelitian

1. Populasi

a. Identifikasi dan batasan populasi atau subyek penelitian

Populasi penelitian ini adalah seluruh peserta yang melakukan test PCR COVID-19 di Puskesmas Ngoro pada bulan Juni

2020-September 2020 yaitu sebanyak 212 responden.

b. Kriteria inklusi

a) Responden yang memeriksakan diri ke Puskesmas Ngoro pada bulan Juni 2020 – September 2020.

b) Data pasien yang lengkap dengan identitas yaitu usia dan jenis kelamin

c) Responden tergolong ODP, PDP, dan terkonfirmasi positif

c. Kriteria eksklusi :

a) Responden selain ODP, PDP dan terkonfirmasi positif

b) Responden yang datanya tidak lengkap

2. Sampel
Sampel pada penelitian ini adalah sebagian pasien peserta melakukan pemeriksaan test PCR di Puskesmas Ngoro, Kabupaten

Mojokerto.

a. Besar sampel

Penentuan besar sampel dalam penelitian adalah sebagian peserta yang melakukan test PCR COVID-19 di Puskesmas

Ngoro pada bulan Juni 2020-September 2020 yaitu sebanyak 86 responden.

b. Teknik pengambilan sampel


Dengan menggunakan non-probability sampling, maka tidak semua elemen populasi terpilih menjadi anggota sampel.

Pengambilan sampel dalam penelitian ini secara sengaja disesuaikan dengan tujuan peneliti disebut dengan teknik purposive

sampling yaitu cara pengambilan sampel berdasarkan tujuan dari peneliti. Pada penelitian ini diambil secara sengaja diambil

sampel yang memiliki kriteria data umur, jenis kelamin dan hasil rapid test.

D. Variabel Penelitian

Dalam penelitian ini digunakan dua variabel yaitu variabel bebas dan variabel terikat. Variabel bebas adalah usia dan jenis

kelamin sedangkan variabel terikat adalah hasil Rapid test COVID-19.


E. Definisi Operasional
Tabel 4. 1 Definisi Operasional

No Variabel Definisi operasional Alat ukur Kriteria Skala


1. Usia Usia responden yang Rekam Medis 1. 6-54 th= bukan Nominal
tertera pada rekam Puskesmas Ngoro lansia
medis Puskesmas 2. > 55 th= lansia
Ngoro. (Dinkes RI,2009)

Jenis kelamin Jenis kelamin yang 1. Laki-laki Nominal


tertera pada rekam Rekam Medis
medis Puskesmas Puskesmas Ngoro 2. Perempuan
Ngoro.

2. Hasil Test PCR Hasil test PCR Rekam Medis 1. PCR positif Nominal
COVID-19 COVID-19 yang Puskesmas Ngoro 2. PCR negatif
tertera pada rekam
medis Puskesmas
Ngoro.

Sumber:
Penelitian, 2020
F. Prosedur Penelitian

1. Alur Prosedur Penelitian

PERSIAPAN PENELITIAN
Identifikasi masalah tempat dan waktu penelitian dan penyusunan proposal
serta pengurusan ijin penelitian.

IDENTIFIKASI
Identifikasi rekam medis subyek yang berpontesi masuk dalam sampel
penelitian, sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi, secara purposive
sampling dipilih 86 sampel

PENGUMPULAN DATA
Pengumpulan data dari Rekam Medis

PENGOLAHAN DAN ANALISIS DATA

PENYUSUNAN LAPORAN

Gambar 4.1 Alur penelitian

Gambar 4.1 Alur Prosedur Penelitian tentang Hubungan Usia dan Jenis
Kelamin terhadap Hasil Test PCR COVID-19 di Puskesmas Ngoro Kabupaten
Mojokerto bulan Juni sampai September tahun 2020.

Sumber: Penelitian, 2020

1. Kualifikasi dan jumlah tenaga yang terlibat pengumpulan data


Tenaga yang terlibat pengumpulan data adalah mahasiswa Fakultas
Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya sebanyak 4 orang dibantu 2
pengawas dari petugas kesehatan.

