Anda di halaman 1dari 15

anusia Sebagai Makhluk Sempurna dan Makhluk Mulia

Manusia adalah makhluk ciptaan Allah yang paling mulia dibandingkan  dengan makhluk
lainnya seperti Malaikat, Iblis, Hewan, dsb. Adapun kemuliaan manusia bermula ketika Allah
berkehendak menjadikan Nabi Adam sebagai Khalifah-Nya di atas muka bumi dengan misi
ibadah kepada-Nya. Kehendak Allah menjadikan manusia sebagai Khalifah-Nya  di bumi itu
tentunya berdasarkan ilmu dan perencanaan-Nya yang sangat matang. Sebab itu, ketika para
malaikat mempertanyakan rencana Allah tersebut, Allah menjawabnya: “Sungguh Aku
mengetahui apa yang kalian tidak ketahui.” (QS. Al-Baqarah : 30).
Kemuliaan tersebut  bukan karena subyektivitas Tuhan Pencipta yang Maha Kuasa atas
segala makhluk-Nya, melainkan berdasarkan standar ilmiyah terkait dengan rancangan
penciptaan yang sangat sempurna baik fisik maupun non fisik seperti akal, qalb (hati), tanpa
kehilangan syahwat dan nafsu hewaniyahnya, demikian juga gerak mekanik  seluruh tubuhnya 
yang demikian indah dan dinamis. Dengan demikian, manusia dianugerahkan berbagai
kelebihan, dan kelebihan-kelebihan tersebut tidak diberikan Allah kepada makhluk lain selain
manusia dan telah pula menyebabkan mereka memperoleh kemuliaan-Nya. Allah menjelaskan-
Nya :   “Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di
daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka
dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan”. (QS.
Al Isra’ : 70).
Ada beberapa indikasi dimuliakannya manusia, yaitu:
1.      Peniupan ruh pada diri manusia. Allah SWT berfirman, “Kemudian Dia menyempurnakan dan
meniupkan ke dalamnya ruh-Nya dan dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan
dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur.” (QS As-Sajdah: 9).
2.     
Allah memberikan manusia berbagai poten
si seperti akal pikiran, kelebihan berbahas
dan keindahan fisik. Allah SWT be rfirman, “Sesungg
3.      Ditundukkannya alam semesta untuk manusia. Allah SWT berfirman, “Apakah kamu tidak
melihat bahwasannya Allah menundukan bagimu apa yang ada di bumi dan bahtera yang
berlayar di lautan dengan perintah-Nya, dan dia menahan (benda-benda) langit jatuh ke
bumi dengan izin-Nya? Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang kepada manusia.” (QS Al-Hajj: 65).
Dengan demikian Allah menciptakan gunung-gunung, lautan, sungai, binatang-binatang,
tumbuh-tumbuhan dan sebagainya hanyalah untuk kepentingan manusia. Karena Allah telah
menundukkan semua itu untuk manusia maka manusia pun dengan akal pikirannya bisa
mengelola dan memanfaatkan Semua itu untuk kelangsungan dan kesejahteraan hidupnya. Allah
benar-benar Maha Pengasih dan Maha Pemurah kepada manusia.
Manusia adalah makhluk Allah yang paling mulia selama mereka dapat memanfaatkan
secara optimal tiga anugerah keistimewaan / kelebihan yang mereka miliki yakni, Spiritual,
Emotional, dan Intellectual dalam diri mereka sesuai misi dan visi penciptaan meraka. Namun
apabila terjadi penyimpangan misi dan visi hidup, mereka akan menjadi makhluk paling hina,
bahkan lebih hina dari binatang dan Iblis bilamana mereka kehilangan control atas ketiga
keistimewaan yang mereka miliki. Penyimpangan misi dan visi hidup akan menyebabkan derajat
manusia jatuh di Mata Tuhan Pencipta dan di dunia.

