BAB 1
PENDAHULUAN
Bab ini mengemukakan tentang masalah penelitian, mulai dari latar belakang,
tujuan dan manfaat penelitian ini dilakukan.
Edukasi pasien merupakan proses pemberian informasi kepada pasien secara dua
arah selama masa perawatan di rumah sakit. Edukasi pasien merupakan proses
dimana para profesional kesehatan memberikan informasi kepada pasien dan
keluarga ataupun penjaga pasien untuk meningkatkan status kesehatan dan
mendorong keterlibatan dalam pengambilan keputusan terkait perawatan yang
sedang berlangsung (Fereidouni et al., 2019). Edukasi adalah proses mengajarkan
atau memberikan informasi yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan
pasien merawat dirinya dengan membantu pasien memperoleh perilaku baru
dalam mengatasi masalah kesehatannya (PPNI, 2018). Edukasi pasien merupakan
dasar dari semua proses pembelajaran yang pelaksanaannya menjadi tanggung
jawab dari manajer dalam suatu organisasi (Malekshahi, Rezaian, Fallahi, &
Almasian, 2019). Edukasi pasien merupakan salah satu dari tindakan yang perlu
diperhatikan dalam meningkatkan keselamatan pasien selama menjalani
perawatan di rumah sakit.
pilihan pembelajaran pasien, nilai budaya, agama, kemampuan serta bahasa yang
digunakan pasien (KARS, 2018). Perawat yang telah menyelesaikan penilaian
kebutuhan edukasi pasien, dapat memberikan edukasi sesuai dengan harapan
pasien (Jonesboro, 2018). Hasil penelitian di Istanbul, Turkey mengungkapkan
bahwa perawat harus memberikan informasi dan edukasi kepada pasien tentang
setiap prosedur dan yang diperlukan terkait penyakit, diagnosis dan perawatan
untuk memastikan kepuasan pasien dan pelayanan keperawatan yang berkualitas
(Karaca & Durna, 2018).
Edukasi pasien yang baik akan memberikan dampak positif pada pasien selama
menjalani perawatan di rumah sakit. Proses edukasi pasien akan membantu pasien
dan perawat dalam membuat keputusan terbaik selama proses perawatan pasien
(Fereidouni et al., 2019). Pemberian edukasi saat melakukan perawatan kepada
pasien merupakan strategi yang dapat dilakukan untuk mengurangi rasa sakit,
kecemasan, dan kecanggungan saat dilakukan penyuntikan atau injeksi pada
pasien (Meyers et al., 2017). Memberikan edukasi kepada pasien dan keluarga
yang optimal akan berpengaruh pada perubahan perilaku dan gaya hidup yang
sehat serta peningkatan kepatuhan terhadap pengobatan (Arora, Bipin, Malhotra,
& Ranjan, 2017). Hasil penelitian di Lebanon (Hemadeh, Hammoud, Kdouh,
Jaber, & Ammar, 2019) menyatakan bahwa kualitas edukasi pasien adalah
prediktor kuat dalam kepuasan pasien. Edukasi akan berpengaruh pada kepatuhan
pasien dalam pengobatan, kepuasan atas pelayanan yang diterima selama
perawatan, peningkatan kualitas hidup, dan pemahaman informasi yang lebih
mudah dimengerti yang berdampak pada penurunan angka rawat inap dan
readmission (Andargie & Kassahun, 2019; Flanders, 2018; Seyedin,
Goharinezhad, Vatankhah, & Azmal, 2015; Suhariyanto et al., 2019; Zhang et al.,
2019).
komunikasi, koordinasi, garis wewenang yang tidak jelas, faktor lingkungan dan
desain, kegagalan infrastruktur, sistem yang tidak memadai, depresi dan kelelahan
yang berdampak pada bagaimana anggota tim mengatasi beragam pasien, tekanan
waktu, kondisi medis yang kompleks, dan kelemahan pasien (Bowie, McKay,
McNab, & De Wet, 2016).
Pemberian edukasi pasien akan berjalan secara optimal apabila perawat manajer
mampu melaksanakan fungsi manajemen dengan baik. Manajer bertanggung
jawab
dalam pelaksanaan pemberian edukasi atau pendidikan pasien (Malekshahi et al.,
2019). Manajer keperawatan memfasilitasi pertukaran informasi dan membangun
kepercayaan, serta berkontribusi pada realisasi tindakan untuk mempromosikan
dan memulihkan kesehatan pasien (Mororó, Enders, Lira, Silva, & Menezes,
2017). Manajer mengembangkan kerangka kerja standar dan alat-alat yang
mendukung program pemberian edukasi pasien, meningkatkan kemampuan staf
perawat dalam memberikan edukasi pasien yang efektif, membentuk komite
pelaksanaan pemberian edukasi pasien multidisiplin dan menentukan koordinator
pelaksanaan pemberian edukasi pasien (Fereidouni et al., 2019). Perawat manajer
dituntut untuk melakukan koordinasi yang baik dalam memberikan edukasi pasien
selama perawatan dengan menjalankan fungsi manajemen (Basiony, 2018;
Munyewende, Levin, & Rispel, 2016). Manajer bertanggung jawab dalam
memastikan dan mengawasi bahwa perawat memiliki prasyarat yang diperlukan
dalam memberikan edukasi pasien serta memungkinkan untuk terus berkelanjutan
(Bergh, Friberg, Persson, & Dahlborg-Lyckhage, 2015). Manajer berupaya
melakukan pengembangan kompetensi sumber daya, meningkatkan kesadaran,
dan membangun keterampilan perawat dalam memberikan edukasi pasien
(Malekshahi et al., 2019).
