Anda di halaman 1dari 47

REFERAT

KELAINAN REFRAKSI DAN AMBLIOPIA

Oleh:
M. Raihan Rustan
19710010

Pembimbing:
dr. Mohammad Tauhid Rafi’i, Sp.M
dr. Pinky Endrina Heliasanty, Sp.M
dr. Miftakhur Rochmah, Sp.M
dr. Shinta Arta Wiguna, Sp.M

KEPANITRAAN KLINIK SMF MATA


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KABUPATEN SIDOARJO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA SURABAYA
TAHUN 2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur atas rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena atas
Kehendak-Nya penulis dapat menyelesaikan referat dengan judul “Kelainan
Refraksi dan Ambliopia”. Referat ini dibuat sebagai salah satu tugas sebagai Dokter
Muda di Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Mata Rumah Sakit Umum Daerah
Kabupaten Sidoarjo.
Tugas ini berhasil diselesaikan karena dukungan dari berbagai pihak. Oleh
sebab itu pada kesempatan ini penulis sampaikan terima kasih yang tak terhingga
kepada:
1. dr. Mohammad Tauhid Rafi’i, Sp.M, selaku pembimbing kepaniteraan klinik
Ilmu Penyakit Mata RSUD Sidoarjo
2. dr. Pinky Endrina Heliasanty, Sp.M, selaku pembimbing kepaniteraan klinik
Ilmu Penyakit Mata RSUD Sidoarjo
3. dr. Miftakhur Rochmah, Sp.M, selaku pembimbing kepaniteraan klinik Ilmu
Penyakit Mata RSUD Sidoarjo
4. dr. Shinta Arta Wiguna, Sp.M, selaku pembimbing kepaniteraan klinik Ilmu
Penyakit Mata RSUD Sidoarjo
5. Semua pihak yang tak dapat disebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa referat ini masih jauh dari kata sempurna, oleh
karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi
kesempurnaan referat ini. Semoga referat ini dapat bermanfaat dan menambah
pengetahuan kita semua. Akhir kata, izinkan penulis mengucapkan terima kasih.
Sidoarjo, 8 Juni 2021

ii
DAFTAR ISI

Halaman Judul................................................................................. i
Kata Pengantar ................................................................................ ii
Daftar Isi ......................................................................................... iii
Bab I Pendahuluan........................................................................... 1
Bab II Anatomi Media Refraksi dan Fisiologi Penglihatan............... 2
2.1 Anatomi Media Refraksi Mata ............................................. 2
2.2 Fisiologi Penglihatan............................................................ 7
Bab III Kelainan Refraksi ................................................................ 10
3.1 Kelainan Refraksi ................................................................ 10
3.2 Miopia ................................................................................. 11
3.3 Hipermetropia ...................................................................... 22
3.4 Astigmatisma ....................................................................... 27
3.5 Presbiopia ............................................................................ 32
3.6 Anisometropia ..................................................................... 34
3.7 Anisekonia ........................................................................... 35
3.8 Ambliopia ............................................................................ 36
Bab IV Kesimpulan ......................................................................... 43
Daftar Pustaka ................................................................................. 44

iii
BAB I
PENDAHULUAN

Gangguan penglihatan dan kebutaan masih menjadi masalah kesehatan di


Indonesia. Survei Kesehatan Indera menunjukkan 1,5% penduduk Indonesia
mengalami kebutaan disebabkan oleh katarak (52%), glaukoma (13,4%), kelainan
refraksi (9,5%), gangguan retina (8,5%), kelainan kornea (8,4%) dan penyakit mata
lain. Gangguan penglihatan adalah salah satu keluhan utama yang menyebabkan
seorang pasien datang ke dokter mata. Gangguan penglihatan tersebut sebagian
sangat erat kaitannya dengan refraksi.1,2
Berdasarkan Global Data on Visual Impairment 2010, World Health
Organization (WHO) memperkirakan jumlah orang yang mengalami gangguan
penglihatan di seluruh dunia pada tahun 2010 adalah 285 juta orang atau 4,24%
populasi, sebesar 39 juta orang atau 0,58% menderita kebutaan dan 246 juta orang
atau 3,65% mengalami low vision.3
Mata dapat dianggap sebagai kamera, yang terdiri dari media refrakta
dengan retina sebagai filmnya. Media refrakta pada mata dari depan ke belakang
terdiri atas kornea, humor akuos, lensa, dan humor vitreus. Semua media refrakta
ini bersifat jernih, memiliki permukaannya sendiri-sendiri, memiliki kurvatura dan
indeks bias berlainan, serta melekat satu sama lain sehingga merupakan satu
kesatuan.2 Kelainan refraksi merupakan kelainan pembiasan sinar pada mata,
sehingga sinar tidak dapat difokuskan pada retina, tetapi difokuskan di depan atau
di belakang retina.3
Kelainan refraksi dapat dengan mudah dideteksi, diobati dan dievaluasi
dengan pemberian kaca mata. Namun demikian kelainan refraksi menjadi masalah
serius jika tidak cepat ditanggulangi. Oleh karena itu setiap pasien wajib dilakukan
pemeriksaan visus sebagai bagian dari pemeriksaan fisik mata umum. Pemeriksaan
visus merupakan pengukuran obyek terkecil yang dapat diidentifikasi terhadap
seseorang dalam jarak yang ditetapkan dari mata. Pemeriksaan visus jarak jauh juga
harus dilakukan terhadap semua anak-anak sesegera mungkin setelah usia 3 tahun,
karena penting untuk deteksi dini terhadap ambliopia

1
BAB II
ANATOMI MEDIA REFRAKSI DAN FISIOLOGI PENGLIHATAN

2.1 Anatomi Media Refraksi


Refraksi mata adalah perubahan jalannya cahaya (pembiasan) yang
diakibatkan oleh media refrakta mata. Alat-alat refraksi mata terdiri dari
permukaan kornea, humor aqueous (cairan bilik mata), permukaan anterior dan
posterior lensa, badan kaca (corpus vitreum). Hasil pembiasan sinar pada mata
dipengaruhi oleh media penglihatan yang terdiri atas kornea, aqueous humor
(cairan mata), lensa, badan vitreus (badan kaca), dan panjangnya bola mata.
Pada orang normal, susunan pembiasan oleh media penglihatan dan panjang
bola mata sedemikian seimbang sehingga bayangan benda setelah melalui
media penglihatan dibiaskan tepat di daerah makula lutea. Mata yang normal
disebut sebagai mata emetropia dan akan menempatkan bayangan benda tepat
di retinanya pada keadaan mata tidak melakukan akomodasi atau istirahat
melihat jauh.2,4

Gambar 2.1: Media Refraksi

2.1.1 Kornea
Kornea adalah selaput bening mata, bagian selaput mata yang
tembus cahaya. Kornea tidak mengandung pembuluh darah, berbentuk
cembung dengan jari - jari sekitar 8mm, lebih tebal di perifer berbanding

2
di sentral dan mempunyai indeks refraksi 1.3771. Kornea merupakan
lapisan jaringan yang menutupi bola mata sebelah depan dan terdiri atas
5 lapis, yaitu:

Gambar 2.2: Lapisan Kornea

a. Epitel
• Tebalnya 50 µm, terdiri atas 5 lapis sel epitel tidak bertanduk
yang saling tumpang tindih; satu lapis sel basal, sel poligonal dan
sel gepeng.
• Pada sel basal sering terlihat mitosis sel, dan sel muda ini
terdorong ke depan menjadi lapis sel sayap dan semakin maju ke
depan menjadi sel gepeng, sel basal berikatan erat berikatan erat
dengan sel basal di sampingnya dan sel poligonal di depannya
melalui desmosom dan makula okluden; ikatan ini menghambat
pengaliran air, elektrolit dan glukosa yang merupakan barrier.
• Sel basal menghasilkan membran basal yang melekat erat
kepadanya. Bila terjadi gangguan akan mengakibatkan erosi
rekuren.