1. Allah telah menjelaskan dalam firman-Nya : “Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk
isi neraka Jahannam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati,
tetapi tidak dipergunakan untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai
mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah),
dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar
(ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi.
Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (QS. Al A’raf : 179). Hakekat Manusia
Sebagai Makhluk Paedagogik

Makhluk Paedagogik ialah makhluk Allah yang dilahirkan membawa potensi dapat dididik dan
dapat mendidik. Makhluk itu adalah manusia. Dialah yang memiliki potensi dapat dididik dan
mendidik sehingga mampu menjadi khalifah di bumi, pendukung dan pengembang kebudayaan.
Ia dilengkapi dengan fitrah Allah, berupa bentuk atau wadah yang dapat diisi dengan berbagai
kecakapan dan keterampilan yang dapat berkembang, sesuai dengan kedudukannya sebagai
makhluk yang mulia. Pikiran, perasaan dan kemampuannya berbuat merupakan komponen dari
fitrah itu. Itulah fitrah Allah yang melengkapi penciptaan manusia. Firman Allah yang artinya :
“ . . . . (tegakkanlah) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia berdasarkan fitrah itu. Tidak
ada perubahan pada ciptaan Allah itu . . . . “

( QS. Ar-Rum : 30 )

Firman Allah yang berbentuk potensi itu tidak akan mengalami perubahan dengan pengertian
bahwa manusia terus dapat berpikir, merasa, bertindak dan dapat terus berkembang. Fitrah inilah
yang membedakan antara manusia dengan makhluk Allah lainnya dan fitrah ini pulalah yang
membuat manusia itu istimewa dan lebih mulia yang sekaligus berarti bahwa manusia adalah
makhluk paedagogiik.[1]

Bagi pendidik istilah ini mungkin tidak asing lagi, dan ilmunya menjadi sebuah acuan dalam
praktek mendidik anak. Jika di lihat dari segi istilah pedagogok sendiri berasal dari bahasa
yunani kuno, yaitu paedos (anak) dan agogos (mengantar, membimbing dan memimpin)

Pada hakekatnya, manusia terlahir sebagai khalifah dan hamba Allah SWT. Selain untuk
menyembah Allah SWT, manusia juga sebagai pemimpin di muka Bumi. Maka jelas bahwa
disini peran manusia sebagai pemimpin, sehingga seorang pemimpin harus mendidik anak
buahnya. Ibarat seorang ayah yang menjadi pemimpin dalam keluarga, maka sudah seharusnya
dia membimbing anak dan istrinya menuju rumah tangga yang sakinah, mawaddah warrohmah.
Begitu juga dengan guru, dia harus bisa membimbing, mengantar dan memimpin peserta didik
agar menjadi sosok yang lebih baik.[2].

Dengan pentingnya seorang dalam mendidik, maka pendidikan itu dapat di artikan sebagai
segala upaya atau proses pendidikan yang dilakukan untuk membimbing tingkah laku manusia
baik individu maupun sosial, untuk mengarahkan potensi baik potensi dasar (fithrah) maupun
ajar yang sesuai dengan fitrahnya melalui proses intelektual dan spiritual berlandaskan nilai
Islam untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akherat[3].

Ki Hajar Dewantoro mendefinisikan pendidikan adalah tuntunan segala kekuatan kodrat yang
ada pada anak agar mereka kelak menjadi manusia dan anggota masyarakat yang dapat mencapai
keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya[4].

Menurut al-Attas, kata adab melibatkan tindakan untuk mendisiplinkan pikiran dan jiwa untuk
mencapai sifat yang baik, terhindar dari noda dan cela. Maka, pengajaran dan keterampilan
betapapun ilmiahnya tidak dapat diartikan sebagai pendidikan jika di dalamnya tidak ditanamkan
nilai-nilai pendidikan[5].

Dan Allah menciptakan manusia dalam keadaan fitrah dengan dibekali beberapa potensi yakni
potensi yang ada dalam jasmani dan rohani. Bekal yang dimiliki manusia pun tidak hanya berupa
asupan positif saja, karena dalarn diri manusia tercipta satu potensi yang diberi nama nafsu. Dan
nafsu ini yang sering membawa manusia lupa dan ingkar dengan fitrahnya sebagai hamba dan
khalifah Allah di bumi. Untuk itu manusia perlu mengembangkan potensi positif yang ada dalam
dirinya untuk rnencapai fitrah tersebut. Dan sebagai pendidik pertama di bumi, orang tua adalah
yang berkewajiban memberikan pengetahuan pertama kepada anak-anaknya.
1. Pandangan Islam Mengenai Manusia Sebagai Makhluk Paedagogik

Dalam pandangan Islam eksistensi manusia sebagai makhluk pedagogik memungkinkan


perkembangan fitrahnya sesuai dengan jalur dan atau lingkungan pendidikan yang dihadapinya.
Jalur pendidikan yang dimaksud di sini adalah pendidikan formal di lingkungan sekolah;
pendidikan non formal di lingkungan masyarakat; dan pendidikan informal di lingkungan rumah
tangga. Ketiga jalur pendidikan ini, disebut dengan tripusat pendidikan.

