Anda di halaman 1dari 29

Skema 2.

2 Faktor Predisposisi (Gorina, Limonero, & Álvarez, 2019)


Faktor predisposisi yang terkait dengan pasien meliputi: kesadaran akan penyakit, persepsi
penyakit / keparahan, pengetahuan tentang penyakit, efikasi diri, gaya hidup sehat. Keyakinan
Salah. Faktor predisposisi terkait dengan profesional: alat / strategi. Para profesional mengklaim
beberapa kali bahwa ada kekurangan alat dan strategi yang tersedia dalam mendukung perawat
membuat rekomendasi kesehatan yang untuk pasien. Perlunya lebih banyak pelatihan, terutama
tentang perolehan keterampilan berkomunikasi dan alat didaktik dalam mempromosikan
motivasi dan kepatuhan pasien terhadap perilaku manajemen diri.

2.1.1 Faktor Pemungkin (Enabling Constructs)


Faktor yang memungkinkan terdiri dari sumber daya dan keterampilan yang diperlukan untuk
melakukan tindakan kesehatan dan tindakan organisasi untuk memodifikasi lingkungan ketika
individu termotivasi untuk melakukan perilaku kesehatan. Faktor-faktor ini terkait dengan
fasilitas / kesulitan yang terkait dengan melakukan perilaku kesehatan, bahan dan sumber daya,
peluang dan keterampilan individu & motivasi (Kreuter & Green, 2005). aksesibilitas,
rekomendasi kesehatan yang dipersonalisasi para profesional, motivasi diri, ketidakfleksibelan,
meminimalkan masalah, kurangnya komunikasi / koordinasi antara para profesional. Faktor-
faktor pemungkin terkait dengan sistem kesehatan: kebijakan kesehatan, beban kerja yang berat
dan tekanan pada profesional, kurangnya staf spesialis, tren konsultasi jarak jauh (telemedicine),
kurangnya strategi pencegahan (Gorina et al., 2019).

Skema 2.3 Faktor Pemungkin (Gorina et al., 2019)


Faktor-faktor pemungkin terkait dengan pasien meliputi: status sosial-ekonomi dan sosial-
budaya, motivasi, akses ke informasi, akses ke alat manajemen diri, konsiliasi pekerjaan dengan
masalah kesehatan, persepsi kurangnya waktu, kemampuan untuk menyuntikkan insulin sendiri.
Faktor-faktor pemungkin terkait dengan para profesional:
2.1.2 Faktor penguat (Reinforcing)
Faktor-faktor penguat yang muncul setelah pasien melakukan perilaku dan yang memfasilitasi
perawatan pasien terkait dengan hadiah atau hukuman: insentif sosial, insentif fisik / emosional,
insentif nyata dan insentif pribadi (Kreuter & Green, 2005). Selain itu dukungan keluarga dan
sosial, persepsi dari para profesional, dan stigma sosial juga merupakan bagian dari faktor
penguat (Gorina et al., 2019).
Skema 2.4 Faktor Penguat (Gorina et al., 2019)
Faktor penguat yang berhubungan dengan pasien meliputi:. membuat makanan terlihat lebih
menarik, persepsi bahwa upaya itu sepadan, perasaan yang baik setelah latihan fisik, Faktor-
faktor penguat yang terkait dengan para profesional: tetapkan tujuan nyata dan dapat dicapai.

2.1 Faktor yang Mempengaruhi Pemberian Edukasi Pasien


Pada bulan Desember 2015, The Joint Commission meluncurkan kampanye untuk mengurangi
penerimaan kembali/readmission dengan menyediakan sumber daya layanan kesehatan dan turut
melibatkan pasien dan keluarga dalam proses perencanaan kepulangan. Menurut data The Joint
Commission pada 197 kejadian adalah kegagalan dalam komunikasi pasien, edukasi pasien, dan
hak-hak pasien. Tinjauan komunikasi selama proses pemulangan rumah sakit menemukan bahwa
ringkasan pemulangan seringkali kurang informasi dan edukatif tentang konseling, perawatan,
terapi saat pulang, hasil tes, dan rencana tindak lanjut (Joint Commision International, 2015).
Pemberian edukasi yang efektif dan efisien diperlukan karena perawat sering memiliki waktu
yang terbatas (Flanders, 2018). Perawat tidak merasa siap untuk menjadi pendidik yang efektif
dan membutuhkan dukungan untuk mengajar pasien dengan percaya diri (Sherman, 2016).
Alat edukasi kesehatan yang efektif digunakan oleh praktisi medis dalam mengembangkan
rencana manajemen perawatan yang berpusat pada pasien. Pengembangan alat-alat edukasi
kesehatan yang disesuaikan dengan kebutuhan individu untuk membantu meningkatkan hasil
perawatan pasien dalam hal kepatuhan terhadap saran medis dan perilaku hidup sehat. Tentunya
melalui alat bantuan yang digunakan dalam memberikan edukasi kepada pasien dan keluarga
akan berpengaruh pada perubahan perilaku dan gaya hidup yang sehat serta peningkatan
kepatuhan terhadap pengobatan (Arora, Bipin, Malhotra, & Ranjan, 2017). Memberikan edukasi
pasien yang efektif dan efisien membutuhkan pengetahuan dan keterampilan. Perawat dapat
meningkatkan kemampuan dalam memberikan edukasi dengan praktik, pendidikan, dan
bimbingan (Sherman, 2016; Svavarsdóttir, Sigurardóttir, & Steinsbekk, 2015).

Pembelajaran harus dievaluasi untuk memastikan pasien memahami dan dapat menerapkan apa
yang telah diajarkan. Metode evaluasi yang direkomendasikan termasuk mengajar kembali dan
menunjukkan saya atau kembali demonstrasi (Brega et al., 2015;London, 2009). Proses mengajar
kembali melibatkan meminta pasien untuk menjelaskan apa yang telah dipahami dengan kata-
kata sendiri (Brega et al., 2015). Menggunakan kata-kata sendiri sangat penting agar perawat
dapat menilai pemahaman pasien. Para ahli merekomendasikan untuk menggunakan bahasa yang
tidak menghakimi sehingga pasien tidak merasa diuji (Brega et al., 2015). Perawat harus menilai
kebutuhan belajar, menetapkan tujuan pembelajaran dengan pasien, merencanakan dan
melaksanakan pendidikan, mengevaluasi pembelajaran, dan mendidik kembali sesuai kebutuhan
(Flanders, 2018). Pengajaran harus individual dan disesuaikan dengan kebutuhan dan
kemampuan masing-masing pasien. Pendidikan pasien harus didokumentasikan dan ditinjau
dalam rekam medis (London, 2009). Kegiatan edukasi pasien dan kebutuhan belajar harus
didiskusikan selama laporan handoff keperawatan. Komunikasi dengan HCP lain dapat
memastikan konsistensi, memperkuat pendidikan yang dilakukan oleh orang lain, dan
meminimalkan duplikasi yang tidak perlu. Lingkungan belajar yang mendukung, motivasi batin,
dan kesadaran akan nilai edukasi pasien dianggap sebagai faktor utama yang diperlukan untuk
menjadi pendidik ahli (Svavarsdóttir et al., 2015).

2.1.1 Jenis Kelamin


2.1.2 Umur

2.1.3 Pendidikan

2.1.4 Masa Kerja

2.1.5 Status Kepegawaian


Hasil analisis regresi mengungkapkan faktor-faktor, dari perspektif perawat, yang mempengaruhi
budaya keselamatan pasien di rumah sakit Yordania yaitu usia, lama bekerja (Khater, Akhu-
Zaheya, Al-Mahasneh, & Khater R., 2015).