2. Jadwal Pengumpulan Data

Hari
No Langkah Penelitian VI
I II III IV V VI
I

1 Penyusunan proposal

2 Persiapan lapangan

3 Pengumpulan data

Pengolahan dan
4
analisis data

5 Penyusunan laporan

6 Presentasi

7 Perbaikan/ revisi

Tabel 4.2 Jadwal Pengumpulan data

4. Bahan, alat dan instrumen yang digunakan


Data pasien yang melakukan pemeriksaan Test PCR COVID-19. Data

sekunder tersebut data umur dan jenis kelamin pada bulan Juni-September 2020 di

Puskesmas Ngoro Kabupaten Mojokerto.

5. Teknik pengolahan data

Setelah data dikumpulkan dan dikelompokkan, dilakukan pengolahan data

dengan langkah sebagai berikut: (Notoatmodjo, 2010).

a. Editing

Editing data digunakan untuk melihat kelengkapan dan ketepatan, data sekunder

yang diberikan. Apabila terdapat ketidaksesuaian dapat segera dilengkapi oleh

peneliti.

b. Coding

Pengukuran terhadap responden yang telah dilakukan diklasifikasikan kedalam

kode berupa angka sehingga dapat diolah dengan komputer.

c. Scoring

Scoring merupakan proses penghitungan data.

d. Tabulasi

Merupakan proses pengolah data dalam bentuk tabel yang dapat memberikan

gambaran statistik.

G. Analisis Data
1. Hipotesis statistik

H0 : Tidak ada hubungan usia dan jenis kelamin terhadap hasil test PCR COVID-

19 di Puskesmas Ngoro Kabupaten Mojokerto bulan Agustus sampai

September tahun 2020.


H1 : Ada hubungan usia dan jenis kelamin terhadap hasil test PCR COVID-19 di

Puskesmas Ngoro Kabupaten Mojokerto bulan Agustus sampai September

tahun 2020.

2. Jenis analisis yang digunakan

a. Analisis univariat

Analisa univariat dilakukan untuk melihat gambaran distribusi frekuensi

pada variabel independen dan variabel dependen yang diteliti. Variabel

independen yaitu usia dan jenis kelamin, sedangkan variabel dependen adalah

hasil test PCR COVID-19.

b. Analisis bivariat

Menguji hubungan antara faktor berpengaruh usia dan jenis kelamin

dengan hasil test PCR COVID-19 adalah menggunakan analisa bivariat.

Analisis Bivariat dilakukan dengan menggunakan uji kai kuadrat atau dengan

Uji Chi Square. Uji ini dilakukan untuk membuktikan adanya hubungan yang

bermakna antara variabel independen dan variabel dependen. Test Signifikansi

dengan menggunakan nilai kemaknaan 95%, atau nilai α = 0,05. Bila ada P

value < 0,05 maka hasil uji statistik bermakna atau ada hubungan antara

variabel independen dengan variabel dependen.

Analisis dilanjutkan dengan menguji keeratan hubungan antara faktor

berpengaruh usia dan jenis kelamin dengan hasil rapid test menggunakan uji

koefisien kontigensi. Dengan nilai kemaknaan α = 0,05. Dan interpretasi

koefisien korelasi sebagai berikut,

0,00 – 0,199 Sangat rendah


0,20 - 0,399 Rendah
0,40 – 0,599 Sedang
0,60 – 0,799 Kuat
0,80 – 1,000 Sangat Kuat
BAB V
HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS DATA

A. Gambaran Umum Daerah Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada peserta yang melakukan pemeriksaan Swab dan

PCR Test pada rentang waktu bulan Juni-September 2020 yang ada di wilayah UPTD

Puskesmas Ngoro Kabupaten Mojokerto dengan jumlah sampel sebanyak 86 responden

menggunakan teknik non probability sampling dengan metode Purposive Sampling.