Ketika fitrah tersebut “dipoles”, maka yang pertama dan paling utama menentukan adalah jalur
pendidikan informal. Dikatakan demikian karena lingkungan rumah tangga merupakan tempat
pertama seseorang mendapat pendidikan. Atau dengan kata lain, sejak pertama sang anak lahir di
dunia ini, kedua orang tuanyalah yang paling awal memberikan pengaruh. Ini berarti bahwa
pertumbuhan dan perkembangan fitrah dimulai dari pendidikan informal, di mana kedua orang
tua bertindak sebagai pendidik secara dwitunggal. Hal ini berdasar pada hadis riwayat Abu
Hurairah yakni:

‫ كل مولد يولد على الفطرة فابواه يهودانه او ينصرانه او‬: ‫ قال النبي صلى هللا عليه وسلم‬: ‫عن ابي هريرة رضي هللا عنه قال‬
‫يمحسانه‬

Artinya:

“Dari Abi Hurairah ra, bahwa Nabi saw bersabda: setiap anak yang dilahirkan dalam keadaan
fitrah, maka orang tualah yang menjadikan ia Yahudi, Nasrani atau Majusi”.

Konteks hadis tersebut relevan dengan QS. al-Rum (30): 30 sebagaimana dikutip terdahulu, yang
sama-sama membicarakan tentang fitrah keimanan sebagai petunjuk bagi orang tua agar lebih
eksis mengarahkan sikap keberagamaan setiap anak secara bijaksana. Berdasarkan hal ini, maka
Islam memandang bahwa pertumbuhan dan perkembangan fithrah manusia sebagai makhluk
pedagogik, sangat besar dipengaruhi oleh lingkungan keluarga. Sebab, di lingkungan inilah anak
menerima sejumlah nilai dan norma yang ditanamkan sejak awal kepadanya. Kaitannya dengan
itu, Mappanganro menyatakan bahwa pada masa-masa tersebut keimanan anak belum
merupakan suatu keyakinan sebagai hasil pemikiran yang obyektif, tetapi lebih merupakan
bagian dari kehidupan alam perasaan yang berhubungan erat dengan kebutuhan jiwanya akan
kasih sayang, rasa aman dan kenikmatan jasmaniah. Peribadatan anak pada masa ini masih
merupakan tiruan dan kebiasaan yang kurang dihayati.

Berdasarkan hasil penelitian di atas, mengindikasikan bahwa pertumbuhan dan atau


perkembangan fitrah manusia sebagai makhluk pedagogik, tetap dipengaruhi oleh faktor
lingkungan. Selanjutnya, agar fitrah tersebut bertumbuh dan berkembangan sesuai dengan
konsep ajaran Islam, maka umat Islam dituntut untuk menjaga keimanannya dan lalu
meningkatkannya melalui proses kependidikan Islam. Pendidikan Islam berarti pembentukan
pribadi muslim. Isi pribadi muslim itu adalah pengamalan sepenuhnya ajaran Allah dan Rasul-
Nya. Membina pribadi muslim adalah wajib, dan karena pribadi muslim tidak mungkin terwujud
kecuali dengan pendidikan, maka pendidikan itupun menjadi wajib dalam pandangan Islam.
Dalam kaidah ushul fikih dikatakan mālā yatimmu syaiun illā bihī fahuwa wājibun “sesuatu yang
tidak sempurna perbuatan perbuatan wajib kecuali dengannya, maka sesuatu adalah wajib”.[6]
1. Pandangan Barat Mengenai Manusia Sebagai Makhluk Paedagogik

Dalam al Quran dijelaskan secara rinci dan teliti bahwa manusia tercipta dari debu dan tanah
(materi) kemudian ditiupkan ruh Ilahi (immateri), menggambarkan bahwa hakikat penciptaan
manusia dan kehidupan manusia sangat sempurna dengan bergabungnya dua unsur, yakni
jasmani dan rohani.

Namun, dalam pandangan Barat tidak ditemukan secara rinci dan teliti mengenai hakikat
penciptaan manusia itu sendiri. Bahkan, di kalangan mereka masih banyak menganut teori
Darwin yang menganggap bahwa manusia itu tercipta melalui proses evolusi yang panjang (dari
monyet). Para penganut teori Darwin ini, menempatkan manusia sejajar dengan binatang dan
menerangkan terjadinya manusia atau hakikat penciptaan manusia dari sebab-sebab mekanis.

