Anda di halaman 1dari 33

SIKLUS MEDIKAL BEDAH

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN


TUBERKULOSIS (TBC) MDR DI RUANGAN PARU

Disusun oleh :
Nama : Marina Lestari,S.Kep
NIM : 1841312010
Ruang : Paru
Minggu ke V

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2018
A. Landasan Teoritis

1. Definisi
Tuberculosis Paru (TB Paru) merupakan penyakit infeksi yang disebabkan
oleh mycobacterium Tuberculosis. Bakteri batang tahan asam ini merupakan
organisme patogen maupun saprofit, yang menular melalui droplet (Bararah, &
Jauhar, 2013).
TB Paru adalah penyakit infeksius yang terutama menyerang parenkim paru.
TB Paru merupakan suatu penyakit menular yang di sebabkan oleh basil
mycobacterium tuberculosis yang menyerang saluran pernapasan bagian bawah
(Wijaya, & Putri, 2013).
Menurut Munaj dalam Astuti (2015) kuman TB Paru dapat keluar bebas di
udara saat pasien penderita TB Paru batuk, penularan terjadi karena kuman
dibatukkan atau dibersinkan keluar menjadi droplet nuclei dalam udara, sifat kuman
ini dapat bertahan lama ditempat yang gelap dan lembab sebaliknya dapat mati jika
terkena sinar matahari.
MDR / Resistensi Ganda adalah: Mycrobacterium Tuberculosis yang resisten minimal
terhadap Rifampisin dan INH secara bersamaan dengan atau tanpa OAT lainnya.
Terdapat lima jenis kategori resistensi terhadap obat TB :
1. Mono-resistance : kebal terhadap salah satu OAT
2. Poly-resistance : kebal terhadap lebih dari satu OAT, selain kombinasi isoniazid dan
rifampisin.
3. Multidrug-resistance (MDR) : kebal terhadap sekurang-kurangnya isoniazid dan
rifampicin secara bersamaan.
4. Extensive drug-resistance (XDR) : TB- MDR ditambah kekebalan terhadap salah
salah satu obat golongan fluorokuinolon, dan sedikitnya salah satu dari OAT injeksi
lini kedua (kapreomisin, kanamisin, dan amikasin)
5. Total drug resisten ( Total DR ) : Kekebalan terhadap semua OAT ( lini pertama dan
kedua ) yang sudah dipakai saat ini.
Diagnosis TB MDR
Diagnosis TB-MDR dipastikan berdasarkan uji kepekaan. Semua suspek TB-MDR
diperiksa dahaknya untuk selanjutnya dilakukan pemeriksaan biakan dan uji
kepekaan. Jika hasil uji kepekaan terdapat yang resisten minimal terhadap rifampisin
dan INH, maka dapat ditegakkan diagnosis TB-MDR.
2. Etiologi
Penyakit ini disebabkan oleh bakteri mycobacterium tuberculosis. Bakteri atau
kuman ini berbentuk batang, dengan ukuran panjang 1-4 µm dan tebal 0,3-0,6 µm.
Sebagian besar kuman berupa lipid/ lemak, sehingga kuman tahan terhadap asam dan
lebih tahan terhadap kimia atau fisik. Ada dua macam mikobakteria tuberculosis yaitu
tipe human dan tipe bovin. Basil tipe bovin berada dalam susu sapi yang menderita
mastitis tuberkulosis usus. Basil tipe human bisa berada di bercak ludah di udara yang
berasal dari penderita TBC terbuka dan orang yang rentan terinfeksi TBC ini bila
menghirup bercak ini. Sifat lain dari kuman ini adalah aerob yang menyukai daerah
dengan banyak oksigen, dan daerah yang memiliki kandungan oksigen tinggi yaitu
apikal/apeks paru. Daerah ini menjadi predileksi pada penyakit tuberculosis.
(Somantri,2012)
Etiolog TB MDR:
Kuman Mycobacterium TB yang resisten terhadap sekurang-kurangnya
Isoniasid dan Rifampisin secara bersamaan dengan atau tanpa OAT lini pertama yang
lain, misalnya resisten HR,HRE,HRES (Sudoyo, 2007).
Kriteria Suspek TB MDR
Suspek TB MDR adalah semua orang yang mempunyai gejala TB dengan salah satu
atau lebih kriteria suspek dibawah ini:
1. Pasien TB pengobatan kategori 2 yang gagal (Kasus kronik)
2. Pasien TB pengobatan kategori 2 yang tidak konversi
3. Pasien TB yang pernah diobati pengobatan TB Non DOTS
4. Pasien TB gagal pengobatan kategori 1
5. Pasien TB pengobatan kategori 1 yang tidak konversi setelah pemberian sisipan.
6. Pasien TB kambuh
7. Pasien TB yang kembali setelah lalai/default
8. Suspek TB yang kontak erat dengan pasien TB-MDR
9. Pasien koinfeksi TB dan HIV

3. Klasifikasi
Menurut Sudoyo (2007), klasifikasi tuberkulosis yang banyak dipakai di
Indonesia adalah berdasarkan kelainan klinis, radiologis, dan mikrobiologis, meliputi :
a. Tuberkulosis paru
b. Bekas tuberkulosis paru
c. Tuberkulosis paru tersangka, yang terbagi dalam :
 Tuberkulosisi paru tersangka yang diobati. Disini sputum BT negatif tetapi tana-
tanda lain positif.
 Tuberkulosisi paru yang tidak terobati. Disini sputum BTA negatif dan tanda-
tanda lain juga meragukan TB tersangka dalam 2-3 bulan sudah harus
dipastikan apakah termasuk TB paru (aktif) atau bekas TB paru. Dalam
klasifikasi ini perlu dicantumkan status bakteriologi, mikroskopik sputum BTA
(langsung), biakan sputum BTA, status radiologis, kelainan yang relevan untuk
tuberkulosis paru, status kemoterapi, riwayat pengobatan dengan obat anti
tuberkulosis.
Ada beberapa klasifikasi Tb paru yaitu menurut Depkes (2007) yaitu:
a. Klasifikasi berdasarkan organ tubuh yang terkena:
1) Tuberkulosis paru
Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan (parenkim)
paru. tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus.
2) Tuberkulosis ekstra paru
Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura,
selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar lymfe, tulang,
persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain.
b. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis, yaitu pada Tb
Paru:
1) Tuberkulosis paru BTA positif
 Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif.
 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada
menunjukkan gambaran tuberkulosis.
 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman Tb positif.
 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak
SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada
perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.
2) Tuberkulosis paru BTA negatif
Kriteria diagnostik Tb paru BTA negatif harus meliputi:
 Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif.
 Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran tuberkulosis.
 Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT
 Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan.
c. Klasifikasi berdasarkan tipe pasien ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan
sebelumnya. Ada beberapa tipe pasien yaitu:
2. Kasus baru
Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah
menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).
3. Kasus kambuh (relaps)
Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan
tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh tetapi kambuh lagi.
4. Kasus setelah putus berobat (default )
Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih
dengan BTA positif.
5. Kasus setelah gagal (failure)
Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali
menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.\
6. Kasus lain
Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas, dalam kelompok
ini termasuk kasus kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA
positif setelah selesai pengobatan ulangan (Depkes RI, 2006).

4. Manifestasi Klinis
Tuberculosis sering dijuluki “the great imitator” yaitu suatu penyakit yang
mempunyai banyak kemiripan dengan penyakit lain yang juga memberikan gejala
umum seperti lemah dan demam. Pada sejumlah penderita gejala yang timbul tidak
jelas sehingga diabaikan bahkan kadang-kadang asimtomatik.
Gambaran klinik TB Paru dapat dibagi menjadi 2 golongan, gejala respiratorik dan
gejala sistemik :
a. Gejala Respiratorik, meliputi :
1) Batuk : gejala batuk timbul paling dini dan merupakan gangguan yang paling
sering dikeluhkan. Mula-mula bersifat non produktif kemudian berdahak
bahkan bercampur darah bila sudah ada kerusakan jaringan.
2) Batuk darah : Darah yang dikeluarkan dalam dahak bervariasi, mungkin
tampak berupa garis atau bercak-bercak darah, gumpalan darah, atau darah
segar dalam jumlah sangat banyak. Batuk darah terjadi karena pecahnya
pembuluh darah. Berat ringannya batuk darah tergantung dari besar kecilnya
pembuluh darah yang pecah.
3) Sesak napas : Gejala ini di temukan bila kerusakan parenkim paru sudah
luas atau karena ada hal-hal yang menyertai seperti efusi pleura,
pnemothorax, anemia, dan lain-lain.
4) Nyeri dada : nyeri dada pada TB Paru termasuk nyeri pleuritik yang ringan.
Gejala ini timbul apabila sistem persarafan di pleura terkena.

