Anda di halaman 1dari 43

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Manajemen Asuhan Keperawatan

1. Konsep Dasar Carsinoma Recti

a. Definisi

Carsinoma recti atau biasa disebut ca. recti merupakan salah

satu dari keganasan pada kolon dan rektum yang khusus menyerang

bagian rektum yang terjadi akibat adanya gangguan proliferasi sel

epitel yang tidak terkendali (Kurniadi, 2012). Menurut Black & Hawks

(2014), Carsinoma recti merupakan kanker yang berasal dari dalam

permukaan rektum atau rectal. Umumnya kanker kolorektal berawal

dari pertumbuhan sel yang tidak ganas, terdapat adenoma atau

berbentuk polip.

Carsinoma recti adalah kanker yang terjadi pada rektum.

Rektum terletak di anterior sakrum dan koksik (tulang ekor) yang

panjangnya kira – kira 15 cm. Rectosigmoid junction terletak pada

bagian akhir mesocolon sigmoid. Bagian sepertiga atasnya hampir

seluruhnya dibungkus oleh peritoneum dan setengah bagian bawah

rektum keseluruhannya adalah ektraperitoneal (Samsuhidayat, 2004).

9
10

b. Etiologi

Menurut Yayasan kanker Indonesia (2018), faktor resiko yang

dapat mempengaruhi terjadinya karsinoma kolon dan rektum adalah

sebagai berikut :

1) Bertambahnya Usia

Mayoritas masyarakat yang terdiagnosa dengan kanker

kolorektal berusia lebih dari 50 tahun. Namun, kanker kolorektal

juga dapat menyerang mereka yang lebih muda meski jarang

terjadi. Usia 50 tahun menjadi batasan usia internasional di mana

setiap orang dianjurkan untuk menjalani pemeriksaan kolonoskopi

atau teropong usus besar.

2) Riwayat Penyakit Kanker Kolorektal

Seseorang yang pernah terjangkit kanker kolorektal, maka

Anda memiliki resiko lebih tinggi terhadap kanker kolorektal di

kemudian hari.

3) Kondisi Radang Usus Kronik

Kondisi radang pada usus yang kronis, seperti ulcerative

colitis dan penyakit Crohn, dapat meningkatkan resiko terhadap

kanker kolorektal.

4) Sindrom genetik

Adanya peningkatkan resiko kanker kolorektal yang

diturunkan dari generasi ke generasi dalam keluarga. Sindrom ini

termasuk familial adenomatous polyposis dan kanker kolorektal


11

nonpoliposis turunan, yang dikenal dengan sindrom Lynch.

Ditemukan pada sedikit sekali orang dalam populasi.

5) Riwayat Keluarga akan Kanker Kolorektal

Resiko terjadinya kanker kolorektal pada seseorang

menjadi lebih besar apabila dalam keluarga memiliki riwayat

penyakit yang sama.

6) Pola Aktivitas dan Gaya Hidup

Seseorang yang melakukan kegiatan fisik (aktivitas atau

olahraga) secara rutin dapat mengurangi resiko terhadap kanker

kolorektal. American Cancer Society menyarankan setidaknya

aktivitas fisik sedang (jalan cepat) selama 30 menit atau lebih

dalam 5 hari setiap minggu (Kemenkes, 2017).

7) Diabetes

Seseorang yang terkena diabetes dan resistensi insulin

seperti yang dijumpai pada mereka yang obesitas dan mengidap

sindrom metabolik memiliki resiko lebih tinggi terhadap kanker

kolorektal.

8) Obesitas

Seseorang yang mengalami obesitas memiliki resiko lebih

tinggi terhadap kanker kolorektal dan resiko lebih tinggi meninggal

karena kanker kolorektal dibandingkan dengan mereka yang

memiliki berat badan normal.


12

9) Merokok

Rokok mengandung lebih dari 200 zat karsinogen yang

dapat memicu pertumbuhan sel kanker.

c. Klasifikasi

Klasifikasi kanker digunakan untuk menentukan luas atau

ekstensi kanker dan nilai prognostik pasien. Sistem yang paling banyak

digunakan adalah sistem TNM. Sistem ini dibuat oleh American Joint

Committee on Cancer (AJCC) dan International Union for Cancer

Control (UICC). TNM mengklasifikasi ekstensi tumor primer (T),

kelenjar getah bening regional (N) dan metastasis jauh (M)

(Kemenkes, 2017). Berikut adalah stadium TNM menurut American

Joint Committee on Cancer (AJCC).

Tabel 2.1 Stadium kanker kolorektal menurut sistem TNM

Stadium T N M
0 Tis N0 M0
I T1 N0 M0
T2 N0 M0
II A T3 N0 M0
II B T4 N0 M0
III A T1 – T2 N1 M0
III B T3 – T4 N1 M0
III C Any T N2 M0
IV Any T Any N M1
Keterangan :

T (Tumor Primer)

Tx : Tumor primer tidak dapat dinilai

T0 : Tidak terbukti adanya tumor primer


13

Tis : Carsinoma in situ, terbatas pada intraepithelial atau terjadi

invasi pada lamina propria

T1 : Tumor telah menyebar pada submukosa

T2 : Tumor telah menyebar pada muskularis propria

T3 : Tumor telah menyebar menembus muskularis propria ke

dalam subserosa atau kedalam jaringan sekitar kolon atau

rektum namun belum menggenai peritoneal

T4 : Tumor telah menyebar ke bagian organ tubuh lainnya

atau menimbulkan perforasi peritoneum viseral

N (Kelenjar Getah Bening Regional/ Node)

Nx : Penyebaran pada kelenjar getah bening tidak dapat dinilai

N0 : Tidak ada penyebaran pada kelenjar getah bening

N1 : Telah terjadi metastasis pada 1- 3 kelenjar getah bening

regional

N2 : Telah terjadi metastasis lebih dari 4 kelenjar getah bening

M (Metastasis)

Mx : metastasis tidak dapat dinilai

M0 : Tidak terdapat metastasis

M1 : Terdapat metastasis

Sedangkan Smeltzer dkk (2010), penahapan kanker

menggunakan klasifikasi Duke sebagai berikut :


14

1) Stadium 0 (carcinoma in situ)

Kanker stadium 0 atau dikenal dengan carcinoma in situ,

dimana kanker belum menembus membran basal dari mukosa

kolon atau rektum.

2) Stadium I (Duke A)

Pada stadium ini kanker telah menmbus membran basal

hingga lapisan kedua atau ketiga (submukosa atau muskularis

propria) dari lapisan dinding kolon atau rektum, namun belum

menyebar keluar dinding kolon atau rektum.

3) Stadium II (Duke B)

Pada stadium ini kanker telah menembus jaringan serosa

dan menyebar keluar dinding usus kolon atau rektum dan ke

jaringan sekitar, namun belum menyebar pada kelenjar getah

bening.

4) Stadium III (Duke C)

Pada stadium ini kanker telah menyebar pada kelenjar getah

bening terdekat, namun belum pada organ tubuh lainnya.

5) Stadium IV (Duke D)

Pada stadium ini kanker telah menyebar ke bagian tubuh

lainnya, misalnya hati dan paru-paru.

d. Patofisiologi

Smeltzer & Bare (2002), menyatakan bahwa Penyebab kanker

pada saluran cerna bagian bawah tidak diketahui secara pasti. Kanker
15

pada kolon atau rektum dapat diawali jika individu memiliki riwayat

polip dan ulserasi kolitis kronis. Polip merupakan massa yang

menonjol pada jaringan lumen usus. Polip dan ulserasi kolitis dapat

berubah menjadi ganas apabila tidak dilakukan tindakan pengobatan

segera. Jika suatu sel telah berubah menjadi maligna, maka sel tersebut

dapat menghancurkan sel yang normal dan dapat meluas atau

menyebar ke jaringan disekitarnya (Smeltzer dkk, 2010).

