Anda di halaman 1dari 11

BAB III

PHOBIA SOSIAL DIKALANGAN REMAJA

3.1 Penyebab Phobia Sosial

Penelitian tentang penyebab kecemasan sosial/SAD dan phobia sosial adalah


luas, meliputi berbagai perspektif dari ilmu saraf sampai sosiologi. Dari penelitian
dapat disimpulkan bahwa semua penyebab dari phobia sosial berkaitan satu sama lain
untuk menimbulakan phobia tersebut. Penyebab dari phobia sosial sendiri adalah
sebagai berikut :

a. Faktor Biologis

Telah ditunjukkan bahwa ada dua sampai tiga kali lipat risiko seseoran lebih
besar mengalami phobia sosial jika silsilah saudara linear (dari kakek sampai anak)
juga memiliki gangguan ini. Ini bisa disebabkan oleh genetika. Telah diestimasi
bahwa kemampuan heretibilitas komponen genetis phobia sosial adalah 30 % sampai
40 %, yang berarti bahwa sepertiga dari penyebab phobia sosial disebabkan oleh gen
penderita.

Selain gen, penyebab phobia sosial bisa juga disebabkan oleh tidak seimbangnya
zat kimia yang berada di otak penderita yang dikenal dengan neurotransmitters.
Neurotransmitters digunakan otak untuk mengirim sinyal dari satu sel ke sel yang
lain. Ada empat neurotransmitters yang dapat bermain peran dalam menyebabkan
phobia sosial : Neuropeptides, serotonin, dopamine dan gamma-aminobutyric acid
(GABA).

Hal ini didukung oleh penelitian terhadap perbedaan aliran darah didalam otak
seseorang yang memiliki phobia sosial ketika ia diminta berbicara didepan umum.
Dari penelitian ini, mereka menggunakan teknologi neuroimaging (teknologi untuk

12
13

menangkap aktivitas otak sesorang) yang disebut “Positron Emission Tomography”


(PET).

Dari hasil PET ditemukan bahwa seseorang yang memiliki phobia sosial
mengalami kenaikan aliran darah di amygdala, bagian otak yang diasosiasikan
dengan rasa takut. Sedangkan, hasil PET pada seseorang yang tidak memiliki phobia
sosial mengalami kenaikan aliran darah di korteks otak besar, bagian otak yang
digunakan untuk berpikir dan mengevaluasi. Hal ini membuktikan bahwa seseorang
dengan phobia sosial memiliki hiperaktifitas di Amygdalanya .

Gambar III.1 Hasil PET Penderita Phobia Sosial

Hiperaktifitas di Amygdala ini sendiri dapat disebabkan oleh kekurangan GABA


yang kerja utamanya untuk mencegah overstimulasi pada suatu bagian otak dan
kelebihan Neuropeptides yang mengirimkan signal kepada suatu sel untuk bekerja.

Dalam penelitian terbaru hubungan langsung antara status sosial relawan dan
afinitas pengikatan dopamin D2/3 reseptor di striatum ditemukan. Penelitian lain
menunjukkan bahwa afinitas pengikatan reseptor D2 dopamin di striatum penderita
lebih rendah dari kontrol. Beberapa penelitian lain menunjukkan kelainan pada
transporter dopamin di kepadatan striatum penderita phobia sosial. Namun, beberapa
peneliti tidak mereplikasi temuan sebelumnya bukti kelainan dopamin pada gangguan
Phobia sosial . Peneliti lain menemukan gejala phobia sosial pada pengidap yang
14

diobati dengan dopamin antagonis seperti haloperidol, menekankan peran


neurotransmisi dopamin dalam gangguan phobia sosial.

Beberapa ilmuwan berhipotesis bahwa phobia sosial berhubungan dengan


ketidakseimbangan kimia serotonin pada otak. Sebuah penelitian terbaru melaporkan
peningkatan transporter serotonin mengikat dalam psikotropika pengidap dengan
gangguan phobia sosial.

b. Pola Asuh

Pola asuh berperan cukup besar dalam menentukan apakah orang dengan factor
biologis yang memungkinkan adanya phobia sosial tadi akan mengidap phobia sosial
atau tidak.