b. Gejala Sistemik, meliputi :


1) Demam : Merupakan gejala yang sering di jumpai biasanya timbul pada sore
dan malam hari mirip demam influenza, hilang timbul dan makin lama makin
panjang serangannya sedang masa bebas serangan makin pendek.
2) Gejala Sistemik lain : gejala sistemik lain ialah keringat malam, anoreksia,
penurunan berat badan serta malaise.
3) Timbulnya gejala biasanya gradual dalam beberapa minggu sampai bulan,
akan tetapi penampilan akut dengan batuk, panas, sesak napas, walaupun
jarang dapat juga timbul menyerupai gejala pneumonia.
4) Pada TB Paru sebagian besar pasien menunjukkan demam tingkat rendah,
keletihan, anorexia, penurunan berat badan, berkeringat malam, nyeri dada,
dan batuk menetap. Batuk pada awalnya mungkin non produktif, tetapi dapat
berkembang ke arah pembentukkan sputum mukopurulen dengan hemoptisis.
TB Paru dapat mempunyai manefestasi atipikal pada lansia, seperti perilaku
tiada biasa dan perubahan status mental, demam, anorexia, dan penurunan
berat badan. Basil TB dapat bertahan lebih dari 50 tahun dalam keadaan
dorman (Wijaya, & Putri, 2013).
5. Patofisiologi
Basil tuberkel masuk melalui saluran pernapasan, saluran pencernaan, dan luka
terbuka pada kulit. Kebanyakan infeksi TB terjadi melalui udara, yaitu melalui
inhalasi droplet yang mengandung kuman-kuman basil turbekel yang berasal dari
orang yang terinfeksi. TB adalah penyakit yang di kendalikan oleh respons imunitas
diperantarai sel. Sel efektor adalah makrofag, dan limfosit(sel T) adalah sel
imunoresponsif. Tipe imunitas seperti ini biasanya lokal, melibatkan makrofag yang
diaktifkan ditempat infeksi oleh limfosit dan limfokimnya. Reaksi ini disebut
hipersensitivitas selular (lambat).
Basil tuberkel yang mencapai permukaan alveolus biasanya di inhalasi sebagai
suatu unnit yang terdiri dari tiga basil ; gumpalan basil yang lebih besar cenderung
tertahan di saluran hidung dan cabang besar bronkus dan tidak menyebabkan
penyakit. Setelah berada dalam ruang alveolus, biasanya di bagian bawah lobus atas
paru atau dibagian atas lobus bawah, basil turbekel ini membangkitkan reaksi
peradangan. Leukosit polimorfonuklear tampak pada tempat tersebut dan memfagosit
bakteri namun tidak membunuh organisme tersebut. Sesudah hari-hari pertama,
leukosit di ganti oleh makrofag. Alveoli yang terserang akan mengalami konsolidasi,
dan timbul pneumonia akut. Pneumonia selular ini dapat sembuh dengan sendirinya,
sehingga tidak ada sisa yang tertinggal, atau proses dapat berjalan terus, dan bakteri
difagosit atau berkembang biak dalam sel. Basil juga menyebar melalui getah bening
menuju kekelenjar getah bening regional. Makrofag yang mengadakan infiltrasi
menjadi lebih panjang dan sebagian bersatu sehingga membentuk sel turbekel
epiteloid, yang dikelilingi oleh limfosit. Reaksi ini biasanya membutuhkan waktu 10
sampai 20 hari.
Nekrosis bagian sentral lesi memberikan gambaran yang relatif pada seperti keju,
lesi nekrosis ini disebut nekrosis kaseosa. Daerah yang mengalami nekrosis kaseosa
dan jaringan granulasi di sekitarnya yang terdiri dari sel epiteloid dan fibroblas
menimbulkan respon berneda. Jaringan granulasi menjadi lebih fibrosa, membentuk
jaringan parut yang akhirnya membentuk suatu kapsul yang mengelilingi turbekel.
Lesi primer paru-paru disebut fokus ghon dan gabungan terserang kelenjar limfe
regional dan lesi primer dinamakan kompleks ghon.
Kompleks ghon yang mengalami perkapuran ini dapat dilihat pada orang sehat
yang kebetulan menjalani pemeriksaan radiogram rutin. Respon lain yang terjadi pada
daerah nekrosis adalah pencairan dimana bahan cair lepas ke dalam bronku dan
menimbulkan kavitas. Materi tuberkular yang dilepaskan dari dinding kavitas akan
masuk ke percabangan trakeobronkial. Proses ini dapat terulang kembali pada bagian
lain dari paru atau basil dapat terbawa ke laring, telinga tengah, atau usus. Kavitas
kecil dapat menutup sekalipun tanpa pengobatan dan meninggalkan jaringan parut
fibrosa. Bila peradangan mereda lumen bronkus dapat menyempit dan tertutup oleh
jaringan parut yang terdapat dekat dengan perbatasan bronkus. Bahan perkejuan dapat
mengentala sehingga tidak dapat mengalir melalui saluran yang ada dan lesi mirip
dengan lesi berkapsul yang tidak terlepas.
Keadaan ini dapat tidak menimbulkan gejal dalam waktu lama atau membentuk
lagi hubungan dengan bronkus dan menjadi tempat peradangan aktif. Penyakit dapat
menyebar melalui saluran limfe atau pembuluh darah (limfohematogen). Organisme
yang lolos dari kelenjar limfe akan mencapai aliran darah dalam jumlah yang lebih
kecil yang kadang-kadang dapat menimbulkan lesi pada berbagai organ lain
(ekstrapulmoner). Penyebaran hematogen merupakan suatu fenomena akut yang
biasanya menyebabkan tuberkulosis milier. Ini terjadi bila fokus nekrotik merusak
pembuluh darah sehingga banyak organisme masuk ke dalam sistem vaskuler dan
tersebar kedalam sistem vaskuler ke organ-organ tubuh (Price, & Wilson, 2013).

6. Mekanisme TB MDR
Multidrug resistant tuberculosis (MDR Tb) adalah Tb yang disebabkan oleh
Mycobacterium Tuberculosis resisten secara in vitro terhadap isoniazid (H) dan
rifampisin (R) dengan atau tanpa resisten obat lainnya. Terdapat 2 jenis kasus
resistensi obat yaitu kasus baru dan kasus telah diobati sebelumnya. Kasus baru
resisten obat Tb yaitu terdapatnya galur M. Tb resisten pada pasien baru didiagnosis
Tb dan sebelumnya tidak pernah diobati obat antituberkulosis (OAT) atau durasi
terapi kurang 1 bulan. Pasien ini terinfeksi galur M. Tb yang telah resisten obat
disebut dengan resistensi primer. Kasus resisten OAT yang telah diobati sebelumnya
yaitu terdapatnya galur M. Tb resisten pada pasien selama mendapatkan terapi Tb
sedikitnya 1 bulan. Kasus ini awalnya terinfeksi galur M Tb yang masih sensitif obat
tetapi selama perjalanan terapi timbul resistensi obat atau disebut dengan resistensi
sekunder (acquired).
Secara mikrobiologi resistensi disebabkan oleh mutasi genetik dan hal ini
membuat obat tidak efektif melawan basil mutan. Mutasi terjadi spontan dan berdiri
sendiri menghasilkan resistensi OAT. Sewaktu terapi OAT diberikan galur M. Tb
wild type tidak terpajan. Diantara populasi M. Tb wild type ditemukan sebagian kecil
mutasi resisten OAT. Resisten lebih 1 OAT jarang disebabkan genetik dan biasanya
merupakan hasil penggunaan obat yang tidak adekuat. Sebelum penggunaan OAT
sebaiknya dipastikan M. Tb sensitif terhadap OAT yang akan diberikan. Sewaktu
penggunaan OAT sebelumnya individu telah terinfeksi dalam jumlah besar populasi
M. Tb berisi organisms resisten obat. Populasi galur M. Tb resisten mutan dalam
jumlah kecil dapat dengan mudah diobati. Terapi Tb yang tidak adekuat menyebabkan
proliferasi dan meningkatkan populasi galur resisten obat. Kemoterapi jangka pendek
pasien resistensi obat menyebabkan galur lebih resisten terhadap obat yang digunakan
atau sebagai efek penguat resistensi. Penularan galur resisten obat pada populasi juga
merupakan sumber kasus resistensi obat baru.Meningkatnya koinfeksi Tb HIV
menyebabkan progresi awal infeksi MDR Tb menjadi penyakit dan peningkatan
penularan MDR Tb.

