Anda di halaman 1dari 18

Laporan Kerja

Praktek [BAB III TINJAUAN PERENCANAAN PROYEK]

BAB III

TINJAUAN PERENCANAAN PROYEK

3.1 UMUM

Perencanaan proyek merupakan suatu tahap penting dalam pelaksanaan suatu


proyek. Dalam tahap perencanaan muncul berbagai pokok pikiran yang menjadi akar-
akar lahirnya suatu maha karya di bidang ketekniksipilan yang nantinya diharapkan
berguna bagi masyarakat banyak. Diharapkan perencanaan yang dihasilkan nantinya
mempunyai nilai efisien serta memiliki ketepatan mutu, waktu, serta biaya. Nantinya
hasil perencanaan diharapkan menjadi acuan dalam monitoring dan controlling
proyek. Dalam perencanaan proyek, khususnya keairan, berlaku tahapan umum
proyek dengan istilah SIDLACOM yang berarti Survey, Investigation, Design, Land
Acquisition, Operation, dan Maintenance. Survey dan Investigation termasuk dalam
tahapan pra-perencanaan, sedangkan Design merupakan tahap perencanaan. Land
Acquisition, Operation, dan Maintenance merupakan eksekusi dari perencanaan
proyek. Untuk lebih jelasnya berikut merupakan diagram alir perencanaan Waduk
Jatibarang:
Pre-Feasibility Study
-Pendahuluan
-Pengumpulan data:
 Hidrologi
 Geografi
 Topografi, dll.

Feasibility Study
Pengkajian ulang dari data-
data yang telah dikumpulkan
sebelumnya Melakukan
Technical Planning.

Muchammad Lutfian Nabil | Pembangunan Waduk III-1


Jatibarang
L2A009014
Laporan Kerja
Praktek [BAB III TINJAUAN PERENCANAAN PROYEK]

Memenuhi persyaratan sosial, ekonomi,


teknis konstruksi yang berlaku Tidak Review Feasibility Study Tidak
Pembangunan tidak
dapat dilaksanakan.

Ya Ya
Design Engineering
Drawing (DED)

Pembangunan
dapat

Gambar 3.1 Diagram Alir Perencanaan Waduk Jatibarang

3.2 SURVEI PENDAHULUAN

Saat musim hujan datang, air yang mengalir di sungai Kreo dan sungai-sungai
lain di sekitarnya di wilayah Kabupaten Semarang mengalami peningkatan jumlah.
Sebagian besar air yang melalui sungai-sungai tersebut terbuang begitu saja tanpa
dapat dimanfaatkan terlebih dahulu. Dampak yang paling nampak seringkali
menimbulkan banjir bagi kawasan sekitar sungai. Namun, sistem irigasi yang ada di
Kabupaten Semarang mengalami kekurangan air pada musim kemarau. Tak jarang
pula krisis air baku untuk urusan domestik, kota, dan industri juga kerap melanda di
wilayah hilir sungai.

Untuk mengantisipasi hal-hal di atas, maka timbul pemikiran untuk


membangun Waduk Jatibarang yang bersifat multiguna. Waduk ini nantinya
diharapkan mampu mengantisipasi masalah banjir, memanfaatkan air yang ada
menjadi sesuatu yang lebih berguna, serta memangkas defisit air. Demi melihat
Muchammad Lutfian Nabil | Pembangunan Waduk III-2
Jatibarang
L2A009014
Laporan Kerja
Praktek [BAB III TINJAUAN PERENCANAAN PROYEK]

potensi topografi, geologi, hidrologi, serta geodesi yang dimiliki untuk menunjang
pembangunan waduk, maka dilakukan beberapa survei pendahuluan terkait dengan
potensi-potensi tesebut.

3.2.1 Data Topografi

Data topografi merupakan data yang menunjukkan rinci keadaan muka


bumi suatu lokasi. Kondisi topografi yang ada pada lokasi perencanaan waduk
yaitu berbukit-bukit dan badan Sungai Kreo yang mengalir dari arah selatan
menuju utara yang terletak di antara dua tebing curam di sisi barat dan timurnya
seperti yang ditunjukkan gambar 3.2 berikut.

