Anda di halaman 1dari 17

SOCIOLOGICAL JURISPRUDENCE

Aliran sosiologis ini memandang hukum sebagai "kenyataan sosial" dan bukan
hukum sebagai kaidah. Olehnya itu jika kita ingin membandingkan persamaan dan
perbedaan antara pandangan kaum positivis dengan kaum sosiologis di bidang hukum,
maka dapatlah dilihat sebagai berikut.

Persamaan antara positivisme dan sosiologisme adalah keduanya terutama


memusatkan perhatiannya pada hukum tertulis atau perundang undangan.

Perbedaannya adalah:

a. Positivisme memandang hukum tidak lain kaidah-kaidah yang tercantum dalam


perundang-undangan, sedangkan sosiologisme memandang hukum adalah kenyataan
sosial. la mempelajari; bagaimana dan mengapanya dari tingkah laku sosial yang
berhubungan dengan hukum dan pranata-pranata hukum sebagaimana kita lihat. Sikap
dasar kaum sosiologis hukum itu adalah kecuriguan. Apakah hukum itu seperti yang
ditulis? Seperti yang dikatakan? Dengan kata lain, kaum positivis melihat "law in books".
sedang kaum sosiologis memandang "law in action".

b. Positivisme memandang hukum sebagai sesuatu yang otonom atau mandiri,


sedangkan sosiologisme hukum memandang hukum bukan sesuatu yang otonom,
melainkan sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor non hukum yang ada dalam
masyarakatnya, seperti faktor ekonomi, politik, budaya, dan sosial lainnya.
c. Positivisme hanya mempersoalkan hukum sebagai "das sollen" (apa yang seharusnya,
ought), sedang sosilogisme hukum memandang hukum sebagai das sein (dalam
kenyataannya, is). Dunia "is" (realm of'is") adalah: refers to a complez of actual
determinants of actual human conduct.

d. Positivisme cenderung berpandangan yuridis-dogmatik, sedang sosiologisme hukum


berpandangan empiris. Mereka ingin melakukan pemahaman secara sosiologis terhadap
fenomena hukum. Jadi, interpretative under standing of social conduct. (suatu usaha
untuk memahami objeknya dari segi tingkah laku sosial), meliputi: causes, its course, dan
its effects. Fenomena hukum dari sudut pandangan aliran sosiologis ini adalah gejala-
gejala yang mengandung streotip baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis.
e Metode yang digunakan kaum positivistis adalah preskriptif, yaitu menerima hukum
positif dan penerapannya. sedang metode yang digunakan oleh penganut sosiologisme
hukum adalah deskriptif.Dalam metode deskriptisnya, kaum sosiologis mengkaji hukum
denganmenggunakan teknik-heknik: survei lapangan (field surveys), observasi
perbandingan (comparative observation), analisis statistik (statiscical analysis),
eksperimen (experimentation).

1. Sociology of Law dan Sociological Jurisprudence

Para penganut aliran sosiologis di bidang ilmu hukum, dapat kita bedakanantara yang
menggunakan sociology of law sebagai kajiannya, dan yang menggunakan sociological
jurisprudence sebagai kajiannya. Sociology of law lahir di Italia, pertama kali dikenalkan
oleh Anzilotti. olehnya itu berkonotasi Eropa Daratan, sedangkan Sociological
Jurispridence lahir di Amerika Serikat, olehnya itu berkonotasi Anglo Saxon.

Sociology of law adalah sosiologi tentang hukum, karena itu ia merupakan cabang
sosiologi. Sedangkan Sociological Jurisprudence adalah ilmu Hukum Sosiologis, karena
itu merupakan cabang ilmu hukum. Lebih jelasnya perbedaan antara sociology of law
dan sociological jurisprudence (Curzon 1979: 137):

a. Sociological jurisprudence. Pound refers to this as a study of the pecu-


nar characteristics of the legal order, i.e. an aspect of jurisprudence proper.Lloyd
writes of it as a branch of normative sciences, having the law moreiective in action.
and based on subjective values. Some other writterse the term to refer to the
Sociological School of jurisprudence, that is,those jurists who see in a study of
society a means whereby the science of law might be made more precise.
b. Sociology of law. Pound refers to this studyas ‘sociology proper’ based on a
concept of law as one the means of social control. Lloyd writes of it as esentially
a descriptive science employing empirical techniques. It is concerned with an
examination of why the law sets about its tasks in the way it does. It views law as
the product of a social system and as means of controlling and changing that
system.
note: The term "legal sociology" has been used in some texts to reter to aspecific
study of situations in which the rules of law operate, and of behavior resulting fhom
the operatios of those rules.
Ajaran dari pakar-pakar yang beraliran sosiologis, yang akan penulis
kemukakan esensi ajarannya adalah: Max Weber, Emile Durkheim, EugenEhrlich,
Talcott Persons, Roscoe Pound dan Schuyt.

