PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada Desember 2019 sebuah penyakit baru yang mirip dengan pneumonia dilaporkan terjadi pada kota Wuhan, Provinsi Hubei.
Penyakit ini masih belum diketahui dengan pasti sumber penularannya, namun sementara dicurigai dikaitkan dengan sebuah pasar
di kota Wuhan. Pada awal tahun 2020 virus ini diberi nama corona virus disease 2019 (COVID-19) yang disebabkan oleh Severe
Acute Respiratory Syndrome Coronavirus-2 (SARS-CoV-2). Hingga kini virus ini telah menyebar ke lebih dari 190 negara didunia
dan sekarang telah menjadi pandemi.
Seperti yang dilansir dari Worldometers.info per tanggal 5 Oktober 2020 terdapat 35,490,830 kasus positif Covid-19 di dunia,
dengan jumlah 1,043,150 kasus pasien meninggal dan 26,705,179 kasus pasien sembuh. Untuk negara dengan peringkat pertama
kasus positif terbanyak yaitu merupakan Amerika Serikat, kemudian India, Brazil, Rusia, Colomba, Peru, Spain, Argentina, Mexico
dan South Africa. Sementara dari daftar negara dengan kasus positif terbanyak ini Indonesia menempati peringkat 22.
Indonesia pertama kali mengkonfirmasi kasus positif Covid-19 pada tanggal 2 Maret 2020. Hingga kini per tanggal 5 Oktober
2020 tercatat telah terdapat 307,120 kasus positif Covid-19 di ndonesia, dengan 11,253 kasus pasien meninggal dan 232,593 kasus
pasien sembuh. Hingga kini angka prevalensi dari kasus Covid-19 telah mencapai ± 3.500 kasus perharinya. Hingga kini provinsi
dengan kasus positif terbanyak di Indonesia adalah Provinsi Jakarta dengan total 78.850 kasus positif dan 1.755 kasus dengan
pasien meninggal, kemudian ada Jawa Timur dengan total 44.898 kasus positif dan 3.280 kasus dengan pasien meninggal, dan Jawa
Barat dengan total 23.899 kasus positif dan 480 kasus dengan pasien meninggal. Sementara pada Kabupaten Mojokerto terdapat
total 549 kasus positif dengan 35 kasus meninggal.
Menurut Rothan pada tahun 2020 sebagian besar pasien yang positif Covid-19 biasanya mengalami gejala-gejala pada sistem
pernapasan seperti batu, bersin, sesak napas. Sedangkan menurut Han Y pada tahun 2020 dari 55.924 kasus, gejala yang tersering
adalah batuk kering, demam dan fatigue. Selain itu juga dapat ditemukan beberapa gejala lainnya yaitu sakit tenggorokan, nyeri
kepala, menggigil, mual/muntah, kongesti nasal, dan diare. Sedangkan data dari Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19
gejala yang timbul pada pasien yang positif COVID-19 batuk (76,6%), Riwayat Demam (52,8%), demam (47%), sesak napas
(42%), lemas (33,9%), sakit tenggorokan (32%), pilek (31,1%), sakit kepala (23,6%), mual (19,7%), keram otot (16,9%), menggigil
(11%), diare (8,5%), sakit perut (7,3%), dan lain-lain (0,7%).
Terdapat dua cara untuk mendeteksi infeksi virus corona yaitu adalah rapid test dan PCR test. Rapid test merupakan screening
awal dari covid-19 yang memiliki mekanisme emeriksa virus dengan menggunakan antibodi IgG dan IgM yang ada didalam darah,
namun hasil yang didapatkan dari rapid test tidak dapat dijadikan diagnosis pasti yang menunjukan infeksi covid-19. Maka untuk
pemeriksaan lebih lanjut yang disarankan adalah Polymerase Chain Reaction (PCR). PCR atau swab test dilakukan dengan
menggunakan sampel lendir yang diambil dari dalam hidung maupun tenggorokan. Kedua area tersebut dipilih karena biasanya
pada kedua area tersebut merupakan tempat dimana virus biasanya menggandakan dirinya. Pemeriksaan ini dianggap lebih akurat
karena virus corona akan menempel dibagian dalam hidung atau tenggorokan saat masuk kedalam tubuh penderitanya. Hasil akhir
dari test ini nantinya yang akan digunakan sebagai diagnosa pasti dari Covid-19 yang memperlihatkan keberadaan virus SARS-
COV2 didalam tubuh seseorang.
Dari uraian tersebut penulis ingin mengetahui lebih lanjut mengenai hubungan kelompok umur dan jenis kelamin terhadap hasil
PCR test Covid-19 diwilayah kerja Puskesmas Ngoro Kabupaten Mojokerto.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas, maka timbul permasalahan apakah ada hubungan antara kelompok umur dan jenis kelamin terhadap
hasil PCR test Covid-19 diwilayah kerja Puskesmas Ngoro Kabupaten Mojokerto.
C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Menganalisis hubungan kelompok umur dan jenis kelamin terhadap hasil PCR test Covid-19 di wilayah kerja
Puskesmas Ngoro Kabupaten Mojokerto.
2. Tujuan Khusus
a. Mengidentifikasi usia responden yang melakukan PCR test Covid-19.
b. Mengidentifikasi jenis kelamin yang melakukan PCR test Covid-19.
c. Mengidentifikasi hasil PCR test Covid-19 .
d. Menganalisis hubungan usia dan jenis kelamin responden dengan hasil PCR test Covid-19.
D. Manfaat
1. Manfaat Bagi Masyarakat
Memberikan informasi imiah agar masyarakat lebih paham tentang Covid-19 dan usia dan jenis kelamin yang dapat
mempengaruhi hasil PCR test Covid-19.
2. Manfaat Bagi Puskesmas
Dapat digunakan sebagai informasi tambahan mengenai Covid-19, usia, jenis kelamin dan pengaruhnya dengan hasil
PCR test Covid-19.
3. Manfaat Bagi Peneliti
Menambabh wawasan peneliti dibidang Covid-19 khususnya tentang usia dan jenis kelamin yang dapat empengaruhi
hasil PCR test Covid-19.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. COVID-19
1. Definisi
Penyakit coronavirus 2019 (COVID-19) adalah infeksi saluran pernapasan yang disebabkan oleh coronavirus yang baru
muncul yang pertama dikenali muncul di Wuhan, Tiongkok, pada bulan Desember 2019. Pengurutan genetika virus ini
mengindikasikan bahwa virus ini berjenis betacoronavirus yang terkait erat dengan virus SARS (Team NCPERE, 2019).
Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) adalah penyakit jenis baru yang belum pernah diidentifikasi sebelumnya pada manusia.
Virus penyebab COVID-19 ini dinamakan Sars-CoV-2 (Kemenkes RI, 2020).
2. Klasifikasi
Terdapat beberapa tipe Corona virus yang telah diidentifikasi diantaranya adalah:
Klasifikasi virus Corona yang paling sering menginfeksi manusia yang pertama adalah HCoV-229E (alpha Coronavirus).
Virus ini pertama kali ditemukan pada sekitar tahun 1960. Gejala virus ini hampir sama seperti virus Corona yang telah
menginfeksi banyak orang saat ini, yaitu menyerupai flu biasa. Virus HCoV-229E lebih banyak menyerang anak-anak dan
orang berusia lanjut.Namun belum ada laporan korban jiwa yang ditimbulkan akibat terinfeksi virus ini (Wang Z, 2020).
b. NL63 (alpha Coronavirus)
Menurut jurnal yang diterbitkan pada 25 Mei 2010 oleh US National Library of Medicine National Institutes of Health,
virus ini pertama kali ditemukan pada tahun 2004 pada bayi berusia tujuh bulan di Belanda. Virus ini kemudian menyebar dan
diidentifikasi di berbagai negara. HCoV-NL63 telah terbukti lebih banyak menyerang anak-anak dan orang dengan kelainan
imun. Gejalanya bisa berupa masalah pernapasan ringan seperti batuk, demam dan rhinorrhoea, atau yang lebih serius seperti
bronchiolitis dan croup, yang diamati terutama pada anak-anak yang lebih muda (Wang Z, 2020).
Klasifikasi virus Corona yang paling sering menginfeksi manusia yang selanjutnya adalah HCoV-OC43
(betacoronavirus). HCoV-OC43 adalah salah satu virus Corona yang paling umum menyebabkan infeksi pada manusia.Virus
ini dapat menyebabkan pneumonia pada manusia. (Wang Z, 2020)
Klasifikasi virus Corona yang paling sering menginfeksi manusia yang keempat adalah HCoV-HKU1. Gejalanya
hampir sama seperti jenis virus Corona lainnya, yaitu infeksi saluran pernapasan atas. Walaupun terkadang pneumonia,
bronchiolitis akut, dan asthmatic axacerbation juga bisa timbul sebagai akibat dari virus ini. Durasi demam yang ditimbulkan
dari virus ini cenderung lebih singkat, yaitu hanya sekitar 1,7 hari (Wang Z 2020).
Middle East Respiratory Syndrome (MERS) adalah penyakit pernapasan yang disebabkan oleh virus corona (Middle East
respiratory syndrome syndrome atau MERS-CoV). Virus ini pertama kali diidentifikasi pada 2012 silam di Arab Saudi.
Beberapa kasus menyebutkan pasien tidak menunjukkan gejala klinis. Namun mereka terbukti positif terinfeksi MERS-CoV.
Tapi umumnya gejala MERS di antaranya ialah demam, batuk dan sesak napas.Pneumonia mungkin juga bisa terjadi, tetapi
tidak selalu ada. Gejala gastrointestinal, termasuk diare, juga pernah dilaporkan (Wang Z, 2020).
g. SARS-CoV-2
Virus SARS-CoV-2 merupakan Coronavirus, jenis baru yang menyebabkan epidemi, dilaporkan pertama kali di Wuhan
Tiongkok pada tanggal 31 Desember 2019. Analisis isolat dari saluran respirasi bawah pasien tersebut menunjukkan penemuan
Coronavirus tipe baru, yang diberi nama oleh WHO COVID-19. Pada tanggal 11 Februari 2020, WHO memberi nama
penyakitnya menjadi Coronavirus Disease 2019 (COVID-19). Coronavirus tipe baru ini merupakan tipe ketujuh yang diketahui
di manusia. SARS-CoV-2 diklasifikasikan pada genus beta Coronavirus. Pada 10 Januari 2020, sekuensing pertama genom
SARS-CoV-2 teridentifikasi dengan 5 subsekuens dari sekuens genom virus dirilis. Sekuens genom dari Coronavirus baru
(SARS-CoV-2) diketahui hampir mirip dengan SARS-CoV dan MERS-CoV. Secara pohon evolusi sama dengan SARS-CoV
dan MERS-CoV tetapi tidak tepat sama (Wang Z, 2020).
3. Epidemiologi
Masyarakat dan pemerintah Indonesia tidak dapat lagi bisa tenang dalam penanganan Covid-19 terlebih karena julah kasus
positif saat ini terus meningkat secara signifikan dari hari ke hari. Bahkan penyebaran virus ini telah menyebar ke seluruh
wilayah di Indonesia. Seperti yang dikutip dari situs Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 (Covid19.go.id) bahwa per
tanggal 5 Oktober 2020 tercatat telah terdapat 307,120 kasus positif Covid-19 di ndonesia, dengan 11,253 kasus pasien
meninggal dan 232,593 kasus pasien sembuh. Hingga kini angka prevalensi dari kasus Covid-19 telah mencapai ± 3.500 kasus
perharinya. Kemudian untuk Case Fatality Rate di Indonesia mencapai 4,1%.
Menurut Siagian (2020) bahwa kelompok lanjut usia (lansia) adalah salah satu kelompok yang memiliki risiko lebih tinggi
terinfeksi Virus Corona. Pernyataan ini disepakati oleh hampir semua organisasi (peneliti USA, Jerman, Indonesia, China,
Canada dan Gubernur DKI Jakarta). Meskipun kategori usia lansia yang dimaksud belum seragam, ada yang menyatakan lansia
berusia >80 tahun berisiko tinggi terkena Virus Corona (menurut peneliti China), lansia berusia > 50 tahun (menurut Walikota
New York) bahkan ada peneliti Indonesia yang menyatakan orang berusia 45-65 tahun rentan terpapar Virus Corona.
Tingkat kematian juga lebih tinggi pada populasi lansia seperti pada Cina. Laporan dari Italia menunjukkan tingkat
fatality rate sebesar 7,2%, yang tiga kali lebih tinggi dari yang ada di Cina. Meskipun angka fatality rate pasien berusia 70
tahun atau lebih di Italia lebih tinggi, namun sangat mirip antara usia 0 dan 69 tahun di kedua negara. Karena 23% orang Italia
berusia 65 tahun atau lebih, kasus kematian yang tinggi di Italia dapat dijelaskan oleh karakteristik demografis (Wang Z. 2020).