Pada dasarnya manusia memiliki zat karsinogen atau zat

pemicu kanker pada tubuh. Menurut Smeltzer dkk (2010), karsinogen

merupakan substansi yang mengakibatkan perubahan pada struktur dan

fungsi sel menjadi sel yang bersifat otonom dan maligna. Transformasi

maligna mempunyai tiga tahapan proses selular yaitu inisiasi, promosi,

dan progresi. Efek karsinogen dapat meningkat apabila terdapat

pencetus dari eksternal (seperti pola makan dan gaya hidup). Corwin

(2001) menjelaskan jika seseorang yang kurang memenuhi kebutuhan

nutrisi seperti asupan antioksidan yang terdapat dalam buah – buahan

dan sayur – sayuran dapat mengurangi perlindungan sel terhadap efek

karsinogen. Selain itu, Corwin juga menjelaskan aktivitas atau

kebiasaan berolahraga yang tidak teratur diiringi dengan diet rendah

serat akan mengakibatkan feses menjadi lebih lama didalam kolon

maupun rektum. Sehingga kondisi ini dapat mengakibatkan toksik

yang berasal dari feses dan mencetuskan pertumbuhan sel kanker.

Hipotesa penyebab kanker kolorektal yang lain adalah

peningkatan penggunaan lemak seperti mengkonsumsi daging merah


16

secara berlebihan (Smeltzer dkk, 2010). Corwin (2001) menyatakan

feses yang kurang baik dan mengandung lemak dapat memicu

terjadinya sel kanker dikarenakan dapat mengubah flora dalam feses

menjadi bakteri Clostridia & Bakteriodes yang mempunyai enzim 7-

alfa dehidrosilase yang mencerna asam menjadi asam deoxycholl dan

lithocholic (bersifat karsinogenik), inilah peningkatan yang terjadi

dalam feses. Peningkatan sel kanker tidak hanya disebabkan oleh

konsumsi daging merah, namun dapat juga disebabkan oleh

penggunaan keju yang berlebihan dan konsumsi alkohol yang dapat

memicu terjadinya kanker usus.

Kanker kolorektal dapat menyebar melalui beberapa cara yaitu

secara infiltratif langsung ke struktur yang berdekatan, seperti ke

dalam kandung kemih, melalui pembuluh limfe ke kelenjar limfe

perikolon dan mesokolon serta melalui aliran darah yang biasanya

mengenai hati dikarenakan kolon mengalirkan darah ke sistem portal.

Selanjutnya secara transperitoneal dimana penyebaran ke luka jahitan,

insisi abdomen atau lokasi drain. Pertumbuhan sel kanker dapat

menyebabkan penyumbatan lumen usus dengan obstruksi dan ulserasi

pada dinding usus serta dapat terjadi perdarahan. Penetrasi kanker

dapat menyebabkan perforasi dan abses serta timbulnya metastase

pada jaringan lain (Smeltzer dkk, 2010). Penyebaran atau metastase sel

kanker terdiri dari penyebaran langsung, penyebaran limfogen dan

hematogen (Erda, 2017).


17

e. WOC

Terlampir

f. Manifestasi Klinis

Menurut Smeltzer dkk (2010), gejala kanker kolorektal

ditentukan berdasarkan lokasi kanker, tahap penyakit dan fungsi

segmen usus tempat kanker berlokasi. Gejala yang paling sering

ditemui antara lain :

1) Perubahan kebiasaan defekasi

2) Adanya feses yang disertai darah

3) Gejala anemia tanpa diketahui penyebabnya

4) Adanya penurunan berat badan secara signifikan

5) Keletihan atau kelemahan

6) Mual dan muntah

7) Perasaan tidak puas setelah BAB (usus besar tidak kosong

seluruhnya)

8) Feses tampak lebih sempit seperti pita

9) Perut terasa lebih kembung atau kram perut

10) Terjadi konstipasi atau diare secara bergantian (umumnya

konstipasi dan disertai feses berdarah)

Smeltzer menjelaskan pertumbuhan pada sigmoid atau rektum

dapat mengenai radiks saraf, pembuluh limfe atau vena yang dapat

menimbulkan gejala pada tungkai atau perineum akibat adanya

tekanan sel kanker seperti adanya hemoroid, nyeri pinggang bagian


18

bawah, keinginan defekasi, sering berkemih. Semua karsinoma

kolorektal dapat menyebabkan ulserasi, perdarahan, obstruksi bila

membesar atau invasi menembus dinding usus dan kelenjar-kelenjar

regional, terkadang bisa terjadi perforasi dan menimbulkan abses

peritoneum.

g. Pemeriksaan Penunjang

1) Endoskopi

a) Untuk mengetahui adanya tumor/ karsinoma di kolon/ rektum

b) Untuk menentukan lokasi kanker

c) Untuk mengetahui letak obstruksi

2) Radiologi

a) Foto dada : untuk melihat ada atau tidaknya metastasis

karsinoma paru

b) Untuk persiapan pembedahan

c) Foto kolon (barium enema)

d) Dapat terlihat suatu filling defect pada suatu tempat/ suatu

striktura

e) Dapat menentukan lokasi tempat kelainan

3) USG

a) Untuk mengetahui apakah ada metastasis karsinoma ke

kelenjar getah bening di abdomen dan hati

b) Gambaran metastasis karsinoma di hati akan tampak massa

multi nodular dengan gema berdensitas tinggi homogeni


19

4) Endosonografi

Pada karsinoma akan tampak massa yang hypoechoic tidak

teratur mengenai lapisan dinding kolon

5) Histopatologi

Gambaran histopatologi pada carcinoma recti

adenokarsinoma dan perlu ditentukan differensiasi sel

6) Laboratorium

a) Hb : menurun jika terjadi perdarahan

b) Tumor marker (LEA) > 5 mg/ml

7) Pemeriksaan tinja secara bakteriologis ; terdapat sigela dan amoeba

h. Penatalaksanaan

Berbagai jenis terapi tersedia untuk pasien kanker rektal.

Beberapa adalah terapi standar dan beberapa lagi masih diuji dalam

penelitian klinis. Tiga terapi standar untuk kanker rektal yang sering

digunakan antara lain:

1) Pembedahan

Pembedahan merupakan terapi yang paling lazim

digunakan terutama untuk stadium I dan II kanker rektal, bahkan

pada pasien suspek dalam stadium III juga dilakukan pembedahan.

Meskipun begitu, karena kemajuan ilmu dalam metode penentuan

stadium kanker, banyak pasien kanker rektal dilakukan sebelum

tindakan pembedahan dengan radiasi dan kemoterapi. Penggunaan

kemoterapi sebelum pembedahan dikenal sebagai kemoterapi


20

neoadjuvan, yang digunakan pada pasien dengan stadium II dan

III. Selain itu, pada pasien yang telah melakukan tindakan

pembedahan juga membutuhkan kemoterapi atau radiasi untuk

membunuh sel kanker yang tertinggal (Anderson, 2016). 

Tipe pembedahan tergantung pada lokasi dan ukuran tumor.

Prosedur pembedahan pilihan adalah sebagai berikut (Doughty &

Jackson, 2012):

a) Reseksi segmental dengan anastomosis (pengangkatan tumor

dan porsi usus pada sisi pertumbuhan pembuluh darah, dan

nodus limfatik)

b) Reseksi abdominoperineal dengan kolostomi sigmoid

permanen (pengangkatan tumor dan prosi sigmoid dan semua

rektum serta sfingkter anal)

c) Kolostomi sementara diikuti reanastomosis reseksi segmental

dan anastomisis serta reanastomosis lanjut dari kolostomi

(memungkinkan dekompresi usus awal dan persiapan usus

sebelum reseksi)

d) Kolostomi permanen atau ileostomi (untuk menyembuhkan lesi

obstruksi yang tidak dapat direseksi)

2) Radioterapi atau Terapi Radiasi

Pada stadium II dan stadium III lanjut, radiasi dapat

menyusutkan ukuran tumor sebelum dilakukan pembedahan. Peran

lain radioterapi adalah sebagai terapi tambahan untuk pembedahan

pada kasus tumor lokal yang sudah diangkat melalui pembedahan,


21

dan untuk penanganan kasus metastasis. Radiasi yang digunakan

setelah pembedahan menunjukkan adanya penurunan resiko

kekambuhan lokal di pelvis sebesar 46% dan penurunan angka

kematian sebesar 29%. Pada penanganan metastasis jauh, radiasi

berfungsi untuk mengurangi efek lokal dari metastasis tersebut,

misalnya pada otak. Radioterapi umumnya digunakan sebagai

terapi paliatif pada pasien yang memiliki tumor lokal yang tidak

dapat direseksi (Mansjoer, 2000).