2. Esensi Ajaran Max Weber

Max Weber adalah seorang sosiolog Jerman, dan juuga pakar ekonomi analisis
hukum dan pranata-pranata hukum di dalamnya mencakup pula konteks historis, politik
dan realitas sosial. Bagi Weber, hukum dipahaminya sebagai suatu kompleks dari
kondisi-kondisi faktual yag ditentukan eleh tindakan-tindakan manusia.Weber
memandang hukum dalam konteksnya dan hubungannya dengan sanksi. Bagi Weber,
hukum baru dapat disebut hukum jika ada jaminan eksternal bahwa aturan itu dapat
dipaksakan melalui paksaan fisik ataupun psikologis.

Weber mengkaji perkembangan hukum dan perkembangan masyarakatnya, di mana


konsep dasar Weber memandang perkemba hukum ataupun perkembangan masyarakat
selatu bergerak dari yang irrasional ke yang rasional, dan kemudian transisi dari
"substantively rational law" ke "formally rational law".

Max Weber membedakan empat tahapan baik dari "mode of creationnya, "formal
qualities"nya dan "types of justice"nya.

Pada “mode of creation” tahap charismatic, menggunakan kualitas formal yang


bersifat "magical formalism + irrationality", dengan tipe keadilannya yang bersifat
kharismatik.

Pada "mode of creation" tahap empirical, maka tahap kualitas formalnya adalah
"raliance on honoratiorers" dan tipe keadilannya adalah "khadi justice".

Berikutnya pada "mode of.creation" tahap secular theocratic, maka kualitas formalnya
bersifat "theocratic substantive rationality" dengan tipe keadilan yang "empirical
justice".Dan akhirnya pada "mode ot creation" tahap professionalised menggunakan
kualitas formal yang "logical sublimation" dengan tipekeadilan yang "rational justice".
Max Weber juga membahas perkembangan masyarakat dan perkembangan hukum
dengan membagi 3 tahap dari "form of domination"-nya, sebagai berikut:
a. Tahap Tradisional

i.Bentuk legitimasi: Tradisional, otoritas pribadi raja atau ratu

.ii. Bentuk administrasi : Patrimonial, asas turun temurun.

iii. Dasar Ketaatan : Tradisional, beban kewajiban yang sifatnya individual;

iv. Bentuk proses peradilannya : empiris, substantive dan personal (khadi);

v. Bentuk keadilannya : Empiris;

vi. Tipe pengikiran hukumnya : Formal-irrasional dan substantive rasionality.

b.Tahap Kharismatik

i. Bentuk legitimasi: Otoritas yang kharismatik dengan kesetiaan personal;


ii. Bentuk administrasi : Tidak mengenal administrasi, tetapi hanya mengenal
rutinisasi dari kharisma.
iii. Dasar ketaatannya: Respons terhadap karakter-karakter yang bersifat
sosiopsikologis dari individu.
iv. Bentuk proses peradilan: Pewahyuan (revelation), empirical justice formalism.
v. Bentuk keadilan: Keadilan, kharismatik.
vi. Tipe pemikiran hukumnya: Formal-irrasional, substantive irrasional.
c. . Tahap Rational Legal
i. Bentuk legitimasi: Rasional-legal. Otoritasnya bersumber pada sistem
hukumnya, yang diperankan secara rasional dan sadar.

ii. Bentuk administrasi: Birokrasi dan profesionalisme.

iii. Dasar ketaatan: Impersonal (not to individual, not to office)

iv. Bentuk proses peradilan : Rasional. Pelaksansan secara rasional aturan-aturan


yang abstak melalui staf yang profesional.

v. Bentuk keadilan:
vi. Tipe pemikiran hukurn : Formal-rationality (Logical Formal Rationality).