Masih terkait dengan pandangan Barat tentang hakekat manusia, oleh Azhar Arsyad menyatakan
bahwa ada sekian pakar (ahli pendidikan Barat) berbicara tentang manusia yang hanya
menggambarkan satu atau dua aspek tentang manusia. Sebagai contoh, mereka menggambarkan
bahwa “manusia adalah binatang cerdas yang menyusui”. Lebih lanjut Azhar Arsyad
berpendapat bahwa misal ini tidak menggambarkan manusia secara utuh.

Apabila ditinjau dari segi biologis semata-mata, manusia itu adalah sebangsa binatang, karena ia
menyusui juga. Binatang punya tulang rusuk dan manusia juga demikian. Tetapi, dalam aspek
fisiologis tidaklah sama antara manusia dengan binatang, sebab manusia adalah makhluk yang
berakal sementara binatang tidak.

Paham tentang manusia sebagai makhluk biologis, sampai-sampai menimbulkan suatu studi yang
disebut biopaedagogik atau educational biologi yang dilakukan oleh ahli-ahli paedagogik dan
psikologi. Demikian besarnya paham biologisme ini, sehingga mereka berpendapat bahwa ada
kejahatan dan problem anak nakal adalah karena heriditas (keturunan biologis). Demikian juga
seorang ahli psikologi dari Barat yang bernama Lombrosso menentukan ciciri yang karakteristik,
bagi penjahat-penjahat tertentu.

Salah satu teori dalam ilmu psikologi pendidikan adalah tentang “phisiognomi”. Tokoh utama
yang menganut ajaran phisiognomi adalah Lombrosso. Dengan berpegang pada teori
phisiognomi tersebut, maka Lombrosso percaya bahwa sifat-sifat orang sudah terberi sejak lahir
dan tidak akan berubah-ubah lagi dalam hidupnya. Demikian pula halnya dengan para penjahat,
mereka sudah mendapat bakat-bakat jahatnya sejak lahir dan bakat-bakat ini dicerminkan pada
wajah seseorang.

Lebih lanjut Lombrosso berpendapat bahwa pembawaan manusia sejak lahirnya disebut dapat
pula disebut dengan teori delinquento nato, yakni potensi atau bakat yang berpengaruh pada
wajah dan potongan tubuh bagi orang bersangkutan. Karena itu Lombrosso dengan teorinya ini,
ia berpendapat bahwa untuk mengatakan seorang itu penjahat atau bukan penjahat dapat dilihat
dari wajahnya dan potongan tubuhnya.

Jika mengikuti pendapat Lombrosso, maka cukup dengan mempelajari bentuk wajah seseorang
atau cukup dengan memperhatikan postur tubuhnya, akan dapat ditebak bahwa orang tersebut
adalah jahat atau tidak jahat. Dengan kata lain, berdasarkan raut muka dan bentuk fisiologi
(badan) tertentu Lombrosso menggolongkan manusia dalam dua tipe, yakni tipe penjahat dan
tipe bukan penjahat.

Rumus yang digunakan untuk mengetahui kepribadian seseorang dengan memperhatikan raut-
muka, adalah mengukur bentuk tengkorak kepala (cephanic index). Dalam hal ini, indeks
tengkorak kepala diperoleh dengan cara menghitung perbandingan (ratio) antara panjang dan
lebar tengkorak, atau juga menambahkan jarak antara atap tengkorak sampai bagian dasar dari
tengkorak. Dengan cara ini diperoleh tiga tipe tengkorak, yaitu;

1. Dolicocephalic (kepala panjang)


2. Brachycephalic (kepala bulat)
3. Mesocephalic (kepala yang berbentuk antara panjang dan bulat).

Tiap tipe bentuk kepala atau tengkorak itu menunjukkan adanya sifat-sifat tertentu atau ciri-ciri
kepribadian tertentu yang merupakan pembawa rasil dan tidak dapat diubah-ubah lagi. Paham
ini, erat sekali hubungannya dengan paham rasialisasi, yaitu bahwa tiap-tiap ras sudah punya
sifat-sifat dan ciri kepribadian sendiri yang tidak berubah-ubah lagi.