7. Komplikasi
Menurut Ardiansyah (2012), komplikasi TB Paru terdiri dari komplikasi dini dan
komplikasi lanjut, yakni :
a. Komplikasi Dini
1) Pleuritis
2) Efusi pleura
3) Empiema
4) Laringitis, dan
5) TB usus
b. Komplikasi Lanjut
1) Obstruksi jalan napas
2) Kor pulmonale
3) Amiloidosis
4) Karsinoma paru, dan
5) Sindrom gagal napas

8. Pemeriksaan Diagnosis
Batuk yang lebih dari 2 minggu setelah dicurigai berkontak dengan pasien
tuberkulosis dapat diduga sebagai tuberkulosis. Pemeriksaan dilanjutkan dengan
pemeriksaan sebagai berikut :
a. kultur sputum: positif untuk mycobacterium pada tahap akhir penyakit.
b. Ziehl Neelsen: (pemeriksaan asam cepat pada gelas kaca untuk usapan cairan
darah), positif untuk basil asam cepat.
c. Tes kulit: (ppd, mantoux, potongan vollmer); reaksi positif (area durasi 10mm)
terjadi 42-72 jam setelah injeksi intra dermal. antigen menunjukkan infeksi masa
lalu dan adanya antibodi tetapi tidak secara bearti menunjukkan penyakit aktif.
d. Elisa/Westrn blot: dapat menyatakan adanya HIV
e. Foto thorax: dapat menunjukkan infiltrasi lesi awal pada area paru atas, simpanan
kalsium lesi sembuh primer atau efusi cairan, perubahan menunjukkan lebih luas
TB dapat masuk rongga area fibrosa.
f. Histologi atau kultur jaringan ( termasuk pembersihan gaster, urine, dan cairan
serebrospinal, biopsi kulit) positif untuk mycobacterium tuberculosis.
g. Biopsi jarum pada jaringan paru; positif untuk granula TB, adanya sel raksasa
menunjukkan nekrosis.
h. Pemeriksaan fungsi paru ; penurunan kapasitas vital, peningkatan ruang mati,
peningkatan rasio udara residu dan kapasitas paru total dan penurunan saturasi
oksigen sekunder terhadap infiltrasi parenkhim/fibrosis, kehilangan jaringan paru
dan penyakit pleural (TB Paru kronis luas) (Bararah, & Jauhar,2013).

9. Penatalaksanaan Medis dan Keperawatan


a. Penatalaksanaan Medis
Tuberkulosis paru diobati terutama dengan agen kemoterapi (agen antituberkulosis)
selama periode 6 sampai 12 bulan. Lima medikasi garis depan digunakan adalah
Isoniasid ( INH ), Rifampisin ( RIF ), Streptomisin ( SM ), Etambutol ( EMB ), dan
Pirazinamid ( PZA ). Kapremiosin, kanamisin, etionamid, natrium para-aminosilat,
amikasin, dan siklisin merupakan obat – obat baris kedua (Smeltzer & Bare, 2001).
Pada dasarnya strategi pengobatan pasien TB MDR mengacu kepada strategi DOTS.
1. Semua pasien yang sudah terbukti sebagai TB MDR dipastikan dapat mengakses
pengobatan TB MDR yang baku dan bermutu.
2. Paduan OAT untuk pasien TB MDR adalah paduan standar yang mengandung
OAT lini kedua. Paduan OAT tersebut dapat disesuaikan bila terjadi perubahan
hasil uji kepekaan M. tuberculosis dengan paduan baru yang ditetapkan oleh
TAK.
Bila diagnosis TB MDR telah ditegakkan, sebelum pengobatan dimulai, akan
dlakukan persiapan awal, termasuk pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang
bertujuan untuk mengetahui data awal berbagai fungsi organ (ginjal, hati, jantung)
dan elekrolit. Jenis pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah sama dengan
jenis pemeriksaan untuk pemantauan efek samping obat.
Persiapan sebelum pengobatan dimulai adalah:
1. Pemeriksaan fisik:
a. Anamnesa ulang untuk memastikan kemungkinan adanya riwayat dan
kecenderungan alergi obat tertentu, riwayat penyakit terdahulu seperti
sakit kuning (hepatitis), diabetes mellitus, gangguan ginjal, gangguan
kejiwaan, kejang, kesemutan sebagai gejala kelainan saraf tepi (neuropati
perifer). dll..
b. Pemeriksaan fisik diagnostik termasuk berat badan, fungsi penglihatan,
pendengaran, tanda-tanda kehamilan. Bila perlu dibandingkan dengan
pemeriksaan sebelumnya saat pasien berstatus sebagai suspek TB MDR.
2. Pemeriksaan kejiwaan.
Pastikan kondisi kejiwaan pasien sebelum pengobatan TB MDR dimulai, hal ini
berguna untuk menetapkan strategi konseling yang harus dilaksanakan sebelum,
selama dan setelah pengobatan pasien selesai.
3. Pemeriksaan penunjang :
a. Pemeriksaan dahak mikroskopis, biakan dan uji kepekaan M.tuberculosis.
b. Pemeriksaan darah tepi lengkap, termasuk kadar hemoglobin (Hb), jumlah
lekosit.
c. Pemeriksaan kimia darah:
 Faal ginjal: ureum, kreatinin
 Faal hati: SGOT, SGPT.
 Serum kalium
 Asam Urat
 Gula Darah
d. Pemeriksaan hormon bila diperlukan: Tiroid stimulating hormon (TSH)
e. Tes kehamilan.
f. Foto dada/ toraks.
g. Tes pendengaran ( pemeriksanaan audiometri)
h. Pemeriksaan EKG
i. Tes HIV (bila status HIV belum diketahui)
b. Penatalaksanaan Keperawatan
1) Promotif
 Penyuluhan kepada masyarakat tentang TB
 Pemberitahuan baik melalui spanduk/iklan tentang bahaya TBC, cara
penularan, cara mencegah dan faktor resiko
 Mensosialisasikan BCG di masyarakat
2) Preventif
 Vaksinasi BCG
 Menggunakan isoniazid (INH)
 Membersihkan lingkungan dari tempat kotor dan lembab
 Bila ada gejala-gejala TBC segera ke puskesmas/rumah sakit , agar dapat
diketahui secara dini
c. Penatalaksanaan TB MDR
Bila diagnosis TB MDR telah ditegakkan, sebelum pengobatan dimulai, akan
dilakukan persiapan awal, termasuk pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan
penunjang bertujuan untuk mengetahui data awal berbagai fungsi organ (ginjal, hati,
jantung) dan elekrolit. Jenis pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah sama
dengan jenis pemeriksaan untuk pemantauan efek samping obat.
Pada dasarnya strategi pengobatan pasien TB MDR mengacu kepada strategi DOTS.
1) Semua pasien yang sudah terbukti sebagai TB MDR dipastikan dapat
mengakses pengobatan TB MDR yang baku dan bermutu.
2) Paduan OAT untuk pasien TB MDR adalah paduan standar yang mengandung
OAT lini kedua. Paduan OAT tersebut dapat disesuaikan bila terjadi
perubahan hasil uji kepekaan M. tuberculosis dengan paduan baru yang
ditetapkan oleh TAK
Derectly observed treatment short course (DOTS) yang direkomendasikan oleh
WHO yang terdiri dari lima komponen yaitu:
1. Adanya komitmen politis berupa dukungan pengambilan keputusan dalam
penanggulanganTuberculosis paru.
2. DiagnosisTuberculosis paru melalui pemeriksaan dahak secara mikroskopik
langsung sedangkan pemeriksaan penunjang lainnya seperti pemeriksaan
raiologis dan kultur dapat dilaksanakan di unit pelayanan yang memiliki sarana
tersebut.
3. Pengobatan Tuberculosisparu dengan panduan OAT jangka pendek dengan
pengawasan langsung oleh pengawas menelan obat (PMO) khususnya dalam 2
bulan pertama dimana penderita harus minum obat setiap hari.
4. Kesinambungan persediaan OAT janka pendek yang cukup pencatatan dan
pelaporan yang baku.
5. Berdasarkan berbagai pertimbangan, WHO merekomendasikan paduan obat anti
tuberculosis harus sesuai dengan kategori penyakit yaitu kategori yang didasarkan
atas kasus yang dijelaskan diatas.
Sehingga penderita TB dapatlah dibagi dalam 4 kategori yaitu kategori I -IV.
Panduan OAT Indonesia:
a. Kategori I
Kasus baru dengan dahak positif dan penderita dengan keadaan yang seperti
meningitis, TB milier, pericarditis, peritonitis, pleuritis massif atau bilateral,
spondylitis dengan gangguan neurologic, penderita dengan dahak negatif tetapi
kelainan parunya luas, TB usus, TB saluran kemih.
Tahap intensif terdiri dari Isoniasid (H), rifampisin (R), pirasinamid (Z), dan
etambutol (E).Obat-obat tersebut diberikan setiap hari selama 2 bulan
(2HRZE).Kemudian diteruskan dengan tahap lanjutan yang terdiri dari
isoniazid (H) dan rifampisin(R), diberikan 3 kali dalam seminggu selama 4
bulan (4H3R3). Obat ini diberikan untuk:
1) Penderita baru Tuberculosis paru BTA positif.
2) Penderita Tuberculosis paru BTA negatif, rontgen positif, dan yang sakit
berat.
3) Penderita tuberculosis paru ekstra paru berat.
b. Kategori II
Kasus kambuh atau gagal dengan dahak tetap positif, tahap intensif diberikan
selama 3 bulan, yang terdiri dari 2 bulan dengan isonisid (H),pirasinamid (Z),
etambutol (E), dan suntikan streptomisin setiap hari. Dilanjutkan 1 bulan
dengan isoniazid (H), rifampisin (R), pirasinamid (Z), dan etambutol (E) setiap
hari.Setelah itu diteruskan dengan tahap lanjutan selama 5 bulan dengan (HRE)
yang diberikan 3 kali seminggu.Perlu diperhatikan bahwa suntikan streptomisin
diberikan setelah penderita selesai menelan obat. Obat-obat ini di berikan
untuk:
1) Penderita kambuh (relaps)
2) Penderita gagal (failure)
3) Penderita dengan pengobatan setelah lalai (after defauld)
c. Kategori III
Kasus dengan dahak negatif tetapi kelainan parunya tidak luas dan kasus TBC
di luar paru selain dari yang disebut dalam kategori I.\
Tahap intensif terdiri dari (HRZ) diberikan setiap hari selama 2 bulan (2HRZ),
diteruskan dengan tahap lanjutan terdiri dari (HR) selama 4 bulan diberikan 3
kali seminggu (4 H3R3). Obat ini di berikan:
1) Penderita baru BTA negatif dan rontgen positif sakit ringan.
2) Penderita ekstra paru ringan, yaitu TBC kelenjer limfa, pleuritis, TBC kulit,
TBC tulang, sendi dan kelenjer adrenal.
d. Kategori IV
Bila pada tahap intensif pengobatan penderita baru BTA positif dengan
kategori I atau penderita BTA positif pengobatan berulang dengan kategori
II.Hasil pemerikasaan dahak masih BTA positif, diberikan obat sisipan (HRZE)
setiap hari selama 1 bulan.
Untuk menjamin kepatuhan penderita menelan obat, pengobatan perlu
dilakukan dengan pengawasan langsung (DOT = directly observed treatment)
oleh seorang pengawas menelan obat (PMO). (DEPKES RI, Dalam buku
gangguan respirasi, 2013).
Obat-obat Tuberculosis paru yang ada sekarang digolongkan dalam dua jenis
yaitu baktrisidal dan bakteristatik.Termasuk dalam golongan bakterisidal
adalah isoniazid (H), rifampisin (R), pirazinamid (Z), streptomisin
(S).Sedangkan etambutol (E) termasuk golongan bakteriostatik.Kelima obat
diatas termasuk obat utama TBC (first-line antituberculosis drugs).Yang
termasuk dalam OAT (second antituberculosis drugs) adalah para-
aminosalicylic acid (PAS), ethionamid, sikloserin, kanamisin, dan kapreomisin.
Obat anti TBC sekunder ini kurang efektif juga lebih toksik, sehingga kurang
dipakai lagi (Taufan, 2013).

