PENDAHULUAN
1
lingkungan diduga berperan dalam mencetuskan respons imun yang merusak
susunan saraf pusat ini.1
1.2. Tujuan
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Gambar 1.
Gambaran neuron pada multipel sklerosis1
2.2 Epidemiologi
Multipel sklerosis umumnya mengenai kelompok pasien usia dewasa
muda (antara 30 sampai 40 tahun), dengan prevalensi umum di seluruh dunia
adalah 30 kasus per 100.000 populasi dan hanya sekitar 2-5% penyakit ini terjadi
pada usia kurang dari 18 tahun. Prevalensi multipel sklerosis di Indonesia berkisar
antara 1-5/100.000 penduduk. Di Indonesia penyakit ini tergolong jarang jika
dibandingkan dengan penyakit neurologis lainnya. Multipel sklerosis lebih sering
menyerang perempuan dibandingkan laki-laki dengan rasio 2:1. Rerata usia saat
munculan onset penyakit multipel sklerosis adalah 14 tahun.2,5
3
Gambar 2. Prevalensi multipel sklerosis di dunia6
4
oligodendrosit, yang menyelubungi akson dalam beberapa lapis; berfungsi sebagai
penghambat aliran listrik. Sejumlah oligodendrosit atau sel schwann membentuk
mielin yang mengelilingi akson. Segmen selubung mielin dibentuk oleh dua sel
yang berdekatan, dipisahkan oleh area yang tidak diselubungi oleh membran
akson yang disebut nodus ranvier. Akibat sifat penghambat pada mielin ini,
potensial aksi hanya menimbulkan depolarisasi di nodus ranvier; sehingga eksitasi
neuronal melompat dari satu nodus ranvier ke nodus ranvier berikutnya; proses ini
dikenal sebagai saltatoris. Dengan demikian, konduksi saraf paling cepat terjadi
pada neuron yang memiliki selubung mielin tebal serta ruang nodus ranvier yang
terpisah jauh. Sebaliknya pada akson dengan sedikit selubung mielin, eksitasi
pasti berjalan relative lebih lambat di sepanjang membran akson. Di antara kedua
contoh ekstrim tersebut, terdapat akson dengan ketebalan mielin yang sedang.
Dengan demikian akson terbagi menjadi akson bermielin tebal, bermielin tipis,
dan tidak bermielin (serabut saraf); kelompok-kelompok tersebut juga ditandai
dengan huruf A, B, dan C. Serabut A yang bermielin tebal memiliki diameter 3-20
µm dan kecepatan konduksinya hingga 120 m/detik. Serabut B yang bermielin
tipis memiliki ketebalan hingga 3 µm dan kecepatan konduksi hingga 15 m/detik.
Kecepatan konduksi serabut C yang tidak bermielin tidak lebih dari 2 m/detik.3
5
2.4 Etiologi
Penyebab pasti terjadinya penyakit multipel sklerosis masih belum
diketahui, namun sejumlah faktor diduga memiliki peranan penting. Faktor
autoimun, genetik dan lingkungan merupakan sejumlah faktor penting terjadinya
kondisi multipel sklerosis. Meskipun terdapat lebih dari 200 gen yang dapat
berperan terhadap terjadinya multipel sklerosis, faktor genetik yang paling
signifikan berkontribusi terhadap multipel sklerosis adalah perubahan pada
antigen leukosit manusia (human leukocyte antigen, HLA). Faktor lingkungan
yang diperkirakan berperanan penting adalah infeksi virus Epstein-Barr,
rendahnya kadar vitamin D dan kebiasaan merokok.7
Tidak ada tipe genetik pasti yang ditentukan pada review tentang
heritabilitas alami multipel sklerosis. Namun kadang kala kluster penyakit familial
memang ada. Resiko multipel sklerosis pada keluarga dekat (first-degree relative)
pada individu yang terkena (diperkirakan 1 diantara 500-1000) mencapai 20 kali
lipat pada populasi umumnya. Pada pasien dengan multipel sklerosis, setidaknya
10-15% memiliki 1 anggota keluarga dekat (first-degree relative) yang terkena,
namun resikonya tidak jauh berbeda untuk hubungan orang tua-anak dengan
hubungan lainnya, hal ini menyingkirkan penurunan tipe dominan, resesif,
maupun sex-linked. Resiko multipel sklerosis pada first-degree relative tidak
pernah lebih dari 5%, kecuali pada kembar monozigot, dimana angka
