Anda di halaman 1dari 51

1

BAB 1

PENDAHULUAN

Bab ini mengemukakan tentang masalah penelitian, mulai dari latar belakang,
tujuan dan manfaat penelitian ini dilakukan.

1.1 Latar Belakang

Edukasi pasien merupakan proses pemberian informasi kepada pasien secara dua
arah selama masa perawatan di rumah sakit. Edukasi pasien merupakan proses
dimana para profesional kesehatan memberikan informasi kepada pasien dan
keluarga ataupun penjaga pasien untuk meningkatkan status kesehatan dan
mendorong keterlibatan dalam pengambilan keputusan terkait perawatan yang
sedang berlangsung (Fereidouni et al., 2019). Edukasi adalah proses mengajarkan
atau memberikan informasi yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan
pasien merawat dirinya dengan membantu pasien memperoleh perilaku baru
dalam mengatasi masalah kesehatannya (PPNI, 2018). Edukasi pasien merupakan
dasar dari semua proses pembelajaran yang pelaksanaannya menjadi tanggung
jawab dari manajer dalam suatu organisasi (Malekshahi, Rezaian, Fallahi, &
Almasian, 2019). Edukasi pasien merupakan salah satu dari tindakan yang perlu
diperhatikan dalam meningkatkan keselamatan pasien selama menjalani
perawatan di rumah sakit.

Perawat memberikan edukasi kepada pasien melalui beberapa tahapan. Edukasi


dimulai ketika pasien memasuki fasilitas layanan kesehatan dan berlanjut
sepanjang masa perawatan, hingga setelah pasien dipulangkan (JCI, 2017).
Perawat menilai kebutuhan edukasi pasien, menetapkan tujuan pembelajaran,
merencanakan dan melaksanakan edukasi, evaluasi, dan mengulang kembali
seperlunya agar mendapatkan outcome yang optimal (Flanders, 2018). Pemberian
edukasi pasien adalah proses kompleks yang meliputi penilaian, perencanaan,
implementasi, dan evaluasi dari edukasi yang sudah diberikan (London, 2009).
Identifikasi edukasi pasien yang paling efektif apabila dilakukan sesuai dengan
2

pilihan pembelajaran pasien, nilai budaya, agama, kemampuan serta bahasa yang
digunakan pasien (KARS, 2018). Perawat yang telah menyelesaikan penilaian
kebutuhan edukasi pasien, dapat memberikan edukasi sesuai dengan harapan
pasien (Jonesboro, 2018). Hasil penelitian di Istanbul, Turkey mengungkapkan
bahwa perawat harus memberikan informasi dan edukasi kepada pasien tentang
setiap prosedur dan yang diperlukan terkait penyakit, diagnosis dan perawatan
untuk memastikan kepuasan pasien dan pelayanan keperawatan yang berkualitas
(Karaca & Durna, 2018).

Edukasi pasien yang baik akan memberikan dampak positif pada pasien selama
menjalani perawatan di rumah sakit. Proses edukasi pasien akan membantu pasien
dan perawat dalam membuat keputusan terbaik selama proses perawatan pasien
(Fereidouni et al., 2019). Pemberian edukasi saat melakukan perawatan kepada
pasien merupakan strategi yang dapat dilakukan untuk mengurangi rasa sakit,
kecemasan, dan kecanggungan saat dilakukan penyuntikan atau injeksi pada
pasien (Meyers et al., 2017). Memberikan edukasi kepada pasien dan keluarga
yang optimal akan berpengaruh pada perubahan perilaku dan gaya hidup yang
sehat serta peningkatan kepatuhan terhadap pengobatan (Arora, Bipin, Malhotra,
& Ranjan, 2017). Hasil penelitian di Lebanon (Hemadeh, Hammoud, Kdouh,
Jaber, & Ammar, 2019) menyatakan bahwa kualitas edukasi pasien adalah
prediktor kuat dalam kepuasan pasien. Edukasi akan berpengaruh pada kepatuhan
pasien dalam pengobatan, kepuasan atas pelayanan yang diterima selama
perawatan, peningkatan kualitas hidup, dan pemahaman informasi yang lebih
mudah dimengerti yang berdampak pada penurunan angka rawat inap dan
readmission (Andargie & Kassahun, 2019; Flanders, 2018; Seyedin,
Goharinezhad, Vatankhah, & Azmal, 2015; Suhariyanto et al., 2019; Zhang et al.,
2019).

Edukasi yang diberikan kepada pasien mampu meningkatkan kualitas hidup


pasien dan menurunkan angka readmission pasien. Pada pasien dengan pemulihan
gangguan kejiwaan di Amerika Serikat, edukasi pasien telah terbukti
meningkatkan kualitas hidup pasien, menurunkan readmission menjadi 5%, dan
3

meningkatkan pengetahuan tentang proses pemulihan dalam perawatan psikiatrik


akut (Passley-Clarke, 2019). Penelitian pada 20.666 pasien dengan Penyakit Paru
Obstruktif Kronik (PPOK) melalui studi register di Swedia didapatkan bahwa
edukasi pasien dan program penghentian merokok bermanfaat, tetapi perlu
digabungkan dengan intervensi lain untuk meningkatkan kualitas hidup pasien
(Henoch, Löfdahl, & Ekberg-Jansson, 2018). Edukasi juga dapat meningkatan
kualitas hidup, menurunkan angka penerimaan rawat inap dan readmission pasien
dewasa dengan gagal jantung (Rice, Say, & Betihavas, 2017).

Kegagalan pelaksanaan edukasi pasien disebabkan oleh kurangnya perencanaan,


pengkajian kebutuhan edukasi pasien, dan evaluasi edukasi yang telah diberikan.
Pelaksanaan pemberian edukasi pasien dan keluarga membutuhkan upaya
terencana dalam mempersiapkan alat dan sumber daya yang sesuai untuk
memenuhi kebutuhan aktual pasien (Meyers et al., 2017). Mayoritas kegagalan
dalam pemberian edukasi pasien disebabkan karena perawat tidak melakukan
asesmen kebutuhan edukasi atau tidak menilai efektivitas edukasi yang telah
diberikan [ CITATION Joi15 \l 1033 ]. Pemberian edukasi pasien yang bertujuan
untuk meningkatkan pengetahuan pasien dan keluarga, belum tentu berpengaruh
pada hasil klinis atau mempengaruhi bagaimana seseorang akan menggunakan
informasi yang didapat untuk mengelola penyakit yang diderita (Shafer &
Buchhalter, 2016).

Proses pemberian edukasi pasien yang dilakukan oleh perawat dipengaruhi


banyak faktor penghambat. Hambatan fisik, psikologis, dan status emosional
merupakan hambatan-hambatan yang mungkin dialami perawat dalam
memberikan edukasi pasien (Su et al., 2018). Faktor-faktor yang dialami perawat
dalam memberikan edukasi pasien antara lain beban kerja yang berat, pasien
dengan kebutuhan edukasi yang berbeda-beda, tidak tahu siapa yang harus
diberikan edukasi, kesulitan dalam komunikasi, dan gangguan rasa percaya diri
dan ritme kerja (Che, Yeh, Jiang, & Wu, 2016). Faktor yang mempengaruhi
pemberian edukasi pasien selama menjalani perawatan meliputi tingkat
pendidikan dan pelatihan, pengetahuan, keterampilan, pengalaman dan komitmen,
4

komunikasi, koordinasi, garis wewenang yang tidak jelas, faktor lingkungan dan
desain, kegagalan infrastruktur, sistem yang tidak memadai, depresi dan kelelahan
yang berdampak pada bagaimana anggota tim mengatasi beragam pasien, tekanan
waktu, kondisi medis yang kompleks, dan kelemahan pasien (Bowie, McKay,
McNab, & De Wet, 2016).

Pemberian edukasi pasien akan berjalan secara optimal apabila perawat manajer
mampu melaksanakan fungsi manajemen dengan baik. Manajer bertanggung
jawab
dalam pelaksanaan pemberian edukasi atau pendidikan pasien (Malekshahi et al.,
2019). Manajer keperawatan memfasilitasi pertukaran informasi dan membangun
kepercayaan, serta berkontribusi pada realisasi tindakan untuk mempromosikan
dan memulihkan kesehatan pasien (Mororó, Enders, Lira, Silva, & Menezes,
2017). Manajer mengembangkan kerangka kerja standar dan alat-alat yang
mendukung program pemberian edukasi pasien, meningkatkan kemampuan staf
perawat dalam memberikan edukasi pasien yang efektif, membentuk komite
pelaksanaan pemberian edukasi pasien multidisiplin dan menentukan koordinator
pelaksanaan pemberian edukasi pasien (Fereidouni et al., 2019). Perawat manajer
dituntut untuk melakukan koordinasi yang baik dalam memberikan edukasi pasien
selama perawatan dengan menjalankan fungsi manajemen (Basiony, 2018;
Munyewende, Levin, & Rispel, 2016). Manajer bertanggung jawab dalam
memastikan dan mengawasi bahwa perawat memiliki prasyarat yang diperlukan
dalam memberikan edukasi pasien serta memungkinkan untuk terus berkelanjutan
(Bergh, Friberg, Persson, & Dahlborg-Lyckhage, 2015). Manajer berupaya
melakukan pengembangan kompetensi sumber daya, meningkatkan kesadaran,
dan membangun keterampilan perawat dalam memberikan edukasi pasien
(Malekshahi et al., 2019).

Pelaksanaan edukasi pasien di rumah sakit perlu ditingkatkan sehubungan dengan


meningkatknya prevalensi pasien dengan penyakit kronis, dan kebutuhan akan
perawatan yang lebih baik dan lebih aman bagi pasien. Edukasi pasien telah
menjadi bagian integral dari manajemen penyakit kronis (Win, Hassan, Oinas-
5

Kukkonen, & Probst, 2016). Edukasi pasien memainkan peran penting dalam
manajemen penyakit kronis (Win et al., 2016). WHO (2020) menjelaskan bahwa
penyakit kronis akan mencapai hampir tiga perempat dari semua kematian di
seluruh dunia. Prevalensi penyakit kronis diperkirakan WHO akan meningkat
57% pada tahun 2020 (Walters, 2017). Berdasarkan data Riset Kesehatan
Dasar (Riskesdas) 2018 prevalensi penyakit kronik di Indonesia mengalami
kenaikan jika dibandingkan dengan Riskesdas 2013. Prevalensi kanker naik dari
1,4% (Riskesdas 2013) menjadi 1,8%; prevalensi stroke naik dari 7% menjadi
10,9%; dan penyakit ginjal kronik naik dari 2% menjadi 3,8%, diabetes melitus
naik dari 6,9% menjadi 8,5%; hipertensi naik dari 25,8% menjadi 34,1% (Depkes,
2018). Data ini menunjukkan bahwa pemberian edukasi pasien diperlukan untuk
memberikan pemahaman terkait penyakit pasien, dan meningkatkan kualitas
hidup pasien.

Tanpa edukasi yang memadai, seorang pasien dapat pulang dan melanjutkan
kebiasaan yang tidak sehat saat pulang rawat. Sektor kesehatan di Iran
mengungkapkan bahwa edukasi pasien yang buruk juga merupakan sumber
keluhan utama pasien saat ini (Fereidouni et al., 2019). Studi penelitian yang
dilakukan dipusat reumatologi terbesar, di Renji Hospital, Shanghai, Cina pada
210 pasien Systemic Lupus Erythematosus (SLE) didapatkan bahwa edukasi
pasien yang buruk memiliki dampak negatif pada hasil klinis pasien (Zhang et al.,
2019). Pasien yang salah paham tentang diagnosis dan rencana perawatannya
biasanya menunjukkan kepatuhan pengobatan yang buruk. Tindakan ini dapat
menyebabkan kekambuhan dan kembali ke rumah sakit (Jonesboro, 2018).

Kejadian sentinel di rumah sakit salah satunya disebabkan karena kegagalan


dalam memberikan edukasi kepada pasien. Data kejadian sentinel Januari 2014
hingga Oktober 2015 berjumlah 197 kejadian yang salah satu penyebabnya adalah
karena kegagalan dalam pemberian edukasi pasien (Joint Commision
International, 2015). Sementara itu di Indonesia untuk kejadian sentinel pada
2015 terdapat 8 kejadian (3%), pada 2016 terdapat 26 kejadian (4%), dan pada
2017 terdapat 50 kejadian (3%) (Yahya, 2018).
6

Edukasi pasien yang dilakukan oleh perawat di Rumah Sakit Umum Pusat
(RSUP) Fatmawati belum optimal. Hasil studi pendahuluan mendapatkan skor
rata-rata penilaian pengetahuan perawat dalam memberikan edukasi paien dan
keluarga yaitu sangat baik sebesar 78.6%, tetapi penilaian persepsi perawat
terhadap pemberian edukasi yaitu 59.5% cukup, penilaian supervisi pemberian
edukasi 69% cukup, dan untuk kelengkapan pendokumentasian edukasi 90.5%
kurang. Dari data tersebut diketahui pengetahuan perawat dalam memberikan
edukasi sudah sangat baik, akan tetapi pelaksanaan pemberian edukasi pasien
masih belum optimal. Monitoring dan evaluasi pelaksanaan pemberian edukasi
pasien menjadi fokus rumah sakit dalam meningkatkan kualitas pelayanan.
Pemberian edukasi yang efektif dan efisien membutuhkan monitoring dan
evaluasi karena perawat sering memiliki waktu yang terbatas (Flanders, 2018).

Edukasi pasien belum diberikan secara optimal oleh perawat di rumah sakit. Hasil
studi pendahuluan mendapatkan bahwa RSUP Fatmawati sudah memiliki Standar
Prosedur Operasional (SPO) untuk memberikan arahan bagi staf perawat sesuai
dengan kewenangan klinisnya dalam memberikan edukasi pasien. Hasil observasi
lapangan pada satu rekam medis pasien yang sudah diperbolehkan pulang,
didapatkan bahwa pasien belum diberikan edukasi tentang hand hygiene. Pasien
dan keluarga dikonfirmasi oleh perawat dan membenarkan bahwa edukasi terkait
hand hygiene belum dilakukan.