2.1.6 Pelatihan

2.1.7 Pengetahuan

2.1.8 Motivasi

2.2 Konsep Manajemen


Pelayanan Keperawatan merupakan bentuk pelayanan profesional yang didasarkan pada ilmu
dan kiat keperawatan ditujukan kepada individu, keluarga, kelompok, atau masyarakat, baik
sehat maupun sakit (Undang-Undang No.38, 2014). Perawat bekerja selama 24 jam memberikan
pelayanan profesional bagi pasien dan keluarga tetapi perawat juga berisiko menimbulkan
terjadinya insiden yang dapat merugikan pasien ataupun pihak rumah sakit. Penting bagi perawat
manajer untuk mengoptimalkan manajemen pelayan dan manajemen asuhan di rumah sakit agar
dapat meningkatkan status kesehatan pasien tanpa menimbulkan masalah tambahan. Manajemen
merupakan sebuah seni yang bertujuan untuk mencapai hasil terbaik dengan sedikit upaya yang
bekerja melalui staf dan sumber daya kelembagaan lainnya (Basiony, 2018). Manajemen adalah
proses menyelesaikan pekerjaan melalui orang lain dengan tepat waktu dan sesuai anggaran
untuk mencapai tujuan organisasi (Basiony, 2018).
2.2.1 Fungsi Manajemen Kepala Ruangan
Anwar, Rochadi, Daulay, & Yuswardi (2016) mengungkapkan bahwa terdapat hubungan yang
signifikan antara fungsi manajemen kepala ruang dengan penerapan patient safety culture.
Dalam layanan kesehatan, terutama dalam perawatan kesehatan primer, perawat memiliki
kesempatan dan tanggung jawab untuk berpartisipasi dalam kegiatan manajerial (Dias & Moniz,
2019).

2.2.2 Fungsi Perencanaan


Fungsi manajerial pertama melibatkan perencanaan. Fungsinya adalah tentang membuat rencana
terperinci untuk mencapai tujuan organisasi tertentu. Seorang kepala ruangan dapat memulai
fungsi perencanaan dengan mengidentifikasi tugas-tugas yang perlu dilakukan untuk mencapai
tujuan yang diinginkan, menguraikan bagaimana tugas-tugas harus dilakukan, dan
mengidentifikasi kapan dan siapa yang harus melakukan (Marquis & Huston, 2015). Fokus
perencanaan adalah tentang mencapai tujuan dan itu memang membutuhkan pengetahuan
tentang tujuan dan visi organisasi. Keberhasilan organisasi diwaktu sebelumnya baik, jangka
pendek maupun jangka panjang merupakan tolak ukur bagi rencana selanjutnya (Anastasia,
2017).

2.2.3 Fungsi Pengorganisasian


Organizing merupakan suatu hal yang perlu dilakukan oleh manajer keperawatan dalam
pengorganisasian untuk menciptakan pelayanan yang bermutu, aman, dan bebas bahaya bagi
pasien (Hariyati, Yetti, Afriani, & Handiyani, 2018). Fungsi pengorganisasian meliputi
merancang struktur unit, menentukan tugas-tugas apa yang harus dilakukan, siapa yang akan
melakukannya, bagaimana tugas-tugas yang akan dikelompokkan, rentang kendali; siapa yang
melapor kepada siapa, dan di mana keputusan harus dibuat (Robbins & Judge, 2017).
Pengorganisasian dapat dilakukan dengan mengidentifikasi berbagai peran, proses, dan kegiatan
yang diperlukan untuk mencapai tujuan dengan pembagian tugas berdasarkan hasil identifikasi
tersebut (Anastasia, 2017). 

2.2.4 Fungsi Ketenagaan


Ketenagaan merupakan fase ketiga dari proses manajemen. Manajer melakukan perekrutan,
pemilihan, memberikan orientasi, dan meningkatkan kualitas atau kompetensi staf untuk
mencapai tujuan organisasi (Marquis & Huston, 2015). Manajer perlu mempertimbangkan dan
memprediksi kebutuhan tenaga dan metode penugasan sesuai dengan standar kebijakan yang
ada. Manajer juga perlu memperhatikan kualitas staf perawat berdasarkan pendidikan, nilai
akademik,dan seminar/workshop/maupun pelatihan-pelatihan yang pernah diikuti (Hariyati et al.,
2018).

2.2.5 Fungsi Pengarahan


Pengarahan merupakan fase ke empat dari proses manajemen, dimana seorang manajer dengan
keterampilan kepemimpinan dan manajemennya akan menyusun rencana ke dalam tindakan. Hal
ini meliputi menciptakan suasana yang memotivasi, membina komunikasi organisasi, menangani
konflik, memfasilitasi kerjasama, dan negosiasi (Marquis & Huston, 2015).

2.2.6 Fungsi Pengendalian


Fungsi pengendalian meliputi kegiatan pemantauan untuk memastikan bahwa semua itu tercapai
sebagaimana yang telah direncanakan sebelumnya dan mengoreksi penyimpangan dan
mengembalikan organisasi kembali ke jalurnya (Robbins & Judge, 2017).

2.2 Perawat
2.2.1 Perawat melakukan Intervensi Keperawatan

Perawat menggunakan sistem Nursing Interventions Classification (NIC) dalam berkomunikasi


tentang intervensi yang dilakukan dengan profesional medis lain dan mendokumentasikan
tindakan tersebut. Intervensi keperawatan merupakan seluruh tindakan yang dilakukan oleh
seorang perawat yang mengimplementasikan rencana asuhan keperawatan (Ashley Brooks,
2019).

Intervensi keperawatan memiliki tiga kategori utama dalam menentukan profesional medis mana
yang bertanggung jawab untuk melakukan intervensi pasien (Ashley Brooks, 2019):
2.2.1.1 Independen
Seorang perawat dapat melakukan intervensi ini sendiri, tanpa masukan atau bantuan
dari orang lain. Contoh intervensi independen adalah memberikan edukasi kepada pasien
tentang pentingnya kepatuhan dalam minum obat untuk mencapai keberhasilan
perawatan.
2.2.1.2 Dependen
Intervensi keperawatan ini membutuhkan pesanan dari dokter, seperti memesan resep
untuk obat baru.
2.2.1.3 Interdependen
Perawat bekerja bersama dengan beberapa anggota tim perawatan untuk melakukan
intervensi ini. Contoh intervensi interdependen mencakup seorang pasien yang pulih dari
operasi lutut yang diresepkan obat nyeri oleh dokter, pemberian obat dilakukan oleh
perawat dan diberikan terapi latihan fisik oleh seorang spesialis.
Perawat dapat melakukan intervensi secara mandiri, tanpa masukan atau bantuan dari orang lain
Contoh intervensi independen adalah memberikan tentang pentingnya kepatuhan dalam minum
obat untuk mencapai keberhasilan perawatan.Terdapat tiga kategori utama dalam menentukan
profesional medis mana yang bertanggung jawab untuk melakukan intervensi pasien;
independen, dependen, dan interdependen. Independen dimana seorang perawat dapat melakukan
intervensi secara mandiri, tanpa masukan atau bantuan dari orang lain. Contoh intervensi
independen adalah memberikan edukasi kepada pasien tentang pentingnya kepatuhan dalam
minum obat untuk mencapai keberhasilan perawatan. Dependen dimana seorang perawat dalam
melakukan intervensi keperawatan membutuhkan instruksi dari dokter, seperti memesan resep
obat baru untuk pasien. Sedangkan Interdependen dimana perawat bekerja bersama dengan
beberapa anggota tim perawatan untuk melakukan intervensi. Contoh intervensi interdependen
mencakup seorang pasien yang pulih dari operasi lutut yang diresepkan obat nyeri oleh dokter,
pemberian obat dilakukan oleh perawat dan diberikan terapi latihan fisik oleh seorang spesialis.