4. Etiologi
COVID-19 disebabkan oleh coronavirus, yaitu kelompok yang menginfeksi sistem pernafasan. Pada sebagian kasus,
coronavirus hanya menyebabkan infeksi pernafasan ringan sampai sedang, seperti flu. Akan tetapi, virus ini juga
menyebabkan infeksi pernafasan berat, seperti pneumonia, Middle-east Respiratory Syndrome (MERS) dan Serve Acute
Respiratory Syndrome (SARS) (WHO, 2020).
Anggota keluarga besar virus ini dapat menyebabkan penyakit pernapasan, enterik, hati, dan saraf pada spesies
hewan yang berbeda, termasuk unta, sapi, kucing, dan kelelawar. Sampai saat ini, tujuh CoV manusia (HCoV) yang mampu
menginfeksi manusia telah diidentifikasi. Beberapa virus dapat diidentifikasi pada pertengahan 1960-an, sementara yang lain
baru terdeteksi di milenium baru.
5. Patofisiologi
Patogenesis SARS-CoV-2 masih belum banyak diketahui, tetapi diduga tidak jauh berbeda dengan SARS-CoV yang
sudah lebih banyak diketahui. Pada manusia, SARS-CoV-2 terutama menginfeksi sel-sel pada saluran napas yang melapisi
alveoli. SARS-CoV-2 akan berikatan dengan reseptor-reseptor dan membuat jalan masuk ke dalam sel. Glikoprotein yang
terdapat pada envelope spike virus akan berikatan dengan reseptor selular berupa ACE2 pada SARS-CoV-2. Di dalam sel,
SARS-CoV-2 melakukan duplikasi materi genetik dan mensintesis protein-protein yang dibutuhkan, kemudian membentuk
virion baru yang muncul di permukaan sel (Liu Y, 2020).
Sama dengan SARS-CoV, pada SARS-CoV-2 diduga setelah virus masuk ke dalam sel, genom RNA virus akan
dikeluarkan ke sitoplasma sel dan ditranslasikan menjadi dua poliprotein dan protein struktural. Selanjutnya, genom virus
akan mulai untuk bereplikasi. Glikoprotein pada selubung virus yang baru terbentuk masuk ke dalam membran retikulum
endoplasma atau Golgi sel. Terjadi pembentukan nukleokapsid yang tersusun dari genom RNA dan protein nukleokapsid.
Partikel virus akan tumbuh ke dalam retikulum endoplasma dan Golgi sel. Pada tahap akhir, vesikel yang mengandung
partikel virus akan bergabung dengan membran plasma untuk melepaskan komponen virus yang baru (de Wit E, 2020).
6. Manifestasi klinis
Berdasarkan dari beratnya kasus, Covid-19 dibedakan menjadi beberapa gejala diantaranya (Erlina Burhan dkk, 2020) :
a. Tanpa gejala
Kondisi ini merupakan kondisi paling ringan. Pasien tidak ditemukan gejala.
b. Ringan
Pasien dengan gejala tanpa ada bukti pneumonia virus atau tanpa hipoksia. Gejala yang muncul seperti demam, batuk,
fatigue, anoreksia, napas pendek, mialgia. Gejala tidak spesifik lainnya seperti sakit tenggorokan, kongesti hidung, sakit
kepala, diare, mual dan muntah, hilang pembau (anosmia) atau hilang perasa (ageusia) yang muncul sebelum onset gejala
pernapasan juga sering dilaporkan. Pasien usia tua dan immunocompromised gejala atipikal seperti fatigue, penurunan
kesadaran, mobilitas menurun, diare, hilang nafsu makan, delirium, dan tidak ada demam.
c. Sedang/Moderat
Pada pasien remaja atau dewasa : pasien dengan tanda klinis pneumonia (demam, batuk, sesak, napas cepat) tetapi tidak
ada tanda pneumonia berat termasuk SpO2 > 93% dengan udara ruangan ATAU Anak-anak : pasien dengan tanda klinis
pneumonia tidak berat (batuk atau sulit bernapas + napas cepat dan/atau tarikan dinding dada) dan tidak ada tanda
pneumonia berat).
d. Berat /Pneumonia Berat
Pada pasien remaja atau dewasa : pasien dengan tanda klinis pneumonia (demam, batuk, sesak, napas cepat) ditambah satu
dari: frekuensi napas > 30 x/menit, distres pernapasan berat, atau SpO2 < 93% pada udara ruangan. ATAU pada pasien
anak : pasien dengan tanda klinis pneumonia (batuk atau kesulitan bernapas), ditambah setidaknya satu dari berikut ini:
1) Sianosis sentral atau SpO2 <93%
2) Distress pernapasan berat (seprti napas cepat, grunting, tarikn dinding dada yang sangat berat)
3) Tanda bahaya umum: ketidakmampuan menyusui atau minum, letargi atau penutunan kesadaran, atau kejang.
e. Kritis
Pasien dengan Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS), sepsis dan syok sepsis.
7. Penatalaksanaan pasien Covid-19
Penatalaksanaan klinis dilakukan pada pasien COVID-19 tanpa gejala, ringan, sedang dan berat. Berikut tatalaksana
klinis pasien terkonfirmasi COVID-19 (Erlina Burhan, 2020):
a. Tanpa gejala
Isolasi dan Pemantauan
1) Isolasi mandiri di rumah selama 10 hari sejak pengambilan spesimen diagnosis konfirmasi, baik isolasi mandiri di
rumah maupun di fasilitas publik yang dipersiapkan pemerintah.
2) Pasien dipantau melalui telepon oleh petugas Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP)
3) Kontrol di FKTP terdekat setelah 10 hari karantina untuk pemantauan klinis
Farmakologi
1) Bila terdapat penyakit penyerta/komorbid, dianjurkan untuk tetap melanjutkan pengobatan yang rutin dikonsumsi.
Apabila pasien rutin meminum terapi obat antihipertensi dengan golongan obat ACEinhibitor dan Angiotensin
Reseptor Blocker perlu berkonsultasi ke Dokter Spesialis Penyakit Dalam atau Dokter Spesialis Jantung
2) Vitamin C (untuk 14 hari)
3) Obat-obatan suportif baik tradisional (Fitofarmaka) maupun Obat Modern Asli Indonesia (OMAI) yang teregistrasi
di BPOM dapat dipertimbangkan untuk diberikan namun dengan tetap memperhatikan perkembangan kondisi klinis
pasien.