Berdasarkan waktu penggunaannya, radioterapi terdiri dari

radioterapi adjuvant yang diberikan setelah dilakukannya metode

pengobatan tertentu. Selain itu radioterapineoadjuvan, dilakukan

sebelum dilakukannya tindakan dengan metode lain misalnya

radioterapi preoperasi. Sedangkan untuk radiokemoterapi yaitu

pemberian radioterapi yang dilakukan bersamaan dengan

kemoterapi (Bovi & White, 2012). Menurut Rodel et al., (2012)

dan Guedea (2014), penghantaran radiasi terhadap lokasi kanker

dapat dilakukan dengan dua metode, yaitu radioterapi eksternal dan

brachytherapy (endocurientherapy atau disebut sealed-source

radiotherapy). Radioterapi eksternal adalah radioterapi yang

dipaparkan ke tubuh secara eksternal menggunakan mesin

perawatan. Sedangkan brachytherapy adalah sumber radiasi

temporer atau permanen ditempatkan ke dalam rongga tubuh,

metoda ini digunakan dalam perawatan kanker yang membutuhkan

perawatan berulang.
22

3) Kemoterapi

Adjuvant chemotherapy (menangani pasien yang tidak

terbukti memiliki penyakit residual tapi beresiko tinggi mengalami

kekambuhan), dipertimbangkan pada pasien dimana tumornya

menembus sangat dalam atau tumor lokal yang bergerombol

(Stadium II lanjut dan Stadium III). Terapi standarnya ialah dengan

fluorouracil, (5 – FU) dikombinasikan dengan leucovorin dalam

jangka waktu enam sampai dua belas bulan. 5 – FU merupakan anti

metabolit dan leucovorin memperbaiki respon. Agen lainnya,

levamisole (meningkatkan sistem imun, dapat menjadi substitusi

bagi leucovorin). Protokol ini menurunkan angka kekambuhan kira

– kira 15% dan menurunkan angka kematian kira – kira sebesar

10% (Smeltzer, 2011). 

2. Konsep Dasar Nyeri

a. Defenisi

Nyeri merupakan suatu pengalaman sensoris atau emosional

yang tidak menyenangkan berkaitan dengan kerusakan jaringan secara

aktual maupun potensial yang dirasakan dalam kejadian saat terjadi

kerusakan (Andarmoyo, S. 2013). Sedangkan menurut Tetty (2015),

nyeri adalah kondisi berupa perasaan yang tidak menyenangkan,

bersifat sangat subjektif. Perasaan nyeri pada setiap orang berbeda-

beda dan hanya penderita yang dapat mengevaluasi skala maupun

tingkat nyeri yang dialaminya.


23

Menurut Beck et al., (2005) dan Gehdoo (2006), nyeri kanker

berdampak pada fisik, psikologis, sosial, serta spiritual. Dampak fisik

yaitu kelelahan, nafsu makan menurun, muntah serta penurunan

kekuatan otot. Dampak psikologis yaitu kesulitan konsentrasi,

ketakutan, depresi dan juga kecemasan. Dampak sosial yaitu

penurunan hubungan sosial dan gangguan penampilan. Dampak

spiritual yaitu peningkatan perasaan menderita, gangguan arti dan

tujuan hidup, serta gangguan dalam keyakinan religious.

b. Jenis - Jenis Nyeri

Secara umum nyeri dibagi menjadi dua yaitu,

1) Nyeri Akut

Nyeri akut merupakan nyeri yang berlangsung dari

beberapa detik hingga kurang dari 6 bulan biasanya dengan awitan

tiba-tiba dan umumnya berkaitan dengan cidera fisik. Nyeri akut

mengindikasikan bahwa kerusakan atau cidera telah terjadi. Jika

kerusakan tidak lama terjadi dan tidak ada penyakit sistemik, nyeri

akut biasanya menurun sejalan dengan terjadinya penyembuhan.

Nyeri ini umumnya terjadi kurang dari enam bulan dan biasanya

kurang dari satu bulan. Salah satu nyeri akut yang terjadi adalah

nyeri pasca pembedahan (Meliala & Suryamiharja, 2007).

2) Nyeri Kronik

Nyeri kronik merupakan nyeri konstan atau intermitern

yang menetap sepanjang suatu periode waktu. Nyeri ini


24

berlangsung di luar waktu penyembuhan yang diperkirakan dan

sering tidak dapat dikaitkan dengan penyebab atau cidera fisik.

Nyeri kronis dapat tidak memiliki awitan yang ditetapkan dengan

tepat dan sering sulit untuk diobati karena biasanya nyeri ini sering

tidak memberikan respon terhadap pengobatan yang diarahkan

pada penyebabnya (Strong, dkk,. 2002). Nyeri kronik ini juga

sering di definisikan sebagai nyeri yang berlangsung selama enam

bulan atau lebih, meskipun enam bulan merupakan suatu periode

yang dapat berubah untuk membedakan nyeri akut dan nyeri kronis

(Potter & Perry, 2005).

Berdasarkan lokasinya Sulistyo (2013) membagi nyeri menjadi

3 yaitu :

1) Nyeri ferifer, nyeri ini ada tiga macam, yaitu :

a) Nyeri superfisial, yaitu nyeri yang muncul akibat rangsangan

pada kulit dan mukosa

b) Nyeri viseral, yaitu rasa nyeri yang muncul akibat stimulasi

dari reseptor nyeri di rongga abdomen, kranium dan toraks

c) Nyeri alih, yaitu nyeri yang dirasakan pada daerah lain yang

jauh dari penyebab nyeri

2) Nyeri sentral, nyeri yang muncul akibat stimulasi pada medulla

spinalis, batang otak dan talamus.

3) Nyeri psikogenik, nyeri yang tidak diketahui penyebab fisiknya.

Dengan kata lain nyeri ini timbul akibat pikiran si penderita itu

sendiri.
25

c. Faktor – faktor yang Mempengaruhi Nyeri

1) Usia

Usia mempengaruhi seseorang bereaksi terhadap nyeri.

Sebagai contoh anak-anak kecil yang belum dapat mengucapkan

kata – kata mengalami kesulitan dalam mengungkapkan secara

verbal dan mengekspresikan rasa nyerinya, sementara lansia

mungkin tidak akan melaporkan nyerinya dengan alasan nyeri

merupakan sesuatu yang harus mereka terima (Potter & Perry,

2006).

2) Jenis kelamin

Secara umum jenis kelamin pria dan wanita tidak berbeda

secara bermakna dalam merespon nyeri. Beberapa kebudayaan

mempengaruhi jenis kelamin misalnya ada yang menganggap

bahwa seorang anak laki-laki harus berani dan tidak boleh

menangis sedangkan seorang anak perempuan boleh menangis

dalam situasi yang sama (Rahadhanie dalam Andari, 2015)

3) Kebudayaan

Keyakinan dan nilai-nilai budaya mempengruhi individu

mengatasi nyeri. Individu mempelajari apa yang diajarkan dan apa

yang diterima oleh kebudayaan mereka (Rahadhanie dalam Andari,

2015).

4) Perhatian

Tingkat seorang klien memfokuskan perhatiannya pada

nyeri dapat mempengaruhi persepsi nyeri. Perhatian yang


26

meningkat dihubungkan dengan nyeri yang meningkat. Sedangkan

upaya pengalihan (distraksi) dihubungkan dengan respon nyeri

yang menurun. Konsep ini merupakan salah satu konsep yang

perawat terapkan di berbagai terapi untuk menghilangkan nyeri,

seperti relaksasi, teknik imajinasi terbimbing (guided imaginary)

dan message, dengan memfokuskan perhatian dan konsentrasi

klien pada stimulus yang lain, misalnya pengalihan pada distraksi

(Fatmawati, 2011).

5) Ansietas

Ansietas atau kecemasan seringkali meningkatkan persepsi

nyeri. Namun nyeri juga dapat menimbulkan ansietas. Stimulus

nyeri mengaktifkan bagian sistem limbik yang diyakini

mengendalikan emosi seseorang khususnya ansietas (Wijarnoko,

2012). Menurut penelitian Suwistianisa, dkk (2015), mengatakan

bahwa adanya stressor atau trauma psikis yang dialami penderita

kanker dapat menyebabkan pikiran atau bayangan yang negatif

tentang penyakit yang tidak bisa sembuh atau dapat menyebabkan

kematian.