kecocokannya sekitar 25%.8
2.5 Patofisiologi
Pada multipel sklerosis klasik, proses primernya salah satunya adalah
demielinisasi yang menyebabkan hilangnya mielin pada akson susunan saraf
pusat. Hilangnya mielin muncul bersamaan dengan proses patologi lain yang juga
mempengaruhi akson, elemen glia, atau pembuluh darah. Oligodendrosit pada
susunan saraf pusat bertanggung jawab pada perluasan mielin otak. Struktur ini
didominasi lipid (70%), dengan sisanya adalah protein. Satu bagian, mielin
berbahan dasar protein, terutama rentan secara imunologi dan ensefalitogenik
secara eksperimental.9,10
6
Inspeksi otak secara kasar pada pasien multipel sklerosis tidak
menunjukkan abnormalitas yang mengindikasikan perubahan histologi bermakna
pada pemeriksaan mikroskopik. Namun, nervus optikus, kiasma optikus, dan
medula spinalis dapat mengalami atropi secara alami. Kadang kala, area patchy
demielination dapat terlihat pada permukaan basis pontis, pedunkulus serebeli,
dan permukaan medula, dan dasar ventrikel keempat.8
Potongan koronal otak menunjukkan perubahan yang mirip pada mri,
dimana tampak berbagai ukuran plak multipel sklerosis. Lesi yang baru terjadi
berwarna pink dan lembut, sementara kronik multipel sklerosis berwarna abu-abu,
jernih, dan padat. Seringkali sulit menghubungkan lesi multipel dengan riwayat
pasien pada otopsi atau melalui MRI neuroaxis. Kadangkala plak multipel
sklerosis klasik muncul pada pasien yang tidak pernah dicurigai secara klinis.
Analisis mikroskopik menunjukkan bahwa banyak plak tidak memiliki korelasi
dengan traktus nervus tertentu. Seringkali, plak terdistribusi di perivenular dan
paraventrikular. Hilangnya mielin dari serabut saraf tampak jelas dan paling baik
dilihat dengan pengecatan toluidine blue. Sering ditemukan akumulasi makrofag
yang menyertai. Plak aktif berisi debris mielin. Kehilangan oligodendrosit yang
berat pada plak multipel sklerosis sering dikaitkan bersamaan dengan temuan
hipertrofi astrosit. Mungkin didapatkan tanda penyangatan leptomeningeal, seperti
yang ditemukan pada acute disseminated multiple sclerosis. Pada multipel
sklerosis juga didapatkan komponen kerusakan aksonal dan neuronal yang cukup
signifikan. Hal ini terutama relevan dengan outcome jangka panjang dan
disabilitas pasien. Bukti kerusakan aksonal dapat ditemukan pada fase awal
penyakit. Hal ini dapat ditemukan pada area demielinisasi yang mudah dilihat dan
area white dan gray matter yang tampak normal pada pemeriksaan kasar. Diduga
bahwa komponen destruktif antigen spesifik yang terkait baik dengan sel T
maupun autoantibodi maupun efek makrofag teraktivasi dan mikroglia
meyebabkan kerusakan aksonal yang signifikan pada patogenesis multipel
sklerosis. Fungsi mitokondria dapat terganggu ketika berbagai substrat seluler
berkontribusi lebih jauh pada proses patologi ini.8
7
Terjadinya penyakit multipel sklerosis diperkirakan dimulai dengan
adanya kontak dengan faktor pemicu (agen infeksi) yang menyebabkan sistem
imun mengaktivasi kondisi autoreaktifitas melalui aktivasi sel T CD4 (+) di
sirkulasi sistemik. Sel T CD4 (+) ini dengan bantuan IL-23 kemudian
berdiferensiasi menjadi sel T Helper (Th17) yang selanjutnya memproduksi IL-
17. Sel T yang telah teraktivasi ini selanjutnya melewati sawar darah otak dan
bereaksi dengan autoantigen seperti mielin dan oligodendrosit melalui mekanisme
molekular mimikri. Sel Th17 menyebabkan terjadinya inflamasi pada sistem saraf
pusat yang selanjutnya diikuti dengan migrasi sejumlah sel T lainnya melewati
sawar darah otak dan juga mengaktifkan makrofag. Produksi sejumlah sitokin
proinflamasi pada peradangan ini menyebabkan kerusakan mielin dan