4) Obat-obatan yang memiliki sifat antioksidan dapat diberikan.
b. Ringan
Isolasi dan Pemantauan
1) Isolasi mandiri di rumah/ fasilitas karantina selama maksimal 10 hari sejak muncul gejala ditambah 3 hari bebas
gejala demam dan gangguan pernapasan. Isolasi dapat dilakukan mandiri di rumah maupun di fasilitas publik yang
dipersiapkan pemerintah.
2) Petugas FKTP diharapkan proaktif melakukan pemantauan kondisi pasien.
3) Setelah melewati masa isolasi pasien akan kontrol ke FKTP terdekat.
Farmakologis
1) Vitamin C dengan pilihan:
a) Tablet Vitamin C non acidic 500 mg/6-8 jam oral (untuk 14 hari)
b) Tablet isap vitamin C 500 mg/12 jam oral (selama 30 hari)
c) Multivitamin yang mengandung vitamin c 1-2 tablet /24 jam (selama 30 hari),
d) Dianjurkan vitamin yang komposisi mengandung vitamin C,B, E, zink
2) Azitromisin 1 x 500 mg perhari selama 5 hari
3) Salah satu dari antivirus berikut ini:
a) Oseltamivir (Tamiflu) 75 mg/12 jam/oral selama 5-7 hari Atau
b) Kombinasi Lopinavir + Ritonavir (Aluvia) 2 x 400/100mg selama 10 hari Atau
c) Favipiravir (Avigan) 600 mg/12 jam/oral selama 5 hari
4) Klorokuin fosfat 500 mg/12 jam oral (untuk 5-7 hari) ATAU Hidroksiklorokuin (sediaan yang ada 200 mg) dosis
400 mg/24 jam/oral (untuk 5-7 hari) dapat dipertimbangkan apabila pasien dirawat inap di RS dan tidak ada
kontraindikasi.
5) Pengobatan simptomatis seperti parasetamol bila demam.
6) Obat-obatan suportif baik tradisional (Fitofarmaka) maupun Obat Modern Asli Indonesia (OMAI) yang teregistrasi
di BPOM dapat dipertimbangkan untuk diberikan namun dengan tetap memperhatikan perkembangan kondisi klinis
pasien.
7) Pengobatan komorbid dan komplikasi yang ada
c. Sedang/moderat
Isolasi dan Pemantauan
1) Rujuk ke Rumah Sakit ke Ruang Perawatan COVID-19/ Rumah Sakit Darurat COVID-19
2) Isolasi di Rumah Sakit ke Ruang PerawatanCOVID-19/ Rumah Sakit Darurat COVID-19
Farmakologis
1) Vitamin C 200 – 400 mg/8 jam dalam 100 cc NaCl 0,9% habis dalam 1 jam diberikan secara drips Intravena (IV)
selama perawatan
2) Diberikan terapi farmakologis berikut:
a) Klorokuin fosfat 500 mg/12 jam oral (untuk 5-7 hari) atau Hidroksiklorokuin (sediaan yg ada 200 mg) hari
pertama 400 mg/12 jam/oral, selanjutnya 400 mg/24 jam/oral (untuk 5-7 hari) Ditambah
b) Azitromisin 500 mg/24 jam per iv atau per oral (untuk 5-7 hari) atau sebagai alternatif Levofloksasin dapat
diberikan apabila curiga ada infeksi bakteri: dosis 750 mg/24 jam per iv atau per oral (untuk 5-7 hari).
Ditambah salah satu antivirus berikut :
I. Oseltamivir 75 mg/12 jam oral selama 5-7 hari Atau
II. Kombinasi Lopinavir + Ritonavir (Aluvia) 2 x 400/100mg selama 10 hari Atau
III. Favipiravir (Avigan sediaan 200 mg) loading dose 1600 mg/12 jam/oral hari ke-1 dan selanjutnya 2 x 600
mg (hari ke 2-5) Atau
IV. Remdesivir 200 mg IV drip/3jam dilanjutkan 1x100 mg IV drip/3 jam selama 9 – 13 hari
3) Antikoagulan LMWH/UFH berdasarkan evaluasi DPJP
d. Berat atau kritis
1) Pemantauan laboratorium Darah Perifer Lengkap beriku dengan hitung jenis, bila memungkinkan ditambahkan
dengan CRP, fungsi ginjal, fungsi hati, Hemostasis, LDH, D-dimer.
2) Pemeriksaan foto toraks serial bila perburukan
3) Monitor tanda-tanda sebagai berikut;
a) Takipnea, frekuensi napas ≥ 30x/min,
b) Saturasi Oksigen dengan pulse oximetry ≤93% (di jari),
c) PaO2/FiO2 ≤ 300 mmHg,
d) Peningkatan sebanyak >50% di keterlibatan area paru-paru pada pencitraan thoraks dalam 24-48 jam,
e) Limfopenia progresif,
f) Peningkatan CRP progresif,
g) Asidosis laktat progresif.
4) Monitor keadaan kritis
a) Gagal napas yg membutuhkan ventilasi mekanik, syok atau gagal multiorgan yang memerlukan perawatan
ICU.
b) Bila terjadi gagal napas disertai ARDS pertimbangkan penggunaan ventilator mekanik
5) Terapi oksigen:
a) NRM : 15 liter per menit, lalu titrasi sesuai SpO2
b) HFNC (High Flow Nasal Canulla), FiO2 100% lalu titrasi sesuai SpO2
I. Tenaga kesehatan harus menggunakan respirator (PAPR, N95).
II. Lakukan pemberian HFNC selama 1 jam, kemudian lakukan evaluasi. Jika pasien mengalami perbaikan
dan mencapai kriteria ventilasi aman (indeks ROX >4.88 pada jam ke2, 6, dan 12 menandakan bahwa
pasien tidak membutuhkan ventilasi invasif, sementara ROX <3.85 menandakan risiko tinggi untuk
kebutuhan intubasi).
c) NIV (Noninvasif Ventilation)
I. Tenaga kesehatan harus menggunakan respirator (PAPR, N95).
II. Lakukan pemberian NIV selama 1 jam, kemudian lakukan evaluasi. Jika pasien mengalami perbaikan
dan mencapai kriteria ventilasi aman (volume tidal [VT] <8 ml/kg, tidak ada gejala kegagalan pernapasan
atau peningkatan FiO2/PEEP) maka lanjutkan ventilasi dan lakukan penilaian ulang 2 jam kemudian.
