Anda di halaman 1dari 35

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang

Mielin merupakan suatu kompleks protein lemak berwarna putih yang


mengisolasi tonjolan saraf. Data epidemiologi dan klinis penyakit dengan
gangguan mielinisasi di asia jarang ditemui. Biasanya banyak ditemukan di
amerika serikat dengan insidensi sekitar 400.000 orang. Gangguan mielinisasi
yang terjadi sangat bervariasi dan dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor
seperti iklim, ras, lokasi,dan jenis kelamin. Salah satu gangguan mielinisasi
yang dapat terjadi adalah multipel sklerosis. Multipel sklerosis merupakan
penyakit demielinisasi pada sistem saraf pusat yang diakibatkan oleh proses
autoimun. Penyakit ini menyerang jaringan mielin otak dan medula spinalis
yang menyebabkan kerusakan mielin dan akson.1,2

Mielin merupakan suatu konduktor yang mempunyai cara kerja


menghalangi ion natrium dan ion kalium melintasi membran neuronal dengan
hampir sempurna. Selubung mielin tidak berada sepanjang saraf, dan terdapat
celah yang tidak memiliki mielin, dinamakan nodus ranvier. Tonjolan saraf
pada susunan saraf pada susunan saraf pusat dan tepi dapat bermielin atau
tidak. Serabut saraf yang yang mempunyai selubung mielin dinamakan serabut
bermielin, dan didalam susunan saraf pusat dinamakan massa putih
(substansia alba). Serabut yang tak bermielin terdapat pada substansia kelabu
(substansia grisea). Transmisi impuls saraf di sepanjang serabut mielin lebih
cepat dari transmisi di sepanjang serabut tak bermielin.3

Sklerosis multipel atau multiple sclerosis menyebabkan kerusakan mielin


dan juga akson yang mengakibatkan gangguan transmisi konduksi saraf.
Penyebab multiple sklerosis sampai saat ini tidak diketahui. Keterlibatan
faktor genetik dan non-genetik seperti infeksi virus, metabolisme dan faktor

1
lingkungan diduga berperan dalam mencetuskan respons imun yang merusak
susunan saraf pusat ini.1

Jumlah kasus multiple skeloris di indonesia tidak banyak bila


dibandingkan dengan negara-negara di eropa. Meskipun demikian penyakit ini
dapat mengakibatkan kecacatan dan membutuhkan biaya perawatan yang
cukup besar. Penegakan diagnosis sedini mungkin dan pemberian terapi yang
tepat dapat membantu mengurangi kemungkinan kecacatan. Tujuan utama
terapi pasien multiple sklerosis adalah mempercepat kesembuhan episode
eksaserbasi menurunkan jumlah serangan atau jumlah lesi pada mri, dan
memperlambat progresifitas penyakit.2

1.2. Tujuan

Tujuan penulisan text book reading ini ialah untuk menambah


pengetahuan pembaca pada umumnya dan penulis pada khususnya tentang
multiple sklerosis. Sehingga kita dapat memahami definisi, epidemiologi,
anatomi, etiologi, patofisiologi, tanda dan gejala klinis, diagnosis, tatalaksana,
komplikasi serta prognosis multiple sklerosis dan dapat memberikan
tatalaksana yang cepat dan tepat kepada pasien.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Multipel sklerosis adalah suatu penyakit autoimun yang menyerang mielin


otak dan medula spinalis. Multipel sklerosis merupakan penyakit neurodegeneratif
akibat proses demielinisasi kronik pada sistem saraf pusat yang disebabkan oleh
peradangan autoimun. Penyakit ini menyebabkan kerusakan mielin dan juga
akson yang mengakibatkan gangguan transmisi konduksi saraf.1,4

Gambar 1.
Gambaran neuron pada multipel sklerosis1

2.2 Epidemiologi
Multipel sklerosis umumnya mengenai kelompok pasien usia dewasa
muda (antara 30 sampai 40 tahun), dengan prevalensi umum di seluruh dunia
adalah 30 kasus per 100.000 populasi dan hanya sekitar 2-5% penyakit ini terjadi
pada usia kurang dari 18 tahun. Prevalensi multipel sklerosis di Indonesia berkisar
antara 1-5/100.000 penduduk. Di Indonesia penyakit ini tergolong jarang jika
dibandingkan dengan penyakit neurologis lainnya. Multipel sklerosis lebih sering
menyerang perempuan dibandingkan laki-laki dengan rasio 2:1. Rerata usia saat
munculan onset penyakit multipel sklerosis adalah 14 tahun.2,5

3
Gambar 2. Prevalensi multipel sklerosis di dunia6

2.3 Anatomi dan Fisiologi


Sistem saraf terdiri atas sekumpulan sel disebut neuron yang khusus untuk
mengolah dan menghantarkan informasi. Neuron berkontak satu dengan yang lain
melalui taut yang disebut sinaps; informasi dihantarkan dari satu neuron ke
neuron berikutnya melalui zat kimia penghantar yang disebut neurotrasnmiter.
Secara umum neuron dapat dibagi menjadi dua kelas : eksitatorik dan inhibitorik.3
Struktur reseptif sel saraf disebut dendrit adalah penonjolan yang
bercabang dan melekat pada badan sel. Struktur konduksi lanjut adalah akson;
pada manusia panjangnya dapat mencapai satu meter. Kebalikan dari jumlah
dendrit yang bervariasi, setiap neuron hanya memiliki sebuah akson. Pada ujung
distal, akson terpecah menjadi beberapa cabang terminal yang masing-masing
disebut terminal akson yang berhubungan dengan neuron berikutnya. Pusat trofik
(nutritif) akson adalah badan selnya (soma atau perikarion), yang mengandung
nukleus sel dan berbagai jenis organel selular yang berbeda.3
Akson diselimuti oleh selubung mielin. Selubung mielin dibentuk oleh
oligodendrosit (kelompok sel glia khusus) di ssp dan sel schwann di sistem saraf
perifer; helaian yang merupakan kelanjutan dari membran sel schwann

4
oligodendrosit, yang menyelubungi akson dalam beberapa lapis; berfungsi sebagai
penghambat aliran listrik. Sejumlah oligodendrosit atau sel schwann membentuk
mielin yang mengelilingi akson. Segmen selubung mielin dibentuk oleh dua sel
yang berdekatan, dipisahkan oleh area yang tidak diselubungi oleh membran
akson yang disebut nodus ranvier. Akibat sifat penghambat pada mielin ini,
potensial aksi hanya menimbulkan depolarisasi di nodus ranvier; sehingga eksitasi
neuronal melompat dari satu nodus ranvier ke nodus ranvier berikutnya; proses ini
dikenal sebagai saltatoris. Dengan demikian, konduksi saraf paling cepat terjadi
pada neuron yang memiliki selubung mielin tebal serta ruang nodus ranvier yang
terpisah jauh. Sebaliknya pada akson dengan sedikit selubung mielin, eksitasi
pasti berjalan relative lebih lambat di sepanjang membran akson. Di antara kedua
contoh ekstrim tersebut, terdapat akson dengan ketebalan mielin yang sedang.
Dengan demikian akson terbagi menjadi akson bermielin tebal, bermielin tipis,
dan tidak bermielin (serabut saraf); kelompok-kelompok tersebut juga ditandai
dengan huruf A, B, dan C. Serabut A yang bermielin tebal memiliki diameter 3-20
µm dan kecepatan konduksinya hingga 120 m/detik. Serabut B yang bermielin
tipis memiliki ketebalan hingga 3 µm dan kecepatan konduksi hingga 15 m/detik.
Kecepatan konduksi serabut C yang tidak bermielin tidak lebih dari 2 m/detik.3