Gambar 3.2 Kondisi Topografi Sungai Kreo

3.2.2 Data Geologi

Data geologi merupakan kumpulan fakta yang didapat dari kajian


tentang komposisi struktur dan sejarah bumi. Data ini mempunyai peran vital
dalam setiap pembangunan. Kondisi geologi yang ada di lokasi pembangunan
waduk Jatibarang yaitu batuan yang terdapat pada lapangan terdiri dari batuan
sedimen dari formasi Damar dari bagian akhir tersier dengan periode kuaterner.
Batuan sedimen ini merupakan batuan piroklastik yang cukup keras, yaitu
breksi.

Berdasarkan data geologi yang ada pada areal pembangunan diambil


kesepakatan bahwa tipe bendungan yang akan dibangun untuk Pembangunan

Muchammad Lutfian Nabil | Pembangunan Waduk III-3


Jatibarang
L2A009014
Laporan Kerja
Praktek [BAB III TINJAUAN PERENCANAAN PROYEK]

Waduk Jatibarang adalah bendungan tipe bendungan urugan batu berlapis


dengan inti di tengah.

3.2.3 Data Debit Banjir Rancangan

Data hidrologi merupakan kumpulan fakta-fakta atau keterangan


mengenai fenomena hidrologi yang terjadi. Pada dasarnya analisis, kajian, serta
perhitungan yang melibatkan data hidrologi ini adalah untuk mendapatkan debit
banjir yang harus mampu dikelola oleh Waduk Jatibarang ini. Berikut adalah
data debit rancangan untuk Waduk Jatibarang:

Tabel 3.1 Debit Banjir Rancangan Waduk Jatibarang

No. Kala Ulang (Tahun) Debit Banjir Rancangan 1959-1996 (m3/detik)

1 2 130.0

2 3 154.0

3 5 180.7

4 8 203.7

5 10 214.3

6 20 246.5

7 25 256.7

8 30 265.0

9 40 278.1

10 50 288.2

11 60 296.4

12 80 309.4

13 100 319.4

14 150 337.6

15 200 350.5

16 1000 422.6

Muchammad Lutfian Nabil | Pembangunan Waduk III-4


Jatibarang
L2A009014
Laporan Kerja
Praktek [BAB III TINJAUAN PERENCANAAN PROYEK]

Sumber: Dokumen Kontrak Pembangunan Waduk Jatibarang Volume 2 (2009)


Untuk Waduk Jatibarang, tubuh bendungan didesain menggunakan kala
ulang 50 tahun dengan besar debit rancangan 288,2 m3/detik.

3.3 PERENCANAAN BENDUNGAN

Dalam proses perencanaan, Bendungan Jatibarang didesain menggunakan


gabungan standar baik Indonesia, Jepang, dan lainnya. Berikut merupakan daftar
beberapa referensi yang digunakan:

1. Flood Control Manual, Ministry of Public Works, Government of


Indonesia.

Muchammad Lutfian Nabil | Pembangunan Waduk III-5


Jatibarang
L2A009014
Laporan Kerja
Praktek [BAB III TINJAUAN PERENCANAAN PROYEK]

2. Peta Zona Gempa dan Cara Penggunaannya sebagai Usulan dalam


Perencanaan Bangunan Pengairan Tahan Gempa, Puslitbang Pengairan
(IHE-Bandung, 1994)
3. Design Criteria for Dams, Japanese National Comittee on Large Dams.

4. Manual for River Works in Japan, Design of Dams, River Bureau, Ministry
of Construction.
5. United States Department of the Interior Bureau of Reclamation (USBR),
"Design of Samll Dams"
6. Suyono Sosrodarsono Dr. & Kensaku Takeda, "Bendungan Tipe Urugan",
PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 1989, dll.
3.3.1 Pemilihan Lokasi Bendungan

Pemilihan lokasi bendungan didasarkan oleh data-data yang telah


dikumpulkan yang meliputi data hidrologi, data geologi, data geodesi, serta data
topografi. Semua disiplin memberikan pengaruhnya masing-masing untuk
mentukan letak bendungan. Apabila menilik kepada kondisi lapangannya, lokasi
bendungan sebaiknya dibangun di antara 2 tebing yang akan membuat bendung
lebih ekonomis, mempunyai luas genangan yang besar sehingga mampu
maksimal memberi kontribusi pada pemanfaatan air, mempunyai potensi debit
air yang cukup, letak sumber material untuk pembangunan, dll.