Hasil penelitian akan dianalisis secara Chi-Square dengan tingkat kemaknaan (α) 0,05.

B. Hasil Penelitian

1. Analisis Univariat

Berdasarkan hasil pengumpulan data ditemukan distribusi responden sebagai

berikut:

Karakteristik mengenai responden penelitian dapat dilihat pada tabel berikut ini:

a. Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin

Tabel V.1 Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin di


Puskesmas Ngoro Bulan Juni-September 2020
Jenis Kelamin Jumlah (responden) Persentase (%)
Perempuan 39 45,3%
Laki-laki 47 54,7%
Total 86 100

Sumber: Data Penelitian, 2020


Berdasarkan data Tabel V.1 didapatkan bahwa sebesar 54,7% responden berjenis

kelamin laki-laki, dan sebanyak 45,3% responden berjenis kelamin perempuan.


b. Karakteristik Responden Berdasarkan Usia

Tabel V.2 Karakteristik Responden Berdasarkan Usia di Puskesmas Ngoro


Bulan Juni-September 2020

Usia Jumlah (responden) Presentase (%)


<55 th 63 73,3%
> 55 th 23 26,7%

Jumlah 86 100 %

Sumber: Data Penelitian, 2020

Berdasarkan data Tabel V.2 didapatkan bahwa sebanyak 73,3% responden berusia

kurang dari 55 tahun, dan sebanyak 26,7% responden berusia lebih dari 55 tahun

c. Karakteristik Responden Berdasarkan Test PCR

Tabel V.3 Karakteristik Responden Berdasarkan Hasil test PCR di


Puskesmas Ngoro Bulan Juni-September 2020
PCR Jumlah (responden) Presentase (%)
positif 57 66,3%
negatif 29 33,7%
Jumlah 86 100 %

Sumber: Data Penelitian, 2020

Berdasarkan data Tabel V.3 didapatkan bahwa sebesar 66,3% test PCR

menunjukkan hasil positif, sedangkan 33,7% negatif.

2. Analisis Bivariat

Setelah diketahui karakteristik masing-masing variabel (univariat) dapat

diteruskan dengan analisis bivariat untuk mengetahui hubungan antar variabel. Berikut

ini akan disajikan hasil pengujian menggunakan uji chi-square (X2) dengan bantuan

program SPSS versi 16.0.


Tabel V.5 Tabel Silang dan Hasil Analisis Jenis Kelamin terhadap Hasil Test
PCR di Puskesmas Ngoro Kabupaten Mojokerto Bulan Agustus-September
2020

Test PCR COVID-19 Total Chi Koefisien


negatif positif
Squar Kontingensi
e
Perempua
17 19,7% 22 25,6% 39 45,3%
n
Laki-laki 12 13,9% 35 40,7% 47 54,7% 0,078 0,187

Total 29 33,6% 57 66,3% 86 100%

Sumber : Hasil penelitian, 2020


Berdasarkan hasil analisis Tabel V.5 sebesar 66,3% responden (57 responden)

didapatkan hasil Test PCR COVID-19 positif dan 33,6% responden (29 responden)

didapatkan hasil Test PCR COVID-19 negatif. Pada kelompok hasil test PCR

COVID-19 positif didapatkan sebesar 25,6% responden (22 responden berjenis

kelamin perempuan dan didapatkan sebesar 40,7% responden (35 responden) berjenis

kelamin laki-laki. Berdasarkan hasil uji statistik Chi Square didapatkan nilai p 0,078

(α = 0,05), artinya tidak terdapat hubungan antara jenis kelamin dengan hasil test PCR

COVID-19 di Puskesmas Ngoro Kabupaten Mojokerto. Berdasarkan hasil uji statistik

koefisien kontingensi didapatkan nilai p 0,187 yang artinya keeratan antara jenis

kelamin dengan hasil test PCR COVID-19 pada penelitian ini sangat rendah.
Tabel V.6 Tabel Silang dan Hasil Analisis Usia terhadap Hasil Test PCR di
Puskesmas Ngoro Kabupaten Mojokerto Bulan Juni-September 2020
Test PCR COVID-19 Total Chi Koefisien
Positif Negatif
Squar Kontingensi
e
Non
lansia 40 46,5% 23 26,7% 63 73,2%
<55th
Lansia 0,366 0,097
17 19,8% 6 6,9% 23 26,8%
>55th
Total 57 66,3% 29 33,6% 86 100%