10. Tindakan Pencegahan


Upaya tindakan pencegahan TB Paru dapat berupa:
a. Kebersihan harus dijaga, baik pada diri sendiri maupun lingkungan.
b. Hentikan kebiasaan merokok.
c. Tutup mulut apabila batuk.
d. Hindari berbagai macam polusi.
e. Imunisasi BCG.
f. Bila menyusui anak, gunakan penutup hidung dan mulut.
g. Jangan membuang ludah dan dahak sembarangan.
h. Usahakan dirumah cukup udara dan sinar matahari.
i. Usahakan makan makanan yang bergizi (Afif,2014)
B. Konsep asuhan keperawatan pada kasus Tuberculosis paru

1. Pengkajian
Data-data yang perlu dikaji pada asuhan keperawatan dengan tuberculosis paru
(Somantri, 2013)
a. Identitas klien dan keluarga
1) Data pasien dan identitas klien
Nama, umur, jenis kelamin, alamat, pendidikan, tanggal masuk, dan cara
masuk
2) Identitas penanggung jawab
Nama, umur pekerjaan, alamat, dan hubungan dengan klien.
b. Riwayat kesehatan
1) Keluhan utama
a) Demam: subfebris,febris (40-41 derajat celcius) pada malam hari,
demamnya hilang timbul.
b) Batuk: terjadi karena adanya iritasi pada bronkus, batuk ini terjadi untuk
membuang atau mengeluarkan produksi radang yang dimulai dari batuk
kering sampai dengan batuk purulent(menghasilkan sputum).
c) Sesak nafas: bila sudah lanjut dimana infiltrasi radang sampai setengah paru-
paru.
d) Nyeri dada: jarang ditemukan, nyeri akan timbul bila infiltrasi radang
sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis.
e) Malaise: ditemukan berupa anoreksia, nafsu makan menurun,berat badan
Turun, sakit kepala, nyeri otot, dan keringat malam.
f) Perlu ditanyakan dengan siapa pasien tinggal, karena biasanya penyakit ini
Muncul bukan karena penyakit keturunan tetapi merupakan penyakit infeksi
menular.
g) Terjadi penurunan berat badan
2) Riwayat kesehatan sekarang
Didapatkan adanya keluhan keadaan pernafasan pendek yaitu nafas pendek,
nyeri pada bagian dada, batuk yang tidak sembuh-sembuh dalam jangka waktu
3 minggu dan disertai dengan sputum, demam, nafsu makan menurun, berat
badan turun drastic, sesak nafas, dan bila sudah parah terjadi batuk darah.
3) Riwayat penyakit keluarga
Riwayat adanya penyakit Tuberculosis Paru pada anggota keluarga yang lain
sangat menentukan, karena penyakit Tuberculosis paru adalah penyakit yang
menular yang bisa ditularkan melalui udara dan percikan atau bercak ludah
(droplet).
4) Riwayat penyakit dahulu
Pengkajian yang mendukung adalah penderita Tuberculosis Paru biasanya
dengan keluhan batuk lama pada saat masa kecil, tanyakan obat-obat yang
pernah diminum klien pada masa lalu, dan kaji apakah seberapa jauh
penurunan berat badan klien selama enam bulan terakhir.
c. Pola Fungsional Gordon
1. Pola pemeliharaan kesehatan
Adanya riwayat keluarga yang mengidap penyakit tuberculosis paru, Kebiasaan
merokok atau minum alcohol, Lingkungan yang kurang sehat, pemukiman
padat, ventilasi rumah yang kurang.
2. Pola nutrisi & Metabolik
Biasanya ditemukan adanyanya gangguan nutrisi karena pasien Tuberculosis
paru biasanya mengalami anoreksia, mual, tidak enak diperut, tidak nafsu
makan, dan terjadi penurunan berat badan.
3. Pola eliminasi
Biasanya tidak selalu ditemukan kesulitan dan kelainan eliminasi pada pasien
Tuberculosis paru.
4. Pola aktifitas dan latihan
Biasanya pada pasien Tuberculosis paru susah untuk beraktifitas Karena
biasanya pasien Tuberculosis paru mengalami sesak nafas sehingga jika terlalu
bnyak beraktifitas pasien mengalami sesak nafas, dan juga pasien Tuberculosis
paru seering mengalami keletihan, sehingga tidak bisa beraktifitas.
5. Pola tidur akan istirahat
Biasanya pada pasien Tuberculosis paru mengalami kesukaran untuk tidur
karena mengalami sesak nafas dan juga gelisah, dan juga biasanya mengalami
nyeri dada meningkat karena batuk berulang, dan juga kesulitan tidur dimalam
hari karena menggil atau berkeringat pada malam hari.
6. Pola persepsi dan konsep diri
Adakah pengaruh dari gangguan atau penyakitnya terhadap dirinya dan keluarga
serta apakah gangguan yang dialami mempunyai pengaruh terhadap peran
sebagai istri atau suami dalam hubungan rumah tangga.
7. Pola hubungan dan peran
Klien dengan Tb paru akan mengalami perasaan isolasi karena merasa ini
penyakit menular.
8. Pola sensori dan kognitif
Daya panca indra tidak mengalami penurunan fungsi
9. Pola koping dan penanggulangan stres
Dengan proses pengobatan yang panjang dan lama akan mengakibatkan pasien
dengan Tb paru mengalami stres dan penolakan terhadap pengobatan
10. Pola Nilai dan kepercayaan
Sesak nafas, nyeri, dan batuk menyebabkan pasien merasa terganggu dengan
ibadah
11. Pola reproduksi dan seksual
Pasien dengan Tb paru akan mengalami perubahan pola seksualitas
d. Pemeriksaan fisik sistem pernafasan
1) Inspeksi
Bentuk Dada
Besar rongga toraks bervariasi berdasarkan umur, pada orang dewasa diameter
anterior – posterior lebih kecil dari diameter transversal, sedangkan pada anak
diameter antero posterior dengan diameter tranversal hampir sama.
Dibawah ini terdapat beberapa contoh kelainan bentuk bentuk pada dinding
toraks :
1. Pigeon chest sternum ½ distal melengkung ke anterior, bagian lateral dinding thorax
kompressi ke medial (seperti dada burung), etiologi ricketsia dan kelainan congenital.
2. Funnel chest, yaitu bagian distal dari sternum terdorong kedalam/mencekung.
Penyebabnya adalah penyakit ricketsia/congenital
3. Flat chest, yaitu diameter anterioposterior memendek. Etiologinya adalah adanya
bilateral pleuro pulmonary fibrosis.
4. Barrel chest (Thorax emfisematous), yaitu diameter anteroposterior memanjang
dengan ciri ciri:
 Iga-iga mendatar
 Sela iga melebar
 Sudut epigastrium tumpul
 Diafragma mendatar

