Anda di halaman 1dari 3

TANTANGAN DAN GANGGUAN DALAM BISNIS PROPERTI DI INDONESIA

Oleh:
Tiara Sarah Putri Sumantri (Praktisi Properti Indonesia)

Pasca era reformasi, bisnis dalam bidang properti di Indonesia memang memiliki prospek
ekonomi yang baik. Hal ini sebagaimana yang dikemukakan oleh Direktur Neraca Pengeluaran
Badan Pusat Statistik (BPS), Puji Agus Kurniawan pada acara Property Outlook 2018 yang
diselenggarakan di Jakarta pada 17 Januari 2018 lalu. Puji Agus Kurniawan mengatakan bahwa
prospek bisnis properti di Indonesia pada 2018 diproyeksi meningkat. Salah satu pendorong
meningkatnya bisnis properti karena rendahnya suku bunga kredit perumahan yang
diproyeksi terus terjadi selama tahun 2018 ini. Selain suku bunga yang rendah, perkembangan
jumlah penduduk Indonesia yang semakin meningkat dan juga banyaknya pendatang dari luar
negeri yang bekerja di Indonesia, membuat kebutuhan properti seperti gedung perkantoran,
residensial, ritel dan komersial pun meningkat. Maka untuk itulah bisnis dalam bidang properti
di Indonesia begitu “menggiurkan” bagi para pelaku dunia bisnis. Oleh karena itu berbagai
investor dari berbagai negara pun turut tertarik untuk berinvestasi atau menjalankan bisnis
properti di Indonesia, seperti Singapura, Jepang, Cina, Korea Selatan, Arab Saudi, dan Amerika
Serikat.
Keuntungan berbisnis dalam bidang properti memang sangat besar. Namun tantangan dan
gangguan dalam menjalankan bisnis di bidang properti juga sangat tinggi. Misalnya tantangan
perkembangan perekonomian global dapat mempengaruhi penjualan unit properti kepada calon
konsumen. Seperti pada tahun 2008 lalu terjadi krisis ekonomi global dari dampak krisis
ekonomi di Amerika Serikat akibat kredit perumahan beresiko tinggi atau subprime mortgage.
Akibat krisis ekonomi yang terjadi di Amerika Serikat rupanya berdampak pada kondisi ekonomi
dunia, termasuk Indonesia. sehingga pada tahun 2008 lalu, pasar properti Indonesia mengalami
kelesuhan atau penurunan akibat krisis ekonomi di Amerika Serikat tersebut. Selain kondisi
ekonomi global, kondisi ekonomi Indonesia juga dapat menjadi tantangan dalam menjalankan
usaha bisnis properti.
Selain tantangan, gangguan dalam menjalankan bisnis properti di Indonesia juga perlu
dipertimbangkan bagi pihak yang ingin memulai bisnisnya di properti. Apa saja jenis gangguan
yang biasanya dihadapi oleh para pelaku bisnis properti di Indonesia? Berdasarkan pengalaman
penulis, gangguan terbesar dalam bisnis properti di Indonesia, yaitu ada dua.
Pertama, masalah pelayanan birokrasi. Pada masalah ini, tidak sedikit dari para pelaku
bisnis properti yang mengeluhkan proses pelayanan birokrasi pada bisnis properti yang berjalan
lama dan sulit serta tidak sesuai dengan aturan yang ada, baik yang diurus sendiri oleh
perusahaan atau menggunakan jasa notaris. Padahal saat ini pelayanan birokrasi di Indonesia
sudah mengalami reformasi birokrasi atau good governance atau penggunaan sistem pelayanan
digital. Namun fakta dilapangan, masalah pelayanan birokrasi masih harus dihadapi oleh para
pelaku bisnis properti. Misalnya saja lama proses pembuatan pecah sertifikat tanah dan
pengurusan Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) yang harusnya tertulis hanya 14 hari kerja, bisa
berbulan – bulan prosesnya, bahkan ada kasus yang pernah dialami oleh rekan penulis sampai
satu tahun lebih.