3
• Epitel berasal dari ektoderm permukaan.
b. Membran Bowman
• Terletak di bawah membran basal epitel kornea yang merupakan
kolagen yang tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal dari
bagian depan stroma.
• Lapisan ini tidak mempunyai daya regenerasi.
• Mempertahankan bentuk kornea.
c. Stroma
• Terdiri atas lamel yang merupakan susunan kolagen yang sejajar
satu dengan lainnya, pada permukaan terlihat anyaman yang
teratur sedangkan di bagian perifer serat kolagen ini bercabang;
terbentuknya kembali serat kolagen memakan waktu lama yang
kadang-kadang sampai 15 bulan. Keratosit merupakan sel stroma
kornea yang merupakan fibroblas terletak di antara serat kolagen
stroma. Diduga keratosit membentuk bahan dasar dan serat
kolagen dalam perkembangan embrio atau sesudah trauma.
• Bersifat higroskopis yang menarik air. Kadar air diatur oleh
fungsi pompa sel endotel dan penguapan oleh epitel.
d. Membran Descement
• Merupakan membran aselular dan merupakan batas belakang
stroma kornea dihasilkan sel endotel dan merupakan membran
basalnya.
• Bersifat sangat elastis dan berkembang terus seumur hidup,
mempunyai tebal 40 µm.
e. Endotel
• Berasal dari mesotelium, berlapis satu, bentuk heksagonal, besar
20-40 µm. Endotel melekat pada membran descement melalui
hemi desmosom dan zonula okluden.
• Lapisan terpenting untuk mempertahankan kejernihan kornea.
• Mengatur cairan dalam stroma.
• Tidak mempunyai daya regenerasi.5,6,7

4
Kornea dipersarafi oleh banyak saraf sensoris terutama berasal
dari saraf siliar longus, saraf nasosiliar, saraf V. Saraf siliar longus
berjalan supra koroid, masuk ke dalam stroma kornea, menembus
membran Bowman, melepaskan selubung Schwannnya. Seluruh lapis
epitel dipersarafi sampai kepada kedua lapis terdepan tanpa ada akhir
saraf. Bulbus Krause untuk sensasi dingin ditemukan di daerah limbus.
Daya regenerasi saraf sesudah dipotong di daerah limbus terjadi dalam
waktu 3 bulan.5
Trauma atau penyakit yang merusak endotel akan mengakibatkan
sistem pompa endotel terganggu sehingga dekompresi endotel dan terjadi
edema kornea. Endotel tidak mempunyai daya regenerasi. Kornea
merupakan bagian mata yang tembus cahaya dan menutup bola mata di
sebelah depan. Pembiasan sinar terkuat dilakukan oleh kornea, dimana 40
dioptri dari 50 dioptri pembiasan sinar masuk kornea dilakukan oleh
kornea.5

2.1.2 Humor akuos


Humor akuos/Aqueos humor merupakan cairan yang terdapat pada
bilik mata yang mengandung zat-zat gizi untuk kornea dan lensa,
keduanya tidak memiliki pasokan darah. Adanya pembuluh darah di
kedua struktur ini akan mengganggu lewatnya cahaya ke fotoreseptor.
Aqueous humor dibentuk dengan kecepatan 5 ml/hari oleh jaringan
kapiler di dalam korpus siliaris, turunan khusus lapisan koroid di sebelah
anterior. Cairan ini mengalir ke suatu saluran di tepi kornea yaitu sinus
venosus ataupun Canal of Schlemm dan akhirnya masuk ke darah. Jika
aqueous humor tidak dikeluarkan sama cepatnya dengan
pembentukannya, kelebihan cairan akan tertimbun di rongga anterior dan
menyebabkan peningkatan tekanan intraokuler. Keadaan ini dikenal
sebagai glaukoma. Kelebihan aqueous humor akan mendorong lensa ke
belakang ke dalam vitreous humor, yang kemudian terdorong menekan
lapisan saraf dalam retina. Penekanan ini menyebabkan kerusakan retina
dan saraf optikus yang dapat menimbulkan kebutaan jika tidak diatasi.

5
2.1.3 Lensa
Jaringan ini berasal dari ektoderm permukaan yang berbentuk
lensa di dalam bola mata dan bersifat bening. Lensa di dalam bola mata
terletak di belakang iris dan terdiri dari zat tembus cahaya (transparan)
berbentuk seperti cakram yang dapat menebal dan menipis pada saat
terjadinya akomodasi.5
Lensa berbentuk lempeng cakram bikonveks dan terletak di dalam
bilik mata belakang. Lensa akan dibentuk oleh sel epitel lensa yang
membentuk serat lensa di dalam kapsul lensa. Epitel lensa akan
membentuk serat lensa terus-menerus sehingga mengakibatkan
memadatnya serat lensa di bagian sentral lensa sehingga membentuk
nukleus lensa. Bagian sentral lensa merupakan serat lensa yang paling
dahulu dibentuk atau serat lensa yang tertua di dalam kapsul lensa. Di
dalam lensa dapat dibedakan nukleus embrional, fetal dan dewasa. Di
bagian luar nukleus ini terdapat serat lensa yang lebih muda dan disebut
sebagai korteks lensa. Korteks yang terletak di sebelah depan nukleus
lensa disebut sebagai korteks anterior, sedangkan di belakangnya korteks
posterior. Nukleus lensa mempunyai konsistensi lebih keras dibanding
korteks lensa yang lebih muda. Di bagian perifer kapsul lensa terdapat
zonula Zinii yang menggantungkan lensa di seluruh ekuatornya pada
badan siliar.
Secara fisiologis lensa mempunyai sifat tertentu, yaitu:

Kenyal atau lentur karena memegang peranan terpenting dalam
akomodasi untuk menjadi cembung.

Jernih atau transparan karena diperlukan sebagai media penglihatan.

Terletak di tempatnya, yaitu berada antara posterior chamber dan
vitreous body dan berada di sumbu mata.
Keadaan patologik lensa ini dapat berupa :

Tidak kenyal pada orang dewasa yang mengakibatkan presbiopia,

Keruh atau apa yang disebut katarak

Tidak berada di tempat atau subluksasi dan dislokasi.