Sumber : Hasil penelitian, 2020

Berdasarkan hasil analisis Tabel V.6 sebesar 66,3% responden (57 responden)

didapatkan hasil Test PCR COVID-19 positif dan 33,6% responden (29 responden)

didapatkan hasil Test PCR COVID-19 negatif. Pada kelompok hasil test PCR

COVID-19 positif didapatkan sebesar 46,5% responden (22 responden) berusia

kurang dari 55 tahun, dan didapatkan sebesar 19,8% responden (17 responden)

berusia lebih dari 55 tahun. Berdasarkan hasil uji statistik Chi Square didapatkan nilai

p 0,366 (α = 0,05), yang artinya tidak terdapat hubungan antara jenis kelamin dengan

hasil test PCR COVID-19 di Puskesmas Ngoro Kabupaten Mojokerto. Berdasarkan

hasil uji statistik koefisien kontingensi didapatkan nilai p 0,097 yang artinya keeratan

antara jenis kelamin dengan hasil test PCR COVID-19 pada penelitian ini sangat

rendah.
BAB VI

PEMBAHASAN

Berdasarkan data yang didapatkan dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara

usia dan jenis kelamin dengan hasil test PCR COVID-19. Berdasarkan hasil analisis

didapatkan sebesar sebesar 66,3% responden (57 responden) didapatkan hasil Test PCR

COVID-19 Positif dan 33,6% responden (36 responden) didapatkan hasil Test PCR COVID-

19 Negatif. Pada kelompok hasil test PCR COVID-19 positif didapatkan sebesar 25,6%

responden (22 responden) berjenis kelamin perempuan dan didapatkan sebesar 40,7%

responden (35 responden) berjenis kelamin laki-laki

Pada penelitian ini, hasil test PCR COVID-19 positif lebih banyak didapatkan pada

responden yang berjenis kelamin Laki-laki dibandingkan dengan responden perempuan. Hal

ini sejalan dengan data yang ada di Pusdatin (2020) per tanggal 6 Oktober 2020 yang

menyatakan jenis kelamin laki-laki lebih banyak menderita COVID-19 sebesar 51,1%

responden sedangkan perempuan sebesar 48,9% dari total konfirmasi positif sebanyak

311.176 responden. Data yang dipaparkan oleh Susilo (2020) juga menyebutkan bahwa jenis

kelamin laki-laki lebih banyak menderita COVID-19. Di Italia didapatkan kasus konfirmasi

positif berjenis kelamin laki-laki sebesar 57,9% responden sedangkan perempuan sebesar

42,1%.

Berdasarkan data yang sudah ada, penyakit komorbid hipertensi dan diabetes melitus,

jenis kelamin laki-laki, dan perokok aktif merupakan faktor risiko dari infeksi SARS-CoV-2.

Distribusi jenis kelamin yang lebih banyak pada laki-laki diduga terkait dengan prevalensi

perokok aktif yang lebih tinggi. Pada rokok mengandung nikotin yang akan meningkatkan

ekpresi atau aktifasi dari ACE-2 di dalam paru-paru.. Hal ini mengakibatkan seorang perokok

lebih rentan terjankit COVID-19 (Sumardi, 2020)


Dengan uji Chi Square, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa usia tidak berhubungan

dengan hasil test PCR COVID-19 reaktif pada responden yang diperiksa di Puskesmas Ngoro

Kabupaten Mojokerto. Hal ini terbukti dengan nilai p value pada saat uji chi square sebesar

0,366(< 0,05).

