Anda di halaman 1dari 44

REFERAT

GEJALA INFEKSI COVID 19 YANG MUNGKIN


BERHUBUNGAN DENGAN ADANYA LARINGITIS KRONIS

Pembimbing :
dr. Erwinantyo Budi Kusumo, Sp.THT-KL

Disusun Oleh:
Yogi Adhitya Arganatha 112018074
Wahyu Hidayat 112019206

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG


TENGGOROK
FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA
RS PANTI WILASA DR.CIPTO, SEMARANG
PERIODE 05 JULI 2021 - 07 AGUSTUS 2021

1
BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Laringitis adalah suatu peradangan pada kotak suara (laring) dapat berupa laringitis akut
atau laringitis kronis. Laringitis kronis adalah proses inflamasi pada mukosa pita suara dan
laring yang terjadi dalam jangka waktu yang lama. Laringitis kronik terjadi karena
pemaparan oleh penyebab yang terus-menerus. Laringitis kronis dapat timbul pada anak-
anak maupun dewasa. Angka kejadian untuk laringitis kronis lebih banyak diderita oleh pria
daripada wanita. Etiologi dari laringitis kronis dapat disebabkan oleh infeksi virus, infeksi
tuberkulosis, infeksi jamur, sifilis, pajanan terhadap debu, kebiasaan merokok dan sering
mengkonsumsi alkohol.1

Berdasarkan etiologinya, laringitis kronis dapat dibagi atas laringitis kronis non spesifik dan
spesifik. Laringitis kronis non spesifik dapat disebabkan oleh faktor eksogen (rangsangan
fisik oleh penyalahgunaan suara, rangsangan kimia, infeksi kronik saluran napas atas atau
bawah, asap rokok) dan faktor endogen (bentuk tubuh, kelainan metabolik) sedangkan yang
spesifik disebabkan oleh tuberkulosis dan sifilis.2

Laringitis kronik jarang disebabkan oleh virus atau bakteri. Kebanyakan adalah komplikasi
dari satu atau lebih faktor eksogen yang berlangsung lama yang dapat merusak pita suara,
terutama kebiasaan merokok, batuk pada penyakit paru obstruktif kronik, ingus yang turun
mengalir dari hidung atau sinus paranasal, pengeringan selaput lendir, penyalahgunaan suara
(hiperkinetisme) dan refluks gastroesofagus (GERD).2

Virus merupakan salah satu penyebab penyakit menular yang perlu diwaspadai. Dalam 20
tahun terakhir, beberapa penyakit virus menyebabkan epidemi seperti severe acute
respiratory syndrome coronavirus (SARS-CoV) pada tahun 2002-2003, influenza H1N1
pada tahun 2009 dan Middle East Respiratory Syndrome (MERS-CoV) yang pertama kali
teridentifikasi di Saudi Arabia pada tahun 2012.3

Pada tanggal 31 Desember 2019, Tiongkok melaporkan kasus pneumonia misterius yang
tidak diketahui penyebabnya. Dalam 3 hari, pasien dengan kasus tersebut berjumlah 44
pasien dan terus bertambah hingga saat ini berjumlah jutaan kasus. Pada awalnya data

2
epidemiologi menunjukkan 66% pasien berkaitan atau terpajan dengan satu pasar seafood
atau live market di Wuhan, Provinsi Hube Tiongkok. Sampel isolat dari pasien diteliti dengan
hasil menunjukkan adanya infeksi coronavirus (2019-nCoV). Pada tanggal 11 Februari 2020,
World Health Organization memberi nama virus baru tersebut SARS-CoV-2 dan nama
penyakitnya sebagai Coronavirus Disease 2019 (COVID-19). Virus corona ini menjadi
patogen penyebab utama outbreak penyakit pernapasan. Virus ini adalah virus RNA rantai
tunggal (single-stranded RNA) yang dapat diisolasi dari beberapa jenis hewan, terakhir
disinyalir virus ini berasal dari kelelawar kemudian berpindah ke manusia. Pada mulanya
transmisi virus ini belum dapat ditentukan apakah dapar melalui antar manuisa-manusia.
Jumlah kasus terus bertambah seiring dengan waktu. Akhirnya dikonfirmasi bahwa transmisi
pneumonia ini dapat menular dari manusia ke manusia. Pada tanggal 11 Maret 2020, WHO
mengumumkan bahwa COVID-19 menjadi pandemi di dunia.3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Anatomi Laring

Laring adalah bagian dari saluran pernafasan bagian atas yang merupakan suatu rangkaian
tulang rawan yang berbentuk corong dan terletak setinggi vertebra cervicalis IV – VI,
dimana pada anak-anak dan wanita letaknya relatif lebih tinggi. Laring pada umumnya
selalu terbuka, hanya kadang-kadang saja tertutup bila sedang menelan makanan. 4

3
Lokasi laring dapat ditentukan dengan inspeksi dan palpasi dimana didapatkannya kartilago
tiroid yang pada pria dewasa lebih menonjol kedepan dan disebut Prominensia Laring atau
disebut juga Adam’s apple atau jakun. 4

Batas-batas laring berupa sebelah kranial terdapat Aditus Laringeus yang berhubungan
dengan Hipofaring, di sebelah kaudal dibentuk oleh sisi inferior kartilago krikoid dan
berhubungan dengan trakea, di sebelah posterior dipisahkan dari vertebra cervicalis oleh
otot-otot prevertebral, dinding dan cavum laringofaring serta disebelah anterior ditutupi oleh
fascia, jaringan lemak, dan kulit. Sedangkan di sebelah lateral ditutupi oleh otot-otot
sternokleidomastoideus, infrahyoid dan lobus kelenjar tiroid. 4

Laring berbentuk piramida triangular terbalik dengan dinding kartilago tiroidea di sebelah
atas dan kartilago krikoidea di sebelah bawahnya. Os Hyoid dihubungkan dengan laring
oleh membrana tiroidea. Tulang ini merupakan tempat melekatnya otot-otot dan ligamenta
serta akan mengalami osifikasi sempurna pada usia 2 tahun. Secara keseluruhan laring
dibentuk oleh sejumlah kartilago, ligamentum dan otot-otot.4

Kartilago

Kartilago laring terbagi atas 2 (dua) kelompok, yaitu : 4

1. Kelompok kartilago mayor, terdiri dari :


 Kartilago Tiroidea, 1 buah
 Kartilago Krikoidea, 1 buah
 Kartilago Aritenoidea, 2 buah
2. Kartilago minor, terdiri dari :
 Kartilago Kornikulata Santorini, 2 buah
 Kartilago Kuneiforme Wrisberg, 2 buah
 Kartilago Epiglotis, 1 buah

4
Gambar 1. Tulang dan kartilago tampak lateral. Sumber dari:
http://www.virtualpediatrichospital.org/providers/ElectricAirway/AnatImages/Larynx
GrossAnatomy.jpg

Gambar 2. Tulang dan kartilago laring tampak sagital. Sumber dari:


http://www.virtualpediatrichospital.org/providers/ElectricAirway/AnatImages/Larynx
GrossAnatomy.jpg

5
Gambar 3. Tulang dan kartilago laring tampak posterior. Sumber dari:
http://www.virtualpediatrichospital.org/providers/ElectricAirway/AnatImages/Larynx
GrossAnatomy.jpg

Kartilago Tiroidea

Merupakan suatu kartilago hyalin yang membentuk dinding anterior dan lateral laring, dan
merupakan kartilago yang terbesar. Terdiri dari 2 (dua) sayap (ala tiroidea) berbentuk seperti
perisai yang terbuka dibelakangnya tetapi bersatu di bagian depan dan membentuk sudut
sehingga menonjol ke depan disebut Adam’s apple. Sudut ini pada pria dewasa kira-kira 90
derajat dan pada wanita 120 derajat. Diatasnya terdapat lekukan yang disebut thyroid notch
atau incisura tiroidea, dimana di belakang atas membentuk kornu superior yang dihubungkan
dengan os hyoid oleh ligamentum tiroidea lateralis, sedangkan di bagian bawah membentuk
kornu inferior yang berhubungan dengan permukaan posterolateral dari kartilago krikoidea
dan membentuk artikulasio krikoidea. Dengan adanya artikulasio ini memungkinkan
kartilago tiroidea dapat terangkat ke atas. Di sebelah dalam perisai kartilago tiroidea terdapat
bagian dalam laring, yaitu : pita suara, ventrikel, otot-otot dan ligamenta, kartilago
aritenoidea, kuneiforme serta kornikulata. 4