Kukkonen, & Probst, 2016). Edukasi pasien memainkan peran penting dalam
manajemen penyakit kronis (Win et al., 2016). WHO (2020) menjelaskan bahwa
penyakit kronis akan mencapai hampir tiga perempat dari semua kematian di
seluruh dunia. Prevalensi penyakit kronis diperkirakan WHO akan meningkat
57% pada tahun 2020 (Walters, 2017). Berdasarkan data Riset Kesehatan
Dasar (Riskesdas) 2018 prevalensi penyakit kronik di Indonesia mengalami
kenaikan jika dibandingkan dengan Riskesdas 2013. Prevalensi kanker naik dari
1,4% (Riskesdas 2013) menjadi 1,8%; prevalensi stroke naik dari 7% menjadi
10,9%; dan penyakit ginjal kronik naik dari 2% menjadi 3,8%, diabetes melitus
naik dari 6,9% menjadi 8,5%; hipertensi naik dari 25,8% menjadi 34,1% (Depkes,
2018). Data ini menunjukkan bahwa pemberian edukasi pasien diperlukan untuk
memberikan pemahaman terkait penyakit pasien, dan meningkatkan kualitas
hidup pasien.
Tanpa edukasi yang memadai, seorang pasien dapat pulang dan melanjutkan
kebiasaan yang tidak sehat saat pulang rawat. Sektor kesehatan di Iran
mengungkapkan bahwa edukasi pasien yang buruk juga merupakan sumber
keluhan utama pasien saat ini (Fereidouni et al., 2019). Studi penelitian yang
dilakukan dipusat reumatologi terbesar, di Renji Hospital, Shanghai, Cina pada
210 pasien Systemic Lupus Erythematosus (SLE) didapatkan bahwa edukasi
pasien yang buruk memiliki dampak negatif pada hasil klinis pasien (Zhang et al.,
2019). Pasien yang salah paham tentang diagnosis dan rencana perawatannya
biasanya menunjukkan kepatuhan pengobatan yang buruk. Tindakan ini dapat
menyebabkan kekambuhan dan kembali ke rumah sakit (Jonesboro, 2018).
Edukasi pasien yang dilakukan oleh perawat di Rumah Sakit Umum Pusat
(RSUP) Fatmawati belum optimal. Hasil studi pendahuluan mendapatkan skor
rata-rata penilaian pengetahuan perawat dalam memberikan edukasi paien dan
keluarga yaitu sangat baik sebesar 78.6%, tetapi penilaian persepsi perawat
terhadap pemberian edukasi yaitu 59.5% cukup, penilaian supervisi pemberian
edukasi 69% cukup, dan untuk kelengkapan pendokumentasian edukasi 90.5%
kurang. Dari data tersebut diketahui pengetahuan perawat dalam memberikan
edukasi sudah sangat baik, akan tetapi pelaksanaan pemberian edukasi pasien
masih belum optimal. Monitoring dan evaluasi pelaksanaan pemberian edukasi
pasien menjadi fokus rumah sakit dalam meningkatkan kualitas pelayanan.
Pemberian edukasi yang efektif dan efisien membutuhkan monitoring dan
evaluasi karena perawat sering memiliki waktu yang terbatas (Flanders, 2018).
Edukasi pasien belum diberikan secara optimal oleh perawat di rumah sakit. Hasil
studi pendahuluan mendapatkan bahwa RSUP Fatmawati sudah memiliki Standar
Prosedur Operasional (SPO) untuk memberikan arahan bagi staf perawat sesuai
dengan kewenangan klinisnya dalam memberikan edukasi pasien. Hasil observasi
lapangan pada satu rekam medis pasien yang sudah diperbolehkan pulang,
didapatkan bahwa pasien belum diberikan edukasi tentang hand hygiene. Pasien
dan keluarga dikonfirmasi oleh perawat dan membenarkan bahwa edukasi terkait
hand hygiene belum dilakukan.
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi determinan yang
mempengaruhi pemberian edukasi pasien oleh perawat di ruang rawat inap pada
RS di Jakarta Selatan.
Penelitian ini diharapkan akan memberikan inovasi terbaru untuk rumah sakit
terkait determinan pemberian edukasi pasien oleh perawat. Hasil penelitian ini
juga secara tidak langsung membawa manfaat bagi manajer rumah sakit dalam
mengembangkan strategi, menetapkan kebijakan, pedoman, dan sebagai bahan
evaluasi pengoptimalan pemberian edukasi pasien di rumah sakit.
9
Hasil penelitian ini akan dijadikan evidence based practice dalam bidang
pendidikan keperawatan, terutama pada manajemen pelayanan kesehatan.
Penelitian ini dapat memberikan informasi mengenai determinan dalam
pelaksanaan pemberian edukasi pasien oleh perawat, sehingga dapat lebih
difokuskan pada faktor-faktor tersebut. Hal ini akan menjadi bahan evaluasi dan
masukan yang bermanfaat untuk pengembangan organisasi melalui peningkatan
kompetensi yang harus dimiliki oleh setiap perawat manajer di rumah sakit.
Hasil penelitian ini dapat menjadi rujukan bagi penelitian selanjutnya tentang
determinan pelaksanaan pemberian edukasi pasien oleh perawat. Hasil penelitian
ini juga dapat memberikan wawasan dan pengalaman manajer keperawatan dalam
meningkatkan kemampuan menganalisis determinan pemberian edukasi pasien
yang dalam jangka panjang dapat meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan di
rumah sakit.
BAB 2
TINJAUAN LITERATUR
Bab ini berisi tentang kumpulan teori dan konsep berdasarkan penelusuran literatur
yang berhubungan dengan masalah penelitian.
Pasien yang terlibat dalam proses perawatannya, akan lebih cenderung terlibat
dalam intervensi yang dapat meningkatkan peluang keberhasilan dalam
perawatan.