Dalam pandangan penulis bahwa perbedaan tipe-tipe di atas, baik dari sisi raut muka dan postur
tubuh seseorang kadang nyata kelihatan dan kadang kadang tidak. Dengan kata lain bahwa
kepribadian, karakter, dan sifat manusia tidak selamanya harus berpedoman pada teori
phisiagnomi sebagaimana yang dianut oleh Lombrosso.

Bagi penulis, masalah kepribadian, karakter, dan sifat manusia, bisa juga dipengaruhi oleh
pengalaman-pengalaman dan pengaruh dari lingkungan. Jadi, lingkungan di mana orang itu
hidup adalah faktor terpenting yang membentuk kepribadian tersebut. Pendapat penulis ini,
merujuk pada pandangan Islam yang menjunjung tinggi kefitrahan manusia sebagai mana dalam
QS. al-Rum (30): 30 dan hadits riwayat Abu Hurairah yang telah dikutip terdahulu.

Bila kembali ditelusuri eksistensi manusia dengan melihat faktor heriditas (keturunan) yang
bersumber dari orang tua, sebenarnya Islam juga mengakui hal itu, tetapi ia berimplikasi pada
kependidikan yang berkonotasi kepada paham nativisme dan penekanannya tetap menjadikan
fitrah sebagai potensi dasar beragama “dinulqayyim” yang tidak dapat diubah. Maksudnya
bahwa sekali agama Islam itu dianut berdasarkan heriditas, maka fitrah keagamaannya tidak
akan mengalami perubahan. Tetapi, bila fitrah dalam arti potensi keberagamaan (melaksanakan
ajaran agama) dijadikan sebagai tolak ukur, maka pada gilirannya tingkat keberagamaan itu
senantiasa bertumbuh dan berkembang bilamana “dipoles” melalui proses pendidikan.
Sebenarnya, paham nativisme ini, juga berasal dari pandangan Lombrosso, dan ahli pikir Barat
bernama Schopenheuer. Namun pandangan Lombrosso dan Schopenheuer mengenai manusia
sebagai makhluk pedagogik, tidak sama dengan pandangan Islam.

Pandangan Barat yang diwakili oleh Lombrosso dan Schopenheuer, menyatakan bahwa proses
kependidikan sebagai upaya untuk mempengaruhi jiwa anak didik tidak berdaya merubahnya.
Sedangkan dalam pandangan Islam adalah bahwa proses kependidikan dapat saja memengaruhi
jiwa anak.
Perlu ditegaskan di sini, bahwa tidak semua ahli pendidikan Barat sependapat dengan Lombrosso
dan Schopenheuer, mengenai konsep manusia sebagai makhluk pedagogik. John Locke (1632-
1704) misalnya, menerangkan hakekat manusia dengan menekankan pembahasan tentang akal
sebagai gudang dan pengembang pengetahuan. Menurut John Locke, akan mempunyai kekuatan-
kekuatan serta materiil untuk melatih kekuatan-kekuatan itu. Kelihatannya pandangan John
Locke ini, adalah netral. Dikatakan demikian karena secara subtansial John Locke memandang
manusia tidak dilahirkan menjadi baik atau buruk, tetapi tergantung pada kekuatan akal
menerima pengaruh dari luar (lingkungan).

Dalam psikologi pendidikan, pandangan John Locke tersebut dikategorikan sebagai paham
behaviorisme, yang bersumber dari sarjana psikologi dan pendidikan Amerika Serikat. Hal
senada juga dikemukakan oleh Skinner bahwa lingkungan sekitar menentukan perkembangan
hidup seseorang, namun ia sendiri juga dapat merubah lingkungan itu.

Dengan kembali menyimak pandangan John Locke dan Skinner, maka dapat dipahami bahwa
jiwa anak sejak lahir berada dalam keadaan suci bersih bagaikan lilin (tabularasa) yang secara
pasif menerima pengaruh dari lingkungan eksternal. Jadi, dapat dirumuskan bahwa pandangan
Barat yang diwakili oleh John Locke dan Skinner, sesungguhnya sejalan dengan pandangan
Islam bahwa manusia pada hakekatnya dapat bertumbuh dan berkembang pengetahuannya
melalui proses pendidikan.[7]

1. Makna Fitrah Manusia Dalam Perspektif Pendidikan Islam

Dalam rangka membina dan mengembangkan seluruh potensi, baik potensi jasmani maupun
rohani, secara efektif dapat dilakukan melalui pendidikan. Dengan proses pendidikan manusia
mampu membentuk kepribadiannya, mentransfer kebudayan dari suatu komunitas kepada
komunitas yang lain, mengetahui nilai baik dan buruk, dan lain sebagainya. Untuk menciptakan
suasana kondusif bagi terlaksananya proses tersebut, diperlukan bentuk interaksi PBM yang
manpu menyentuh dan mengembangkan seluruh aspek manusia (peserta didik).