6) Kelemahan atau keletihan

Rasa kelemahan atau keletihan menyebabkan sensasi nyeri

semakin intensif dan menurunkan kemampuan koping (Fatmawati,

2011). Selain itu berdampak pada kemampuan menjalankan

aktivitas sehari-hari (Albrecht & Taylor, 2010).


27

7) Pengalaman sebelumnya

Setiap individu belajar dari pengalaman nyeri. Perasaan

nyeri pada setiap orang berbeda tingkatannya, dan hanya penderita

yang dapat menjelaskan atau mengevaluasi rasa nyeri yang

dialaminya (Tetty, 2015). Apabila penderita sering mengalami

nyeri dalam waktu yang lama dan tak kunjung sembuh, maka akan

menimbulkan kecemasan dan rasa takut. Namun, apabila penderita

mengalami nyeri dengan jenis yang sama dan berulang-ulang,

tetapi nyeri tersebut dapat dihilangkan maka akan lebih mudah

penderita tersebut untuk menginterpretasikan sensasi nyeri

(Rahadhanie dalam Andari, 2015).

8) Gaya koping

Menurut Ekowati (2012), gaya koping mempengaruhi

individu dalam mengatasi nyeri. Adanya nyeri yang dapat

menyebabkan stress bagi penderita kanker akan terlihat pada

koping individu tersebut. Strategi koping masing – masing

penderita berbeda, dimana untuk menghilangkan stress penderita

akan mencari kesibukan spiritual, melakukan hobi atau dengan

memotivasi diri (Kristanto & Kahija, 2017).

9) Dukungan keluarga dan sosial

Pasien yang mendapatkan dukungan baik dari keluarga

maupun sosial akan memberikan manfaat bagi individu tersebut.

Hal ini dikarenakan dengan adanya dukungan dapat membuat

individu menyadari bahwa ada orang yang sangat memperdulikan,


28

menghargai dan mencintainya (King, 2010 dalam Sari 2017).

Meskipun dukungan keluarga dan sosial yang diterima individu

tidak memperpanjang usia penderita kanker, akan tetapi hal

tersebut seringkali mengurangi penderitaan dan rasa sakit penderita

(Wade & Tavris, 2008). Menurut Friedman (dalam Setiadi, 2008),

ada 4 bentuk dukungan keluarga, yaitu dukungan emosional,

dukungan instrumental, dukungan informasional dan dukungan

penghargaan atau penilaian.

10) Makna nyeri

Setiap individu memiliki perbedaan dalam menilai

tingkatan nyeri, apabila nyeri yang dirasakan memberikan kesan

yang mengancam, meliputi suatu hukuman, kehilangan dan

tantangan. Sehingga apabila tidak teratasi akan memberikan

dampak yang buruk bagi fisik, psikologis, sosial, dan spiritual

(Khoirunnisa, 2018). Misalnya seorang wanita yang bersalin akan

mempersepsikan nyeri yang berbeda dengan wanita yang

mengalami nyeri cidera kepala akibat dipukul pasangannya.

Derajat dan kualitas nyeri yang dipersepsikan klien berhubungan

dengan makna nyeri (Potter & Perry, 2006).

d. Penilaian Nyeri

Setiap penderita kanker memiliki skala atau tingkatan nyeri

yang berbeda dan dapat diukur dengan beberapa cara. Salah satunya

dengan menggunakan skala penilaian numerik atau numeric rating


29

scale (NRS), alat yang digunakan sebagai pengganti deskripsi kata.

Nyeri akan dinilai dengan menggunakan skala 0 – 10 (Meliala &

Suryamiharja, 2007).

Gambar 2.1 Numerical Rating Scale

Potter & Perry (2006) menjelaskan skala pengukuran nyeri

dengan menggunakan Numeric Rating Scale (NRS) yaitu skala 0 – 10

yang memiliki makna sebagai berikut :

0 : Tidak nyeri

1 – 3 : Nyeri ringan, secara subjektif klien dapat berkomunikasi

dengan baik, tindakan manual dirasakan sangat membantu

4–6 : Nyeri sedang, secara objektif klien mendesis, menyeringai,

dapat menunjukkan lokasi nyeri dengan tepat dan dapat

mendeskripsikan nyeri, klien dapat mengikuti perintah

dengan baik dan responsif terhadap tindakan manual

7 – 9 : Nyeri berat, secara objektif terkadang klien dapat

mengikuti perintah tapi masih responsif terhadap tindakan

manual, dapat menunjukkan lokasi nyeri tapi tidak dapat

mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan alih posisi

ataupun napas panjang.


30

10 : Nyeri sangat berat (panik tidak terkontrol), secara objektif

klien tidak mau berkomunikasi dengan baik, berteriak dan

histeris, klien tidak dapat mengikuti perintah lagi, selalu

mengejan tanpa dapat dikendalikan

e. Manajemen Nyeri

1) Pendekatan Farmakologi

Tehnik farmakologi adalah cara yang paling efektif untuk

menghilangkan nyeri dengan pemberian obat – obatan pereda nyeri

terutama untuk nyeri yang sangat hebat yang berlangsung selama

berjam – jam atau bahkan berhari – hari. Pemberian analgesik

merupakan metode yang paling umum digunakan untuk mengatasi

nyeri (Strong, et al., 2002). Menurut Smeltzer & Bare (2002), ada

tiga jenis analgesik yakni:

a) Non-narkotik dan anti inflamasi nonsteroid (NSAID):

menghilangkan nyeri ringan dan sedang. NSAID dapat sangat

berguna bagi pasien yang rentan terhadap efek pendepresi

pernafasan.

b) Analgesik narkotik atau opioid: analgesik ini umumnya

diresepkan untuk nyeri yang sedang sampai berat, seperti nyeri

pasca operasi. Efek samping dari opioid ini dapat menyebabkan

depresi pernafasan, sedasi, konstipasi, mual dan muntah.

c) Obat tambahan atau adjuvant (koanalgesik): adjuvant seperti

sedatif, anti cemas, dan relaksan otot meningkatkan kontrol


31

nyeri atau menghilangkan gejala lain terkait dengan nyeri seperti

depresi dan mual (Potter & Perry, 2006).

2) Pendekatan Non Farmakologi

Intervensi keperawatan mandiri menurut Bangun &

Nur’aeni (2013), merupakan tindakan pereda nyeri yang dapat

dilakukan perawat secara mandiri tanpa tergantung pada petugas

medis lain dimana dalam pelaksanaanya perawat akan

mempertimbangkan keputusan tindakan yang akan dilakukan

sesuai dengan persetujuan pasien. Beberapa pasien dan tim medis

kesehatan lebih memilih obat – obatan sebagai satu – satunya cara

untuk mengatasi nyeri. Padahal aktifitas keperawatan secara non

farmakologi dapat membantu menghilangkan nyeri, selain mudah

untuk diterapkan cara tersebut tidak memiliki resiko yang

berbahaya bagi kesehatan pasien (Smeltzer & Bare, 2002). Salah

satu tindakan non farmakologi yang dapat dilakukan yaitu dengan

cara distraksi, dimana seseorang akan dialihkan perhatiannya ke

hal lain sehingga dapat menurunkan kewaspadaan terhadap nyeri

(Purwanto, 2008). Tehnik distraksi yang dapat dilakukan dalam

mengurangi rasa nyeri yaitu dengan pemberian terapi musik,

karena caranya mudah dan terjangkau. Ketika pasien mengikuti

alunan musik, pasien akan merasa tenang dan rileks sehingga tidak

akan terfokus kepada nyeri yang dirasakan.


32

3. Terapi Musik

Terapi musik adalah usaha meningkatkan kualitas fisik dan mental

dengan rangsangan suara yang terdiri dari melodi, ritme, harmoni, bentuk

dan gaya yang diorganisir sedemikian rupa hingga tercipta musik yang

bermanfaat untuk kesehatan fisik dan mental (Eka, 2011). Menurut

penelitian Trihandayani dan Karnita (2011), seseorang yang

mendengarkan musik akan memfokuskan pikiran dan perhatiannya

(konsentrasi pikiran) pada suara atau irama musik yang diterimanya,

sehingga fokus perhatiannya terhadap nyeri atau stimulus nyeri teralihkan

atau berkurang.