Edukasi pasien adalah komponen yang diperlukan untuk mendapatkan hasil
perawatan pasien yang sukses (Sherman, 2016). Pemberian edukasi pasien dan
keluarga juga merupakan proses kompleks yang dimaksudkan untuk memfasilitasi
pembelajaran dan meningkatkan hasil kesehatan pasien [ CITATION Lon16 \l
1033 ].
(SLE) didapatkan bahwa edukasi pasien yang buruk memiliki dampak negatif
pada hasil klinis pasien (Zhang et al., 2019). Edukasi yang tidak memadai selama
masa perawatan di rumah sakit dapat mengakibatkan komplikasi pasca
pemulangan, penerimaan kembali rumah sakit yang tidak direncanakan dan
ketidakpuasan keseluruhan dengan pengalaman rumah sakit.
2.1.5 Strategi
Memberikan edukasi pasien memerlukan strategi agar dapat berpengaruh secara
optimal terhadap pasien. Pengembangan kompetensi dalam edukasi pasien dapat
dilakukan oleh perawat melalui beberapa cara berikut ini (Svavarsdóttir,
Sigurardóttir, & Steinsbekk, 2015);
a. Aktif dalam pencarian pengetahuan dan memiliki pelatihan dalam edukasi
pasien.
b. Menghabiskan waktu untuk merefleksikan dan mengevaluasi kinerja sendiri.
c. Memiliki kesempatan untuk bertanya dan menerima jawaban atas pertanyaan.
d. Mendedikasikan waktu untuk pembelajaran teoretis dan pembaruan tentang
perkembangan baru.
e. Menghadiri kursus dan konferensi pendidikan dasar dan lanjutan.
f. Menerima pelatihan dari seorang mentor atau pendidik berpengalaman.
g. Memiliki akses ke dukungan sebaya dan panutan.
h. Memiliki akses ke forum untuk berbagi pengetahuan, diskusi, dan konsultasi.
i. Mendapatkan panduan tentang pencarian literatur dan memilih bahan edukasi
pasien.
j. Memiliki akses ke koleksi pusat literatur dan artikel penelitian.
k. Memiliki akses ke pedoman klinis, instruksi dan daftar periksa.
l. Memiliki akses ke materi edukasi pasien standar dan sesi pendidikan.
m. Memiliki akses ke bantuan teknis sambil mempersiapkan dan menerapkan
edukasi pasien.
n. Berpartisipasi dalam pelatihan melalui studi kasus, permainan peran, kerja
kelompok, dan diskusi.
o. Mengamati pendidikan pasien dalam berbagai pengaturan dari para ahli dalam
edukasi pasien.
p. Melatih sesi pendidikan di bawah bimbingan.
16
Edukasi pasien diakui sebagai fungsi independen dari profesi keperawatan dan
merupakan proses yang terencana, sistematis dan logis. Perawat dalam
memberikan edukasi pasien mengungkapkan kebutuhan akan dukungan teman
sebaya, kerja sama antar-profesional, dan pendampingan untuk lebih
mengembangkan kompetensi (Svavarsdóttir et al., 2015).
2.2 Perawat
Edukasi merupakan salah satu dari intervensi penting dalam proses asuhan
keperawatan. Intervensi keperawatan meliputi serangkaian kegiatan
mengobservasi, memberikan edukasi, menjalin komunikasi terapeutik, dan
melakukan kolaborasi untuk mewujudkan perawatan pasien yang optimal (PPNI,
2018). Perawat bertanggung jawab secara mandiri tanpa bantuan tim kesehatan
lain dalam memberikan edukasi kepada pasien atau independen (Ashley Brooks,
2019). Edukasi pasien dan keluarga merupakan pencapaian terbesar dalam
pekerjaan keperawatan (Che et al., 2016).
17
Alat edukasi kesehatan yang efektif digunakan oleh praktisi medis dalam
mengembangkan rencana manajemen perawatan yang berpusat pada pasien.
Pengembangan alat-alat edukasi kesehatan yang disesuaikan dengan kebutuhan
individu untuk membantu meningkatkan hasil perawatan pasien dalam hal
kepatuhan terhadap saran medis dan perilaku hidup sehat. Alat bantuan yang
digunakan dalam memberikan edukasi kepada pasien dan keluarga akan
18
berpengaruh pada perubahan perilaku dan gaya hidup yang sehat serta
peningkatan kepatuhan terhadap pengobatan (Arora et al., 2017). Memberikan
edukasi pasien yang efektif dan efisien membutuhkan pengetahuan dan
keterampilan. Perawat dapat meningkatkan kemampuan dalam memberikan
edukasi dengan praktik, pendidikan, dan bimbingan (Sherman, 2016;
Svavarsdóttir et al., 2015).
merancang program edukasi kesehatan yang baik bagi pasien dilakukan dengan
menggunakan model PRECEDE (Glanz, Rimer, & Viswanath, 2015; Gorina,
Limonero, & Álvarez, 2019).
2.4.5.1 Nilai-nilai
Nilai-nilai yang berhubungan dengan kesehatan juga dapat menghambat
penggunaan layanan kesehatan yang memadai; misalnya, pasien lanjut usia
mungkin mengalami kesulitan mengidentifikasi dengan peran sakit dan menjadi
pasien (Levkoff et al., 1984). Memahami perspektif, nilai-nilai, keyakinan, dan
harapan pasien sehubungan dengan pembelajaran merupakan bagian integral dari
praktik edukasi pasien yang sukses (Roma Forbes & Mandrusiak, 2019).