Terdapat 4 jenis intervensi keperawatan antara lain; observasi, edukasi, terapeutik, dan
kolaborasi. Edukasi merupakan salah satu dari intervensi penting dalam proses asuhan
keperawatan. Intervensi Keperawatan adalah segala treatment yang dikerjakan oleh perawat
yang didasarkan pada pengetahuan dan penilaian klinis untuk mencapai luaran (outcome) yang
diharapkan (PPNI, 2018). Su et al., (2018) menyampaikan bahwa dalam memberikan edukasi
pasien / anggota keluarga terdapat hambatan yang mungkin akan dihadapi perawat seperti
hambatan fisik, psikologis, dan status emosional.

2.2.2 Klasifikasi Perawat


Klasifikasi Perawat (McQuerrey, 2019)
Profesi perawat kesehatan memiliki istilah yang berbeda berdasarkan jabatan, pendidikan, dan
perizinan yang dimilikinya, seperti;
2.2.2.1 Nurse’s Aide/Certified Nursing Assistants (CNA)
Pembantu perawat atau asisten perawat bersertifikat adalah individu yang biasanya
menyelesaikan program multi-bulan dalam keterampilan pengasuhan dasar dan ditugasi
membantu perawat dalam melaksanakan fungsi tertentu. Asisten perawat tidak dapat
mendiagnosis, memberikan obat, atau memberikan edukasi medis. Asisten perawat
bertanggung jawab untuk mengikuti arahan yang ditetapkan oleh perawat dan dokter
berlisensi.
2.2.2.2 Licensed Practical Nurse (LPN)
Perawat praktis berlisensi biasanya menyelesaikan program keperawatan satu tahun dan
harus dilisensikan oleh negara tempat dimana perawat berada. Perawat praktis berlisensi
melaksanakan arahan perawat terdaftar dan praktisi perawat, serta dokter, khususnya
yang berkaitan dengan edukasi pasien. Selain memberikan obat-obatan, melakukan
prosedur rutin, memeriksa tanda vital dan memantau perkembangan kondisi. Perawat
praktis berlisensi kadang-kadang melakukan instruksi pemulangan sekaligus memberikan
edukasi pasien tentang kepatuhan dalam pengobatan, interaksi dan perawatan lanjutan di
rumah.
2.2.2.3 Registered Nurse (RN)
Perawat terdaftar menyelesaikan dua hingga empat tahun pendidikan, memperoleh gelar
sarjana dalam keperawatan. Perawat terdaftar dapat mendiagnosis pasien,
mengembangkan rencana perawatan, melakukan beberapa prosedur medis rutin dan
memberikan pengobatan. Selain itu perawat terdaftar juga bertanggung jawab atas
pendidikan pasien dan pengajaran pasien tentang kondisi dan prosedur, menjelaskan
potensi hasil perawatan, komplikasi dan instruksi setelah perawatan.

2.2.2.4 Nurse Practitioners (NP)


Praktisi perawat memiliki gelar lanjutan dalam asuhan keperawatan dan sering bekerja
dalam kapasitas pengasuhan primer. Praktisi perawat juga melayani dalam peran
pendidik perawat, pada tingkat yang lebih tinggi daripada profesional keperawatan
berlisensi lainnya. Dalam banyak kasus, praktisi perawat melayani dalam peran yang
sama dengan dokter, meskipun perawatan dan pendidikan holistik seringkali merupakan
fungsi utama perawatan. Berdasarakan uraian diatas, kita ketahui bahwa perawat bukan
hanya penyedia layanan kesehatan dan caregiver tetapi juga sebagai pendidik pasien dan
anggota keluarga pasien. Perawat profesional merupakan komunikator efektif yang dapat
membantu menyederhanakan instruksi dan informasi penting sehingga menjadi mudah
dipahami pasien.

Perawat bekerja dalam tim yang terdiri dari staf perawat dengan beragam latar belakang
pendidikan dan ruang praktik. Tim keperawatan meliputi perawat terdaftar (Registered
Nurses/RN), yang memiliki lisensi; Perawat Praktis Berlisensi (Licensed Practical
Nurses/LPNS), yang memiliki perawat berlisensi; dan Perawat Asisten (Health Care
Aides/HCA) yang merupakan petugas layanan kesehatan yang tidak diatur yang menerima
pendidikan 3–6 bulan yang berfokus pada pemenuhan kebutuhan fisik dasar (Dahlke et al.,
2018).

2.2.3 Peran Perawat sebagai Educator


Perawat bertanggung jawab untuk memberikan edukasi atau memberikan pemahaman kepada
pasien tentang mencegah dan mengelola kondisi medis. Perawat merupakan pendidik bagi
pasien, bahkan walaupun perawat tidak bekerja sebagai dosen/pengajar di akademisi (Jonesboro,
2018). Perawat memberikan edukasi/pengajaran fokus pada apa yang tidak diketahui pasien
(London, 2009). Perawat harus memberikan edukasi dan evaluasi terhadap pasien selama pasien
menjalani pengobatannya (Pratiwi, Sari, & Kurniawan, 2019). Perawat berperan dalam
menginstruksikan pasien tentang hal-hal sebagai berikut; langkah perawatan diri terkait kondisi
yang dialami pasien, bagaimana cara mempertahankan perawatan diri secara mandiri, mengenali
tanda-tanda peringatan, mengetahui tindakan apa yang perlu dilakukan jika terjadi masalah, siapa
yang akan dihubungi apabila pasien memiliki pertanyaan (Jonesboro, 2018).

Perawat profesional memiliki beragam tanggung jawab yang berbeda-beda berdasarkan bidang
perawatan dan jenis populasi pasien yang dilayani. Dengan demikian, perawat bertanggung
jawab atas edukasi pasien, antara lain (McQuerrey, 2019);
2.2.3.1 Dalam Memahami Kondisi Pasien
Perawat sering mendiskusikan diagnosis dengan pasien dan anggota keluarga agar apa
yang terjadi dapat dipahami oleh pasien dan juga keluarga. Perawat mendorong pasien
untuk bertanya tentang pilihan dan hasil pengobatan, tentang kebutuhan perawatan dan
pemulihan, atau harapan manajemen kondisi saat ini.
2.2.3.2 Manajemen Pengobatan
Peran perawat sebagai educator sangat penting dalam hal manajemen obat, mengajarkan
pasien tentang obat apa yang diresepkan, apa yang harus dilakukan, dan apa yang harus
diperhatikan dalam hal efek samping. Perawat juga memberikan edukasi tentang dosis
obat,waktu yang tepat untuk minum obat apakah saat perut penuh atau kosong, dan kapan
waktu yang tepat dalam memperhatikan efek obat yang sudah dikonsumsi.
2.2.3.3 Memberikan Pengarahan
Contohnya apabila pasien sudah melewati operasi besar atau mengalami pergelangan
kaki terkilir, perawat sebagai educator akan memberikan edukasi tentang perawatan
lanjutan ketika di rumah. Prosedur bagaimana mengganti balutan verban, kapan saat yang
tepat untuk melakukan penggantian verban, atau melakukan serangkaian latihan gerakan.
Bersedia dihubungi oleh pasien apabila pasien memerlukan konsultasi.
2.2.3.4 Teknik Caregiver
Perawat memberikan pendidikan secara holistik, yang berarti melibatkan keluarga atau
caregiver dalam diskusi edukasi pasien. Pendekatan keperawatan edukasi pasien ini
membantu memastikan pasien, keluarga, dan caregiver memahami apa yang diharapkan
dan cara terbaik untuk mencapai pemulihan dan hasil perawatan yang optimal. Meliputi
arahan tentang cara memandikan pasien bedrest, cara membawa pasien dengan aman
keluar-masuk menggunakan kursi roda, cara mmelakukan perawatan luka, dan cara
memantau kemajuan dan memeriksa tanda-tanda vital.
2.2.3.5 Perawat sebagai Advokat
Perawat pendidik tidak hanya memberikan arahan perawatan; tetapi juga menilai apakah
pasien atau caregiver mengerti informasi yang didistribusikan. Perawat sebagai pendidik
di bidang kesehatan perlu mengajukan pertanyaan untuk memastikan pemahaman pasien
dan keluarga. Perawat diharapkan dapat memberikan instruksi ulang dan klarifikasi lebih
lanjut apabila diperlukan.