Beberapa faktor dari lingkungan yang terjadi semasa kecil memiliki kontribusi
terhadap munculnya phobia sosial. Para penderita phobia sosial seringkali dilaporkan
bahwa ketika masih anak-anak, orangtua suka menolak pendapat mereka (rejecting),
terlalu melindungi (overprotective), dan kurang memberi kehangatan emosional
(emotional warmth). Di sisi lain, perilaku awal yang muncul sejak kecil, seperti
munculnya rasa ketakutan berlebihan saat berada di situasi/lingkungan yang tak
dikenal/asing, juga bisa menjadi pertanda awal bahwa cikal bakal phobia sosial
sedang berkembang pada diri anak tersebut

Selain itu, studi telah menemukan bahwa jika orang tua memiliki segala jenis
gangguan kecemasan atau depresi klinis, kemudian seorang anak akan lebih mungkin
mengembangkan gangguan kecemasan atau phobia sosial. Studi menunjukkan bahwa
orang tua dari mereka dengan gangguan phobia sosial cenderung lebih terisolasi
secara sosial sendiri

Remaja yang dinilai memiliki hubungan tidak aman/bermasalah/tidak normal


(anxious-ambivalen) dengan ibu mereka ketika balita-anak 2 kali lebih
15

memungkinkan untuk mengembangkan gangguan kecemasan pada saat remaja akhir,


termasuk phobia sosial.

c. Pengalaman Sosial

Dari faktor psikososial, ada teori perilaku yang diungkapkan oleh Pavlov,
mengenai refleks yang dibiasakan (conditioned reflex) untuk menjelaskan timbulnya
phobia. Dimana, kecemasan ditimbulkan oleh rangsang alami terhadap pegalaman
menakutkan.

Sebuah pengalaman sosial negatif yg pernah dialami dapat menjadi pemicu


untuk phobia sosial, mungkin terutama bagi individu yang tingkat sensitivitas
interpersonalnya cukup tinggi. Untuk sekitar setengah dari mereka yg didiagnosis
dengan gangguan phobia sosial, traumatis yg spesifik atau acara sosial yg
memalukan dirinya tampak terkait dengan mulainya atau memburuknya dari
gangguan phobia sosial tersebut; acara semacam ini tampaknya terkait khusus dengan
gangguan phobia sosial spesifik, misalnya tentang berbicara di depan umum. Serta
pengalaman langsung, mengamati atau mendengar tentang pengalaman sosial negatif
orang lain (misalnya kecerobohan yang dilakukan oleh seseorang), atau peringatan
lisan masalah sosial dan bahaya, juga dapat membuat perkembangan gangguan
phobia sosial lebih mungkin timbul di pribadi phobia sosial tersebut.

Gangguan phobia sosial mungkin disebabkan oleh efek jangka panjang dari
pengalaman tidak dapat masuk ke situasi sosial, atau sering di bully , ditolak atau
diabaikan. Remaja dewasa pemalu atau penghindar telah menekankan pengalaman
yang tidak menyenangkan dengan teman sebaya atau pelecehan dan bullying pada
masa kanak - kanak.

Dalam sebuah penelitian, “popularitas” ditemukan berkorelasi negatif dengan


phobia sosial, dan anak-anak yang diabaikan oleh rekan-rekan mereka melaporkan
phobia sosial yang lebih tinggi dan takut akan evaluasi negatif lebih dari kategori lain
pada anak-anak. Secara sosial anak yg punya phobia reaksi dan pendapatnya
16

cenderung tidak diterima secara positif oleh rekan-rekannya dan anak yang
cemas/takut atau terhambat memungkinkan akan mengisolasi dirinya.

d. Faktor Sosial Budaya

Faktor Budaya yang telah terkait dengan gangguan SAD meliputi sikap
masyarakat terhadap rasa malu dan penghindaran, yang mempengaruhi kemampuan
untuk membentuk hubungan atau akses pekerjaan atau pendidikan, dan rasa malu.
Satu studi menemukan bahwa efek dari bimbingan orangtua berbeda-beda tergantung
pada budayanya.

Variable demografis murni juga mungkin memainkan peran - misalnya ada


kemungkinan lebih rendah dari gangguan SAD di Mediterania dan tingkat lebih
tinggi di Skandinavia, dan telah dihipotesiskan bahwa cuaca panas dan kepadatan
tinggi dapat mengurangi penghindaran dan meningkatkan kontak interpersonal.