Manajer perlu mengetahui determinan pemberian edukasi pasien dalam


mengembangkan strategi untuk mengatasi ketidakoptimalan edukasi pasien di
rumah sakit. Determinan dalam pemberian edukasi pasien diwaktu sebelumnya,
akan menjadi tolak ukur bagi rencana yang lebih baik di masa depan (Anastasia,
2017). Determinan pemberian edukasi pasien akan memberikan petunjuk untuk
menetapkan strategi yang tepat dalam mencapai tujuan organisasi, dan
mengembangkan serangkaian rencana komprehensif bagi manajer (Robbins &
Judge, 2017). Pemahaman yang lebih baik tentang faktor-faktor yang
memengaruhi edukasi pasien akan sangat membantu manajer rumah sakit dalam
7

mengembangkan program yang efektif untuk meningkatkan kualitas layanan dan


kepuasan pasien melalui optimalisasi edukasi pasien. Bukti internasional
menunjukkan bahwa berbagai faktor yang berinteraksi dengan pasien dapat
mempengaruhi kepuasan pasien selama perawatan di rumah sakit (Kraska,
Weigand, & Geraedts, 2017).
Fenomena yang ditemukan pada RS di Jakarta Selatan ini mencerminkan bahwa
pemberian edukasi pasien belum dilakukan secara optimal. Determinan pemberian
edukasi pasien juga belum teridentifikasi secara jelas. Uraian latar belakang ini
yang membuat peneliti tertarik untuk meneliti determinan pemberian edukasi
pasien oleh perawat guna menjadi bahan masukan dan evaluasi bagi manajer
perawat dalam mengembangkan strategi pengoptimalan edukasi pasien di rumah
sakit.

1.2 Rumusan Masalah

Pelaksanaan pemberian edukasi pasien belum dilakukan secara optimal dan


determinan pemberian edukasi pasien belum teridentifikasi secara jelas pada
Rumah Sakit di Jakarta Selatan. Penelitian yang sudah ada sebelumnya, mayoritas
menjelaskan pelaksanaan edukasi pasien secara khusus, seperti edukasi pasien
dengan penyakit atau kasus tertentu. Sementara itu penelitian pelaksanaan edukasi
pasien terkait faktor-faktor yang mempengaruhi secara general masih terbatas.
Manajer yang kompeten memainkan peran penting dalam mewujudkan layanan
kesehatan yang efektif. Strategi yang tepat dapat menjadi solusi dalam
mengoptimalkan pemberian edukasi pasien oleh perawat. Strategi yang tepat perlu
dikembangkan oleh perawat manajer dengan mengetahui determinan pemberian
edukasi pasien di rumah sakit. Sehingga penelitian tentang determinan pemberian
edukasi pasien ini penting untuk dilakukan. Perumusan masalah dalam penelitian
ini adalah belum diketahuinya determinan yang mempengaruhi pemberian edukasi
pasien di ruang rawat inap pada RS di Jakarta Selatan.

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini memiliki tujuan umum dan khusus sebagai berikut:


8

1.1.1. Tujuan Umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi determinan yang
mempengaruhi pemberian edukasi pasien oleh perawat di ruang rawat inap pada
RS di Jakarta Selatan.

1.1.2. Tujuan Khusus

Tujuan khusus penelitian ini adalah mengidentifikasi:


1.3.2.1 Gambaran faktor predisposisi yang terdiri dari demografi perawat
pelaksana (jenis kelamin, umur, pendidikan, masa kerja, status
kepegawaian, pelatihan), dan pengetahuan perawat di ruang rawat inap
pada RS di Jakarta Selatan.
1.3.2.2 Gambaran faktor pemungkin yang terdiri dari fungsi manajemen kepala
ruangan dalam memfasilitasi pelaksanaan pemberian edukasi pasien oleh
perawat pelaksana di ruang rawat inap pada RS di Jakarta Selatan.
1.3.2.3 Gambaran faktor penguat (motivasi perawat pelaksana) dalam pelaksanaan
pemberian edukasi pasien di ruang rawat inap pada RS di Jakarta Selatan.
1.3.2.4 Faktor yang paling menentukan dalam pemberian edukasi pasien oleh
perawat pelaksana di ruang rawat inap pada RS di Jakarta Selatan.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini bermanfaat bagi aplikasi pelayanan keperawatan di rumah sakit,


pendidikan keperawatan, dan pengembangan ilmu keperawatan. Manfaat
penelitian ini sebagai berikut:

1.4.1. Manfaat untuk Pelayanan

Penelitian ini diharapkan akan memberikan inovasi terbaru untuk rumah sakit
terkait determinan pemberian edukasi pasien oleh perawat. Hasil penelitian ini
juga secara tidak langsung membawa manfaat bagi manajer rumah sakit dalam
mengembangkan strategi, menetapkan kebijakan, pedoman, dan sebagai bahan
evaluasi pengoptimalan pemberian edukasi pasien di rumah sakit.
9

1.4.2. Manfaat untuk Pendidikan Keperawatan

Hasil penelitian ini akan dijadikan evidence based practice dalam bidang
pendidikan keperawatan, terutama pada manajemen pelayanan kesehatan.
Penelitian ini dapat memberikan informasi mengenai determinan dalam
pelaksanaan pemberian edukasi pasien oleh perawat, sehingga dapat lebih
difokuskan pada faktor-faktor tersebut. Hal ini akan menjadi bahan evaluasi dan
masukan yang bermanfaat untuk pengembangan organisasi melalui peningkatan
kompetensi yang harus dimiliki oleh setiap perawat manajer di rumah sakit.

1.4.3. Manfaat untuk Pengembangan Ilmu Keperawatan

Hasil penelitian ini dapat menjadi rujukan bagi penelitian selanjutnya tentang
determinan pelaksanaan pemberian edukasi pasien oleh perawat. Hasil penelitian
ini juga dapat memberikan wawasan dan pengalaman manajer keperawatan dalam
meningkatkan kemampuan menganalisis determinan pemberian edukasi pasien
yang dalam jangka panjang dapat meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan di
rumah sakit.
BAB 2

TINJAUAN LITERATUR

Bab ini berisi tentang kumpulan teori dan konsep berdasarkan penelusuran literatur
yang berhubungan dengan masalah penelitian.

2.1 Konsep Edukasi


2.1.1 Pengertian Edukasi
Edukasi pasien adalah bagian penting dari pekerjaan perawat. Edukasi merupakan
pemberdayaan yang dilakukan untuk meningkatkan status kesehatan pasien
(Jonesboro, 2018). Edukasi pasien merupakan proses komunikasi dua arah,
sedangkan informasi pasien berarti bahwa perawat hanya memediasi informasi
(Bergh, Karlsson, Persson, & Friberg, 2012). Edukasi pasien adalah proses
mengajarkan atau memberikan informasi yang bertujuan untuk meningkatkan
kemampuan pasien merawat dirinya dengan membantu pasien memperoleh
perilaku baru dalam mengatasi masalah kesehatannya [ CITATION PPN18 \l
1033 ]. Edukasi pasien digunakan sebagai istilah komprehensif yang meliputi
pengajaran pasien, informasi pasien, dan juga melibatkan peran, fungsi, dan sikap
perawat.

Pasien yang terlibat dalam proses perawatannya, akan lebih cenderung terlibat
dalam intervensi yang dapat meningkatkan peluang keberhasilan dalam
perawatan.
Edukasi pasien adalah komponen yang diperlukan untuk mendapatkan hasil
perawatan pasien yang sukses (Sherman, 2016). Pemberian edukasi pasien dan
keluarga juga merupakan proses kompleks yang dimaksudkan untuk memfasilitasi
pembelajaran dan meningkatkan hasil kesehatan pasien [ CITATION Lon16 \l
1033 ].

2.1.2 Tahapan Edukasi


Proses edukasi terdiri dari beberapa tahapan yaitu penilaian, perencanaan,
implementasi, dan evaluasi. Memastikan pasien memiliki pengetahuan tentang
kondisi dan rencana kesehatan pasien adalah metode paling pasti untuk memicu
11

keterlibatan pasien dalam perawatannya. Seyedin et al., (2015) mengungkapkan 3


langkah dalam melakukan edukasi pasien, yaitu menilai kebutuhan belajar pasien,
gaya belajar dan kesiapan untuk belajar. Langkah kedua adalah mengembangkan
rencana. Langkah ketiga adalah mengevaluasi peningkatan pembelajaran pasien
selama dan setelah pengajaran. Terdapat juga tahapan edukasi lainnya (London,
2009), sebagai berikut:
2.1.2.1 Menilai Kebutuhan Edukasi Pasien / Learning Needs Assessment (LNA)
Perawat harus mulai dengan mengidentifikasi langsung kemampuan membaca,
berhitung, bahasa yang digunakan pasien untuk memandu pengajaran yang sesuai.
Perawat kemudian harus menentukan siapa yang harus menerima edukasi dengan
mengajukan pertanyaan (London, 2009). Misalnya, jika diperlukan pendidikan
gizi, tanyakan pasien yang membeli bahan makanan dan menyiapkan makanan di
rumah. Tidak semua pasien memiliki kemampuan belajar yang sama. Pasien
mungkin memiliki kelainan perkembangan atau keterbatasan literasi. Beberapa
pasien mungkin merespons konten visual dengan lebih baik daripada teks biasa,
sedangkan pasein lain mungkin memiliki gangguan pendengaran atau
penglihatan.

Beberapa pasien memerlukan waktu untuk menyesuaikan diri dengan informasi


baru, menguasai keterampilan baru, atau membuat perubahan gaya hidup jangka
pendek atau panjang. Berikut ini merupakan hal-hal yang akan menjadi
pertimbangan perawat dalam menilai kesiapan pasien menerima edukasi, sebagai
berikut; tingkat pendidikan, kemampuan membaca dan memahami arahan,
metode pengajaran yang paling sesuai untuk digunakan (membaca, melihat, atau
berpartisipasi dalam demonstrasi), bahasa yang digunakan pasien, kebutuhan
informasi dasar atau instruksi mendalam yang diperlukan pasien, dan kemampuan
melihat dan mendengar yang dimiliki pasien (Jonesboro, 2018; Laura J. Martin,
2017).

2.1.2.2 Menilai Tujuan Edukasi Pasien


Hal ini dilakukan untuk meningkatkan penerimaan pasien terhadap edukasi dan
mempersiapkannnya untuk belajar, sedangkan mencoba mengajarkan sesuatu
yang dianggap tidak penting oleh pasien dapat merusak hubungan perawat-pasien
(Laura J. Martin, 2017; London, 2009). (JCI, 2017). Perawat menilai kebutuhan
12

edukasi pasien, menetapkan tujuan pembelajaran, merencanakan dan


melaksanakan edukasi, evaluasi, dan mengulang kembali seperlunya agar
mendapatkan outcome yang optimal (Flanders, 2018). Mayoritas kegagalan
dalam pemberian edukasi pasien disebabkan karena perawat tidak melakukan
asesmen kebutuhan edukasi atau tidak menilai efektivitas edukasi yang telah
diberikan [ CITATION Joi15 \l 1033 ].

2.1.2.3 Membuat Perencanaan Edukasi Pasien


Pengajaran yang tidak direncanakan dapat terjadi selama asuhan keperawatan
rutin. Momen dapat terjadi ketika pasien mengajukan pertanyaan, mengatakan
sesuatu yang tampaknya tidak benar, atau menunjukkan kesiapan untuk berubah
selama masa perawatan (London, 2009). Perawat harus merencanakan edukasi
yang akan diberikan untuk menjadwalkan waktu, siapa yang akan menerima
pengajaran, dan mempersiapkan media / alat bantu edukasi. Kemudian akan
disesuaikan dengan tujuan pembelajaran yang sudah diidentifikasi, dengan
mempertimbangkan sumber daya yang tersedia. Pasien dapat dipersiapkan
dengan mengatasi kebutuhan fisiologis seperti rasa sakit sebelum mengajar.
Komunikasi antarprofesional yang baik membantu memastikan semua anggota
tim layanan kesehatan memberikan edukasi secara konsisten dan menghilangkan
waktu yang terbuang dalam upaya pencegahan duplikasi (London, 2009).

Menciptakan lingkungan yang kondusif dalam memberikan edukasi pasien, dapat


dilakukan dengan mengembangkan hubungan baik dengan pasien (Jonesboro,
2018). Berikut merupakan alat pengajaran yang dapat digunakan dalam
memberikan edukasi pasien antara lain; brosur atau bahan cetakan lainnya,
podcast, video youtube, video atau dvd, presentasi powerpoint, poster atau grafik,
model atau alat peraga, kelas grup, pendidik sebaya yang terlatih (Laura J. Martin,
2017). Alat bantu pengajaran harus melengkapi, bukan menggantikan interaksi
pengajaran. Teknologi, termasuk aplikasi seluler atau pendidikan berbasis web,
dapat mendukung pembelajaran (London, 2009). Buklet panduan dan catatan
harian merupakan media edukasi yang praktis dan fleksibel bagi pasien, terutama
apabila sudah sesuai dengan kebutuhan dan kondisi lapangan (Pratiwi, Sari, &
Kurniawan, 2019). Edukasi yang diberikan perawat dioptimalkan dengan
menggunakan kata dan frasa umum, bahan bacaan ditulis, video, audio
13

(Jonesboro, 2018). Model 3D yang dipersonalisasi dalam edukasi pasien


berpengaruh secara signifikan bagi pemahaman pasien tentang struktur anatomi,
fisiologi, status penyakit, dan pemahaman bedah (Zhuang et al., 2019).

2.1.2.4 Implementasi Edukasi Pasien


Perawat harus memberi tahu pasien apa yang akan ditinjau dan menetapkan
tahapan mengapa hal itu akan berguna bagi pasien (London, 2009). Perawat harus
menggunakan nada percakapan dan bahasa sederhana daripada istilah medis.
Perawat harus mulai dengan mengidentifikasi prioritas untuk perawatan mandiri
yang aman sampai pertemuan kesehatan pasien berikutnya. Sebagai contoh,
pasien dengan diagnosis asma baru mungkin perlu diajarkan bagaimana
menggunakan inhaler dengan benar, mengenali gejala eksaserbasi, dan kapan
harus mencari bantuan medis. Pertanyaan harus dijawab dan sumber belajar
disediakan untuk diakses ketika pasien siap untuk belajar lebih banyak.