Gambar 3. Struktur neuron3

5
2.4 Etiologi
Penyebab pasti terjadinya penyakit multipel sklerosis masih belum
diketahui, namun sejumlah faktor diduga memiliki peranan penting. Faktor
autoimun, genetik dan lingkungan merupakan sejumlah faktor penting terjadinya
kondisi multipel sklerosis. Meskipun terdapat lebih dari 200 gen yang dapat
berperan terhadap terjadinya multipel sklerosis, faktor genetik yang paling
signifikan berkontribusi terhadap multipel sklerosis adalah perubahan pada
antigen leukosit manusia (human leukocyte antigen, HLA). Faktor lingkungan
yang diperkirakan berperanan penting adalah infeksi virus Epstein-Barr,
rendahnya kadar vitamin D dan kebiasaan merokok.7
Tidak ada tipe genetik pasti yang ditentukan pada review tentang
heritabilitas alami multipel sklerosis. Namun kadang kala kluster penyakit familial
memang ada. Resiko multipel sklerosis pada keluarga dekat (first-degree relative)
pada individu yang terkena (diperkirakan 1 diantara 500-1000) mencapai 20 kali
lipat pada populasi umumnya. Pada pasien dengan multipel sklerosis, setidaknya
10-15% memiliki 1 anggota keluarga dekat (first-degree relative) yang terkena,
namun resikonya tidak jauh berbeda untuk hubungan orang tua-anak dengan
hubungan lainnya, hal ini menyingkirkan penurunan tipe dominan, resesif,
maupun sex-linked. Resiko multipel sklerosis pada first-degree relative tidak
pernah lebih dari 5%, kecuali pada kembar monozigot, dimana angka
kecocokannya sekitar 25%.8

2.5 Patofisiologi
Pada multipel sklerosis klasik, proses primernya salah satunya adalah
demielinisasi yang menyebabkan hilangnya mielin pada akson susunan saraf
pusat. Hilangnya mielin muncul bersamaan dengan proses patologi lain yang juga
mempengaruhi akson, elemen glia, atau pembuluh darah. Oligodendrosit pada
susunan saraf pusat bertanggung jawab pada perluasan mielin otak. Struktur ini
didominasi lipid (70%), dengan sisanya adalah protein. Satu bagian, mielin
berbahan dasar protein, terutama rentan secara imunologi dan ensefalitogenik
secara eksperimental.9,10

6
Inspeksi otak secara kasar pada pasien multipel sklerosis tidak
menunjukkan abnormalitas yang mengindikasikan perubahan histologi bermakna
pada pemeriksaan mikroskopik. Namun, nervus optikus, kiasma optikus, dan
medula spinalis dapat mengalami atropi secara alami. Kadang kala, area patchy
demielination dapat terlihat pada permukaan basis pontis, pedunkulus serebeli,
dan permukaan medula, dan dasar ventrikel keempat.8
Potongan koronal otak menunjukkan perubahan yang mirip pada mri,
dimana tampak berbagai ukuran plak multipel sklerosis. Lesi yang baru terjadi
berwarna pink dan lembut, sementara kronik multipel sklerosis berwarna abu-abu,
jernih, dan padat. Seringkali sulit menghubungkan lesi multipel dengan riwayat
pasien pada otopsi atau melalui MRI neuroaxis. Kadangkala plak multipel
sklerosis klasik muncul pada pasien yang tidak pernah dicurigai secara klinis.
Analisis mikroskopik menunjukkan bahwa banyak plak tidak memiliki korelasi
dengan traktus nervus tertentu. Seringkali, plak terdistribusi di perivenular dan
paraventrikular. Hilangnya mielin dari serabut saraf tampak jelas dan paling baik
dilihat dengan pengecatan toluidine blue. Sering ditemukan akumulasi makrofag
yang menyertai. Plak aktif berisi debris mielin. Kehilangan oligodendrosit yang
berat pada plak multipel sklerosis sering dikaitkan bersamaan dengan temuan
hipertrofi astrosit. Mungkin didapatkan tanda penyangatan leptomeningeal, seperti
yang ditemukan pada acute disseminated multiple sclerosis. Pada multipel
sklerosis juga didapatkan komponen kerusakan aksonal dan neuronal yang cukup
signifikan. Hal ini terutama relevan dengan outcome jangka panjang dan
disabilitas pasien. Bukti kerusakan aksonal dapat ditemukan pada fase awal
penyakit. Hal ini dapat ditemukan pada area demielinisasi yang mudah dilihat dan
area white dan gray matter yang tampak normal pada pemeriksaan kasar. Diduga
bahwa komponen destruktif antigen spesifik yang terkait baik dengan sel T
maupun autoantibodi maupun efek makrofag teraktivasi dan mikroglia
meyebabkan kerusakan aksonal yang signifikan pada patogenesis multipel
sklerosis. Fungsi mitokondria dapat terganggu ketika berbagai substrat seluler
berkontribusi lebih jauh pada proses patologi ini.8

7
Terjadinya penyakit multipel sklerosis diperkirakan dimulai dengan
adanya kontak dengan faktor pemicu (agen infeksi) yang menyebabkan sistem
imun mengaktivasi kondisi autoreaktifitas melalui aktivasi sel T CD4 (+) di
sirkulasi sistemik. Sel T CD4 (+) ini dengan bantuan IL-23 kemudian
berdiferensiasi menjadi sel T Helper (Th17) yang selanjutnya memproduksi IL-
17. Sel T yang telah teraktivasi ini selanjutnya melewati sawar darah otak dan
bereaksi dengan autoantigen seperti mielin dan oligodendrosit melalui mekanisme
molekular mimikri. Sel Th17 menyebabkan terjadinya inflamasi pada sistem saraf
pusat yang selanjutnya diikuti dengan migrasi sejumlah sel T lainnya melewati
sawar darah otak dan juga mengaktifkan makrofag. Produksi sejumlah sitokin
proinflamasi pada peradangan ini menyebabkan kerusakan mielin dan
oligodendrosit yang selanjutnya membentuk plaque sklerotik.7,10
Secara patologi, lesi multipel sklerosis akan memperlihatkan gambaran
plak yang merupakan lesi demielinisasi. Plak demielinisasi ini merupakan
gambaran patognomonik multipel sklerosis. Pada fase akut, tampak sebukan sel
radang, hilangnya mielin, dan pembengkakan parenkim. Pada fase kronik,
kehilangan mielin menjadi lebih jelas, dengan sel-sel makrofag di sekitarnya
disertai kerusakan akson dan apoptosis oligodendrosit. Kerusakan mielin
diakibatkan oleh aktifnya limfosit T. Limfosit T pada multipel sklerosis
mengalami autoreaktivitas dan mampu mengenali protein target pada mielin.7,10

2.6 Manifestasi Klinis


Gejala awal multipel sklerosis yang paling sering adalah gangguan
penglihatan yang disertai rasa nyeri (neuritis optika). Pasien akan mengeluhkan
pandangan yang berangsur-angsur atau mendadak menjadi kabur. Umumnya
keluhan ini hanya mengenai satu mata (monokular) disertai rasa nyeri di bagian
belakang mata. Keluhan dapat memberat apabila pasien terpajan pada suhu panas
(fenomena Uthoff ). Pemeriksaan funduskopi pada fase awal akan
memperlihatkan papil edema, sedangkan pada fase lanjut akan tampak papil yang
sudah mengalami atrofi . Keluhan penglihatan lainnya adalah pandangan ganda
(diplopia) akibat ophtalmoplegia internuklear dan nistagmus. Keluhan neurologis
lain yang cukup sering dapat berupa kesemutan, kelemahan, gangguan koordinasi,