Menjadi bagian dari profesi keperawatan membutuhkan kemampuan untuk berkomunikasi


dengan baik dengan pasien, berbicara dengan cara yang efektif dan menenangkan, dan
menyampaikan informasi penting dengan cara yang jelas, penuh kasih sayang. Dengan demikian,
edukasi pasien dalam keperawatan meliputi pelatihan perawat di berbagai bidang seperti
keterampilan komunikasi dan mendengarkan secara aktif. Perawat dengan bakat luar biasa dan
gelar yang lebih tinggi dapat memajukan karir perawat sebagai instruktur keperawatan dalam
pengaturan pendidikan formal (McQuerrey, 2019).

Tentunya hal ini sangat membutuhkan dukungan institusional untuk mengoptimalkan praktik
keperawatan. Secara keseluruhan, bukti menunjukkan bahwa staf perawat melakukan kerja sama
dengan profesional lain yang bekerja di rumah sakit untuk memberikan perawatan yang berpusat
pada pasien (Arora et al., 2017; Bergh, Karlsson, Persson, & Friberg, 2012; Dahlke et al., 2018;
London, 2009). Staf perawat mengidentifikasi peran perawat sebagai faktor penting dalam
memfasilitasi komunikasi antara tim perawat dan tim profesional dalam mendukung keputusan
perawatan yang berpusat pada pasien (Dahlke et al., 2018).

280220
Perawat profesional memiliki beragam tanggung jawab yang berbeda-beda berdasarkan bidang
perawatan dan jenis populasi pasien yang dilayani.
Profesi keperawatan membutuhkan kemampuan untuk berkomunikasi yang baik dengan pasien,
berbicara dengan cara yang efektif dan menenangkan, serta menyampaikan informasi penting
dengan cara yang jelas, penuh kasih sayang. Edukasi pasien dalam keperawatan meliputi
pelatihan perawat di berbagai bidang seperti keterampilan komunikasi dan mendengarkan secara
aktif. Perawat dengan bakat luar biasa dan gelar yang lebih tinggi dapat memajukan karir
perawat sebagai instruktur keperawatan dalam pengaturan pendidikan formal (McQuerrey,
2019).

Tentunya hal ini sangat membutuhkan dukungan institusional untuk mengoptimalkan praktik
keperawatan. Secara keseluruhan, bukti menunjukkan bahwa staf perawat melakukan kerja sama
dengan profesional lain yang bekerja di rumah sakit untuk memberikan perawatan yang berpusat
pada pasien (Arora et al., 2017; Bergh et al., 2012; Dahlke et al., 2018; London, 2009). Staf
perawat mengidentifikasi peran perawat sebagai faktor penting dalam memfasilitasi komunikasi
antara tim perawat dan tim profesional dalam mendukung keputusan perawatan yang berpusat
pada pasien (Dahlke et al., 2018).

(Patiraki, Katsaragakis, Dreliozi, & Prezerakos, 2015)


Mayoritas peserta melaporkan sedikit pengetahuan dan pengalaman dalam pelaksanaan proses
keperawatan dan rencana perawatan sebelum dan setelah intervensi pendidikan, dan tidak ada
perbedaan statistik antara tanggapan mereka. Perlu dicatat bahwa tidak satu pun dari peserta
melaporkan pengetahuan atau pengalaman yang sangat baik dalam pelaksanaan proses
keperawatan dan perencanaan perawatan. Hasil ini menunjukkan bahwa perawat mungkin
melebih-lebihkan pengetahuan dan pengalaman mereka untuk pelaksanaan proses keperawatan
dan rencana asuhan keperawatan sebelum intervensi pendidikan. Meskipun mengambil bagian
dalam intervensi pendidikan memberi mereka pengetahuan tentang isi proses keperawatan dan
rencana perawatan, tanggapan mereka untuk pengetahuan secara keseluruhan tidak meningkat
secara signifikan, tetapi tetap hampir sama. Pelestarian sikap moderat mereka untuk dokumentasi
perawatan dengan menggunakan proses keperawatan adalah karena keyakinan asli mereka yang
salah tentang penggunaan standar. Akibatnya, hasilnya mengungkapkan bahwa peserta
melaporkan apa yang ingin mereka gunakan untuk dokumentasi asuhan keperawatan daripada
apa yang sebenarnya mereka gunakan.

Mengenai skenario klinis alih-alih mencalonkan diagnosis keperawatan sesuai dengan klasifikasi
NANDA-I, para peserta menominasikan diagnosis medis, penilaian keperawatan, hasil, dan
sebagian besar intervensi sebelum intervensi pendidikan, tetapi setelah itu, tanggapan peserta
meningkat secara statistik signifikan. Terlepas dari menurunnya jumlah masalah kesehatan
pasien berdasarkan skenario, para peserta menominasikan hanya diagnosis keperawatan, yang
dipilih dari katalog pendek dari total 36 diagnosis keperawatan yang diajarkan selama intervensi
pendidikan. Tanggapan peserta mengenai pemilihan dan perumusan yang tepat dari karakteristik
yang menentukan secara statistik meningkat secara signifikan setelah intervensi pendidikan.

Sebagai kesimpulan, penelitian ini mengungkapkan bahwa intervensi pendidikan yang


terorganisir dengan baik dan terstruktur dapat meningkatkan sikap, pengetahuan, dan
keterampilan perawat. Diagnosis keperawatan, intervensi, dan hasil tidak boleh diajarkan secara
terpisah, tetapi harus diintegrasikan seperti dalam kasus intervensi saat ini (Muller-Staub et al.,
2007). Pengetahuan, sikap, dan tingkat keterampilan perawat penting untuk memahami dan
mengintegrasikan dokumentasi ke proses keperawatan dalam praktik sehari-hari dan karenanya
untuk memastikan hasil positif bagi pasien. Meskipun perawat tampaknya memiliki sikap positif
terhadap dokumentasi dan proses keperawatan, kesenjangan yang signifikan dalam pengetahuan
dan keterampilan dalam hal perencanaan dan dokumentasi perawatan keperawatan masih tetap
ada.

Hasil penelitian Patiraki et al., (2015) mengungkapkan bahwa intervensi pemberian edukasi
pasien yang terorganisir dengan baik dan terstruktur dapat meningkatkan sikap, pengetahuan,
dan keterampilan perawat. Perawat memiliki sikap positif terhadap dokumentasi dan proses
keperawatan tetapi masih tampak kesenjangan yang signifikan pada pengetahuan dan
keterampilan dalam hal perencanaan dan dokumentasi keperawatan (Patiraki et al., 2015).
(Hariyati, Igarashi, Fujinami, Susilaningsih, & Prayenti, 2017)
Secara umum, sebagian besar profesi kesehatan di rumah sakit ditempati oleh perawat; dengan
demikian, perawat memainkan peran penting dalam layanan kesehatan dan memegang tanggung
jawab memberikan perawatan kepada pasien secara profesional dan aman. Oleh karena itu,
kemampuan untuk mencegah dan meminimalkan kesalahan yang mungkin mereka buat juga
sangat penting. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi persepsi perawat tentang
Career Ladder System (CLS), Pengembangan Profesional Berkelanjutan (CPD) untuk perawat
dan korelasi antara persepsi dan kepuasan kerja perawat. Metode survei deskriptif dan non-
eksperimental digunakan untuk penelitian ini. Survei dilakukan di delapan rumah sakit.
Penjawab dipilih dengan pengambilan sampel proporsional dan ukuran sampel adalah 1487
perawat. Data dianalisis dengan menggunakan Deskriptif dan Korelasi Spearmen dan Skala
Kepuasan Kerja Pertambangan (MNPJSS). Temuan: Ada korelasi positif antara CPD dan
kepuasan perawat, di mana persepsi yang lebih baik dari CPD akan meningkatkan kepuasan
perawat, sedangkan korelasi negatif ditemukan antara penerapan sistem dan kepuasan. Implikasi:
Pemahaman yang baik tentang implementasi CLS akan meningkatkan harapan perawat dan jika
harapan tidak tercapai, itu akan mengurangi kepuasan. Hasil penelitian ini harus digunakan
sebagai peluang untuk perbaikan dalam penerapan sistem karir keperawatan di 8 rumah sakit
Indonesia.