Dari pertimbangan-pertimbangan yang ada, sejak masa feasibility study,


perencana telah menetapkan lokasi utama pembangunan dan diikuti 7 potensi
lokasi lain sebagai alternatif yang pada akhirnya lokasi utamalah yang
digunakan. Bendungan berada di antara tebing-tebing tinggi dan daerah
genangan yang berupa cekungan.

3.3.2 Pemilihan Tipe Bendungan

Pemilihan Tipe Bendungan pada Waduk Jatibarang (Soedibyo, 1999)


mengacu pada hal-hal sebagai berikut:

1. Tujuan pembangunan

Muchammad Lutfian Nabil | Pembangunan Waduk III-6


Jatibarang
L2A009014
Laporan Kerja
Praktek [BAB III TINJAUAN PERENCANAAN PROYEK]

Apabila akan digunakan untuk PLTA dengan tipe pompa yang


sering terjadi fluktuasi permukaan air, maka semua bendungan
beton dapat dipakai, untuk urugan hanya dengan lapisa kedap air
di muka. Namun dalam prakteknya, bendungan untuk Waduk
Jatibarang memiliki alternatif yang lebih luas dikarenakan tidak
terlalu mengacu untuk difungsikan sebagai PLTA. Tipe
bendungan yang dipilih lebih kepada tipe urugan.
2. Keadaan klimatologi setempat
Apabila di lokasi pembangunan sering turun hujan maka tipe
beton lebih disukai dikarenakan volumenya yang kecil. Namun
apabila terpengaruh sebab lain yang lebih mengarahkan pada tipe
urugan, maka dipakai bendungan tipe urugan.
3. Keadaan hidrologi setempat
Faktor ini lebih menitikberatkan pada volume rencana yang
dipengaruhi oleh debit air yang ada. Volume waduk yang ada
akan dipengaruhi oleh endapan yang terjadi dan kapasitas
bangunan pelimpah (lebih-lebih untuk tipe urugan dikarenakan
air tidak boleh melimpah lewat puncak bendungan).
4. Keadaan topografi setempat
Apabila lokasi pembangunan terletak di sungai yang sempit maka
lebih disukai tipe bendungan berbentuk lengkung sedangkan
apabila lebar lebih disukai tipe beton berdasarkan berat sendiri,
beton dengan penyangga, beton dengan lebih dari satu lengkung,
atau tipe urugan seperti halnya di Waduk Jatibarang.
5. Keadaan geologi setempat
Pada umumnya tipe urugan dapat dibangun di semua keadaan
geologi dengan perbaikan-perbaikan pondasi seperlunya seperti
yang ada di Waduk Jatibarang, sedangkan tipe beton hanya dapat
dipakai di daerah geologi yang baik. Daerah dengan geologi yang
baik terkadang terdapat rekahan sehingga nantinya dibutuhkan
perbaikan pondasi sebaik-baiknya.

Muchammad Lutfian Nabil | Pembangunan Waduk III-7


Jatibarang
L2A009014
Laporan Kerja
Praktek [BAB III TINJAUAN PERENCANAAN PROYEK]