Terdapat pada Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)


5. Unilateral Flattening : salah satu hemi thoraks menjadi lebih pipih, contoh
pada fibrosis paru atau fibrosis pleura (schwarte)
6. Unilateral prominence, contoh :
 Efusi Pleura yang banyak
 Pneumo thorax
 Tumor paru
7. Scoliosis dari vertebra thoracalis yaitu perubahan bentuk dari rongga thoraks
akibat vertebra bengkok ke kiri atau ke kanan.
 Pergerakan Pernapasan
Pengembangan rongga toraks terjadi akibat aktivitas otot pernapasan dan
secara pasif kemudian terjadi ekspirasi, frekwensi pernapasan normal orang
dewasa 16-20x/mnt, dan pada bayi baru lahir normal 44x/menit dan secara
gradual berkurang dengan bertambahnya umur.
Pernapasan Abnormal :
1. Dyspnea: keluhan objektif dimana orang akan merasakan susah/sesak
bernapas, dapat terjadi pada:
 Exercise
 Obesitas
 Penyakit jantung
 Penyakit paru
 Anemia
 Hipertiroidisme
 Neurosirkulatory
 Asthenia
2. Orthopnea : sesak napas kalau posisi tidur dan berkurang kalau posisi duduk.
3. Kusmaull breathing; pernpasan cepat dan dalam, misal pada keadaan
asidosis.
4. Asthmatic breathing ; pernapasan dengan ekspirasi memanjang disertai
wheezing dapat ditemukan pada asma bronchial dan PPOK
5. Cheyne stokes breathing, pernapasan periodic secara bergantian antara
pernapasan cepat (hipernea) dengan apnea. Apnea dapat terjadi sampai 30
detik, pasien dapat tertidur pada periode ini.
6. Biot’s breathing ; pernapasan yang tak teratur, contoh :
 Trauma capitis
 Meningo ensefalitis
 Tumor cerebral
2) Palpasi
Pada pemeriksaan palpasi sistem respirasi dapat dilakukan pemeriksaan ; palpasi
trakea, palpasi KGB leher dan supra clavikula, palpasi keseluruhan dinding
dada, pemeriksaan pengembangan dinding thoraks dan pemeriksaan Tactil
fremitus dinding toraks.
Selain itu dengan palpasi dapat juga menentukan kelainan di perifer seperti
kondisi kulit; (basah atau kering), adanya demam, arah aliran vena dikulit pada
vena yang terbendung (venaectasi), tumor dll.
Pemeriksaan palpasi juga dapat menilai pengembangan dinding toraks.
Pemeriksaa pengembananagan dinding toraks dengan cara pemeriksa
menempelkan tangan pada dinding toraks bagian bawah dengan kedua ibu jari
bertemu pada garis tengah tubuh ( mid sternalis / vertebralis) dan jari yang lain
mengarah sisi kiri dan kanan dinding toraks, pasien disuruh inspirasi dalam
sambil memperhatikan pergerakan dari kedua ibu jari pemeriksa apakah
pergerakan simetris atau ada yang tertinggal).
Pemeriksaan fremitus
 Pemeriksa menempelkan telapak tangan dan jari jari tangan pada dinding
dada. kemudian pasien disuruh mengucapkan kata kata seperti 77, dengan
nada yang sedang. Bandingkan getaran yang timbul antara hemithorax kiri
dan kanan secara simetris dengan cara menyilangkan tangan pemeriksa
secara bergantian.
a. Fremitus meningkat bisa ditemukan pada :
 Infiltrat paru
 Compressive atelektasis
 Cavitas paru
b. Fremitus menurun pada :
 Penebalan pleura
 Efusi pleura
 Pneumothorax
 Emfisema paru
 Obstruksi dari bronkus
3) Perkusi
Dengan pemeriksaan perkusi / ketot pada dinding toraks akan menggetarkan
udara yang ada dalam dalam paru. Bunyi yang dihasilkan tergantung dari
banyak sedikitnya udara yang ada dalam rongga dada. Penilaiananya dapat
dikelompokan sebagai berikut;
Teknik dari perkusi
Pada pemeriksaan perkusi penderita bisa dalam posisi tidur dan bisa
dalam posisi duduk. Pemeriksa menggunakan jari tengah tangan kiri yang
menempel pada permukaan dinding toraks, tegak lurus dengan iga atau sejajar
dengan iga disebut sebagai flexi meter. Sementera jari tengah tangan kanan
digunakan sebagai pemukul (pengetok) disebut flexor.
Perkusi pada diding toraks depan dapat dilakukan pada posisi tidur
telentang, jika pasien duduk kedua tangan pada paha dengan flexi pada sendi
siku. Perkusi dimulai dari lapangan atas paru menuju ke lapangan bawah
sambil membandingkan bunyi perkusi antara hemi toraks kanan dan hemi
toraks kiri.
Pemeriksaan perkusi dinding toraks belakang dilakukan pada posisi
pasien duduk membelakangi pemeriksa, jika pasien tidur oleh karena, tidak
dapat duduk maka untuk perkusi daerah punggung, posisi pasien dimiringkan
kekiri dan kekanan bergantian.
Jenis bunyi perkusi dinding thoraks:
a. Suara perkusi normal dari toraks pada lapangan paru disebut sonor ( resonance)
b. Perkusi pada infiltrat paru dimana parenkim lebih solid mengandung sedikit udara)
perkusi akan menghasilkan redup (dullness).
c. Perkusi pada efusi pleura masif atau massa tumor yang besar suara perkusi pekak
( (flatness.)
d. Hiperinflasi dari paru dimana udara tertahan lebih banyak dalam alveoli atau adanya
udara didalam rongga pleura (pnemothorax) menghasilkan perkusi (hipersonor).
e. Adanya udara dalam lambung menimbulkan suara perkusi ( timpani.)
4) Auskultasi