6
Lensa orang dewasa dalam perjalanan hidupnya akan menjadi bertambah
besar dan berat.5

2.1.4 Korpus vitreus


Badan vitreous menempati daerah mata di belakang lensa.
Struktur ini merupakan gel transparan yang terdiri atas air (lebih kurang
99%), sedikit kolagen, dan molekul asam hialuronat yang sangat
terhidrasi. Badan vitreous mengandung sangat sedikit sel yang
menyintesis kolagen dan asam hialuronat. Peranannya mengisi ruang
untuk meneruskan sinar dari lensa ke retina. Kebeningan badan vitreous
disebabkan tidak terdapatnya pembuluh darah dan sel. Pada pemeriksaan
tidak terdapatnya kekeruhan badan vitreous akan memudahkan melihat
bagian retina pada pemeriksaan oftalmoskop. Vitreous humor penting
untuk mempertahankan bentuk bola mata yang sferis.

2.1.5 Panjang bola mata


Panjang bola mata menentukan keseimbangan dalam pembiasan.
Panjang bola mata seseorang dapat berbeda-beda. Bila terdapat kelainan
pembiasan sinar oleh karena kornea (mendatar atau cembung) atau adanya
perubahan panjang (lebih panjang atau lebih pendek) bola mata, maka
sinar normal tidak dapat terfokus pada makula. Keadaan ini disebut
sebagai ametropia yang dapat berupa miopia, hipermetropia, atau
astigmatisma.

2.2 Fisiologi Penglihatan


Pembentukan bayangan di retina memerlukan empat proses. Pertama,
pembiasan sinar/cahaya. Hal ini berlaku apabila cahaya melalui perantaraan
yang berbeda kepadatannya dengan kepadatan udara, yaitu kornea, aqueous
humor, lensa, dan vitreous humor. Kedua, akomodasi lensa, yaitu proses lensa
menjadi cembung atau cekung, tergantung pada objek yang dilihat itu dekat atau
jauh. Ketiga, konstriksi pupil, yaitu pengecilan garis pusat pupil agar cahaya
tepat di retina sehingga penglihatan tidak kabur. Pupil juga mengecil apabila

7
cahaya yang terlalu terang memasukinya atau melewatinya, dan ini penting
untuk melindungi mata dari paparan cahaya yang tiba-tiba atau terlalu terang.
Keempat, pemfokusan, yaitu pergerakan kedua bola mata sedemikian rupa
sehingga kedua bola mata terfokus ke arah objek yang sedang dilihat.
Mata secara optik dapat disamakan dengan sebuah kamera fotografi
biasa. Mata memiliki susunan lensa, sistem diafragma yang dapat berubah-
ubah (pupil), dan retina yang dapat disamakan dengan film. Susunan lensa mata
terdiri atas empat perbatasan refraksi:
1. perbatasan antara permukaan anterior kornea dan udara
2. perbatasan antara permukaan posterior kornea dan aqueous humor
3. perbatasan antara aqueous humor dan permukaan anterior lensa
4. perbatasan antara permukaan posterior lensa dan vitreous humor.
Masing-masing memiliki indeks bias yang berbeda-beda, indeks bias udara
adalah 1, kornea 1.38, aqueous humor 1.33, lensa 1.40, dan vitreous humor
1.34.

Akomodasi
Akomodasi adalah kesanggupan mata untuk memperbesar daya
pembiasannya. Akomodasi dipengaruhi oleh serat-serat sirkuler mm. siliaris.
Fungsi serat-serat sirkuler adalah mengerutkan dan relaksasi serat-serat zonula
yang berorigo di lembah-lembah di antara prosesus siliaris. Otot ini mengubah
tegangan pada kapsul lensa, sehingga lensa dapat mempunyai berbagai fokus
baik untuk objek dekat maupun yang berjarak jauh dalam lapangan pandang.
Mata akan berakomodasi bila bayangan benda difokuskan di belakang retina.5
Ada beberapa teori mengenai mekanisme akomodasi, antara lain:
1. Teori Helmholtz
Di mana zonula Zinii kendor akibat kontraksi otot siliar sirkuler,
mengakibatkan lensa yang elastis menjadi cembung.
2. Teori Thsernig
Dasarnya adalah bahwa nukleus lensa tidak dapat berubah bentuk sedang
yang dapat berubah bentuk adalah bagian lensa superfisial atau korteks
lensa. Pada waktu akomodasi terjadi tegangan pada zonula Zinii sehingga

8
nukleus lensa terjepit dan bagian lensa superfisial di depan nukleus akan
mencembung.

Gambar 2.3 Skema terjadinya akomodasi mata

Punctum remotum (R) adalah titik terjauh yang dapat dilihat dengan
nyata tanpa akomodasi. Pada emetrop letak R adalah tak terhingga. Punctum
proksimum (P) adalah titik terdekat yang dapat dilihat dengan akomodasi
maksimal. Daerah akomodasi adalah daerah di antara titik R dan titik P. Lebar
akomodasi (A) adalah tenaga yang dibutuhkan untuk melihat daerah
akomodasi. Lebar akomodasi dinyatakan dengan dioptri, besarnya sama
dengan kekuatan lensa konveks yang harus diletakkan di depan mata yang
menggantikan akomodasi untuk punctum proksimum.
Terdapat tiga trias akomodasi yaitu mata yang konvergen, lensa yang
mencembung dan pupil yang miosis.8

A = 1/P – 1/R
Kekuatan akomodasi makin berkurang dengan bertambahnya umur dan
punctum proksimumnya (P) semakin menjauh. Hal ini disebabkan oleh karena
berkurangnya elastisitas dari lensa dan berkurangnya kekuatan otot siliarnya.

9
BAB III
KELAINAN REFRAKSI

3.1 Kelainan Refraksi


Kelainan refraksi adalah keadaan bayangan tegas tidak dibentuk pada
retina. Secara umum, terjadi ketidakseimbangan sistem penglihatan pada mata
sehingga menghasilkan bayangan yang kabur. Sinar tidak dibiaskan tepat pada
retina, tetapi dapat di depan atau di belakang retina dan tidak terletak pada satu
titik fokus. Kelainan refraksi dapat diakibatkan terjadinya kelainan
kelengkungan kornea dan lensa, perubahan indeks bias, dan kelainan panjang
sumbu bola mata.

Emetropia
Pada mata emetropia daya bias mata adalah normal, di mana sinar jauh
difokuskan sempurna di makula lutea tanpa bantuan akomodasi. Bila sinar
sejajar tidak difokuskan pada makula lutea disebut ametropia. Mata emetropia
akan mempunyai penglihatan normal atau 6/6 atau 100%. Bila media
penglihatan seperti kornea, lensa, dan badan kaca keruh maka sinar tidak dapat
diteruskan di makula lutea. Pada keadaan media penglihatan keruh maka
penglihatan tidak akan 100% atau 6/6.5

Ametropia
Keseimbangan dalam pembiasan sebagian besar ditentukan oleh dataran
depan dan kelengkungan kornea dan panjangnya bola mata. Kornea mempunyai
daya pembiasan sinar terkuat dibanding bagian mata lainnya. Lensa memegang
peranan membiaskan sinar terutama pada saat melakukan akomodasi atau bila
melihat benda dekat.5
Panjang bola mata seseorang berbeda-beda. Bila terdapat kelainan
pembiasan sinar oleh kornea (mendatar atau mencembung) atau adanya
perubahan panjang (lebih panjang atau lebih pendek) bola mata maka sinar
normal tidak akan terfokus pada makula. Keadaan ini disebut ametropia

10
(anomali refraksi) yang dapat berupa miopia, hipermetropia, atau
astigmatisme.5