Musik dengan irama lembut dan teratur mempengaruhi keadaan

fisik dan mental seseorang. Jika vibrasi dan harmoni musik yang

digunakan sesuai maka pendengar akan merasa nyaman, kenyamanan akan

membuat seseorang menjadi tenang. Selain itu karena vibrasi musik

menghasilkan getaran atau hantaran udara pada organ pendengaran, maka

organ vestibula (alat keseimbangan) juga memperoleh dampak dari musik,

sehingga sesorang menjadi lebih rileks (Setiadarma, 2004). Para ahli yakin

setiap jenis musik klasik seperti mozart dan beethoven dapat membantu

mengurangi nyeri otot dan nyeri kronis (Muttaqin & Kustap, 2008, dalam

Jona, 2013). Musik klasik memiliki tempo yang berkisar antara 60-80

beats per menit selaras dengan detak jantung manusia (Suherman, 2010).

Menurut Potter & Perry (2005), musik dapat merubah status

kesadaran seseorang melalui bunyi, kesunyian, ruang dan waktu. Musik

harus didengarkan minimal 15 menit supaya dapat memberikan efek


33

terapeutik. Dalam keadaan perawatan akut, mendengarkan musik dapat

memberikan hasil yang sangat efektif dalam upaya mengurangi nyeri. Hal

ini diperkuat oleh penelitian Kaliyaperumal & Subash (2010), yang

mengatakan mendengarkan musik selama waktu 20 menit dan dilakukan

dua kali dalam sehari selama tiga hari akan memberikan efek yang baik

bagi penderita kanker karena dapat mengurangi rasa sakit yang dirasakan

dan memberikan suasana hati yang nyaman.

Selain pemberian yang mudah dan terjangkau, efek dari terapi

musik dapat merilekskan seseorang, karena dapat merangsang pengeluaran

endorfin dan serotonin. Endorfin dan Serotonin merupakan sejenis morfin

alami tubuh dan juga metanonin sehingga tubuh merasa lebih rileks pada

seseorang yang mengalami stress (Djohan, 2009). Diperkuat oleh

penelitian Novita (2012 dalam Karendehi 2015), yang menyatakan musik

menstimulasi pengeluaran endorfin. Endorfin memiliki efek relaksasi pada

tubuh. Endorpin juga sebagai ejektor dari rasa rileks dan menimbulkan

ketenangan. midbrain mengeluarkan Gama Amino Butiryc Acid (GABA)

yang berfungsi menghambat impuls listrik dari satu neuron ke neuron

lainnya oleh neurotransmitter didalam sinaps. Selain itu, midbrain

mengeluarkan enkepalin dan beta endorfin. Zat tersebut dapat

menimbulkan efek analgesik yang akhirnya mengeliminasi

neurotransmitter rasa nyeri pada pusat persepsi dan interpretasi sensorik

somatik diotak. Sehingga efek yang muncul adalah rasa nyeri yang

berkurang.
34

B. Asuhan Keperawatan Teoritis

1. Pengkajian

a. Identitas Klien

Identitas pasien meliputi nama, umur, nomor rekam medis,

jenis kelamin, agama, status perkwainan, pendidikan terakhir,

pekerjaan, alamat, diagnosa medis, tanggal masuk rumah sakit,

penanggung jawab pasien.

b. Keluhan Utama

Biasanya pada pasien dengan carcinoma recti akan mengeluh

nyeri saat BAB dan disertai BAB berdarah (Brunner & Suddart, 2008)

c. Riwayat Kesehatan

1) Riwayat Kesehatan Sekarang

Biasanya klien mengalami perubahan pola defekasi, terasa

nyeri pada perut dan saat defekasi, konstipasi atau diare, BAB

berdarah dan berlendir, BAB berbentuk seperti kotoran kambing,

mengeluh tidak puas setelah BAB, anoreksia, nausea, berat badan

turun dan badan terasa lemah (Brunner & Suddarth, 2008)

2) Riwayat Kesehatan Dahulu

Pola diet yang tidak sehat seperti kurangnya konsumsi buah

– buahan dan makanan berserat, selain itu banyaknya konsumsi

protein hewani dan lemak serta adanya riwayat menderita kelainan

pada kolon ulseratif (polip kolon) (Price & Wilson, 2010)


35

3) Riwayat Kesehatan Keluarga

Biasanya terdapat anggota keluarga yang memiliki penyakit

yang sama seperti klien atau penyakit kanker lainnya (Brunner &

Suddarth, 2008)

d. Pengkajian Fungsional Gordon

1) Pola Persepsi dan Penanganan Kesehatan

Persepsi terhadap penyakit, biasanya klien akan

mengungkapkan perasaan cemas terhadap penyakit yang diderita

dan berbagai tindakan medis yang dilakukan. Berbagai perawatan

dan pengobatan yang dilakukan selama pasien dirawat akan

mempengaruhi persepsi pasien tentang kebiasaan merawat diri,

dikarenakan tidak semua pasien dapat melakukan pemeliharaan

kesehatan dengan benar dan tepat. (Erda, 2017)

2) Pola Nutrisi/Metabolisme

Menggambarkan nutrisi yang dikonsumsi, pemenuhan

kebutuhan cairan dan elektrolit, biasanya klien mengeluh

penurunan napsu makan (anoreksia), adanya mual atau disertai

muntah, berat badan mengalami penurunan, diikuti dengan

penurunan lemak subkutan dan penurunan massa otot, konjungtiva

tampak anemis dan pemeriksaan darah dengan Hb yang rendah

(Smeltzer, 2009).

3) Pola Eliminasi

Biasanya terdapat perubahan defekasi yaitu mengalami

konstipasi dan diare secara bergantian, feses bercampur dengan


36

darah atau berwarna hitam, tampak penipisan pada feses (Erda,

2017).

4) Pola Aktivitas dan Latihan

Biasanya pasien yang sudah menjalani tindakan

pembedahan (laparatomi dan kolostomi), untuk tahap awal pasca

operasi akan dibantu oleh anggota keluarga karena pasien masih

merasa nyeri ketika bergerak (Suryono, 2010). Sama hal nya

dengan tindakan kemoterapi, klien akan membutuhkan bantuan

orang lain untuk memenuhi aktivitasnya dikarenakan efek samping

obat yang mengganggu sistem pencernaan (diare, mual, muntah,

stomatitis, dan rasa nyeri di daerah perut), serta gangguan pada

sistem integumen (telapak tangan dan kaki terasa gatal, sakit,

bengkak dan kemerahan, adanya bintik – bintik di kulit, kulit

kering dan gatal, dermatitis (radang kulit). Selain itu akan

mengakibatkan kelelahan serta demam (Baradero et al,. 2007).

5) Pola Istirahat Tidur

Biasanya pasien mengalami sulit tidur (insomnia, gelisah

atau samnolen) dikarenakan nyeri yang timbul baik secara tiba –

tiba atau menetap sehingga kebutuhan jam tidur pasien menjadi

berkurang (Erda, 2017).

6) Pola Kognitif Persepsi

Pola kognitif merupakan kemampuan daya ingat pasien

terhadap peristiwa yang baru terjadi atau telah lama terjadi dengan

menilai orientasi tempat, waktu dan (nama) orang atau benda yang
37

lain, tingkat pendidikan akan mempengaruhi, serta kemampuan

untuk menilai nyeri dengan menggunakan Numeric Rating Scale

(NRS) yaitu 0 sampai 10. Untuk pola persepsi sensori meliputi

penglihatan, pendengaran maupun pembauan yang pada umumnya

tidak memiliki masalah (Erda, 2017).

7) Pola Peran Hubungan

Biasanya pasien akan mengalami penurunan peran baik

dalam keluarga maupun sosial (pekerjaan dan dalam kegiatan

bermasyarakat), dikarenakan harus menjalani berbagai pengobatan

(Suryono, 2010). Sehingga dibutuhkan dukungan keluarga dan

sosial agar pasien tetap merasa diperdulikan, dihargai dan dicintai

(King, 2010 dalam Marni & Yuniawati, 2015).

8) Pola seksualita/ Reproduksi

Menggambarkan kepuasan atau masalah dengan seksualitas

secara aktual (dirasakan saat ini), dampak sakit yang dialami

terhadap seksualitas pasien kanker dengan pasangannya. Adanya

riwayat pemeriksaan seksualitas atau bagian reproduksi (Erda,

2017)

9) Pola Persepsi Diri/ Konsep Dri

Konsep diri menurut Stuart & suddart (dalam Heidemans,

2009) menyatakan bahwa konsep diri merupakan ide, pikiran,

kepercayaan dan pendirian yang melekat pada individu yang

mempengaruhi individu tersebut berhubungan dengan orang lain.