Masalah dalam mengembangkan keterampilan sosial, atau 'efektivitas sosial',


mungkin menjadi penyebab beberapa gangguan SAD, baik melalui ketidakmampuan
atau kurangnya kepercayaan diri untuk berinteraksi sosial dan memperoleh reaksi
positif dan penerimaan dari orang lain. Penekanan interpersonal atau media pada
karakteristik pribadi 'normal' atau 'menarik' juga telah menyatakan untuk mendorong
perfeksionisme dan perasaan rendah diri atau rasa tidak aman tentang evaluasi negatif
dari orang lain. Kebutuhan akan penerimaan sosial atau status sosial telah diuraikan
dalam baris lain dari penelitian yang berkaitan dengan phobia sosial.

e. Cara berpikir dan karakter.

Cara berpikir sebenarnya juga dipengaruhi oleh karakter seseorang. Cara


berpikir instan misalnya, dapat membuat seseorang memiliki harapan berlebih pada
suatu usaha yang dilakukannya. Namun ketika hasil tidak dicapai dengan cepat, dia
lalu merasa malu, rendah diri, atau bersalah. Contoh lain adalah cara berfikir
perfeksionis, apabila sebuah usaha atau tindakan tidak menghasilkan sesuatu yang
17

sempurna sesuai keinginan, atau terkejut dengan suatu kondisi yang tidak diharapkan,
dia kemudian mengalami penyesalan dan menyalahkan diri sendiri terlalu mendalam
dan tidak berkesudahan.

Seseorang yang takut membuat kesalahan ketika sedang berada dalam


lingkungan sosial kemudian memutuskan untuk lebih banyak menyendiri. Dia takut
orang lain akan mengetahui kesalahan atau ketidakmampuannya dalam melakukan
sesuatu. Reaksi yang paling parah adalah dia kemudian melarikan diri atau
mengasingkan diri dari masyarakat.

3.2 Pencegahan Phobia Sosial

Ada beberapa cara untuk mencegah terjadinya reaksi phobia sosial di suasana sosial,
diantaranya adalah :

a. Kontrol pernafasan yang baik

Rasa cemas membuat tingkat pernafasan semakin cepat, hal ini disebabkan otak
"bekerja" memutuskan fight or flight ketika respon stres diterima oleh otak.
Akibatnya suplai oksigen untuk jaringan tubuh semakin meningkat,
ketidakseimbangan jumlah oksigen dan karbondiosida di dalam otak membuat tubuh
gemetar, kesulitan bernafas, tubuh menjadi lemah dan gangguan visual. Ambil dalam-
dalam sampai memenuhi paru-paru, lepaskan dengan perlahan-lahan akan membuat
tubuh jadi nyaman, mengontrol pernafasan juga dapat menghindari serangan panik.

b. Intervensi kognitif

Kecemasan timbul akibat ketidakberdayaan dalam menghadapi permasalahan,


pikiran-pikiran negatif secara terus-menerus berkembang dalam pikiran. caranya
adalah dengan melakukan intervensi pikiran negatif dengan pikiran positif, sugesti
diri dengan hal yang positif, singkirkan pikiran-pikiran yang tidak realistik. Bila
18

tubuh dan pikiran dapat merasakan kenyamanan maka pikiran-pikiran positif yang
lebih konstruktif dapat meuncul. Ide-ide kreatif dapat dikembangkan dalam
menyelesaikan permasalahan.

c. Pendekatan agama

Pendekatan agama akan memberikan rasa nyaman terhadap pikiran, kedekatan


terhadap Tuhan dan doa-doa yang disampaikan akan memberikan harapan-harapan
positif.