Ada teori Max Weber yang tampaknya hanya selaras dengan kenyataan
masyarakat Eropa, khususnya di Jerman, yaitu konsepnya yang memandang
bahwa perkembangan hukum senantiasa selaras dengan perkembangan
masyarakatnya. Konsep ini hanya tepat jika digunakan bagi masyarakat yang
tidak pernah mengenal revolusi, tetapi tidak lagi tepat jika digunakan untuk
masyarakat yang pernah melakukan revolusí seperti kita di Indonesia. Dalam
masyarakat yang pernah mengenal revolusi, perkembangan masyarakat tidak
selalu selaras dengan perkembangan hukumnya. Dalam kenyataannya, ada
masyarakat yang sebenarnya masih dalam tahapan "charismatic authority",
dengan pemikirannya yang masih “formal irrationality", tetapi hukum yang
mereka perlakukan yang sifatnya sudah berasal dari tahapan rasional.

3. Esensi Ajaran Emile Durkheim

a. Emile Durkheim memperhatikän struktur dan kelembagaan masyarakat


dengan mempertanyakan: "What is it about human society with its ever more
complex interrelationships, structures and institutions which ensures not only
its (continuity and cohesion but also its transformations?" (Apakah
sesungguhnya yang terdapat di dalam masyarakat yang begitu rumit
hubungan-hubungannya, struktur-struktur dan lembaganya, tetapi
ternyatamempunyai kontinyuitas dan berada dalam kohesi yang kuat dan
dapat bertahan dari masa ke masa).
b. "What holds society together? Social Order! The primary of the social. (Apa
sebenarnya yang menyebabkan semuanya itu terikat menjadi sae
kesatuan? Penyebabnya adalah "social order". Yang terpenting dalam
masyarakat itu adalah kehidupan sosial)
c. "Collective life is not born from individual life, but it is on the contrary u
second which is born of the first", (Kehidupan kolektif tidak lahir dari individu,
melainkan individulah yang lahir dari kehidupan kolektif).
d. "Social life, especially where it exists durably, tends inevitably to assunry
definie form and to organise itself and law is nothing also thán thở
organisation in so far it has greater stability and precision.
a. (Kehidupan sosial dapat bertahan terus karena masyarakat mampu
mengorganisir dirinya sendiri, dan hukum itulah salah satu sarana
pengorganisasian seperti itu, karena adanya hukum, maka masyarakat dapat
stabil dan berkesinambungan).
e. "The visible symbol is law". (Hukum adalah simbol yang "visible" dari social
order).
f. Selanjutnya Durkheim melihat masyarakat di dunia ini tidak sama dalam
perkembangannya, Jadi ternyata "social order" itu bentuknya
bermacam-macam, ada yang sederhana dan ada yang rumit. Dari sini
Durkheim tiba pada kesimpulan bahwa ada dua tipe masyarakat dengan
tipe hukum dan tipe solidaritas yang berbeda.

i. Bentuk masyarakat yang sederhana memiliki bentuk solidaritas yang


mekanik dan tipe hukum yang repressif.

ii. Bentuk masyarakat yang kompleks memiliki bentuk solidaritas yang


organik dan tipe hukum yang restitutif.
g. Di dalam masyarakat yang memiliki solidaritas mekanik, di antara
anggota-anggota masyarakat terdapat suatu keterikatan yang besar, dan
keterikatan yang besar itu yang menjadi dasar berdirinya masyarakat
yang sederhana itu. Di dalam masyarakat seperti itu tidak dapat ditolerir
timbulnya perbedaan, sehingga hubungan-hubungan di situ bersifat
mekanis. Menurut cara berpikir mereka, kalau terjadi penyimpangan
atau kelainan, menyebabkan ambruknya masyarakat itu. Hukum yang
dapat menjamin masyarakat seperti itu adalah hukum yang bersifat
represif atau menindak, jadi sifatnya hukum pidana.
h. Di dalam masyarakat yang memiliki solidaritas organik, mengandalkan
pada kebebasan dan kemerdekaan anggota masyarakatnya. Justru
dengan kebebasan dan kemerdekaan itulah menjamin berdirinya
masyrakat yang kompleks ini. Hukum yang cocok adalah yang bersifat
restitutif, jadi bukan bekerja dengan jalan menindak, tetapi hukum yang
bekerja dengan memulihkan atau mengembalikan sesuatu pada keadaan
semula (restitutif in integrum).

Arti penting Emile Durkheim adalah karena ia termasuk orang yang Pertama
memandang peranan hukum dalam membentuk masyarakatnya, yang kini lazim
disebut hukum dan pembangunan. Jadi sebenarnya nenek moyang dari studi hukum
dan pembangunan adalah Emile Durkheim.