Namun demikian, bila dilihat secara obyektif bentuk interaksi pendidikan yang dikembangkan
akhir-akhir ini, terkesan mengalami kegagalan dalam melaksanakan visinya yang ideal. Hal ini
dapat dilihat dari ketimpangan kepribadian peserta didik era ini. Ketika mereka mampu
mengembangkan aspek intelektualitasnya, atau sebaliknya.

Fenomena ini   terjadi karena pendidik belum mampu mengenal pribadi peserta didiknya secara
utuh dan belum terakumulasi pada suatu sistem yang kondusif bagi pengembangan kepribadian
peserta didik.

Bila makna manusia yang ditunjukkan Allah dalam Al-Qur’an dicermati secara seksama,
sesungguhnya akan dapat dijadikan pedoman bagi upaya memformat interaksi pendidikan yang
proporsional dan ideal. Hal ini dapat dilihat dari dua pendekatan, yaitu [8]: Pertama, pendekatan
perkata. Ketika Allah menggunakan terma al-basyar dalam menunjuk manusia sebagai makhluk
biologis, maka interaksi pendidikan yang ditawarkan harus pula mempu menyentuh
perkembangan potensi biologis (fisik) peserta didik. Ketika Allah menggunakan terma al-insan,
maka interaksi pendidikan harus pula mampu mengembangkan aspek fisik dan psikis peserta
didik. Demikian pula ketika Allah menggunakan terma al-nas, maka interaksi pendidikan harus
pula menyentuh aspek kehidupan sosial peserta didik. Kedua, pendekatan makna substansional.
Ketika Allah menun juk ketiga terma tersebut dalam memaknai manusia, Allah SWT secara
proporsional. Allah telah memberikan kelebihan pada manusia dengan berbagaipotensinya yang
bersifat dinamis, disamping berbagai kelemahan dan keterbatasan manusia dalam menjalankan
kehidupannya dimuka bumi. Dengan berbagai potensi tersebut, manusia lebih unggul dan
sempurna sesuai dengan tujuan penciptaannya dibanding dengan makhluk Allah yang lain. Disisi
lain, manusia bisa juga menjadi makhluk yang paling hina, tatkala seluruh potensi tak mampu
diaktualkan dan diarahkan secara maksimal, sesuai dengan nilai-nilai ajaran islam.

Berkenaan dengan persoalan diatas, maka secara substanisonal, interaksi pendidikan yang
ditawarkan seharusnya harus mampu mengacu pada pesan Allah melalui tiga term tersebut.
karena pendidikan merupakan saranan yang paling efektif dan strategis untuk membantu
manusia (peserta didik) mengenal dirinya dan mengenal ajaran-ajaran Tuhannya, maka bentuk
interaksi yang ditawarkan harus mampu melihat adanya diferensiasi individual antara individu
peserta didik. Interaksi dari proses pengarahan dan pembinaan seluruh potensi dan aspek peserta
didik harus pula dilakukan secara obyektif, universal, tanpa terpengaruh pada status sosial
maupun ekonomi peserta didik. Proses tersebut harus pula mampu membantu mengantarkan
peserta didik menjadi khalifah dimuka bumi dengan tetap berpegang teguh pada nilai-nilai illahi.
[9] Oleh karenanya, interaksi pendidikan harus diformulasi agar peserta didik memperoleh
pengalaman-pengalaman individual, spiritual, dan sosial secara langsung dan universal. Dengan
pengalaman tersebut, peserta didik diharapkan mampu terintegral dan secara terus menerus
berupaya senantiasa menyempurnakan dirinya Sejalan dengan potensi yang dimiliki, sesuai
dengan ajaran agamanya.[10]

Allah menciptakan makhluknya terutama manusia dengan sebaik-baik bentuk dan dibekali
potensi-potensi, menempatkan manusia pada posisi yang sangat strategis dan tinggi.
Konsekuensi dari hal ini, terlihat dari kedudukan manusia dan dimuka bumi, yaitu sebagai ‘abd
Allah (hamba Allah) dan Khalifah fi al-ardli.[11]