Sekalipun syarat – syaratnya sudah terpenuhi atau lengkap, rupanya ini belum menjamin
proses pengurusan pecah sertifikat tanah dan IMB sesuai dengan waktu hari yang tertulis dalam
informasi proses pelayanan. Saat ditanya kepihak terkait, selalu saja jawabannya masih proses
dan masih proses, atau dijawabnya masih ada kekurangan syarat ini dan itu yang sebenarnya
tidak ada dalam syarat pengurusan pecah sertifikat tanah dan IMB. Mengapa ini bisa terjadi?
Yang jelas tidak hanya masalah pengurusan sertifikat tanah dan IMB, bahkan masalah mengurus
KTP saja masih tidak sesuai dengan ketentuan yang ada.
Kedua, masalah pungutan liar. Pungutan liar ini dapat bersumber dari oknum organisasi
masyarakat (ormas) atau oknum wartawan atau oknum Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
dan oknum institusi pemerintah. Pada oknum ormas/wartawan/LSM, hal ini yang banyak
dikeluhkan oleh pelaku bisnis properti. Bahkan sampai ada yang mengatakan bahwa justru biaya
untuk oknum ormas/wartawan/LSM bisa setengah dari biaya bangun 1 unit rumah. Sebab pelaku
bisnis properti tidak hanya dihadapkan pada satu oknum ormas/wartawan/LSM saja, tetapi bisa
lebih dari dua oknum ormas/wartawan/LSM yang melakukan pungutan liar. Biasanya oknum
ormas/wartawan/LSM melakukan modus pungutan liar dengan mengatasnamakan untuk retribusi
keamanan, uang koordinasi, sampai uang kegiatan sosial. Jika permintaan sejumlah uang tidak
diberikan oleh pelaku bisnis properti kepada oknum yang bersangkutan, maka biasanya proses
pembangunan properti akan mengalami gangguan oleh oknum tersebut. Bentuk gangguannya
bisa berupa dilarang masuk atau melintas segala proses pengantaran bahan bangunan ke lokasi
bangunan, atau hilangnya bahan bangunan di lokasi, atau membuat tidak nyaman dan tidak aman
para pekerja bangunan di lokasi dan atau membuat berita negatif tertentu di surat kabar yang
dapat berpotensi merusak citra penjualan properti.
Jika merujuk pada pasal 59 ayat 3 dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16
Tahun 2017 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang -Undang Nomor 2
Tahun 2017 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 Tentang
Organisasi Kemasyarakatan Menjadi Undang-Undang, disebutkan bahwa “Ormas dilarang
melakukan tindakan kekerasan, mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum, atau merusak
fasilitas umum dan fasilitas sosial”. Lalu pada KUHP pasal 368 disebutkan bahwa "Barang
siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum,
memaksa orang lain dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, untuk memberikan sesuatu
barang, yang seluruhnya atau sebagian adalah milik orang lain, atau supaya memberikan
hutang maupun menghapus piutang, diancam, karena pemerasan, dengan pidana penjara paling
lama sembilan tahun". Dalil UU dan hukum tersebut memang idealnya dapat menjadi pelindung
bagi pelaku bisnis properti dari praktek pungutan liar oknum ormas/wartawan/LSM, namun
praktek dilapangan sulit untuk mengharapkan perlindungan secara hukum. Sebab jika pelaku
bisnis properti melakukan resistensi terhadap oknum ormas/wartawan/LSM, justru yang akan
dihadapi oleh pelaku bisnis properti adalah kerugian yang sangat besar. Oleh karena itulah
terkadang membuat pelaku bisnis properti lebih baik diam dan “terpaksa” memberikan sejumlah
uang yang diminta oleh oknum ormas untuk keselamatan dan keamanan bisnis propertinya.
Maka untuk itulah bagi mereka yang ingin berkecimpung dalam bisnis properti, harus siap
berhadapan dengan para oknum ormas/wartawan/LSM, dan tentunya harus mencari cara atau
strategi dalam berhadapan dengan para oknum ormas/wartawan/LSM agar tidak merugi atau
mengeluarkan biaya yang besar.