Dalam Islam, sholat dan metode zikir ditengah malam akan memberikan rasa
nyaman dan rasa percaya diri lebih dalam menghadapi masalah. Rasa cemas akan
turun. Tindakan bunuh diri dilarang dalam Islam, bila iman semakin kuat maka
dorongan bunuh diri (tentamina Suicidum) pada simtom depresi akan hilang. Metode
zikir (berupa Asmaul Husna) juga efektif menyembuhkan insomnia.

d. Pendekatan keluarga

Dukungan (supportif) keluarga efektif mengurangi kecemasan. Jangan ragu


untuk menceritakan permasalahan yang dihadapi bersama-sama anggota keluarga.
Ceritakan masalah yang dihadapi secara tenang, katakan bahwa kondisi Anda saat ini
sangat tidak menguntungkan dan membutuhkan dukungan anggota keluarga lainnya.
Mereka akan berusaha bersama-sama Anda untuk memecahakan masalah Anda yang
terbaik.

e. Olahraga

Olahraga tidak hanya baik untuk kesehatan. Olaharaga akan menyalurkan


tumpukan stres secara positif. Lakukan olahraga yang tidak memberatkan, dan
memberikan rasa nyaman kepada diri Anda. Disarankan untuk berolahraga bersama
keluarga atau teman dekat anda dan juga mencoba olahraga yang membutuhkan kerja
sama tim seperti sepak bola.
19

3.3 Peran Orang Tua dalam Pencegahan Phobia Sosial

Kebanyakan penyandang phobia sosial di usia muda akan lebih mudah ditangani
dan cenderung berhasil sempurna dengan penanganan terapi atau secara medis.
Tambahan dorongan dan sarana yang baik di rumah dapat sangat membantu dalam
pemulihan.

Para orangtua perlu melihat pada diri sendiri bagaimana mereka harus
mengarahkan anak-anak untuk terus melakukan interaksi. Situasi ini akan sangat
sensitif karena anak jauh dari isolasi dan harus berada di lingkungan sosial yang
merupakan penyebab kecemasan pada anak.

Orangtua harus mengajarkan pada anaknya untuk percaya diri, Memberikan


motivasi untuk terus maju dan biarkan anak-anak untuk berkawan denan siapa saja ,
asalkan masih dalam batas yang wajar. dan Orangtua juga harus mengajarkan pada
anak pentingnya berinteraksi dengan orang lain dan lingkungan sekitar karena
manusia adalah makhluk sosial yang sangat bergantung dengan orang lain.

3.4 Terapi dan Pengobatan Phobia Sosial

Ada berbagai cara terapi untuk mengobati phobia sosial, diantaranya :

a. Terapi relaksasi

Terapi ini terdiri dari belajar untuk menurunkan tegangan otot selama
beristirahat, ketika bergerak dan pada situasi-situasi yang dapat menyebabkan
kecemasan. Terapi ini dapat dijadikan sebagai pendamping terapi exposure.

b. Terapi Kognitif
20

Model terapi ini menyatakan bahwa ketika pengidap masuk ke dalam situasi
sosial, maka aturan pasti, asumsi, atau unconditional beliefs menjadi aktif. Melalui
pendekatan terapi perilaku rasional-emotif, Ellis menunjukkan kepada orang-orang
dengan phobia sosial bahwa kebutuhan-kebutuhan irasional untuk penerimaan sosial
(sosial approval) dan perfeksionisme menghasilkan kecemasan yang tidak perlu
dalam interaksi sosial. Terapi kognitif dari Beck berusaha untuk mengidentifikasi dan
mengoreksi keyakinan-keyakinan yang disfungsional atau terdistorsi.

Terapis kognitif membantu orang untuk mengenali cacat-cacat logis dalam


pemikiran mereka dan membantu mereka untuk memandang situasi secara rasional.
Pengidap diminta untuk mengumpulkan bukti-bukti untuk menguji keyakinan
mereka, yang akan membawa mereka untuk mengubah keyakinan yang ternyata tidak
berdasar pada realitas. Terapis mendorong pengidap dengan phobia sosial untuk
menguji keyakinan mereka bahwa mereka akan diabaikan, ditolak, atau ditertawakan
oleh orang lain dalam pertemuan-pertemuan sosial dengan menghadiri suatu pesta,
memulai pembicaraan, dan memonitor reaksi orang-orang lain. Terapis juga
membantu pengidap mengembangkan keterampilan sosial untuk meningkatkan
efektivitas interpersonal mereka dan mengajari mereka bagaimana cara menghadapi
penolakan sosial.