Biasanya pasien dengan kanker akan mengalami gangguan konsep


38

diri, merasa cemas karena takut ditinggal oleh pasangannya,

merasa tidak berdaya dan tidak berguna lagi. adanya kecemasan

dan ketakutan yang dialami penderita kanker atau penilaian

terhadap diri, dampak sakit terhadap diri, kontak mata, dan

ekspresi wajah (Erda, 2017).

10) Pola Koping – Toleransi Stress

Pasien yang telah menjalani rawatan yang cukup lama,

perjalanan penyakit yang kronis, perasaan tidak berdaya dapat

menyebabkan perasaan marah, cemas, takut, tidak sabar dan mudah

tersinggung (Erda, 2017).

11) Pola Keyakinan – Nilai

Menggambarkan dan menjelaskan pola nilai dan keyakinan

termasuk spiritual. Menjelaskan sikap (budaya) dan keyakinan

pasien terhadap pengobatan yang dilakukan. Dukungan yang

diberikan keluarga agar klien dapat menjalankan ibadah selama

sakit. (Erda, 2017)

e. Pemeriksaan Fisik

1) Keadaan Umum

Pemeriksaan keadaan umum meliputi tingkat kesadaran,

serta tanda – tanda vital (tekanan darah, nadi, pernapasan dan suhu)
39

2) Kepala

Biasanya tidak ada gangguan, bentuk kepala simetris, tidak

ada lesi, tidak ada edema, rambut (bersih atau kotor, ada tidaknya

bau, tidak ada atau mudah rontok)

3) Mata

Tampak simetris, tidak memiliki gangguan penglihatan,

palpebral tidak edema, sklera tidak ikterik, biasanya konjungtiva

tampak anemis dikarenakan Hb yang menurun dan intake yang

tidak adekuat.

4) Hidung

Tampak simetris, tidak ada keluhan (polip atau sinusitis),

tidak ada pernapasan cuping hidung.

5) Mulut dan Gigi

Biasanya mukosa bibir tampak kering dan pucat, ada atau

tidak adanya stomatitis dan caries gigi

6) Telinga

Tampak simetris, tidak memiliki keluhan pendengaran, ada

atau tidak adanya lesi, ada atau tidak adanya serumen

7) Leher

Biasanya bisa terjadi pembengkakan kelenjar getah bening

apabila kanker telah bermetastase (kanker dengan stadium III dan

IV). Ada atau tidak adanya pembesaran tiroid dan vena jugularis.
40

8) Dada

a) Paru-paru

Inspeksi : Simetris kiri dan kanan, ada atau tida adanya lesi

Palpasi : Fremitus kiri dan kanan sama

Perkusi : Sonor atau hipersonor

Auskultasi : Suara nafas normal atau ronkhi atau wheezing

b) Jantung

Inspeksi : Iktus kordis terlihat atau tidak terlihat

Palpasi : Iktus kordis teraba 2 jari midklavikula di RIC V ki

Perkusi : Batas jantung normal

Auskultasi : Reguler atau irregular

9) Abdomen

Inspeksi : Perut mengalami distensi atau pembengkakan

karena BAB yang tertahan, atau tampak stoma

pada pasien yang sudah menjalani kolostomi di

bagian perut sebelah kanan, atau tampak luka

laparatomi.

Palpasi : Perut terasa lunak atau keras, hepar teraba atau

tidak, adanya nyeri tekan atau tidak

Perkusi : Tympani

Auskultasi : bising usus (+), biasanya mengalami penurunan

10) Kulit

Biasanya kulit akan tampak kering dan berwarna pucat

disebabkan oleh anemia, serta akral teraba dingin.


41

11) Ekstremitas

Biasanya pasien mengeluh lemah pada anggota gerak

disebabkan intake yang tidak adekuat,

12) Genitalia

Biasanya pasien mengeluh nyeri pada pada daerah anus,

tampak benjolan – benjolan disekitar anus dan tampak memerah.

2. Masalah Keperawatan

a. Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera biologis (carcinoma

recti)

b. Resiko defisit nutrisi berhubungan dengan ketidakmampuan mencerna

makanan

c. Gangguan integritas kulit/ jaringan berhubungan denganfaktor mekanis

(penekanan sel kanker)

d. Resiko infeksi berhubungan dengan proses penyakit

e. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan fungsi tubuh

f. Ansietas berhubungan dengan ancaman terhadap kematian

g. Defisit pengetahuan berhubungan dengan kurangnya terpapar

informasi tentang manajemen kanker

(SDKI, 2016)
42

Tabel 2.2 Intervensi Keperawatan

N NANDA
o (Diagnosa NOC (Kriteria Hasil) NIC (Intervensi Keperawatan)
Keperawatan)

1 Nyeri kronis a. Kontrol nyeri a. Menajemen nyeri


berhubungan - Mengenali kapan nyeri - Lakukan pengkajian nyeri komprehensif yang
dengan agen terjadi meliputi lokasi karakteristik, onset/durasi,
- Menggambarkan faktor frekuensi, kualitas, intensitas atau beratnya
cidera biologi
penyebab nyeri dan faktor pencetus
(karsinoma rekti) - Menggunakan tindakan - Observasi adanya petunjuk nonverbal
pencegahan mengenai ketidaknyamanan
- Menggunakan tindakan - Pastikan perawatan analgesik bagi pasien
pengurangan nyeri dilakukan dengan pemantauan yang ketat
Batasan - Menggunakan analgesik - Gali pengetahuan dan kepercayaan pasien
karakteristik : yang di rekomendasikan mengenai nyeri
- Melaporkan perubahan - Tentukan akibat dari pengalaman nyeri
1. Anoreksia terhadap gejala nyeri terhaddap kualitas hidup pasien
2. Bukti nyeri - Melaporkan nyeri yang - Berikan informasi mengenai nyeri, seperti
dengan terkontrol penyebab nyeri, berpa lama nyeri
menggunakan 1 2 3 4 5 - Kendalikan faktor lingkungan yang dapat
standar daftar mempengaruhi respon pasien terhadap
Ket: ketidaknyamanan
periksa nyeri
1. Tidak pernah - Kurani faktor-faktor yang dapat mencetuskan
untuk pasien peningkatan nyeri
menunjukkan
yang tidak dapat 2. Jarang - Ajarkan pasien prinsip-prinsip menajemen
mengungkapkan menunjukkan nyeri
nya 3. Kadang-kadang - Ajarkan penggunaan teknik non farmakologi
3. Ekspresi wajah menunjukkan - Berikan individu penurunan nyeri yang
nyeri 4. Sering optimal dengan peresepan analgesik
menunjukkan - Dukung istirahat/tidur yang adekuat
4. Fokus pada diri
5. Secara konsisten
sendiri menunjukkan b. Pemberian analgesik
5. Hambatan b. Tingkatan nyeri - Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas dan
kemampuan - Nyeri yang dilaporkan keparahan nyeri sebelum mengobati pasien
meneruskan - Panjangnya episode nyeri - Cek perintah pengobatan meliputi obat, dosis,
aktivitas - Menggosok area yang dan frekuensi obat analgesik yang diresepkan
sebelumnya terkena dampak - Cek adanya riwayat alergi
- Menggerang dan menangis - Tentukan pilhan obat analgesik
6. Keluhan tentang
- Ekspresi wajah nyeri - Berikan analgesik sesuai waktu paruhnya,
intensitas - Tidak bisa istirahat terutama pada nyeri yang berat
menggunakan - Mengerinyit - Pilih rute intervena
standar skala - Kehilangan nafsu makan - Monitor TTV sebelum dan sesudah pemberian
nyeri - Mual analgesik
7. Keluahan 1 2 3 4 5 - Dokumentasikan responterhaddap analgesik
dan adanya efek samping
tentang
Ket :
karakteristik
nyeri 1. Berat
8. Perubahan pola 2. Cukup berat
tidur 3. Sedang
4. Ringan
5. Tidak ada