2.4.5.2 Keyakinan/Kepercayaan
Hasil penelitian Bautista-Rentero et al., (2014) mengidentifikasi kepercayaan
yang salah, lingkungan merokok, peristiwa yang menegangkan, perayaan dan
pertemuan sosial sebagai faktor predisposisi dan pemicu utama yang terkait
dengan kekambuhan merokok. Keyakinan berasal dari nilai kesehatan, ancaman,
tingkat keparahan penyakit yang dirasa, manfaat yang akan didapat bila
melakukan suatu perilaku psikososial, dan keyakinan diri (Rejeski & Fanning,
2019).
a. Jenis Kelamin
Keperawatan biasanya dilihat sebagai sifat feminin, meskipun jumlah laki-laki
dalam keperawatan meningkat dalam beberapa kali. Penelitian pada mahasiswa
keperawatan pria sarjana di Mesir dan Yordania didapatkan bahwa
prianmenghadapi beberapa masalah saat menjadi perawat, yaitu dalam
mengasumsikan beberapa praktik keperawatan obstetri, pandangan publik, tidak
memiliki jabatan tertentu, malu saat menjelaskan topik sensitif dengan pasien
wanita dan penolakan kehadiran perawat pria di bangsal wanita (Ibrahim, Talat
Akel, & Alzghoul, 2015). Hung et al., (2018) menemukan bahwa mahasiswa
keperawatan laki-laki mengalami lebih banyak hambatan gender dengan
mempersepsikan citra keperawatan yang lebih rendah dan terlibat dalam perilaku
peduli yang lebih sedikit daripada rekan-rekan mahasiswa lainnya.
Perempuan mempunyai ekspektasi lebih tinggi daripada laki-laki. Hasil studi oleh
Afriani, Haruti, & Gayatri, (2017) tentang dukungan atasan dan teman sejawat
mempengaruhi ekspektasi perawat dalam penerapan jenjang karir dukungan
atasan dan teman sejawat memengaruhi ekspektasi perawat 79% cenderung lebih
telaten dan sabar dalam menjalani proses jenjang karir dibanding laki-laki dalam
melakukan proses asuhan keberawatan. Perawat pria menolak stereotip bahwa
keperawatan adalah profesi wanita, perawat pria juga mendukung pekerjaan dan
serikat pekerja di Spanyol serta negara-negara lain untuk memerangi stereotip
gender dan perbedaan gender terutama dalam keperawatan (Maranon, Rodriguez-
Martin, & Galbany-Estragues, 2019). Jenis kelamin perawat tidak memiliki
pengaruh pada perawatan yang terlewatkan (Blackman et al., 2018). Pernyataan-
pernyataan tersebut merupakan alasan apakah jenis kelamin mempengaruhi
pemberian edukasi pasien yang dilaksanakan oleh perawat pelaksana di suatu unit
rawat.
b. Umur
Kinerja individu sangat erat kaitannya dengan usia individu, karena terdapat
keyakinan bahwa meningkatnya usia akan membuat kinerja menjadi menurun.
Karyawan yang berumur tua dianggap kurang luwes dan menolak perkembangan
teknologi baru (Handayani, Fannya, & Nazofah, 2018). Hasil penelitian yang
23
dilakukan di tiga negara Autralia, Cyprus dan Italia didapatkan empat variabel
yang berkontribusi dalam asuhan perawatan yang terlewatkan meliputi usia
perawat, kualifikasi tertinggi, tingkat absensi dan jenis tempat kerja, (Blackman et
al., 2018). Hasil analisis regresi mengungkapkan faktor-faktor, dari perspektif
perawat, yang mempengaruhi budaya keselamatan pasien di rumah sakit Yordania
yaitu usia, lama bekerja (Khater, Akhu-Zaheya, Al-Mahasneh, & Khater R.,
2015). Perawat yang lebih muda tampaknya enggan menerima status quo karena
kompleksitas fenomena serta resistensi yang dirasakan terhadap perubahan
(Grosso et al., 2019).
c. Pendidikan
Tingkat pendidikan perawat dapat berpotensi meningkatkan pengalaman pasien
dalam perawatan di rumah sakit (Liu et al., 2019). Hasil penelitian Liu et al.,
(2019) pada rumah sakit di China ditemukan bahwa perawat dengan gelar sarjana
muda atau tingkat yang lebih tinggi terkait langsung dengan persepsi komunikasi
pasien yang lebih baik dengan perawat, responsif perawat, manajemen nyeri,
lingkungan fisik, dan terkait secara tidak langsung dengan peringkat rumah sakit
dan rekomendasi dari rumah sakit. Perawat dengan pendidikan tinggi lebih baik
dalam mempersiapkan dan mengkoordinasikan pelayanan kesehatan (American
Association of Colleges of Nursing, 2019). Pendidikan keperawatan sangat
penting dalam mempersiapkan tenaga kerja masa depan untuk lebih fokus pada
peran perawat dengan meningkatkan identitas profesional (Traynor & Buus,
2016). Tingkat pendidikan juga merupakan salah satu penyebab rendah budaya
keselamatan pasien di antara perawat (Alquwez et al., 2018).
d. Masa Kerja
Hasil analisis regresi mengungkapkan faktor-faktor, dari perspektif perawat, yang
mempengaruhi budaya keselamatan pasien di rumah sakit Yordania yaitu usia,
lama bekerja (Khater et al., 2015). Kompetensi perawat dapat terkikis karena
berkurangnya paparan klinis dan pengalaman dengan pasien ketika perawat
melakukan pekerjaan non keperawatan seperti administrasi (Grosso et al., 2019).
Ini berarti pengalaman perawat terkait masa kerja akan berpengaruh terhadap
persepsi perawatan yang diharapkan pasien. Rendah budaya keselamatan pasien
di antara perawat salah satunya disebabkan oleh masa kerja perawat di rumah
24
e. Status Kepegawaian
Salah satu strategi untuk meningkatkan budaya keselamatan pasien adalah dengan
memastikan kepegawaian perawat yang memadai (Khater et al., 2015).