8
gangguan buang air besar dan air kecil. Pada multipel sklerosis yang menyerang
medulla spinalis bisa ditemukan tanda Lhermitte (sensasi listrik dari leher ke
bawah yang dirasakan pada fleksi leher). Pasien multipel sklerosis juga sering
merasa fatigue dan nyeri.1,11
Gejala pada mata merupakan gejala awal pada multipel sklerosis berupa
penurunan visus yang dapat sembuh sempurna, kemudian dapat kambuh dengan
proses yang semakin progresif dan dapat berakhir menjadi buta; gejala lain pada
mata berupa diplopia dan buta sebagian. Pemeriksaan pada mata menunjukkan
adanya paresis gaze, skotoma, nistagmus dan pada pemeriksaan fundus papila
nervus optikus ditemukan gambaran papil pucat. Defisit neurologis dapat berupa
kelumpuhan bulbar dan anggota gerak, ataksia, gangguan sensoris, adanya refleks
patologis dan spastisitas. Hal ini disebabkan karena terdapatnya lesi di daerah
substansia alba pada serebrum, serebelum, batang otak dan medulla spinalis.
Gangguan mental berupa disorientasi, euphoria dan emosi yang tidak stabil.
Semua gejala tersebut dapat mengalami remisi; dimana remisi tersebut bisa
bersifat sempurna tanpa meninggalkan gejala sisa, kemudian terjadi kekambuhan
yang memberikan gejala yang lebih berat.1,12
Episode pertama dari manifestasi klinis demielinisasi ini disebut Clinically
Isolated Syndrome (CIS). Pasien dengan tersangka CIS harus dilakukan
pemeriksaan lanjutan untuk menegakkan diagnosis multipel sklerosis. Manifestasi
klinis CIS yang perlu dicurigai sebagai gejala multipel sklerosis meliputi:
- Menurunnya ketajaman penglihatan pada satu mata yang dapat disertai
dengan nyeri pada pergerakan mata
- Pandangan ganda
- Gangguan sensorik dan atau kelemahan
- Gangguan keseimbangan
- Lhermitte sign positif
Pada kasus CIS, multipel sklerosis dicurigai pada pasien yang umumnya memiliki
usia kurang dari 50 tahun, memiliki riwayat remisi eksaserbasi dan gejala
berlangsung lebih dari 24 jam serta dapat bertahan selama beberapa hari atau
minggu untuk kemudian dapat mengalami perbaikan.

9
Subtipe Multipel Sklerosis2,13

1. Relapsing Remitting Multiple Sclerosis (RR Multiple Sclerosis).


RR multipel sklerosis merupakan subtipe tersering dari multipel sklerosis.
Subtipe ini ditandai dengan episode relaps atau serangan. Dikatakan relaps
apabila episode tersebut terjadi setelah 30 hari atau lebih setelah kondisi
klinis yang stabil. Serangan-serangan awal umumnya tidak atau minimal
dalam menimbulkan gejala sisa. Subtipe ini dapat berkembang menjadi
secondary progressive multiple sclerosis sehingga gejala sisa pasca-relaps
menjadi lebih berat.

2. Secondary Progressive Multiple Sclerosis (SPmultipel Sklerosis)


Sekitar 75% pasien dengan subtipe rrmultipel sklerosis akan berkembang
menjadi SPmultipel Sklerosis. Perkembangan menjadi SPmultipel Sklerosis
dapat terjadi 20 tahun setelah diagnosis rrmultipel sklerosis. Pada subtipe
ini terjadi perburukan defisit neurologis yang progresif. Perjalanan penyakit
dapat disertai dengan relaps maupun tanpa relaps, remisi minimal maupun
plateau. Faktor risiko progresifitas menjadi SPmultipel Sklerosis
diantaranya adalah:

- Usia saat onset yang lebih tua


- Interval antara relaps pertama dan kedua yang pendek
- Lesi T2 yang banyak dan bertambah
- Defisit motorik yang tidak mengalami remisi komplit
3. Primary Progressive Multipel Sklerosis (PPMultipel Sklerosis)
Pada subtipe ini tidak terdapat episode relaps. Penyakit berkembang
gradual dan semakin progresif. Onset PPMultipel Sklerosis umumnya
muncul pada usia yang lebih tua dibandingkan dengan RRMultipel
Sklerosis. PPMultipel Sklerosis ditegakkan apabila memenuhi kriteria
berikut ini:

- Progresivitas penyakit telah berlangsung selama 1 tahun atau lebih


- Ditambah dua dari 3 kriteria

10
o DIS (Dissemination in Space) pada otak ≥1,
berdasarkan potongan T2 minimal 1 area khas
multipel sklerosis (periventrikuler, jukstakortikal atau
infratentorial)
o Terdapat DIS pada medula spinalis ≥2
o Terdapatnya hasil positif pada CSS (pita oligoklonal dan
atau peningkatan Igg)

4. Progressive Relapsing Multipel Sklerosis (PRMultipel Sklerosis)


Frekuensi subtipe ini sangat jarang. Penyakit berkembang progresif tetapi
ada beberapa episode perburukan yang berespon dengan baik terhadap
steroid.

5. Benign Multipel Sklerosis


Subtipe ini ditemukan pada 5-8% kasus multipel sklerosis. Ditandai dengan
disabilitas yang minimal dengan nilai EDSS umumnya kurang dari 3.5 dan
berlangsung lebih dari 20 tahun selama durasi sakit. Diagnosis beningn
multipel sklerosis lebih bersifat retrospektif. Hingga saat ini belum
diketahui faktor-faktor yang dapat menjadi prediktor benign multipel
sklerosis.

11
Gambar 4. Heterogenitas pada multipel sklerosis10

Gambar 5. Patologi pada ms10

2.7 Diagnosis Banding


Karena multipel sklerosis dapat mengenai berbagai area SSP mulai
dari nervus optikus hingga bagian distal medula spinalis, pasien dapat datang
dengan manifestasi yang sangat bervariasi yang dapat muncul pada rentang
usia mulai remaja hingga pertengahan dekade keenam. Ketika seseorang
mengalami proses neurologi akut yang terutama mengenai ssp pada pasien
muda yang sebelumnya sehat, dokter harus mempertimbangkan bahwa hal
tersebut mungkin merupakan manifestasi awal multipel sklerosis.8,10

12
Neuromyelitis optica (NMO) atau Devic’s Disease2

Membedakan multipel sklerosis dan NMO adalah sangat penting. Kedua


penyakit ini memiliki beberapa gejala yang mirip dan tumpang tindih. Prevalensi
NMO di asia jauh lebih tinggi dibandingkan dengan di Eropa. Selain itu respon
terhadap terapi terutama Disease-Modifying Therapy (DMT) dari keduanya sangat
berbeda. Oleh karenanya sebelum memutuskan memulai DMT pada pasien
multipel sklerosis yakinkan lagi bahwa kemungkinan NMO sudah tersingkir.
Serangan neuritis optik pada NMO umumnya lebih berat dibandingkan dengan
multipel sklerosis. Neuritis optik bilateral atau neuritis optik (NO) yang
berkembang cepat lebih sering ditemukan pada NMO. Demikian pula dengan
gambaran papil edema dan papil atrofi. Lapisan retina pada nmo juga lebih tipis
dibandingkan dengan multipel sklerosis. Seperti halnya pada no, mielitis pada
NMO juga lebih berat dibandingkan dengan multipel sklerosis. Pada NMO
umumnya mielitis berupa mielitis transversa dengan level sensorik simetris dan
disfungsi sfingter. Sedangkan mielitis pada multipel sklerosis umumnya mielitis
transversa parsial dengan gejala yang lebih ringan dan gangguan sensorik yang
asimetris. Mielitis pada NMO yang rekuren dapat disertai dengan mual dan
cegukan akibat dari ekspansi lesi ke medula. Gejala batang otak lainnya yang
dapat timbul adalah muntah, vertigo, gangguan pendengaran, kelumpuhan otot