III. Pada kasus ARDS berat, disarankan untuk dilakukan ventilasi invasif.
IV. Jangan gunakan NIV pada pasien dengan syok.
V. Kombinasi Awake Prone Position + HFNC / NIV 2 jam 2 kali sehari dapat memperbaiki oksigenasi dan
mengurangi kebutuhan akan intubasi pada ARDS ringan hingga sedang. Hindari penggunaan strategi ini
pada ARDS berat bila ternyata prone position ditujukan untuk menunda atau mencegah intubasi.
NIV dan HFNC memiliki risiko terbentuknya aerosol, sehingga jika hendak diaplikasikan, sebaiknya di
ruangan yang bertekanan negatif (atau di ruangan dengan tekanan normal, namun pasien terisolasi dari pasien
yang lain) dengan standar APD yang lengkap. Bila pasien masih belum mengalami perbaikan klinis maupun
oksigenasi setelah dilakukan terapi oksigen ataupun ventilasi mekanik non invasif, maka harus dilakukan
penilaian lebih lanjut.
d) Ventilasi Mekanik invasif (Ventilator)
Tatalaksana setting ventilator pada COVID-19 sama seperti protokol ventilator ARDS dimana dilakukan
Tidal volume < 8 mL/kg, Pplateau < 30 cmH2O, titrasi PEEP dan Recruitment Maneuver, serta target driving
pressure yang rendah.
e) ECMO (Extra Corporeal Membrane Oxygenation)
Pasien COVID-19 dapat menerima terapi ECMO di RS tipe A yang memiliki layanan dan sumber daya
sendiri untuk melakukan ECMO. Pasien COVID-19 kritis dapat menerima terapi ECMO bila memenuhi
indikasi ECMO setelah pasien tersebut menerima terapi posisi prone (kecuali dikontraindikasikan) dan terapi
ventilator ARDS yang maksimal menurut klinisi.
Indikasi ECMO :
I. PaO2/FiO2 6 jam
II. PaO2/FiO2 3 jam
III. pH 80mmHg selama >6 jam
Kontraindikasi relatif :
I. Usia ≥ 65 tahun
II. Obesitas BMI ≥ 40
III. Status imunokompromis
IV. Tidak ada ijin informed consent yang sah.
V. Penyakit gagal jantung sistolik kronik
VI. Terdapat penyebab yang berpotensi reversibel (edema paru, sumbatan mucus bronkus, abdominal
compartment syndrome)
Kontraindikasi absolut :
I. Clinical Frailty Scale Kategori ≥ 3
II. Ventilasi mekanik > 10 hari
III. Adanya penyakit komorbid yang bermakna :
a. Gagal ginjal kronis ≥ III
b. Sirosis hepatis
c. Demensia
d. Penyakit neurologis kronis yang tidak memungkinkan rehabilitasi.
e. Keganasan metastase
f. Penyakit paru tahap akhir
g. Diabetes tidak terkontrol dengan disfungsi organ kronik
h. Penyakit vaskular perifer berat
IV. Gagal organ multipel berat
V. Injuri neurologik akut berat.
VI. Perdarahan tidak terkontrol.
VII. Kontraindikasi pemakaian antikoagulan.
VIII. Dalam proses Resusitasi Jantung Paru.
Komplikasi berat sering terjadi pada terapi ECMO seperti perdarahan, stroke, pneumonia, infeksi septikemi,
gangguan metabolik hingga mati otak
Farmakologis
1) Vitamin C 200 – 400 mg/8 jam dalam 100 cc NaCl 0,9% habis dalam 1 jam diberikan secara drips Intravena (IV)
selama perawatan
2) Vitamin B1 1 ampul/24 jam/intravena
3) Klorokuin fosfat, 500 mg/12 jam/oral (hari ke 1-3) dilanjutkan 250 mg/12 jam/oral (hari ke 4-10) atau
Hidroksiklorokuin dosis 400 mg /24 jam/oral (untuk 5 hari), setiap 3 hari kontrol EKG
4) Azitromisin 500 mg/24 jam per iv atau per oral (untuk 5-7 hari) atau sebagai alternatif Levofloksasin dapat
diberikan apabila curiga ada infeksi bakteri: dosis 750 mg/24 jam per iv atau per oral (untuk 5-7 hari).
5) Bila terdapat kondisi sepsis yang diduga kuat oleh karena ko-infeksi bakteri, pemilihan antibiotik disesuaikan
dengan kondisi klinis, fokus infeksi dan faktor risiko yang ada pada pasien. Pemeriksaan kultur darah harus
dikerjakan dan pemeriksaan kultur sputum (dengan kehati-hatian khusus) patut dipertimbangkan.
6) Antivirus :
a) Oseltamivir 75 mg/12 jam oral selama 5-7 hari Atau
b) Kombinasi Lopinavir + Ritonavir (Aluvia) 2 x 400/100mg selama 10 hari Atau
c) Favipiravir (Avigan sediaan 200 mg) loading dose 1600 mg/12 jam/oral hari ke-1 dan selanjutnya 2 x 600 mg
(hari ke 2-5) Atau
d) Remdesivir 200 mg IV drip/3jam dilanjutkan 1x100 mg IV drip/3 jam selama 9 – 13 hari
7) Antikoagulan LMWH/UFH berdasarkan evaluasi DPJP (lihat halaman 56-64)
8) Deksametason dengan dosis 6 mg/ 24 jam selama 10 hari atau kortikosteroid lain yang setara seperti hidrokortison
pada kasus berat yang mendapat terapi oksigen atau kasus berat dengan ventilator.
9) Pengobatan komorbid dan komplikasi yang ada
10) Apabila terjadi syok, lakukan tatalaksana syok sesuai pedoman tatalaksana syok yang sudah ada
11) Obat suportif lainnya dapat diberikan sesuai indikasi
12) Pertimbangkan untuk diberikan terapi tambahan, sesuai dengan kondisi klinis pasien dan ketersediaan difasilitas
pelayanan kesehatan masing-masing apabila terapi standard tidak memberikan respons perbaikan. Pemberian
dengan pertimbangan hati-hati dan melalui diskusi dengan tim COVID-19 rumah sakit. Contohnya anti-IL 6
(tocilizumab), plasma konvalesen, IVIG atau Mesenchymal Stem Cell (MSCs) / Sel Punca dan lain lain
B. Polymerase Chain Reaction
1. Definisi
Polymerase Chain Reaction atau PCR adalah suatu metode enzimatis untuk amplifikasi DNA dengan cara in vitro. Pada
proses PCR diperlukan beberapa komponen utama, yaitu DNA cetakan, Oligonukleotida primer, Deoksiribonukelotida trifosfat
(dNTP), Enzim DNA Polimerase, dan Komponen pendukung lain adalah senyawa buffer. Pada proses PCR menggunakan
menggunakan alat termosiklus. Sebuah mesin yang memiliki kemampuan untuk memanaskan sekaligus mendinginkan tabung
reaksi dan mengatur temperatur untuk tiap tahapan reaksi. Ada tiga tahapan penting dalam proses PCR yang selalu terulang
dalam 30-40 siklus dan berlangsung dengn cepat yaitu denaturasi, anneling, dan pemanjangan untai DNA (Zuhriana K Yusuf,
2010).