Implementasi sistem tangga karier klinis telah diterapkan di beberapa negara yang telah terbukti
mampu meningkatkan kompetensi dan keselamatan pasien, tetapi kondisi implementasi di
Indonesia masih memiliki beberapa kendala. Penerapan sistem tangga karier klinis di Indonesia
relatif baru, meskipun penerapannya telah dimulai pada tahun 2006. Standar nasional tentang
penerapan sistem karier klinis belum ditetapkan. Beberapa rumah sakit telah menerapkan
menggunakan standar Asosiasi Perawat Indonesia, tetapi implementasinya masih beragam.
Banyak rumah sakit tidak diberi tahu tentang hal itu implementasi dan cara meningkatkan
kompetensi. CPD lain dilaporkan dilaksanakan tidak sesuai dengan kompetensi perawat. Peluang
untuk mendapatkan CPD tidak merata. CPD juga belum diimplementasikan berdasarkan
penilaian kebutuhan kompetensi perawat. Mayoritas perawat di Indonesia adalah lulusan sekolah
kejuruan dan hanya sekitar 20 persen sarjana keperawatan. Di Indonesia, sebelum
memperkenalkan sistem jenjang karier, latar belakang pendidikan juga merupakan salah satu
prasyarat penting untuk mengalokasikan tugas dan tanggung jawab.
Itu sebabnya otorisasi tugas yang tidak jelas mempengaruhi kepuasan perawat. Dalam penerapan
sistem jenjang karier masih memiliki beberapa masalah terkait pengembangan profesi
berkelanjutan yang tidak didasarkan pada kebutuhan dalam pengembangan dan persyaratan
kompetensi. Meskipun tangga karier telah diterapkan di beberapa rumah sakit sejak 2006, studi
eksplorasi peningkatan kompetensi keperawatan melalui penerapan tangga karier dan CPD di
Indonesia belum diimplementasikan dan belum pernah dipublikasikan.

Studi ini menemukan bahwa alokasi staf yang tidak didasarkan pada kompetensi yang ditentukan
oleh Sistem Tangga Karir dapat menyebabkan kendala implementasi sistem. Di Indonesia,
alokasi perawat yang tepat sulit karena sebagian besar perawat adalah lulusan pendidikan
kejuruan. Dalam situasi ini, perawat dipaksa untuk memberikan perawatan keperawatan yang
melampaui kompetensi mereka dan menyebabkan perawatan yang tidak tepat diberikan.

Alokasi atau pemetaan perawat akan dimaksimalkan dengan menggunakan Sistem Tangga Karir.
Seperti yang ditunjukkan oleh hasil penelitian, di Indonesia, kombinasi keterampilan dalam
alokasi tidak tepat dan itu akan menyebabkan pemberian perawatan keperawatan yang tidak tepat
kepada pasien. Di Indonesia, tanggung jawab perawat disahkan berdasarkan kompetensi.
Memanfaatkan Sistem Tangga Karier untuk menilai kompetensi perawat dan mengalokasikan
perawat sesuai dengan kompetensi mereka memastikan kecocokan antara kompetensi perawat
dan kompetensi yang diperlukan di setiap bangsal (Hariyati et al., 2017).
(Sandehang, Hariyati, & Rachmawati, 2019)
Rumah Sakit X adalah rumah sakit yang baru dibuka yang telah menerapkan pemetaan karier
perawat dan telah secara aktif bekerja untuk mencapai akreditasi. Rumah sakit baru yang
mempekerjakan perawat dengan beban kerja yang berat menguntungkan untuk mempromosikan
program pengembangan. Rumah sakit perlu menyiapkan tenaga keperawatan mereka melalui
perencanaan yang jelas. Ini perlu menjadi proses yang sedang berjalan yang digunakan untuk
menyelaraskan prioritas organisasi dengan prioritas tenaga kerjanya untuk memastikan dapat
memenuhi persyaratan layanan dan perilaku yang diharapkan dari organisasi. Penilaian
kompetensi pada awal pemetaan tahap karir dapat mengarahkan perawat untuk menguasai
kompetensi inti. Ini adalah persyaratan dasar yang dapat menjadi keuntungan signifikan bagi
rumah sakit. Penempatan kerja yang tidak akurat, di mana perawat tidak memiliki kualifikasi
atau kompetensi yang diperlukan, dapat menyebabkan perawat berkinerja buruk dan gagal
memberikan layanan yang optimal. Tidak hanya pengembangan karier menjadi tanggung jawab
organisasi, itu juga merupakan tanggung jawab setiap perawat untuk meningkatkan kariernya
sendiri tanpa bergantung pada manajemen. Pemetaan karir perlu dipahami sebagai upaya untuk
pengembangan profesional serta perawatan yang memadai, tidak hanya untuk memenuhi
persyaratan akreditasi (Sandehang et al., 2019).

Rumah sakit tempat penulis mengumpulkan data telah menerapkan sistem tangga karier yang
membuat beberapa CPD digerakkan untuk mengisi kesenjangan dalam kompetensi. Penelitian ini
menandai adanya korelasi signifikan yang moderat antara persepsi sistem implementasi CPD dan
kepuasan dengan penerapan jenjang karier yang berarti persepsi yang baik tentang implementasi
CPD akan meningkatkan kepuasan NSLS. CPD berkorelasi sedang dengan kepuasan berarti ada
faktor-faktor lain yang mempengaruhi kepuasan perawat. Penghargaan, remunerasi, otonomi,
dan lingkungan berkontribusi pada peningkatan tingkat kepuasan. Tangga karier dengan
komponen CPD juga terbukti meningkatkan kepuasan perawat10. Hasil ini sesuai dengan temuan
sebelumnya yang menyatakan bahwa sistem CPD mampu meningkatkan kepuasan perawat dan
mengurangi giliran mereka selama 20 tahun. Sistem tangga karier dapat memengaruhi kepuasan
dan kompetensi CPD perawat secara positif, seperti dalam keterampilan klinis dan
penilaian21,17. Beberapa studi mengklaim bahwa jalur karier dan kompetensi efektif untuk
meningkatkan rekrutmen dan retensi staf yang berpengalaman, mendorong pengembangan
profesional, membangun sistem penghargaan yang efektif untuk memajukan kinerja klinis,
memperkuat kualitas praktik keperawatan dan menghargai staf perawat yang memberikan
keunggulan dalam perawatan pasien. . Di sisi lain, tangga klinis dikembangkan untuk
meningkatkan kompetensi22 dan meningkatkan kepuasan perawat. Implementasi CNL
menghasilkan kolaborasi dan komunikasi yang baik dengan penyedia layanan kesehatan dan
mengurangi biaya perawatan. Selain itu, karir untuk penyedia klinis juga meningkatkan tingkat
kepuasan perawat, tingkat retensi perawat dan penurunan turnover perawat2 (Hariyati & Safril,
2017).
Keberhasilan pemberian pelayanan kesehatan yang diterima pasien merupakan hasil kontribusi
sebagian besar dari perawat (Potter, Perry, Stockert, & Hall, 2003) harusnya poterperry 2013.