13
wajah, neuralgia trigeminal, diplopia, ptosis dan nistagmus. Pemeriksaan MRI
medula spinalis pada nmo memperlihatkan lesi yang meluas lebih dari 3 segmen
vertebra. Lesi yang lebih pendek juga bisa ditemukan pada awal relaps atau
sebagai residu dari stadium atrofi. Lesi terutama terletak di servikal dan torakal
pada bagian sentral dari substansia grisea. Lesi tampak hiperintens pada T2 dan
hipointens pada T1. Lesi servikal dapat meluas hingga ke batang otak. Pada
kondisi relaps lesi akan menyangat kontras. Lesi medula spinalis multipel
sklerosis sangat jarang yang meluas hingga melebihi 2 segmen vertebra.
Umumnya lesi terlihat pendek, asimetris dan terletak di segmen posterior pada
penampang medula spinalis. Lebih dari 50% MRI otak NMO normal pada awal
penyakit. Dengan berjalannya waktu dapat ditemukan lesi di substansia alba.
Distribusi lesi otak NMO sesuai dengan area yang memiliki ekspresi aquaporin 4
(AQP4) tinggi seperti sel ependim, hipotalamus dan batang otak. Dapat juga
ditemukan lesi yang tidak spesifik ataupun yang mirip dengan lesi multipel
sklerosis. Sebagian besar hasil pemeriksaan css pasien NMO memperlihatkan
pleositosis dengan dominasi monosit atau limfosit. Pleositosis lebih sering
ditemukan pada lesi panjang lebih dari 3 segmen. Sedangkan OCB bervariasi
antara 0-37% terdeteksi pada CSS pasien NMO. Kriteria diagnostik yang
dipergunakan untuk menegakkan diagnosis NMO merujuk pada kriteria nmultipel
sklerosis dibawah ini.14

Kriteria mayor (harus terpenuhi semuanya, tetapi dapat tidak terjadi


bersamaan)

1. Neuritis optika pada 1 atau kedua mata


2. Mielitis transversa, komplit atau inkomplit tetapi pada gambaran radiologi
didapatkan lesi medula spinalis yang lebih dari 3 segmen pada T2 dan
hipointens pada T1 yang dilakukan pada episode mielitis akut
3. Tidak ada bukti sarkoidosis, vaskulitis, SLE atau SS ataupun penyebab lainnya
Kriteria minor (minimal 1 terpenuhi)

14
1. MRI kepala terbaru normal atau memperlihatkan abnormalitas yang tidak
sesuai dengan kriteria barkhof yang dipergunakan pada kriteria mcdonald,
meliputi:
 Lesi otak pada T2 yang tidak spesifik dan tidak memenuhi kriteria Barkhof
 Lesi pada medula dorsalis, baik yang meluas ataupun tidak sampai ke medula
spinalis
 Lesi hipotalamus dan atau lesi batang otak
 Abnormalitas yang berupa signal linear sepanjang periventrikular/ korpus
kalosum tetapi tidak berbentuk ovoid dan tidak meluas ke parenkim dalam
bentuk dawson finger

2. Igg-nmo/antibodi aquaporin-4 positif (serum atau css)

Acute Disseminated Encephalomyelitis (ADEM)2

Adem, penyakit demielinisasi lainnya yang juga harus dibedakan dari


multipel sklerosis dan NMO. Perbedaan adem dengan multipel sklerosis yang
banyak dikenal adalah pada perjalanan penyakitnya yang monofasik. ADEM
disertai dengan ensefalopati atau koma dengan gejala multifokal seperti gejala
serebelum, gangguan motorik, gangguan sensorik, neuritis optika ataupun
mielitis. Umumnya ADEM didahului dengan episode infeksi atau pasca-
vaksinasi. Pada gambaran MRI tampak lesi multifocal simetris atau lesi otak yang
difus. Meskipun lebih dikenal dengan perjalanan penyakitnya yang monofasik,
ADEM juga dapat mengalami rekurensi.8,14

Kriteria diagnostik adem seperti di bawah ini:

1. Ensefalopati subakut (penurunan kesadaran, perubahan kesadaran/ perilaku


atau gangguan kognitif)
2. Berkembang dalam kurun waktu 1 minggu sampai 3 bulan. Timbul gejala
baru yang meliputi sindrom demielinisasi fokal/multifokal seperti neuritis

15
optika atau mielitis dalam 3 bulan pertama setelah onset. Gejala baru ini
tidak dipisahkan oleh suatu periode remisi komplit dari gejala awal.
3. Disertai dengan perbaikan meskipun gejala sisa berupa defisit neurologis
tetap ada
4. Gambaran mri terutama memperlihatkan lesi substansia alba yang sesuai
dengan klinis yang bersifat:
 Akut
 Multipel, jarang berbentuk lesi soliter yang besar
 Di supra atau infratentorial atau keduanya
 Umumnya salah satu lesi berukuran cukup besar (diameter 1-2cm)
 Tidak selalu menyangat kontras (penyangatan kontras bukan suatu
keharusan)
 Dapat disertai dengan lesi ganglia basalis tetapi bukan suatu keharusan.

2.7 Diagnosis
Meskipun tidak ada kriteria spesifik untuk menentukan diagnosis multipel
sklerosis, MRI merupakan modalitas penunjang yang paling membantu
diagnostik. Ketika didapatkan temuan tipikal pada MRI disertai dengan anamnesis
dan temuan klinis yang klasik, modalitas lain mungkin tidak perlu dilakukan lagi
pada seting klinis.8
Meskipun MRI menyediakan modalitas diagnostik yang sangat baik,
temuan ini selalu perlu disertai dengan gambaran klinis yang sesuai untuk
menentukan diagnostik pasti multipel sklerosis. Klinisi menggunakan beberapa
kriteria dari konsensus yang terus berkembang seiring perkembangan teknologi.
Pemeriksaan dan anamnesa adalah komponen utama diagnosis pada 1965 ketika
schumacher dkk pertama kali mengeluarkan kriteria multipel sklerosis yang
banyak dianut; hal ini memerlukan terpenuhinya 5 dari 6 kondisi yang ada di
kotak 46-1 sebelum menentukan diagnosis definite multipel sklerosis.8
Kriteria Schumacher8
1. Usia onset antara 10-50 tahun

16
2. Didapatkan defisit neurologis akibat lesi di otak.
3. Diseminasi waktu dengan
• 2 atau lebih serangan setidaknya 24 jam dan jarak minimal 1
bulan
• Progresifitas tanda dan gejala selama 6 bulan
4. Diseminasi tempat yang sesuai dengan lokalisasi pemeriksaan
klinis
5. Tidak ada penjelasan lain untuk gejala yang muncul (harus ada)
Kriteria diagnostik multipel sklerosis direvisi pada 1983 seiring adanya
peran pemeriksaan evoked response dan neuromimaging dalam
mengidentifikasi lesi yang secara klinis tidak tampak dan adanya peran data
laboratorium pendukung multipel sklerosis. Selanjutnya disertai dengan temuan
LCS terkait temuan spesifik peningkatan jumlah oligoclonal bands di LCS
dibandingkan serum, peningkatan kadar Igg, dan peningkatan index Igg. Pada
tahun 2001, kriteria McDonald menjadi standard hampir diseluruh dunia yang
digunakan dalam penelitian klinis dan untuk menentukan disease-modifying
therapies specific untuk terapi multipel sklerosis.10

Kriteria ini memerlukan adanya serangan multipel, terpisah dalam


waktu maupun lokasi (separated in time dan space). Terlebih, kriteria ini juga
menyediakan pertimbangan temuan MRI dan LCS ketika ditemukan hanya 1
lesi obyektif MRI, hanya 1 serangan klinis, atau ketika progresifitasnya tidak
nampak. The McDonald Diagnostic Criteria direvisi pada 2005 untuk
mengimbangi perkembangan peran mri dalam diagnostik multipel sklerosis
sekaligus untuk membantu perkembangan terapi awal tanpa mengurangi
sensitivitas dan spesifisitasnya.