Pembaharuan suatu bidang hukum harus dibuat sesuai dengan arah


bentuk masyarakat tertentu yang diinginkan. Sebagai contoh, konsep Ekonomi
Pancasila, yang bentuk masyarakatnya adalah bentuk masyarakat sederhana. Untuk
mensukseskan konsep Ekonomi Pancasila itu, harus diikutsertakan sarjana hukum
sebagai "arsitek sosial"nya, yang akan merancang hukumnya, karena alat untuk
dapat mewujudkan konsep tadi adalah hukum.

Lebih lanjut Emile Durkheim menyatakan bahwa apa saja yang dapat
dilakukan oleh setiap individu dalam masyarakat adalah tergantung "social
order". Jadi kebebasan itu tidak ada dalam individu, tetapi kebebasan itu berada
dalam kerangka masyarakat.

Jika dilihat dari teori Emile Durkheim ini, maka bentuk masyarakat Indonesialah yang
justru benar, dan justru bentuk masyarakat individual ala Barat yang salah.
Kritik terhadap teori Emile Durkheim adalah bahwa tidak benar pada masyarakat yang
sederhana hukumnya repressif, justru hukumnya bersifat restitutif.

Menurut Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H, kritik semacam itu tidak mengurangi
kebesaran Emile Durkheim sebagai pelopor, yang mana sebagai seorang pelopor tentu
saja setiap kesalahan yang dibuatnya tentu kelihatan besar.
4. Esensi Ajaran Eugen Ehrlich

Eugen Ehrlich terkenal dengan kalimatnya: "the centre of gravity of legal development
lies not in legislation, nor in juristicscience, nor in judicial decision, but in society itself".
Jadi bagi Ehrlich, perkembangan hukum itu tidak terdapat dalamundang-undang,
tidak juga dalam ilmu hukum, dan juga tidak dalam putusan pengadilan, melainkan di
dalam masyarakat sendiri.

Ehrlich terkenal juga dengan konsep "living law"nya.

Menurut Ehrlich, ada dua sumber hukum:

a. Legal history and jurisprudence, yaitu penggunaan preseden dan komentar tertulis,

b. Living law yang tumbuh dari kebiasaan mutakhir dalam masyarakat.

Ehrlich juga membedakan kaidah-kaidah yang terdapat dalam masyarakat ke dalam


dua jenis:

a. norms of decision yaitu kaidah hukum.

b. norms of conduct yaitu kaidah-kaidah sosial selain kaidah' hükum, yang muncul akibat
pergaulan hidup sesama warga masyarakat.

Tentang konsep living law dari Ehrlich yang merupakan jantung dari keseluruhan
teorinya, Curzon (1979: 145-146) menuliskan:

“…It was the living law that dominated sociely's life even though it had not always been
reduced to formal, legal propositions. It reflected the values of Society.

a. The "inner order" of society's life its "culture pattern was never static. Values changed;
attitudes to wrong doing varied from time to time; concepts of what constituted "criminal
conduct" altered over the years.

b. There was, necessarily, a "gap" between the living law and the positive law. One had
morely to examine commercial usage to note the differences in the procedures of
business and the formal laws relating to them.

c. It was the task of legislators and judges to study the living law so as torecognise the
existence and extent of the "gap" between living and posi-tive law. The recognition of
mere norms of decision resulted in failure totake into account the principles and practices
of the living law based onpopular acceptation of institutions created by the workings of
groupswithin society, (Ehrlich's definition of society was:" the sum total of the
human associations that have mutual relations with one another"). Legis-lators should
attempt an integration of living law and formal rules so thatthe law could give formal
expression to society's innermost feelings.(Ehrlich's views on the gap between society's
inner feelings and the posi-tive law have been illustrated by reference to R. versus
Macallister (1808)in which a jury found that, in a case of larceny carrying a possible
penaltyof capital punishment, the "total value" of twoguinea and half-guinea coins was
"under forty shillings”.

5. Esensi Ajaran Talcott Parsons

Masyarakat dilihat Parsons sebagai satu totalitas yang mempunyai duamacam


lingkungan, yaitu: ultimate realty dan fisik urganik. Masyarakat
mengorganisir sedemikian rupa untuk dapat menghadapi dua lingkunganni. Untuk
menghadapi kedua lingkungan tersebut, masyarakat mengorgan sirdirn ke dalam
beberapa sub-sistem, masing-masing: subsistem ekeno ni,politik, sosial dan budaya.
Tiap-tiap sub sistem memiliki fungsi khas, yaitu:

a. sub sistem ekonomi berfungsi adaptasi (adaptation),


b. sub sistem politik berfungsi pencapaian tujuan (goal pursuance).
c. sub sistem sosial berfungsi mempertahankan pola (pattern maintenance),
d. sub sistem budaya berfungsi sebagai integrasi ( integration).