Kompetensi yang lebih baik ditunjukkan oleh perawat yang berstatus sebagai
pegawai (Kantanen, Kaunonen, Helminen, & Suominen, 2017). Hal ini
menjelaskan bahwa status kepegawaaian seorang perawat dapat mempengaruhi
pelaksanaan pemberian edukasi pasien yang dilakukannya.
f. Pelatihan
Penelitian di Spanyol mengungkapkan bahwa lingkungan praktik keperawatan di
unit kesehatan mental sangat penting. Hasil mengungkapkan bahwa lingkungan
praktik dan karakteristik perawat mempengaruhi kualitas keperawatan dengan
salah satu aspeknya yaitu pelatihan (Roviralta-Vilella, Moreno-Poyato,
Rodríguez-Nogueira, Duran-Jordà, & Roldán-Merino, 2019). Faktor yang
mempengaruhi pemberian edukasi pasien selama menjalani perawatan salah
satunya adalah pelatihan (Bowie et al., 2016).
2.4.5.4 Pengetahuan
Penelitian di salah satu rumah sakit di Australia mengungkapkan bahwa perilaku
kepedulian dan kepribadian staf di lingkungan kerja mempengaruhi kualitas
asuhan keperawatan secara signifikan yang dibuktikan oleh model regresi akhir.
Pengetahuan staf, dukungan lingkungan merupakan salah satu dari beberapa
aspek yang paling signifikan terkait dengan kualitas perawatan yang dirasakan
pasien (Edvardsson, Watt, & Pearce, 2017). Faktor kunci yang mempengaruhi
kualitas perawatan paliatif diantaranya adalah keyakinan, sikap, pengalaman, dan
pengetahuan perawat dalam menyediakan layanan kesehatan (Petursdottir,
Haraldsdottir, & Svavarsdottir, 2019). Pengetahuan, sikap dan praktik perawat
memengaruhi tingkat vaksinasi dan saran yang diberikan kepada konsumen.
Untuk itu meningkatkan pengetahuan perawat dalam mempromosikan manfaat
25
obat. Faktor pemungkin pada penelitian ini berfokus pada fungsi manajemen yang
dilakukan kepala ruangan.
a. Fungsi Perencanaan
Fungsi manajerial pertama melibatkan perencanaan. Fungsinya adalah tentang
membuat rencana terperinci untuk mencapai tujuan organisasi tertentu. Seorang
kepala ruangan dapat memulai fungsi perencanaan dengan mengidentifikasi
tugas-tugas yang perlu dilakukan untuk mencapai tujuan yang diinginkan,
menguraikan bagaimana tugas-tugas harus dilakukan, dan mengidentifikasi kapan
dan siapa yang harus melakukan (Marquis & Huston, 2015). Fokus perencanaan
adalah tentang mencapai tujuan dan itu memang membutuhkan pengetahuan
tentang tujuan dan visi organisasi. Keberhasilan organisasi diwaktu sebelumnya
baik, jangka pendek maupun jangka panjang merupakan tolak ukur bagi rencana
selanjutnya (Anastasia, 2017). Manajer mengembangkan kerangka kerja standar
dan alat-alat yang mendukung program pemberian edukasi pasien, meningkatkan
kemampuan staf perawat dalam memberikan edukasi pasien yang efektif,
membentuk komite pelaksanaan pemberian edukasi pasien multidisiplin dan
menentukan koordinator pelaksanaan pemberian edukasi pasien (Fereidouni et al.,
2019).
27
b. Fungsi Pengorganisasian
Fungsi pengorganisasian merupakan suatu hal yang perlu dilakukan oleh manajer
keperawatan dalam pengorganisasian untuk menciptakan pelayanan yang
bermutu, aman, dan bebas bahaya bagi pasien (Hariyati, Yetti, Afriani, &
Handiyani, 2018). Fungsi pengorganisasian meliputi merancang struktur unit,
menentukan tugas-tugas apa yang harus dilakukan, siapa yang akan
melakukannya, bagaimana tugas-tugas yang akan dikelompokkan, rentang
kendali; siapa yang melapor kepada siapa, dan di mana keputusan harus dibuat
(Robbins & Judge, 2017). Pengorganisasian dapat dilakukan dengan
mengidentifikasi berbagai peran, proses, dan kegiatan yang diperlukan untuk
mencapai tujuan dengan pembagian tugas berdasarkan hasil identifikasi tersebut
(Anastasia, 2017). Perawat manajer dituntut untuk melakukan koordinasi yang
baik dalam memberikan edukasi pasien selama perawatan dengan menjalankan
fungsi manajemen (Basiony, 2018; Munyewende et al., 2016).
c. Fungsi Ketenagaan
Ketenagaan merupakan fase ketiga dari proses manajemen. Manajer melakukan
perekrutan, pemilihan, memberikan orientasi, dan meningkatkan kualitas atau
kompetensi staf untuk mencapai tujuan organisasi (Marquis & Huston, 2015).