Kriteria McDonald untuk diagnosis multipel sklerosis8

1. Dua atau lebih serangan dengan bukti klinis obyektif dua atau
lebih lesi klinis cukup untuk mendiagnosis multipel sklerosis
2. Dua atau lebih serangan klinis :

17
a. Namun hanya satu lesi yang definitif pada pemeriksaan
klinis
b. Terpenuhi kriteria tambahan diseminasi tempat yang
dapat dibuktikan dengan
i. Lesi MRI baru
ii. Kombinasi lesi MRI dengan temuan positif
LCS atau serangan klinis lain pada lokasi
baru
3. Isolated Clinical Attack : kriteria multipel sklerosis dapat
terpenuhi jika ada dua atau lebih lesi dengan bukti diseminasi
waktu oleh:
a. Lesi MRI baru
b. Serangan klinis kedua
4. Clinically Isolated Syndrome dengan hanya satu bukti obyektif
lesi dapat mendiagnosis multipel sklerosis dengan
a. Diseminasi tempat ditunjukkan dengan lesi MRI
kedua disertai temuan positif LCS
b. Diseminasi waktu ditunjukkan dengan
i. MRI, atau
ii. Serangan klinis kedua
5. Progresifitas lambat penyakit dapat mengarahkan diagnosis
multipel sklerosis :
a. Jika penyakit progresif selama setidaknya 1 tahun dan
b. Terpenuhi dua dari tiga kondisi:
i. Temuan MRI kepala positif
ii. Temuan MRI medula spinalis positif (lebih
bermakna dari sebelumnya)
iii. Temuan LCS positif

18
Diagnosis multipel sklerosis harus dipertimbangkan pada pasien yang datang
dengan episode pertama gejala neurologis atau tanda yang menyokong suatu
proses demielinisasi dan tidak ada kemungkinan penyebab lainnya.

Magnetic Resonance Imaging

Diagnosis multipel sklerosis telah menjadi jelas dengan MRI; studi positif
menunjukkan data dasar diagnostik solid bagi klinisi yang mengarahkan
diagnostik segera dan akurat multipel sklerosis pada 95% pasien. Lesi baru
biasanya memiliki gambaran penyangatan gadolinium yang seragam,
sementara, ringlike enhancement sesuai dengan gambaran reaktivasi lesi
sebelumnya. Plak fase akut memiiki gambaran area bulat dengan high-signal
inensity pada sekuen flair dan T2. Penyangatan gadolinium pada sekuen T1
merupakan akibat sekunder dari kerusakan akibat inflamasi pada blood-brain
barrier. Temuan klasik MRI ditandai dengan multiple well-demarcated ovoid
plaque yang aksis panjangnya terletak tegak lurus di sepanjang callososeptal
interfaces dan menunjukkan perivenular extension pada corpus callosum (dawson
finger). Terlebih lagi, plak tersebut memiliki kecenderungan di periventrkular dan
subcortical white matter, middle cerebellar peuduncle, pons, atau medulla. Pada

19
medula spinalis, lesi white matter dapat melibatkan berbagai bagian traktus aferen
maupun eferen, terutama kolumna dorsalis. Pada saat tertentu lesi dapat sangat
besar dan menyerupai tumor intramedula dan ditandai dengan large xpansile
hyperintense plak pada area cervical atas seperti pada gambar 6-7. MRI secara
tegas telah menggantikan analisa LCS, begitu juga berbagai bentuk evoked
neurophysiology potentials sebagai metode diagnostik primer.

Gambar 7. Dawson finger dan

Gambar 8. Protokol standar mri kepala pada multipel sklerosis 16


a | pre-contrast, b | axial t1-weighted and c | dualecho t2-weighted sequences, d |
contrast-enhanced sagittal, e | axial 2d t2-weighted fluid-attenuated inversion
recovery (flair) and f | axial t1-weighted sequence.

20
Gambar 9. Medula spinalis servikal irisan sagital16
a | fast spin-echo proton-density,b | t2-weighted and c | short-tau inversion
recovery (stir) mri sequence.

Peningkatan teknik dan kekuatan magnet mampu


mengambarkan bentuk variasi dari normal, yang kadang menyerupai
multipel sklerosis namun bukan proses patologi, yang kadang dapat
menyulitkan interpretasi abnormalitasnya. “unidentified bright objects
(ubos)” merupakan imitator klasik yang terlihat pada mereka dengan
merokok, hipertensi, migrain, atau lyme disease, atau dapat muncul
tanpa sebab. Hampir sama, virchow-robin spaces, suatu area vaskular
yang melebar dan terisi LCS, dapat memberikan gambaran high T2
signal intensity. Namun hal ini dapat dibedakan dengan plak

demielinisasi pada multipel sklerosis karena lesi tersebut tidak muncul


dengan proton density image.9

21
MRI medula spinalis dapat berguna terutama dalam
mendukung diagnosis. Pada kasus yang secara klinis dicurigai dengan
MRI kepala normal atau meragukan, lesi medula spinalis dapat
muncul, meskipun tanpa gejala medula spinalis. Namun demikian,
kadang kala lesi medula spinalis sulit diidentifikasi karena adanya
artefak. Semakin banyaknya ketersediaan mri 3–tesla di kemudian hari
akan dapat memperjelas gambarannya terutama bentuk multipel
sklerosis spinal.8

Ada beberapa pasien yang pada akhirnya terdiagnosis multipel


sklerosis namun pada evaluasi awal memiliki gejala yang tidak
spesifik dan jelas bukan suatu multipel sklerosis klasik. Mereka
menjalani MRI yang pada awalnya untuk menyingkirkan kecemasan
pasien terhadap adanya abnormalitas struktural, seperti tumor atau
mungkin multipel sklerosis. Dari MRI secara tidak terduga ditemukan
gambaran lesi demielinisasi pada white matter sesuai multipel
sklerosis. Bagi klinisi, temuan multipel sklerosis ini terlihat tidak
berhubungan dengan gejala yang dialami pasien. Namun temuan ini
harus diperhatikan. Hasil tersebut memperluas definisi kita terhadap
gambaran klinis awal multipel sklerosis dan ahli neurologi harus lebih
waspada terkait samarnya kelainan ini pada awal perjalanannya.8,16

Cairan Serebrospinal

Pungsi lumbal pada LCS menjadi kurang bermanfaat ketika


diagnosis telah ditentukan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik,
dan gambaran MRI yang tegas dan mendukung. MRI juga berguna
untuk mengeksklusi diagnosis lain, terutama lyme disease, sarcoidosis,
limfoma, atau infark multipel sekunder akibat vaskulitis ssp primer.
Namun, ketika tidak ada konfirmasi atau gambaran MRI yang
mendukung untuk diagnosis multipel sklerosis, pemeriksaan LCS
dapat membantu prosedur diagnostik.9

22
Hitung leukosit biasanya normal, dengan kurang dari 6 sel
mn/mm3; namun kadangkala dapat ditemukan pasien multipel
sklerosis dengan sel 50 limfosit/mm3. Biasanya tidak melebihi 25
sel/mm3. Hitung limfosit lebih 100/mm3 harus meningkatkan
kecurigaan adanya proses inflamasi atau bahkan proses neoplastik.
Jumlah sel yang ditemukan mungkin berkorelasi dengan lesi
menyangat pada MRI dan aktivitas penyakit. Namun, tidak tampak
adanya korelasi antara hitung sela dan keparahan lesi T2. Kadar
glukosa pada LCS didapatkan normal, sesuai dengan hitung sel yang
juga relatif normal.8