2. Prosedur PCR test
Teknik swab merupakan cara untuk mendapatkan sampel yang digunakan dalam metode PCR atau Polymerase Chain
Reaction. Pemeriksaan ini menggunakan sampel lendir yang kemudian akan digunakan untuk melihat apakah ada atau tidaknya
virus dalam tubuh seseorang.
Berikut tahapan melakukan teknik swab:
a. Pasien diminta duduk di kursi
b. Tenaga kesehatan akan sedikit mendorong kepala pasien ke arah atas dan memasukkan alat berbentuk seperti cotton
bud namun dengan ukuran yang jauh lebih panjang ke dalam lubang hidung
c. Alat ini akan dimasukkan hingga mentok ke bagian belakang hidung
d. Teknik swab dilakukan untuk menyapu alat tersebut ke area belakang hidung
e. Alat memiliki bagian ujung yang dapat menyerap cairan atau lendir yang terdapat di area tersebut
f. Alat akan berada di dalam area itu selama beberapa detik agar cairan terserap sempurna
g. Setelah itu, alat swab langsung akan dimasukkan ke tabung khusus dan ditutup
h. Kemudian tabung akan dimasukkan ke dalam wadah khusus dan selanjutnya dikirim ke laboratorium untuk
dilakukan pemeriksaan menggunakan teknik PCR
i. Jika swab dihidung tidak memungkinkan, maka swab juga dapat dilakukan melalui tenggorokan.
3. Kelebihan
PCR menggunakan sampel lendir yang diambil dari dalam hidung maupun tenggorokan. Dua area tersebut dipilih
karena menjadi tempat virus menggandakan dirinya. Pemeriksaan ini dinilai lebih akurat, sebab virus corona akan menempel di
bagian dalam hidung atau tenggorokan saat masuk ke dalam tubuh. Hasil akhir dari pemeriksaan PCR ini nantinya akan benar-
benar memperlihatkan keberadaan virus SARS-COV2 di dalam tubuh seseorang (Maureen, 2020).
4. Hasil
Terdapat beberapa hasil yang bisa didapatkan dari hasil Polymerase Chain Reaction test, diantaranya adalah:
a. Positif
Terdapat strain virus pada sampel yang diuji
b. Negatif
Tidak ditemukan strain virus pada sampel yang telah diuji.
c. Inkonklusif
Dari hasil pemeriksaan yang didapatkan untuk hasilnya masih meragukan dan perlu dilakukan pemeriksaan ulang.
5. Faktor yang mempengaruhi
Menurut Anggun Feranisa pada tahun 2016, terdapat beberapa faktor yang dapat menentukan tingkat keberhasilan
teknik amplifikasi DNA menggunakan PCR. Faktor-faktor itu antara lain :
a. Deoksiribonukleotida triphosphat (dNTP);
b. Oligonukleotida primer
c. DNA cetakan (template)
d. Komposisis larutan buffer
e. Jumlah siklus reaksi
f. Enzim yang digunakan
g. Faktor teknis dan non-teknis lainnya, seperti kontaminasi.
A. Kerangka Konsep
Variabel diteliti
Berdasarkan Gambar III.1 terdapat beberapa faktor yang dapat memengaruhi hasil test PCR COVID-19, antara lain kebiasaan
merokok, proses pengambilan sampel, sistem kekebalan tubuh, dan lain-lain. Yang diteliti pada penelitian ini yaitu faktor umur dan jenis
Gambar III.2: Kerangka konsep system imun menginterprestasi hasil Rapid (BiosM info, 2020).
Imunitas yang berkembang terhadap suatu patogen melalui infeksi alami merupakan suatu proses bertahap yang biasanya
berlangsung selama 1-2 minggu. Tubuh segera merespons infeksi virus dengan respons bawaan (innate) yang bersifat umum di mana
makrofagus, neutrofil, dan sel dendrit memperlambat perkembangan virus dan dapat mencegah virus menimbulkan gejala. Respons
umumnya diikuti oleh respons adaptif di mana saat tubuh memproduksi antibodi yang spesifik mengikat virus tersebut. Antibodi ini
merupakan protein yang disebut imunoglobulin. Tubuh juga memproduksi sel T yang dapat mengenali dan mengeliminasi sel-sel lain yang
terinfeksi virus ini. Kondisi ini disebut imunitas seluler. Respons adaptif dapat membersihkan virus dari tubuh jika respons ini cukup kuat,
dapat mencegah berkembangnya penyakit yang parah atau reinfeksi akibat virus yang sama. Proses ini sering kali diukur berdasarkan ada
PCR menggunakan sampel lendir yang diambil dari dalam hidung maupun tenggorokan. Dua area tersebut dipilih karena menjadi
tempat virus menggandakan dirinya. Pemeriksaan ini dinilai lebih akurat, sebab virus corona akan menempel di bagian dalam hidung atau
tenggorokan saat masuk ke dalam tubuh. Hasil akhir dari pemeriksaan PCR ini nantinya akan benar-benar memperlihatkan keberadaan
virus SARS-COV2 di dalam tubuh seseorang.
C. Hipotesis Penelitian
Ada hubungan usia dan jenis kelamin dengan hasil tes PCR COVID-19 di Puskemas Ngoro Kabupaten Mojokerto bulan Juni
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah penelitian observasional analitik dengan pendekatan cross
sectional (potong lintang) yaitu penelitian dengan satu kali pengukuran pada waktu tertentu. Data dikumpulkan dengan cara
mengumpulkan karakteristik responden dan hasil pemeriksaan test PCR COVID-19 di Puskesmas Ngoro, Kabupaten Mojokerto.