3.2 Miopia
3.2.1 Definisi
Miopia adalah salah satu bentuk kelainan refraksi dimana sinar
yang datang sejajar dari jarak yang tak berhingga difokuskan di depan
retina saat mata tidak berakomodasi. Pasien dengan miopia akan
menyatakan melihat lebih jelas bila dekat sedangkan melihat jauh kabur
atau pasien adalah rabun jauh. Pasien miopia mempunyai pungtum
remotum (titik terjauh yang masih dilihat jelas) yang dekat sehingga mata
selalu dalam atau berkedudukan konvergensi yang akan menimbulkan
keluhan astenopia konvergensi. Bila kedudukan mata ini menetap maka
penderita akan terlihat juling ke dalam atau esotropia.
Pada mata dengan miopia tinggi akan terdapat kelainan pada
fundus okuli seperti degenerasi makula, degenerasi retina bagian perifer,
dengan myopik kresen pada papil saraf optik. Pengobatan pasien dengan
miopia adalah dengan memberikan kaca mata sferis negatif terkecil yang
memberikan ketajaman penglihatan maksimal. Bila pasien dikoreksi
dengan -3.0 memberikan tajam penglihatan 6/6, dan demikian juga bila
diberi -3.25, maka sebaiknya diberikan lensa koreksi -3.0 agar untuk
memberikan istirahat mata dengan baik sesudah dikoreksi.
Pada miopia tinggi sebaiknya koreksi dengan sedikit kurang atau
under correction. Lensa kontak dapat dipergunakan pada penderita
miopia. Pada saat ini miopia dapat dikoreksi dengan tindakan bedah
refraksi pada kornea atau lensa. Penyulit yang dapat timbul pada pasien
dengan miopia adalah terjadinya ablasi retina dan juling. Juling esotropia
atau juling ke dalam biasanya mengakibatkan mata berkonvergensi terus-
menerus. Bila terdapat juling ke luar mungkin fungsi satu mata telah
berkurang atau terdapat ambliopia.5

11
Gambar 3.1: Miopia

3.2.2 Klasifikasi
Klasifikasi Berdasarkan Etiologi
1. Miopia aksial
Miopia tipe ini disebabkan oleh diameter anteroposterior bola mata
yang bertambah panjang. Komponen refraktif lainnya berada dalam
batas normal.
2. Miopia refraksional
Miopia ini disebabkan kelainan pada komponen-komponen refraktif
pada mata. Menurut Borish, miopia refraktif dapat disubklasifikasikan
menjadi:
a. Curvature myopia
Terdapat peningkatan pada satu atau lebih kelengkungan
permukaan refraktif mata, terutama kornea
b. Index myopia
Terjadi perbedaan indeks refraksi dari satu atau lebih media
okuler.
3. Miopia posisional
Terjadi akibat posisi lensa yang anterior.
4. Miopia akibat akomodasi yang berlebihan.9

Klasifikasi Berdasarkan Onset


1. Juvenile-Onset Myopia (JOM)
JOM didefinisikan sebagai miopia dengan onset antara 7-16
tahun yang disebabkan terutama oleh karena pertumbuhan sumbu

12
aksial dari bola mata yang fisiologis. Esophoria, astigmatisma,
prematuritas, riwayat keluarga dan kerja berlebihan yang
menggunakan penglihatan dekat merupakan faktor-faktor risiko yang
dilaporkan oleh berbagai penelitian. Pada wanita, peningkatan
prevalensi miopia terbesar terjadi pada usia 9-10 tahun, sementara
pada laki-laki terjadi pada usia 11-12 tahun. Semakin dini onset dari
miopia, semakin besar progresi dari miopianya. Miopia yang mulai
terjadi pada usia 16 tahun biasanya lebih ringan dan lebih jarang
ditemukan. Progresi dari miopia biasanya berhenti pada usia remaja (
♂ pada usia 16 tahun, ♀ pada usia 15 tahun)
2. Adult-Onset Myopia (AOM)
AOM dimulai pada usia 20 tahun. Miopia yang terjadi pada
usia 20 sampai 40 tahun disebut sebagai early adult onset myopia,
sedangkan myopia yang terjadi setelah usia 40 tahun disebut late adult
onset myopia. Kerja mata yang berlebihan pada penglihatan dekat
merupakan faktor risiko dari perkembangan miopia.

Klasifikasi Miopia Berdasarkan Derajat


Berdasarkan derajat beratnya, miopia dapat diklasifikasikan menjadi:
• Miopia ringan < -3,00 D
• Miopia sedang -3,00 s/d -6,00 D
• Miopia berat -6,00 s/d -9,00 D
• Miopia sangat berat >-9,00 D

Klasifikasi Miopia Berdasarkan Gambaran Klinis9


1) Miopia Kongenital
Miopia yang sudah terjadi sejak lahir, namun biasanya
didiagnosa saat usia 2-3 tahun, kebanyakan unilateral dan
bermanifestasi anisometropia. Jarang terjadi bilateral. Miopia
kongenital sering berhubungan dengan kelainan kongenital lain
seperti katarak kongenital, mikrophtalmus, aniridia, megalokornea.
Miopia kongenital sangat perlu dikoreksi lebih awal.

13
2) Miopia simpleks
Jenis miopia ini paling banyak terjadi, jenis ini berkaitan
dengan gangguan fisiologi, tidak berhubungan dengan penyakit mata
lainnya. Miopia ini meningkat 2 % pada usia 5 tahun sampai 14 %
pada usia 15 tahun. Karena banyak ditemukan pada anak usia sekolah
maka disebut juga dengan ”School Myopia”.

Etiologi
Suatu variasi biologi normal dari perkembangan mata, yang mana bisa
berhubungan maupun tidak berhubungan dengan genetik.
a. Tipe axial
Variasi fisiologis dari perkembangan bola mata atau dapat
berhubungan dengan neurologi prekok pada masa anak-anak.
b. Tipe kurvatural
Terjadi karena variasi perkembangan bola mata. Hal ini
dikarenakan kebiasaan diet pada masa anak-anak ada dilaporkan
tanpa kesimpulan yang belum terbukti.
c. Genetik
Genetik berperan dalam variasi biologis pada pertumbuhan bola
mata, dengan faktor risiko;
• Jika kedua orang tua miopia prevalensi terjadinya miopia
pada anaknya sekitar 20 %
• Jika salah satu dari orang tua menderita miopia maka
prevalensi anaknya menderita miopia sekitar 10%.
• Jika salah satu orang tua tidak ada menderita miopi,
prevalensi miopia pada anak sekitar 5 %.
d. Teori bekerja dengan penglihatan yang sangat dekat.
Teori ini mengatakan bahwa, miopia dapat terjadi karena
kebiasaan kerja dengan pandangan yang sangat dekat, namun
pada kenyataannya teori ini belum terbukti secara pasti.

Gejala Klinis

14
Gejala subjektif :
• Penglihatan jauh kabur merupakan gejala utama.
• Gejala astenopia pada pasien miopia derajat ringan
• Anak sering menyipitkan mata, merupakan hal yang sering
dikeluhkan oleh orang tua.
Gejala objektif :
• Bola mata yang besar dan menonjol.
• Kamera okuli anterior lebih dalam dari normal.
• Pupil yang lebih lebar
• Fundus normal, namun miopia kresen temporal bisa terlihat tetapi
jarang.
• Biasanya terjadi saat usia 5 – 10 tahun dan meningkat sampai usia
18-20 tahun. Dengan rata-rata – 0.5 ± 0.3 per tahun.