Dalam perspektif pendidikan islam fitrah manusia dimaknai dengan sejumlah potensi yang
menyangkut kekuatan-kekuatan manusia. Kekuatan tersebut meliputi kekuatan hidup upaya
mempertahankan dan melestarikan kehidupannya, kekuatan rasional (akal), dan kekuatan
spiritual (agama). Ketiga kekuatan ini bersifat dinamis dan terkait secara integral. Perpaduan
ketiganya merupakan satu-kesatuan yang utuh. Dengan kemampuan inilah, menjadikan manusia
sebagai wakil Allah dimuka bumi. Dengan akalnya, manusia mampu mengelola dan
memanfaatkan alam semesta untuk kelangsungan hidupnya. Dengan akalnya juga manusia
mampu membaca dan mengenali atribut-atribut illahi. Dengan potensi yang dimilikinya ini,
menjadikan manusia sebagai makhluk Allah yang mulia dibandingkan dengan makhluk lainnya.
Dengan potensi dan kemuliaanya inilah menjadikan manusia sebagai manusia paedagogik, yaitu
makhluk yang dapat dan perlu di-didik tanpa pendidikan, potensi yang dimiliki manusia tidak
akan dapat berkembang secara maksimal.

1. Pendidikan Sebagai Fitrah Manusia: Kajian Teoritik Ilmu Sosial


Dalam dimensi pendidikan, keutamaan dan keunggulan manusia dibanding dengan makhluk
Allah lainnya, terangkum dalam kata fitrah. Secara bahasa, kata fitrah berasal dari kata fathara (
‫ )فطر‬yang berarti menjadikan.[12] Kata tersebut berasal dari akar kata al-fathr (‫ )الفاطر‬yang
berarti belahan atau pecahan.[13]

Pengenalan terhadap fitrah manusia diawali dengan mengetahui konsep kelahiran manusia dari
unsur lahiriah maupun unsur batiniah. Unsur batiniah yang memiliki perangkat kemampuan
dasar inilah yang disebut fitrah,yang dalam bahasa psikologi disebut personalitas atau disposisi,
atau dalam psikologi behaviorisme disebut propotence reflexes, yaitu kemampuan dasar yang
secara otomatis dapat berkembang.[14]

Pengertian fitrah manusia secara eksplisit pada hakekatnya adalah saling melengkapi antara satu
batasan dengan batasan yang lainnya. Hal ini dapat dilihat dari kesimpulan yang diramu oleh
Hasan Langgulung,[15] yang mencoba menarik pengertian fitrah pada pengertian yang lebih
luas, yaitu pada pengertian potensi dasar yang dimiliki oleh setiap manusia.

Muhammad bin Asyur sebagamana disitir M. Quraish Shihab mendefinisikan fitrah manusia
kepada pengertian “fitrah (makhluk) adalah bentuk dan sistem yang diwujudkan Allah pada
setiap makhluk. Sedangkan fitrah yang berkaitan dengan manusia adalah apa yang diciptakan
Allah pada manusia yang berkaitan dengan kemampuan jasmani dan akalnya”. Dari pengertian
tersebut dapat diartiakan bahwa fitrah merupakan potensi yang diberikan Allah kepada manusia
sehingga manusia mampu melaksanakan amanat yang diberikan Allah kepadanya yang meliputi
potensi seluruh dimensi manusia.[16]

Dalam pendidikan Islam harus mampu mengintegrasikan seluruh potensi yang dimiliki peserta
didiknya pada pola pendidikan yang ditawarkan, baik potensi yang ada pada aspek jasmani
maupun rohani, intelektual, emosional, serta moral etis religius dalam diri peserta didiknya.
Dengan ini, pendidikan Islam akan mampu membantu peserta didiknya untuk mewujudkan sosok
insan paripurna yang mampu melakukan dialektika aktif pada semua potensi yang dimiliknya.
Mampu teraktualisasikannya potensi yang dimiliki manusia sesuai dengan nilai-nilai Ilahiyah,
pada dasarnya pedidikan berfungsi sebagai media yang menstimuli bagi perkembangan dan
pertumbuhan potensi manusia seoptimal mungkin ke arah penyempurnaan dirinya.[17]

Dalam rangka membina dan mengembangkan seluruh potensi, baik potensi jasmani maupun
rohani, secara efektif dapat dilakukan melalui pendidikan. Dengan proses pendidikan, manusia
mampu membentuk kepribadiannya, mentransfer kebudayaannya dari suatu komunitas kepada
komunitas yang lain, dan mengetahui nilau baik dan buruk.[18]