2 Resiko defisit a. Status nutrisi a. Manajemen nutrisi


43

nutrisi - Asupan gizi - Tentukan status gizi pasien dan kemampuan


berhubungan - Asupan makanan pasien untuk memenuhi kebutuhan gizi
dengan - Asupan cairan - Identifikasi adanya alergi atau intoleransi
- Energi makanan yang dimiliki pasien
ketidakmampuan
- Rasio berat badan/tinggi - Tentukan apa yang menjadi preferansi
mencerna badan makanan bagi pasien
makanan - Hidrasi - Instruksikan pasien mengenai kebutuhan
1 2 3 4 5 nutrisi
- Tentukan jumlah kalori dan jenis nutri yang
Ket : dibutuhkan
- Berikan pilihan makanan sambil menawarkan
1. Sangat meninyimpang bimbingan terhadap pilihan makanan yang
dari rentang normal lebih sehat
2. Banyak menyimpang - Atur diit yang diperlukan
dari rentang normal - Ciptakan lingkungan yang optimal pada saat
3. Cukup menyimpang dari mengkonsumsi makan
rentang normal - Lakukan atau bantu pasien terkait dengan
4. Sedikit menyimpang dari perawatan mulut sebelum makan
rentang normal - Pastikan makanan disajikan dengan cara yang
5. Tidak menyimpang dari menarik dn pada suhu yang paling cocok
rentang normal - Anjurkan keluarga untuk membawa makanan
favorit paien
b. Status nutrisi : Asupan nutrisi - Pastikan diit mencakup makanan tinggi
- Asupan kalori kandungan serat untuk mencegah konstipasi
- Asupan protein - Monitor kecendrungan terjadi penurunan dan
- Asupan lemak kenaikan berat badan
- Asupan karbohidrat
- Asupan serat b. Monitor nutrisi
- Asupan vitamin - Timbang berat badan pasien
- Asupan mineral - Monitor pertumbuhan dan perkembangan
- Asupan zat besi - Lakkan pengukuran antropometri
- Asupan kalsium - Monitor kecendrungan turun atau kenaikan
- Asupan natrium berat badan
1 2 3 4 5 - Identifikasi perubahan berat badan terkhir
- Monitor turgor kulit dan mobilitas
Ket : - Identifikasi abnormalitas kulit
1. Tidak adekuat - Identifikasi adanya abnormalitas rambut
2. Sedikit adekuat - Monitor adanya mual dan muntah
3. Cukup adekuat - Identifikasi abnormalitas eliminasi bowel
4. Sebagian besar adekuat - Monitor diit dan asupan kalori
5. Sepenuhnya adekuat - Identifikasi perubahan nafsu makan dan
akrivitas akhir-akhir ini
- Tentukan pola makan
- Monitor adanya warna pucat, kemerahan dan
konjungtiva yang kering
- Identifikasi adanya ketidaknormalan kuku
- Lakukan evaluasi kemampuan menelan
- Lakukan pemeriksaan laboratorium
- Tentukan faktor-faktor yang mempengaruhi
asupan nutrisi

3 Resiko Infeksi a. Kontrol Resiko (Proses a. Kontrol infeksi


berhubugan Infeksi) - Bersihkan lingkungan setelah dipakai pasien
dengan proses - Identidikasi faktor resiko lain
infeksi - Pertahankan teknik isolasi
penyakit
- Identifikasi tanda dan gejala - Batasi pengunjung bila perlu
infeksi - Instruksikan pada pengunjung untuk mencuci
44

- Perilaku diri yang tangan saat berkunjung dan setelah berkunjung


berhubungan dengan resiko meninggalkan pasien
infeksi - Cuci tangan setiap sebelum dan sesudah
- Perubahan status kesehatan tindakan keperawatan
1 2 3 4 5 - Gunakan baju, sarung tangan sebagai alat
pelindung
Ket : - Pertahankan lingkungan aseptik selama
pemasangan alat
1. Tidak pernah - Gunakan kateter intermiten untuk menurunkan
menunjukkan infeksi kandung kencing
2. Jarang menunjukkan - Tingktkan intake nutrisi
3. Kadang-kadang - Berikan terapi antibiotik bila perlu
menunjukkan
4. Sering menunjukkan b. Perlindungan Infeksi
5. Secara konsisten - Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan
menunjukkan lokal
- Monitor hitung granulosit, WBC
b. Keparahan Infeksi - Monitor kerentangan terhadap infeksi
- Kemerahan - Berikan perawatan kulit pada area epidema
- Cairan (luka) yang berbau - Inspeksi kulit dan membran mukosa terhadap
busuk kemerahan, panas, drainase
- Demam - Inspeksi kondisi luka / insisi bedah
- Menggigil - Dorong masukkan nutrisi yang cukup
- Hilang napsu makan - Dorong masukan cairan
- Peningkatan jumlah sel - Dorong istirahat
darah putih - Instruksikan pasien untuk minum antibiotik
1 2 3 4 5 sesuai resep
- Ajarkan pasien dan keluarga tanda dan gejala
infeksi
- Ajarkan cara menghindari infeksi
Ket : - Laporkan kecurigaan infeksi

1. Berat
2. Cukup berat c. Vital Sign Monitoring
3. Sedang
- Monitor TD, nadi, suhu dan RR
4. Ringan
- Monitor vital sign pasien saat berbaring,
5. Tidak ada
duduk, berdiri
- Auskultasi tekanan darah pada kedua lengan
dan bandingkan
- Monitor TD, Nadi, RR sebelum, selama dan
setelah aktivitas
- Monitor kualitas nadi
- Monitor suara paru dan bunyi jantung
- Monitor pola pernafasan abnormal
- Monitoradanya sianosis perifer
- Identifikasi penyebab dari perubahan vital
sign

( NIC & NOC, 2016)

C. Evidence Based Nursing Practice (EBNP)


45

1. Latar Belakang

Menurut Ingersol (2000 dalam Hapsari, 2011), menyatakan bahwa

Evidence Based Nursing (EBN) adalah penggunaan teori dan informasi

yang diperoleh berdasarkan hasil penelitian secara teliti, jelas serta

bijaksana dalam pembuatan keputusan tentang pemberian asuhan

keperawatan pada individu atau sekelompok pasien dengan

mempertimbangkan pilihan sesuai dengan kebutuhan pasien. EBN

memberikan metode paling strategis dalam memberikan perawatan yang

telah terbukti melalui penilaian dari studi berkualitas tinggi dan temuan

penelitian yang signifikan secara statistik. Pemberian asuhan keperawatan

berbasis Evidence Based Nursing (EBN) pada kasus ini adalah pemberian

terapi musik (klasik) untuk menurunkan tingkat nyeri pada pasien kanker.

Menurut Herdman & Kamitsuru (2015), nyeri merupakan

pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan yang

muncul dikarenakan adanya kerusakan jaringan secara aktual maupun

potensial, datang secara tiba – tiba atau lambat dengan intensitas nyeri

ringan hingga berat yang dapat diantisipasi atau diprediksi. Rice (2008)

menyatakan bahwa nyeri pada pasien kanker bersifat kronik. Nyeri kronik

adalah nyeri yang dirasakan secara konstan atau berulang tanpa akhir yang

dapat diantisipasi atau diprediksi dan berlangsung lebih dari 3 bulan

(Herdman & Kamitsuru, 2015).

Pasien yang mengalami nyeri dengan jangka waktu yang cukup

lama akan mengganggu aktivitas seperti melakukan perawatan diri

(Andarmoyo, 2013). Nyeri yang dirasakan dapat berdampak pada


46

perubahan napsu makan, sehingga pasien tidak dapat memenuhi

kebutuhan nutrisi secara adekuat. Selain itu, pola tidur pasien juga akan

terganggu karena nyeri datang secara tiba – tiba (Potter & Perry, 2009).

Maka dari itu, nyeri yang dirasakan baik itu ringan, sedang maupun berat

harus segera ditangani dan diatasi, karena kenyamanan merupakan

kebutuhan dasar manusia (Potter & Perry, 2005).

Penanganan nyeri dapat dilakukan secara farmakologis dan non

farmakologis. Secara farmakologis dapat dengan pemberian obat – obatan

analgetik golongan opioid yang berfungsi untuk pereda rasa sakit

(Smeltzer, 2001). Sedangkan secara non farmakologis dengan cara

distraksi. Distraksi adalah cara mengalihkan perhatian pasien sehingga

dapat menurunkan kewaspadaan terhadap nyeri bahkan meningkatkan

toleransi terhadap nyeri (Purwanto, 2008).