3) Miopia patologis/degeneratif
Miopia yang terjadi karena kelainan pada bagian mata lain
seperti adanya pendarahan pada badan kaca, pigmentasi pada retina
dan peripapil. Miopia patologis sudah terjadi saat usia 5 – 10 tahun,
yang berefek saat usia dewasa muda yang mana hal ini berhubungan
dengan perubahan degeneratif pada mata.
Miopia patologis suatu hasil dari pertumbuhan yang cepat dari
panjang axial bola mata. Untuk menerangkan terjadinya kelainan
aksial bola mata banyak teori yang dikemukakan, namun belum ada
hipotesis memuaskan yang bisa menerangkan terjadinya patologi itu.
Namun demikian patologi ini berhubungan dengan herediter dan
pertumbuhan bola mata.
1. Herediter
Sekarang telah dipastikan bahwa genetik merupakan faktor
mayor sebagai etiologi kelainan ini. Progresif miopia yang
bersifat familial, banyak terjadi pada bangsa Cina, Arab dan
Jepang. Namun jarang ditemukan pada bangsa Afrika dan Sudan.

15
Ini menunjukkan hubungan herediter yang mempengaruhi
pertumbuhan retina dalam perkembangan miopia.
2. Proses Pertumbuhan secara umum
Proses pertumbuhan ini merupakan faktor minor pada
perkembangan miopia, Perpanjangan dari segmen posterior bola
mata terjadi hanya sepanjang masa pertumbuhan aktif dan
diperkirakan berhenti saat pertumbuhan aktif berhenti. Di sini ada
beberapa faktor seperti nutrisi, defisiensi, gangguan hormon, dan
penyakit yang terjadi saat pertumbuhan aktif sehingga
mempengaruhi perkembangan miopia.

Gambar 3.2 Pemanjangan bola mata

Gejala Klinis
Gejala subjektif :
• Kabur bila melihat jauh, penurunan visus umumnya lebih parah
dibanding dengan miopia simpleks.
• Keluhan lain seperti melihat sesuatu berwarna hitam melayang
pada penglihatannya, hal ini berhubungan dengan degenerasi
vitreus.
• Rabun pada malam hari dapat dikeluhkan pada penderita dengan
miopia tinggi.
Gejala objektif :
• Gambaran pada segmen anterior serupa dengan myopia simpleks

16
• Gambaran yang ditemukan pada segmen posterior berupa
kelainan-kelainan pada
o Badan kaca : dapat ditemukan kekeruhan berupa pendarahan
atau degenerasi yang terlihat sebagai floaters, atau benda-
benda yang mengapung dalam badan kaca. Kadang-kadang
ditemukan ablasi badan kaca yang dianggap belum jelas
hubungannya dengan keadaan myopia
o Papil saraf optik: terlihat pigmentasi peripapil, kresen
myopia, papil terlihat lebih pucat yang meluas terutama ke
bagian temporal. Kresen myopia dapat ke seluruh lingkaran
papil sehingga seluruh papil dikelilingi oleh daerah koroid
yang atrofi dan pigmentasi yang tidak teratur.

Gambar 3.3 Gambaran Kresen miopia

• Degenerasi pada retina dan koroid yang terjadi pada miopia


tinggi. Ditandai dengan plak berwarna keputihan pada makula
dengan sedikit pigmen yang mengelilinginya. Foster fuchs spot
dapat terlihat di makula.

17
Gambar 3.4 Gambaran fundus pada miopia

• Seluruh lapisan fundus yang tersebar luas berupa penipisan


koroid dan retina. Akibat penipisan ini maka bayangan koroid
tampak lebih jelas dan disebut sebagai fundus tigroid.5

3.2.3 Komplikasi
1. Strabismus divergens/exotropia (karena fungsi mata yang berkurang
atau terjadi ambliopia)
2. Ablasio retina
3. Perdarahan badan kaca
4. Perdarahan koroid9

3.2.3 Penatalaksanaan
a. Non farmakologi
• Kaca Mata
• Lensa kontak
Lensa kontak mengurangi masalah kosmetik yang muncul pada
penggunaan kacamata akan tetapi memerlukan perawatan lensa
yang benar dan bersih.

18
Gambar 3.5: Koreksi pada Mata Miopia

Kacamata, kontak lensa, dan operasi refraksi adalah beberapa


pilihan untuk mengobati gejala-gejala visual pada penderita miopia.
Dalam ilmu keratologi kontak lensa yang digunakan adalah kontak
lensa yang keras atau kaku untuk pemerataan kornea yang berfungsi
untuk mengurangi miopia.

b. Terapi Pembedahan
1. Radial Keratotomy
Untuk membuat insisi radial yang dalam pada pinggir
kornea dan ditinggalkan 4 mm sebagai zona optik. Pada
penyembuhan insisi ini terjadi pendataran dari permukaan kornea
sentral sehingga menurunkan kekuatan refraksi. Prosedur ini
sangat bagus untuk miopia derajat ringan dan sedang.
Kelemahan
Kornea menjadi lemah, bisa terjadi ruptur bola mata jika
terjadi trauma setelah RK, terutama bagi penderita yang berisiko
terjadi trauma tumpul, seperti atlet, tentara. Bisa terjadi astigmat
irreguler karena penyembuhan luka yang tidak sempurna, namun
jarang terjadi. Pasien Post RK juga dapat merasa silau saat malam
hari.

19
Gambar 3.6: Radial keratotomy

2. Photorefractive Keratectomy (PRK)


Pada teknik ini zona optik sentral pada stroma kornea
anterior difotoablasi dengan menggunakan laser excimer (193
nm sinar UV) yang bisa menyebabkan sentral kornea menjadi
flat. Sama seperti RK, PRK bagus untuk miopia -2 sampai -6
dioptri.
Kelemahan
• Penyembuhan post operatif yang lambat
• Keterlambatan penyembuhan epitel menyebabkan
keterlambatan pulihnya penglihatan dan pasien merasa nyeri
dan tidak nyaman selama beberapa minggu.
• Dapat terjadi sisa kornea yang keruh yang mengganggu
penglihatan
• PRK lebih mahal dibanding RK

20
Gambar 3.7: Photorefractive keratotomy

3. Laser in-situ Keratomileusis (LASIK)


Pada teknik ini, pertama sebuah flap setebal 130-160
mikron dari kornea anterior diangkat. Setelah Flap diangkat,
jaringan midstroma secara langsung diablasi dengan tembakan
sinar excimer laser, akhirnya kornea menjadi flat. Sekarang
teknik ini digunakan pada kelainan miopia yang lebih dari - 12
dioptri.
Kriteria pasien untuk LASIK
• Umur lebih dari 20 tahun.
• Memiliki refraksi yang stabil, minimal 1 tahun.
• Motivasi pasien
• Tidak ada kelainan kornea dan ketebalan kornea yang tipis
merupakan kontraindikasi absolut LASIK.