1. Lokasi Penelitian
2. Waktu Penelitian
1. Populasi
Populasi penelitian ini adalah seluruh peserta yang melakukan test PCR COVID-19 di Puskesmas Ngoro pada bulan Juni
b. Kriteria inklusi
a) Responden yang memeriksakan diri ke Puskesmas Ngoro pada bulan Juni 2020 – September 2020.
b) Data pasien yang lengkap dengan identitas yaitu usia dan jenis kelamin
c. Kriteria eksklusi :
2. Sampel
Sampel pada penelitian ini adalah sebagian pasien peserta melakukan pemeriksaan test PCR di Puskesmas Ngoro, Kabupaten
Mojokerto.
a. Besar sampel
Penentuan besar sampel dalam penelitian adalah sebagian peserta yang melakukan test PCR COVID-19 di Puskesmas
Pengambilan sampel dalam penelitian ini secara sengaja disesuaikan dengan tujuan peneliti disebut dengan teknik purposive
sampling yaitu cara pengambilan sampel berdasarkan tujuan dari peneliti. Pada penelitian ini diambil secara sengaja diambil
sampel yang memiliki kriteria data umur, jenis kelamin dan hasil rapid test.
D. Variabel Penelitian
Dalam penelitian ini digunakan dua variabel yaitu variabel bebas dan variabel terikat. Variabel bebas adalah usia dan jenis
2. Hasil Test PCR Hasil test PCR Rekam Medis 1. PCR positif Nominal
COVID-19 COVID-19 yang Puskesmas Ngoro 2. PCR negatif
tertera pada rekam
medis Puskesmas
Ngoro.
Sumber:
Penelitian, 2020
F. Prosedur Penelitian
PERSIAPAN PENELITIAN
Identifikasi masalah tempat dan waktu penelitian dan penyusunan proposal
serta pengurusan ijin penelitian.
IDENTIFIKASI
Identifikasi rekam medis subyek yang berpontesi masuk dalam sampel
penelitian, sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi, secara purposive
sampling dipilih 86 sampel
PENGUMPULAN DATA
Pengumpulan data dari Rekam Medis
PENYUSUNAN LAPORAN
Gambar 4.1 Alur Prosedur Penelitian tentang Hubungan Usia dan Jenis
Kelamin terhadap Hasil Test PCR COVID-19 di Puskesmas Ngoro Kabupaten
Mojokerto bulan Juni sampai September tahun 2020.
Hari
No Langkah Penelitian VI
I II III IV V VI
I
1 Penyusunan proposal
2 Persiapan lapangan
3 Pengumpulan data
Pengolahan dan
4
analisis data
5 Penyusunan laporan
6 Presentasi
7 Perbaikan/ revisi
sekunder tersebut data umur dan jenis kelamin pada bulan Juni-September 2020 di
a. Editing
Editing data digunakan untuk melihat kelengkapan dan ketepatan, data sekunder
peneliti.
b. Coding
c. Scoring
d. Tabulasi
Merupakan proses pengolah data dalam bentuk tabel yang dapat memberikan
gambaran statistik.
G. Analisis Data
1. Hipotesis statistik
H0 : Tidak ada hubungan usia dan jenis kelamin terhadap hasil test PCR COVID-
tahun 2020.
a. Analisis univariat
independen yaitu usia dan jenis kelamin, sedangkan variabel dependen adalah
b. Analisis bivariat
Analisis Bivariat dilakukan dengan menggunakan uji kai kuadrat atau dengan
Uji Chi Square. Uji ini dilakukan untuk membuktikan adanya hubungan yang
dengan menggunakan nilai kemaknaan 95%, atau nilai α = 0,05. Bila ada P
value < 0,05 maka hasil uji statistik bermakna atau ada hubungan antara
berpengaruh usia dan jenis kelamin dengan hasil rapid test menggunakan uji
Penelitian ini dilakukan pada peserta yang melakukan pemeriksaan Swab dan
PCR Test pada rentang waktu bulan Juni-September 2020 yang ada di wilayah UPTD
Hasil penelitian akan dianalisis secara Chi-Square dengan tingkat kemaknaan (α) 0,05.
B. Hasil Penelitian
1. Analisis Univariat
berikut:
Karakteristik mengenai responden penelitian dapat dilihat pada tabel berikut ini:
Jumlah 86 100 %
Berdasarkan data Tabel V.2 didapatkan bahwa sebanyak 73,3% responden berusia
kurang dari 55 tahun, dan sebanyak 26,7% responden berusia lebih dari 55 tahun
Berdasarkan data Tabel V.3 didapatkan bahwa sebesar 66,3% test PCR
2. Analisis Bivariat
diteruskan dengan analisis bivariat untuk mengetahui hubungan antar variabel. Berikut
ini akan disajikan hasil pengujian menggunakan uji chi-square (X2) dengan bantuan
didapatkan hasil Test PCR COVID-19 positif dan 33,6% responden (29 responden)
didapatkan hasil Test PCR COVID-19 negatif. Pada kelompok hasil test PCR
kelamin perempuan dan didapatkan sebesar 40,7% responden (35 responden) berjenis
kelamin laki-laki. Berdasarkan hasil uji statistik Chi Square didapatkan nilai p 0,078
(α = 0,05), artinya tidak terdapat hubungan antara jenis kelamin dengan hasil test PCR
koefisien kontingensi didapatkan nilai p 0,187 yang artinya keeratan antara jenis
kelamin dengan hasil test PCR COVID-19 pada penelitian ini sangat rendah.
Tabel V.6 Tabel Silang dan Hasil Analisis Usia terhadap Hasil Test PCR di
Puskesmas Ngoro Kabupaten Mojokerto Bulan Juni-September 2020
Test PCR COVID-19 Total Chi Koefisien
Positif Negatif
Squar Kontingensi
e
Non
lansia 40 46,5% 23 26,7% 63 73,2%
<55th
Lansia 0,366 0,097
17 19,8% 6 6,9% 23 26,8%
>55th
Total 57 66,3% 29 33,6% 86 100%
Berdasarkan hasil analisis Tabel V.6 sebesar 66,3% responden (57 responden)
didapatkan hasil Test PCR COVID-19 positif dan 33,6% responden (29 responden)
didapatkan hasil Test PCR COVID-19 negatif. Pada kelompok hasil test PCR
kurang dari 55 tahun, dan didapatkan sebesar 19,8% responden (17 responden)
berusia lebih dari 55 tahun. Berdasarkan hasil uji statistik Chi Square didapatkan nilai
p 0,366 (α = 0,05), yang artinya tidak terdapat hubungan antara jenis kelamin dengan
hasil uji statistik koefisien kontingensi didapatkan nilai p 0,097 yang artinya keeratan
antara jenis kelamin dengan hasil test PCR COVID-19 pada penelitian ini sangat
rendah.