Perawat harus melakukan demonstrasi dan meminta pasien mengulang kembali


informasi atau melakukan prosedur sendiri. Perawat juga harus mengajar anggota
keluarga pasien, teman atau perawat di rumah (Jonesboro, 2018). Pelaksanaan
edukasi yang diberikan kepada pasien dan keluarga memiliki berbagai variasi
mulai dari verbal hingga materi tertulis. Systematic review dengan desain
Randomised Control Trials (RCT) Rice et al., (2017) mengungkapkan bahwa
empat studi menggunakan bahan cetak seperti buku kerja atau buklet tentang
modifikasi gaya hidup dan gejala, tiga studi menggunakan instruksi verbal dan
semua studi menghasilkan manfaat tanpa dipengaruhi ada atau tidaknya
keberadaan bahan tertulis.

2.1.2.5 Evaluasi Pelaksanaan Edukasi Pasien


Pembelajaran harus dievaluasi untuk memastikan pasien memahami dan dapat
menerapkan apa yang telah diajarkan. Metode evaluasi yang direkomendasikan
termasuk mengajar kembali, demonstrasi kembali, melibatkan meminta pasien
untuk menjelaskan apa yang telah dipahami dengan kata-kata sendiri. Hal ini
penting untuk dilakukan agar perawat dapat menilai pemahaman pasien setalah
diberikan pengajaran. Perawat harus menilai kebutuhan belajar, menetapkan
tujuan pembelajaran dengan pasien, merencanakan dan melaksanakan pendidikan,
14

mengevaluasi pembelajaran, dan mendidik kembali sesuai kebutuhan (Flanders,


2018).

2.1.3 Manfaat Edukasi


Memberikan edukasi pada pasien membantu meningkatkan hasil perawatan dan
dalam skema yang lebih besar akan menurunkan biaya perawatan medis. Selain
itu juga dapat meningkatkan keselamatan dan kepuasan pasien. Pasien yang
dilengkapi dengan pengetahuan dapat membuat perubahan gaya hidup dan tetap
mandiri walaupun dalam keadaan sakit, pencegahan kondisi medis seperti
obesitas, diabetes atau penyakit jantung, mengurangi kemungkinan komplikasi
dengan mengajarkan pasien tentang obat-obatan, mengurangi jumlah pasien yang
diterima kembali ke rumah sakit, mempertahankan independensi dengan belajar
swasembada (Jonesboro, 2018). Pendidikan pasien adalah proses di mana para
profesional kesehatan memberikan informasi kepada pasien dan keluarga ataupun
penjaga pasien untuk meningkatkan status kesehatan dan mendorong keterlibatan
dalam pengambilan keputusan terkait perawatan yang sedang berlangsung
(Fereidouni et al., 2019; Flanders, 2018; Seyedin et al., 2015), serta meningkatkan
perawatan diri secara mandiri, kepatuhan pengobatan, dan berkurangnya
penerimaan di rumah sakit (Van Driel et al., 2016).

2.1.4 Dampak tidak melakukan Edukasi


Tanpa edukasi yang memadai, seorang pasien dapat pulang dan melanjutkan
kebiasaan yang tidak sehat atau mengabaikan manajemen kondisi medis yang
perlu dilakukan saat pulang rawat. Pasien yang salah paham tentang diagnosis dan
rencana perawatannya biasanya menunjukkan kepatuhan pengobatan yang buruk.
Tindakan ini dapat menyebabkan kekambuhan dan kembali ke rumah sakit
(Jonesboro, 2018). Mengungkapkan tujuan pembelajaran kepada pasien berguna
untuk meningkatkan penerimaan terhadap pendidikan dan mempersiapkan pasien
untuk belajar, sedangkan mencoba mengajarkan sesuatu yang dianggap tidak
penting dapat merusak hubungan perawat dan pasien (London, 2009). Kang et al.
(2019) yang mengungkapkan pendidikan pemulangan yang tidak memadai
menyebabkan ketidakmampuan pasien untuk mengelola sendiri proses pemulihan
kesehatannya. Studi penelitian yang dilakukan dipusat reumatologi terbesar, di
Renji Hospital, Shanghai, Cina pada 210 pasien Systemic Lupus Erythematosus
15

(SLE) didapatkan bahwa edukasi pasien yang buruk memiliki dampak negatif
pada hasil klinis pasien (Zhang et al., 2019). Edukasi yang tidak memadai selama
masa perawatan di rumah sakit dapat mengakibatkan komplikasi pasca
pemulangan, penerimaan kembali rumah sakit yang tidak direncanakan dan
ketidakpuasan keseluruhan dengan pengalaman rumah sakit.

2.1.5 Strategi
Memberikan edukasi pasien memerlukan strategi agar dapat berpengaruh secara
optimal terhadap pasien. Pengembangan kompetensi dalam edukasi pasien dapat
dilakukan oleh perawat melalui beberapa cara berikut ini (Svavarsdóttir,
Sigurardóttir, & Steinsbekk, 2015);
a. Aktif dalam pencarian pengetahuan dan memiliki pelatihan dalam edukasi
pasien.
b. Menghabiskan waktu untuk merefleksikan dan mengevaluasi kinerja sendiri.
c. Memiliki kesempatan untuk bertanya dan menerima jawaban atas pertanyaan.
d. Mendedikasikan waktu untuk pembelajaran teoretis dan pembaruan tentang
perkembangan baru.
e. Menghadiri kursus dan konferensi pendidikan dasar dan lanjutan.
f. Menerima pelatihan dari seorang mentor atau pendidik berpengalaman.
g. Memiliki akses ke dukungan sebaya dan panutan.
h. Memiliki akses ke forum untuk berbagi pengetahuan, diskusi, dan konsultasi.
i. Mendapatkan panduan tentang pencarian literatur dan memilih bahan edukasi
pasien.
j. Memiliki akses ke koleksi pusat literatur dan artikel penelitian.
k. Memiliki akses ke pedoman klinis, instruksi dan daftar periksa.
l. Memiliki akses ke materi edukasi pasien standar dan sesi pendidikan.
m. Memiliki akses ke bantuan teknis sambil mempersiapkan dan menerapkan
edukasi pasien.
n. Berpartisipasi dalam pelatihan melalui studi kasus, permainan peran, kerja
kelompok, dan diskusi.
o. Mengamati pendidikan pasien dalam berbagai pengaturan dari para ahli dalam
edukasi pasien.
p. Melatih sesi pendidikan di bawah bimbingan.
16

q. Mendapatkan panduan dalam mempersiapkan, mengevaluasi, dan


menyesuaikan sesi edukasi.
r. Melakukan edukasi pasien di bawah pengawasan.
s. Menerima refleksi kritis yang konstruktif pada kinerja sendiri dalam edukasi
pasien.
t. Berpartisipasi dalam pengembangan program edukasi pasien dan materi
edukasi.

Edukasi pasien diakui sebagai fungsi independen dari profesi keperawatan dan
merupakan proses yang terencana, sistematis dan logis. Perawat dalam
memberikan edukasi pasien mengungkapkan kebutuhan akan dukungan teman
sebaya, kerja sama antar-profesional, dan pendampingan untuk lebih
mengembangkan kompetensi (Svavarsdóttir et al., 2015).

2.2 Perawat

Perawat secara profesional bertanggung jawab dalam memberikan pelayanan


yang berkualitas melalui intervensi keperawatan yang dilakukan. Intervensi
Keperawatan adalah segala treatment yang dikerjakan oleh perawat yang
didasarkan pada pengetahuan dan penilaian klinis untuk mencapai luaran
(outcome) yang diharapkan (PPNI, 2018). Intervensi keperawatan merupakan
seluruh tindakan yang dilakukan oleh seorang perawat yang
mengimplementasikan rencana asuhan keperawatan (Ashley Brooks, 2019).

Edukasi merupakan salah satu dari intervensi penting dalam proses asuhan
keperawatan. Intervensi keperawatan meliputi serangkaian kegiatan
mengobservasi, memberikan edukasi, menjalin komunikasi terapeutik, dan
melakukan kolaborasi untuk mewujudkan perawatan pasien yang optimal (PPNI,
2018). Perawat bertanggung jawab secara mandiri tanpa bantuan tim kesehatan
lain dalam memberikan edukasi kepada pasien atau independen (Ashley Brooks,
2019). Edukasi pasien dan keluarga merupakan pencapaian terbesar dalam
pekerjaan keperawatan (Che et al., 2016).
17

2.2.1 Peran Perawat sebagai Educator


Perawat bertanggung jawab untuk memberikan edukasi atau memberikan
pemahaman kepada pasien tentang mencegah dan mengelola kondisi medis.
Perawat merupakan pendidik bagi pasien, bahkan walaupun perawat tidak bekerja
sebagai dosen/pengajar di akademisi (Jonesboro, 2018). Perawat memberikan
edukasi/pengajaran fokus pada apa yang tidak diketahui pasien (London, 2009).
Perawat harus memberikan edukasi dan evaluasi terhadap pasien selama pasien
menjalani pengobatannya (Pratiwi et al., 2019). Perawat berperan dalam
menginstruksikan pasien tentang hal-hal sebagai berikut; langkah perawatan diri
terkait kondisi yang dialami pasien, bagaimana cara mempertahankan perawatan
diri secara mandiri, mengenali tanda-tanda peringatan, mengetahui tindakan apa
yang perlu dilakukan jika terjadi masalah, siapa yang akan dihubungi apabila
pasien memiliki pertanyaan (Jonesboro, 2018).

2.3 Determinan Pemberian Edukasi Pasien


Pada Desember 2015, The Joint Commission meluncurkan kampanye untuk
mengurangi penerimaan kembali/readmission dengan menyediakan sumber daya
layanan kesehatan dan turut melibatkan pasien dan keluarga dalam proses
perencanaan kepulangan. Data The Joint Commission pada 197 kejadian adalah
kegagalan dalam komunikasi pasien, edukasi pasien, dan hak-hak pasien.
Tinjauan komunikasi selama proses pemulangan rumah sakit menemukan bahwa
ringkasan pemulangan seringkali kurang informasi dan edukatif tentang
konseling, perawatan, terapi saat pulang, hasil tes, dan rencana tindak lanjut (Joint
Commision International, 2015). Pemberian edukasi yang efektif dan efisien
diperlukan karena perawat sering memiliki waktu yang terbatas (Flanders, 2018).
Perawat tidak merasa siap untuk menjadi pendidik yang efektif dan membutuhkan
dukungan untuk mengajar pasien dengan percaya diri (Sherman, 2016).

Alat edukasi kesehatan yang efektif digunakan oleh praktisi medis dalam
mengembangkan rencana manajemen perawatan yang berpusat pada pasien.
Pengembangan alat-alat edukasi kesehatan yang disesuaikan dengan kebutuhan
individu untuk membantu meningkatkan hasil perawatan pasien dalam hal
kepatuhan terhadap saran medis dan perilaku hidup sehat. Alat bantuan yang
digunakan dalam memberikan edukasi kepada pasien dan keluarga akan
18

berpengaruh pada perubahan perilaku dan gaya hidup yang sehat serta
peningkatan kepatuhan terhadap pengobatan (Arora et al., 2017). Memberikan
edukasi pasien yang efektif dan efisien membutuhkan pengetahuan dan
keterampilan. Perawat dapat meningkatkan kemampuan dalam memberikan
edukasi dengan praktik, pendidikan, dan bimbingan (Sherman, 2016;
Svavarsdóttir et al., 2015).

Pembelajaran harus dievaluasi untuk memastikan pasien memahami dan dapat


menerapkan apa yang telah diajarkan. Metode evaluasi yang direkomendasikan
termasuk mengajar kembali dan menunjukkan saya atau kembali demonstrasi
(Brega et al., 2015;London, 2009). Proses mengajar kembali melibatkan meminta
pasien untuk menjelaskan apa yang telah dipahami dengan kata-kata sendiri
(Brega et al., 2015). Menggunakan kata-kata sendiri sangat penting agar perawat
dapat menilai pemahaman pasien. Para ahli merekomendasikan untuk
menggunakan bahasa yang tidak menghakimi sehingga pasien tidak merasa diuji
(Brega et al., 2015). Perawat harus menilai kebutuhan belajar, menetapkan tujuan
pembelajaran dengan pasien, merencanakan dan melaksanakan pendidikan,
mengevaluasi pembelajaran, dan mendidik kembali sesuai kebutuhan (Flanders,
2018). Pengajaran harus individual dan disesuaikan dengan kebutuhan dan
kemampuan masing-masing pasien. Pendidikan pasien harus didokumentasikan
dan ditinjau dalam rekam medis (London, 2009). Kegiatan edukasi pasien dan
kebutuhan belajar harus didiskusikan selama laporan handoff keperawatan.
Komunikasi dengan HCP lain dapat memastikan konsistensi, memperkuat
pendidikan yang dilakukan oleh orang lain, dan meminimalkan duplikasi yang
tidak perlu. Lingkungan belajar yang mendukung, motivasi batin, dan kesadaran
akan nilai edukasi pasien dianggap sebagai faktor utama yang diperlukan untuk
menjadi pendidik ahli (Svavarsdóttir et al., 2015).

2.4 Teori Perilaku Kesehatan


Rekomendasi perancangan program edukasi kesehatan pasien adalah hal yang
perlu dilakukan oleh perawat. Terdapat beberapa faktor penentu yang harus
dipertimbangkan dalam proses perancangan program edukasi kesehatan pasien.
Faktor-faktor tersebut diantaranya adalah perilaku pasien, tenaga profesional
kesehatan yaitu perawat dan sistem perawatan kesehatan. Mengidentifikasi dan
19

merancang program edukasi kesehatan yang baik bagi pasien dilakukan dengan
menggunakan model PRECEDE (Glanz, Rimer, & Viswanath, 2015; Gorina,
Limonero, & Álvarez, 2019).