Evoked potentials (EPS)

Studi neurofisiologi bertujuan untuk menganalisa secara


obyektif integritas neuronal pathway baik di susunan saraf pusat
maupun tepi. Sebelum tersedia MRI, EPS merupakan modalitas yang
berguna untuk mendeteksi kelainan SSP subklinis. Pemeriksaannya
relatif mudah dilakukan dan memerlukan kerjasama pasien yang lebih
minimal, terutama saat pemeriksaan visual dan auditory pathway.16,17

Saat ini pemeriksaan EPS dilakukan ketika pasien datang dengan


keluhan myelopati dan membutuhkan penentuan adanya keterlibatan
klinis multi area baik dari lokasi maupun waktu (in space and time)
untuk menegakkan diagnosis multipel sklerosis, karena beberapa
pasien lupa atau adanya subklinis optic neuritis, visual evoked
response (ver) dapat berguna dalam kondisi ini. Namun, EPS
brainstem dan somatosensori tidak lagi menjadi alat diagnostik
multipel sklerosis.8

2.9 Terapi2
Tujuan utama terapi pasien multipel sklerosis adalah :

1. Mempercepat kesembuhan episode eksaserbasi


2. Menurunkan jumlah serangan atau jumlah lesi pada MRI

23
3. Memperlambat progresifitas penyakit

Terapi Relaps

Beberapa bukti ilmiah baik meta-analisis maupun studi klinis terandomisasi


memperlihatkan efektivitas dari glukokortikoid dalam terapi relaps.
Metilprednisolon (MP) iv atau oral dengan dosis 500 mg per hari selama 5 hari
harus dipertimbangkan dalam pengobatan relaps (level A). Selain itu terapi
dengan MP iv 1gram per hari selama 3-5 hari juga dapat dipertimbangkan sebagai
alternatif.2,8

Dosis tapering oral sering kali dipergunakan pada pemakaian MP meskipun


demikian hingga saat ini tidak ada studi klinis terandomisasi yang membuktikan
efektifitasnya. Sebuah studi kelas III membuktikan tidak ada perbedaan laju
kesembuhan pada 152 pasien yang mendapat terapi mp dosis tinggi diikuti dengan
prednison tapering dengan 112 pasien yang hanya mendapatkan MP dosis tinggi
saja.2

Terdapat beberapa studi klinis yang membandingkan efektifitas MP iv dan oral


pada kasus multipel sklerosis relaps. Sebuah studi kelas I membandingkan efek
mp iv 500mg per hari dengan mp oral 500mg per hari selama 5 hari pada 35
pasien. Tidak didapatkan perbedaan kesembuhan yang signifikan setelah 5 dan 28
hari pada kedua kelompok. Review cochrane menyimpulkan MP oral dan iv
memiliki efektifitas yang sama pada keluaran klinis, radiologis dan bioaviabilitas.
Meskipun demikian masih belum banyak bukti yang membuktikan ekuivalensi
antara kedua terapi ini.2,18

Pasien dengan neuritis optika juga disarankan untuk mendapatkan terapi MP iv.
Studi yang dilakukan oleh optic neuritis study group mendapatkan pasien neuritis
optika yang diterapi dengan MP iv memiliki risiko yang lebih kecil untuk
berkembang menjadi multipel sklerosis dalam 2 tahun berikutnya.

* Relaps adalah suatu periode gangguan neurologis akut yang


berlangsung lebih dari 24 jam dan tidak disebabkan oleh sebab lain

24
seperti infeksi ataupun perubahan suhu. Relaps juga dapat berupa
perburukan gejala neurologis yang sebelumnya sudah stabil selama
minimal 30 hari
* Pasien dengan relaps direkomendasikan untuk mendapatkan terapi
metilprednisolon iv 500-1000mg selama 3-5 hari (level a)
* Alternatif terapi untuk relaps yang direkomendasikan adalah
metilprednisolon oral 500-1000mg selama 3-5 hari (level a).
Pemberian dapat dilakukan dengan dosis tunggal atau terbagi
* Pasien dengan relaps neuritis optika disarankan untuk
mendapatkan terapi metilprednisolon iv (level a)

Terapi jangka panjang

Clinically Isolated Syndrome

Hampir 2/3 dari pasien cis memiliki lesi multipel pada gambaran MRI yang sesuai
dengan lesi multipel sklerosis. Pasien CIS dengan lesi otak pada pemeriksaan
MRI memiliki risiko untuk berkembang menjadi multipel sklerosis sebanyak 50-
98%. Beberapa studi memperlihatkan efektifitas dari interferon-β (ifnβ) dan
glatiramer asetat (GA). Sebuah studi meta-analisis mendapatkan IFNΒ
memperlambat konversi cis menjadi definit multipel sklerosis dengan rasio odd
(OR) 0.53. Selain itu studi ini juga memperlihatkan terapi IFNΒ menurunkan
jumlah lesi pada MRI.2,20

Relapsing-Remitting Multipel Sklerosis (RRMultipel Sklerosis) 2

Terapi lini pertama

IFNΒ baik 1A maupun 1B telah terbukti efektif pada RRmultipel sklerosis. Obat
ini dapat menurunkan relaps rate dan mengurangi jumlah lesi pada MRI.

Pilihan lainnya yang juga efektif untuk terapi rrmultipel sklerosis adalah
glatiramer acetat (ga). Bukti-bukti kelas i memperlihatkan ga dapat menurunkan
frekuensi serangan baik klinis maupun radiologis pada pasien dengan rrmultipel
sklerosis (a).

25
Fingolimod, satu-satunya sediaan oral untuk terapi multipel sklerosis, juga
direkomendasikan untuk rrmultipel sklerosis. Fingolimod merupakan modulator
reseptor sfingosin-1-fosfat. Obat ini bekerja dengan menyerap limfosit yang
bersirkulasi dalam kelenjar getah bening. Pada uji fase II dan 2 studi pivotal fase
3, fingolimod terbukti efektif untuk rrmultipel sklerosis. Pemanjangan masa
observasi dari 6 bulan hingga 3 tahun pada uji fase 2 tetap memperlihatkan
efektifitas fingolimod dalam menurunkan arr dan aktivitas penyakit yang dilihat
dari jumlah lesi pada gambaran mri.

Studi fase III fingolimod, freedomultipel sklerosis, merupakan uji klinis terkontrol
pada pasien rrmultipel sklerosis dengan jumlah sample 1272 orang. Pada studi ini
fingolimod berhasilkan menurunkan arr menjadi 55% untuk dosis 0.5mg dan 60%
untuk dosis 1.25mg. Selain itu risiko progresifitas disabilitas juga menurun dalam
24 bulan yang mulai terlihat sejak 6 bulan pertama.

Studi fase III lainnya, transformultipel sklerosis, memperlihatkan arr pada


penggunaan fingolimod lebih rendah dibandingkan dengan IFNΒ-1A
intramuskular.