Permukaan luar ditutupi perikondrium yang tebal dan terdapat suatu alur yang berjalan oblik
dari bawah kornu superior ke tuberkulum inferior. Alur ini merupakan tempat perlekatan
muskulus sternokleidomastoideus, muskulus tirohioideus dan muskulus konstriktor faringeus
inferior.4

6
Permukaan dalamnya halus tetapi pertengahan antara incisura tiroidea dan tepi bawah
kartilago tiroidea perikondriumnya tipis, merupakan tempat perlekatan tendo komisura
anterior. Sedangkan tangkai epiglotis melekat kira-kira 1 cm diatasnya oleh ligamentum
tiroepiglotika. Kartilago ini mengalami osifikasi pada umur 20 – 30 tahun.4

Kartilago Krikoidea

Kartilago ini merupakan bagian terbawah dari dinding laring. Merupakan lkartilago hialin
yang berbentuk cincin stempel (signet ring) dengan bagian alsanya terdapat di belakang.
Bagian anterior dan lateralnya relatif lebih sempit darpada bagian posterior. Kartilago ini
berhubungan dengan kartilago tiroidea tepatnya dengan kornu inferior melalui membrana
krikoidea (konus elastikus) dan melalui artikulasio krikoaritenoidea. Di sebelah bawah
melekat dengan cincin trakea I melalui ligamentum krikotiroidea. Pada keadaan darurat dapat
dilakukan tindakan trakeostomi emergensi atau krikotomi atau koniotomi pada konus
elastikus. Kartilago krikoidea pada dewasa terletak setinggi vertebra servikalis VI – VII dan
pada anak-anak setinggi vertebra servikalis III – IV. Kartilago ini mengalami osifikasi setelah
kartilago tiroidea.4

Kartilago Aritenoidea

Kartilago ini juga merupakan kartilago hyalin yang terdiri dari sepasang kartilago berbentuk
piramid 3 sisi dengan basis berartikulasi dengan kartilago krikoidea, sehingga
memungkinkan pergerakan ke medio lateral dan gerakan rotasi. Dasar dari piramid ini
membentuk 2 tonjolan yaitu prosesus muskularis yang merupakan tempat melekatnya m.
krikoaritenoidea yang terletak di posterolateral, dan di bagian anterior terdapat prosesus
vokalis tempat melekatnya ujung posterior pita suara. Pinggir posterosuperior dari konus
elastikus melekat ke prosesus vokalis. Ligamentum vokalis terbentuk dari setiap prosesus
vokalis dan berinsersi pada garis tengah kartilago tiroidea membentuk tiga per lima bagaian
membranosa atau vibratorius pada pita suara. Tepi dan permukaan atas dari pita suara ini
disebut glotis.5

Kartilago aritenoidea dapat bergerak ke arah dalam dan luar dengan sumbu sentralnya tetap,
karena ujung posterior pita suara melekat pada prosesus vokalis dari aritenoid maka gerakan

7
kartilago ini dapat menyebabkan terbuka dan tertutupnya glotis. Kalsifikasi terjadi pada
dekade ke 3 kehidupan.4

Kartilago Epiglotis

Bentuk kartilago epiglotis seperti bet pingpong dan membentuk dinding anterior aditus
laringeus. Tangkainya disebut petiolus dan dihubungkan oleh ligamentum tiroepiglotika
ke kartilago tiroidea di sebelah atas pita suara. Sedangkan bagian atas menjulur di belakang
korpus hyoid ke dalam lumen faring sehingga membatasi basis lidah dan laring. Kartilago
epiglotis mempunyai fungsi sebagai pembatas yang mendorong makanan ke sebelah
menyebelah laring. 4,6

Kartilago Kornikulata

Merupakan kartilago fibroelastis, disebut juga kartilago Santorini dan merupakan kartilago
kecil di atas aritenoid serta di dalam plika ariepiglotika.4

Kartilago Kuneiforme

Merupakan kartilago fibroelastis dari Wrisberg dan merupakan kartilago kecil yang terletak
di dalam plika ariepiglotika.4

Ligamentum dan Membrana

Ligamentum dan membran laring terbagi atas 2 grup, yaitu

1. Ligamentum ekstrinsik , terdiri dari :


 Membran tirohioid
 Ligamentum tirohioid
 Ligamentum tiroepiglotis
 Ligamentum hioepiglotis
 Ligamentum krikotrakeal

8
Gambar 4. The extrinsic ligament.
Sumber dari: Harry M. Tucker, The Larynx, Thieme 1987, p.8, fig.1.7

2. Ligamentum instrinsik, teridiri dari:


 Membran quadrangularis
 Ligamentum vestibular
 Konus elastikus
 Ligamentum krikotiroid media
 Ligamentum vokalis

9
Gambar 5. The instrinsik ligament

Sumber dari: Harry M. Tucker, The Larynx, Thieme 1987, p.8, fig.1.7

Membrana Tirohioidea

Membrana ini menghubungkan tepi atas kartilago tiroidea dengan tepi atas belakang os
hioidea yang pada bagian medial dan lateralnya mengalami penebalan membentuk
ligamentum tirohioideus lateral dan medial. Membrana ini ditembus oleh a. laringeus
superior cabang interna n. laringeus superior dan pembuluh limfe.4

Membrana Krikotiroidea (Konus Elastikus)

Terdapat di bawah mukosa pada permukaan bawah pita suara sejati, berjalan ke atas dan
medial dari lengkungan kartilago krikoid untuk bersambung dengan kedua ligamenta vokalis
yang merupakan jaringan fibroelastis yang berasal dari tepi atas arkus kartilago krikoid. Di
sebelah anterior melekat pada pinggir bawah kartilago tiroid dan menebal membentuk
ligamentuk krikoidea medialis yang juga melekat pada tuberkulum vokalis. Di sebelah
posterior konus menyebar dari kartilago krikoid ke prosesus kartilago aritenoid (vokalis).
Pinggir bebas menebal membentuk ligamentum vokalis.4

Membrana Kuadrangularis

Merupakan bagian atas dari jaringan ikat longgar elastis laring, membentang dari tepi lateral
epiglotis ke kartilago aritenoid dan kartilago kornikulata, di bagian inferior meluas ke pita
suara palsu. Tepi atasnya membentuk plika ariepiglotika, sedangkan yang lainnya
membentuk dinding diantara laring dan sinus piriformis Morgagni.6

10
Gambar 6. Laring tampak dari potongan coronal.

Sumber dari: http://khoomei.com/pics/larynx.jpg

Gambar 7. Laring dilihat dari atas (membrana kuadrangularis diangkat). Sumber dari:
http://www.virtualpediatrichospital.org/providers/ElectricAirway/AnatImages/Larynx
GrossAnatomy.jpg

Gambar 8. Membrana laring tampak sagital. Sumber dari:


http://www.virtualpediatrichospital.org/providers/ElectricAirway/AnatImages/Larynx
GrossAnatomy.jpg

11
Gambar 9. Membrana laring dari posterior. Sumber dari:
http://www.virtualpediatrichospital.org/providers/ElectricAirway/AnatImages/Larynx
GrossAnatomy.jpg

OTOT-OTOT

Otot–otot laring terbagi dalam 2 (dua) kelompok besar yaitu otot-otot ekstrinsik dan otot-otot
intrinsik yang masing-masing mempunyai fungsi yang berbeda. 4

Otot-otot ekstrinsik.

Otot-otot ini menghubungkan laring dengan struktur disekitarnya. Kelompok otot ini
menggerakkan laring secara keseluruhan. Terbagi atas:4

1. Otot-otot suprahioid/otot-otot elevator laring, yaitu:


- M. Stilohioideus
- M. Geniohioideus
- M. Genioglossus
- M. Milohioideus

12
- M. Digastrikus
- M. Hioglossus

2. Otot-otot infrahioid/otot-otot depressor laring, yaitu:


- M. Omohioideus
- M. Sternokleidomastoideus
- M. Tirohioideus

Gambar 10. The extrinsic muscle

Sumber dari: Harry M. Tucker, The Larynx, Thieme 1987, p.11,fig.1.10

Gambar 11. The extrinsic muscle

13
Sumber dari: Netter F, Atlas of Human Anatomy 2nd Ed. Novartis, East Hanover, New Jersey. 1997,
p. 47

Gambar 12. The extrinsic muscle

Sumber dari: Netter F, Atlas of Human Anatomy 2nd Ed. Novartis, East Hanover, New Jersey. 1997,
p. 47

Kelompok otot-otot depresor dipersarafi oleh ansa hipoglossi C2 dan C3 dan penting untuk
proses menelan (deglutisi) dan pembentukan suara (fonasi). Muskulus konstriktor faringeus
medius termasuk dalam kelompok ini dan melekat pada linea oblikus kartilago tiroidea. Otot-
otot ini penting pada proses deglutisi.4