oligodendrosit yang selanjutnya membentuk plaque sklerotik.7,10
Secara patologi, lesi multipel sklerosis akan memperlihatkan gambaran
plak yang merupakan lesi demielinisasi. Plak demielinisasi ini merupakan
gambaran patognomonik multipel sklerosis. Pada fase akut, tampak sebukan sel
radang, hilangnya mielin, dan pembengkakan parenkim. Pada fase kronik,
kehilangan mielin menjadi lebih jelas, dengan sel-sel makrofag di sekitarnya
disertai kerusakan akson dan apoptosis oligodendrosit. Kerusakan mielin
diakibatkan oleh aktifnya limfosit T. Limfosit T pada multipel sklerosis
mengalami autoreaktivitas dan mampu mengenali protein target pada mielin.7,10
8
gangguan buang air besar dan air kecil. Pada multipel sklerosis yang menyerang
medulla spinalis bisa ditemukan tanda Lhermitte (sensasi listrik dari leher ke
bawah yang dirasakan pada fleksi leher). Pasien multipel sklerosis juga sering
merasa fatigue dan nyeri.1,11
Gejala pada mata merupakan gejala awal pada multipel sklerosis berupa
penurunan visus yang dapat sembuh sempurna, kemudian dapat kambuh dengan
proses yang semakin progresif dan dapat berakhir menjadi buta; gejala lain pada
mata berupa diplopia dan buta sebagian. Pemeriksaan pada mata menunjukkan
adanya paresis gaze, skotoma, nistagmus dan pada pemeriksaan fundus papila
nervus optikus ditemukan gambaran papil pucat. Defisit neurologis dapat berupa
kelumpuhan bulbar dan anggota gerak, ataksia, gangguan sensoris, adanya refleks
patologis dan spastisitas. Hal ini disebabkan karena terdapatnya lesi di daerah
substansia alba pada serebrum, serebelum, batang otak dan medulla spinalis.
Gangguan mental berupa disorientasi, euphoria dan emosi yang tidak stabil.
Semua gejala tersebut dapat mengalami remisi; dimana remisi tersebut bisa
bersifat sempurna tanpa meninggalkan gejala sisa, kemudian terjadi kekambuhan
yang memberikan gejala yang lebih berat.1,12
Episode pertama dari manifestasi klinis demielinisasi ini disebut Clinically
Isolated Syndrome (CIS). Pasien dengan tersangka CIS harus dilakukan
pemeriksaan lanjutan untuk menegakkan diagnosis multipel sklerosis. Manifestasi
klinis CIS yang perlu dicurigai sebagai gejala multipel sklerosis meliputi:
- Menurunnya ketajaman penglihatan pada satu mata yang dapat disertai
dengan nyeri pada pergerakan mata
- Pandangan ganda
- Gangguan sensorik dan atau kelemahan
- Gangguan keseimbangan
- Lhermitte sign positif
Pada kasus CIS, multipel sklerosis dicurigai pada pasien yang umumnya memiliki
usia kurang dari 50 tahun, memiliki riwayat remisi eksaserbasi dan gejala
berlangsung lebih dari 24 jam serta dapat bertahan selama beberapa hari atau
minggu untuk kemudian dapat mengalami perbaikan.
9
Subtipe Multipel Sklerosis2,13
10
o DIS (Dissemination in Space) pada otak ≥1,
berdasarkan potongan T2 minimal 1 area khas
multipel sklerosis (periventrikuler, jukstakortikal atau
infratentorial)
o Terdapat DIS pada medula spinalis ≥2
o Terdapatnya hasil positif pada CSS (pita oligoklonal dan
atau peningkatan Igg)
11
Gambar 4. Heterogenitas pada multipel sklerosis10
12
Neuromyelitis optica (NMO) atau Devic’s Disease2
13
wajah, neuralgia trigeminal, diplopia, ptosis dan nistagmus. Pemeriksaan MRI
medula spinalis pada nmo memperlihatkan lesi yang meluas lebih dari 3 segmen
vertebra. Lesi yang lebih pendek juga bisa ditemukan pada awal relaps atau
sebagai residu dari stadium atrofi. Lesi terutama terletak di servikal dan torakal
pada bagian sentral dari substansia grisea. Lesi tampak hiperintens pada T2 dan
hipointens pada T1. Lesi servikal dapat meluas hingga ke batang otak. Pada
kondisi relaps lesi akan menyangat kontras. Lesi medula spinalis multipel
sklerosis sangat jarang yang meluas hingga melebihi 2 segmen vertebra.