Dalam penelitian ini, hasil test PCR COVID-19 positif paling banyak didapatkan pada

responden dengan rentang usia dibawah 55 tahun sebesar 46,5% responden (40 responden)

sedangkan hasil pada responden dengan rentang usia >55 tahun sebesar 19,8% responden (17

responden) . Data ini sesuai dengan data yang dipaparkan oleh Pusdatin (2020) per tanggal 6

oktober 2020, dimana didapatkan rentang usia paling banyak menderita COVID-19 pada

rentang usia 26-40 tahun sebesar 30,9% sedangkan pada usia diatas 60 tahun hanya sebesar

10,6%. ). Hasil penelitian ini menyebutkan usia < 55 tahun lebih rentan terjangkit Covid-19

karena pada usia ini mobilitas masih tinggi. Kegiatan di luar rumah lebih banyak dilakukan

oleh usia muda-dewasa dibandingkan dengan usia lansia.

Saat ini, ada dua metode yang bisa dilakukan untuk mendeteksi virus corona, yaitu

Rapid test dan PCR (Polymerase Chain Reaction) swab test. Meski sama-sama digunakan

untuk mendeteksi virus corona, kedua tes tersebut memiliki beberapa perbedaan (Maureen,

2020).

Pemeriksaan PCR swab menggunakan sampel lendir yang diambil dari dalam hidung

maupun tenggorokan. Dua area tersebut dipilih karena menjadi tempat virus menggandakan

dirinya. Pemeriksaan ini dinilai lebih akurat, sebab virus corona akan menempel di bagian

dalam hidung atau tenggorokan saat masuk ke dalam tubuh. Hasil akhir dari pemeriksaan

PCR swab ini nantinya akan benar-benar memperlihatkan keberadaan virus SARS-COV2 di

dalam tubuh seseorang (Maureen, 2020).


Beberapa faktor risiko yang ditetapkan oleh Centers for Disease Control and

Prevention (CDC) adalah kontak erat, termasuk tinggal satu rumah dengan pasien COVID-19

dan riwayat perjalanan ke area terjangkit. Berada dalam satu lingkungan namun tidak kontak

dekat (dalam radius 2 meter) dianggap sebagai risiko rendah. Tenaga medis merupakan salah

satu populasi yang berisiko tinggi tertular. Di Italia, sekitar 9% kasus COVID-19 adalah

tenaga medis. Di China, lebih dari 3.300 tenaga medis juga terinfeksi, dengan mortalitas

sebesar 0,6% (Susilo, 2020).

Berdarsarkan teori dan hasil penelitian yang didapatkan bahwa hasil test PCR tidak

dipengaruhi oleh jenis kelamin dan usia. Test PCR yang dilakukan di Puskemas Ngoro

dilakukan sebagai baku standar diagnosis COVID-19 yang dilakukan pada seseorang yang

memiliki gejala COVID -19.

Keterbatasan peneliti

Penelitian ini menggunakan sampel yang sedikit, teknik pengumpulan data yang

dilakukan secara daring dalam waktu penelitian yang singkat.


BAB VII

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Responden terbanyak yang menunjukkan hasil test PCR COVID-19 positif adalah

responden dengan usia <55 tahun sebesar 46,5% responden (40 responden).

2. Pada kelompok hasil test PCR COVID-19 positif, didapatkan sebesar 40,7%

responden (35 responden) berjenis kelamin laki-laki dan didapatkan sebesar 25,6%

responden (22 responden) berjenis kelamin perempuan.

3. Didapatkan hasil test PCR positif COVID-19 sebesar 66,3% responden (57

responden) dan hasil test PCR negatif COVID-19 sebesar 33,6% responden (29

responden).

4. Dari hasil penelitian, menunjukkan tidak ada hubungan usia dan jenis kelamin

terhadap hasil test PCR COVID-19 di Puskemas Ngoro Kabupaten Mojokerto bulan

Agustus sampai September tahun 2020 dengan nilai p value (0,078 dan 0,366).