Model PRECEDE-PROCEED dirancang oleh Lawrence Green dan Marshall


Crowther, adalah kerangka kerja perencanaan, intervensi, dan evaluasi, dan
memiliki kepanjangan yaitu PRECEDE adalah Predisposing, Reinforcing, and
Enabling Constructs in Educational/Environmental Diagnosis and Evaluation
sementara PROCEED adalah Policy, Regulatory and Organizational Constructs
in Educational and Environmental Development. Model ini merupakan asumsi
dasar untuk melakukan perubahan perilaku kesehatan berkelanjutan (Jeihooni,
Kashfi, Hatami, Avand, & Bazrafshan, 2017). Model PRECEDE menawarkan
kerangka kerja dimana strategi intervensi diidentifikasi diawal untuk mencapai
hasil yang diinginkan (Pournaghash-Tehrani & Etemadi, 2013). Model
PRECEDE merupakan cara efektif untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang
mempengaruhi manajemen diri karena dapat membantu memprioritaskan faktor
penentu perilaku mana yang harus diatasi untuk meningkatkan kepatuhan
terhadap rekomendasi kesehatan dan perilaku perawatan diri (Gorina et al., 2019).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan program intervensi pendidikan


setelah operasi CABG direkomendasikan karena tidak hanya signifikan
menurunkan ED (Erectile DysfunctionedI) tetapi meningkatkan kualitas hidup
(Pournaghash-Tehrani & Etemadi, 2013). Studi yang menggunakan strategi
predisposisi, pemungkin, dan memperkuat bersama-sama lebih efektif dalam
menghasilkan perubahan perilaku staf dan hasil yang diterima pasien
(Yanamadala, Wieland, & Heflin, 2013).
20

Gambar 2. 1 Model Perilaku Kesehatan PRECEDE PROCEED


(Glanz et al., 2015; Gorina et al., 2019; Jeihooni et al., 2017)

Keberhasilan pengembangan program pendidikan kesehatan, penggunaan model


teori promosi kesehatan diperlukan. Strategi edukasi kesehatan pasien
menggunakan model PREDCEDE dilakukan dengan menggabungkan faktor
predisposisi (Predisposing), pemungkin (Enabling Constructs), dan penguat
(Reinforcing) untuk mencapai hasil yang lebih baik (Yanamadala et al., 2013).
Edukasi kesehatan mampu mengubah lingkungan - fisik dan sosial - seperti
halnya dalam mengubah kebiasaan atau perilaku kesehatan (Green, 1979). Model
PRECEDE mengusulkan bahwa perilaku kesehatan dipengaruhi oleh faktor-faktor
predisposisi (karakteristik yang memotivasi dan mengarah pada perilaku,
termasuk pengetahuan dan kepercayaan), faktor-faktor pendukung (karakteristik
yang memfasilitasi atau mereka diperlukan untuk melaksanakan perilaku, seperti
bakat pribadi atau sumber daya lingkungan) dan faktor penguat (penghargaan atau
hukuman) (Bautista-Rentero et al., 2014). Berikut merupakan 3 penjelasan faktor
kunci dalam intervensi edukasi kesehatan terhadap perubahan perilaku pasien:
2.4.1 Faktor predisposisi (Predisposing)
Perawat perlu memperhatikan beberapa faktor agar edukasi pasien dapat
mencapai kesusksesan. Faktor predisposisi merupakan faktor yang mempengaruhi
pasien untuk melakukan perilaku kesehatan yang diwujudkan melalui informasi,
21

pengetahuan sikap, kepercayaan, nilai-nilai, dan kompetensi pribadi (Gorina et al.,


2019; Kreuter & Green, 2005). Faktor-faktor predisposisi seperti usia, pekerjaan,
status sosial ekonomi, keterampilan koping, suasana hati, sikap, kesehatan, durasi
merokok, upaya berhenti sebelumnya dan gejala penarikan, sedangkan faktor
pencetusnya adalah faktor lingkungan dan risiko tinggi atau situasi stres (Bautista-
Rentero et al., 2014). Faktor predisposisi yang berkontribusi terhadap perilaku
kesehatan lansia meliputi pengetahuan, sikap, pendapat, kepercayaan, persepsi,
dan nilai-nilai yang memotivasi orang untuk terlibat atau menahan diri dari
perilaku kesehatan tertentu (Levkoff, Lawrence W. Green, & Nancy K. Hansel,
1984).

2.4.5.1 Nilai-nilai
Nilai-nilai yang berhubungan dengan kesehatan juga dapat menghambat
penggunaan layanan kesehatan yang memadai; misalnya, pasien lanjut usia
mungkin mengalami kesulitan mengidentifikasi dengan peran sakit dan menjadi
pasien (Levkoff et al., 1984). Memahami perspektif, nilai-nilai, keyakinan, dan
harapan pasien sehubungan dengan pembelajaran merupakan bagian integral dari
praktik edukasi pasien yang sukses (Roma Forbes & Mandrusiak, 2019).

2.4.5.2 Keyakinan/Kepercayaan
Hasil penelitian Bautista-Rentero et al., (2014) mengidentifikasi kepercayaan
yang salah, lingkungan merokok, peristiwa yang menegangkan, perayaan dan
pertemuan sosial sebagai faktor predisposisi dan pemicu utama yang terkait
dengan kekambuhan merokok. Keyakinan berasal dari nilai kesehatan, ancaman,
tingkat keparahan penyakit yang dirasa, manfaat yang akan didapat bila
melakukan suatu perilaku psikososial, dan keyakinan diri (Rejeski & Fanning,
2019).

2.4.5.3 Demografi Individu


Karakteristik dan kepribadian staf perawat akan berpengaruh pada kualitas
perawatan yang diterima pasien. Perawat adalah dasar sistem perawatan kesehatan
dan titik kontak pertama pasien dalam pelayanan kesehatan. Demografi perawat
yang menjadi fokus pada penelitian ini antara lain: jenis kelamin, umur,
pendidikan, masa kerja, status kepegawaian, pelatihan, dan pengetahuan.
22

a. Jenis Kelamin
Keperawatan biasanya dilihat sebagai sifat feminin, meskipun jumlah laki-laki
dalam keperawatan meningkat dalam beberapa kali. Penelitian pada mahasiswa
keperawatan pria sarjana di Mesir dan Yordania didapatkan bahwa
prianmenghadapi beberapa masalah saat menjadi perawat, yaitu dalam
mengasumsikan beberapa praktik keperawatan obstetri, pandangan publik, tidak
memiliki jabatan tertentu, malu saat menjelaskan topik sensitif dengan pasien
wanita dan penolakan kehadiran perawat pria di bangsal wanita (Ibrahim, Talat
Akel, & Alzghoul, 2015). Hung et al., (2018) menemukan bahwa mahasiswa
keperawatan laki-laki mengalami lebih banyak hambatan gender dengan
mempersepsikan citra keperawatan yang lebih rendah dan terlibat dalam perilaku
peduli yang lebih sedikit daripada rekan-rekan mahasiswa lainnya.

Perempuan mempunyai ekspektasi lebih tinggi daripada laki-laki. Hasil studi oleh
Afriani, Haruti, & Gayatri, (2017) tentang dukungan atasan dan teman sejawat
mempengaruhi ekspektasi perawat dalam penerapan jenjang karir dukungan
atasan dan teman sejawat memengaruhi ekspektasi perawat 79% cenderung lebih
telaten dan sabar dalam menjalani proses jenjang karir dibanding laki-laki dalam
melakukan proses asuhan keberawatan. Perawat pria menolak stereotip bahwa
keperawatan adalah profesi wanita, perawat pria juga mendukung pekerjaan dan
serikat pekerja di Spanyol serta negara-negara lain untuk memerangi stereotip
gender dan perbedaan gender terutama dalam keperawatan (Maranon, Rodriguez-
Martin, & Galbany-Estragues, 2019). Jenis kelamin perawat tidak memiliki
pengaruh pada perawatan yang terlewatkan (Blackman et al., 2018). Pernyataan-
pernyataan tersebut merupakan alasan apakah jenis kelamin mempengaruhi
pemberian edukasi pasien yang dilaksanakan oleh perawat pelaksana di suatu unit
rawat.

b. Umur
Kinerja individu sangat erat kaitannya dengan usia individu, karena terdapat
keyakinan bahwa meningkatnya usia akan membuat kinerja menjadi menurun.
Karyawan yang berumur tua dianggap kurang luwes dan menolak perkembangan
teknologi baru (Handayani, Fannya, & Nazofah, 2018). Hasil penelitian yang
23

dilakukan di tiga negara Autralia, Cyprus dan Italia didapatkan empat variabel
yang berkontribusi dalam asuhan perawatan yang terlewatkan meliputi usia
perawat, kualifikasi tertinggi, tingkat absensi dan jenis tempat kerja, (Blackman et
al., 2018). Hasil analisis regresi mengungkapkan faktor-faktor, dari perspektif
perawat, yang mempengaruhi budaya keselamatan pasien di rumah sakit Yordania
yaitu usia, lama bekerja (Khater, Akhu-Zaheya, Al-Mahasneh, & Khater R.,
2015). Perawat yang lebih muda tampaknya enggan menerima status quo karena
kompleksitas fenomena serta resistensi yang dirasakan terhadap perubahan
(Grosso et al., 2019).

c. Pendidikan
Tingkat pendidikan perawat dapat berpotensi meningkatkan pengalaman pasien
dalam perawatan di rumah sakit (Liu et al., 2019). Hasil penelitian Liu et al.,
(2019) pada rumah sakit di China ditemukan bahwa perawat dengan gelar sarjana
muda atau tingkat yang lebih tinggi terkait langsung dengan persepsi komunikasi
pasien yang lebih baik dengan perawat, responsif perawat, manajemen nyeri,
lingkungan fisik, dan terkait secara tidak langsung dengan peringkat rumah sakit
dan rekomendasi dari rumah sakit. Perawat dengan pendidikan tinggi lebih baik
dalam mempersiapkan dan mengkoordinasikan pelayanan kesehatan (American
Association of Colleges of Nursing, 2019). Pendidikan keperawatan sangat
penting dalam mempersiapkan tenaga kerja masa depan untuk lebih fokus pada
peran perawat dengan meningkatkan identitas profesional (Traynor & Buus,
2016). Tingkat pendidikan juga merupakan salah satu penyebab rendah budaya
keselamatan pasien di antara perawat (Alquwez et al., 2018).

d. Masa Kerja
Hasil analisis regresi mengungkapkan faktor-faktor, dari perspektif perawat, yang
mempengaruhi budaya keselamatan pasien di rumah sakit Yordania yaitu usia,
lama bekerja (Khater et al., 2015). Kompetensi perawat dapat terkikis karena
berkurangnya paparan klinis dan pengalaman dengan pasien ketika perawat
melakukan pekerjaan non keperawatan seperti administrasi (Grosso et al., 2019).
Ini berarti pengalaman perawat terkait masa kerja akan berpengaruh terhadap
persepsi perawatan yang diharapkan pasien. Rendah budaya keselamatan pasien
di antara perawat salah satunya disebabkan oleh masa kerja perawat di rumah
24

sakit. Alquwez et al., (2018) mengungkapkan bahwa budaya keselamatan pasien


lebih positif dirasakan oleh perawat dengan pengalaman kurang dari satu tahun
daripada perawat dengan pengalaman lebih dari satu tahun.

e. Status Kepegawaian
Salah satu strategi untuk meningkatkan budaya keselamatan pasien adalah dengan
memastikan kepegawaian perawat yang memadai (Khater et al., 2015).
Kompetensi yang lebih baik ditunjukkan oleh perawat yang berstatus sebagai
pegawai (Kantanen, Kaunonen, Helminen, & Suominen, 2017). Hal ini
menjelaskan bahwa status kepegawaaian seorang perawat dapat mempengaruhi
pelaksanaan pemberian edukasi pasien yang dilakukannya.

f. Pelatihan
Penelitian di Spanyol mengungkapkan bahwa lingkungan praktik keperawatan di
unit kesehatan mental sangat penting. Hasil mengungkapkan bahwa lingkungan
praktik dan karakteristik perawat mempengaruhi kualitas keperawatan dengan
salah satu aspeknya yaitu pelatihan (Roviralta-Vilella, Moreno-Poyato,
Rodríguez-Nogueira, Duran-Jordà, & Roldán-Merino, 2019). Faktor yang
mempengaruhi pemberian edukasi pasien selama menjalani perawatan salah
satunya adalah pelatihan (Bowie et al., 2016).

2.4.5.4 Pengetahuan
Penelitian di salah satu rumah sakit di Australia mengungkapkan bahwa perilaku
kepedulian dan kepribadian staf di lingkungan kerja mempengaruhi kualitas
asuhan keperawatan secara signifikan yang dibuktikan oleh model regresi akhir.
Pengetahuan staf, dukungan lingkungan merupakan salah satu dari beberapa
aspek yang paling signifikan terkait dengan kualitas perawatan yang dirasakan
pasien (Edvardsson, Watt, & Pearce, 2017). Faktor kunci yang mempengaruhi
kualitas perawatan paliatif diantaranya adalah keyakinan, sikap, pengalaman, dan
pengetahuan perawat dalam menyediakan layanan kesehatan (Petursdottir,
Haraldsdottir, & Svavarsdottir, 2019). Pengetahuan, sikap dan praktik perawat
memengaruhi tingkat vaksinasi dan saran yang diberikan kepada konsumen.
Untuk itu meningkatkan pengetahuan perawat dalam mempromosikan manfaat
25

vaksinasi merupakan wujud tanggung jawab profesional perawat kepada pasien


(Smith, Sim, & Halcomb, 2016).