Auskultasi paru dilaksanakan secara indirect yaitu dengan memakai


stetoskop. Sebelum ditemukan stetoskop auskultasi dilakukan secara direct
dengan menempelkan telinga pemeriksa pada permukaan tubuh orang sakit. Ada
dua tipe dari stetoskop yaitu Bell type untuk mendengar nada-nada yang lebih
rendah dan Bowel atau membran type untuk nada-nada yang lebih tinggi.
Umumnya setiap stetoskop dilengkapi dengan kedua tipe ini. Posisi penderita
sebaiknya duduk seperti melakukan perkusi. Kalau pasien tidak bisa duduk,
auskultasi dapat dilaksanakan dalam posisi tidur. Pasien sebaiknya disuruh
bernapas dengan mulut tidak melalui hidung.
a. Suara Napas Vesikuler.
Pada suara napas vesikuler, suara inspirasi lebih keras, lebih panjang
dan pitchnya (nada) lebih tinggi dari suara ekspirasi. Suara napas vesikuler
terdengar hampir diseluruh lapangan paru, kecuali pada daerah supra sternal
dan interscapula. Suara vesikuler dapat mengeras pada orang kurus atau post
“exercise” dan melemah pada orang gemuk atau pada penyakit-penyakit
tertentu.
b. Suara Napas Bronkial / Trakeal
Pada suara napas bronkial, suara napas ekspirasi, intensitasnya lebih
keras, durasinya lebih panjang dan nadanya lebih tinggi dari suara inspirasi,
terdapat pada daerah supra sternal. Suara napas trakeal hampir sama dengan
suara napas bronkial tetapi durasi ekspirasi hampir sama antara ekspirasi
dengan inspirasi, terdengar pada daerah trakea.
Ditemukanya bunyi napas bronkial pada daerah yang seharusnya
suaran napas vesikuler, hal ini dapat disebabkan oleh pemadatan dari
parenkim paru seperti pada pneumonia dan kompresive atelektase.
c. Suara Napas Bronkovesikuler
Pada bunyi napas bronkovesikuler, suara yang timbul adalah campuran antara
suara napas vesikuler dan bronkial. Jenis suara napas ini ditandai dengan
ekspirasi lebih keras, lebih lama dan nadanya lebih tinggi dari inspirasi.
Suara napas tambahan
1) Ronki (Rales)
adalah suara tambahan yang dihasilkan oleh aliran udara melalui saluran napas
yang berisi sekret / eksudat atau akibat saluran napas yang menyempit atau oleh
oedema saluran napas. Ada dua jenis ronchi yaitu ronki basah (moist rales) dan
ronki kering (dry rales).
 Ronki basah
Ronki basah adalah suara tambahan disamping suara napas, yaitu bunyi
gelembung-gelembung udara yang melewati cairan (gurgling atau bubling)
terutama pada fase inspirasi. Ronchi basah disebabakan oleh adanya eksudat atau
cairan dalam bronkiolus atau alveoli dan bisa juga pada bronkus dan trakea.
 Ronki kering
Ronki kering disebabkan lewatnya udara melalui penyempitan saluran napas,
inflamasi atau spasme saluran napas seperti pada bronchitis atau asma bronchial.
Ronchi kering lebih dominant pada fase expirasi terdengar squeking dan
grouning, pada saluran yang lebih besar adalah deep tone grouning (sonorous)
dan pada saluran yang lebih kecil terdengar squeking dan whistling (sibilant).
Ronchi kering dengan berbagai kwalitas frekwensi pitchnya disebut musical rales
(seperti pada penderita asma bronchial)
2) Pleural friction
Terjadinya bunyi pergeseran antara pleura parietal dengan pleura viseral waktu
inspirasi disebut Pleura friction. Dapat terjadi pada pleuritis fribrinosa. Lokasi yang
sering terjadi pleura friction adalah pada bagian bawah dari axilla, namun dapat
juga terjadi di bagian lain pada lapangan paru. Terdengar seperti menggosok ibu
jari dengan jari telunjuk dengan tekanan yang cukup keras pada pangkal telinga
kita, terdengar pada fase inspirasi dan ekspirasi.
3) The Whispered Voice (Suara berbisik)
Dalam keadaan tidak memungkinkan untuk melakukan pemeriksaan suara napas
secara memuaskan, misalnya nyeri dada bila bernapas atau keadaan keletihan,
maka dapat dilakukan pemeriksaan suara berbisik (the whispered voice). Dimana
pasien disuruh mengucapkan kata 77 (tujuh puluh tujuh) secara berbisik sementara
pemeriksa mendengarkan dengan stetoskop pada seluruh lapangan paru.
Bronchophoni
Vocal sound (suara biasa) bila didengarkan pada dinding thorax (lapangan
paru) akan terdengar kurang keras dan kurang jelas dan terdengar jauh. Bila
terdengar lebih keras, lebih jelas dan pada pangkal telinga pemeriksaan disebut
bronchoponi positif terdapat pada pemadatan parenkim paru, misal pada infiltrat
dan aktelektasis kompresif.
4) Eugophoni
Eugophoni yaitu bronchophoni yang terdengar nasal, biasanya disebabkan oleh
kompresif atelektasis akibat dorongan efusi pleura pada parenkim paru terdengar
pada perbatasan cairan dengan parenkim paru.
e.Pemeriksaan fisik Head To Toe
1. Keadaan umum
1) Kesadaran : umumnya pasien dengan kesadaran composmentis
2) Tanda-tanda vital : Periksa apakah pasien mengalami demam, denyut nadi
berfariasi, pernafasan cepat, dan tekanan darah nya apakah terjadi hipertensi
atau hipotensi.
2. Kepala
Periksa apakah wajah tampak pucat, sklera ikterik, konjungtifa anemis, bibir
sianosis, dan kadang-kadang menetes darah pada hidung.
3. Thorax
Periksa apakah terjadi peningkatan frekuensi pernafasan, perkusi terdengar
bunyi pekak bila mengenai pleura dan terjadi efusi pleura ,ronkhi basah, kasar
dan nyaring, hypersonor atau timpani bila terdapat kavitas yang cukup, dan
penurunan fremitus, bunyi nafas tubuler, inspirasi cepat.
4. Jantung
Inspeksi     : biasanya ictus cordis tidak terlihat.
Palpasi       : biasanya ictus cordis teraba 2 jari.
Perkusi      : biasanya bunyi redup
auskultasi  : biasanya irama jantung cepat
5. Perut/Abdomen
Inspeksi    : biasanya perut nya datar
Auskultasi : biasanya terjadi penurunan bising usus.
Palpasi      :, tidak ada masa
Perkusi      : baiasanya tidak kembung
6. Genitelia
Biasanya keadaan dan kebersihan genetalia pasien baik. Biasanya pasien
terpasang kateter.
7. Kulit
Periksa apakah turgor kulit jelek, kulit kering atau bersisik, kehilangan lemak
sub kutan, pada malam hari muncul keringat dingin.
8. Ekstermitas
Periksa apakah akral dingin, kuku sianosis, ekstermitas atas dan bawah normal.
f. Data penunjang
Pemeriksaan laboratorium :
a) Darah
Pada saat tuberculosis baru mulai aktif akan didapatkan jumlah leukosit
meninggi, dan jumlah limfosit dibawah normal.
b) Sputum
Pada pemeriksaan sputum kriteria BTA positif yaitu ditemukan sekurang-
kurangnya 3 batang kuman BTA pada satu sediaan, dengan kata lain ditemukan
5000 kuman dalam 1 ml sputum.
c) Tes tuberculin
Pemeriksaan ini masih banyak digunakan untuk membantu menegakkan
diagnosis tuberculosisterutama pada anak-anak.
d) Foto thoraks
Foto thoraks merupakan pemeriksaan radiologi standar,untuk menunjang
menegakkan diagnosis tuberculosis paru.

2. Kemungkinan diagnosa keperawatan yang muncul ( NANDA 2015-2017)


Berdasarkan data dari hasil pengkajian yang didapatkan kemungkinan diagnosa yang
muncul adalah:
a. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas
b. Gangguan pertukaran gas
c. Hipertermia
d. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
e. Resiko infeksi
3. Rencana Keperawatan
NO Diagnosa NOC NIC
1. Ketidakefektifan bersihan
jalan nafas NOC a. Airway Management
Aktivitas :
Definisi: a. Respiratory status : Airway 1) Buka jalan nafas menggunakan
patency teknik HTCL atau jaw thrust
Ketidakmampuan b. Respiratory status : 2) Posisikan pasien untuk
membersihkan sekresi atau Ventilation memaksimalkan ventilasi
obstruksi saluran napas 3) Lakukan fisioterapi dada jika
untuk mempertahankan Kriteria Hasil: perlu.
bersihan jalan napas. - mendemonstrasikan batuk 4) Auskultasi suara nafas, catat
Batasan karakteristik : efektif dan suara nafas yang adanya suara nafas tambahan.
a. Batuk yang tidak efektif bersih, tidak ada sianosis, 5) Monitor respirasi dan status O2
b. Dispnea dan dyspneu (mampu
c. Ortopnea mengeluarkan sputum, b. Airway Suctioning
d. Penurunan bunyi napas mampu bernafas dengan Aktivitas :
e. Perubahan frekuensi napas mudah, tidak ada pursed 1) Lakukan hand hygiene
f. Perubahan pola napas lips) 2) Gunakan APD
g. Suara napas tambahan - menunjukkan jalan nafas 3) Auskultasi suara nafas sebelum
yang paten (klien tidak dan sesudah suctioning
Faktor yang berhubungan: merasa tercekik, irama 4) Berikan informasi pada
- lingkungan: nafas, frekuensi pernafasan keluarga pasien tentang
Perokok pasif dalam rentang normal, tindakan suction
Mengisap asap tidak ada suara nafas 5) Monitor status oksigen pasien
Merokok abnormal) 6) Monitor dan catat warna
- Obstruksi jalan nafas: - mampu sputum, konsntrasi
Spasme jalan nafas mengidentifikasikan dan
Mokus dalam jumlah mencegah faktor yang c. Cough Enhancement
berlebih dapat menghambat jalan Aktivitas:
Eksudat dalam jalan nafas 1) Monitor status fungsi
alveoli pulmonary
Materi asing dalam jalan 2) Bantu pasien untuk mengatur
nafas posisi duduk dengan kepala
Adanya jalan nafas buatan sedikit menekuk, bahu relaks,
Sekresi bertahan dan lutut tertekuk.
Sekresi dalam bronki 3) Dorong pasien untuk
- Fisiologis: melakukan latihan nafas dalam
Jalan nafas alergik 4) Dorong pasien untuk tarik nafas
Asma dalam selama dua detik dan
Penyakit paru obstruktif batukkan, lakukan dua atau tiga
kronik kali berturut turut
Infeksi 5) Instruksikan pasien untuk tarik
Disfungsi neuromuskular nafas dalam beberapa kali,
hembuskan nafas perlahan, dan
terakhir batukkan.