Gambar 3.8: LASIK

Keuntungan LASIK
• Minimal atau tidak ada rasa nyeri post operatif
• Kembalinya penglihatan lebih cepat dibanding PRK.
• Tidak ada risiko perforasi saat operasi dan ruptur bola mata
karena trauma setelah operasi,
• Tidak ada gejala sisa kabur karena penyembuhan epitel.

21
• Baik untuk koreksi miopia yang lebih dari -12 dioptri.
Kekurangan LASIK
• LASIK jauh lebih mahal
• Membutuhkan skill operasi para ahli mata.
• Dapat terjadi komplikasi yang berhubungan dengan flap,
seperti flap putus saat operasi, dislokasi flap post operatif,
astigmat irreguler.9

3.3 Hipermetropia
3.3.1 Definisi
Hipermetropia atau rabun dekat merupakan suatu kelainan
refraksi dimana sinar sejajar yang datang dari jarak tak terhingga oleh
mata dalam keadaan istirahat atau tanpa akomodasi di fokuskan di
belakang retina. Pada hipermetropia bayangan terbentuk di belakang
retina, yang menghasilkan penglihatan penderita hipermetropia menjadi
kabur. Hal ini dikarenakan bola mata penderita terlalu pendek atau daya
pembiasan kornea dan lensa terlalu lemah. Banyak anak lahir dengan
hiperopia, dan beberapa mereka tumbuh normal dengan pemanjangan
bola mata. Terkadang sulit dibedakan hiperopia dengan presbiopia, yang
juga menyebabkan masalah penglihatan dekat namun karena alasan yang
berbeda.
Berikut gambar skematik pembentukan bayangan pada penderita
hipermetropia tanpa koreksi dan pembentukan bayangan pada penderita
hipermetropia setelah dikoreksi dengan lensa positif

22
Gambar 3.9: Hipermetropia

3.3.2 Etiologi
Hipermetropia dapat disebabkan:
a. Hipermetropia aksial
Merupakan kelainan refraksi akibat bola mata yang terlalu pendek
b. Hipermetropia refraktif
Dimana daya pembiasan mata terlalu lemah
c. Hipermetropia kurvatur
Dimana kelengkungan kornea atau lensa kurang sehingga bayangan
terfokus di belakang retina
d. Hipermetropia indeks
Berkurangnya indeks bias akibat usia atau sedang dalam pengobatan
diabetes.
e. Hipermetropia posisional
Posisi lensa yang posterior.
f. Afakia9

3.3.3 Klasifikasi
Klasifikasi hipermetropia berdasarkan gambaran klinis
1. Hiperopia simpleks yang disebabkan oleh variasi biologi normal
dalam pertumbuhan bola mata, etiologinya bisa aksial atau kurvatur

23
2. Hiperopia patologik disebabkan kongenital atau didapat yang di luar
vaiasi biologi normal :
a. Hipermetropia indeks
b. Hipermetropia posisional
c. Afakia
d. Consecutive hypermetropia
3. Hiperopia fungsional disebabkan oleh paralisis dari proses
akomodasi seperti yang terlihat pada penderita dengan paralisis
nervus III dan oftalmoplegia internal.9

Klasifikasi hipermetropia berdasarkan derajat beratnya


1. Hiperopia ringan, kesalahan refraksi +2.00 D atau kurang
2. Hiperopia sedang, kesalahan refraksi antara +2.25 D hingga +5.00
D
3. Hiperopia berat, kesalahan refraksi +5.25 D atau lebih tinggi

Klasifikasi berdasarkan status akomodasi mata


1. Hipermetropia Laten
• Sebagian dari keseluruhan dari kelainan refraksi mata hiperopia
yang dikoreksi secara lengkap oleh proses akomodasi mata
• Hanya bisa dideteksi dengan menggunakan sikloplegia
• Lebih muda seseorang yang hipermetropia, lebih laten hiperopia
yang dimilikinya
2. Hipermetropia Manifes
• Hipermetropia yang dideteksi lewat pemeriksaan refraksi rutin
tanpa menggunakan sikloplegia
• Bisa diukur derajatnya berdasarkan jumlah dioptri lensa positif
yang digunakan dalam pemeriksaan subjektif
• Terdiri dari
o Hiperopia Fakultatif

24
§ Hipermetropia yang bisa diukur dan dikoreksi dengan
menggunakan lensa positif, tapi bisa juga dikoreksi
oleh proses akomodasi pasien tanpa menggunakan
lensa
§ Semua hiperopia laten adalah hipermetropia fakultatif
§ Akan tetapi, pasien dengan hipermetropia laten akan
menolak pemakaian lensa positif karena akan
mengaburkan penglihatannya.
§ Pasien dengan hipermetropia fakultatif bisa melihat
dengan jelas tanpa lensa positif tapi juga bisa melihat
dengan jelas dengan menggunakan lensa positif
o Hipermetropia Absolut
§ Tidak bisa dikoreksi dengan proses akomodasi
§ Penglihatan subnormal
§ Penglihatan jarak jauh juga bisa menjadi kabur
terutama pada usia lanjut
3. Hiperopia Total bisa dideteksi setelah proses akomodasi diparalisis
dengan agen sikloplegia.9

3.3.4 Gejala klinis


Gejala Subyektif
• Penglihatan jauh kabur, terutama pada hipermetropia 3 D atau lebih,
hipermetropia pada orang tua dimana amplitudo akomodasi
menurun
• Penglihatan dekat kabur lebih awal, terutama bila lelah, bahan
cetakan kurang terang atau penerangan kurang
• Sakit kepala terutama daerah frontal dan makin kuat pada
penggunaan mata yang lama dan membaca dekat
• Penglihatan tidak enak (asthenopia akomodatif = eye strain)
terutama bila melihat pada jarak yang tetap dan diperlukan
penglihatan jelas pada jangka waktu yang lama, misalnya menonton
TV dan lain-lain.

25
• Mata sensitif terhadap sinar
• Spasme akomodasi yang dapat menimbulkan pseudomiopia
• Perasaan mata juling karena akomodasi yang berlebihan akan diikuti
konvergensi yang berlebihan pula

Gejala Obyektif
• Karena akomodasi yang terus menerus, akan terjadi hipertrofi dari
otot–otot akomodasi di corpus ciliare.
• Akomodasi, miosis dan konvergensi adalah suatu trias dari saraf
parasimpatik N III.
• Karena seorang hipermetropia selalu berakomodasi, maka pupilnya
kecil (miosis).
• Karena akomodasi yang terus menerus, juga timbul hiperemi dari
mata. Mata kelihatan terus merah. Juga fundus okuli, terutama N II
kelihatan merah, hingga memberi kesan adanya radang dari N II.
• Karena ini bukan radang yang sebenarnya, maka kemerahan N II
juga dinamakan pseudo-neuritis optica atau pseudo-papillitis.9

3.3.5 Komplikasi
1. Blefaritis atau chalazia
2. Accommodative convergent squint
3. Ambliopia
4. Predisposisi untuk terjadi glaucoma sudut tertutup9

3.3.6 Penatalaksanaan
1. Hiperopia dikoreksi dengan lensa positif yang terkuat. Bisa dengan
memakai kaca mata atau lensa kontak.
2. Pembedahan refraktif juga bisa dilakukan untuk membaiki
hipermetropia dengan membentuk semula kurvatura kornea. Metode
pembedahan refraktif termasuk
o Laser-assisted in-situ keratomileusis (LASIK)
o Laser-assisted subepithelial keratectomy (LASEK)

26
o Photorefractive keratectomy (PRK)
o Conductive keratoplasty (CK)

3.4 Astigmatisma
3.4.1 Definisi
Astigmatisma adalah keadaan dimana terdapat variasi pada
kurvatur kornea atau lensa pada meridian yang berbeda yang
mengakibatkan berkas cahaya tidak difokuskan pada satu titik. Astigmat
merupakan akibat bentuk kornea yang oval seperti telur, makin lonjong
bentuk kornea makin tinggi astigmat mata tersebut. Dan umumnya setiap
orang memiliki astigmat yang ringan.