(Kemenpanrb, 2019)
Jabatan fungsional perawat merupakan lingkup pekerjaan, dan pembebanan tanggung jawab
dalam pemerintahan untuk melakukan kegiatan pelayanan keperawatan sesuai dengan undang-
undang yang berlaku (Kemenpanrb, 2019). Jabatan fungsional perawat dikategorikan menjadi
dua bagian, yaitu keterampilan dan keahlian. Kategori perawat keterampilan terdiri atas perawat
terampil,perawat mahir, dan perawat penyelia. Kategori perawat keahlian terdiri dari jenjang
terendah meliputi perawat ahli pertama, muda madya, dan utama.

(Kemenkes RI, 2017)

Perawat membutuhkan suatu mekanisme untuk mendukung upaya peningkatan profesionalisme


perawat dalam memberikan asuhan keperawatan yang berkualitas. Mekanisme pendukung itu
salah satunya dengan melakukan pengembangan karir pada perawat. Pengembangan karir
perawat merupakan mekanisme yang digunakan untuk menempatkan perawat pada jenjang yang
sesuai dengan keahliannya, kemampuan dan potensi yang dimiliki oleh seorang perawat
(Kemenkes RI, 2017)..

Pengembangan karir profesional perawat mencakup empat peran utama perawat yaitu, Perawat
Klinis (PK), Perawat Manajer (PM), Perawat Pendidik (PP), dan Perawat Peneliti/Riset (PR).
Perawat Klinis (PK) yaitu, perawat yang memberikan asuhan keperawatan langsung kepada klien
sebagai individu, keluarga, kelompok, dan masyarakat. Perawat Manajer (PM) yaitu, perawat
yang mengelola pelayanan keperawatan di sarana kesehatan, baik sebagai pengelola tingkat
bawah (front line manager), tingkat menengah (middle management), maupun tingkat atas (top
manager). Perawat Pendidik (PP) yaitu, perawat yang memberikan pendidikan kepada peserta
didik di institusi pendidikan keperawatan. Perawat Peneliti/Riset (PR) yaitu, perawat yang
bekerja di bidang penelitian keperawatan/kesehatan.

Masing-masing pengembangan karir perawat di Rumah Sakit maupun Pelayanan Primer


memiliki 5 (lima) level yaitu, level I sampai dengan level V. Jalur perawat klinis memungkinkan
peralihan jalur karir ke Perawat Manajer, Perawat Pendidik, atau Perawat Riset. Peralihan jalur
karir akan diatur dalam pedoman yang terpisah dari pedoman ini.

Pengembangan sistem jenjang karir profesional bagi perawat dapat dibedakan antara tugas
pekerjaan (job) dan karir (carieer). Pekerjaan sebagai perawat diartikan sebagai suatu posisi atau
jabatan yang diberikan/ditugaskan, serta ada keterikatan hubungan pertanggung jawaban dan
kewenangan antara atasan dan bawahan, dan mendapatkan imbalan penghargaan berupa uang.
Karir sebagai perawat diartikan sebagai suatu bidang kerja yang dipilih dan ditekuni oleh
individu untuk dapat memenuhi kepuasan kerja individu melalui suatu sistem dan mekanisme
peringkat, dan bertujuan untuk meningkatkan keberhasilan pekerjaan (kinerja) sehingga pada
akhirnya akan memberikan kontribusi terhadap bidang profesi yang dipilihnya.

Pengembangan karir profesional perawat mendorong perawat menjadi perawat profesional atau
Ners teregister (RN). Perawat profesional diharapkan mampu berpikir rasional, mengakomodasi
kondisi lingkungan, mengenal diri sendiri, belajar dari pengalaman dan mempunyai aktualisasi
diri sehingga dapat meningkatkan jenjang karir profesinya.

(Kemenpanrb, 2019)
Perawat dengan jabatan fungsional bertugas melakukan kegiatan pelayanan keperawatan yang
meliputi asuhan keperawatan, dan pengelolaan keperawatan.

Asuhan keperawatan merupakan rangkaian interaksi antara perawat, pasien dan lingkungannya
untuk mencapai tujuan pemenuhan kebutuhan dan kemandirian pasien dalam merawat dirinya.
Jenjang jabatan fungsional perawat kategori keahlian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dari
jenjang terendah sampai dengan jenjang tertinggi, yaitu:
a. Perawat Ahli Pertama;
b. Perawat Ahli Muda;
c. Perawat Ahli Madya; dan
d. Perawat Ahli Utama.

Uraian kegiatan tugas jabatan fungsional Perawat kategori keterampilan sesuai jenjang jabatan,
ditetapkan dalam butir kegiatan sebagai berikut:
a. Perawat Terampil, meliputi:
melakukan pengkajian keperawatan dasar pada individu; melakukan komunikasi terapeutik
dalam pemberian asuhan keperawatan; melaksanakan edukasi tentang perilaku hidup bersih
dan sehat dalam rangka melakukan upaya promotif; memfasilitasi penggunaan alat-alat
pengamanan/ pelindung fisik pada pasien untuk
mencegah risiko cedera pada individu dalam rangka upaya preventif; memberikan oksigenasi
sederhana; memberikan tindakan keperawatan pada kondisi gawat darurat/ bencana/ kritikal;
memfasilitasi suasana lingkungan yang tenang dan aman serta bebas risiko penularan infeksi;
melakukan intervensi keperawatan spesifik yang sederhana pada area medikal bedah; melakukan
intervensi keperawatan spesifik yang sederhana di area anak; melakukan intervensi keperawatan
spesifik yang sederhana di area maternitas; melakukan intervensi keperawatan spesifik yang
sederhana di area komunitas; melakukan intervensi keperawatan spesifik yang
sederhana di area jiwa; melakukan tindakan terapi komplementer/holistik; melakukan tindakan
keperawatan pada pasien dengan intervensi pembedahan pada tahap pre/intra/post operasi;
memberikan perawatan pada pasien dalam rangka melakukan perawatan paliatif; memberikan
dukungan/fasilitasi kebutuhan spiritual pada kondisi kehilangan/berduka/menjelang ajal dalam
pelayanan keperawatan; melakukan perawatan luka; dan melakukan dokumentasi tindakan
keperawatan.

Perawat Mahir, meliputi:


melakukan pengkajian keperawatan dasar pada keluarga; melakukan komunikasi terapeutik
dalam pemberian asuhan keperawatan; melakukan imunisasi pada individu dalam rangka
melakukan upaya preventif; melakukan restrain/fiksasi pada pasien dalam rangka melakukan
upaya preventif asuhan keperawatan; memfasilitasi penggunaan pelindung diri dari stressor pada
kelompok dalam rangka
melakukan upaya preventif asuhan keperawatan; memberikan oksigenasi sederhana; memberikan
tindakan keperawatan pada kondisi gawat darurat/ bencana/ kritikal; memfasilitasi suasana
lingkungan yang tenang dan aman serta bebas risiko penularan infeksi; melakukan intervensi
keperawatan spesifik yang
sederhana pada area medikal bedah; melakukan intervensi keperawatan spesifik yang sederhana
di area anak; melakukan intervensi keperawatan spesifik yang sederhana di area maternitas;
melakukan intervensi keperawatan spesifik yang sederhana di area komunitas; melakukan
intervensi keperawatan spesifik yang sederhana di area jiwa; melakukan tindakan terapi
komplementer/holistik; melakukan tindakan keperawatan pada pasien dengan intervensi
pembedahan pada tahap pre/intra/post operasi; memberikan perawatan pada pasien dalam rangka
melakukan Perawatan Paliatif; memberikan dukungan/fasilitasi kebutuhan spiritual pada kondisi
kehilangan/ berduka/menjelang ajal dalam pelayanan keperawatan; melakukan tindakan
keperawatan pemenuhan kebutuhan nutrisi; melakukan tindakan keperawatan pemenuhan
kebutuhan eliminasi; melakukan tindakan keperawatan pemenuhan kebutuhan mobilisasi;
melakukan tindakan keperawatan pemenuhan kebutuhan istirahat dan tidur; melakukan tindakan
keperawatan pemenuhan kebutuhan kebersihan diri; melakukan tindakan keperawatan
pemenuhan kebutuhan rasa nyaman dan pengaturan suhu tubuh; melakukan massage pada kulit
tertekan yang berkaitan dengan kasus cedera; melakukan perawatan luka; melakukan Range of
Motion (ROM) pada pasien dengan berbagai kondisi dalam rangka melakukan upaya rehabilitatif
pada individu; melatih mobilisasi pasien dengan berbagai kondisi dalam rangka melakukan
upaya rehabilitatif pada individu; dan melakukan dokumentasi tindakan keperawatan.