2.4.2 Faktor Pemungkin (Enabling Constructs)


Faktor pemungkin yang akan mempengaruhi perilaku pasien setelah menerima
edukasi terdiri dari sumber daya dan keterampilan yang diperlukan untuk
melakukan tindakan kesehatan dan tindakan organisasi dalam memodifikasi
lingkungan ketika individu termotivasi melakukan perilaku kesehatan (Kreuter &
Green, 2005). Manajemen merupakan elemen penting dalam tindakan organisasi
untuk mencapai tujuan dan sasaran organisasi (Webster & Cokins, 2020). Manajer
layanan kesehatan memerlukan kompetensi tambahan untuk melengkapi fungsi
manajemen yang terdiri dari planning, actuating/directing, cordinating, dan
controlling agar efektif (Munyewende et al., 2016). Fungsi manajemen sebagai
bentuk koordinasi dan integrasi tindakan keperawatan dan manajemen, melalui
praktik kepemimpinan, interaksi, komunikasi dan hubungan kerja sama oleh
perawat terhadap tim keperawatan, layanan kesehatan profesional, terhadap
pasien (Mororó et al., 2017). Dukungan manajerial melalui pelaksanaan fungsi
manajemen diharapkan dapat mengoptimalkan edukasi pasien di rumah sakit
(Bergh et al., 2012). Manajer perawat bertanggung jawab mengoptimalkan rasio
perawat-pasien, mengembangkan peran keperawatan yang inovatif, menyediakan
jadwal kerja yang fleksibel dalam upaya memberikan pelayanan kesehatan (Che
et al., 2016).

Faktor-faktor ini terkait dengan fasilitas / aksesibilitas, rekomendasi kesehatan


yang dipersonalisasi para profesional untuk melakukan perilaku kesehatan, bahan
dan sumber daya, peluang dan keterampilan individu (Kreuter & Green, 2005).
Kebijakan kesehatan, beban kerja yang berat, tekanan pada profesional,
kurangnya staf spesialis, tren konsultasi jarak jauh (telemedicine), dan kurangnya
strategi pencegahan juga menjadi bagian dari faktor pemungkin (Gorina et al.,
2019). Faktor-faktor yang memungkinkan meliputi keterampilan manajemen diri,
sumber daya keuangan, aksesibilitas ke fasilitas, dan kapasitas fisik dan mental
(Levkoff et al., 1984). Beberapa orang lanjut usia yang kehilangan ingatan
mungkin memerlukan alat bantu visual untuk mengingatkan mereka untuk minum
26

obat. Faktor pemungkin pada penelitian ini berfokus pada fungsi manajemen yang
dilakukan kepala ruangan.

2.4.2.1 Fungsi Manajemen


Manajemen merupakan sebuah seni yang bertujuan untuk mencapai hasil terbaik
dengan sedikit upaya yang bekerja melalui staf dan sumber daya kelembagaan
lainnya (Basiony, 2018). Terdapat lima fungsi manajemen meliputi fungsi
perencanaan (planning), fungsi pengorganisasian (organizing), fungsi ketenagaan
(staffing), fungsi pengarahan (actuating), dan fungsi pengendalian (controling)
(Marquis & Huston, 2017). Sejalan dengan pernyataan Munyewende, Levin, &
Rispel (2016) dalam sistem kesehatan yang kompleks, manajer layanan kesehatan
memerlukan kompetensi tambahan agar fungsi manajemen berjalan efektif yaitu
planning, actuating/directing, cordinating, dan controlling.

a. Fungsi Perencanaan
Fungsi manajerial pertama melibatkan perencanaan. Fungsinya adalah tentang
membuat rencana terperinci untuk mencapai tujuan organisasi tertentu. Seorang
kepala ruangan dapat memulai fungsi perencanaan dengan mengidentifikasi
tugas-tugas yang perlu dilakukan untuk mencapai tujuan yang diinginkan,
menguraikan bagaimana tugas-tugas harus dilakukan, dan mengidentifikasi kapan
dan siapa yang harus melakukan (Marquis & Huston, 2015). Fokus perencanaan
adalah tentang mencapai tujuan dan itu memang membutuhkan pengetahuan
tentang tujuan dan visi organisasi. Keberhasilan organisasi diwaktu sebelumnya
baik, jangka pendek maupun jangka panjang merupakan tolak ukur bagi rencana
selanjutnya (Anastasia, 2017). Manajer mengembangkan kerangka kerja standar
dan alat-alat yang mendukung program pemberian edukasi pasien, meningkatkan
kemampuan staf perawat dalam memberikan edukasi pasien yang efektif,
membentuk komite pelaksanaan pemberian edukasi pasien multidisiplin dan
menentukan koordinator pelaksanaan pemberian edukasi pasien (Fereidouni et al.,
2019).
27

b. Fungsi Pengorganisasian
Fungsi pengorganisasian merupakan suatu hal yang perlu dilakukan oleh manajer
keperawatan dalam pengorganisasian untuk menciptakan pelayanan yang
bermutu, aman, dan bebas bahaya bagi pasien (Hariyati, Yetti, Afriani, &
Handiyani, 2018). Fungsi pengorganisasian meliputi merancang struktur unit,
menentukan tugas-tugas apa yang harus dilakukan, siapa yang akan
melakukannya, bagaimana tugas-tugas yang akan dikelompokkan, rentang
kendali; siapa yang melapor kepada siapa, dan di mana keputusan harus dibuat
(Robbins & Judge, 2017). Pengorganisasian dapat dilakukan dengan
mengidentifikasi berbagai peran, proses, dan kegiatan yang diperlukan untuk
mencapai tujuan dengan pembagian tugas berdasarkan hasil identifikasi tersebut
(Anastasia, 2017). Perawat manajer dituntut untuk melakukan koordinasi yang
baik dalam memberikan edukasi pasien selama perawatan dengan menjalankan
fungsi manajemen (Basiony, 2018; Munyewende et al., 2016).

c. Fungsi Ketenagaan
Ketenagaan merupakan fase ketiga dari proses manajemen. Manajer melakukan
perekrutan, pemilihan, memberikan orientasi, dan meningkatkan kualitas atau
kompetensi staf untuk mencapai tujuan organisasi (Marquis & Huston, 2015).
Manajer perlu mempertimbangkan dan memprediksi kebutuhan tenaga dan
metode penugasan sesuai dengan standar kebijakan yang ada. Manajer juga perlu
memperhatikan kualitas staf perawat berdasarkan pendidikan, nilai akademik,dan
seminar/workshop/maupun pelatihan-pelatihan yang pernah diikuti (Hariyati et
al., 2018). Manajer berupaya melakukan pengembangan kompetensi sumber daya,
meningkatkan kesadaran, dan membangun keterampilan perawat dalam
memberikan edukasi pasien (Malekshahi et al., 2019).

d. Fungsi Pengarahan
Pengarahan merupakan fase ke empat dari proses manajemen, dimana seorang
manajer dengan keterampilan kepemimpinan dan manajemennya akan menyusun
rencana ke dalam tindakan. Hal ini meliputi menciptakan suasana yang
memotivasi, membina komunikasi organisasi, menangani konflik, memfasilitasi
kerjasama, dan negosiasi (Marquis & Huston, 2015). Manajer bertanggung jawab
dalam membuat kebijakan mengenai fungsi pengarahan terhadap pemberian
28

penghargaan dan sanksi terkait pemberian edukasi pasien, membuat dan


melaksanakan Standar Prosedur Operasional (SPO) supervisi keperawatan serta
cara pendokumentasiannya, dan juga menyediakan fasilitas yang mendukung
lingkungan kerja (Hariyati et al., 2018).

e. Fungsi Pengendalian
Fungsi pengendalian meliputi kegiatan pemantauan untuk memastikan bahwa
semua itu tercapai sebagaimana yang telah direncanakan sebelumnya dan
mengoreksi penyimpangan dan mengembalikan organisasi kembali ke jalurnya
(Robbins & Judge, 2017). Manajer bertanggung jawab dalam memastikan dan
mengawasi bahwa perawat memiliki prasyarat yang diperlukan dalam
memberikan edukasi pasien serta memungkinkan untuk terus berkelanjutan
(Bergh et al., 2015). Manajer dituntut untuk menentukan rencana tindak lanjut
hasil pencapaian tujuan dan melaksanakan evaluasi terkait pelayanan yang sudah
dilakukan staf (Hariyati et al., 2018). Penting bagi manajer untuk mengevaluasi
pemberian edukasi pasien yang telah dilakukan staf, sehingga manajer dapat
menentukan target capaian di masa depan.

2.4.3 Faktor penguat (Reinforcing)


Faktor-faktor penguat yang muncul setelah pasien melakukan perilaku dan yang
memfasilitasi perawatan pasien terkait dengan hadiah atau hukuman: insentif
sosial, insentif fisik / emosional, insentif nyata dan insentif pribadi (Kreuter &
Green, 2005). Selain itu dukungan keluarga dan sosial, persepsi dari para
profesional, dan stigma sosial juga merupakan bagian dari faktor penguat (Gorina
et al., 2019). Pada penelitian ini faktor penguat yang akan dibahas adalah motivasi
dan rewards dan punishment.
2.4.3.1 Motivasi
Umpan balik semakin memperkuat mood positif, yang membuat orang tampil
lebih baik, lebih kreatif dan memiliki motivasi yang tinggi. Seorang manajer
dapat meningkatkan motivasi dan kinerja karyawan dengan menciptakan suasana
hati yang baik (Robbins & Judge, 2017). Motivasi organisasi digambarkan
sebagai stimulus perilaku kerja yang memandu upaya karyawan untuk mencapai
tujuan organisasi (Baljoon A, Banjar, & Banakhar, 2018). Dukungan lingkungan
kerja akan merupakan salah satu dari beberapa faktor yang berpengaruh terhadap
29

kualitas perawatan (Edvardsson et al., 2017). Motivasi batin, lingkungan belajar


yang mendukung, dan kesadaran akan nilai edukasi pasien dianggap sebagai
prasyarat yang diperlukan untuk menjadi educator pasien (Svavarsdóttir et al.,
2015).

2.4.3.2 Rewards (hadiah) dan Punishment (hukuman)


Secara implisit, tanpa disadari, individu belajar tentang nilai ganjaran/ hadiah dan
hukuman dari setiap konteks dan aktivitas. Faktor perilaku akan dipengaruhi oleh
keterampilan perilaku, niat, dan adanya reinforcement dan hukuman yang berlaku
(Mead & Irish, 2019). Dalam kehidupan nyata, individu sering memiliki jadwal
yang padat dan hanya menyisakan sedikit ruang untuk perubahan ad hoc
berdasarkan apa yang bermanfaat atau menghukum dan apa yang tidak (Heininga,
Van Roekel, Wichers, & Oldehinkel, 2017). Hasil penelitian Ding et al. (2017)
menunjukkan bahwa anak laki-laki lebih kecil kemungkinannya untuk
mengalihkan respons setelah menerima hukuman dan latensi Feedback-Related
Negativity (FRN) yang lebih lama daripada anak perempuan. Feedback-Related
Negativity yang juga terkait dengan perbedaan individu dalam sensitivitas hadiah,
diamati hanya pada anak perempuan.
30

2.5 Kerangka Teori

Tahapan Edukasi Pasien:


1. menilai kebutuhan belajar pasien, gaya belajar dan kesiapan untuk belajar.
2. mengembangkan rencana pembelajaran
3. mengevaluasi peningkatan pembelajaran pasien selama dan setelah pengajaran.

Faktor yang mempengaruhi Pemberian Edukasi Pasien:

1. Faktor 2. Faktor Pemungkin: 3. Faktor


Predisposisi: - Fasilitas/aksesibilitas Pemungkin:
a.Demografi - Bahan dan sumber - Hadiah atau
- Jenis Kelamin daya hukuman
- Umur - Rekomendasi - Insentif sosial, fisik /
- Pendidikan kesehatan emosional, nyata
- Masa Kerja - Kebijakan kesehatan dan pribadi
- Status - Fungsi manajemen - Dukungan keluarga
Kepegawaian dan sosial
- Pelatihan
b. Pengetahuan
Perawat

Perubahanan perilaku kesehatan oleh pasien

Skema 2.1 Skema Kerangka Teori

Sumber: (Afriani et al., 2017; Alquwez et al., 2018; American Association of Colleges of Nursing,
2019; Anastasia, 2017; Anwar, Rochadi, Daulay, & Yuswardi, 2016; Ashley Brooks, 2019;
Baljoon A et al., 2018; Basiony, 2e018; Blackman et al., 2018; Edvardsson et al., 2017; Flanders,
2018; Grosso et al., 2019; Handayani et al., 2018; Hariyati et al., 2018; Hung et al., 2018; Ibrahim
et al., 2015; Khater et al., 2015; Maranon et al., 2019; Marquis & Huston, 2015; Petursdottir et al.,
2019; PPNI, 2018; Robbins & Judge, 2017; Roviralta-Vilella et al., 2019; Sherman, 2016; Smith
et al., 2016; Svavarsdóttir et al., 2015; Traynor & Buus, 2016; Zhuang et al., 2019).
31

BAB 3

KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL, DAN HIPOTESIS

Bab ini memaparkan tentang kerangka konsep yang dijadikan acuan dalam penelitian
dengan menentukan variabel dependen, dan variabel independen yang dilanjutkan
dengan hipotesis dan definisi operasional penelitian.