Manajer perlu mempertimbangkan dan memprediksi kebutuhan tenaga dan
metode penugasan sesuai dengan standar kebijakan yang ada. Manajer juga perlu
memperhatikan kualitas staf perawat berdasarkan pendidikan, nilai akademik,dan
seminar/workshop/maupun pelatihan-pelatihan yang pernah diikuti (Hariyati et
al., 2018). Manajer berupaya melakukan pengembangan kompetensi sumber daya,
meningkatkan kesadaran, dan membangun keterampilan perawat dalam
memberikan edukasi pasien (Malekshahi et al., 2019).
d. Fungsi Pengarahan
Pengarahan merupakan fase ke empat dari proses manajemen, dimana seorang
manajer dengan keterampilan kepemimpinan dan manajemennya akan menyusun
rencana ke dalam tindakan. Hal ini meliputi menciptakan suasana yang
memotivasi, membina komunikasi organisasi, menangani konflik, memfasilitasi
kerjasama, dan negosiasi (Marquis & Huston, 2015). Manajer bertanggung jawab
dalam membuat kebijakan mengenai fungsi pengarahan terhadap pemberian
28
e. Fungsi Pengendalian
Fungsi pengendalian meliputi kegiatan pemantauan untuk memastikan bahwa
semua itu tercapai sebagaimana yang telah direncanakan sebelumnya dan
mengoreksi penyimpangan dan mengembalikan organisasi kembali ke jalurnya
(Robbins & Judge, 2017). Manajer bertanggung jawab dalam memastikan dan
mengawasi bahwa perawat memiliki prasyarat yang diperlukan dalam
memberikan edukasi pasien serta memungkinkan untuk terus berkelanjutan
(Bergh et al., 2015). Manajer dituntut untuk menentukan rencana tindak lanjut
hasil pencapaian tujuan dan melaksanakan evaluasi terkait pelayanan yang sudah
dilakukan staf (Hariyati et al., 2018). Penting bagi manajer untuk mengevaluasi
pemberian edukasi pasien yang telah dilakukan staf, sehingga manajer dapat
menentukan target capaian di masa depan.
Sumber: (Afriani et al., 2017; Alquwez et al., 2018; American Association of Colleges of Nursing,
2019; Anastasia, 2017; Anwar, Rochadi, Daulay, & Yuswardi, 2016; Ashley Brooks, 2019;
Baljoon A et al., 2018; Basiony, 2e018; Blackman et al., 2018; Edvardsson et al., 2017; Flanders,
2018; Grosso et al., 2019; Handayani et al., 2018; Hariyati et al., 2018; Hung et al., 2018; Ibrahim
et al., 2015; Khater et al., 2015; Maranon et al., 2019; Marquis & Huston, 2015; Petursdottir et al.,
2019; PPNI, 2018; Robbins & Judge, 2017; Roviralta-Vilella et al., 2019; Sherman, 2016; Smith
et al., 2016; Svavarsdóttir et al., 2015; Traynor & Buus, 2016; Zhuang et al., 2019).
31
BAB 3
Bab ini memaparkan tentang kerangka konsep yang dijadikan acuan dalam penelitian
dengan menentukan variabel dependen, dan variabel independen yang dilanjutkan
dengan hipotesis dan definisi operasional penelitian.
Variabel Independen
1. Faktor Predisposisi:
a.Demografi
- Jenis Kelamin
- Umur Variabel Dependen
- Pendidikan
- Masa Kerja
- Status Kepegawaian Pemberian Edukasi
- Pelatihan Pasien:
b. Pengetahuan - Efektif
Perawat - Tidak Efektif
2. Faktor Pemungkin:
- Fungsi Manajemen
3. Faktor Penguat
- Motivasi Perawat
3.2 Hipotesis
Hipotesis berasal dari kata hupo yang artinya sementara/lemah kebenarannya, dan
thesis yang artinya pernyataan atau teori (Sutanto Priyo Hastono & Sabri, 2010).
32
Hipotesis merupakan prediksi dari hubungan antar variabel atau jawaban yang
bersifat sementara terhadap masalah penelitian sampai terbukti melalui data yang
terkumpul (Polit & Beck, 2013). Hipotesis penelitian ini adalah:
3.2.1 Ada hubungan antara faktor predisposisi (demografi perawat; jenis kelamin,
umur, pendidikan, masa kerja, status kepegawaian, pelatihan, dan
pengetahuan perawat) dengan pelaksanaan pemberian edukasi paien oleh
perawat di ruang rawat inap pada RS di Jakarta Selatan
3.2.2 Ada hubungan antara faktor pemungkin (fungsi manajemen) dengan
pelaksanaan pemberian edukasi paien oleh perawat di ruang rawat inap pada
RS di Jakarta Selatan
3.2.3 Ada hubungan antara faktor penguat (motivasi) dengan pelaksanaan
pemberian edukasi paien oleh perawat di ruang rawat inap pada RS di
Jakarta Selatan
Faktor Pemungkin
Fungsi Gambaran pelaksanaan Kuesioner D, berisi Ditanyakan dalam Nominal
34
BAB 4
METODE PENELITIAN
Bab ini menguraikan tentang metode penelitian yang memaparkan tentang desain
penelitian, populasi dan sampel, tempat penelitian, waktu penelitian, etika penelitian,
metode pengumpulan data, prosedur pengumpulan data dan rencana analisis data.
Desain penelitian ini menggunakan desain cross sectional yang merupakan jenis
desain penelitian observasional atau non eksperimental. Penelitian observasional
(non eksperimental) maksudnya adalah peneliti membuat pengamatan fenomena
yang ada tanpa campur tangan (Polit & Beck, 2017). Desain penelitian merupakan
metode yang digunakan peneliti untuk melakukan penelitian yang memberikan
arah terhadap jalannya penelitian (Kelana Kusuma Dharma, 2011). Peneliti
mengukur hasil dan paparan responden pada saat yang sama (Setia M. S., 2016).
Penelitian dilakukan untuk mengetahui hubungan antara variabel independen dan
variabel dependen, dimana variabel independen menyebabkan variabel dependen,
hubungan tersebut adalah hubungan sebab-akibat (atau sebaliknya) (Polit & Beck,
2017). Pada penelitian ini, metode cross-sectional digunakan untuk
mengidentifikasi faktor-faktor yang berkontribusi dalam edukasi pasien oleh
perawat pelaksana di ruang rawat inap pada RS di Jakarta Selatan.