Perawat Penyelia, meliputi:


melakukan pengkajian keperawatan dasar pada kelompok; melakukan pengkajian keperawatan
dasar pada masyarakat; melakukan komunikasi terapeutik dalam pemberian asuhan
keperawatan; melakukan upaya promotif pada individu dalam
pelayanan keperawatan; melakukan upaya promotif pada kelompok dalam pelayanan
keperawatan; melakukan isolasi pasien sesuai kondisinya dalam rangka upaya preventif pada
individu; memberikan tindakan keperawatan pada kondisi gawat darurat/ bencana/ kritikal;
melakukan intervensi keperawatan spesifik yang
sederhana pada area medikal bedah; melakukan intervensi keperawatan spesifik yang sederhana
di area maternitas; melakukan intervensi keperawatan spesifik yang
sederhana di area komunitas; melakukan intervensi keperawatan spesifik yang sederhana di area
jiwa; melakukan intervensi keperawatan spesifik yang sederhana pada area anak; melakukan
tindakan terapi komplementer/holistik; melakukan tindakan keperawatan pada pasien dengan
intervensi pembedahan pada tahap pre/intra/ post operasi; memberikan perawatan pada pasien
dalam rangka melakukan perawatan paliatif; memberikan dukungan/fasilitasi kebutuhan spiritual
pada kondisi kehilangan/berduka/menjelang ajal dalam pelayanan keperawatan; melakukan
tindakan keperawatan pemenuhan kebutuhan nutrisi; melakukan tindakan keperawatan
pemenuhan kebutuhan eliminasi; melakukan tindakan keperawatan pemenuhan kebutuhan
mobilisasi; melakukan tindakan keperawatan pemenuhan kebutuhan istirahat dan tidur; elakukan
tindakan keperawatan pemenuhan kebutuhan kebersihan diri; melakukan tindakan keperawatan
pemenuhan kebutuhan rasa nyaman dan pengaturan suhu tubuh; melakukan perawatan luka;
melakukan pemantauan perkembangan pasien sesuai dengan kondisinya; melakukan isolasi
pasien imunosupresi pada pasien kasus cedera; memberikan perawatan pada pasien terminal; dan
melakukan dokumentasi tindakan keperawatan.

Uraian kegiatan tugas jabatan fungsional Perawat kategori keahlian sesuai jenjang jabatan,
ditetapkan dalam butir kegiatan sebagai berikut:
a. Perawat Ahli Pertama, meliput

Hasil kerja tugas jabatan fungsional perawat kategori keterampilan (sesuai pasal 8 ayat 1 jenjang
jabatan):
1. Perawat terampil
2. Catatan keperawatan/ laporan komunikasi terapeutik dalam pemberian asuhan
keperawatan
3. Catatan keperawatan/ logbook pelaksanaan edukasi tentang perilaku hidup bersih dan
sehat dalam rangka melakukan upaya promotif
4. Catatan keperawatan/ logbookpemberian oksigenasi, tindakan terapi komplementer,
tindakan intervensi pembedahan, perawatan dll

Pasal 57: Perawat kategori keterampilan dengan pendidikan dibawah D-III (Diploma III)
Keperawatan melaksanakan tugas pada jenjang jabatan Perawat kategori keterampilan sesuai
dengan jenjang jabatan yang saat ini sedang diduduki.

Pasal 58: Perawat dengan pendidikan D-IV (Diploma IV) keperawatan atau
Sarjana Keperawatan (S.Kep) menduduki jabatan fungsional perawat kategori keahlian tetap
dapat melaksanakan tugas pada jenjang jabatan fungsionalnya
dan dapat diusulkan kenaikan pangkat dalam jenjang jabatan yang saat ini diduduki.
---------------------------------------------------------------------------

Determinan Pemberian Edukasi Pasien


The Joint Commission pada Desember 2015 meluncurkan kampanye untuk mengurangi
penerimaan kembali (readmission) dengan menyediakan sumber daya layanan kesehatan dan
turut melibatkan pasien dan keluarga dalam proses perencanaan kepulangan. Data The Joint
Commission pada 197 kejadian adalah kegagalan dalam komunikasi pasien, edukasi pasien, dan
hak-hak pasien. Tinjauan komunikasi selama proses pemulangan rumah sakit menemukan bahwa
ringkasan pemulangan seringkali kurang informasi dan edukatif tentang konseling, perawatan,
terapi saat pulang, hasil tes, dan rencana tindak lanjut (Joint Commision International, 2015).
Pemberian edukasi yang efektif dan efisien diperlukan karena perawat sering memiliki waktu
yang terbatas (Flanders, 2018). Perawat tidak merasa siap untuk menjadi pendidik yang efektif
dan membutuhkan dukungan untuk mengajar pasien dengan percaya diri (Sherman, 2016).
Alat edukasi kesehatan yang efektif digunakan oleh praktisi medis dalam mengembangkan
rencana manajemen perawatan yang berpusat pada pasien. Pengembangan alat-alat edukasi
kesehatan yang disesuaikan dengan kebutuhan individu untuk membantu meningkatkan hasil
perawatan pasien dalam hal kepatuhan terhadap saran medis dan perilaku hidup sehat. Alat
bantuan yang digunakan dalam memberikan edukasi kepada pasien dan keluarga akan
berpengaruh pada perubahan perilaku dan gaya hidup yang sehat serta peningkatan kepatuhan
terhadap pengobatan (Arora et al., 2017). Memberikan edukasi pasien yang efektif dan efisien
membutuhkan pengetahuan dan keterampilan. Perawat dapat meningkatkan kemampuan dalam
memberikan edukasi dengan praktik, pendidikan, dan bimbingan (Sherman, 2016; Svavarsdóttir
et al., 2015).