Salah satunya adalah dengan terapi musik, terapi musik adalah

terapi yang menggunakan musik secara sistematis yang dapat membina

hubungan terapeutik bertujuan untuk memulihkan emosi, fisik dan

kesehatan mental akibat nyeri yang dirasakan (Gesellschaft, 2015). Terapi

musik merupakan usaha meningkatkan kualitas fisik dan mental dengan

rangsangan suara yang terdiri dari melodi, ritme, harmoni, timbre, bentuk

dan gaya yang di organisir sedemikian rupa sehingga menciptakan musik

yang bermanfaat untuk kesehatan fisik dan mental (Astuti & Merdekawati,

2016).

New zealand society for music therapy (NZSMT) menjelaskan

bahwa terapi musik terbukti efektif untuk diaplikasikan di bidang


47

kesehatan, karena musik dapat menurunkan kecemasan, nyeri, strees, dan

menimbulkan perasaan yang positif (Economidou, 2012). Selain itu

Nikandish (2007) menyatakan bahwa terapi musik bersifat universal dan

dapat diterima oleh semua orang karena kita tidak membutuhkan kerja

otak yang berat untuk menginterpretasi alunan musik. Terapi musik sangat

mudah diterima organ pendengaran kita dan kemudian melalui saraf

pendengaran disalurkan kebagian otak yang memproses emosi.

Salah satu terapi komplementer yang dapat dilakukan

menggunakan terapi musik yang sesuai dengan EBN adalah “Effect of

Music Theraphy for Patients with Cancer Pain” penelitian ini dilakukan

oleh Kaliyaperumal & Subash (2010), menyatakan bahwa terapi musik

dapat digunakan sebagai intervensi dan dapat digabung dengan

pengobatan lain karena tidak memiliki efek samping karena terapi ini

dapat menurunkan rasa sakit dan meningkatkan rasa nyaman.

2. Identifikasi Masalah

Dari fenomena yang sering terjadi pada pasien kanker yaitu adanya

nyeri. Menurut Khoirunnisa dkk (2017), menyatakan bahwa nyeri dapat

disebabkan oleh penekanan sel kanker, pembedahan, kemoterapi, radiasi,

dan infeksi. Kualitas nyeri yang dirasakan oleh pasien kanker yaitu nyeri

tumpul hingga kolik (beck et al., 2011), dan lokasi nyeri dapat terjadi

dibeberapa tempat antara lain, tungkai atau kaki, punggung,

pelvis/rektum/genitalia, lengan atau tangan, abdomen dan leher (Lowery

et al., 2011).
48

Dalam mengidentifikasi masalah evidence based, maka dapat

dilakukan identifikasi masalah masalah melalui analisa dengan PICO.

PICO merupakan singkatan dari Problem, Intervention, Comparison, and

Outcome. Keempat komponen tersebut merupakan elemen penting untuk

menjawab dalam evidence based nursing practice (Santos, 2007).

Komponen PICO pada inovasi Evidence Based Nursing dengan

tema Efektifitas Terapi Musik pada Pasien dengan Nyeri Kanker adalah :

a. P atau Problem adalah pasien carcinoma recti pre radioterapi yang

mengalami nyeri

b. I atau Intervention adalah pemberian terapi musik (klasik) pada waktu

tertentu terutama saat pasien mengalami nyeri

c. C atau Comparative adalah tidak dilakukan intervensi banding

d. O atau Outcomes adalah nyeri pasien dengan kanker mengalami

penurunan setelah pemberian terapi musik (klasik)

Setelah perumusan PICO, penulis melanjutkan pencarian artikel

EBN (Evidence Based Nursing) dengan menggunakan search engine

seperti google, google scholar, NCBI, sience direct dengan kata kunci :

kanker, terapi musik, nyeri (cancer, therapy music, pain). Kemudian

penulis mendapatkan artikel dengan judul “Effect of Music Therapy for

Patient with Cancer”. penelitian ini dilakukan oleh Raji Kaliyaperumal

dan Jaya Gowri Subash (2010).

3. Critical Appraisal Topic


49

Critical appraisal topic merupakan suatu proses yang diteliti

secara sistematis untuk mengevaluasi penelitian dan memutuskan tingkat

kepercayaan, nilai serta relevansinya dalam konteks tertentu. Critical

appraisal diartikan sebagai suatu proses evaluasi secara cermat dan

sistematis pada suatu artikel penelitian untuk menentukan realibilitas,

validitas dan kegunaannya dalam praktek klinis (Abdullah 2012 dalam

Erda 2017).

EBN ini diambil dari penelitian Kaliyaperumal & Subash dengan

judul “Effect of Music Therapy for Patient with Cancer”. Penelitian

tersebut dilakukan pada 40 pasien kanker (kanker payudara dan kanker

leher rahim) di Rumah Sakit Coimbatore India pada tahun 2010. Jenis

penelitian ini quasi eksperimental dengan populasi adalah pasien kanker.

Rancangan penelitian ini ada kelompok kontrol dan kelompok intervensi.

Metode pengumpulan data dengan mengukur kuesioner skala nyeri,

wawancara dan mengukur tanda – tanda vital. Untuk mengukur nyeri

digunakan kuesioner standar Numeric Rating Scale (NRS) dengan

memberikan penjelasan tentang nyeri mulai dari angka 0 hingga 10.

Menurut Potter & Perry (2006), menyatakan jika skala 0 tidak nyeri, skala

1 – 3 nyeri ringan, skala 4 – 6 nyeri sedang, skala 7 – 9 nyeri berat dan

skala 10 nyeri sangat berat. Penilaian nyeri ini sudah digunakan studi lokal

dan internasional.

Menurut penulis, pemberian terapi musik khususnya musik klasik

di ruangan dapat diterapkan karena tindakan noninvasif ini tidak sulit

dicari dan tidak menimbulkan efek samping sehingga aman diberikan


50

kepada pasien dengan kanker yang mengalami nyeri agar merasa rileks

sehingga mampu menurunkan rasa nyeri. Pada pasien dengan nyeri berat,

selain tindakan non farmakologi juga akan diberikan terapi farmakologi

berupa obat pereda rasa sakit (analgetik). Menurut Novita (2012 dalam

Karendehi 2015) mengatakan bahwa obat analgetik berupa ketorolak

30mg yang diberikan dengan di drip kedalam cairan infus pasien dapat

mempengaruhi penurunan skala nyeri. Ketorolak merupakan jenis

analgetik non narkotik yang kuat, yang bekerja di perifer dan tidak ada

efek opioid reseptor. Selain itu, ketorolak juga efektif sebagai

antiinflamasi dan antipiretik, efek ini memperlambat sintesa prostaglandin.

Ketorolak merupakan agen analgesik NSAID pertama yang dapat

diinjeksikan yang kemnajurannya dapat dibandingkan dengan morfin

untuk nyeri berat.

4. Prosedur Pelaksanaan

Prosedur pelaksaan dilakukan dengan memilih pasien yang

mengalami nyeri akibat kanker yang dimilikinya. Intervensi diberikan

selama 20 menit, namun akan dilakukan penilaian nyeri menggunakan

Numeric Rating Scale (NRS) sebelum dan sesudah intervensi diberikan.

Prosedur pelaksanaan terapi musik pada pasien dilakukan dengan

cara sebagai berikut :

a. Memilih pasien yang memenuhi syarat untuk diberikan terapi musik

(klasik) yaitu pasien yang terdiagnosa kanker dan belum dilakukan

tindakan pengangkatan ataupun kemoterapi. dengan kriteria inklusi :


51

berusia 30 – 60 tahun, berorientasi terhadap waktu dan tempat,

kemampuan mendengar yang baik, tidak memiliki masalah telinga,

menyukai musik atau instrumen lagu, tidak ada riwayat masalah

jantung dan hipertensi dan tidak memiliki riwayat masalah psikologis

(gangguan kejiwaan).

b. Membina kontrak dengan pasien dan keluarga

c. Menjelaskan maksud dan tujuan tindakan pada pasien dan keluarga,

serta menandatangani informed consent

d. Sebelum intervensi dilakukan, terlebih dahulu melakukan penilaian

nyeri dengan Numeric Rating Scale (NRS)

e. Memberikan intervensi terapi musik (klasik) menggunakan headphone

selama 20 menit

f. Kemudian 5 menit setelah intervensi diberikan, dilakukan kembali

penilaian nyeri menggunakan Numeric Rating Scale (NRS)

Anda mungkin juga menyukai