3.1 Kerangka Konsep


Kerangka konsep penelitian dikembangkan dari teori yang dibahas pada bab 2.
Kerangka konsep di bawah ini menjadi acuan dalam melakukan penelitian meiputi
variabel Independen atau bebas dan juga variabel dependen atau terikat. Variabel
Independen merupakan variabel yang jika terjadi perubahan maka akan menyebabkan
perubahan pada variabel lain yaitu pada variabel dependen (Sastroasmoro, 2014).
Kerangka konsep penelitian ini dapat dilihat pada skema di bawah ini :

Variabel Independen

1. Faktor Predisposisi:
a.Demografi
- Jenis Kelamin
- Umur Variabel Dependen
- Pendidikan
- Masa Kerja
- Status Kepegawaian Pemberian Edukasi
- Pelatihan Pasien:
b. Pengetahuan - Efektif
Perawat - Tidak Efektif
2. Faktor Pemungkin:
- Fungsi Manajemen

3. Faktor Penguat
- Motivasi Perawat

Skema 3. 1 Kerangka Konsep

3.2 Hipotesis
Hipotesis berasal dari kata hupo yang artinya sementara/lemah kebenarannya, dan
thesis yang artinya pernyataan atau teori (Sutanto Priyo Hastono & Sabri, 2010).
32

Hipotesis merupakan prediksi dari hubungan antar variabel atau jawaban yang
bersifat sementara terhadap masalah penelitian sampai terbukti melalui data yang
terkumpul (Polit & Beck, 2013). Hipotesis penelitian ini adalah:
3.2.1 Ada hubungan antara faktor predisposisi (demografi perawat; jenis kelamin,
umur, pendidikan, masa kerja, status kepegawaian, pelatihan, dan
pengetahuan perawat) dengan pelaksanaan pemberian edukasi paien oleh
perawat di ruang rawat inap pada RS di Jakarta Selatan
3.2.2 Ada hubungan antara faktor pemungkin (fungsi manajemen) dengan
pelaksanaan pemberian edukasi paien oleh perawat di ruang rawat inap pada
RS di Jakarta Selatan
3.2.3 Ada hubungan antara faktor penguat (motivasi) dengan pelaksanaan
pemberian edukasi paien oleh perawat di ruang rawat inap pada RS di
Jakarta Selatan

3.3 Definisi Operasional


Definisi operasional bertujuan untuk membuat variabel menjadi lebih konkrit.
Definisi operasional menjelaskan variabel yang akan diteliti, jenis variabel,
definisi konseptual dan operasional, dan metode yang digunakan dalam
pengukuran/penilaian terhadap variabel (Kelana Kusuma Dharma, 2011).
33

Tabel 3. 1 Definisi Operasional

Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Hasil Ukur Skala


Independen
Faktor Predisposisi
Jenis Identitas seksual Kuesioner A mengenai Laki-laki Nominal
Kelamin responden yang demografi perawat Perempuan
ditunjukkan dengan ciri-
ciri biologis yang terdiri
dari laki-laki dan
perempuan
Umur Masa hidup yang telah Kuesioner A mengenai Usia dalam tahun Interval
dilewati terhitung sejak demografi perawat
Ia lahir sampai dengan
ulang tahun terakhir
saat diteliti dan
dinyatakan dalam
tahun
Pendidikan Jenjang pengetahuan/ Kuesioner A mengenai 1= SPK Ordinal
perubahan sikap secara demografi perawat 2= D3
formal yang berhasil 3= Ners
dilewati dengan 4= S2 Kep/ Non Kep
pengakuan memiliki
ijazah
Masa Lamanya karyawan Kuesioner A mengenai Lama kerja dalam Interval
Kerja bekerja dihitung sejak demografi perawat tahun
terbitya surat
keputusan bekerja
hingga saat ini dalam
tahun
Status Kedudukan yang Kuesioner A mengenai 1= Sukarela /Honor Nominal
Kepegawai dimiliki perawat di RS demografi perawat /Kontrak
an dan sesuai dengan 2= BLU
sumber gaji yang 3= PNS
diterima
Pelatihan Pendidikan non formal Kuesioner A mengenai 1= Tidak pernah Nominal
yang didukung dengan demografi perawat 2= Pernah
pengakuan telah
mengikuti kegiatan dan disertakan
(internal maupun keterangan waktu
eksternal) terkait dalam tahun saat
pemberian edukasi mengikuti kegiatan
pasien yang pernah
diikuti, contoh:
pelatihan komunikasi
efektif
Pengetahu Kemampuan yang Kuesioner B, berisikan Dinyatakan dalam Nominal
an Perawat dimiliki perawat 10 pernyataan mendasar rentang nilai 0-10
pelaksana dalam mengenai pemberian 0=tidak baik, bila
menjawab pertanyaan edukasi pasien dengan skor jawaban <
yang diberikan terkait pilihan jawaban benar mean/median
pemberian edukasi dan salah, dimana untuk 1=baik, bila skor
pasien Nilai: jawaban ≥
benar=1 mean/median
salah=0

Faktor Pemungkin
Fungsi Gambaran pelaksanaan Kuesioner D, berisi Ditanyakan dalam Nominal
34

Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Hasil Ukur Skala


Manajemen fungsi manajemen 32 item pernyataan rentang skoring 32-
yang terdiri dari fungsi dengan pilihan jawaban 128
perencanaan, menggunakan Skala 0 = fungsi
pengorganisasian, Likert 1-4: manajemen kepala
ketenagaan, 4= Selalu ruangan kurang baik,
pengarahan, dan 3= Sering bila <mean/median
pengendalian kepala 2= Jarang 1 = fungsi
ruangan yang menurut 1= Tidak Pernah manajemen kepala
responden sudah ruangan baik, bila ≥
dilakukan kepala mean/median
ruangan dalam
pelaksanaan pemberian
edukasi pasien
Faktor Penguat
Motivasi Pernyataan responden Kuesioner C mengenai Ditanyakan dalam Nominal
tentang keinginan atau motivasi perawat rentang skoring 18-
dorongan untuk pelaksana dalam 72
melaksanakan memberikan edukasi 0 = motivasi kurang
pemberian edukasi pasien, yang terdiri dari baik, bila <
pasien 18 pernyataan dengan mean/median
pilihan jawaban 1 = motivasi baik,
menggunakan Skala bila ≥ mean/median
Likert 1-4:
4= Selalu
3= Sering
2= Jarang
1= Tidak Pernah
Variabel Dependen
Pelaksanaan Gambaran proses Kuesioner D, berisi 42 Dinyatakan dalam Nominal
pemberian pemberian edukasi item pernyataan dari rentang skoring 42-
edukasi pasien pasien oleh perawat nomor 1-42 dengan 168:
pelaksana terkait pilihan jawaban 0 = pemberian
penyakit yang dialami menggunakan Skala edukasi pasien tidak
pasien, perawatan Likert 1-4: efektif, bila <
yang perlu dilakukan 4= Selalu mean/median
pasien, informasi 3= Sering 1= pemberian
tentang kondisi dan 2= Jarang edukasi pasien
rencana perawatan 1= Tidak Pernah efektif, bila ≥
yang akan dilakukan, mean/median
yang menurut
responden sudah
dilakukan
35

BAB 4

METODE PENELITIAN

Bab ini menguraikan tentang metode penelitian yang memaparkan tentang desain
penelitian, populasi dan sampel, tempat penelitian, waktu penelitian, etika penelitian,
metode pengumpulan data, prosedur pengumpulan data dan rencana analisis data.

4.1 Desain Penelitian

Desain penelitian ini menggunakan desain cross sectional yang merupakan jenis
desain penelitian observasional atau non eksperimental. Penelitian observasional
(non eksperimental) maksudnya adalah peneliti membuat pengamatan fenomena
yang ada tanpa campur tangan (Polit & Beck, 2017). Desain penelitian merupakan
metode yang digunakan peneliti untuk melakukan penelitian yang memberikan
arah terhadap jalannya penelitian (Kelana Kusuma Dharma, 2011). Peneliti
mengukur hasil dan paparan responden pada saat yang sama (Setia M. S., 2016).
Penelitian dilakukan untuk mengetahui hubungan antara variabel independen dan
variabel dependen, dimana variabel independen menyebabkan variabel dependen,
hubungan tersebut adalah hubungan sebab-akibat (atau sebaliknya) (Polit & Beck,
2017). Pada penelitian ini, metode cross-sectional digunakan untuk
mengidentifikasi faktor-faktor yang berkontribusi dalam edukasi pasien oleh
perawat pelaksana di ruang rawat inap pada RS di Jakarta Selatan.

4.2 Populasi dan Sampel Penelitian


Penelitian pada dasarnya dilakukan secara langsung pada individu anggota
populasi yang terpilih menjadi sampel. Hasil penelitian yang dilakukan pada
sampel akan diterapkan pada populasi yang lebih luas, sehingga sampel yang
terpilih harus representatif mewakili populasinya (Kelana Kusuma Dharma,
2011).

4.2.1 Populasi
Populasi adalah keseluruhan dari unit di dalam penelitian yang akan dilakukan
(Sabri & Hastono, 2014). Populasi adalah keseluruhan gejala satuan yang ingin di
teliti (Priyono, 2016). Populasi merupakan unit dimana suatu hasil penelitian akan
diterapkan (generalisir) (Kelana Kusuma Dharma, 2011). Populasi dalam
36

penelitian ini adalah seluruh staf pelaksana keperawatan yang bekerja di instalasi
rawat inap pada RS di Jakarta Selatan yang berjumlah 727 orang.

4.2.2 Sampel
Sampel merupakan sebagian dari populasi yang nilai/karakteristiknya diukur atau
dihitung dan yang nantinya akan dipakai untuk menduga karakteristik dari
populasi (Priyono, 2016; Sabri & Hastono, 2014). Responden dipilih berdasarkan
kriteria inklusi dan eksklusi yang telah ditetapkan (Setia M. S., 2016). Kriteria
inklusi sampel pada penelitian ini adalah perawat pelaksana dan Perawat
Penanggung Jawab Asuhan (PPJA) yang bekerja pada RS di Jakarta Selatan.
Kriteria eksklusi pada penelitian ini yaitu perawat yang sedang mengambil cuti
kerja dan perawat manajer (kepala ruangan, kepala instalasi, case manager,
perawat manajer pelayanan pasien).

Rumus sampel dalam penelitian menggunakan rumus estimasi proporsi


(Sastroasmoro, 2014) sebagai berikut:
n=¿ ¿ ¿
Keterangan:
n= Jumlah Sampel
¿ ¿= Standar Normal Deviasi untuk α
P= Prediksi proporsi berdasarkan literature atau hasil pilot study
d= Deviasi dari prediksi proporsi atau presisi absolute

Rumus ini digunakan untuk dapat mendeteksi proporsi yang amat kecil dengan
menggunakan jumlah subyek yang amat besar.

n=¿ ¿

Berdasarkan rumus perhitungan estimasi proporsi suatu populasi, didapatkan


sampel sebanyak 384.16 perawat pelaksana atau sebanyak 384 orang. Teknik
pengambilan sampel dilakukan dengan metode probability sampling dengan
teknik simple random sampling. Peneliti memilih sampel dengan memberikan
kesempatan yang sama kepada semua anggota populasi untuk menjadi sampel.
Untuk menentukan jumlah perawat yang diperlukan, pada setiap ruangan

n
menggunakan rumus: n h=N h
N
37

n h= besar sampel h
N h= jumlah populasi h
n = besar sampel secara keseluruhan
N = populasi total

Tabel 4.1 Ruangan dan Jumlah Sampel Penelitian

Proportional Jumlah Sampel


No. Nama Ruangan Jumlah Perawat
Sampling Penelitian
1 Lt.2 Selatan IRNA Teratai 8 8x384/727 4
2 Lt.2 Utara IRNA Teratai 40 40x384/727 21
3 Lt.3 Selatan IRNA Teratai 20 20x384/727 11
4 Lt.3 Utara IRNA Teratai 23 23x384/727 12
5 Lt.4 Selatan IRNA Teratai 23 23x384/727 12
6 Lt.4 Utara IRNA Teratai 24 24x384/727 13
7 Lt.5 Selatan IRNA Teratai 37 37x384/727 20
8 Lt.5 Utara IRNA Teratai 25 25x384/727 13
9 Lt.6 Selatan IRNA Teratai 24 24x384/727 13
10 Lt.6 Utara IRNA Teratai 25 25x384/727 13
11 Lt.1 IRNA GPS 17 17x384/727 9
12 Lt.2 IRNA GPS 30 30x384/727 16
13 Lt.3 IRNA GPS 27 27x384/727 14
14 Lt.4 IRNA GPS 14 14x384/727 7
15 Lt.5 IRNA GPS 11 11x384/727 6
16 Lt.1 IRNA Anggrek 10 10x384/727 5
17 Lt.2 IRNA Anggrek 15 15x384/727 8
18 Lt.3 IRNA Anggrek 26 26x384/727 14
19 Lt.2 ICCU IRI 38 38x384/727 20
20 Lt.2 HCU IRI 16 16x384/727 8
21 LT.2 NICU Perina 26 26x384/727 14
22 PICU HCU Anak 35 35x384/727 19
23 ICU IRI 70 70x384/727 37
24 HD 28 28x384/727 15
25 IGD lt1 66 66x384/727 35
26 HCU lt 2IGD 33 33x384/727 17
27 HCU lt.1 IGD 16 16x384/727 8
Total Perawat seluruh ruangan 727 Total sampel 384

Tabel 4.1 menunjukkan jumlah sampel perawat yang akan diambil berdasarkan
ruangan yang dijadikan tempat penelitian. Sampel penelitian ini diambil
menggunakan metode stratified random sampling. Peneliti mempertimbangkan
perbedaan karakteristik/stratifikasi dalam populasi. Dimana populasi di dalam
strata tersebut diusahakan sehomogen mungkin, antar strata diusahakan
seheterogen mungkin, sampel diambil proporsional menurut besarnya unit yang
ada di dalam masing-masing strata dan antar strata, kemudian di dalam masing-
masing strata unit sampel diambil secara acak (Kelana Kusuma Dharma, 2011).

4.3 Tempat Penelitian


38

Penelitian ini dilakukan pada RS di Jakarta Selatan, yaitu RSUP Fatmawati.


Penelitian ini akan dilaksanakan di instalasi rawat inap di rumah sakit ini karena
pemberian edukasi pasien oleh perawat masih belum optimal. Data ini didapatkan
berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti. Selain itu RS
ini memiliki visi menjadi RS rujukan nasional Spine and Trauma dan juga sebagai
rumah sakit pendidikan yang memberikan kesempatan dalam pengembangan riset
di bidang kesehatan.

4.4 Waktu Penelitian

Penelitian dimulai menjadi beberapa tahapan, meliputi tahap persiapan (studi


pendahuluan dan pembuatan proposal), tahap pelaksanaan penelitian, analisis
data, dan tahap pembuatan laporan akhir. Studi pendahuluan dilakukan di bulan
09 September – 12 Desember 2019. Pembuatan Proposal dilakukan sejak
Desember 2019 – Februari 2020. Pengambilan data dan analisis data dilakukan
pada bulan Maret sampai April 2020. Kegiatan penelitian ini dapat dilihat pada
lampiran jadwal kegiatan penelitian secara rinci.