d. Oxgen Terapy
Aktivitas :
1) Pertahankan kepatenan jalan
nafas.
2) Atur peralatan oksigenasi.
3) Monitor aliran oksigen.
4) Pertahankan posisi pasien.
5) Observasi adanya tanda-tanda
hipoventilasi.
6) Monitor adanya kecemasan
e. Respiratory Monitoring
Aktivitas :
1) Monitor rata-rata, irama, dan
kedalaman saat bernafas
2) Perhatikan gerakan dada,
simetris, penggunaan dan
retraksi otot intercosta
3) Pantau suara nafas, apakah
mendengkur
4) Monitor status saturasi oksigen
5) Auskultasi suara nafas
6) Monitor kemampuan pasien
untuk batuk efektif
7) Catat durasi dan karakteristik
batuk
8) Monitor pernafasan pasien
9) Monitor adanya dyspnea
10)Monitor hasil rontgen toraks
11)Lakukan terapy pernafasan jika
dibutuhkan
f.Vital Signs Monitoring
Aktivitas :
1) Monitor TD, Nadi, Suhu, dan
status pernafasan
2) Catat adanya fluktuasi tekanan
darah
3) Monitor vital sign pasien saat
berbaring, duduk, berdiri
4) Auskultasi tekanan darah pada
kedua lengan dan bandingkan
5) Monitor TD, Nadi, RR
sebelum, selama dan setelah
aktivitas
6) Monitor kualitas nadi
7) Monitor adanya pulsus
paradoksus
8) Monitor jumlah dan irama
jantung
9) Monitor bunyi jantung
10)Monitor suara paru
11)Monitor pola pernafasan
abnormal
12)Monitor adanya sianosis perifer
13)Identifikasi penyebab dari
perubahan vital sign

2. Gangguan Pertukaran Gas NOC a. Airway Management


Definisi : - Respiratory Status: Gas Aktivitas :
Kelebihan atau defist exchange 1) Lakukan fisioterapi dada jika
oksigenasi dan/ eleminasi - Respiratory Status: perlu
karbon dioksida pada ventilation 2) Asukultasi suara nafas, catat
membran alveolar-kapiler. - Vital sign status adanya suara tambahan
3) Anjurkan pasien bernafas pelan
Batasan Karakteristik: Kriteria Hasil: dan dalam
a. Dispnea - Mendemonstrasikan 4) Atur posisi untuk mengurangi
b. Napas cuping hidung pengingkatan ventilasi dan dispnea
c. Takikardia oksigenasi yang adekuat 5) Monitor respirasi dan status O2
d. Pernapasan abnormal - Memelihara kebersihan
e. Gelisah paru-paru dan bebas dari b. Respiratory Monitoring
tanda distress pernafasan Aktivitas :
Faktor yang berhubungan: - Mendemonstrasikan batuk 1) Monitor rata-rata, kedalam irama,
- Perubahan membran efektif dan suara nafas ayng dan usaha respirasi
alveolar-kapiler bersih, tidak ada sianosis 2) Monitor pola nafas : takipnea
- Ventilasi-perfusi dan dyspneu 3) Observasi hasil pemeriksaan foto
- Tanda-tanda vital dalam thorax
rentang normal 4) Auskultasi suara nafas

c. Oxygen Therapy
Aktivitas :
1) Observasi aliran O2
2) Berikan therapy O2 sesuai
indikasi
3. Hipertermi NOC: NIC
Definisi: Thermoregulation Fever Treatment
Peningkatan suhu tubuh Aktivitas:
diatas kisaran normal Kriteria Hasil:
1) Monitor suhu sesering
Batasan karakteristik: - Suhu tubuh dalam rentang
- Konvulsi normal mungkin
- Kulit kemerahan - Nadi dan RR dalam rentang 2) Monitor IWL
- Peningkatan suhu tubuh normal 3) Monitor warna dan suhu
- Kejang - Tidak ada perubahan warna kulit
- Takikardi kulit dan tidak ada pusing 4) Monitor tekanan darah, nadi,
- Takipnea dan RR
- Kulit terasa hangat
5) Monitor WBC, Hb, dan Hct
Faktor yang berhubungan:
- ansietas 6) Monitor intake dan output
- Penurunan respirasi 7) Berikan antipiretik
- Dehidrasi 8) Berikan pengobatan untuk
- Pemajanan lingkungan mengatasi penyebab demam
yang panas 9) Selimuti pasien
- Penyakit 10) Lakukan tapid sponge
- Pemakaian pakaian yang
11) Kolaborasi pemberian cairan
tidak sesuai dengan suhu
lingkungan intravena
- Peningkatan laju 12) Kompres pasien pada lipatan
metabolisme paha dan aksila
- Medikasi 13) Tingkatkan sirkulasi udara
- Trauma 14) Berikan pengobatan untuk
- Aktivitas berlebihan mencegah terjadinya
menggigil
15) Monitor suhu minimal tiap 2
jam
Vital Sign Monitoring
Aktivitas:
1) Monitor TD, nadi, suhu dan
RR
2) Catat adanya fluktuasi
tekanan darah
3) Monitor VS saat pasien
berbaring, duduk, atau
berdiri
4) Monitor suara paru
5) Monitor pola pernapasan
abnormal
6) Monitor sianosis perifer
identifikasi penyebab dari
perubahan vital sign
4. Ketidakseimbangan a. Status Nutrisi a. Nutrition Management
Nutrisi Kurang Dari Indikator : Aktivitas :
Kebutuhan Tubuh 1) Intake nutrisi dalam 1) Tentukan status nutrisi pasien
Definisi : rentang normal dan kemampuan pasien dalam
Asupan nutrisi tidak cukup 2) Intake makanan dalam memenuhi kebutuhan tersebut
untuk memenuhi kebutuhan rentang normal 2) Tentukan kecenderungan
metabolik tubuh. 3) Intake minuman dalam pemilhan makanan pasien /
rentang normal identifikasi makanan yang
Batasan Karakteristik : 4) Rasio BB/TB dalam mebuat pasien alergi dan
a. Berat badan 20% atau rentang normal intoleran
lebih di bawah rentang 3) Ajarkan pasien atau keluarga
berat badan ideal b. Status Nutrisi: Hasil terkait nutrisi
b. Bising usus hiperaktif Labor Biokimia 4) Tentukan jumlah kalori dan jenis
c. Membran mukosa pucat Indikator : nutrien yang dibutuhkan untuk
d. Kerapuhan kapiler 1) Serum albumin dalam memenuhi kebutuhan nutrisi
rentang normal pasien
Faktor yang berhubungan: 2) Hematokrit dalam rentang 5) Ajarkan pasien atau keluarga
- Faktor biologis normal terkait kebutuhan diit
- Faktor ekonomi 3) Hemoglobin dalam rentang berdasarkanumur atau
- Ketidakmampuan untuk normal perkembangan meliputi :
mencerna makanan 4) Glukosa darah kalsium, protein, cairan, dan
- Ketidakmampuan BUN dalam rentang normal kalori.
menelan makanan 6) Monitor intake diet dan kalori
- Faktor psikologis pasien
7) Monitor peningkatan dan
penurunan berat badan pasien

b. Nutrition Therapy
Aktivitas :
1) Lengkapi pengkajian nutrisi
sesuai anjuran
2) Tentukan dan kolaborasikan
dengan ahli gizi terkait jumlah
kalori dan jenis nutrisi yang
dibutuhkan untuk memenuhi
kebutuhan nutrisi
3) Anjurkan pasien untuk
mengkonsumsi makanan tinggi
kalsium
4) Monitor hasil labor berkaitan
dengan status nutrisi pasien.
5) Berikan pada pasien atau
keluarga catatn contoh diit yang
ditentukan.