3.4.2 Klasifikasi
1. Astigmatisma Reguler
Astigmatisma reguler merupakan astigmatisma yang
memperlihatkan kekuatan pembiasan bertambah atau berkurang
perlahan-lahan secara teratur dari satu meridian ke meridian
berikutnya. Bayangan yang terjadi dengan bentuk yang teratur dapat
berbentuk garis, lonjong atau lingkaran.
Etiologi
a. Corneal astigmatisme
Abnormalitas kelengkungan kornea
b. Lenticular astigmatisme
Jarang. Bisa akibat :
• Kurvatur - abnormalitas kelengkungan lensa
• Posisional – peralihan atau posisi lensa yang oblik
• Indeks – indeks bias yang bervariasi pada meridian yang
berbeda
• Retinal – posisi macula yang oblik.
Klasifikasi
a. Simple astigmatism, dimana satu dari titik fokus di retina. Fokus
lain dapat jatuh di depan atau di belakang dari retina, jadi satu

27
meridian adalah emetropik dan yang lainnya hipermetropia atau
miopia. Yang kemudian ini dapat di rumuskan sebagai Simple
hypermetropic astigmatism dan Simple myopic astigmatism.
b. Compound astigmatism, dimana tidak ada dari dua fokus yang
jatuh tepat di retina tetapi keduanya terletak di depan atau di
belakang retina. Bentuk refraksi kemudian hipermetropia atau
miop. Bentuk ini dikenal dengan Compound hypermetropic
astigmatism dan Compound miopic astigmatism.
c. Mixed Astigmatism, dimana salah satu fokus berada di depan
retina dan yang lainnya berada di belakang retina, jadi refraksi
berbentuk hipermetropia pada satu arah dan miop pada yang
lainnya.

Gambar 3.10: Jenis astigmatisma

Apabila meridian-meridian utamanya saling tegak lurus dan


sumbu-sumbunya terletak di dalam 20 derajat horizontal dan
vertikal, maka astigmatisme ini dibagi menjadi astigmatism with the
rule (astigmatisme direk), dengan daya bias yang lebih besar terletak
di meridian vertikal, dan astigmatism against the rule (astigmatisma
inversi) dengan daya bias yang lebih besar terletak di meridian
horizontal. Astigmatisme lazim lebih sering ditemukan pada pasien
berusia muda dan astigmatisme tidak lazim sering pada orang tua.9

28
2. Astigmatisma irreguler
Astigmatisma yang terjadi tidak memiliki 2 meridian saling
tegak lurus. Astigmat irreguler dapat terjadi akibat kelengkungan
kornea pada meridian yang sama berbeda sehingga bayangan
menjadi irreguler. Pada keadaan ini daya atau orientasi meridian
utamanya berubah sepanjang bukaan pupil. Astigmatisma irreguler
bisa terjadi akibat infeksi kornea, trauma dan distrofi atau akibat
kelainan pembiasan.

3.4.3 Gejala klinis


Seseorang dengan astigmatisma akan memberikan keluhan :
1. Memiringkan kepala untuk melihat
2. Penglihatan akan kabur untuk jauh atau pun dekat
3. Bentuk benda yang dilihat berubah (distorsi)
4. Mengecilkan celah kelopak jika ingin melihat
5. Sakit kepala
6. Mata tegang dan pegal
7. Astigmatisma tinggi (4-8 D) yang selalu melihat kabur sering
mengakibatkan ambliopia

3.4.4 Diagnosis
Diagnosa ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan
fisik. Pasien akan datang dengan gejala klinis seperti yang tersebut di
atas. Pada pemeriksaan fisik, terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan
dengan menggunakan kartu Snellen. Periksa kelainan refraksi miopia
atau hipermetropia yang ada, tentukan tajam penglihatan.
Dengan menggunakan juring atau kipas astigmat, garis berwarna
hitam yang disusun radial dengan bentuk semisirkular dengan dasar yang
putih merupakan pemeriksaan subyektif untuk menilai ada dan besarnya
derajat astigmat.
Keadaan dari astigmatisma irreguler pada kornea dapat dengan
mudah di temukan dengan melakukan observasi adanya distorsi

29
bayangan pada kornea. Cara ini dapat dilakukan dengan menggunakan
Placido’s Disc di depan mata. Bayangan yang terlihat melalui lubang di
tengah piringan akan tampak mengalami perubahan bentuk.
Karena sebagian besar astigmatisma disebabkan oleh kornea,
maka dengan mempergunakan keratometer, derajat astigmat dapat
diketahui, sehingga pada saat dikoreksi untuk mendapatkan tajam
penglihatan terbaik hanya dibutuhkan lensa sferis saja.

Gambar 3.11: Kipas Astigmat

Gambar 3.12: Gambaran Kornea normal dan kornea astigmat


dengan tes Plasido

3.4.5 Penatalaksanaan
Astigmatisma ringan, yang tidak mengalami gangguan ketajaman
penglihatan (0,5 D atau kurang) tidak perlu dilakukan koreksi. Pada
astigmatsma yang berat dipergunakan kacamata silinder, lensa kontak
atau pembedahan.
1. Kacamata Silinder
Pada astigmatism againts the rule, koreksi dengan silinder
negatif dilakukan dengan sumbu tegak lurus (90o +/- 20o) atau dengan
silinder positif dengan sumbu horizontal (180o +/- 20o). Sedangkan

30
pada astigmatism with the rule diperlukan koreksi silinder negatif
dengan sumbu horizontal (180o +/- 20o) atau bila dikoreksi dengan
silinder positif sumbu vertikal (90o +/- 20o).
Pada koreksi astigmatisma dengan hasil keratometer digunakan
hukum Jawal:
a. Berikan kacamata koreksi astigmatisma pada astigmatism with the
rule dengan silinder minus 180 derajat, dengan astigmatisma hasil
keratometer yang ditemukan ditambahkan dengan ¼ nilainya dan
dikurangi dengan 0,5 D.
b. Berikan kacamata koreksi astigmatisma pada astigmatism againts
the rule dengan silinder minus 90 derajat, dengan astigmatisma
hasil keratometer yang ditemukan ditambahkan dengan ¼ nilainya
dan ditambah dengan 0,5 D.

2. Lensa Kontak
Pada penderita astigmatisma diberikan lensa rigid, yang dapat
menetralisasi astigmat yang terjadi di permukaan kornea.