6. Tersedianya bahan bangunan setempat


Dikarenakan banyak sumber material di dekat lokasi
pembangunan, maka bendungan tipe urugan dapat dipilih
dikarenakan volumenya yang besar mengakibatkan kebutuhan
suplai material yang banyak pula.
7. Hubungan dengan bangunan pelengkap
Untuk tipe urugan bangunan-bangunan pelengkap sebaiknya
tidak menyatu dengan tubuh bendungan dikarenakan potensi dari
bendungan untuk mengalami erosi sebagai akibat dari aliran air.
8. Biaya proyek
Komparasi hasil perhitungan mengenai biaya pembangunan
bendungan dengan berbagai alternatif tipe nantinya dapat
dijadikan bahan pertimbangan untuk lebih memilih salah satu
tipe bendungan dari sekian banyak tipe yang ada.
9. Gempa bumi
Dari pengalaman, bendungan urugan tanah dan beton berbentuk
lengkung lebih stabil menahan gempa maka sedapat mungkin
dipilih kedua tipe tersebut apabila di daerah gempa.
Atas dasar pertimbangan poin-poin di atas, maka Waduk Jatibarang
dibangun menggunakan tipe bendungan urugan batu berlapis dengan inti di
tengah. Berikut adalah gambar potongan melintang Bendungan Jatibarang:

Muchammad Lutfian Nabil | Pembangunan Waduk III-8


Jatibarang
L2A009014
Laporan Kerja
Praktek [BAB III TINJAUAN PERENCANAAN PROYEK]

Gambar 3.3 Potongan Melintang Bendungan Jatibarang

Dari gambar 3.3, badan bendungan terbagi atas beberapa bagian susunan
timbunan, yaitu:

1. Impervious Zone
2. Semi-Pervious Zone
a. Upstream Semi-Pervious
b. Downstream Semi-Pervious
 Fine Filter
 Coarse Filter
3. Pervious Zone

3.3.3 Perencanaan Tubuh Bendungan

Perhitungan mengenai tubuh bendungan meliputi kemiringan lereng,


tinggi jagaan, tinggi bendungan, lebar mercu bendungan, panjang mercu
bendungan, dan penimbunan ekstra mercu bendungan.

3.3.3.1 Kemiringan Lereng (Slope Gradient)

Kemiringan lereng bendungan dibuat sedemikian rupa agar dapat


tahan dari ancaman longsor. Karena bendungan menggunakan tipe
urugan berlapis, maka digunakan kemiringan 1:2,6 untuk bagian hulu
dan 1:1,8 untuk bagian hilir.

Muchammad Lutfian Nabil | Pembangunan Waduk III-9


Jatibarang
L2A009014
Laporan Kerja
Praktek [BAB III TINJAUAN PERENCANAAN PROYEK]

Analisis stabilitas kemiringan menggunakan beberapa metode, di


antaranya:

1. Metode Lingkaran Gelincir (Slip Circle)

Σ {C '∗L+ ( N−U −Ne )∗tan ∅ '


SF=
Σ(T +Te)

dimana SF : safety factor

N : gaya normal pada lingkaran gelincir (tf/m)

T : gaya tangen pada lingkaran gelincir (tf/m)

U : tekanan pori pada lingkaran gelincir (tf/m)

Ne : gaya normal akibat beban gempa pada

lingkaran gelincir (tf/m)

Te : gaya tangen akibat beban gempa pada

lingkaran gelincir (tf/m)

Φ' : sudut efektif dari friksi internal ( ͦ )

C' : kohesi efektif pada lingkaran gelincir (tf/m2)

L : panjang lengkung lingkaran gelincir (m)

2. Metode Luncuran Permukaan (Surface Sliding)

γ sat

SF=
{1−k∗ ( )
γ¿
∗tan ∅ }

γ
{tan ∅ +k∗( ¿ sat )∗tan ∅ }¿
γ¿

dimana SF : safety factor

θ : gradien slope ( ͦ )

Muchammad Lutfian Nabil | Pembangunan Waduk III-10


Jatibarang
L2A009014
Laporan Kerja
Praktek [BAB III TINJAUAN PERENCANAAN PROYEK]

k : koefisien gempa

Φ : sudut efektif friksi internal ( ͦ )

γ sat : kepadatan jenuh (tf/m3)

γ¿ : kepadatan tercelup (tf/m3)

3.3.3.2 Tinggi Jagaan (Free Board) dan Elevasi Puncak (Crest Elevation)

Tinggi puncak bendungan ditentukan lebih besar atau sama dengan


tinggi jagaan ditambah tinggi air maksimum. Nilai tertinggi yang dipakai
diambil diantara tinggi muka air normal, tinggi muka air tambahan, dan
tinggi muka air maksimum ditambah tinggi jagaan yang sesuai dengan
kriteria sebagai berikut:

Kasus a : Muka air normal (El. 148,9 m), Hf = he + hw

Kasus b : Muka air tambahan (El. 151,8 m), Hf = he/2 + hw

Kasus c : Muka air maksimum (El. 155,3 m), Hf = hw

dimana Hf : tinggi jagaan

hw : tinggi gelombang akibat angin

he : tinggi gelombang akibat gempa

Tinggi gelombang akibat gempa ditentukan melalui:


H e= √ g Ho

dimana He : tinggi gelombang akibat gempa (m)

k : koefisien gempa

τ :periode gelombang gempa, diasumsikan 1 detik

Ho : kedalaman air yang ditampung (m)

Muchammad Lutfian Nabil | Pembangunan Waduk III-11


Jatibarang
L2A009014
Laporan Kerja
Praktek [BAB III TINJAUAN PERENCANAAN PROYEK]

g : percepatan gravitasi (m/det2)

Rumus Run-Up Wave Height didapatkan dari kombinasi metode


SMB dan metode Saville.

3.3.3.3 Tinggi Bendungan

Tinggi bendungan dipengaruhi oleh besar masing-masing


tampungan yang ada. Tampungan tersebut adalah:

a. Tampungan mati (dead storage) merupakan tampungan untuk


sedimen yang diendapkan selama usia guna bendungan.
b. Tampungan banjir (flood storage) merupakan tampungan debit
banjir dan tinggi jagaan.
Dari hasil analisa yang telah dilakukan ditetapkan tinggi
bendungan diukur dari atas pondasi yaitu 78 m.

3.3.3.4 Lebar Mercu Bendungan

Lebar mercu bendungan ditetapkan dengan mempertimbangkan


beberapa faktor, antara lain:

1. Keamanan terhadap erosi akibat gelombang air pada waduk.


2. Keamanan terhadap rembesan dan piping.
3. Keamanan terhadap goncangan gempa danb longsoran.
4. Kebutuhan lintasan alat berat.
5. Rencana kebutuhan jangka panjang.
Umumnya lebar puncak bendungan adalah 10 sampai 15 m bagi
bendungan dengan tinggi di atas 15, sekitar 5 m bagi bendungan rendah.
Berikut rumus lebar puncak bendungan:

USBR b = 3,6 H1/3 - 1,5

dimana b = lebar puncak bendungan

H = tinggi bendungan

Muchammad Lutfian Nabil | Pembangunan Waduk III-12


Jatibarang
L2A009014
Laporan Kerja
Praktek [BAB III TINJAUAN PERENCANAAN PROYEK]

3.3.3.5 Fasilitas Keamanan Bendungan

Fasilitas dan peralatan untuk memonitor perilaku bendungan yang


berkaitan dengan keamanan bendungan selama dan setelah konstruksi.
Peralatan fasilitas tersebut digunakan untuk mengetahui dan mengukur
kejadian-kejadian yang sudah direncanakan maupun yang tidak
terencana pada bendungan. Pada pembangunan Waduk jatibarang, pada
as bendungan dibangun gallery untuk melakukan inspeksi dan kontrol
jika sewaktu – waktu terjadi kebocoran. Selain dibangunnya gallery
sebagai fasilitas keamanan bendungan, peralatan yang digunakan untuk
memonitor perilaku bendungan diantaranya Electrical Piezometer,
Standpipe Piezometer, Pneumatic Piezometer, Inklinometer, dan Probe
Extensometer.

3.3.3.6 Pelindung Lereng Hulu dan Hilir Tubuh Bendungan

Dalam upaya mengantisipasi hempasan ombak serta


penurunan muka air bendungan secara mendadak yang akan
menggerus permukaan lereng, direncanakan pelindung lereng hulu
dan hilir bendungan dengan konstruksi hamparan batu pelindung
atau rip-rap, konstruksi tersebut dipilih berdasarkan:

a. Fleksibilitas mengikuti penurunan tubuh bendungan


b. Mereduksi hempasan ombak
c. Stabil terhadap pengaruh fluktuasi muka air bendungan dan
gerakan ombak.
d. Konstruksi dapat dikerjakan secara mekanis.
e. Lokasi bahan batu dekat dan mudah untuk mengangkutnya.