Otot-otot intrinsik

Menghubungkan kartilago satu dengan yang lainnya. Berfungsi menggerakkan struktur


yang ada di dalam laring terutama untuk membentuk suara dan bernafas. Otot-otot pada
kelompok ini berpasangan kecuali m. interaritenoideus yang serabutnya berjalan transversal
dan oblik. Fungsi otot ini dalam proses pembentukkan suara, proses menelan dan berbafas.
Bila m. interaritenoideus berkontraksi, maka otot ini akan bersatu di garis tengah sehingga
menyebabkan adduksi pita suara.4

Yang termasuk dalam kelompok otot instrinsik adalah:4

1. Otot-otot adduktor:
Berfungsi untuk menutup pita suara
 Mm. Interaritenoideus transversal dan oblik

14
 M. Krikotiroideus
 M. Krikotiroideus lateral
2. Otot-otot abduktor:
Berfungsi untuk membuka pita suara
 M. Krikoaritenoideus posterior
3. Otot-otot tensor:
Mempunyai fungsi untuk menegangkan pita suara. Pada orang tua, m. tensor internus
kehilangan sebagian tonusnya sehingga pita suara melengkung ke lateral
mengakibatkan suara menjadi lemah dan serak.
 Tensor internus : M. Tiroaritenoideus dan M. Vokalis
 Tnesor Eksternus : M. Krikotiroideus

Gambar 13. The instrinsik muscle

Sumber dari: Harry M. Tucker, The Larynx, Thieme 1987, p.13, fig.1.13

15
Gambar 14. The instrinsik muscle

Sumber dari: Harry M. Tucker, The Larynx, Thieme 1987, p.14, fig.1.14

Gambar 15. The instrinsik muscle

Sumber dari: Harry M. Tucker, The Larynx, Thieme 1987, p.14, fig.1.14

Gambar 16. The instrinsik muscle

16
Sumber dari: Netter F, Atlas of Human Anatomy 2nd Ed. Novartis, East Hanover, New Jersey. 1997,
p. 72

Persendian

Artikulasio Krikotiroidea

Merupakan sendi antara kornu inferior kartilago tiroidea dengan bagian posterior kartilago
krikoidea. Sendi ini diperkuat oleh 3 (tiga) ligamenta, yaitu : ligamentum krikotiroidea
anterior, posterior, dan inferior. Sendi ini berfungsi untuk pergerakan rotasi pada bidang
tiroidea, oleh karena itu kerusakan atau fiksasi sendi ini akan mengurangi efek m.
krikotiroidea yaitu untuk menegangkan pita suara.4

Gambar 17. The larynx joint

Sumber dari: Harry M. Tucker, The Larynx, Thieme 1987, p.6, fig.1.5

Artikulasio Krikoaritenoidea

Merupakan persendian antara fasies artikulasio krikoaritenoidea dengan tepi posterior cincin
krikoidea. Letaknya di sebelah kraniomedial artikulasio krikotiroidea dan mempunyai fasies
artikulasio yang mirip dengan kulit silinder, yang sumbunya mengarah dari
mediokraniodorsal ke laterokaudoventral serta menyebabkan gerakan menggeser yang sama

17
arahnya dengan sumbu tersebut. Pergerakan sendi tersebut penting dalam perubahan suara
dari nada rendah menjadi nada tinggi.6

Anatomi Laring Bagian Dalam

Cavum laring dapat dibagi menjadi sebagai berikut:4

1. Supraglotis (Vestibulum superior)


Yaitu ruangan diantara permukaan atas pita suara palsu dan inlet laring.
2. Glottis (Pars media)
Yaitu ruangan yang terletak antara pita suara palsu dengan pita suara sejati serta
membentuk rongga yang disebut ventrikel laring Morgagni.
3. Infraglotis (Pars inferior)
Yaitu ruangan diantara pita suara sejati dengan tepi bawah kartilago krikoidea

Beberapa bagian penting dari dalam laring:

Aditus Laringeus

Pintu masuk ke dalam laring yang dibentuk di anterior oleh epiglotis, lateral oleh plika
ariepiglotika, posterior oleh ujung kartilago kornikulata dan tepi atas m. aritenoideus. 4

Rima Vestibuli

Merupakan celah antara pita suara palsu.5

Rima glottis

Di depan merupakan celah antara pita suara sejati, di belakang antara prosesus vokalis dan
basis kartilago aritenoidea.4

Vallecula

Terdapat diantara permukaan anterior epiglotis dengan basis lidah, dibentuk oleh plika
glossoepiglotika medial dan lateral.4

18
Plika Ariepiglotika

Dibentuk oleh tepi atas ligamentum kuadringulare yang berjalan dari kartilago epiglotika ke
kartilago aritenoidea dan kartilago kornikulata.4

Sinus Pyriformis (Hipofaring)

Terletak antara plika ariepiglotika dan permukaan dalam kartilago tiroidea.4

Incisura Interaritenoidea

Suatu lekukan atau takik diantara tuberkulum kornikulatum kanan dan kiri. 4

Vestibulum Laring

Ruangan yang dibatasi oleh epiglotis, membrana kuadringularis, kartilago aritenoid,


permukaan atas proc. vokalis kartilago aritenoidea dan m.interaritenoidea.4

Plika Ventrikularis (pita suara palsu)

Yaitu pita suara palsu yang bergerak bersama-sama dengan kartilago aritenoidea untuk
menutup glottis dalam keadaan terpaksa, merupakan dua lipatan tebal dari selaput lendir
dengan jaringan ikat tipis di tengahnya.4

Ventrikel Laring Morgagni (sinus laringeus)

Yaitu ruangan antara pita suara palsu dan sejati. Dekat ujung anterior dari ventrikel terdapat
suatu divertikulum yang meluas ke atas diantara pita suara palsu dan permukaan dalam
kartilago tiroidea, dilapisi epitel berlapis semu bersilia dengan beberapa kelenjar
seromukosa yang fungsinya untuk melicinkan pita suara sejati, disebut appendiks atau
sakulus ventrikel laring.4

Plika Vokalis (pita suara sejati)

Terdapat di bagian bawah laring. Tiga per lima bagian dibentuk oleh ligamentum vokalis
dan celahnya disebut intermembranous portion, dan dua per lima belakang dibentuk oleh

19
prosesus vokalis dari kartilago aritenoidea dan disebut intercartilagenous portion.4

Persarafan

Laring dipersarafi oleh cabang N. Vagus yaitu Nn. Laringeus Superior dan Nn.
Laringeus Inferior (Nn. Laringeus Rekuren) kiri dan kanan.7

1. Nn. Laringeus Superior.4

Meninggalkan N. vagus tepat di bawah ganglion nodosum, melengkung ke depan


dan medial di bawah A. karotis interna dan eksterna yang kemudian akan bercabang
dua, yaitu :

 Cabang Interna ; bersifat sensoris, mempersarafi vallecula, epiglotis, sinus


pyriformis dan mukosa bagian dalam laring di atas pita suara sejati.

 Cabang Eksterna ; bersifat motoris, mempersarafi m. Krikotiroid dan m.


Konstriktor inferior.

2. N. Laringeus Inferior (N. Laringeus Rekuren).7

Berjalan dalam lekukan diantara trakea dan esofagus, mencapai laring tepat di
belakang artikulasio krikotiroidea. N. laringeus yang kiri mempunyai perjalanan
yang panjang dan dekat dengan Aorta sehingga mudah terganggu.

Merupakan cabang N. vagus setinggi bagian proksimal A. subklavia dan berjalan


membelok ke atas sepanjang lekukan antara trakea dan esofagus, selanjutnya akan
mencapai laring tepat di belakang artikulasio krikotiroidea dan memberikan
persarafan :

a. Sensoris, mempersarafi daerah sub glotis dan bagian atas trakea

b. Motoris, mempersarafi semua otot laring kecuali M. Krikotiroidea

20
Gambar 18. The laryngeal nerves

Sumber dari: Harry M. Tucker, The Larynx, Thieme 1987, p.11, fig1.11

Vaskularisasi

Laring mendapat perdarahan dari cabang A. Tiroidea Superior dan Inferior sebagai A.
Laringeus Superior dan Inferior. 4

Arteri Laringeus Superior

Berjalan bersama ramus interna N. Laringeus Superior menembus membrana tirohioid


menuju ke bawah diantara dinding lateral dan dasar sinus pyriformis. 4

Arteri Laringeus Inferior

Berjalan bersama N. Laringeus Inferior masuk ke dalam laring melalui area Killian
Jamieson yaitu celah yang berada di bawah M. Konstriktor Faringeus Inferior, di dalam
laring beranastomose dengan A. Laringeus Superior dan memperdarahi otot- otot dan
mukosa laring.5

21
Gambar 19. Laryngeal arterial system

Sumber dari: Harry M. Tucker, The Larynx, Thieme 1987, p.12,fig.1.12

Darah vena dialirkan melalui V. Laringeus Superior dan Inferior ke V. Tiroidea


Superior dan Inferior yang kemudian akan bermuara ke V. Jugularis Interna.5

Gambar 20. Laryngeal venous system

Sumber dari: Harry M. Tucker, The Larynx, Thieme 1987, p.16,fig.1.15

22
Sistem Limfatik

Laring mempunyai 3 (tiga) sistem penyaluran limfe, yaitu : 4

1. Daerah bagian atas pita suara sejati, pembuluh limfe berkumpul membentuk saluran
yang menembus membrana tiroidea menuju kelenjar limfe cervical superior
profunda. Limfe ini juga menuju ke superior dan middle jugular node.