4.2.1 Populasi
Populasi adalah keseluruhan dari unit di dalam penelitian yang akan dilakukan
(Sabri & Hastono, 2014). Populasi adalah keseluruhan gejala satuan yang ingin di
teliti (Priyono, 2016). Populasi merupakan unit dimana suatu hasil penelitian akan
diterapkan (generalisir) (Kelana Kusuma Dharma, 2011). Populasi dalam
36
penelitian ini adalah seluruh staf pelaksana keperawatan yang bekerja di instalasi
rawat inap pada RS di Jakarta Selatan yang berjumlah 727 orang.
4.2.2 Sampel
Sampel merupakan sebagian dari populasi yang nilai/karakteristiknya diukur atau
dihitung dan yang nantinya akan dipakai untuk menduga karakteristik dari
populasi (Priyono, 2016; Sabri & Hastono, 2014). Responden dipilih berdasarkan
kriteria inklusi dan eksklusi yang telah ditetapkan (Setia M. S., 2016). Kriteria
inklusi sampel pada penelitian ini adalah perawat pelaksana dan Perawat
Penanggung Jawab Asuhan (PPJA) yang bekerja pada RS di Jakarta Selatan.
Kriteria eksklusi pada penelitian ini yaitu perawat yang sedang mengambil cuti
kerja dan perawat manajer (kepala ruangan, kepala instalasi, case manager,
perawat manajer pelayanan pasien).
Rumus ini digunakan untuk dapat mendeteksi proporsi yang amat kecil dengan
menggunakan jumlah subyek yang amat besar.
n=¿ ¿
n
menggunakan rumus: n h=N h
N
37
n h= besar sampel h
N h= jumlah populasi h
n = besar sampel secara keseluruhan
N = populasi total
Tabel 4.1 menunjukkan jumlah sampel perawat yang akan diambil berdasarkan
ruangan yang dijadikan tempat penelitian. Sampel penelitian ini diambil
menggunakan metode stratified random sampling. Peneliti mempertimbangkan
perbedaan karakteristik/stratifikasi dalam populasi. Dimana populasi di dalam
strata tersebut diusahakan sehomogen mungkin, antar strata diusahakan
seheterogen mungkin, sampel diambil proporsional menurut besarnya unit yang
ada di dalam masing-masing strata dan antar strata, kemudian di dalam masing-
masing strata unit sampel diambil secara acak (Kelana Kusuma Dharma, 2011).
4.5.1 Beneficence
Peneliti meminimalkan kerugian dan memaksimalkan manfaat. Penelitian yang
dilakukan biasanya memiliki manfaat bagi responden atau organisasi dimana
responden berada. Namun terkadang manfaat baru akan dirasakan beberapa waktu
mendatang dan tidak secara langsung. Para peneliti memiliki kewajiban untuk
menghindari, mencegah, atau meminimalkan bahaya yang bisa saja terjadi saat
penelitian berlangsung. Peserta tidak boleh dikenai risiko bahaya atau
ketidaknyamanan, berupa fisik (mis. Cedera, kelelahan), emosional (mis., Stres,
39
Penelitian ini melibatkan perawat sebagai responden. Oleh sebab itu, peneliti
berkewajiban memberikan penjelasan dan persetujuan sebelum melanjutkan
prosedur penelitian untuk melindungi hak responden (Polit & Beck, 2017).
Informed consent ini mengartikan bahwa responden memiliki pemahaman
informasi yang memadai mengenai penelitian ini dan memiliki kebebasan untuk
memilih terlibat dalam penelitian ini atau tidak. Peneliti mendokumentasikan
bukti partisipasi responden dengan penandatanganan lembar persetujuan sebagai
responden (lampiran 3) yang mencakup informasi mengenai tujuan penelitian,
manfaat penelitian, risiko penelitian, kontrak waktu, waktu pengisian kuesioner,
dan etika penelitian.
Instrumen yang digunakan untuk pengumpulan data dalam penelitian ini adalah
kuesioner yang terdiri dari 4 kuesioner yaitu: Kuesioner A Demografi Perawat;
Kuesioner B Pengetahuan Perawat; Kuesioner C Motivasi, Kuesioner D Fungsi
Manajemen Kepala Ruangan, dan Kuesioner E Pelaksanaan Pemberian Edukasi
Pasien. Kuesioner A digunakan untuk mengumpulkan data demografi staf perawat
pelaksana yang terdiri dari jenis kelamin, umur, pendidikan terakhir, masa kerja,
status kepegawaian, pelatihan komunikasi efektif, dan pelatihan lainnya terkait
pemberian edukasi pasien.
41
instrumental .83, konsep diri eksternal 0.83, konsep diri intrinsik 0.90, dan
internalisasi sasaran 0.88 yang bermakna sudah reliabel untuk digunakan.
Uji instrumen ini bertujuan untuk mengetahui validitas dan reliabilitas instrumen
yang digunakan. Kuesioner yang dilakukan pengujian adalah kuesioner B, C, D,
dan E.
4.8.2 Pelaksanaan
Peneliti memperkenalkan diri dan melakukan pendekatan secara formal dan
informal kepada kepala instalasi dan kepala ruangan terkait. Peneliti menyerahkan
surat izin penelitian yang sudah didapatkan dan menjelaskan maksud dan tujuan
serta prosedur penelitian kepada masing-masing kepala ruangan. Peneliti bersama
kepala ruangan melakukan pendataan staf perawat yang termasuk kedalam
kriteria inklusi sebagai calon responden. Peneliti mempertimbangkan perbedaan
karakteristik/stratifikasi dalam populasi. Sampel diambil proporsional menurut
besarnya unit yang ada di dalam masing-masing strata dan antar strata, kemudian
di dalam masing-masing strata unit sampel diambil secara acak. Peneliti
menjelaskan maksud, tujuan dan prosedur penelitian kepada calon responden
hingga calon responden mengerti maksud, tujuan, dan prosedur penelitian yang
peneliti sampaikan. Setelah calon responden mengerti, peneliti meminta calon
responden mengisi lembar persetujuan (informed consent) menjadi responden
dalam penelitian ini. Semua calon responden yang peneliti beri penjelasan,
bersedia menjadi responden.