Nama obat Dosis Cara Level


Pemberian
IFNβ-1b (betaferon) 250mg selang 1 hari Sc I
IFNβ-1a (avonex) 30mg 1x/minggu Im I
IFNβ-1a (rebif) 22 atau 44mg Sc I
3hari/minggu
Glatiramer acetat (copaxone) 20mg 1x/hari Sc I
Fingolimod (gilenya) 0.5mg 1x/hari Po I
Tabel 1. Terapi disease modifying drug (dmd) lini pertama untuk rrms2

RRMultipel Sklerosis2,8

26
Terapi lini kedua

Terapi lini kedua dipergunakan pada kasus-kasus yang mengalami kegagalan atau
intoleran dengan terapi lini pertama. Obat-obat yang tergolong dalam terapi lini
kedua dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Nama obat Dosis Cara pemberian Level


Mitoxantrone hydrochloride 12mg/m2 luas permukaan Iv I
(novantrone) Tubuh setiap 3 bulan
Natalizumab (tysabri) 300mg setiap 4 minggu Iv I
Fingolimod (gilenya) 0.5mg 1x/hari Po I
Tabel 2. Terapi lini kedua untuk rrmultipel sklerosis2

Uji klinis mitoxantrone pada pasien rrmultipel sklerosis yang mengalami


perburukan atau SPMultipel Sklerosis memperlihatkan mitoxantrone 12mg/m2
setiap 3 minggu bermakna menurunkan jumlah relaps, progresifitas disabiliti dan
lesi baru pada t2 bila dibandingkan dengan plasebo. Natalizumab merupakan
antibodi monoklonal yang bekerja dengan menghambat lekosit integrin a4
sehingga mencegah migrasi limfosit dan monosit melewati sawar darah otak. Uji
klinis fase iii memperlihatkan efikasi natalizumab untuk terapi rrmultipel
sklerosis.

Penelitian tersebut dihentikan karena alasan keamanan. Beberapa kasus


progressive multifocal leukoencephalopathy (pml) mulai bermunculan di antara
subjek penelitian. Berdasarkan kejadian tersebut natalizumab hanya
direkomendasikan pada rrmultipel sklerosis yang tidak berespon dengan terapi lini
pertama atau bisa menjadi pilihan pertama pada pasien rrmultipel sklerosis yang
agresif.

Pilihan terapi lainnya

Azathioprine

Uji klinis terandomisasi yang membandingkan efikasi dari azathioprin


dibandingkan dengan IFNβ mendapatkan efikasi azathioprin tidak lebih inferior
dibandingkan dengan IFNβ. Selain itu azathioprin efektif dalam menurunkan
jumlah lesi inflamasi di otak pada gambaran MRI dengan efek samping yang

27
dapat ditoleransi. Azathioprin meskipun cukup efektif namun hingga saat ini
belum termasuk dalam pilihan terapi lini pertama untuk multipel sklerosis. Hal ini
didasarkan pada adanya peningkatan risiko kanker pada pemakaian azathioprin.
Akan tetapi intervention review yang dilakukan pada pemakaian azathioprin
sebagai terapi multipel sklerosis memperlihatkan tidak ada peningkatan risiko
kanker. Efek samping jangka panjang diduga berhubungan dengan lama durasi
yang lebih dari 10 tahun dan total kumulatif dosis lebih dari 600g.2,8

Micofenolat mofetil (mmf)

Studi open label pada progresif multipel sklerosis yang membandingkan mmf
dengan plasebo memperlihatkan efikasi dari mmf dan efek samping yang dapat
ditolerir. Selain itu studi lain juga memperlihatkan kombinasi antara mmf dan ifnβ
pada rrmultipel sklerosis menunjukkan efikasi yang lebih superior dibandingkan
dengan ifnβ saja. Meskipun demikian pemakaian mmf pada multipel sklerosis
hingga saat ini masih kontroversi dan memerlukan data penelitian yang lebih
besar.

Secondary Progressive Multipel Sklerosis (SPMultipel Sklerosis)

Tujuan pengobatan pada spmultipel sklerosis adalah memperlambat atau


menstabilkan disabilitas dan memperbaiki kualitas hidup.

Pasien pada fase spmultipel sklerosis umumnya lebih sulit diterapi dibandingkan
dengan rrmultipel sklerosis. Studi spectrimultipel sklerosis memperlihatkan IFNβ-
1a sc bermakna dalam menurunkan kejadian relaps dan lesi mri pada pasien
spmultipel sklerosis.2,18

Obat lain yang dapat dipergunakan pada spmultipel sklerosis adalah mitoxantron.
Studi multipel sklerosis memperlihatkan efikasi mitoxantron untuk spmultipel
sklerosis.2,18

Primary Progressive Multipel Sklerosis (PPMultipel Sklerosis)

Tujuan pengobatan ppmultipel sklerosis adalah menstabilkan penyakit, terapi


suportif dan meningkatkan kualitas hidup. Hingga saat ini belum ada obat yang

28
direkomendasikan untuk PPMultipel Sklerosis termasuk IFNβ maupun glatiramer
asetat.2,20
Pemantauan terapi

Pemantauan respon terapi dianjurkan meliputi aspek klinis dan MRI. Pemeriksaan
mri sebaiknya diulang 6-12 bulan setelah terapi dimulai untuk mengevaluasi
adanya lesi aktif yang baru. Apabila dalam periode tersebut didapatkan 2 atau
lebih lesi aktif yang baru disertai dengan relaps atau peningkatan disabilitas, maka
perubahan terapi harus dipertimbangkan. Apabila lesi aktif tidak disertai dengan
aktivitas klinis seperti relaps atau peningkatan disabilitas maka pasien harus
dipantau dengan ketat. Jika dalam pemantauan tersebut terjadi perburukan klinis
maka perubahan terapi harus dipertimbangkan. Pada pasien yang tidak ditemukan
lesi aktif, maka evaluasi klinis dan MRI harus dilakukan kembali pada bulan
berikutnya. Untuk evaluasi klinis dianjurkan menggunakan expanded disability
status scal (EDSS).2

Gambar 10. Algoritma pemantauan terapi2

29
Gambar 11. Algoritma terapi multipel sklerosis2

Efek samping obat

Interferon-β

Beberapa efek samping IFNβ telah dilaporkan. Reaksi pada lokasi penyuntikan
dapat terjadi pada awal terapi. Tehnik penyuntikan yang benar dapat mengurangi
risiko efek samping tersebut. Efek samping lainnya yang cukup sering adalah flu-
like symptomultipel sklerosis. Keluhan ini umumnya bersifat sementara dan dapat
diminimalisir dengan melakukan titrasi dosis pada awal pemberian. Pasien yang
akan mendapatkan ifnβ juga perlu ditanyakan riwayat gangguan psikiatri
sebelumnya. Kejadian depresi, ide bunuh diri dan bunuh diri pernah dilaporkan
pada pemakaian IFNβ. Pasien yang memiliki riwayat gangguan tersebut harus
mendapatkan perhatian khusus selama terapi. Apabila selama terapi gejala
psikiatri muncul maka penghentian IFNβ perlu dipertimbangkan. Gangguan

30
fungsi hepar dan pansitopenia juga dilaporkan pada pemakaian Ifnβ. Pemantaun
fungsi hepar dan darah perifer lengkap perlu dilakukan pada 1, 3 dan 6 bulan awal
pemakaian obat. Selanjutnya evaluasi dilakukan setiap 6-12 bulan atau sesuai
dengan gejala klinis. Fungsi tiroid juga perlu dievaluasi pada pasien yang
memiliki riwayat gangguan fungsi tiroid sedikitnya setiap 6 bulan sekali. Efek
samping IFNβ lainnya yang pernah dilaporkan adalah kejang, limfadenopati dan
reaksi anafilaktik.2,8

Fingolimod

Efek samping yang sering timbul pada pemakaian fingolimod 0.5mg/hari


berdasarkan studi freedomultipel sklerosis (vs plasebo) adalah infeksi saluran
nafas bawah (10% vs 6%), nyeri kepala (25% vs 23%), infeksi virus influenza
(13%vs10%), abnormalitas fungsi hepar (16%vs5%), nyeri punggung
(12%vs7%), diare (12%vs7%) dan hipertensi (6%vs4%). Efek samping yang lebih
serius yang juga dilaporkan pada studi freedomultipel sklerosis adalah bradikardia
(0.9%vs0.2%) dan atrioventricular (AV) blok (0.2%). Penurunan denyut jantung
muncul kurang lebih 2 jam setelah dosis awal dan mencapai maksimal setelah 5
jam (menurun 8 denyut/menit dari rata-rata denyut jantung istirahat). Pemeriksaan
EKG pada hari pertama terapi memperlihatkan AV blok derajat I pada 5% pasien
dengan fingolimod dan 1% pada plasebo. Bradikardi dan AV blok membaik
dengan sendirinya dengan dilanjutkannya terapi. Karsinoma sel basal dilaporkan
pada pemakaian fingolimod 0.5mg/hari pada 0.9% pasien. Selain itu limfosit
menurun 70%. Efek samping lainnya adalah edema makular yang dilaporakan
pada studi transformultipel sklerosis.2

Berdasarkan efek samping yang dilaporkan, pemakaian fingolimod perlu


memperhatikan beberapa hal berikut ini.