2. Daerah bagian bawah pita suara sejati bergabung dengan sistem limfe trakea, middle
jugular node, dan inferior jugular node.

3. Bagian anterior laring berhubungan dengan kedua sistem tersebut dan sistem limfe
esofagus. Sistem limfe ini penting sehubungan dengan metastase karsinoma laring
dan menentukan terapinya.

Gambar 21. Laryngeal lymphatic system

Sumber dari: Harry M. Tucker, The Larynx, Thieme 1987, p.16,fig.1.16

Histologi Laring

Mukosa laring dibentuk oleh epitel berlapis silindris semu bersilia kecuali pada daerah pita
suara yang terdiri dari epitel berlapis gepeng tak bertanduk. Diantara sel-sel bersilia terdapat
sel goblet.4

23
Gambar 22. Laryngeal mucosa

Membrana basalis bersifat elastis, makin menebal di daerah pita suara. Pada daerah pita
suara sejati, serabut elastisnya semakin menebal membentuk ligamentum tiroaritenoidea.
Mukosa laring dihubungkan dengan jaringan dibawahnya oleh jaringan ikat longgar sebagai
lapisan submukosa.4

Kartilago kornikulata, kuneiforme dan epiglotis merupakan kartilago hialin. Plika vokalis
sendiri tidak mengandung kelenjar. Mukosa laring berwarna merah muda sedangkan pita
suara berwarna keputihan.4

Fisiologi Laring

Laring mempunyai 3 (tiga) fungsi dasar yaitu fonasi, respirasi dan proteksi disamping
beberapa fungsi lainnya seperti terlihat pada uraian berikut :

1. Fungsi Fonasi.7

Pembentukan suara merupakan fungsi laring yang paling kompleks. Suara dibentuk
karena adanya aliran udara respirasi yang konstan dan adanya interaksi antara udara
dan pita suara. Nada suara dari laring diperkuat oleh adanya tekanan udara
pernafasan subglotik dan vibrasi laring serta adanya ruangan resonansi seperti
rongga mulut, udara dalam paru-paru, trakea, faring, dan hidung. Nada dasar yang

24
dihasilkan dapat dimodifikasi dengan berbagai cara. Otot intrinsik laring berperan
penting dalam penyesuaian tinggi nada dengan mengubah bentuk dan massa ujung-
ujung bebas dan tegangan pita suara sejati. Ada 2 teori yang mengemukakan
bagaimana suara terbentuk :

Teori Myoelastik – Aerodinamik.8

Selama ekspirasi aliran udara melewati ruang glotis dan secara tidak langsung
menggetarkan plika vokalis. Akibat kejadian tersebut, otot-otot laring akan
memposisikan plika vokalis (adduksi, dalam berbagai variasi) dan menegangkan
plika vokalis. Selanjutnya, kerja dari otot-otot pernafasan dan tekanan pasif
dari proses pernafasan akan menyebabkan tekanan udara ruang subglotis meningkat,
dan mencapai puncaknya melebihi kekuatan otot sehingga celah glotis terbuka. Plika
vokalis akan membuka dengan arah dari posterior ke anterior. Secara otomatis
bagian posterior dari ruang glotis yang pertama kali membuka dan yang pertama kali
pula kontak kembali pada akhir siklus getaran. Setelah terjadi pelepasan udara,
tekanan udara ruang subglotis akan berkurang dan plika vokalis akan kembali ke
posisi saling mendekat (kekuatan myoelastik plika vokalis melebihi kekuatan
aerodinamik). Kekuatan myoelastik bertambah akibat aliran udara yang melewati
celah sempit menyebabkan tekanan negatif pada dinding celah (efek Bernoulli).
Plika vokalis akan kembali ke posisi semula (adduksi) sampai tekanan udara ruang
subglotis meningkat dan proses seperti di atas akan terulang kembali.

Teori Neuromuskular.8

Teori ini sampai sekarang belum terbukti, diperkirakan bahwa awal dari getaran
plika vokalis adalah saat adanya impuls dari sistem saraf pusat melalui N. Vagus,
untuk mengaktifkan otot-otot laring. Menurut teori ini jumlah impuls yang
dikirimkan ke laring mencerminkan banyaknya / frekuensi getaran plika
vokalis. Analisis secara fisiologi dan audiometri menunjukkan bahwa teori ini
tidaklah benar (suara masih bisa diproduksi pada pasien dengan paralisis plika
vokalis bilateral).

25
2. Fungsi Proteksi.8

Benda asing tidak dapat masuk ke dalam laring dengan adanya reflek otot-otot yang
bersifat adduksi, sehingga rima glotis tertutup. Pada waktu menelan, pernafasan
berhenti sejenak akibat adanya rangsangan terhadap reseptor yang ada pada
epiglotis, plika ariepiglotika, plika ventrikularis dan daerah interaritenoid melalui
serabut afferen N. Laringeus Superior. Sebagai jawabannya, sfingter dan epiglotis
menutup. Gerakan laring ke atas dan ke depan menyebabkan celah proksimal laring
tertutup oleh dasar lidah. Struktur ini mengalihkan makanan ke lateral menjauhi
aditus dan masuk ke sinus piriformis lalu ke introitus esofagus.

3. Fungsi Respirasi.6

Pada waktu inspirasi diafragma bergerak ke bawah untuk memperbesar rongga dada
dan M. Krikoaritenoideus Posterior terangsang sehingga kontraksinya menyebabkan
rima glotis terbuka. Proses ini dipengaruhi oleh tekanan parsial CO2 dan O2 arteri
serta pH darah. Bila pO2 tinggi akan menghambat pembukaan rima glotis,
sedangkan bila pCO2 tinggi akan merangsang pembukaan rima glotis. Hiperkapnia
dan obstruksi laring mengakibatkan pembukaan laring secara reflektoris, sedangkan
peningkatan pO2 arterial dan hiperventilasi akan menghambat pembukaan laring.
Tekanan parsial CO2 darah dan pH darah berperan dalam mengontrol posisi pita
suara.

4. Fungsi Sirkulasi.7

Pembukaan dan penutupan laring menyebabkan penurunan dan peninggian tekanan


intratorakal yang berpengaruh pada venous return. Perangsangan dinding laring
terutama pada bayi dapat menyebabkan bradikardi, kadang-kadang henti jantung.
Hal ini dapat karena adanya reflek kardiovaskuler dari laring. Reseptor dari reflek ini
adalah baroreseptor yang terdapat di aorta. Impuls dikirim melalui N. Laringeus
Rekurens dan Ramus Komunikans N. Laringeus Superior. Bila serabut ini
terangsang terutama bila laring dilatasi, maka terjadi penurunan denyut jantung.

26
5. Fungsi Fiksasi.9

Berhubungan dengan mempertahankan tekanan intratorakal agar tetap tinggi,


misalnya batuk, bersin dan mengedan.

6. Fungsi Menelan.8

Terdapat 3 (tiga) kejadian yang berhubungan dengan laring pada saat


berlangsungnya proses menelan, yaitu :

Pada waktu menelan faring bagian bawah (M. Konstriktor Faringeus Superior, M.
Palatofaringeus dan M. Stilofaringeus) mengalami kontraksi sepanjang kartilago
krikoidea dan kartilago tiroidea, serta menarik laring ke atas menuju basis lidah,
kemudian makanan terdorong ke bawah dan terjadi pembukaan faringoesofageal.
Laring menutup untuk mencegah makanan atau minuman masuk ke saluran
pernafasan dengan jalan menkontraksikan orifisium dan penutupan laring oleh
epiglotis.