BAB VI
PEMBAHASAN
Berdasarkan data yang didapatkan dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara
usia dan jenis kelamin dengan hasil test PCR COVID-19. Berdasarkan hasil analisis
didapatkan sebesar sebesar 66,3% responden (57 responden) didapatkan hasil Test PCR
COVID-19 Positif dan 33,6% responden (36 responden) didapatkan hasil Test PCR COVID-
19 Negatif. Pada kelompok hasil test PCR COVID-19 positif didapatkan sebesar 25,6%
responden (22 responden) berjenis kelamin perempuan dan didapatkan sebesar 40,7%
Pada penelitian ini, hasil test PCR COVID-19 positif lebih banyak didapatkan pada
responden yang berjenis kelamin Laki-laki dibandingkan dengan responden perempuan. Hal
ini sejalan dengan data yang ada di Pusdatin (2020) per tanggal 6 Oktober 2020 yang
menyatakan jenis kelamin laki-laki lebih banyak menderita COVID-19 sebesar 51,1%
responden sedangkan perempuan sebesar 48,9% dari total konfirmasi positif sebanyak
311.176 responden. Data yang dipaparkan oleh Susilo (2020) juga menyebutkan bahwa jenis
kelamin laki-laki lebih banyak menderita COVID-19. Di Italia didapatkan kasus konfirmasi
positif berjenis kelamin laki-laki sebesar 57,9% responden sedangkan perempuan sebesar
42,1%.
Berdasarkan data yang sudah ada, penyakit komorbid hipertensi dan diabetes melitus,
jenis kelamin laki-laki, dan perokok aktif merupakan faktor risiko dari infeksi SARS-CoV-2.
Distribusi jenis kelamin yang lebih banyak pada laki-laki diduga terkait dengan prevalensi
perokok aktif yang lebih tinggi. Pada rokok mengandung nikotin yang akan meningkatkan
ekpresi atau aktifasi dari ACE-2 di dalam paru-paru.. Hal ini mengakibatkan seorang perokok
dengan hasil test PCR COVID-19 reaktif pada responden yang diperiksa di Puskesmas Ngoro
Kabupaten Mojokerto. Hal ini terbukti dengan nilai p value pada saat uji chi square sebesar
0,366(< 0,05).
Dalam penelitian ini, hasil test PCR COVID-19 positif paling banyak didapatkan pada
responden dengan rentang usia dibawah 55 tahun sebesar 46,5% responden (40 responden)
sedangkan hasil pada responden dengan rentang usia >55 tahun sebesar 19,8% responden (17
responden) . Data ini sesuai dengan data yang dipaparkan oleh Pusdatin (2020) per tanggal 6
oktober 2020, dimana didapatkan rentang usia paling banyak menderita COVID-19 pada
rentang usia 26-40 tahun sebesar 30,9% sedangkan pada usia diatas 60 tahun hanya sebesar
10,6%. ). Hasil penelitian ini menyebutkan usia < 55 tahun lebih rentan terjangkit Covid-19
karena pada usia ini mobilitas masih tinggi. Kegiatan di luar rumah lebih banyak dilakukan
Saat ini, ada dua metode yang bisa dilakukan untuk mendeteksi virus corona, yaitu
Rapid test dan PCR (Polymerase Chain Reaction) swab test. Meski sama-sama digunakan
untuk mendeteksi virus corona, kedua tes tersebut memiliki beberapa perbedaan (Maureen,
2020).
maupun tenggorokan. Dua area tersebut dipilih karena menjadi tempat virus menggandakan
dirinya. Pemeriksaan ini dinilai lebih akurat, sebab virus corona akan menempel di bagian
dalam hidung atau tenggorokan saat masuk ke dalam tubuh. Hasil akhir dari pemeriksaan
Prevention (CDC) adalah kontak erat, termasuk tinggal satu rumah dengan pasien COVID-19
dan riwayat perjalanan ke area terjangkit. Berada dalam satu lingkungan namun tidak kontak
dekat (dalam radius 2 meter) dianggap sebagai risiko rendah. Tenaga medis merupakan salah
satu populasi yang berisiko tinggi tertular. Di Italia, sekitar 9% kasus COVID-19 adalah
tenaga medis. Di China, lebih dari 3.300 tenaga medis juga terinfeksi, dengan mortalitas
Berdarsarkan teori dan hasil penelitian yang didapatkan bahwa hasil test PCR tidak
dipengaruhi oleh jenis kelamin dan usia. Test PCR yang dilakukan di Puskemas Ngoro
dilakukan sebagai baku standar diagnosis COVID-19 yang dilakukan pada seseorang yang
Keterbatasan peneliti
Penelitian ini menggunakan sampel yang sedikit, teknik pengumpulan data yang
A. Kesimpulan
1. Responden terbanyak yang menunjukkan hasil test PCR COVID-19 positif adalah
responden dengan usia <55 tahun sebesar 46,5% responden (40 responden).
2. Pada kelompok hasil test PCR COVID-19 positif, didapatkan sebesar 40,7%
responden (35 responden) berjenis kelamin laki-laki dan didapatkan sebesar 25,6%
3. Didapatkan hasil test PCR positif COVID-19 sebesar 66,3% responden (57
responden) dan hasil test PCR negatif COVID-19 sebesar 33,6% responden (29
responden).
4. Dari hasil penelitian, menunjukkan tidak ada hubungan usia dan jenis kelamin
terhadap hasil test PCR COVID-19 di Puskemas Ngoro Kabupaten Mojokerto bulan
Agustus sampai September tahun 2020 dengan nilai p value (0,078 dan 0,366).
B. Saran
1. Bagi peneliti
Untuk penelitian selanjutnya dapat melakukan penelitian dengan sampel yang lebih
2. Bagi puskesmas
Melakukan pemeriksaan test PCR terhadap masyarakat terutama yang bekerja di luar
3. Bagi masyarakat
Masyarakat diharapkan berpartisipasi dalam berbagai kegiatan dalam memutus rantai
Maureen. 2020. PCR Swab & Rapid test: Apakah Bedanya dan Bagaimana Prosedurnya?.
https://www.emc.id/id/care-plus/pcr-swab-rapid-test-apakah-bedanya-dan-bagaimana-
prosedurnya.