3.4 PERENCANAAN GROUTING

3.4.1 Umum

Muchammad Lutfian Nabil | Pembangunan Waduk III-13


Jatibarang
L2A009014
Laporan Kerja
Praktek [BAB III TINJAUAN PERENCANAAN PROYEK]

Pada umumnya bendungan bertipe urugan dapat dibangun di semua


keadaan geologi, namun dengan catatan perlu dilakukan perbaikan pondasi.
Bendungan Jatibarang dibangun di atas lapisan batuan piroklastik yang cukup
keras, yaitu breksi. Namun untuk memperkuat formasi dari lapisan tanah
tersebut dan menjadikan lapisan tanah tersebut menjadi lebih padat, maka
dilakukan treatment grouting.

Menurut pengertiannya, grouting adalah pekerjaan menginjeksikan


bahan cair dengan cara tekanan untuk mengisi retak-retak/ rongga-rongga pada
tanah atau beton, yang selanjutnya akan mengeras menjadi padat menjadi satu
kesatuan. Sebelum dilakukan grouting, terlebih dahulu dilakukan drilling atau
pengeboran. Drilling adalah pekerjaan pemboran pada tanah, batuan, ataupun
konstruksi beton dengan arah tertentu sehingga membentuk lubang untuk
pengambilan sampel tanah dan menginjeksikan bahan cair.

3.4.2 Tujuan dan Jenis Grouting di Proyek Waduk Jatibarang

Untuk meminimalisir dampak negatif yang ditimbulkan oleh tanah


setelah pelaksanaan konstruksi bendungan karena memikul beban yang sangat
berat, maka dalam pengerjaannya grouting dilakukan untuk:
1. Meningkatkan daya dukung tanah
2. Memperbaiki kerusakan batuan
3. Mengurangi rembesan/aliran air tanah
4. Mengurangi angka permeabilitas yang berarti mengurangi rekahan
Namun nanti dalam pelaksanaannya, grouting telah dikelompokkan
menjadi tiga bagian yang memilikiperan masing-masing:
1. Curtain Grouting, grouting utama dalam proyek
2. Blanket Grouting, grouting penunjang curtain grouting
4. Consul Grouting, grouting penunjang curtain grouting pada
konstruksi beton.

3.4.3 Penentuan Kedalaman dan Mix Desain Grouting

Muchammad Lutfian Nabil | Pembangunan Waduk III-14


Jatibarang
L2A009014
Laporan Kerja
Praktek [BAB III TINJAUAN PERENCANAAN PROYEK]

Dalam prakteknya di lapangan, untuk menghindari kurang optimalnya


grouting yang dilakukan akibat terlalu encer atau padatnya cairan grouting,
hancur atau runtuhnya formasi batuan yang ada di dalam lapisan yang akan
dilakukan grouting akibat terlalu kuat tekanan yang diberikan, atau bahkan
kurang dalamnya jarak ke dalam lapisan tanah yang akan dilakukan grouting
yang menyebabkan kurang maksimalnya daya dukung yang dihasilkan, maka
dilakukan beberapa pengujian.

Ada 2 jenis tes penting yang digunakan dalam proses sebelum grouting,
yaitu:

1. Lugeon Test

Lugeon test bertujuan untuk mengetahui permeabilitas batuan


sebelum dan sesudah grouting. Hasil pengujian ini nantinya
didapatkan angka lugeon yang menentukan mix design dalam
grouting. Angka lugeon dapat didapatkan setelah mengamati besaran
debit air yang disemprotkan dan kedalaman grouting sesuai dengan
fungsi dan letaknya atau volume air yang telah disemprotkan, lalu
waktu yang dibutuhkan, dan juga kedalaman grouting. Berikut adalah
rumus untuk mendapatkan angka lugeon:

10.Q 10 . Vol
Lu= Lu=
atau p.L p . L .t
dimana Lu : Angka lugeon

Q : Debit

p : Tekanan

L : Kedalaman grouting

Vol : Volume

t : Waktu yang diperlukan

Muchammad Lutfian Nabil | Pembangunan Waduk III-15


Jatibarang
L2A009014
Laporan Kerja
Praktek [BAB III TINJAUAN PERENCANAAN PROYEK]

Gambar 3.4 Target Angka Lugeon pada Main Dam

2. Water Pressure Test (WPT)

WPT bertujuan untuk mengetahui critical point dari batuan


guna menghindari hydrofracturing batuan. Hydrofacturing batuan
merupakan runtuhnya sebagian material penyusun batuan akibat
tekanan air yang berlebih sehingga menimbulkan rekahan yang
semakin membesar. Pembacaan pressure gauge pada alat setelah
Muchammad Lutfian Nabil | Pembangunan Waduk III-16
Jatibarang
L2A009014
Laporan Kerja
Praktek [BAB III TINJAUAN PERENCANAAN PROYEK]

penyemprotan air ke dalam tanah dalam tes menjadi hal penting untuk
diamati dikarenakan dari tes ini akan diketahui berapa tekanan
optimal penyemprotan cairan grouting yang harus dilakukan.

Untuk batasan kedalaman, dalam Proyek Waduk Jatibarang diberlakukan


3 variasi kedalaman sesuai dengan karakteristik grouting tersebut. Berikut
adalah 3 varian kedalaman grouting yang ada di dalam pelaksanaan proyek
berdasarkan jenisnya:
1. Curtain grouting, kedalaman ditetapkan melalui rumus, untuk Proyek
Jatibarang sendiri diambil kedalaman ± 50 m.
2. Blanket grouting, kedalaman 5-10 m.
3. Consolidation grouting, kedalaman minimum 5 m.
Setelah diketahui parameter-parameter yang menjadi batasan-batasan
dalam proses grouting, direncanakan mix design grouting. Mix design ini
berlaku secara umum dengan komposisi perbandingan air dan Portland Cement
(PC).
Tabel 3.2 Tabel Mix Design Grouting

3.5 PERENCANAAN INSTRUMEN BENDUNGAN

Muchammad Lutfian Nabil | Pembangunan Waduk III-17


Jatibarang
L2A009014
Laporan Kerja
Praktek [BAB III TINJAUAN PERENCANAAN PROYEK]

Bendungan merupakan bangunan penting dalam Proyek Waduk Jatibarang.


Kelangsungan fungsi dari waduk ditopang oleh kemampuan bendungan dalam
menahan gaya-gaya yang bekerja padanya. Perilaku-perilaku bendungan yang terjadi
setelah masa konstruksinya seringkali tidak dapat diketahui secara kasat mata. Oleh
karena itu diperlukan beberapa instrumen untuk membaca perilaku yang terjadi pada
bendungan.

Untuk menjaga kestabilan seluruh fungsi bendungan, pembacaan alat perlu


dilakukan dengan baik dan pengamatan yang teliti. Beberapa alat yang biasanya
terdapat pada bendungan dewasa ini yaitu alat ukur deformasi, alat ukur gempa,
piezometer, serta alat ukur rembesan.

Alat ukur deformasi yang ada digunakan untuk mengukur pergeseran pondasi
dan juga penurunan vertikal. Alat ukur gempa adalah instrumen yang digunakan
untuk merekam guncangan permukaan tanah yang sangat kuat yang mengukur
percepatan permukaan tanah. Piezometer digunakan untuk mengukur tekanan air
waduk. Alat ukur rembesan dipasang untuk mengetahui ada atau tidaknya rembesan
yang ada pada bendungan.

Instrumen-instrumen yang telah direncanakan sebelumnya ditunjang oleh


keberadaan gallery sebagai terowongan inspeksi. Terowongan inspeksi ini dibangun
di bawah bendungan. Melalui terowongan ini, segala bentuk pengamatan rembesan
maupun crack pada konstruksi bendungan dapat diamati.

Muchammad Lutfian Nabil | Pembangunan Waduk III-18


Jatibarang
L2A009014

Anda mungkin juga menyukai