Epiglotis menjadi lebih datar membentuk semacam papan penutup aditus laringeus,
sehingga makanan atau minuman terdorong ke lateral menjauhi aditus laring dan
maduk ke sinus piriformis lalu ke hiatus esofagus.

7. Fungsi Batuk.10

Bentuk plika vokalis palsu memungkinkan laring berfungsi sebagai katup, sehingga
tekanan intratorakal meningkat. Pelepasan tekanan secara mendadak menimbulkan
batuk yang berguna untuk mempertahankan laring dari ekspansi benda asing atau
membersihkan sekret yang merangsang reseptor atau iritasi pada mukosa laring.

8. Fungsi Ekspektorasi.10

Dengan adanya benda asing pada laring, maka sekresi kelenjar berusaha
mengeluarkan benda asing tersebut.

27
9. Fungsi Emosi.10

Perubahan emosi dapat meneybabkan perubahan fungsi laring, misalnya pada waktu
menangis, kesakitan, menggigit dan ketakutan.

Laringitis Kronis

Sering merupakan radang kronis laring disebabkan oleh sinusitis kronis, deviasi septum
berat, polip hidung atau bronkitis kronis. Mungkin juga disebabkan oleh penyalahgunaan
suara (vocal abuse) seperti berteriak-teriak atau biasa berbicara keras.11

Pada peradangan ini seluruh mukosa laring hiperemis dan menebal, dan kadang-kadang
pada pemeriksaan patologik terdapat metaplasia skuamosa. Gejalanya ialah suara parau
yang menetap, rasa tersangkut ditenggorok, sehingga pasien sering mendehem tanpa
mengeluarkan sekret, karena mukosa yang menebal.11

Pada pemeriksaan tampak mukosa menebal, permukaannya tidak rata dan hiperemis. Bila
terdapat daerah yang dicurigai menyerupai tumor, maka perlu dilakukan biopsi. Terapi yang
terpenting adalah mengobati peradangan hidung, faring serta bronkus yang mungkin
menjadi penyebab laringitis kronis itu. Pasien diminta untuk tidak banyak berbicara (vocal
rest).11

Laringitis Kronis Spesifik

Yang termasuk dalam laringitis kronis spesifik ialah: laringitis tuberkulosis dan laringitis
leutika.

Laringitis Tuberkulosis

Penyakit ini hampir selalu sebagai akibat tuberkulosis paru. Sering kali setelah diberi
pengobatan, tuberkulosis parunya sembuh tetapi laringitis tuberkulosisnya menetap. Hal ini
terjadi karena struktur mukosa laring yang sangat lekat pada kartilago serta vaskularisasi
yang tidak sebaik paru, sehingga bila infeksi sudah mengenai kartilago, pengobatannya
membutuhkan waktu yang lama.11

28
Patogenesis

Infeksi kuman ke laring dapat terjadi melalui udara pernapasan, septum yang mengandung
kuman, atau penyebaran melalui aliran darah atau limfa. Tuberkulosis dapat menimbulkan
gangguan sirkulasi. Edema dapat timbul di fossa interaritenoid, plika vokalis, plika
ventrikularis, epiglotis, serta terakhir ialah dengan subglotik.11

Gambaran Klinis

Secara klinis, laringitis tuberkulosis terdiri dari 4 stadium, yaitu:11

1. Stadium infiltrasi

Yang pertama-tama mengalami pembengkakan dan hiperemis ialah mukosa laring


bagian posterior. Kadang-kadang pita suara terkena juga. Pada stadium ini mukosa
laring berwarna pucat. Kemudian di daerah submukosa terbentuk tuberkel, sehingga
mukosa tidak rata, tampak bintik-bintik yang berwarna kebiruan. Tuberkel itu makin
membesar, serta beberapa tuberkel yang berdekatan bersatu, sehingga mukosa di
atasnya meregang. Pada suatu saat, karena sangat meregang, maka akan pecah dan
timbul ulkus.

2. Stadium ulserasi

Ulkus yang timbul pada akhir stadium infiltrasi membesar. Ulkus ini dangkal,
dasarnya ditutupi oleh perkijuan, serta sangat dirasakan nyeri oleh pasien

3. Stadium perikondritis

Ulkus makin dalam, sehingga mengenai kartilago laring, dan yang paling sering
terkena ialah kartilago aritenoid dan epiglotis. Dengan demikian terjadi kerusakan
tulang rawan, sehingga terbentuk nanah yang berbau, proses ini akan berlanjut, dan
terbentuk sekuester (squester). Pada stadium ini keadaan umum pasien sangat buruk
dan dapat meninggal dunia. Bila pasien dapat bertahan maka proses penyakit
berlanjut dan masuk dalam stadium terakhir yaitu stadium fibrotuberkulosis.

4. Stadium fibrotuberkulosis

29
Pada stadium ini terbentuk fibrotuberkulosis pada dinding posterior, pita suara dan
subglotik.

Gejala klinis

Tergantung pada stadiumnya, disamping itu terdapat gejala sebagai berikut:

- Rasa kering, panas dan tertekan di daerah laring.

- Suara parau berlangsung berminggu-minggu, sedangkan pada stadium lanjut


dapat timbul afoni.

- Hemoptisis.

- Nyeri waktu menelan yang lebih hebat bila dibandingkan dengan nyeri karena
radang lainnya, merupakan tanda yang khas.

- Keadaan umum buruk.

- Pada pemeriksaan paru (secara klinis dan radiologi) terdapat proses aktif
(biasanya pada stadium eksudatif atau pada pembentukan kaverne).

Diagnosis banding:11

1. Laringitis luetika

2. Karsinoma laring

3. Aktinomikosis laring

4. Lupus vulgaris laring

Diagnosis

Berdasarkan anamnesis, gejala klinis, pemeriksaan klinis, laboratorium, foto Rongten


toraks, laringoskopi langsung/tak langsung, dan pemeriksaan patologi anatomi.11

Terapi11

- Obat antituberkulosis primer dan sekunder

- Istirahat suara

30
Prognosis

Tergantung pada keadaan sosial-ekonomi pasien, kebiasaan hidup sehat serta ketekunan
berobat. Bila diagnosis dapat ditegakkan pada stadium dini maka prognosisnya baik.11

Laringitis Luetika

Radang menahun ini jarang ditemukan. Seperti telah diuraikan dalam Ilmu Penyakit Kulit
dan Kelamin, terdapat 4 stadium lues. Dalam hubungan penyakit di laring yang perlu
dibicarakan ialah lues stadium tertier (ketiga) yaitu stadium pembentukan guma. Bantuk ini
kadang-kadang menyerupai keganasan laring.11

Gambaran Klinik

Apabila guma pecah, maka timbul ulkus. Ulkus ini mempunyai sifat yang khas, yaitu sangat
dalam, bertepi dengan dasar yang keras, berwarna merah tua serta mengeluarkan eksudat
yang berwarna kekuningan. Ulkus ini tidak menyababkan nyeri dan menjalar sangat cepat,
sehingga bila tidak terbentuk proses ini akan menjadi perikondritis.11

Gejala

Suara parau dan batuk kronis. Disfagia timbul bila guma terdapat dekat introitus esofagus.
Diagnosis ditegakkan selain dari pemeriksaan laringoskopik juga dengan pemeriksaan
serologik.11

Komplikasi

Bila terjadi penyembuhan spontan dapat terjadi stenosis laring, karena terbentuk jaringan
parut.11

Terapi11

- Penisilin dengan dosis tinggi.

- Pengangkatan sekuester.

