Aliran sosiologis ini memandang hukum sebagai "kenyataan sosial" dan bukan
hukum sebagai kaidah. Olehnya itu jika kita ingin membandingkan persamaan dan
perbedaan antara pandangan kaum positivis dengan kaum sosiologis di bidang hukum,
maka dapatlah dilihat sebagai berikut.
Perbedaannya adalah:
Para penganut aliran sosiologis di bidang ilmu hukum, dapat kita bedakanantara yang
menggunakan sociology of law sebagai kajiannya, dan yang menggunakan sociological
jurisprudence sebagai kajiannya. Sociology of law lahir di Italia, pertama kali dikenalkan
oleh Anzilotti. olehnya itu berkonotasi Eropa Daratan, sedangkan Sociological
Jurispridence lahir di Amerika Serikat, olehnya itu berkonotasi Anglo Saxon.
Sociology of law adalah sosiologi tentang hukum, karena itu ia merupakan cabang
sosiologi. Sedangkan Sociological Jurisprudence adalah ilmu Hukum Sosiologis, karena
itu merupakan cabang ilmu hukum. Lebih jelasnya perbedaan antara sociology of law
dan sociological jurisprudence (Curzon 1979: 137):
Max Weber adalah seorang sosiolog Jerman, dan juuga pakar ekonomi analisis
hukum dan pranata-pranata hukum di dalamnya mencakup pula konteks historis, politik
dan realitas sosial. Bagi Weber, hukum dipahaminya sebagai suatu kompleks dari
kondisi-kondisi faktual yag ditentukan eleh tindakan-tindakan manusia.Weber
memandang hukum dalam konteksnya dan hubungannya dengan sanksi. Bagi Weber,
hukum baru dapat disebut hukum jika ada jaminan eksternal bahwa aturan itu dapat
dipaksakan melalui paksaan fisik ataupun psikologis.
Max Weber membedakan empat tahapan baik dari "mode of creationnya, "formal
qualities"nya dan "types of justice"nya.
Pada "mode of creation" tahap empirical, maka tahap kualitas formalnya adalah
"raliance on honoratiorers" dan tipe keadilannya adalah "khadi justice".
Berikutnya pada "mode of.creation" tahap secular theocratic, maka kualitas formalnya
bersifat "theocratic substantive rationality" dengan tipe keadilan yang "empirical
justice".Dan akhirnya pada "mode ot creation" tahap professionalised menggunakan
kualitas formal yang "logical sublimation" dengan tipekeadilan yang "rational justice".
Max Weber juga membahas perkembangan masyarakat dan perkembangan hukum
dengan membagi 3 tahap dari "form of domination"-nya, sebagai berikut:
a. Tahap Tradisional
b.Tahap Kharismatik
v. Bentuk keadilan:
vi. Tipe pemikiran hukurn : Formal-rationality (Logical Formal Rationality).
Ada teori Max Weber yang tampaknya hanya selaras dengan kenyataan
masyarakat Eropa, khususnya di Jerman, yaitu konsepnya yang memandang
bahwa perkembangan hukum senantiasa selaras dengan perkembangan
masyarakatnya. Konsep ini hanya tepat jika digunakan bagi masyarakat yang
tidak pernah mengenal revolusi, tetapi tidak lagi tepat jika digunakan untuk
masyarakat yang pernah melakukan revolusí seperti kita di Indonesia. Dalam
masyarakat yang pernah mengenal revolusi, perkembangan masyarakat tidak
selalu selaras dengan perkembangan hukumnya. Dalam kenyataannya, ada
masyarakat yang sebenarnya masih dalam tahapan "charismatic authority",
dengan pemikirannya yang masih “formal irrationality", tetapi hukum yang
mereka perlakukan yang sifatnya sudah berasal dari tahapan rasional.
Arti penting Emile Durkheim adalah karena ia termasuk orang yang Pertama
memandang peranan hukum dalam membentuk masyarakatnya, yang kini lazim
disebut hukum dan pembangunan. Jadi sebenarnya nenek moyang dari studi hukum
dan pembangunan adalah Emile Durkheim.