Umumnya lesi terlihat pendek, asimetris dan terletak di segmen posterior pada
penampang medula spinalis. Lebih dari 50% MRI otak NMO normal pada awal
penyakit. Dengan berjalannya waktu dapat ditemukan lesi di substansia alba.
Distribusi lesi otak NMO sesuai dengan area yang memiliki ekspresi aquaporin 4
(AQP4) tinggi seperti sel ependim, hipotalamus dan batang otak. Dapat juga
ditemukan lesi yang tidak spesifik ataupun yang mirip dengan lesi multipel
sklerosis. Sebagian besar hasil pemeriksaan css pasien NMO memperlihatkan
pleositosis dengan dominasi monosit atau limfosit. Pleositosis lebih sering
ditemukan pada lesi panjang lebih dari 3 segmen. Sedangkan OCB bervariasi
antara 0-37% terdeteksi pada CSS pasien NMO. Kriteria diagnostik yang
dipergunakan untuk menegakkan diagnosis NMO merujuk pada kriteria nmultipel
sklerosis dibawah ini.14
14
1. MRI kepala terbaru normal atau memperlihatkan abnormalitas yang tidak
sesuai dengan kriteria barkhof yang dipergunakan pada kriteria mcdonald,
meliputi:
Lesi otak pada T2 yang tidak spesifik dan tidak memenuhi kriteria Barkhof
Lesi pada medula dorsalis, baik yang meluas ataupun tidak sampai ke medula
spinalis
Lesi hipotalamus dan atau lesi batang otak
Abnormalitas yang berupa signal linear sepanjang periventrikular/ korpus
kalosum tetapi tidak berbentuk ovoid dan tidak meluas ke parenkim dalam
bentuk dawson finger
15
optika atau mielitis dalam 3 bulan pertama setelah onset. Gejala baru ini
tidak dipisahkan oleh suatu periode remisi komplit dari gejala awal.
3. Disertai dengan perbaikan meskipun gejala sisa berupa defisit neurologis
tetap ada
4. Gambaran mri terutama memperlihatkan lesi substansia alba yang sesuai
dengan klinis yang bersifat:
Akut
Multipel, jarang berbentuk lesi soliter yang besar
Di supra atau infratentorial atau keduanya
Umumnya salah satu lesi berukuran cukup besar (diameter 1-2cm)
Tidak selalu menyangat kontras (penyangatan kontras bukan suatu
keharusan)
Dapat disertai dengan lesi ganglia basalis tetapi bukan suatu keharusan.
2.7 Diagnosis
Meskipun tidak ada kriteria spesifik untuk menentukan diagnosis multipel
sklerosis, MRI merupakan modalitas penunjang yang paling membantu
diagnostik. Ketika didapatkan temuan tipikal pada MRI disertai dengan anamnesis
dan temuan klinis yang klasik, modalitas lain mungkin tidak perlu dilakukan lagi
pada seting klinis.8
Meskipun MRI menyediakan modalitas diagnostik yang sangat baik,
temuan ini selalu perlu disertai dengan gambaran klinis yang sesuai untuk
menentukan diagnostik pasti multipel sklerosis. Klinisi menggunakan beberapa
kriteria dari konsensus yang terus berkembang seiring perkembangan teknologi.