31
- Bila terdapat sumbatan laring karena stenosis, dilakukan trakeostomi.
Covid-19

Coronavirus merupakan keluarga besar virus yang menyebabkan penyakit pada


manusia dan hewan. Pada manusia biasanya menyebabkan penyakit infeksi saluran
pernapasan, mulai flu biasa hingga penyakit yang serius seperti Middle East Respiratory
Syndrome (MERS) dan Sindrom Pernafasan Akut Berat/Severe Acute Respiratory Syndrome
(SARS). Pada tanggal 31 Desember 2019, WHO menyebutkan ditemukannya kasus kategori
pneumonia yang belum diketahui penyebabnya di Wuhan, China. Hari ke hari jumlah kasus
meningkat hingga adanya laporan kematian hingga akhirnya WHO menetapkan kasus ini
sebagai Public Health Emergency of International Concern/Kedaruratan Kesehatan
Masyarakat yang Meresahkan Dunia (PHEIC/KKMMD). Di tanggal 12 Februari 2020, nama
Covid-19 resmi digunakan untuk penyakit baru ini dengan virus penyebabnya disebut sebagai
SARS-CoV-2, dan pada tanggal 11 Maret 2020 WHO menyatakan Covid-19 sebagai
pandemi.12,13

Epidemiologi

 31 Desember 2019: Kantor WHO di Cina melaporkan kasus pneumonia di Wuhan,


Cina yang etiologinya belum diketahui.
 7 Januari 2020: Cina menyatakan pneumonia tersebut sebagai penyakit baru virus
corona.
 30 Januari 2020: WHO menetapkan kondisi KKMMD.
 2 Maret 2020: Indonesia melaporkan 2 kasus yang terkonfirmasi Covid-19.
 3 Maret 2020: Dilaporkan 90.870 kasus konfirmasi di 72 negara dengan 3.112
kematian (CFR 3,4%). Diantara kasus-kasus tersebut, terdapat beberapa petugas
kesehatan yang terinfeksi.
 11 Maret 2020: WHO menyatakan Covid-19 sebagai pandemi.13,14

32
Etiologi dan Struktur Virus

Berdasarkan full-genome sequencing dan analisis filogenik, SARS-CoV-2 merupakan


vius RNA yang memiliki struktur regio gen receptor-binding yang mirip dengan virus SARS
dan menggunakan reseptor yang sama untuk menginfeksi sel yaitu Angiotensin Converting
Enzyme 2 (ACE2). Coronavirus yang menjadi etiologi Covid-19 termasuk dalam genus
betacoronavirus, umumnya berbentuk bundar dengan beberapa pleomorfik, dan berdiameter
60-140 nm. Secara umum, virus corona memiliki struktur sampul yang melingkupi materi
genetik. Pada sampul terdapat berbagai protein seperti protein N (nukleokapsid), glikoprotein
M (membran), glikoprotein spike S (spike), protein E (selubung) dengan berbagai fungsi,
salah satunya yang berikatan dengan reseptor membran sel sehingga dapat masuk sel yaitu
protein S (Gambar 1). Struktur sampul dan protein ini menyerupai mahkota atau crown
sehingga virus ini dinamai virus corona atau coronavirus. Karena struktur sampul yang
bersifat hidrofobik dibutuhkan sabun atau handrub dengan kandungan alkohol minimal 60%.
Sabun atau alkohol 60% dapat berikatan dengan kapsul dan memecah struktur virus.13,14,15

Gambar 1. Struktur Sars-CoV-2.15

Penularan

Coronavirus merupakan zoonosis (ditularkan antara hewan dan manusia). Penelitian


menyebutkan bahwa SARS ditransmisikan dari kucing luwak (civet cats) ke manusia dan

33
MERS dari unta ke manusia. Adapun, hewan yang menjadi sumber penularan Covid-19 ini
masih belum diketahui dengan pasti. Masa inkubasi Covid-19 dengan range antara 1 dan 14
hari namun dapat mencapai > 14 hari. Risiko penularan tertinggi diperoleh di hari-hari
pertama penyakit disebabkan oleh konsentrasi virus pada sekret yang tinggi. Orang yang
terinfeksi dapat langsung menularkan sampai dengan 48 jam sebelum onset gejala
(presimptomatik) dan sampai dengan 14 hari setelah onset gejala. Sebuah studi Du Z et. al,
(2020) melaporkan bahwa 12,6% menunjukkan penularan presimptomatik. Penting untuk
mengetahui periode presimptomatik karena memungkinkan virus menyebar melalui droplet
atau kontak dengan benda yang terkontaminasi. Sebagai tambahan, bahwa terdapat kasus
konfirmasi yang tidak bergejala (asimptomatik), meskipun risiko penularan sangat rendah
akan tetapi masih ada kemungkinan kecil untuk terjadi penularan.13,15

Berdasarkan studi epidemiologi dan virologi saat ini membuktikan bahwa Covid-19
utamanya ditularkan dari orang yang terinfeksi ke orang lain yang berada jarak dekat melalui
droplet. Droplet merupakan partikel berisi air dengan diameter >5-10 µm. Penularan droplet
terjadi ketika seseorang berada pada jarak dekat (dalam 1 meter) dengan seseorang yang
memiliki gejala pernapasan (misalnya, batuk atau bersin) sehingga droplet berisiko mengenai
mukosa (mulut dan hidung) atau konjungtiva (mata). Oleh karena itu, penting untuk menjaga
jarak satu meter satu sama lain. Penularan juga dapat terjadi melalui benda dan permukaan
yang terkontaminasi droplet di sekitar orang yang terinfeksi. Oleh karena itu, penularan virus
Covid-19 dapat terjadi melalui kontak langsung dengan orang yang terinfeksi dan kontak
tidak langsung dengan permukaan atau benda yang digunakan pada orang yang terinfeksi
(misalnya, stetoskop atau termometer).13,15

Patofisiologi

“Periode inkubasi” adalah waktu antara pertama kali terkena virus hingga pertama
kali gejala muncul. Periode inkubasi COVID-19 berlangsung 1-14 hari, biasanya sekitar lima
hari. Gejala yang muncul dapat berupa demam, batuk nonproduktif, sesak, mialgia, dan
lemas. Pada pemeriksaan penunjang dapat ditemukan jumlah leukosit normal atau leukopenia
daan bukti radiologis yang mengarah ke pneumonia. Perjalanan penyakit dan proses
munculnya gejala dari sejak virus masuk sebagai berikut.

34
 Protein S yang melekat pada sampul virus berperan untuk berikatan dengan reseptor
selular sel target, yaitu ACE2 untuk Sars-CoV-2. Ikatan antara protein S dengan
ACE2 akan memicu fusi antara membran plasma dengan virus.
 Setelah memasuki sel, RNA virus akan terlepas ke sitoplasma lalu ditranslasikan
menjadi dua polyprotein dan protein struktural. Pada tahap inilah virus memulai
replikasi. Partikel-partikel pembentuk virus kemudian masuk ke dalam Endoplasmic
Reiculum-Golgi Intermediate Compartment (ERGIC). Setelah bagian virus selesai
dirakit, sel akan membentuk vesikel untuk selanjutnya berfusi dengan membran
plasma, melepaskan virus yang siap menginfeksi sel-sel lain.
 Ketika virus menginfeksi sel, antigen virus akan dipresentasikan Antigen Presentation
Cells (APC) sebagai bagian dari sistem imunitas tubuh. Antigen ini dipresentasikan
oleh Major Histocompatibility Complex (MHC; atau Human Leukocyte Antigen
(HLA) di manusia) pada permukaan sel APC untuk dikenali sel limfosit T sitotoksik.
Hingga saat ini belum diketahui struktur molekul HLA yang dapat memberikan efek
protektif dari SARS-CoV-2. Pengetahuan ini sangat berharga untuk tata laksana dan
pencegahan COVID-2.13,15

Manifestasi Klinis

Gejala-gejala yang dialami biasanya bersifat ringan dan muncul secara


bertahap. Beberapa orang yang terinfeksi tidak menunjukkan gejala apapun dan tetap
merasa sehat. Gejala Covid-19 yang paling umum adalah demam, rasa lelah, dan
batuk kering. Beberapa pasien mungkin mengalami rasa nyeri dan sakit, hidung
tersumbat, pilek, nyeri kepala, sakit tenggorokan, diare, hilang penciuman dan
pembauan atau ruam kulit. Pada kasus berat akan mengalami Acute Respiratory
Distress Syndrome (ARDS), sepsis dan syok septik, gagal multiorgan, termasuk gagal
ginjal atau gagal jantung akut hingga berakibat kematian. Orang lanjut usia (lansia)
dan orang dengan kondisi medis yang sudah ada sebelumnya (komorbid) seperti
tekanan darah tinggi, gangguan jantung dan paru, diabetes dan kanker berisiko lebih
besar mengalami keparahan.13,15

35
Diagnosis

WHO merekomendasikan pemeriksaan molekuler untuk seluruh pasien yang terduga


terinfeksi Covid-19. Metode yang dianjurkan adalah metode deteksi molekuler/NAAT
(Nucleic Acid Amplification Test) seperti pemeriksaan PCR. Dimana seseorang terkonfirmasi
terinfeksi Covid-19 dengan hasil pemeriksaan PCR yang positif.13,15

Radiologi CT Scan

Pada pemeriksaan CT scan Covid-19 di fase awal menunjukan gambaran ground


glass opacities terutama di area perifer, subpleural, dan lobus bawah (gambar 2). Tampak
pula penebalan septal interlobular disertai gambaran penebalan interstisial intralobular yang
membentuk crazy paving patter. Progresi penyakit biasanya terjadi pada hari ke-7 hingga 10
yang ditandai dengan peningkatan densitas, konsolidasi, dan tampilan air bronchogram
dibanding hasil CT scan sebelumnya. Sebutan white lung dipakai akibat peningkatan
opasitas.13,16

Gambar 2. Ground glass opacities pada pasien Covid-19.16

Derajat Penyakit

Berdasarkan beratnya kasus, Covid-19 dibedakan menjadi tanpa gejala, ringan,


sedang, berat dan kritis.