Selain pungutan liar dari oknum ormas/wartawan/LSM, pungutan liar juga dapat berasal dari
oknum institusi pemerintah. Walaupun saat ini sedang gencar – gencarnya seruan anti korupsi
dan clean government, namun memang masih ada saja oknum – oknum tertentu yang melakukan
praktek – praktek korupsi. Pungutan diluar ketetapan biaya yang ada dalam proses pengurusan
perijinan administrasi oleh oknum instasi terkait tidak sedikit terjadi. Biasanya modus pungutan
liar yang dilakukan dengan cara memperhambat proses – proses perijinan tertentu. Sehingga hal
inilah yang kemudian membuat pelaku bisnis properti “terpaksa” mengeluarkan biaya lebih
kepada oknum tertentu agar proses perijinan tertentu dipercepat sesuai ketetapan waktu yang
ada. Jika merujuk pada Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 junto Undang-Undang Nomor
22 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, kasus ini dapat dikatakan sebagai
bentuk pemerasan. Pemerasan di sini jika merujuk pada UU tersebut (pasal 12 ayat e)
maksudnya adalah tindakan yang dilakukan oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara
untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum atau dengan
menyalahgunakan kekuasaaannya dengan memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar,
atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya
sendiri.
Proses pemberian uang kepada oknum tertentu memang salah, sebagaimana yang dijelaskan
dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 junto Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pada posisi ini pelaku bisnis properti ibarat
dilematis. Jika tidak memberikan sejumlah uang tertentu kepada oknum nanti akan
memperhambat bisnis propertinya, namun di satu sisi apa yang dilakukan oleh pelaku bisnis
properti dengan memberikan sejumlah uang kepada oknum tertentu yang tidak sesuai aturan
justru membudayakan praktik korupsi. Di sinilah dibutuhkan keberanian dan pertimbangan yang
matang bagi pelaku bisnis properti untuk mengambil sikap mana yang akan dilakukannya. Selain
itu juga butuh komitmen dan ketegasan dari pemerintah untuk benar – benar menjalankan seruan
anti korupsi dan clean government agar tidak ada lagi oknum yang berani melakukan perbuatan
korupsi yang justru memperburuk citra instansi pemerintah.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka bagi siapa saja yang berminat berbisnis dalam properti
harus bisa memahami medan tantangan dan gangguan yang terjadi dilapangan. Jika merujuk
pada laporan Doing Business 2018 Reforming to Create Jobs yang dirilis oleh Bank Dunia
(World Bank), dari 190 negara yang disurvey, Indonesia mengalami perbaikan kemudahan
berbisnis. Pada tahun 2016, peringkat Indonesia berada pada 106, kemudian naik menjadi
peringkat 91 pada tahun 2017, dan kemudian mengalami kenaikan kembali pada tahun 2018
menjadi peringkat 72.
Kenaikan peringkat kemudahan berbisnis di Indonesia karena adanya peningkatan tujuh
aspek reformasi yang terjadi di Indonesia, yaitu: memulai bisnis, memperoleh sambungan listrik,
mendaftarkan properti, memperoleh kredit atau pembiayaan, membayar pajak, kegiatan
perdagangan lintas batas, dan melindungi insvestor minoritas. Hasil laporan Bank Dunia tersebut
tentu kabar gembira bagi para pelaku bisnis properti. Namun pelaku bisnis properti tetap harus
kreatif, inovatif dan mawas diri. Bagi para pelaku bisnis properti tidak hanya berbekal jaringan
investasi yang luas, tetapi juga harus memahami kondisi sosial, budaya, politik serta birokrasi di
Indonesia sangat diperlukan. Sebab menjalankan bisnis properti di Indonesia tentu berbeda
situasi dan kondisinya dengan negara lain, seperti Jepang, Malaysia, Cina, Singapura, dan lain
sebagainya. Oleh karena itu bagi mereka yang ingin berkecimpung dalam bisnis property harus
banyak – banyak mencari berbagai macam informasi, baik dari internet, majalah atau koran, serta
ikut aktif menghadiri pertemuan yang membahas masalah properti. Sehingga nantinya bagi
mereka yang memulai bisnis properti tidak mengalami kerugian yang sangat besar. Sebab
kerugian dalam berbisnis sebenarnya bisa diminimalisir dengan mencari cara untuk
meminimalisir tingkat resiko meruginya. Dan cara untuk meminimalisir resiko kerugian dengan
memiliki informasi dan pengetahuan mengenai bisnis yang mau kita jalani.

Anda mungkin juga menyukai