Pemeriksaan dan anamnesa adalah komponen utama diagnosis pada 1965 ketika
schumacher dkk pertama kali mengeluarkan kriteria multipel sklerosis yang
banyak dianut; hal ini memerlukan terpenuhinya 5 dari 6 kondisi yang ada di
kotak 46-1 sebelum menentukan diagnosis definite multipel sklerosis.8
Kriteria Schumacher8
1. Usia onset antara 10-50 tahun
16
2. Didapatkan defisit neurologis akibat lesi di otak.
3. Diseminasi waktu dengan
• 2 atau lebih serangan setidaknya 24 jam dan jarak minimal 1
bulan
• Progresifitas tanda dan gejala selama 6 bulan
4. Diseminasi tempat yang sesuai dengan lokalisasi pemeriksaan
klinis
5. Tidak ada penjelasan lain untuk gejala yang muncul (harus ada)
Kriteria diagnostik multipel sklerosis direvisi pada 1983 seiring adanya
peran pemeriksaan evoked response dan neuromimaging dalam
mengidentifikasi lesi yang secara klinis tidak tampak dan adanya peran data
laboratorium pendukung multipel sklerosis. Selanjutnya disertai dengan temuan
LCS terkait temuan spesifik peningkatan jumlah oligoclonal bands di LCS
dibandingkan serum, peningkatan kadar Igg, dan peningkatan index Igg. Pada
tahun 2001, kriteria McDonald menjadi standard hampir diseluruh dunia yang
digunakan dalam penelitian klinis dan untuk menentukan disease-modifying
therapies specific untuk terapi multipel sklerosis.10
1. Dua atau lebih serangan dengan bukti klinis obyektif dua atau
lebih lesi klinis cukup untuk mendiagnosis multipel sklerosis
2. Dua atau lebih serangan klinis :
17
a. Namun hanya satu lesi yang definitif pada pemeriksaan
klinis
b. Terpenuhi kriteria tambahan diseminasi tempat yang
dapat dibuktikan dengan
i. Lesi MRI baru
ii. Kombinasi lesi MRI dengan temuan positif
LCS atau serangan klinis lain pada lokasi
baru
3. Isolated Clinical Attack : kriteria multipel sklerosis dapat
terpenuhi jika ada dua atau lebih lesi dengan bukti diseminasi
waktu oleh:
a. Lesi MRI baru
b. Serangan klinis kedua
4. Clinically Isolated Syndrome dengan hanya satu bukti obyektif
lesi dapat mendiagnosis multipel sklerosis dengan
a. Diseminasi tempat ditunjukkan dengan lesi MRI
kedua disertai temuan positif LCS
b. Diseminasi waktu ditunjukkan dengan
i. MRI, atau
ii. Serangan klinis kedua
5. Progresifitas lambat penyakit dapat mengarahkan diagnosis
multipel sklerosis :
a. Jika penyakit progresif selama setidaknya 1 tahun dan
b. Terpenuhi dua dari tiga kondisi:
i. Temuan MRI kepala positif
ii. Temuan MRI medula spinalis positif (lebih
bermakna dari sebelumnya)
iii. Temuan LCS positif
18
Diagnosis multipel sklerosis harus dipertimbangkan pada pasien yang datang
dengan episode pertama gejala neurologis atau tanda yang menyokong suatu
proses demielinisasi dan tidak ada kemungkinan penyebab lainnya.
Diagnosis multipel sklerosis telah menjadi jelas dengan MRI; studi positif
menunjukkan data dasar diagnostik solid bagi klinisi yang mengarahkan
diagnostik segera dan akurat multipel sklerosis pada 95% pasien. Lesi baru
biasanya memiliki gambaran penyangatan gadolinium yang seragam,
sementara, ringlike enhancement sesuai dengan gambaran reaktivasi lesi
sebelumnya. Plak fase akut memiiki gambaran area bulat dengan high-signal
inensity pada sekuen flair dan T2. Penyangatan gadolinium pada sekuen T1
merupakan akibat sekunder dari kerusakan akibat inflamasi pada blood-brain
barrier. Temuan klasik MRI ditandai dengan multiple well-demarcated ovoid
plaque yang aksis panjangnya terletak tegak lurus di sepanjang callososeptal
interfaces dan menunjukkan perivenular extension pada corpus callosum (dawson
finger). Terlebih lagi, plak tersebut memiliki kecenderungan di periventrkular dan
subcortical white matter, middle cerebellar peuduncle, pons, atau medulla. Pada
19
medula spinalis, lesi white matter dapat melibatkan berbagai bagian traktus aferen
maupun eferen, terutama kolumna dorsalis. Pada saat tertentu lesi dapat sangat
besar dan menyerupai tumor intramedula dan ditandai dengan large xpansile
hyperintense plak pada area cervical atas seperti pada gambar 6-7. MRI secara
tegas telah menggantikan analisa LCS, begitu juga berbagai bentuk evoked
neurophysiology potentials sebagai metode diagnostik primer.