Integration, artinya tanpa kebudayaan, maka masyarakattidak dapat berintegrasi,


tidak dapat berdiri sebagai kesatuan. Contoh Mengusahakan adanya "integration" melalui
Penataran P4.

Pattern maintenance berarti prosesproses/hubungan-hubungan di dalam masyarakat


diintegrasikan menjadi satu sehingga masyarakat dapat merupakan satu kesatuan.
Contohnya dengan adanya aturan jual beli maka dapat diintegrasikan orang-orang yang
mengadakan hubungan jual beli.

Goal pursuance berarti setiap warga masyarakat selalu mempunyai kebutuhan untuk
mengetahui ke arah mana tujuan masyarakat itu digerakkan:Dengan politik, masyarakat
dihimpun sebagai satu totalitas untukmenentukan satu tujuan bersama Contohnya
masyarakat Indonesiabertujuan mencapai masyarakat yang adil dan makmur.
Adaptation merupakan fungsi bagaimana masyarakat itu dapat memanfaatkan
sumber daya di sekitarnya secara fisik organik.

Yang menarik adalah adanya hubungan antara masing-masing sub sistemdan


mengenal adanya dua arus, yaitu arus informasi dan arus energi.Arus energi yang
tertinggi pada sub-sistem ekonomi. Sub sistem budaya memang sangat kaya dengan ide,
tetapi miskin dalam energi.

Konsep Talcott Parsons ini dinamai konsep Sibernetik. Arus informasi terbesar pada
sub sistem budaya, dan semakin kecil ke sosial, politik danterakhir pada ekonomi.
Sebaliknya arus energi terbesar pada ekonomi, semakin kecil pada politik, sosial dan
terakhir budaya.

Pada masyarakat sederhana, diferensiasi antara sub-sub sistem yang terdapat


dalam konsep Sibernetika itu belum tajam, sedangkan dalam suatu masyarakat modern
yang kompleks, perbedaan dan pemisahan yang tajam sudah terlihat di antara masing-
masing sub sistem tersebut.

Pembedaan antara "ultimate reality" dengan "fisik organik" olen Parsons, menurut
penulis tepat, tetapi tetap ada perbedaan antara manusia fisik organik.sebagai makhluk
fisik organik dengan binatang yang juga sebagai makhluk fisik organik.

Binatang sebagai makhluk biologis hanya memiliki sinnhaft (kebutuhan biologis),


sedang manusia sebagai makhluk biologis juga memiliki sinnhaft.Tetapi manusia, selain
memiliki sinnhaft, juga mememiliki ideenhaft(keterikatan pada ide) yang tidak dimiliki oleh
binatang. Sebagai contoh: Lapar adalah sinnhaft setiap manusia, tetapi berkat adanya
ideenhaft-nya,bagi manusia Muslim di bulan suci Ramadhan dapat menahan diri untuk
menahan lapar dan dahaga hingga saat berbuka puasa.Teori Sibernetik pertama-tama
digunakan dalam ilmu anatomi di bidang ilmu kedokteran, di mana tubuh manusia yang
terdiri dari bagian-bagian tubuh dilihat sebagai satu sistem, dengan fungsi sub-sub sistem
yangberbeda-beda. Kemudian Parsons mentransfer Sibernetik itu ke dalam Sosiologi,
dan mengganti eksistensi tubuh manusia dengan eksistensi masyarakat. Inilah yang
membentuk "grand theory"nya. Parsons memandang manusia dalam dua wujud, yakni:
a.manusia sebagai individu yang memiliki empat sub sistem:
i, cultural system,

ii. social system,

ii. personality,

iv. behavioral organism

b. manusia sebagai warga masyarakat yang memiliki empat sub sistem:


i, cultural system,

ii. social system,

iii. political system,

iv. economy system.

Secara "behavioral organism", mungkin manusia umumnya sama. Tetapi


mengapa "personality"-nya berbeda-beda? Ini disebabkan karena secara "cultural"
berbeda.

Jika, A, B, dan C melakukan hubungan masing-masing secara timbal balik, maka


selain tubuh A, B, dan C yang berhubungan, juga terutama kepribadian A, B, dan C
masing-masing yang berhubungan.