c. Nausea Management
Aktivitas :
1) Ajarkan pasien untuk memonitor
pengalaman mualnya
2) Ajarkan pasien untuk
mempelajari strategi-strategi
untuk mengatur mualnya
3) Lakukan pengkajian lengkap
terkait mual, meliputi frekuensi,
durasi, dan faktor presipitasi.
4) Evaluasi pengalaman-
pengalaman mual pasien
sebelumnya
5) Identifikasi faktor-faktor yang
menyebabkan mual pasien
sebelumnya
6) Berikan terapi anti emetik yang
diberikan untuk menghindari
terjadinya mual
7) Ajarkan teknik-teknik
nonfarmakologi, seperti
relaksasi, terpi musik, distraksi,
acupressure untuk mengatur mual
yang dirasakan oleh pasien

d. Nutrition Monitoring
Aktivitas :
1) Timbang berat badan pasien
2) Pantau perkembangan BMI
pasien
3) Monitor penurunan dan
peningkatan berat badanpasien
4) Identifikasi perubahan berat
badan yang terjadi baru-baru ini
pada pasien
5) Monitor turgor kulir pasien
6) Monitor mual dan muntah
7) Monitor intake diit dan kalori
pasien
8) Identifikasi perubahan nafsu
makan dn aktifitas pasien
9) Monitor kepucatan, kemerahan,
kekeringan jaringan mukosa
10)Monitor hasil labor (meliputi :
serum albumin, hemoglobin,
hematokrit, elektrolit).

e. Nutrition Counseling
Aktivitas :
1) Bina hubungan terapeutik
berdasarkan kepercayaan dan
respek pada pasien
2) Tentukan intake makanan dan
kebiasaan makan pasien
3) Berkolaborasi dengan pasien
dalam menentukan tujuan
realistis jangka pendek dan
jangka panjang untuk perubahan
dalam status nutrisi
4) Sediakan informasi tentang
kebutuhan kesehatan untuk
modifikasi diit : penurunan berat
badan, peningkatan berat badan,
kekurangan cairan
5) Diskusikan dengan pasien terkait
kelompok dasar makanan yang
dibutuhkan dalam modifikasi diit
6) Bantu pasien untuk mencatat
kebiasaan makannya tiap 24 jam
5. Resiko infeksi NOC a. Infection Control (Kontrol
Definisi : Mengalami - Immune Status infeksi)
peningkatan resiko terserang - Knowledge : Infection Aktivitas:
organisme patogenik control 1) Bersihkan lingkungan setelah
Faktor Resiko : - Risk control dipakai pasien lain
- Penyakit kronis. Kriteria Hasil: 2) Pertahankan teknik isolasi
o Diabetes melitus - Klien bebas dari tanda dan 3) Batasi pengunjung bila perlu
o Obesitas gejala infeksi 4) Instruksikan pada pengunjung
- Pengetahuan yang tidak - Mendeskripsikan proses untuk mencuci tangan saat
cukup untuk penularan penyakit, faktor berkunjung dan setelah
- menghindari yang mempengaruhi berkunjung meninggalkan pasien
pemanjanan patogen. penularan serta 5) Gunakan sabun antimikrobia
- Pertahanan tubuh penatalaksanaannya untuk cuci tangan
primer yang tidak - Menunjukkan kemampuan 6) Cuci tangan setiap sebelum dan
adekuat. untuk mencegah timbulnya sesudah tindakan keperawatan
o Gangguan peritalsis infeksi 7) Gunakan baju, sarung tangan
o Kerusakan integritas kulit - Jumlah leukosit dalam batas sebagai alat pelindung
(pemasangan kateter normal 8) Pertahankan lingkungan aseptik
intravena, prosedur - Menunjukkan perilaku hidup selama pemasangan alat
invasif) sehat 9) Ganti letak IV perifer dan line
o Perubahan sekresi pH central dan dressing sesuai
o Penurunan kerja siliaris dengan petunjuk umum
o Pecah ketuban dini 10)Gunakan kateter intermiten untuk
o Pecah ketuban lama menurunkan infeksi kandung
kencing
o Merokok
11)Tingktkan intake nutrisi
o Stasis cairan tubuh
12)Berikan terapi antibiotik bila
o Trauma jaringan (mis, perlu
trauma destruksi jaringan) 13)Infection Protection (proteksi
- Ketidakadekuatan terhadap infeksi)
pertahanan sekunder 14)Monitor tanda dan gejala infeksi
o Penurunan hemoglobin sistemik dan lokal
o Imunosupresi (mis, 15)Monitor hitung granulosit, WBC
imunitas didapat tidak 16)Monitor kerentangan terhadap
adekuat, agen infeksi
farmaseutikal termasuk 17)Batasi pengunjung
imunosupresan, steroid, 18)Sering pengunjung terhadap
antibodi monoklonal, penyakit menular
imunomudulator) 19)Pertahankan teknik aspesis pada
o Supresi respon inflamasi pasien yang beresiko
- Vaksinasi tidak adekuat 20)Pertahankan teknik isolasi k/p
- Pemajanan terhadap 21)Berikan perawatan kulit pada
patogen lingkungan area epidema
meningkat 22)Inspeksi kulit dan membran
o Wabah mukosa terhadap kemerahan,
- Prosedur invasif panas, drainase
- Malnutrisi 23)Inspeksi kondisi luka / insisi
bedah
24)Dorong masukkan nutrisi yang
cukup
25)Dorong masukan cairan
26)Dorong istirahat
27)Instruksikan pasien untuk minum
antibiotik sesuai resep
28)Ajarkan pasien dan keluarga
tanda dan gejala infeksi
29)Ajarkan cara menghindari infeksi
30)Laporkan kecurigaan infeksi
31)Laporkan kultur positif
4. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi terbagi menjadi tiga jenis, yaitu:
a. Evaluasi struktur
Evaluasi struktur difokuskan pada kelengkapan tata cara atau keadaan sekeliling
tempat pelayanan keperawatan diberikan. Aspek lingkungan secara langsung atau
tidak langsung mempengaruhi dalam pemberian pelayanan. Persediaan
perlengkapan, fasilitas fisik, ratio perawat-klien, dukungan administrasi,
pemeliharaan dan pengembangan kompetensi staf keperawatan dalam area yang
diinginkan.
b. Evaluasi proses
Evaluasi proses berfokus pada penampilan kerja perawat dan apakah perawat
dalam memberikan pelayanan keperawatan merasa cocok, tanpa tekanan, dan
sesuai wewenang. Area yang menjadi perhatian pada evaluasi proses mencakup
jenis informasi yang didapat pada saat wawancara dan pemeriksaan fisik, validasi
dari perumusan diagnosa keperawatan, dan kemampuan tehnikal perawat.
c. Evaluasi hasil
Evaluasi hasil berfokus pada respons dan fungsi klien. Respons prilaku klien
merupakan pengaruh dari intervensi keperawatan dan akan terlihat pada
pencapaian tujuan dan kriteria hasil.
Adapun ukuran pencapaian tujuan pada tahap evaluasi meliputi:
a. Masalah teratasi; jika klien menunjukkan perubahan sesuai dengan tujuan dan
kriteria hasil yang telah ditetapkan.
b. Masalah sebagian teratasi;jika klien menunjukkan perubahan sebahagian dari
kriteria hasil yang telah ditetapkan.
c. Masalah tidak teratasi; jika klien tidak menunjukkan perubahan dan kemajuan
sama sekali yang sesuai dengan tujuan dan kriteria hasil yang telah ditetapkan
dan atau bahkan timbul masalah/ diagnosa keperawatan baru.
DAFTAR PUSTAKA

Ardiansyah, M. (2012). Medikal Bedah. Jogjakarta: Diva Pres.

Bararah, T., Jauhar. (2013). Asuhan Keperawatan : Panduan Lengkap Menjadi Perawat
Profesional (Vol. 1). Jakarta: Prestasi Pustaka.

Bulechek,G.M.,`Butcher,H.K.,`Dochterman,J.M,Wagner,C.M.`2013.`Nursing`Intervention
Classification (NIC). United Kingdom: Elsevier

Moorhead,S., Jhonson,M., Maas,M.L.,Swanson,E.2013. Nursing Outcome Classification


(NOC). Kingdom: Elsevier

Nanda International. 2015. Diagnosis Keperawatan: Defenisi dan klassifikasi, Jakarata: EGC

Nurarif, Amin Huda & Kusuma, Hardi.2013.Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan


Diagnosis Medis & NANDA NIC NOC.Jakarta:MediAction Publishing

Somantri, I. (2012). Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Pernapasan (Vol.
2). Jakarta: Salemba Medika.

Wijaya, A. S. (2013). KMB I Keperawatan Medikal Bedah. Yogyakarta: Nuha Medika.

Anda mungkin juga menyukai