Lebih lanjut Emile Durkheim menyatakan bahwa apa saja yang dapat
dilakukan oleh setiap individu dalam masyarakat adalah tergantung "social
order". Jadi kebebasan itu tidak ada dalam individu, tetapi kebebasan itu berada
dalam kerangka masyarakat.
Jika dilihat dari teori Emile Durkheim ini, maka bentuk masyarakat Indonesialah yang
justru benar, dan justru bentuk masyarakat individual ala Barat yang salah.
Kritik terhadap teori Emile Durkheim adalah bahwa tidak benar pada masyarakat yang
sederhana hukumnya repressif, justru hukumnya bersifat restitutif.
Menurut Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H, kritik semacam itu tidak mengurangi
kebesaran Emile Durkheim sebagai pelopor, yang mana sebagai seorang pelopor tentu
saja setiap kesalahan yang dibuatnya tentu kelihatan besar.
4. Esensi Ajaran Eugen Ehrlich
Eugen Ehrlich terkenal dengan kalimatnya: "the centre of gravity of legal development
lies not in legislation, nor in juristicscience, nor in judicial decision, but in society itself".
Jadi bagi Ehrlich, perkembangan hukum itu tidak terdapat dalamundang-undang,
tidak juga dalam ilmu hukum, dan juga tidak dalam putusan pengadilan, melainkan di
dalam masyarakat sendiri.
a. Legal history and jurisprudence, yaitu penggunaan preseden dan komentar tertulis,
b. norms of conduct yaitu kaidah-kaidah sosial selain kaidah' hükum, yang muncul akibat
pergaulan hidup sesama warga masyarakat.
Tentang konsep living law dari Ehrlich yang merupakan jantung dari keseluruhan
teorinya, Curzon (1979: 145-146) menuliskan:
“…It was the living law that dominated sociely's life even though it had not always been
reduced to formal, legal propositions. It reflected the values of Society.
a. The "inner order" of society's life its "culture pattern was never static. Values changed;
attitudes to wrong doing varied from time to time; concepts of what constituted "criminal
conduct" altered over the years.
b. There was, necessarily, a "gap" between the living law and the positive law. One had
morely to examine commercial usage to note the differences in the procedures of
business and the formal laws relating to them.
c. It was the task of legislators and judges to study the living law so as torecognise the
existence and extent of the "gap" between living and posi-tive law. The recognition of
mere norms of decision resulted in failure totake into account the principles and practices
of the living law based onpopular acceptation of institutions created by the workings of
groupswithin society, (Ehrlich's definition of society was:" the sum total of the
human associations that have mutual relations with one another"). Legis-lators should
attempt an integration of living law and formal rules so thatthe law could give formal
expression to society's innermost feelings.(Ehrlich's views on the gap between society's
inner feelings and the posi-tive law have been illustrated by reference to R. versus
Macallister (1808)in which a jury found that, in a case of larceny carrying a possible
penaltyof capital punishment, the "total value" of twoguinea and half-guinea coins was
"under forty shillings”.
Goal pursuance berarti setiap warga masyarakat selalu mempunyai kebutuhan untuk
mengetahui ke arah mana tujuan masyarakat itu digerakkan:Dengan politik, masyarakat
dihimpun sebagai satu totalitas untukmenentukan satu tujuan bersama Contohnya
masyarakat Indonesiabertujuan mencapai masyarakat yang adil dan makmur.
Adaptation merupakan fungsi bagaimana masyarakat itu dapat memanfaatkan
sumber daya di sekitarnya secara fisik organik.
Konsep Talcott Parsons ini dinamai konsep Sibernetik. Arus informasi terbesar pada
sub sistem budaya, dan semakin kecil ke sosial, politik danterakhir pada ekonomi.
Sebaliknya arus energi terbesar pada ekonomi, semakin kecil pada politik, sosial dan
terakhir budaya.