20
Gambar 9. Medula spinalis servikal irisan sagital16
a | fast spin-echo proton-density,b | t2-weighted and c | short-tau inversion
recovery (stir) mri sequence.
21
MRI medula spinalis dapat berguna terutama dalam
mendukung diagnosis. Pada kasus yang secara klinis dicurigai dengan
MRI kepala normal atau meragukan, lesi medula spinalis dapat
muncul, meskipun tanpa gejala medula spinalis. Namun demikian,
kadang kala lesi medula spinalis sulit diidentifikasi karena adanya
artefak. Semakin banyaknya ketersediaan mri 3–tesla di kemudian hari
akan dapat memperjelas gambarannya terutama bentuk multipel
sklerosis spinal.8
Cairan Serebrospinal
22
Hitung leukosit biasanya normal, dengan kurang dari 6 sel
mn/mm3; namun kadangkala dapat ditemukan pasien multipel
sklerosis dengan sel 50 limfosit/mm3. Biasanya tidak melebihi 25
sel/mm3. Hitung limfosit lebih 100/mm3 harus meningkatkan
kecurigaan adanya proses inflamasi atau bahkan proses neoplastik.
Jumlah sel yang ditemukan mungkin berkorelasi dengan lesi
menyangat pada MRI dan aktivitas penyakit. Namun, tidak tampak
adanya korelasi antara hitung sela dan keparahan lesi T2. Kadar
glukosa pada LCS didapatkan normal, sesuai dengan hitung sel yang
juga relatif normal.8
2.9 Terapi2
Tujuan utama terapi pasien multipel sklerosis adalah :
23
3. Memperlambat progresifitas penyakit
Terapi Relaps
Pasien dengan neuritis optika juga disarankan untuk mendapatkan terapi MP iv.
Studi yang dilakukan oleh optic neuritis study group mendapatkan pasien neuritis
optika yang diterapi dengan MP iv memiliki risiko yang lebih kecil untuk
berkembang menjadi multipel sklerosis dalam 2 tahun berikutnya.
24
seperti infeksi ataupun perubahan suhu. Relaps juga dapat berupa
perburukan gejala neurologis yang sebelumnya sudah stabil selama
minimal 30 hari
* Pasien dengan relaps direkomendasikan untuk mendapatkan terapi
metilprednisolon iv 500-1000mg selama 3-5 hari (level a)
* Alternatif terapi untuk relaps yang direkomendasikan adalah
metilprednisolon oral 500-1000mg selama 3-5 hari (level a).
Pemberian dapat dilakukan dengan dosis tunggal atau terbagi
* Pasien dengan relaps neuritis optika disarankan untuk
mendapatkan terapi metilprednisolon iv (level a)
Hampir 2/3 dari pasien cis memiliki lesi multipel pada gambaran MRI yang sesuai
dengan lesi multipel sklerosis. Pasien CIS dengan lesi otak pada pemeriksaan
MRI memiliki risiko untuk berkembang menjadi multipel sklerosis sebanyak 50-
98%. Beberapa studi memperlihatkan efektifitas dari interferon-β (ifnβ) dan
glatiramer asetat (GA). Sebuah studi meta-analisis mendapatkan IFNΒ
memperlambat konversi cis menjadi definit multipel sklerosis dengan rasio odd
(OR) 0.53. Selain itu studi ini juga memperlihatkan terapi IFNΒ menurunkan
jumlah lesi pada MRI.2,20
IFNΒ baik 1A maupun 1B telah terbukti efektif pada RRmultipel sklerosis. Obat
ini dapat menurunkan relaps rate dan mengurangi jumlah lesi pada MRI.
Pilihan lainnya yang juga efektif untuk terapi rrmultipel sklerosis adalah
glatiramer acetat (ga). Bukti-bukti kelas i memperlihatkan ga dapat menurunkan
frekuensi serangan baik klinis maupun radiologis pada pasien dengan rrmultipel
sklerosis (a).