B. Saran

1. Bagi peneliti

Untuk penelitian selanjutnya dapat melakukan penelitian dengan sampel yang lebih

besar, teknik probability sampling dan penambahan variabel independen lainnya.

2. Bagi puskesmas

Melakukan pemeriksaan test PCR terhadap masyarakat terutama yang bekerja di luar

rumah guna memutus mata rantai penularan COVID-19.

3. Bagi masyarakat
Masyarakat diharapkan berpartisipasi dalam berbagai kegiatan dalam memutus rantai

penularan COVID-19 yang dilaksanakan oleh puskesmas serta menerapkan edukasi

yang telah diberikan.


DAFTAR PUSTAKA

Worldometers.info.2020. Corona Virus Update. https://www.worldometers.info/coronavirus/


Rothan HA, Byrareddy SN, 2020. The epidemiology and pathogenesis of coronavirus disease
(COVID-19) outbreak. J Autoimmun.
Han Y, Yang H, 2020. The transmission and diagnosis of 2019 novel coronavirus infection
disease (COVID-19): A Chinese perspective. J Med Virol.
Pusdatin. 2020. Peta Sebaran. Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-
19.https://COVID19.go.id/peta-sebaran.

Maureen. 2020. PCR Swab & Rapid test: Apakah Bedanya dan Bagaimana Prosedurnya?.
https://www.emc.id/id/care-plus/pcr-swab-rapid-test-apakah-bedanya-dan-bagaimana-
prosedurnya.

Team NCPERE, 2020. Vital surveillances: the epidemiological characteristics of an outbreak


of 2019 novel coronavirus diseases (COVID-19)
Kemenkes RI. 2020. Pedoman pencegahan dan pengendalian coronavirus disease (COVID-
19) revisi ke-5.
Wang Z, Qiang W, Ke H. A handbook of 2019-nCoV pneumonia control and prevention.
China: Hubei Science and Technology Press; 2020.
Siagian, Tiodora Hadumaon. 2020. Mencari Kelompok Beresiko Tinggi Terinfeksi Virus
Corona Dengan Discorse Network Analysis
WHO. 2020. Tatalaksana klinis infeksi saluran pernapasan akut berat (SARI) suspek
penyakit COVID-19
Liu Y, Gayle AA, Wilder-Smith A, Rocklöv J. The reproductive number of COVID-19 is
higher compared to SARS coronavirus. J Travel Med. 2020;27(2).
de Wit E, van Doremalen N, Falzarano D, Munster VJ. SARS and MERS: recent insights into
emerging coronaviruses. Nat Rev Microbiol. 2016;14(8):523-34.
Burhan, Erlina, dkk. 2020. Pedoman Tatalaksana Covid-19.

Zuhriana K.Yusuf. 2010. Polymerase Chain Reaction.


Feranisa, Anggun. 2016. Komparasi Antara Polymerase Chain Reaction dan Loopmediated
Isotermal Amplification Dalam Diagnosis Molekuler.
Adinda.Deviani. 2020. Artikel kesehatan : Rapid Test Corona: Definisi, Cara, Prosedur,
Hasil, dll. Artikel https://doktersehat.com/rapid-test-corona/
Handoyo, Darmo. 2001. Prinsip Umum dan Pelaksanaan Polymerase Chain Reaction.
Wahyunigsih,dkk.2014.Pengaruh pemberian probiotik Lactobacillus helveticus Rosell-52 dan
Lactobacillus rhamnosus Rosell-11 terhadap kadar limfosit lanjut usia.(ISSN : 1858-4942)
Vol. 3, No. 1, Desember 2014: 13-19.
Kemenppa.2020.Panduan Perlindungan lanjut usia berspektif gender pada masa COVID-
19.Deputi bidang perlindungan hak perempuan kementerian pemberdayaan perempuan dan
perlindungan anak
Sumardi. 2020. Kerentanan Perokok di Masa Pandemi Covid-19. Divisi Pulmonologi dan
Penyakit Kritis. Universitas Gadjah Mada.

Anda mungkin juga menyukai