Pembelajaran harus dievaluasi untuk memastikan pasien memahami dan dapat menerapkan yang
telah diajarkan. Metode evaluasi yang direkomendasikan termasuk mengajar kembali dan
menunjukkan saya atau kembali demonstrasi (Brega et al., 2015;London, 2009). Proses mengajar
kembali melibatkan meminta pasien untuk menjelaskan yang telah dipahami dengan kata-kata
sendiri (Brega et al., 2015). Menggunakan kata-kata sendiri sangat penting agar perawat dapat
menilai pemahaman pasien. Para ahli merekomendasikan untuk menggunakan bahasa yang tidak
menghakimi sehingga pasien tidak merasa diuji (Brega et al., 2015). Perawat harus menilai
kebutuhan belajar, menetapkan tujuan pembelajaran dengan pasien, merencanakan dan
melaksanakan pendidikan, mengevaluasi pembelajaran, dan mendidik kembali sesuai kebutuhan
(Flanders, 2018). Pengajaran harus individual dan disesuaikan dengan kebutuhan dan
kemampuan masing-masing pasien. Pendidikan pasien harus didokumentasikan dan ditinjau
dalam rekam medis (London, 2009). Kegiatan edukasi pasien dan kebutuhan belajar harus
didiskusikan selama laporan handoff keperawatan. Komunikasi dengan HCP lain dapat
memastikan konsistensi, memperkuat pendidikan yang dilakukan oleh orang lain, dan
meminimalkan duplikasi yang tidak perlu. Lingkungan belajar yang mendukung, motivasi batin,
dan kesadaran akan nilai edukasi pasien dianggap sebagai faktor utama yang diperlukan untuk
menjadi pendidik ahli (Svavarsdóttir et al., 2015). (Determinannya apa)
2.2 Fasilitas/Aksesibilitas
2.3 Dukungan Sosial
Perawat membutuhkan lebih banyak dukungan dari keluarga, organisasi (rumah sakit), dan
masyarakat dalam menghadapi stres kerja. Dukungan dari organisasi yang dirasakan perawat
akan memotivasi untuk mengabdikan diri bekerja dan peduli dengan perkembangan organisasi
(Li, Zhang, Yan, Wen, & Zhang, 2020). Hasil penelitian di rumah sakit di China
mengungkapkan bahwa dukungan organisasi yang dirasakan perawat secara positif
mempengaruhi kesetiaan bekerja dan keberhasilan karir perawat (J. Liu & Liu, 2016). Kepuasan
kerja perawat dipengaruhi oleh keterlibatan kerja dan dukungan sosial dari atasan dan dari rekan
kerja dalam meningkatkan kualitas layanan, dan mengurangi niat berpindah pada staf
keperawatan (Orgambídez-Ramos & de Almeida, 2017). Dukungan sosial yang diterima perawat
dari atasan dan rekan kerja di tempat kerja memainkan peran penting dalam pencegahan
kelelahan untuk meningkatkan kualitas hidup perawat dan meningkatkan perawatan yang
diberikan (Velando-Soriano et al., 2019).

2.4 Karakteristik Pasien


Kualitas hidup pasien dengan PJK (Penyakit Jantung Koroner) secara umum baik dan bervariasi
dengan beberapa karakteristik pasien, termasuk usia, status perkawinan, dan status pekerjaan
(Apers et al., 2016). Salah satu hambatan yang dirasakan saat memberikan edukasi pada pasien
dengan gagal jantung yaitu masalah ingatan peserta (Ivynian, Newton, & DiGiacomo, 2020).
Hasil penelitian di Hong Kong mengungkapkan bahwa pasien psikosis awal dengan usia yang
lebih tua, tingkat pendidikan yang lebih rendah, hubungan keluarga negatif secara keseluruhan
dan durasi perawatan yang lebih pendek memiliki pengetahuan yang kurang tentang pengobatan
(Lau et al., 2018).

2.5 Dukungan Keluarga

Hasil penelitian di Orlando Regional Medical Center, Florida mengungkapkan bahwa


pengetahuan dan ketersediaan keluarga tidak berkorelasi signifikan dengan penerimaan kembali
pasien di rumah sakit yang tidak direncanakan (Geddie, Loerzel, & Norris, 2016).
Family Support Groups (FSG) telah dikembangkan untuk mendukung anggota keluarga dalam
menangani penyakit mental dan perintah tatanan yudisial (Rowaert, Vandevelde, Audenaert, &
Lemmens, 2018).

Beberapa anggota keluarga dan teman-teman pasien dengan kanker prostat mengalami tekanan
dan beban psikologis yang lebih besar dari pada pasien itu sendiri (Ihrig et al., 2018).

Anggota keluarga seringkali membutuhkan dukungan keluarga untuk terlibat dalam perencanaan
dan pengambilan keputusan selama perawatan (Ris, Schnepp, & Mahrer Imhof, 2019). Kualitas
perawatan pasien secara signifikan dapat dipengaruhi oleh peningkatan pemberdayaan dan
partisipasi keluarga dalam perawatan pasien (Mackie, Mitchell, & Marshall, 2018). Fungsi
keluarga berkorelasi positif dengan kesehatan keluarga (Cavonius-Rintahaka, Aho, Voutilainen,
Billstedt, & Gillberg, 2019)

2.6 Domain Perilaku


Notoatmodjo: pengetahuan (knowledge), sikap (affective), Praktik (Practice)
Robbins juga bilang gitu

2.6.1 Faktor yang mempengaruhi perilaku


Presdiposisi, pemungkin, penguat = green dalam notoatmodjo

2.6.2 Faktor yang mempengaruhi perilaku


Perilaku dan kinerja individu menurut Gibson (1996) dipengaruhi oleh tiga variabel, antar lain
variabel individu, variabel organisasi, dan variabel psikologis. Variabel
Variabel individu: Perilaku Individu Variabel Psikologis:
1. Kemampuan dan ¿ ¿ 1. Persepsi
keterampilan ¿ 2. Sikap
- Mental 3. Kepribadian
- Fisik 4. Belajar
- pengetahuan 5. Motivasi
2. Latar belakang
- Keluarga
- Tingkat sosial Variabel Organisasi:
- Pengalaman 1. Sumber Daya
3. Demografis 2. Kepemimpinan
- Umur 3. Imbalan:insentif
- Asal-usul 4. Struktur
- Jenis kelamin 5. Desain
- Pendidikan Pekerjaan: fungsi
- Masa Kerja manajemen
- Status
Kepegawaian
- Pelatihan

Skema 2. 1 Faktor yang Mempengaruhi Perilaku (Gibson, 1996)

2.6.3 Faktor Individu

(Robbins & Judge, 2017)


Wibowo, 2016. Manajemen Kinerja, Edisi Kelima, PT.Rajagrafindo Persada Jakarta-14240.

2.4.5.1 Demografi Individu

2.6.4 Faktor Organisasi


Dimensi faktor tingkat organisasi mencakup kapasitas organisasi, budaya organisasi, dan struktur
organisasi (Yan, Liu, & Skitmore, 2018).
Budaya organisasi merupakan identitas organisasi yang akan membentuk cara anggotanya
berperilaku dan pengambilan keputusan tim (Yan et al., 2018).

2.6.5 Faktor Psikologis

.
2.6.5.1 Motivasi

2.6.5.2 Rewards (hadiah) dan Punishment (hukuman)


Secara implisit, tanpa disadari, individu belajar tentang nilai ganjaran/ hadiah dan hukuman dari
setiap konteks dan aktivitas. Faktor perilaku akan dipengaruhi oleh keterampilan perilaku, niat,
dan adanya reinforcement dan hukuman yang berlaku (Mead & Irish, 2019). Dalam kehidupan
nyata, individu sering memiliki jadwal yang padat dan hanya menyisakan sedikit ruang untuk
perubahan ad hoc berdasarkan apa yang bermanfaat atau menghukum dan apa yang tidak
(Heininga, Van Roekel, Wichers, & Oldehinkel, 2017). Hasil penelitian Ding et al. (2017)
menunjukkan bahwa anak laki-laki lebih kecil kemungkinannya untuk mengalihkan respons
setelah menerima hukuman dan latensi Feedback-Related Negativity (FRN) yang lebih lama
daripada anak perempuan. Feedback-Related Negativity yang juga terkait dengan perbedaan
individu dalam sensitivitas hadiah, diamati hanya pada anak perempuan.

-----------------

Hubungan antara kemampuan dan keterampilan mengarah pada pengetahuan dan keterampilan,
yang pada gilirannya akan mempengaruhi perilaku seseorang dalam melakukan pekerjaan
(Sackett, Lievens, Iddekinge, & Kuncel, 2017).

Anda mungkin juga menyukai