25
Fingolimod, satu-satunya sediaan oral untuk terapi multipel sklerosis, juga
direkomendasikan untuk rrmultipel sklerosis. Fingolimod merupakan modulator
reseptor sfingosin-1-fosfat. Obat ini bekerja dengan menyerap limfosit yang
bersirkulasi dalam kelenjar getah bening. Pada uji fase II dan 2 studi pivotal fase
3, fingolimod terbukti efektif untuk rrmultipel sklerosis. Pemanjangan masa
observasi dari 6 bulan hingga 3 tahun pada uji fase 2 tetap memperlihatkan
efektifitas fingolimod dalam menurunkan arr dan aktivitas penyakit yang dilihat
dari jumlah lesi pada gambaran mri.
Studi fase III fingolimod, freedomultipel sklerosis, merupakan uji klinis terkontrol
pada pasien rrmultipel sklerosis dengan jumlah sample 1272 orang. Pada studi ini
fingolimod berhasilkan menurunkan arr menjadi 55% untuk dosis 0.5mg dan 60%
untuk dosis 1.25mg. Selain itu risiko progresifitas disabilitas juga menurun dalam
24 bulan yang mulai terlihat sejak 6 bulan pertama.
RRMultipel Sklerosis2,8
26
Terapi lini kedua
Terapi lini kedua dipergunakan pada kasus-kasus yang mengalami kegagalan atau
intoleran dengan terapi lini pertama. Obat-obat yang tergolong dalam terapi lini
kedua dapat dilihat pada tabel berikut ini:
Azathioprine
27
dapat ditoleransi. Azathioprin meskipun cukup efektif namun hingga saat ini
belum termasuk dalam pilihan terapi lini pertama untuk multipel sklerosis. Hal ini
didasarkan pada adanya peningkatan risiko kanker pada pemakaian azathioprin.
Akan tetapi intervention review yang dilakukan pada pemakaian azathioprin
sebagai terapi multipel sklerosis memperlihatkan tidak ada peningkatan risiko
kanker. Efek samping jangka panjang diduga berhubungan dengan lama durasi
yang lebih dari 10 tahun dan total kumulatif dosis lebih dari 600g.2,8
Studi open label pada progresif multipel sklerosis yang membandingkan mmf
dengan plasebo memperlihatkan efikasi dari mmf dan efek samping yang dapat
ditolerir. Selain itu studi lain juga memperlihatkan kombinasi antara mmf dan ifnβ
pada rrmultipel sklerosis menunjukkan efikasi yang lebih superior dibandingkan
dengan ifnβ saja. Meskipun demikian pemakaian mmf pada multipel sklerosis
hingga saat ini masih kontroversi dan memerlukan data penelitian yang lebih
besar.
Pasien pada fase spmultipel sklerosis umumnya lebih sulit diterapi dibandingkan
dengan rrmultipel sklerosis. Studi spectrimultipel sklerosis memperlihatkan IFNβ-
1a sc bermakna dalam menurunkan kejadian relaps dan lesi mri pada pasien
spmultipel sklerosis.2,18
Obat lain yang dapat dipergunakan pada spmultipel sklerosis adalah mitoxantron.