4.5 Etika Penelitian


Menjunjung tinggi prinsip-prinsip etik dalam penelitian merupakan hal wajib
yang perlu dilakukan oleh peneliti. Penelitian ini dilakukan setelah memperoleh
surat lolos kaji etik dari Komite Etik Penelitian Fakultas Ilmu Keperawatan dan
surat izin penelitian pada RS di Jakarta Selatan, oleh Kepala RS yang
bersangkutan. Prinsip etik yang dijunjung dalam penelitian ini meliputi (Polit &
Beck, 2017):

4.5.1 Beneficence
Peneliti meminimalkan kerugian dan memaksimalkan manfaat. Penelitian yang
dilakukan biasanya memiliki manfaat bagi responden atau organisasi dimana
responden berada. Namun terkadang manfaat baru akan dirasakan beberapa waktu
mendatang dan tidak secara langsung. Para peneliti memiliki kewajiban untuk
menghindari, mencegah, atau meminimalkan bahaya yang bisa saja terjadi saat
penelitian berlangsung. Peserta tidak boleh dikenai risiko bahaya atau
ketidaknyamanan, berupa fisik (mis. Cedera, kelelahan), emosional (mis., Stres,
39

ketakutan), sosial (mis., Kehilangan dukungan sosial), atau finansial (mis.,


Kehilangan upah). Peneliti harus menggunakan strategi untuk meminimalkan
semua jenis bahaya dan ketidaknyamanan, bahkan yang bersifat sementara. Pada
tahapan awal penelitian ini, peneliti memberikan penjelasan mengenai prosedur,
tujuan, manfaat ataupun kerugian dari penelitian ini melalui persetujuan penelitian
(informed consent).

4.5.2 Menghormati Harkat dan Martabat Manusia (Respect for Human


Dignity)
Prinsip ini mencakup hak untuk menentukan nasib sendiri dan hak untuk
pengungkapan penuh. Penentuan nasib sendiri dimaksudkan bahwa calon
responden dapat secara sukarela memutuskan untuk menjadi responden atau tidak
dalam penelitian ini (autonomy). Selain itu calon responden juga memiliki hak
untuk mengajukan pertanyaan, menolak memberikan informasi, dan menarik diri
dari penelitian (Kelana Kusuma Dharma, 2011).

4.5.3 Justice atau Keadilan


Prinsip luas ketiga mencakup hak peserta atas perlakuan yang adil dan hak untuk
privasi. Prinsip perlakuan adil mencakup masalah-masalah selain pemilihan
peserta. Perlakuan yang adil terhadap calon responden yang menolak untuk
berpartisipasi (atau yang menarik diri dari penelitian setelah persetujuan awal)
dengan cara yang tidak berprasangka tetap harus dijunjung secara etik penelitian.
Menghormati semua perjanjian yang dibuat dengan peserta (termasuk imbalan
yang dijanjikan); menunjukkan rasa hormat terhadap kepercayaan, kebiasaan, dan
gaya hidup dari latar belakang atau budaya yang berbeda.

4.5.4 Hak atas Privasi dan Kerahasiaan Responden


Calon peserta memiliki hak untuk berharap bahwa data yang diberikan akan
dijaga kerahasiaannya. Calon responden harus diyakinkan bahwa privasi dan
anonimitas akan selalu dilindungi dan dapat dijamin, maka hal ini akan
dinyatakan. Meskipun penelitian ini akan menyebabkan terbukanya informasi
tentang responden, tetapi peneliti memiliki kewajiban untuk menjada kerahasiaan
berbagai informasi yang menyangkut privasi responden. Baik informasi terkait
data penelitian dari responden ataupun identitas responden. Prinsip ini dilakukan
40

dengan cara meniadakan nama dan alamat responden, kemudian menggantinya


dengan inisial atau kode responden yang hanya diketahui oleh peneliti. Segala
informasi menyangkut identitas responden tidak terekspos (Kelana Kusuma
Dharma, 2011).

4.6 Informed Consent

Penelitian ini melibatkan perawat sebagai responden. Oleh sebab itu, peneliti
berkewajiban memberikan penjelasan dan persetujuan sebelum melanjutkan
prosedur penelitian untuk melindungi hak responden (Polit & Beck, 2017).
Informed consent ini mengartikan bahwa responden memiliki pemahaman
informasi yang memadai mengenai penelitian ini dan memiliki kebebasan untuk
memilih terlibat dalam penelitian ini atau tidak. Peneliti mendokumentasikan
bukti partisipasi responden dengan penandatanganan lembar persetujuan sebagai
responden (lampiran 3) yang mencakup informasi mengenai tujuan penelitian,
manfaat penelitian, risiko penelitian, kontrak waktu, waktu pengisian kuesioner,
dan etika penelitian.

4.7 Alat Pengumpulan data

4.7.1 Jenis Instrumen

Instrumen yang digunakan untuk pengumpulan data dalam penelitian ini adalah
kuesioner yang terdiri dari 4 kuesioner yaitu: Kuesioner A Demografi Perawat;
Kuesioner B Pengetahuan Perawat; Kuesioner C Motivasi, Kuesioner D Fungsi
Manajemen Kepala Ruangan, dan Kuesioner E Pelaksanaan Pemberian Edukasi
Pasien. Kuesioner A digunakan untuk mengumpulkan data demografi staf perawat
pelaksana yang terdiri dari jenis kelamin, umur, pendidikan terakhir, masa kerja,
status kepegawaian, pelatihan komunikasi efektif, dan pelatihan lainnya terkait
pemberian edukasi pasien.
41

Kuesioner B digunakan untuk mengukur variabel independen pengetahuan


perawat yang diperoleh dari staf perawat pelaksana. Kuesioner ini dikembangkan
sendiri oleh peneliti dengan melakukan modifikasi dari penelitian sebelumnya
yaitu dari penelitian “An Initiative to Improve Patient Education by Clinical
Nurses” (Sherman, 2016). Semua kecuali tiga pertanyaan menunjukkan
peningkatan di antara tes pada pengetahuan perawat; fokus menilai peserta didik
dengan menggunakan modalitas pengajaran yang tepat, mengklarifikasi
pengajaran yang salah, dan mendefinisikan literasi kesehatan. Itu kisaran
peningkatan adalah 2% - 16%. Tiga pertanyaan menunjukkan signifikansi statistik
(p = 0,001, 0,026, dan 0,032) dengan uji Pearson Chi-Square: penilaian pelajar
(pertanyaan # 1), validasi pembelajaran pasien (# 5), dan definisi edukasi pasien
(# 10). Tes Levene untuk Kesetaraan Hasil varians (p = 0,010) menggambarkan
variabilitas yang signifikan secara statistik antara kedua tes. Kuesioner ini terdiri
dari 10 item pernyataan dengan menggunakan pilihan jawaban benar dan salah,
skor 1 (benar) dan 0 (salah).

Tabel 4.2Kisi-Kisi Kuesioner B Pengetahuan Perawat

No. Indikator ∑ Nomor Pernyataan Positif Nomor Pernyataan Negatif


1 Pengetahuan Perawat 10 1, 5, 6, 7, 8, 9, 10 2, 3, 4
Total 10 7 3
*Modifikasi dari Sherman (2016)

Kuesioner C digunakan untuk mengukur variabel independen motivasi perawat


dalam pelaksanaan pemberian edukasi yang diperoleh dari staf perawat pelaksana.
Kuesioner ini dikembangkan sendiri oleh peneliti dengan melakukan modifikasi
dari penelitian sebelumnya yaitu penelitian “Motivation Sources Inventory:
Development and Validation of New Scales to Measure an Integrative Taxonomy
of Motivation” (Barbuto & Scholl, 1998). Kuesioner ini terdiri dari 24 pernyataan
dengan menggunakan skala Likert 1-4, skor 4 (selalu), skor 3 (sering), skor 2
(jarang), dan 1 (tidak pernah) dengan Cronbach alpha intrinsik 0.92,
42

instrumental .83, konsep diri eksternal 0.83, konsep diri intrinsik 0.90, dan
internalisasi sasaran 0.88 yang bermakna sudah reliabel untuk digunakan.

Tabel 4.3Kisi-Kisi Kuesioner C Motivasi Perawat

Nomor Pernyataan Nomor Pernyataan


No. Indikator Motivasi ∑
Positif Negatif
1 Intrinsik 3 2, 3 1
2 Instrumental 4 4, 5, 6, 7 -
3 Konsep diri eksternal 5 8, 9, 10, 11, 12 -
4 Konsep diri internal 3 13, 14, 15 -
5 Internalisasi sasaran 3 15, 16,18 -
Total 18 17 1
*Modifikasi dari (Barbuto & Scholl, 1998)

Kuesioner D merupakan serangkaian pernyataan tentang fungsi manajemen


kepala ruangan (perencanaan, pengorganisasian, ketenagaan, pengarahan, dan
pengendalian) yang digunakan untuk mengukur variabel independen berdasarkan
hasil pengisian dari staf perawat pelaksana. Kuesioner ini merupakan hasil
pengembangan sendiri yang dilakukan peneliti melalui modifikasi penelitian
sebelumnya yaitu “Improving the Interpersonal Competences of Head Nurses
Through Peplau's Theoretical Active Learning Approach” (Suhariyanto, Hariyati,
& Ungsianik, 2018) dengan Cronbach alpha 0,60 – 1,00 yang bermakna bahwa
kuesioner ini sudah reliabel untuk digunakan; “Penguatan Peran dan Fungsi
Manajemen Kepala Ruang melalui Faktor Kepribadian dan Sosial Organisasi”
(Sari, Handiyani, & Haryati, 2012) yang terdiri dari 38 pernyataan dengan nilai
validitas pada 9 butir pernyataan (Skala Gutmann) antara 0,400 – 0,819 dengan
reliabilitas 0,772 dan nilai validitas pada 29 pernyataan (Skala Likert) antara
0,413 – 0,899 dengan reliabilitas 0,644. Kuesioner pengukuran faktor determinan
dengan nilai validitas di 36 butir pernyataan antara 0,390 – 0,824 dengan nilai
reliabilitas 0,692; dan “Leadership and Management Competencies of Head
Nurses and Directors of Nursing in Finnish Social and Health Care” (Kantanen et
al., 2017) yang terdiri dari 32 pernyataan dengan menggunakan skala Likert 1-4,
skor 4 (selalu), skor 3 (sering), skor 2 (jarang), dan 1 (tidak pernah) dan memiliki
nilai Cronbach alpha 0,599 – 0,862 yang bermakna kuesioner ini sudah reliabel
untuk digunakan.

Tabel 4.4Kisi-Kisi Kuesioner D Fungsi Manajemen


43

No. Indikator ∑ Nomor Pernyataan Positif Nomor Pernyataan Negatif


1 Perencanaan 5 1, 2, 3, 4, 5 -
2 Pengorganisasian 4 7, 8, 9 6
3 Ketenagaan 5 10, 11, 13 12, 14
4 Pengarahan 13 15, 16, 18, 19, 21, 23, 25, 26, 27 17, 20, 22, 24
5 Pengendalian 5 28, 29,30,31 32
Total 32 24 8
*Modifikasi dari (Kantanen et al., 2017; Sari et al., 2012; Suhariyanto et al.,
2018)

Kuesioner E merupakan serangkaian pernyataan tentang pelaksanaan pemberian


edukasi yang digunakan untuk mengukur variabel independen berdasarkan hasil
pengisian dari staf perawat pelaksana. Kuesioner ini merupakan hasil
pengembangan sendiri yang dilakukan peneliti melalui modifikasi penelitian
sebelumnya yaitu “A Valid and Reliable Tool in Assessing Patient Education : the
Patient Education Implementation Scale” (Senyuva, Kaya, & Can, 2019).
Kuesioner ini digunakan untuk menilai pemberian edukasi pasien oleh perawat
sesuai dengan kebutuhan, pengkajian dan perencanaan, implementasi dan evaluasi
dan dokumentasi dengan 42 item pernyataan. Koefisien Cronbach alpha adalah
0,78-0,95 untuk subdimensi dan 0,97 untuk skala umum. Sehingga didapatkan
kesimpulan bahwa Skala Implementasi Edukasi Pasien adalah alat yang valid dan
dapat diandalkan. Kuesioner ini terdiri dari 24 item, dengan menggunakan skala
Likert 1-4, skor 4 (selalu), skor 3 (sering), skor 2 (jarang), dan 1 (tidak pernah).

Tabel 4.5 Kisi-Kisi Kuesioner E Pemberian Edukasi Pasien

Nomor Pernyataan Nomor Pernyataan


No. Indikator ∑
Positif Negatif
1 Menentukan kebutuhan edukasi 4 1,2,3,4 -
Penilaian dan perencanaan 5,6,7,8,9,10,11,12,13,
2 16 -
edukasi 14,15,16,17,18,19,20
21,22,23,24,25,26,27,
3 Implementasi 14 -
28,29,30,31,32,33,34
4 Evaluasi dan dokumentasi 8 35,36,37,38,39,40,41,42 -
Total 24 24 -
*Modifikasi dari (Senyuva et al., 2019)
44

4.7.2 Uji Instrumen Penelitian

Uji instrumen ini bertujuan untuk mengetahui validitas dan reliabilitas instrumen
yang digunakan. Kuesioner yang dilakukan pengujian adalah kuesioner B, C, D,
dan E.

4.7.2.1 Uji Validitas


Uji validitas instrumen dilakukan untuk mengetahui sejauh apa ketepatan suatu
alat ukur dalam mengukur suatu data dengan cara membandingkan nilai r tabel
dengan nilai r hitung (Hastono, 2016). Uji validitas instrumen menggunakan
teknik korelasi Pearson product moment. Nilai r tabel dari hasil pengukuran n =
30 sehingga df = 30 – 2 = 28, sebesar 0,361 dengan tingkat kemaknaan 5%
(Kelana Kusuma Dharma, 2011). Skor variabel berkorelasi secara signifikan
dengan skor total. Instrumen dikatakan valid apabila r hitung > r tabel dan
sebaliknya jika r hitung lebih kecil dari r tabel, maka item pertanyaan dalam
instrumen dikatakan tidak valid (Kelana Kusuma Dharma, 2011).