36
1. Tanpa gejala

Kondisi ini merupakan kondisi paling ringan. Pasien tidak ditemukan gejala.
2. Ringan

Pasien dengan gejala tanpa ada bukti pneumonia virus atau tanpa hipoksia. Gejala
yang muncul seperti demam, batuk, fatigue, anoreksia, napas pendek, mialgia. Gejala
tidak spesifik lainnya seperti sakit tenggorokan, kongesti hidung, sakit kepala, diare,
mual dan muntah, penghidu (anosmia) atau hilang pengecapan (ageusia) yang muncul
sebelum onset gejala pernapasan juga sering dilaporkan. Pasien usia tua dan
immunocompromised gejala atipikal seperti fatigue, penurunan kesadaran, mobilitas
menurun, diare, hilang nafsu makan, delirium, dan tidak ada demam.
3. Sedang

Pada pasien remaja atau dewasa : pasien dengan tanda klinis pneumonia (demam,
batuk, sesak, napas cepat) tetapi tidak ada tanda pneumonia berat termasuk SpO2 >
93% dengan udara ruangan ATAU Anak-anak : pasien dengan tanda klinis
pneumonia tidak berat (batuk atau sulit bernapas + napas cepat dan/atau tarikan
dinding dada) dan tidak ada tanda pneumonia berat). Kriteria napas cepat : usia 5
tahun, ≥30x/menit.
4. Berat /Pneumonia Berat

Pada pasien remaja atau dewasa : pasien dengan tanda klinis pneumonia (demam,
batuk, sesak, napas cepat) ditambah satu dari: frekuensi napas > 30 x/menit,
distres pernapasan berat, atau SpO2 < 93% pada udara ruangan. ATAU Pada
pasien anak : pasien dengan tanda klinis pneumonia (batuk atau kesulitan
bernapas), ditambah setidaknya satu dari berikut ini:
- sianosis sentral atau SpO25 tahun, ≥30x/menit.
- distres pernapasan berat (seperti napas cepat, grunting, tarikan dinding dada yang
sangat berat);
- tanda bahaya umum : ketidakmampuan menyusu atau minum, letargi atau
penurunan kesadaran, atau kejang.
- Napas cepat/tarikan dinding dada/takipnea : usia 5 tahun, ≥30x/menit.
5. Kritis

Pasien dengan Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS), sepsis dan syok

37
sepsis.13,17

Tatalaksana

1. Tanpa Gejala
a. Isolasi dan Pemantauan

Isolasi mandiri di rumah selama 10 hari sejak pengambilan spesimen diagnosis


konfirmasi, baik isolasi mandiri di rumah maupun di fasilitas publik yang
dipersiapkan pemerintah, pasien dipantau melalui telepon oleh petugas Fasilitas
Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP), Kontrol di FKTP terdekat setelah 10 hari
karantina untuk pemantauan klinis.
b. Non F armakologi

Berikan edukasi yaitu pasien selalu menggunakan masker jika keluar kamar dan saat
berinteraksi dengan anggota keluarga, cuci tangan dengan air mengalir dan sabun
atau hand sanitizer berbasis alkohol sesering mungkin, jaga jarak dengan
keluarga, menerapkan etika batuk, alat makan-minum segera dicuci dengan
air/sabun, berjemur matahari minimal sekitar 10-15 menit setiap harinya (sebelum
jam 9 pagi dan setelah jam 3 sore), pakaian yg telah dipakai sebaiknya
dimasukkan dalam kantong plastik / wadah tertutup yang terpisah dengan pakaian
kotor keluarga yang lainnya sebelum dicuci, ukur dan catat suhu tubuh 2 kali
sehari (pagi dan malam hari), segera beri informasi ke petugas pemantau/FKTP
atau keluarga jika terjadi peningkatan suhu tubuh > 38 C.
c. Farmakologi

Bila terdapat penyakit penyerta, dianjurkan untuk tetap melanjutkan pengobatan yang
rutin dikonsumsi. Apabila pasien rutin meminum terapi obat antihipertensi dengan
golongan obat ACE-inhibitor dan Angiotensin Reseptor Blocker perlu
berkonsultasi ke Dokter Spesialis Penyakit Dalam atau Dokter Spesialis Jantung.
Konsumsi vitamin C dengan dosis 500-1000 mg/hari, dan konsumsi vitamin D
dengan dosis 400-1000 IU/hari.13,17

38
2. Derajat Ringan
a. Isolasi dan Pemantauan

Isolasi mandiri di rumah/ fasilitas karantina selama maksimal 10 hari sejak muncul
gejala ditambah 3 hari bebas gejala demam dan gangguan pernapasan. Jika gejala
lebih dari 10 hari, maka isolasi dilanjutkan hingga gejala hilang ditambah dengan
3 hari bebas gejala. Isolasi dapat dilakukan mandiri di rumah maupun di fasilitas
publik yang dipersiapkan pemerintah, Petugas FKTP diharapkan proaktif
melakukan pemantauan kondisi pasien, Setelah melewati masa isolasi pasien akan
kontrol ke FKTP terdekat.
b. Non Farmakologi

Edukasi terkait tindakan yang harus dilakukan (sama dengan edukasi tanpa gejala).
c. Farmakologi
- Vitamin C dengan pilihan non acidic 500 mg/6-8 jam oral (untuk 14 hari) atau
tablet isap vitamin C 500 mg/12 jam oral (selama 30 hari).
- Vitamin D dengan dosis 400 IU-1000 IU/hari.
- Azitromisin 1 x 500 mg perhari selama 5 hari
- Favipiravir (Avigan sediaan 200 mg) loading dose 1600 mg/12 jam/oral hari ke-1
dan selanjutnya 2 x 600 mg (hari ke 2-5).
- Pengobatan simtomatis seperti parasetamol bila demam.13,17

3. Derajat Sedang
a. Isolasi dan Pemantauan

Rujuk dan isolasi di Rumah Sakit dengan fasilitas Ruang Perawatan Covid-
19/Rumah Sakit Darurat Covid-19.
b. Non Farmakologi
- Istirahat total, asupan kalori adekuat, kontrol elektrolit, status hidrasi/terapi cairan,
oksigen.
- Pemantauan laboratorium Darah Perifer Lengkap berikut dengan hitung jenis, bila
memungkinkan ditambahkan dengan CRP, fungsi ginjal, fungsi hati dan foto
toraks secara berkala.
c. Farmakologi

39
- Vitamin C 200 – 400 mg/8 jam dalam 100 cc NaCl 0,9% habis dalam 1 jam
diberikan secara drip Intravena (IV) selama perawatan.
- Azitromisin 500 mg/24 jam per iv atau per oral (untuk 5-7 hari).
- Favipiravir (Avigan sediaan 200 mg) loading dose 1600 mg/12 jam/oral hari ke-1
dan selanjutnya 2 x 600 mg (hari ke 2-5).
- Pengobatan simtomatis (Parasetamol dan lain-lain).
- Pengobatan komorbid dan komplikasi yang ada.13,17

4. Derajat Berat dan Kritis


a. Isolasi di ruang isolasi Rumah Sakit Rujukan atau rawat secara kohorting.
b. Non Farmakologi
- Istirahat total, asupan kalori adekuat, kontrol elektrolit, status hidrasi (terapi
cairan), dan oksigen.
- Pemantauan laboratorium Darah Perifer Lengkap beriku dengan hitung jenis, bila
memungkinkan ditambahkan dengan CRP, fungsi ginjal, fungsi hati, Hemostasis,
LDH, D-dimer.
- Pemeriksaan foto toraks serial bila perburukan
- Monitor tanda-tanda sebagai berikut; Takipnea bila frekuensi napas ≥ 30x/min,
Saturasi Oksigen dengan pulse oximetry ≤93% (di jari), PaO2/FiO2 ≤ 300 mmHg,
Peningkatan sebanyak >50% di keterlibatan area paru-paru pada pencitraan
thoraks dalam 24-48 jam, adanya limfopenia progresif, Peningkatan CRP
progresif, dan adanya asidosis laktat yang progresif.
c. Farmakologi
- Vitamin C 200 – 400 mg/8 jam dalam 100 cc NaCl 0,9% habis dalam 1 jam
diberikan secara drip IV selama perawatan.
- Vitamin B1 1 ampul/24 jam/intravena.
- Vitamin D dosis 400 IU-1000 IU/hari.
- Azitromisin 500 mg/24 jam per iv atau per oral (untuk 5- 7 hari).
- Bila terdapat kondisi sepsis yang diduga kuat oleh karena ko-infeksi bakteri,
pemilihan antibiotik disesuaikan dengan kondisi klinis, fokus infeksi dan faktor
risiko yang ada pada pasien. Pemeriksaan kultur darah harus dikerjakan dan
pemeriksaan kultur sputum (dengan kehati-hatian khusus) patut dipertimbangkan.