Pembedaan antara "ultimate reality" dengan "fisik organik" olen Parsons, menurut
penulis tepat, tetapi tetap ada perbedaan antara manusia fisik organik.sebagai makhluk
fisik organik dengan binatang yang juga sebagai makhluk fisik organik.
ii. personality,
Di dalam suatu keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, dan beberapa anak-
anaknya, tidak hanya terjadi interaksi antara seorang pria dewasa yang
kebetulan berstątus ayah, bukan scorang wanita dewasa yang kebetulan
berstatus ibu, dan bukan manusia-manusia kecil yang kebetulan berstatus anak,
melainkan justru yang menjadikan ciri sebagai keluarga adalah adanya "system of
expectations", yaitu terjadinya harapan-harapan akibat terjadinya perubahan status dari
status bujang menjadi suami, dari status gadis menjadi istri.
Perubahannya antara lain, pada waktu masih bujangan, si pria tadi bebas keluyuran
sampai pagi, bebas pacaran dengan berbagai wanita, dapat menghabiskan seluruh
gajinya untuk foya-foya dengan temannya, tetapi dengan menikahnya ia statusnya pun
berubah menjadi suami, dan muncullah "expectation" sebagai suami, "expectation" atau
yang diharapkan adalah bahwa keadaan seperti ketika ia masih bujang, tidak benar lagi
jika mau dipraktikkannya.
Demikian pula sebaliknya pada si istri. Ketika ia masih gadis, ia bebas untuk
berteman dan bergaul dengan pria mana saja yang diinginkannya; sehari suntuk dapat
digunakannya untuk berdandan di depan cermin; tetapi dengan perubahan statusnya
menjadi istri, maka keadaan seperti ketika ia masih gadis sudah salah jika ia masih ingin
meneruskannya.
Apa arti suami? Apa arti istri? Seorang suami "expectation" untuk tidak pulang
pagi, "expectation" untuk tidak bergaul bebas lagi dengan wanita-wanita lain,
"expectation" untuk tidak menghabiskan gajinya buat foya-foya di luar rumah. Demikian
pula seorang istri "expectation" untuk tidak bergaul dengan pria lain selain suaminya,
"expectation" untuk tidak hanya mengurus dirinya sendiri. Anak-anak pun demikian juga,
mereka memiliki "expectation" apa yang harus dilakukannya terhadap orang tuanya.
Di dalam kenyataannya, antara "expectations" (harapan-harapan) tersebut tidak
selaras dengan "performance" (pelaksanaannya,kenyataannya). Makin lebar jarak antara
"expectation" dengan "performance", makin tidak ideallah hubungan tersebut.
Yang memberikan arti pada "system of expectations" itu adalah kaidah-kaidah. Jadi
yang mengisi "system of expectations" itu adalah kaidah sosial.mencakup kaidah hukum,
agama, moral, dan kesopanan.
Tanpa adanya kaidah sosial, maka tak mungkin ada kriteria tentang "expectations"
tadi, Kaidah-kaidah sosial itu tidak "jatuh" dari langit begitu saja, melainkan merupakan
pencerminan dari sistem budayanya.
Di sini penulis tidak sependapat dengan Hans Kelsen yang ingin membersihkan
hukum dari nilai (value). Bagi Hans Kelsen, objek hukum hendaknya hanya undang-
undang dasar sebagai “grundnorm" dan berikut peraturan-peraturan di bawahnya dalam
persepsi piramidanya.
Parsons juga berpendapat bahwa masyarakat itu pada mulanya “fuzed” (bersatu) dimana
perbedaan Antara sub-sub bidang yang kita kenal sekarang belum ada dalam
masyarakat. Kemudian bentuk “fuzed” tadi berkembang menjadi masyarakat yang
“diffused” (masing-masing sudah terpisah) yaitu yang sudah berada ditingkat modern,
yang telah spesialisasi , dan yang utama dalam masyarakat modern adalah efisiensi.
Sehubungan dengan itu, seorang pakar bernama Riggs, mengemukakan bahwa di antara
masyarakat yang masih "fused" dengan masyarakat yang sudah "diffused", masih ada satu
tahapan yaitu masyarakat prismatis.
Salah satu topik yang menjadi objek bahasan Schuyt adalah konsep-konsep dan asas-asas
hukum, antara lain ajaran tentang kesalahan, eigendom, pertanggung jawaban, the rule of
law, yang semuanya jika dikaji dari sudut sosiologis, maka pertanyaan yang timbul adalah
analisis terhadap konteks sosialnya.