* EKG harus dilakukan pada 6 jam pertama awal terapi


* Pemakaian fingolimod harus dihindari pada kehamilan dan menyusui
* Darah perifer lengkap harus diperiksa sebelum dan secara berkala selama
terapi. Hal ini diperlukan untuk memantau tanda infeksi.

31
* Vaksinasi varicella zoster harus dilakukan 1 bulan sebelum memulai terapi
apabila antibodi terhadap varicella zoster negatif
* Selama terapi fingolimod, tekanan darah dan fungsi hepar harus terpantau
* Pemeriksaan oftalmologi juga dianjurkan dilakukan sebelum terapi dan 3-4
bulan berikutnya mengingat adanya risiko edema makular. Risiko ini
meningkat pada pasien dengan dm dan atau riwayat uveitis.
Azathioprin

Azathioprin dapat mengakibatkan gangguan hematologi dan gastrointestinal.


Gejala gastrointestinal yang muncul berupa anoreksia, mual, muntah dan nyeri
abdomen. Sedangkanmasalah hematologi yang banyak dilaporkan adalah
leukopenia (leukosit <3000/mm3). Selain itu dilaporkan juga kejadian anemia
makrositik pada pemakaian azathioprin. Gangguan fungsi hepar juga cukup
banyak didapatkan (kedua setelah hematologi). Efek samping lainnya yang juga
dilaporkan adalah infeksi paru-paru (pneumonia), infeksi saluran kemih,
karsinoma dan bunuh diri. Risiko keganasan meningkat pada terapi jangka
panjang (lebih dari 10 tahun) atau jumlah dosis kumulatif yang mencapai
600gram.8

Untuk pemakaian azathioprin perlu dilakukan pemantauan seperti tabel berikut


ini:

Darah perifer lengkap dan Setiap minggu pada 6 minggu pertama


Fungsi hepar Selanjutnya tiap 2 minggu sampai dicapai dosis optimal selama
6 minggu, kemudian setiap bulan. Jika stabil selama 6 bulan,
Maka pemantauan dapat dilakukan tiap 3 bulan
Fungsi ginjal dan elektrolit Setiap 6 bulan atau bila ada indikasi lain
Crp dan led Setiap 3 bulan
Perubahan dosis Setelah perubahan dosis, dpl dan fungsi hepar dievaluasi dalam
2 minggu. Selanjutnya pemantauan seperti disebutkan di atas
Tpmt heterozigot Periksa dpl dan fungsi hepar setiap bulan
Tabel 3. Pemantuan pada terapi dengan azathioprin2

Terapi dianjurkan untuk dihentikan dan dievaluasi kembali apabila:

 Leukosit <3500

32
 Neutrofil <2000
 Trombosit <150.000
 Sgot dan sgpt meningkat 2x lipat dari batas atas nilai normal
 Mcv>105fl
 Timbul kemerahan dan ulkus mukosa mulut
 Perdarahan
 Radang tenggorokan berat

Interaksi obat yang dapat terjadi seperti berikut ini:

a) Allupurionol, dosis azathioprin harus diturunkan 25% dari dosis original


b) Warfarin, azathioprin menghambat efek warfarin
c) Karbamazepin, fenitoin, sodium valproat, azathioprin akan menurunkan
absorbsi obat-obat tersebut
d) Ace-inhibitors, interaksi kedua obat ini dapat mengakibatkan anemia.
Dianjurkan mengganti ace-inhibitors
e) Aminosalisilat (mesalazin, olsalazin, balsalazin atau sulfalazin), dapat
mengakibatkan toksisitas sumultipel sklerosisum tulang
f) Kotrimoksazol dan trimetoprim, dapat menyebabkan hematotoksisitas yang
mengancam nyawa

2.10 Prognosis
Sklerosis multipel memiliki perjalanan penyakit yang bervariasi dan tidak

bisa diramalkan. Pada banyak penderita, penyakit ini dimulai dengan gejala

tertentu, yang selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun kemudian tidak

menunjukkan gejala lebih lanjut. Pada penderita lainnya, gejala semakin

memburuk dan lebih meluas dalam beberapa minggu atau beberapa bulan. Cuaca

hangat, mandi air panas atau demam bisa memperberat gejala. Kekambuhan bisa

terjadi secara spontan atau dipicu oleh infeksi (misalnya influenza). Jika

33
kekambuhan sering terjadi maka kelainan semakin memburuk dan bisa bersifat

menetap.13

BAB III

KESIMPULAN

Multipel sklerosis merupakan penyakit neurodegeneratif akibat proses


demielinisasi kronik pada sistem saraf pusat yang disebabkan oleh peradangan
autoimun. Penyakit ini menyebabkan kerusakan mielin dan juga akson yang
mengakibatkan gangguan transmisi konduksi saraf. Multipel sklerosis umumnya
mengenai kelompok pasien usia dewasa muda (antara 30 sampai 40 tahun),

34
dengan prevalensi umum di seluruh dunia adalah 30 kasus per 100.000 populasi
dan hanya sekitar 2-5% penyakit ini terjadi pada usia kurang dari 18 tahun.
Prevalensi multiple sklerosis di Indonesia berkisar antara 1-5/100.000 penduduk.

Gejala pada mata merupakan gejala awal pada multipel sklerosis berupa
penurunan visus yang dapat sembuh sempurna, gejala lain pada mata berupa
diplopia dan buta sebagian. Defisit neurologis dapat berupa kelumpuhan bulbar
dan anggota gerak, ataksia, gangguan sensoris, adanya refleks patologis dan
spastisitas. Semua gejala tersebut dapat mengalami remisi; dimana remisi tersebut
bisa bersifat sempurna tanpa meninggalkan gejala sisa, kemudian terjadi
kekambuhan yang memberikan gejala yang lebih berat.

Penegakkan diagnosis dilakukan dengan anamnesis, pemeriksaan klinis


umum, pemeriksaan neurologi, dan pemeriksaan penunjang. Penegakan diagnosis
memerlukan pemeriksaan neurologis dan pengamatan klinis dalam kurun waktu
tertentu. Kriteria diagnosis ms yang paling sering dipakai pada saat ini adalah
Mcdonald Criteria Of The International Panel On Diagnosis Of MS. MRI
merupakan pemeriksaan yang cukup sensitif untuk mendeteksi lesi MS.

Tujuan utama terapi pasien multipel sklerosis adalah mempercepat


kesembuhan episode eksaserbasi, menurunkan jumlah serangan atau jumlah lesi
pada MRI, dan memperlambat progresifitas penyakit.

35

Anda mungkin juga menyukai