Manusia adalah makhluk sosial, yaitu makhluk yang memiliki dorongan untuk hidup
berkelompok secara bersama-sama. Dalam hidup bermasyarakat, manusia mengenal sejumlah
lingkungan sosial, dari bentuk satuan terkecil hingga yang paling kompleks, yaitu rumah tangga
hingga ke lingkungan yang paling luas seperti negara.[19]

Pendidikan dalam konteks ini adalah usaha untuk membimbing dan mengembangkan potensi
manusia secara optimal agar mereka dapat berperan serasi dengan tuntutan dan kebutuhan
masyarakat lingkungannya. Dengan kemampuan berperan atas dasar pemenuhan kewajiban dan
tanggung jawab ini, serta penghargaan terhadap hak-hak asasi yang dimiliki, maka diharapkan
manusia nantinya akan dapat ikut menciptakan keharmonisan dan kedamaian hidup dalam
masyarakat, bangsa, maupun antar sesama manusia secara global. Dalam kaitan dengan
kehidupan bermasyarakat, pendidikan merupakan sesuatu yang digunakan untuk mengarahkan
pada pembentukan manusia sosial yang memiliki sifat taqwa sebagai dasar sikap dan perilaku.
[20]

BAB III

PENUTUP

1. Kesimpulan

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa hakekat penciptaan manusia dalam
perspektif Islam dengan merujuk pada nash Alquran, selalu bertitiktolak pada term klahaqa
(menciptakan) dan atau ja’ala (menjadikan). Kedua term ini, mengimformasikan bahwa manusia
itu tercipta atas dua unsur yakni materi dan immateri.

Kedua unsur yang disebutkan di atas, dapat tumbuh dan berkembang melalui proses pendidikan.
Dengan demikian, manusia dapat disebut sebagai homo educandum (makhluk yang dapat didik)
dan homo education (makhluk pendidik). Dari paradigma ini, menyebabkan keeksistensian
manusia sejak kelahirannya, atau dengan kata eksistensi manusia secara fithrawi disebut sebagai
makhluk pedagogik, yakni; makhluk Tuhan yang sejak diciptakannya telah membawa potensi
untuk dapat didik dan dapat mendidik.

Dalam pandangan Islam, fitrah manusia adalah suatu potensi keagamaan yang terbawa sejak
lahir dan potensi tersebut dapat bertumbuh dan berkembang. Tingkat pertumbuhan dan
perkembangannya, seiring dengan proses pedagogis yang mengintarinya dengan melibatkan
pendidikan informal, pendidikan formal, dan pendidikan non formal. Sedangkan dalam
pandangan Barat, ditemukan dua kategori. Pertama, pandangan dengan paham nativisme yang
menganggap bahwa fitrah manusia tidak dapat diubah melalui proses pendidikan. Kedua,
pandangan dengan paham behaviorisme, yang menganggap bahwa fitrah manusia
memungkinkan dapat berubah melalui proses pendidikan.

Dengan memperbandingkan dan mempersandingkan pandangan Islam dan Barat tentang


kedudukan manusia sebagai makhluk pedagogis, bermuara pada suatu implikasi bahwa
pandangan Islamlah lebih sempurna. Alasannya, kefitrahan manusia menurut Islam adalah
dinamis, sehingga tidak saja terbangun dalam paradigma behaviorisme, tetapi ia terbangun dalam
paradigma empirisme.

1. Saran

Bahwa makalah ini mungkin bisa menjadi sedikit acuan pengetahuan tentang manusia sebagai
makhluk paedagogik, dalam pandangan islam maupun dalam pandangan barat. Begitu pula
mengetahui pendidikan sebagai fitrah manusia dalam kajian teoritik ilmu sosial Sehingga
nantinya ke depan pengetahuan di makalah ini bisa diimplementasikan sedikit mungkin tetapi
secara kontinyu.

DAFTAR PUSTAKA

Diposkan oleh Ai S Nurparida di 19.27


Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest

4 komentar:

1.

Tyon setyono9 Desember 2015 22.30

masyaallah

Balas

2.

Aulia Rahman24 Maret 2016 00.42

masyaallah

Balas

3.

Aulia Rahman24 Maret 2016 00.42

masyaallah

Balas

4.
MelgaR8 Agustus 2016 16.56

Subhanallah :v

Balas

Muat yang lain...

Anda mungkin juga menyukai