Hubungan inilah yang membentuk "social system". Interaksi di dalammasyarakat


berbentuk "system of expectations". Inilah yangmengakibatkan kalau manusia itu masuk
ke dalam jaringan "social system", maka dengan sendirinya manusia itu telah berada
dalam jaringan “system of expectations" dari "social system" tertentu.

Apa yang dimaksud dengan "system of expectations" tadi dapat penulisJelaskan


dengan contoh di bawah ini.

Di dalam suatu keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, dan beberapa anak-
anaknya, tidak hanya terjadi interaksi antara seorang pria dewasa yang
kebetulan berstątus ayah, bukan scorang wanita dewasa yang kebetulan
berstatus ibu, dan bukan manusia-manusia kecil yang kebetulan berstatus anak,
melainkan justru yang menjadikan ciri sebagai keluarga adalah adanya "system of
expectations", yaitu terjadinya harapan-harapan akibat terjadinya perubahan status dari
status bujang menjadi suami, dari status gadis menjadi istri.

Perubahannya antara lain, pada waktu masih bujangan, si pria tadi bebas keluyuran
sampai pagi, bebas pacaran dengan berbagai wanita, dapat menghabiskan seluruh
gajinya untuk foya-foya dengan temannya, tetapi dengan menikahnya ia statusnya pun
berubah menjadi suami, dan muncullah "expectation" sebagai suami, "expectation" atau
yang diharapkan adalah bahwa keadaan seperti ketika ia masih bujang, tidak benar lagi
jika mau dipraktikkannya.

Demikian pula sebaliknya pada si istri. Ketika ia masih gadis, ia bebas untuk
berteman dan bergaul dengan pria mana saja yang diinginkannya; sehari suntuk dapat
digunakannya untuk berdandan di depan cermin; tetapi dengan perubahan statusnya
menjadi istri, maka keadaan seperti ketika ia masih gadis sudah salah jika ia masih ingin
meneruskannya.

Apa arti suami? Apa arti istri? Seorang suami "expectation" untuk tidak pulang
pagi, "expectation" untuk tidak bergaul bebas lagi dengan wanita-wanita lain,
"expectation" untuk tidak menghabiskan gajinya buat foya-foya di luar rumah. Demikian
pula seorang istri "expectation" untuk tidak bergaul dengan pria lain selain suaminya,
"expectation" untuk tidak hanya mengurus dirinya sendiri. Anak-anak pun demikian juga,
mereka memiliki "expectation" apa yang harus dilakukannya terhadap orang tuanya.
Di dalam kenyataannya, antara "expectations" (harapan-harapan) tersebut tidak
selaras dengan "performance" (pelaksanaannya,kenyataannya). Makin lebar jarak antara
"expectation" dengan "performance", makin tidak ideallah hubungan tersebut.
Yang memberikan arti pada "system of expectations" itu adalah kaidah-kaidah. Jadi
yang mengisi "system of expectations" itu adalah kaidah sosial.mencakup kaidah hukum,
agama, moral, dan kesopanan.

Tanpa adanya kaidah sosial, maka tak mungkin ada kriteria tentang "expectations"
tadi, Kaidah-kaidah sosial itu tidak "jatuh" dari langit begitu saja, melainkan merupakan
pencerminan dari sistem budayanya.
Di sini penulis tidak sependapat dengan Hans Kelsen yang ingin membersihkan
hukum dari nilai (value). Bagi Hans Kelsen, objek hukum hendaknya hanya undang-
undang dasar sebagai “grundnorm" dan berikut peraturan-peraturan di bawahnya dalam
persepsi piramidanya.

Menurut Talcott Parsons, kebebasan tidak dapat diartikan sebagai kebebasan


“behavioral organism”, tetapi kebebasan itu harus diartikan sebagai kebebasan dalam
arti “social system”.

Parsons juga berpendapat bahwa masyarakat itu pada mulanya “fuzed” (bersatu) dimana
perbedaan Antara sub-sub bidang yang kita kenal sekarang belum ada dalam
masyarakat. Kemudian bentuk “fuzed” tadi berkembang menjadi masyarakat yang
“diffused” (masing-masing sudah terpisah) yaitu yang sudah berada ditingkat modern,
yang telah spesialisasi , dan yang utama dalam masyarakat modern adalah efisiensi.