Studi multipel sklerosis memperlihatkan efikasi mitoxantron untuk spmultipel
sklerosis.2,18
28
direkomendasikan untuk PPMultipel Sklerosis termasuk IFNβ maupun glatiramer
asetat.2,20
Pemantauan terapi
Pemantauan respon terapi dianjurkan meliputi aspek klinis dan MRI. Pemeriksaan
mri sebaiknya diulang 6-12 bulan setelah terapi dimulai untuk mengevaluasi
adanya lesi aktif yang baru. Apabila dalam periode tersebut didapatkan 2 atau
lebih lesi aktif yang baru disertai dengan relaps atau peningkatan disabilitas, maka
perubahan terapi harus dipertimbangkan. Apabila lesi aktif tidak disertai dengan
aktivitas klinis seperti relaps atau peningkatan disabilitas maka pasien harus
dipantau dengan ketat. Jika dalam pemantauan tersebut terjadi perburukan klinis
maka perubahan terapi harus dipertimbangkan. Pada pasien yang tidak ditemukan
lesi aktif, maka evaluasi klinis dan MRI harus dilakukan kembali pada bulan
berikutnya. Untuk evaluasi klinis dianjurkan menggunakan expanded disability
status scal (EDSS).2
29
Gambar 11. Algoritma terapi multipel sklerosis2
Interferon-β
Beberapa efek samping IFNβ telah dilaporkan. Reaksi pada lokasi penyuntikan
dapat terjadi pada awal terapi. Tehnik penyuntikan yang benar dapat mengurangi
risiko efek samping tersebut. Efek samping lainnya yang cukup sering adalah flu-
like symptomultipel sklerosis. Keluhan ini umumnya bersifat sementara dan dapat
diminimalisir dengan melakukan titrasi dosis pada awal pemberian. Pasien yang
akan mendapatkan ifnβ juga perlu ditanyakan riwayat gangguan psikiatri
sebelumnya. Kejadian depresi, ide bunuh diri dan bunuh diri pernah dilaporkan
pada pemakaian IFNβ. Pasien yang memiliki riwayat gangguan tersebut harus
mendapatkan perhatian khusus selama terapi. Apabila selama terapi gejala
psikiatri muncul maka penghentian IFNβ perlu dipertimbangkan. Gangguan
30
fungsi hepar dan pansitopenia juga dilaporkan pada pemakaian Ifnβ. Pemantaun
fungsi hepar dan darah perifer lengkap perlu dilakukan pada 1, 3 dan 6 bulan awal
pemakaian obat. Selanjutnya evaluasi dilakukan setiap 6-12 bulan atau sesuai
dengan gejala klinis. Fungsi tiroid juga perlu dievaluasi pada pasien yang
memiliki riwayat gangguan fungsi tiroid sedikitnya setiap 6 bulan sekali. Efek
samping IFNβ lainnya yang pernah dilaporkan adalah kejang, limfadenopati dan
reaksi anafilaktik.2,8
Fingolimod
31
* Vaksinasi varicella zoster harus dilakukan 1 bulan sebelum memulai terapi
apabila antibodi terhadap varicella zoster negatif
* Selama terapi fingolimod, tekanan darah dan fungsi hepar harus terpantau
* Pemeriksaan oftalmologi juga dianjurkan dilakukan sebelum terapi dan 3-4
bulan berikutnya mengingat adanya risiko edema makular. Risiko ini
meningkat pada pasien dengan dm dan atau riwayat uveitis.
Azathioprin
Leukosit <3500
32
Neutrofil <2000
Trombosit <150.000
Sgot dan sgpt meningkat 2x lipat dari batas atas nilai normal
Mcv>105fl
Timbul kemerahan dan ulkus mukosa mulut
Perdarahan
Radang tenggorokan berat
2.10 Prognosis
Sklerosis multipel memiliki perjalanan penyakit yang bervariasi dan tidak
bisa diramalkan. Pada banyak penderita, penyakit ini dimulai dengan gejala
memburuk dan lebih meluas dalam beberapa minggu atau beberapa bulan. Cuaca
hangat, mandi air panas atau demam bisa memperberat gejala. Kekambuhan bisa
terjadi secara spontan atau dipicu oleh infeksi (misalnya influenza). Jika
33
kekambuhan sering terjadi maka kelainan semakin memburuk dan bisa bersifat
menetap.13
BAB III
KESIMPULAN
34
dengan prevalensi umum di seluruh dunia adalah 30 kasus per 100.000 populasi
dan hanya sekitar 2-5% penyakit ini terjadi pada usia kurang dari 18 tahun.
Prevalensi multiple sklerosis di Indonesia berkisar antara 1-5/100.000 penduduk.
Gejala pada mata merupakan gejala awal pada multipel sklerosis berupa
penurunan visus yang dapat sembuh sempurna, gejala lain pada mata berupa
diplopia dan buta sebagian. Defisit neurologis dapat berupa kelumpuhan bulbar
dan anggota gerak, ataksia, gangguan sensoris, adanya refleks patologis dan
spastisitas. Semua gejala tersebut dapat mengalami remisi; dimana remisi tersebut
bisa bersifat sempurna tanpa meninggalkan gejala sisa, kemudian terjadi
kekambuhan yang memberikan gejala yang lebih berat.
35