40
- Favipiravir (Avigan sediaan 200 mg) loading dose 1600 mg/12 jam/oral hari ke-1
dan selanjutnya 2 x 600 mg (hari ke 2-5).
- Deksametason dengan dosis 6 mg/24 jam selama 10 hari atau kortikosteroid lain
yang setara seperti hidrokortison pada kasus berat yang mendapat terapi oksigen
atau kasus berat dengan ventilator.
d. Monitor keadaan kritis
- Gagal napas yg membutuhkan ventilasi mekanik, syok atau gagal multiorgan yang
memerlukan perawatan ICU.
- Bila terjadi gagal napas disertai ARDS pertimbangkan penggunaan ventilator
mekanik.
- Gunakan high flow nasal cannula (HFNC) atau non-invasive mechanical
ventilation (NIV) pada pasien dengan ARDS atau efusi paru luas.
- Pembatasan resusitasi cairan, terutama pada pasien dengan edema paru. o
Posisikan pasien sadar dalam posisi tengkurap (awake prone position).
e. Oksigenasi
- Inisiasi terapi oksigen jika ditemukan SpO2 < 93% dengan udara bebas dengan
mulai dari nasal kanul sampai NRM 15 L/menit, lalu titrasi sesuai target SpO2 92
– 96%.
- Tingkatkan terapi oksigen dengan menggunakan alat HFNC (High Flow Nasal
Cannula) jika tidak terjadi perbaikan.
- Inisiasi terapi oksigen dengan alat HFNC; flow 30 L/menit, FiO2 40% sesuai
dengan kenyamanan pasien dan dapat mempertahankan target SpO2 92 - 96%.13,17

Hipotesis Hubungan Antara Laringitis Kronik dengan Covid-19

Berbagai faktor etiologi telah menghubungkan antara disfonia yang merupakan salah
satu dari gejala laringitis dengan Covid-19, yaitu post viral neuropathy vagal dan cedera pita
suara karena batuk atau muntah yang kuat. Dimana post viral neuropathy vagal adalah istilah
yang diciptakan oleh Amin dan Koufman pada tahun 2001 yang merupakan sekelompok
manifestasi aerodigestif bagian atas diikuti oleh neuropati vagal akibat infeksi saluran
pernapasan bagian atas. Manifestasi klinisnya meliputi disfonia, kelelahan vokal, odinofagia,
disfagia, nyeri neuropatik, batuk, globus, laringospasme, dan tanda-tanda refluks
laringofaring. Dimana pembentukan suara (fonasi) dilakukan oleh pita suara, dimana nervus

41
laringeus inferior dan superior merupakan kelanjutan dari nervus laringeus rekurens yang
merupakan cabang dari nervus vagus (n. X) yang mempersarafi otot-otot pada laring.
Kerusakan atau gangguan pada nervus vagus dapat mengakibatkan lumpuhnya pita suara dan
mengakibatkan berkurangnya suara, serak (disfonia), atau suara tidak ada sama sekali
(afonia). Selain hipotesis mengenai post viral neuropathy vagal, terdapat sebuah penelitian
yang sedang berlangsung di Departemen Anatomi Universitas Mons melaporkan bahwa
adanya ekspresi tinggi dari Angiotensin Converting Enzyme 2 reseptor COVID-19, ditemukan
di pita suara, dimana Angiotensin Converting Enzyme 2 dikenal sebagai titik masuk dari virus
Sars-CoV-2.18,19,20,21

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Sars-CoV-2 yang menjadi etiologi dari Covid-19 merupakan penyebab terjadinya


Sindrom Pernafasan Akut Berat/Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS). Dimana gejala
Covid-19 yang paling umum adalah demam, rasa lelah, dan batuk kering. Beberapa pasien
mungkin mengalami hidung tersumbat, pilek, nyeri kepala, sakit tenggorokan, diare, hilang
penciuman dan pembauan atau ruam kulit. Namun, pada beberapa kasus ditemukan juga
pasien Covid-19 mempunyai gejala disfonia. Dan terdapat hipotesis dari beberapa penelitian
yang menyatakan adanya hubungan antara terjadinya disfonia dikarenakan post viral
neuropathy vagal (kerusakan dari nervus vagus) setelah terinfeksi virus Covid-19. Selain itu,
terdapat hipotesis mengenai yang melaporkan bahwa adanya ekspresi tinggi dari Angiotensin
Converting Enzyme 2 reseptor COVID-19, ditemukan di pita suara, dimana Angiotensin
Converting Enzyme 2 dikenal sebagai titik masuk dari virus Sars-CoV-2.

42
Daftar Pustaka

1. Shah RK. Acute laringitis. Diakses dari:


http://www.emedicine.com/ent/topic353.htm
2. Berliti S. Chronic laringitis, infection or allergic. Diakses dari:
http://www.emedicine.com/ent/topic354.htm
3. Burhan E, dkk. Pedoman tatalaksana covid 19. Edisi ke-3. Jakarta: PDPI, PERKI,
PAPDI, PERDATIN, IDAI;2020.
4. Ballenger, J.J. Anatomy of the larynx. In : Diseases of the nose, throat, ear, head and
neck. 13th ed. Philadelphia, Lea & Febiger. 1993
5. Brown Scott : Orolaryngology. 6th ed. Vol. 1. Butterworth, Butterworth & Co Ltd.
1997. page 1/12/1-1/12/18
6. Graney, D. and Flint, P. Anatomy. In : Cummings C.W. Otolaryngology - Head and
Neck Surgery. Second edition. St Louis : Mosby, 1993.
7. Hollinshead, W.H. The pharynx and larynx. In : Anatomy for surgeons. Volume 1.
Head and Neck. A hoeber-harper international edition, 1966: 425-456
8. Lee, K.J. Cancer of the Larynx. In; Essential Otolaryngology Head and Neck
Surgery . Eight edition. Connecticut. McGraw-Hill, 2003: 724-736, 747, 755-760.
9. Moore, E.J and Senders, C.W. Cleft lip and palate. In : Lee, K.J. Essential
Otolaryngology Head and Neck Surgery . Eight edition. Connecticut. McGraw-Hill,
2003: 241-242.
10. Woodson, G.E. Upper airway anatomy and function. In : Byron J. Bailey. Head and
Neck Surgery-Otolaryngology. Third edition. Volume 1. Philadelphia : Lippincot

43
Williams and Wilkins, 2001: 479- 486.
11. Djaafar ZA. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala leher. Edisi
ke-7. FKUI. 2017.
12. Kemenkes RI. Pertanyaan dan Jawaban Terkait Coronavirus Disease 2019 (COVID-19).
Jakarta: 2020. h.1-2.
13. FKUI. Tanggap Pandemi Covid-19. Medical Education Unit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; Jakarta: 2020. h.5-18.

14. Gennaro FD, et al. Coronavirus Diseases (COVID-19) Current Status and Future
Perspectives: A Narrative Review. International Journal of Enviroment Research and
Public Health. MDPI. 2020. 1-2.p.

15. Kemenkes RI. Pedoman Pencegahan Pengendalian Covid-19. Kemekres RI; Jakarta:
2020. h.21-24.

16. Zheijiang University School of Medicine. Handbook of COVID-19 prevention and


treatment. China; 2020.

17. Erlina B, dkk. Pedoman Tatalaksana Covid-19 Edisi 3. PDPI, PAPDI, PERKI, IDAI;
Jakarta: Desember 2020. h. 6, 9-21.

18. Saniasiaya J, et al. New-Onset Dysphonia: A Silent Manifestation of COVID-19.


Department of Otorhinolaryngology, University of Malaya. Journals Sagepub: January
2021; 1-2.p.

19. Rees JC. Post Viral Vagal Neuropathy. Journals Sage. 2009. 2.p.

20. Aviv JE, et al. Covid-19 Era Post Viral Vagal Neuropathy Presenting as Persistent
Shortness of Breath with Normal Pulmonary Imaging. International Journal of
Pulmonary and Respiratory Sciences. 2020: 2-3.p.

21. Lumbantobing SM. Neurologi Klinik. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;


2016. h.75-76.

44

Anda mungkin juga menyukai