4.7.2.2 Uji Reliabilitas


Uji reliabilitas adalah suatu uji untuk mengukur sejauh mana konsistensi bila
dilakukan dua kali atau lebih pengukuran terhadap gejala yang sama dengan alat
pengukuran yang sama (Hastono, 2016). Uji reliabilitas dalam penelitian ini
menggunakan metode Cronbach alpha yaitu metode mengukur rata-rata
konsistensi internal diantara item-item pernyataan. Keuntungan dari uji reliabilitas
ini dapat dilakukaan dengan one shot atau satu kali pengukuran saja.

4.8 Prosedur Penelitian


Prosedur pengumpulan data terdiri dari persiapan, pelaksanaan dan pengolahan
data, dengan langkah-langkah sebagai berikut:
4.8.1 Persiapan
Pada tahap ini, peneliti melakukan:
Peneliti menyampaikan surat permohonan penelitian kepada Fakultas Ilmu
Keperawatan Universitas Indonesia untuk memperoleh surat keterangan lolos kaji
etik. Peneliti mengajukan permohonan izin uji validitas dan reliabilitas instrumen
penelitian. Setelah mendapatkan surat persetujuan uji validitas dan reliabilitas,
45

peneliti melakukan uji validitas dan reliabilitas instrumen. Setelah instrumen


dinyatakan valid dan reliabel, peneliti mengajukan permintaan surat izin dari
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia yang ditujukan kepada Kepala
Rumah Sakit RS A di Jakarta Selatan untuk pengambilan data. Peneliti melakukan
presentasi proposal penelitian dihadapan komite etik penelitian pada RS di Jakarta
Selatan. Peneliti melakukan koordinasi dengan Pembimbing lapangan (Bidang
Keperawatan) dalam pemilihan responden sesuai dengan kriteria inklusi.

4.8.2 Pelaksanaan
Peneliti memperkenalkan diri dan melakukan pendekatan secara formal dan
informal kepada kepala instalasi dan kepala ruangan terkait. Peneliti menyerahkan
surat izin penelitian yang sudah didapatkan dan menjelaskan maksud dan tujuan
serta prosedur penelitian kepada masing-masing kepala ruangan. Peneliti bersama
kepala ruangan melakukan pendataan staf perawat yang termasuk kedalam
kriteria inklusi sebagai calon responden. Peneliti mempertimbangkan perbedaan
karakteristik/stratifikasi dalam populasi. Sampel diambil proporsional menurut
besarnya unit yang ada di dalam masing-masing strata dan antar strata, kemudian
di dalam masing-masing strata unit sampel diambil secara acak. Peneliti
menjelaskan maksud, tujuan dan prosedur penelitian kepada calon responden
hingga calon responden mengerti maksud, tujuan, dan prosedur penelitian yang
peneliti sampaikan. Setelah calon responden mengerti, peneliti meminta calon
responden mengisi lembar persetujuan (informed consent) menjadi responden
dalam penelitian ini. Semua calon responden yang peneliti beri penjelasan,
bersedia menjadi responden.
4.8.3 Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan sendiri oleh peneliti. Adapun pelaksanaan kegiatan
pada pengumpulan data dalam penelitian ini sebagai berikut: peneliti membagikan
instrumen kuesioner A dmeografi perawat, kuesioner B pengetahuan perawat;
kuesioner C motivasi, kuesioner D fungsi manajemen kepala ruangan, dan
kuesioner E pelaksanaan pemberian edukasi pasien untuk diisi oleh responden
sesuai dengan kesepakatan waktu. Kuesioner tidak boleh dibawa pulang. Peneliti
mengumpulkan kuesioner yang telah diisi oleh responden dan memeriksa
kelengkapan pengisian.
46

4.8.4 Pengolahan Data


Setelah semua data terkumpul, peneliti melanjutkan ke tahapan berikutnya yaitu
pengolahan data. Pengolahan data dilakukan menggunakan program komputer
yang dimulai dari tahap editing, coding, data entry dan data cleaning yaitu:

4.8.4.1 Editing
Pada tahap ini, peneliti melakukan pengecekan isian kuesioner saat responden
mengembalikan kuesioner kepada peneliti apakah jawaban yang ada di kuesioner
sudah terisi lengkap, jelas (tulisan cukup jelas terbaca), relevan (jawaban relevan
dengan pertanyaan), dan konsisten (pertanyaan berkaitan dengan isi jawaban
konsisten).

4.8.4.2 Coding
Setelah semua instrumen terisi penuh dan benar. Pada tahap ini, peneliti
mengubah data berbentuk huruf/simbol (checklist) menjadi data berbentuk angka.
Untuk pernyataan favorable, peneliti mengubah jawaban responden menjadi 1 =
tidak pernah, 2 = jarang, 3 = sering, dan 4 = selalu, sedangkan pada pernyataan
unfavorable, 1 = selalu, 2 = sering, 3 = jarang, dan 4 = tidak pernah. Tujuan
coding adalah untuk mempermudah pada saat analisis data dan juga mempercepat
pada saat entry data.

4.8.4.3 Processing
Tahap memproses data dilakukan dengan mengentry data dari seluruh instrumen
yang telah diisi oleh responden ke dalam program analisis data pada komputer.
Pada tahap ini peneliti sekaligus melakukan koreksi ada tidaknya kesalahan pada
saat melakukan coding seperti pada item pernyataan negatif yang harus
disesuakan dengan definisi operasional.

4.8.4.4 Cleaning
Peneliti pada tahap ini melakukan pemeriksaan ulang data yang telah terinput
untuk menemukan missing data, variasi data, dan konsistensi data menggunakan
salah satu program analisis pada perangkat komputer. Hasilnya peneliti tidak
47

menemukan missing data. Hal ini bermanfaat bagi berlangsungnya analisis data
selanjutnya.

4.9 Analisis Data

Analisis data merupakan kegiatan yang sangat penting dalam penelitian. Melalui
analisis datalah semua data yang didapatkan kan diolah sehingga memiliki makna
yang berguna untuk memecahkan masalah penelitian (Hastono, 2016). Analisis
data penelitian terdiri dari analisis univariat (deskriptif), analisis bivariat
(analitik), dan analisis multivariat.

4.9.1 Analisis Univariat

Analisis univariat bertujuan untuk menggambarkan/mendeskriptifkan


karakteristik dari masing-masing variabel penelitian (Hastono, 2016). Pada
penelitian ini analisis univariat bertujuan untuk menggambarkan variabel
demografi perawat, motivasi perawat, fungsi manajemen kepala ruangan, dan
pengetahuan perawat. Analisis univariat dalam penelitian ini dirincikan dalam
tabel 4.6 berikut ini:

Tabel 4.6 Analisis Univariat

Variabel Jenis Data Cara Analsis


Jenis Kelamin Kategorik Distribusi frekuensi
Median, Mean, nilai
Umur Numerik minimum-maksimum,
95% CI
Pendidikan Terakhir Kategorik Distribusi frekuensi
Mean, Median, nilai
Masa Kerja Numerik minimum-maksimum,
95% CI
Status Kepegawaian Kategorik Distribusi frekuensi
Pelatihan Komunikasi
Kategorik Distribusi frekuensi
Efektif
Pelatihan Lainnya Kategorik Distribusi frekuensi
Motivasi Kategorik Distribusi frekuensi
Fungsi manajemen
Kategorik Distribusi frekuensi
Kepala Ruangan
48

Variabel Jenis Data Cara Analsis


Pengetahuan Perawat Kategorik Distribusi frekuensi

4.9.2 Uji Normalitas

Uji normalitas merupakan uji yang bertujuan untuk menilai sebaran data pada
suatu kelompok data atau variabel tersebut berdistribusi normal atau tidak
(Hastono, 2016). Uji Kolmogorov-smirnov sangat sensitif dengan jumlah sampel,
maksudnya dengan jumlah sampel yang besar, uji ini cenderung menghasilkan uji
signifikan (yang artinya bentuk distribusinya tidak normal). Atas kelemahan ini,
untuk mengetahui kenormalan data, peneliti menggunakan pendekatan
perbandingan nilai skewness dan standar error dengan angka ≤ 2 dikatakan data
berdistribusi normal.

4.9.3 Analisis Bivariat


Analisis korelasi bivariat merupakan perhitungan statistik yang digunakan oleh
peneliti untuk mengidentifikasi keeratan hubungan antara dua variabel (Arikunto,
2010). Analisis bivariat digunakan untuk mengetahui hubungan yang signifikan
antara dua variabel dan juga dapat digunakan untuk mengetahui perbedaan yang
signifikan antara dua kelompok (sampel) atau lebih (Hastono, 2016). Uji korelasi
pada penelitian menggunakan nilai kemaknaan sebesar 95% dan p 0,05.
Hubungan yang bermakna antara kedua variabel disimpulkan jika p yang
didapatkan pada uji bivariat ≤ 0,05. Hubungan tidak bermakna antara kedua
variabel disimpulkan jika p yang didapatkan pada uji bivariat > 0,05 (Sabri &
Hastono, 2014).

Tabel 4.7 Analisis Bivariat

Variabel Cara
Jenis Data Variabel Dependen Jenis Data
Independen Anlisis
Pemberian edukasi
Jenis kelamin Kategorik Kategorik Chi Square
pasien oleh perawat
Pemberian edukasi Independen
Umur Numerik Kategorik
pasien oleh perawat T-Test
49

Variabel Cara
Jenis Data Variabel Dependen Jenis Data
Independen Anlisis
Pemberian edukasi
Pendidikan terakhir Kategorik Kategorik Chi Square
pasien oleh perawat
Pemberian edukasi Independen
Masa kerja Numerik Kategorik
pasien oleh perawat T-Test
Pemberian edukasi
Status kepegawaian Kategorik Kategorik Chi Square
pasien oleh perawat
Pelatihan komunikasi Pemberian edukasi
Kategorik Kategorik Chi Square
efektif pasien oleh perawat
Pemberian edukasi
Pelatihan lainnya Kategorik Kategorik Chi Square
pasien oleh perawat
Pemberian edukasi
Motivasi perawat Kategorik Kategorik Chi Square
pasien oleh perawat
Fungsi manajemen Pemberian edukasi
Kategorik Kategorik Chi Square
kepala ruangan pasien oleh perawat
Pemberian edukasi
Pengetahuan perawat Kategorik Kategorik Chi Square
pasien oleh perawat

Analisis bivariat pada variabel independen jenis data kategorik dengan variabel
dependen kategorik dilakukan dengan menggunakan uji chi square. Analisis
bivariat pada variabel independen numerik dengan variabel dependen kategorik
dilakukan dengan menggunakan korelasi pearson.

4.9.4 Analisis Multivariat

Analisis multivariat pada penelitian ini dilakukan untuk menganalisis hubungan


satu atau beberapa variabel independen dengan sebuah variabel dependen
kategorik. Pada analisis regresi logistik multivariat memiliki ciri khusus, yaitu
variabel dependenya dalam bentukk kategorik (Hastono, 2016). Variabel
independen dalam penelitian ini adalah (jenis kelamin, umur, pendidikan terakhir,
masa kerja, status kepegawaian, pelatihan, motivasi perawat, fungsi manajemen,
dan pengetahuan perawat) yang akan dianalisis hubungannya dengan variabel
dependennya yaitu Pelaksanaan pemberian edukasi pasien. Berikut merupakan
tahapan analsis logistik multivariat;

4.9.4.1 Model Logistik


f(Z) merupakan probabilitas kejadian suatu penyakit berdasarkan faktor risiko
tertentu.
50

1
f (z) −(∝+β 1 X 1+β 2 X 2+…+ βiXi)
1+ e
f(z) = besar risiko
α = -3.911
β 1= 0.652

4.9.4.2 Seleksi Bivariat

Keseluruhan variabel independen akan dilakukan analisis bivariat dengan variabel


dependen satu persatu secara bergantian (Hastono, 2016). Dari hasil output akan
didapatkan block p pada Omnibus tests of Model Coefficients. Apabila p < 0.25
maka variabel tersebut dapat dilanjutkan ke anaisis multivariat. Tetapi apabila p >
0.25 tetapi secara substansi penting, maka variabel tersebut tidak dapat lanjut ke
multivariat dan hanya akan dianalisis multivariat saja.

4.9.4.2 Pemodelan Multivariat

Semua variabel independen yang sudah melewati seleksi bivariat akan


mendapatkan hasil p nya masing-masing. Selanjutnya hasil tersebut akan
digunakan dalam analisis multivariat dengan pelaksanaan pemberian edukasi
pasien.

4.9.4.3 Model Pertama


Variabel independen yang terdiri dari 11 variabel, yang akan dipilih satu variabel
dengan p paling besar nilainya >0.05. Kemudian variabel tersebut akan
dikeluarkan dari model multivariat. Setelah variabel dikeluarkan dari model, akan
dievaluasi perubahan nilai OR pada masing-masing variabel. Apabila belum
terdapat nilai perubahan OR >10% maka variabel tersebut dikeluarkan secara
permanen. Kemudian dilihat kembali nilai p yang paling besar pada salah satu
variabel, kemudian variabel tersebut dikeluarkan juga dari model. Setelah
dikeluarkan lalu evaluasi perubahan nilai OR. Tetapi apabila sudah tidak terdapat
lagi variabel dengan p > 0.05 paling besar diantara variabel lain, maka proses
pengeluaran variabel selesai.
4.9.4.4 Uji Interaksi
Uji interaksi dilakukan pada variabel yang diduga secara substansi memiliki
interaksi. Dilakukan uji interaksi antara variabel satu dengan variabel lain yang
51

diduga ada interaksi. Selanjutnya variabel uji interaksi yang p > 0.05 dikeluarkan
dan berarti tidak signifikan.

4.9.4.5 Model Akhir Multivariat


Hasil akhir multivariat akan didapatkan variabel independen dengan p value <
0.05 memiliki hubungan bermakna dengan variabel dependen. Sementara itu
untuk variabel independen dengan p value > 0.05 berarti sebagai variabel
pengontrol.

Anda mungkin juga menyukai