Kalau kita membahas di dalam konteks sosialnya, berarti kita berlatarbelakang pada
keyakinan bahwa konsep-konsep dan asas-asas hukum seperti itu adalah merupakan suatu hasil
pemikiran dari suatu masyarakat tertentu.
Sebagai contoh, Schuyt membahas konsep the rule of law dari sudut sosiologis. Konsep
"the rule of law" yang hakikatnya mengakui bahwa semua orang mempunyai kedudukan yang
sama di muka hukum, lahir pada Abad ke-18 sebagai alat dari kaum borjuis (para intelektual dan
para usahawan) ketika itu untuk melawan kekuasaan dan pengaruh kaum feodal (Raja dan para
bangsawan alias kaum ningrat). Untuk dapat merebut posisi kaum ningrat itu, masih merupakan
suatu hal yang sulit bagi kaum borjuis, mengingat sudah terlalu besarnya pengaruh raja dan
ningrat ketika itu. Satu satunya jalan adalah kaum borjuis harus menciptakan suatu struktur sosial
baru yang dapat mengatasi kekuasan golongan ningrat itu, yang tidak diletakkan pada manusia,
melainkan pada sesuatu yang abstrak, yaitu hukum dengan konsep bahwa manusia sama
kedudukannya di depan hukum (the rule of law), Jadi pada hakikatnya dan dari sudut historis
sosiologisnya, konsep "the rule of law" itu sebenarnya lahir untuk menunjang kepentingan tujuan
golongan borjuis dalam merebut kekuasaan ningrat
Tidak dapat disangkali bahwa konsep " the rule of law " kini merupakan konsep yang
positif, tetapi dengan melihat sejarahnya, asas tersebut tidak dapat kita terima selaku
doktrin belaka, karena akan tidak realistis lagi, Mengapa? Sebab kalau saat ini semua
orang diperlakukan sama, maka timbul konsekuensi orang-orang kaya tetap kaya dan
orang-orang miskin tetap miskin.
Profesor Roscoe Pound adalah seorang yuris Amerika Serikat dan pernah menjabat
Dekan Fakultas Hukum pada Universitas Harvard yang sangat tersohor itu. Pound adalah
satu di antara penulis paling berpengarun dalam "sociological jurisprudence". Pound
dipengaruhi oleh ajaran pragmatisme dari William James ( 1842-1910), yang
mengajarkan bahwa."the essence of good is simply to satify demand".Ada penulis yang
menggolongkan Pound sebagai penganut allrasosiologis, tetapi ada pula yang
menggolongkannya ke dalam aliran realis Amerika Serikat. Menurut penulis, dimasukkan
di manapun juga, tidak ada persoalan, karena memang antara aliran sosiologis dan aliran
realis, tidak terdapat perbedaan yang tegas, banyak kemiripan di antara kedua aliran
itu, bahkan ada pakar yang mengidentikkannya.
Olehnya itu pula Pound memandang bahwa esensi dari ketertiban hukum adalah:
"the secoring and protection of a variety of interests and this necessitated themodification
of traditional and inherited legal codes to existing social condi-tions" (Curzon, 1979: 148)".
Buku-bukunya yang terkenal adalah: Justice According to Law (1951) dan buku The
Tasks of Law.Dalam pandangan Roscoe Pound,
d. Untuk mewujudkan tugas dan fungsi hukum itu, ide keadilan didukung oleh paksaan
dari negara.
i. kebiasaan,
i. religi.
V. diskusi ilmiah.
vi. undang-undang.
ii. Tahap kedua adalah tahap "hukum yang keras" (strict law), formal, aturan-aturan yang
tidak fleksibel, bertujuan semata-mata untukmewujudkan kepastian hukum.
iii. Tahap ketiga adalah tahap "equity" dan "good conscience", logis,lebih daripada
sekedar keterikatan pada kata-kata undang-undang,
iv. Tahap keempat adalah tahap perkawinan tahap kedua dan ketiga.
Pada tahap ini konsep-konsep hukum didominasi oleh "equality” dan "security
v. Pound dalam tulisannya kemudian, menggambarkan suatu tanap kelima, di mana
merupakan tahap sosialisasi hakum di manadidominasi oleh kepentingan-kepentingan
umum.