Sehubungan dengan itu, seorang pakar bernama Riggs, mengemukakan bahwa di antara
masyarakat yang masih "fused" dengan masyarakat yang sudah "diffused", masih ada satu
tahapan yaitu masyarakat prismatis.

6. Esensi Ajaran Schuyt

Salah satu topik yang menjadi objek bahasan Schuyt adalah konsep-konsep dan asas-asas
hukum, antara lain ajaran tentang kesalahan, eigendom, pertanggung jawaban, the rule of
law, yang semuanya jika dikaji dari sudut sosiologis, maka pertanyaan yang timbul adalah
analisis terhadap konteks sosialnya.

Kalau kita membahas di dalam konteks sosialnya, berarti kita berlatarbelakang pada
keyakinan bahwa konsep-konsep dan asas-asas hukum seperti itu adalah merupakan suatu hasil
pemikiran dari suatu masyarakat tertentu.

Sebagai contoh, Schuyt membahas konsep the rule of law dari sudut sosiologis. Konsep
"the rule of law" yang hakikatnya mengakui bahwa semua orang mempunyai kedudukan yang
sama di muka hukum, lahir pada Abad ke-18 sebagai alat dari kaum borjuis (para intelektual dan
para usahawan) ketika itu untuk melawan kekuasaan dan pengaruh kaum feodal (Raja dan para
bangsawan alias kaum ningrat). Untuk dapat merebut posisi kaum ningrat itu, masih merupakan
suatu hal yang sulit bagi kaum borjuis, mengingat sudah terlalu besarnya pengaruh raja dan
ningrat ketika itu. Satu satunya jalan adalah kaum borjuis harus menciptakan suatu struktur sosial
baru yang dapat mengatasi kekuasan golongan ningrat itu, yang tidak diletakkan pada manusia,
melainkan pada sesuatu yang abstrak, yaitu hukum dengan konsep bahwa manusia sama
kedudukannya di depan hukum (the rule of law), Jadi pada hakikatnya dan dari sudut historis
sosiologisnya, konsep "the rule of law" itu sebenarnya lahir untuk menunjang kepentingan tujuan
golongan borjuis dalam merebut kekuasaan ningrat

Tidak dapat disangkali bahwa konsep " the rule of law " kini merupakan konsep yang
positif, tetapi dengan melihat sejarahnya, asas tersebut tidak dapat kita terima selaku
doktrin belaka, karena akan tidak realistis lagi, Mengapa? Sebab kalau saat ini semua
orang diperlakukan sama, maka timbul konsekuensi orang-orang kaya tetap kaya dan
orang-orang miskin tetap miskin.

Pentingnya tinjuan sosiologis-yuridis terhadap kita di Indonesia adalah terutama


dalam pembentukan hukkm nasional kita, kita harus berhati-hati, selektif dan curiga
terhadap setiap konsep dan asas hukum yang ingin kita terima di dalam sistem hukum
nasional kita, jangan jangan asas atau konsep tersebut dulu diciptakan sebagai alat
tujuan sesuatu golongan, ideologi atau kepentingan tertentu, di mana belum tentu cocok
dengan nilai atau budaya bangsa kita.Asas keadilan bagi masyarakat A belum tentu
cocok dengan perasaan keadilan bagi masyarakat B misalnya. Memang sering kita
dengarkan keresahan sarjana hukum yang berpikiran dogmatik mereka cenderung
memandang kajian sosiologis hukum ini, karena mereka cenderung memandang kajian
sosiologi hukum ini sebagai suatu yang hanya akan mengganggu "kepastian hukum",
dan hanya akan menimbulkan ketidakpastian hukum saja. Benarkah demikian'?
Jawabannya tentu: "tidak benar!".

7. Esensi Ajaran Roscoe Pound

Profesor Roscoe Pound adalah seorang yuris Amerika Serikat dan pernah menjabat
Dekan Fakultas Hukum pada Universitas Harvard yang sangat tersohor itu. Pound adalah
satu di antara penulis paling berpengarun dalam "sociological jurisprudence". Pound
dipengaruhi oleh ajaran pragmatisme dari William James ( 1842-1910), yang
mengajarkan bahwa."the essence of good is simply to satify demand".Ada penulis yang
menggolongkan Pound sebagai penganut allrasosiologis, tetapi ada pula yang
menggolongkannya ke dalam aliran realis Amerika Serikat. Menurut penulis, dimasukkan
di manapun juga, tidak ada persoalan, karena memang antara aliran sosiologis dan aliran
realis, tidak terdapat perbedaan yang tegas, banyak kemiripan di antara kedua aliran
itu, bahkan ada pakar yang mengidentikkannya.