4.8.3 Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan sendiri oleh peneliti. Adapun pelaksanaan kegiatan
pada pengumpulan data dalam penelitian ini sebagai berikut: peneliti membagikan
instrumen kuesioner A dmeografi perawat, kuesioner B pengetahuan perawat;
kuesioner C motivasi, kuesioner D fungsi manajemen kepala ruangan, dan
kuesioner E pelaksanaan pemberian edukasi pasien untuk diisi oleh responden
sesuai dengan kesepakatan waktu. Kuesioner tidak boleh dibawa pulang. Peneliti
mengumpulkan kuesioner yang telah diisi oleh responden dan memeriksa
kelengkapan pengisian.
46
4.8.4.1 Editing
Pada tahap ini, peneliti melakukan pengecekan isian kuesioner saat responden
mengembalikan kuesioner kepada peneliti apakah jawaban yang ada di kuesioner
sudah terisi lengkap, jelas (tulisan cukup jelas terbaca), relevan (jawaban relevan
dengan pertanyaan), dan konsisten (pertanyaan berkaitan dengan isi jawaban
konsisten).
4.8.4.2 Coding
Setelah semua instrumen terisi penuh dan benar. Pada tahap ini, peneliti
mengubah data berbentuk huruf/simbol (checklist) menjadi data berbentuk angka.
Untuk pernyataan favorable, peneliti mengubah jawaban responden menjadi 1 =
tidak pernah, 2 = jarang, 3 = sering, dan 4 = selalu, sedangkan pada pernyataan
unfavorable, 1 = selalu, 2 = sering, 3 = jarang, dan 4 = tidak pernah. Tujuan
coding adalah untuk mempermudah pada saat analisis data dan juga mempercepat
pada saat entry data.
4.8.4.3 Processing
Tahap memproses data dilakukan dengan mengentry data dari seluruh instrumen
yang telah diisi oleh responden ke dalam program analisis data pada komputer.
Pada tahap ini peneliti sekaligus melakukan koreksi ada tidaknya kesalahan pada
saat melakukan coding seperti pada item pernyataan negatif yang harus
disesuakan dengan definisi operasional.
4.8.4.4 Cleaning
Peneliti pada tahap ini melakukan pemeriksaan ulang data yang telah terinput
untuk menemukan missing data, variasi data, dan konsistensi data menggunakan
salah satu program analisis pada perangkat komputer. Hasilnya peneliti tidak
47
menemukan missing data. Hal ini bermanfaat bagi berlangsungnya analisis data
selanjutnya.
Analisis data merupakan kegiatan yang sangat penting dalam penelitian. Melalui
analisis datalah semua data yang didapatkan kan diolah sehingga memiliki makna
yang berguna untuk memecahkan masalah penelitian (Hastono, 2016). Analisis
data penelitian terdiri dari analisis univariat (deskriptif), analisis bivariat
(analitik), dan analisis multivariat.
Uji normalitas merupakan uji yang bertujuan untuk menilai sebaran data pada
suatu kelompok data atau variabel tersebut berdistribusi normal atau tidak
(Hastono, 2016). Uji Kolmogorov-smirnov sangat sensitif dengan jumlah sampel,
maksudnya dengan jumlah sampel yang besar, uji ini cenderung menghasilkan uji
signifikan (yang artinya bentuk distribusinya tidak normal). Atas kelemahan ini,
untuk mengetahui kenormalan data, peneliti menggunakan pendekatan
perbandingan nilai skewness dan standar error dengan angka ≤ 2 dikatakan data
berdistribusi normal.
Variabel Cara
Jenis Data Variabel Dependen Jenis Data
Independen Anlisis
Pemberian edukasi
Jenis kelamin Kategorik Kategorik Chi Square
pasien oleh perawat
Pemberian edukasi Independen
Umur Numerik Kategorik
pasien oleh perawat T-Test
49
Variabel Cara
Jenis Data Variabel Dependen Jenis Data
Independen Anlisis
Pemberian edukasi
Pendidikan terakhir Kategorik Kategorik Chi Square
pasien oleh perawat
Pemberian edukasi Independen
Masa kerja Numerik Kategorik
pasien oleh perawat T-Test
Pemberian edukasi
Status kepegawaian Kategorik Kategorik Chi Square
pasien oleh perawat
Pelatihan komunikasi Pemberian edukasi
Kategorik Kategorik Chi Square
efektif pasien oleh perawat
Pemberian edukasi
Pelatihan lainnya Kategorik Kategorik Chi Square
pasien oleh perawat
Pemberian edukasi
Motivasi perawat Kategorik Kategorik Chi Square
pasien oleh perawat
Fungsi manajemen Pemberian edukasi
Kategorik Kategorik Chi Square
kepala ruangan pasien oleh perawat
Pemberian edukasi
Pengetahuan perawat Kategorik Kategorik Chi Square
pasien oleh perawat
Analisis bivariat pada variabel independen jenis data kategorik dengan variabel
dependen kategorik dilakukan dengan menggunakan uji chi square. Analisis
bivariat pada variabel independen numerik dengan variabel dependen kategorik
dilakukan dengan menggunakan korelasi pearson.
1
f (z) −(∝+β 1 X 1+β 2 X 2+…+ βiXi)
1+ e
f(z) = besar risiko
α = -3.911
β 1= 0.652
diduga ada interaksi. Selanjutnya variabel uji interaksi yang p > 0.05 dikeluarkan
dan berarti tidak signifikan.