Salah satu contoh teknik kognitif adalah restrukturisasi kognitif (cognitive


restructuring) atau disebut juga restrukturisasi rasional. Teknik ini merupakan suatu
proses di mana terapis membantu pengidap mencari pikiran-pikiran self-defeating dan
mencari alternatif rasional sehingga mereka bisa belajar menghadapi situasi-situasi
pembangkit kecemasan

c. Virtual Reality Exposure

Melalui proses pemaparan terhadap suatu seri stimuli virtual yang makin
bertambah menakutkan dan hanya bila ketakutan sudah berkurang pada langkah
terdahulu, orang belajar untuk mengatasi ketakutan dengan cara yang sama dengan
21

seandainya mereka mengikuti program pemaparan gradual terhadap stimuli fobik


dalam situasi aktual. Keuntungan dari realitas virtual adalah bahwa hal ini memberi
kesempatan pada kita untuk mengalami situasi yang sulit atau hampir tidak mungin
untuk diandalkan dalam realitas yang sesungguhnya.

Terapis bereksperimentasi dengan terapi virtual, misalnya dalam bentuk terapi


kelompok di mana sekelompok orang yang aktualnya ada di tempat yang berbeda-
beda dapat memakai peralatan realitas virtual, dihubungkan dengan komputer-
komputer mereka pada saat yang sama, dan bertemu secara elektronik dalam suatu
kantor terapi

d. Cognitive-Behavioral Therapy (CBT)

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa terapi kognitif-behavioral berhasil


menurunkan rasa takut individu terhadap evaluasi sosial. Terapi CBGT dibuat dengan
menggunakan protokol yang dikembangkan oleh Heimberg .Sebelumnya, rangkaian
terapi yang dilakukan adalah melakukan assessment independent dan self report
terhadap pengidap. Kemudian diikuti dengan pelatihan dalam hal restrukturisasi
keterampilan kognitif, exposure yang diulang terhadap simulasi dari situasi yang
ditakuti dalam tiap sesi, dan dihubungkan dengan homework assignments. Setelah
pelatihan tersebut dilakukan maka seluruh rangkaian assessment independent dan self
report dilakukan kembali.

e. Terapi Pemaparan

Pengidap mendapatkan instruksi untuk memasuki situasi sosial yang makin


penuh stres dan untuk tetap tinggal dalam situasi tersebut sampai dorongan untuk
kabur sudah menjadi berkurang. Terapis dapat membantu membimbing mereka
selama percobaan pada pemaparan, dan secara bertahap menarik dukungan langsung
sehingga pengidap mampu untuk menghadapi sendiri situasi tersebut. Terapis
mungkin mengkombinasikan pemaparan dengan teknik kognitif yang membantu
pengidap untuk mengurangi pikiran-pikran maladaptif pembangkit kecemasan yang
22

mungkin mereka temui dalam situasi-situasi sosial, dengan pikiran-pikiran yang lebih
sesuai.

Untuk pengobatan pengidap phobia sosial sendiri biasanya menggunakan obat-


obatan sebagai berikut :

 Selective serotonin reuptake inhibitors (SSRIS): SSRIS dengan cepat


menjadi first-line pengobatan yang baku untuk phobia sosial. Paroxetine
menerima pengakuan badan Makanan Dan Administrasi Obat/Racun (FDA)
untuk indikasi ini pada tahun 1999 dan SSRI yang pertama memperolehnya.
Penelitian menyatakan bahwa SSRIS juga mungkin efektif.
 Benzodiazepines: Benzodiazepines mungkin efektif untuk phobia sosial, tetapi
memiliki profil keselamatan lebih sedikit. Alprazolam Dan Clonazepam telah
digunakan dengan sukses.
 Buspirone: Beberapa studi menyarankan kemanjuran pada penderita phobia
sosial.
 Propranolol: Beta-Blockers telah digunakan untuk blok autonomic terhadap
tanggapan dengan phobia sosial. Pencegahan gejala seperti gemetaran
peningkatan detak jantung mendorong kearah sukses didalam menghadapi
situasi sosial.
 Monoamine oxidase inhibitors (MAOIS): Phenelzine telah dipertunjukkan
untuk bisa efektif didalam studi. Pembatasan yang berkenaan diet makan
mengurangi ketenaran mereka. Moclobemide, suatu MAOI lebih baru, pasti
mempunyai kemanjuran dengan phobia sosial.

Anda mungkin juga menyukai