Pound memandang hukum sebagai:

"a social instutition created to satisfy human, social wants by givins


effectto as we may with the least sacrifice, so far as such wants may be satisfied
or such claims given effect by an ordering of human conduct through politically organised
society." (Curzon, 1979: 148).

Olehnya itu pula Pound memandang bahwa esensi dari ketertiban hukum adalah:

"the secoring and protection of a variety of interests and this necessitated themodification
of traditional and inherited legal codes to existing social condi-tions" (Curzon, 1979: 148)".

Buku-bukunya yang terkenal adalah: Justice According to Law (1951) dan buku The
Tasks of Law.Dalam pandangan Roscoe Pound,

a. Tugas hukum adalah memajukan kepentingan umum,

b. Hukum berfungsi sebagai alat:


i. social engineering,

ii. social control.

Dalam kaitan ini, Curzon (1979: 149) menuliskan bahwa:

"Jurisprudence, according to Pound, was a science of social engineering concerned with


the ordering of human relations. The legal proces could be interpreted as a type of social
control. Legal history could be seen as the record of the recognition and satisfaction of
human wants through social control, so that social interests might be secured. This
necessitates investigating the relation of law to administration and the limits of effective
legal action. Further, judges, jurists and law-makers need to be informed of the social
facts involved in legislation. The classificatiön, definition, securing and protection of
interests were essential to successful social engineering",
c. Hukum harus mengharmoniskan kepentingan umum dan kepentingan individual
melalui cit-cita keadilan yang hidup dalam hati rakyat.

d. Untuk mewujudkan tugas dan fungsi hukum itu, ide keadilan didukung oleh paksaan
dari negara.

e.Sumber-sumber hukum menurut Roscoe Pound adalah:

i. kebiasaan,

i. religi.

ii. ide-ide moral dan ide-ide filosofis.

Iv. putusan pengadilan ("adjudication")

V. diskusi ilmiah.

vi. undang-undang.

f. Tugas dari ilmu hukum yang sosiologis (sociological jurisprudence) yang


merupakan suatu sumber penting dari ide-ide, adalah untuk membantu menjamin
bahwa fakta-fakta sosial direkam dan dianalisis di dalam formulasi, interpretasi
dan penerapan hukum. Untuk itu dibutuhkan antara lain:
i. suatu studi tentang efek-efek sosial dari persepsi-persepsi hukum,
doktrin-doktrin hukum dan pranata-pranata hukum.
ii. suatu penyelidikan sosiologis, sebagai suatu tahap persiapan bagi
pembuat undang-undang.
iii. suatu studi tentang metode untuk membuat persepsi-persepsi hukum
efektif dalam penerapannya,
iv. suatu studi yang mendalam bagi proses peradilan,
v. suatu studi sosiologis tentang sejarah hukum,
vi. penghargaan terhadap pentingnya keadilan dan penalaran putusan-
putusan kasus-kasus perseorangan,
vii. mengakui bahwa tujuan studi hukum adalah untuk mencapai tujuan
tujuan hukum.
g. Menurut Pound, ada empat tahap dari evolusi hukum, yaitu:
i. Tahap pertama adalah tahap di mana masyarakat didominasi oleh
perang saudara dan pembalasan dendam, di mana dibangun "komposisi bagi
hasrat pembalasan dendam.

ii. Tahap kedua adalah tahap "hukum yang keras" (strict law), formal, aturan-aturan yang
tidak fleksibel, bertujuan semata-mata untukmewujudkan kepastian hukum.

iii. Tahap ketiga adalah tahap "equity" dan "good conscience", logis,lebih daripada
sekedar keterikatan pada kata-kata undang-undang,

iv. Tahap keempat adalah tahap perkawinan tahap kedua dan ketiga.
Pada tahap ini konsep-konsep hukum didominasi oleh "equality” dan "security
v. Pound dalam tulisannya kemudian, menggambarkan suatu tanap kelima, di mana
merupakan tahap sosialisasi hakum di manadidominasi oleh kepentingan-kepentingan
umum.

h. Akhirnya Roscoe Pound mengajak para kalangan hukum:


1. Let us look the facts of human conduct in the face
2. Let us look to economics and sociology and philosophy and ce to assume that
jurisprudence is self-sufficient.
3. Let us not become legal monks.

Anda mungkin juga menyukai