3. Pembedahan
Untuk mengoreksi astigmatisma yang berat, dapat digunakan pisau
khusus atau dengan laser untuk mengoreksi kornea yang irreguler atau
abnormal. Ada beberapa prosedur pembedahan yang dapat dilakukan,
diantaranya:
a. Photorefractive Keratectomy (PRK), laser dipergunakan untuk
membentuk kurvatur kornea.
b. Laser in Situ Keratomileusis (lasik), laser digunakan untuk
merubah kurvatur kornea dengan membuat flap (potongan laser)
pada kedua sisi kornea.
c. Radial keratotomy, insisi kecil dibuat secara dalam di kornea.

31
3.5 Presbiopia
3.5.1 Definisi

Makin berkurangnya kemampuan akomodasi mata sesuai dengan


makin meningkatnya umur. Kelainan ini terjadi pada mata normal berupa
gangguan perubahan kecembungan lensa yang dapat berkurang akibat
berkurangnya elastisitas lensa atau menurunnya kekuatan otot badan
siliar sehingga terjadi gangguan akomodasi. Berikut ini gambar ilustrasi
pembentukan bayangan pada penderita presbiopia.

Gambar 3.13: Presbiopia

3.5.2 Etiologi
Gangguan akomodasi pada usia lanjut dapat terjadi akibat:
• Kelemahan otot badan siliar
• Lensa mata yang tidak kenyal atau berkurang elastisitasnya akibat
sklerosis lensa5

3.5.3 Patofisiologi
Pada mekanisme akomodasi yang normal terjadi peningkatan
daya refraksi mata karena adanya perubahan keseimbangan antara
elastisitas matriks lensa dan kapsul sehingga lensa menjadi cembung.
Dengan meningkatnya umur maka lensa menjadi lebih keras (sklerosis)
dan kehilangan elastisitasnya untuk menjadi cembung, dengan demikian
kemampuan melihat dekat makin berkurang.

32
3.5.4 Klasifikasi
1. Presbiopia Insipien
Tahap awal perkembangan presbiopia, dari anamnesa didapati
pasien memerlukan kaca mata untuk membaca dekat, tapi tidak
tampak kelainan bila dilakukan tes, dan pasien biasanya akan
menolak preskripsi kaca mata baca.
2. Presbiopia Fungsional
Amplitud akomodasi yang semakin menurun dan akan didapatkan
kelainan ketika diperiksa.
3. Presbiopia Absolut
Peningkatan derajat presbiopia dari presbiopia fungsional, dimana
proses akomodasi sudah tidak terjadi sama sekali.
4. Presbiopia Prematur
Presbiopia yang terjadi dini sebelum usia 40 tahun dan biasanya
berhubungan dengan lingkungan, nutrisi, penyakit, atau obat-obatan.
5. Presbiopia Nokturnal
Kesulitan untuk membaca jarak dekat pada kondisi gelap disebabkan
oleh peningkatan diameter pupil.

3.5.5 Gejala klinis


• Akibat gangguan akomodasi ini maka pada pasien berusia lebih dari
40 tahun, akan memberikan keluhan setelah membaca yaitu berupa
mata lelah, berair dan sering terasa pedas.
• Karena daya akomodasi berkurang maka titik dekat mata makin
menjauh dan pada awalnya akan kesulitan pada waktu membaca
dekat huruf dengan cetakan kecil.
• Dalam upayanya untuk membaca lebih jelas maka penderita
cenderung menegakkan punggungnya atau menjauhkan obyek yang
dibacanya sehingga mencapai titik dekatnya dengan demikian obyek
dapat dibaca lebih jelas.
• Presbiopia timbul pada umur 45 tahun untuk ras Kaukasia dan 35
tahun untuk ras lainnya

33
3.5.6 Penatalaksanaan
Diberikan penambahan (addisi) lensa sferis positif sesuai pedoman umur
yaitu umur 40 tahun (umur rata – rata) diberikan tambahan sferis + 1.00
dan setiap 5 tahun diatasnya ditambahkan lagi sferis + 0.50. Lensa sferis
(+) yang ditambahkan dapat diberikan dalam berbagai cara:
1. Kacamata baca untuk melihat dekat saja
2. Kacamata bifokal untuk sekaligus mengoreksi kelainan yang lain

3.6 Anisometropia
3.6.1 Definisi
Merupakan kelainan di mana kekuatan refraksi kedua mata
berbeda, dapat saja 1 mata miopia dan mata lainnya hipermetropia.
Anisometropia mengakibatkan pada bayi apa yang disebut sebagai
ambliopia (berkurangnya penglihatan pada satu mata). Pada keadaan
yang berat anisometropia tertentu otak tidak dapat melihat besarnya
benda yang berbeda. Perkembangan selanjutnya mata akan senang
melihat dengan satu mata dan melakukan supresi pada mata lainnya.6

3.6.2 Klasifikasi
1. Simple anisometropia
Satu mata emetropia dan satu mata lagi miopia atau hipermetropia.
2. Compound anisometropia
Kedua mata myopia atau hipermetropia namun salah satu
mempunyai kelainan refraksi yang lebih besar.
3. Mixed anisometropia/antimetropia
Satu mata myopia sedangkan satu mata lagi hipermetropia.
4. Simple astigmatic anisometropia
Satu mata normal dan satu mata lagi simple miopic/hipermetropic
astigmatisme.
5. Compound astigmatic anisometropia
Bila kedua mata astigmatisma namun derajatnya berbeda.9

34
3.6.3 Gejala klinis
• Diplopia dan astenopia
• Ambliopia akibat terjadi supresi mata dengan penglihatan kurang6

3.6.4 Penatalaksaan
1. Kacamata
2. Lensa kontak
3. Tindakan bedah
• Refractive corneal surgery
• Intraocular lens implantation for uniocularaphakia
• Operasi Fucala6

3.7 Aniseikonia
3.7.1 Definisi
Keadaan pada kedua mata memberikan bayangan yang tidak
sama besarnya. Aniseikonia sering dikaitkan dengan tidak samanya
kelainan refraksi pada kedua mata.6

3.7.2 Etiologi
• Pembesaran optik, berbeda ukuran bayangan benda
• Distribusi reseptor retina , memberikan besar bayangan jadi berbeda
• Proses korteks, perbedaan proses bayangan retina ditolak6

3.7.3 Klasifikasi
1. Optical aniseikonia
2. Retinal aniseikonia
3. Cortical aniseikonia9

3.7.4 Gejala klinis


• Sakit kepala
• Astenopia

35
• Fotofobia
• Bayangan benda pada kedua mata tidak sama besar6

3.7.5 Penatalaksanaan
1. Kacamata
2. Lensa kontak6

3.8 Ambliopia
3.8.1 Definisi
Ambliopia atau mata malas, merupakan kelainan mata dengan
gejala penglihatan yang tidak disertai dengan adanya kelainan pada mata.
Ambliopia merupakan suatu keadaan mata dimana tajam penglihatan
mencapai optimal sesuai dengan usia dan intelegensinya walaupun sudah
dikoreksi kelainan refraksinya. Pada ambliopia terjadi penurunan tajam
penglihatan unilateral atau bilateral disebabkan karena kehilangan
pengenalan bentuk, interaksi binokuler abnormal, atau keduanya dimana
tidak ditemukan kausa organik pada pemeriksaan fisik mata dan pada
kasus yang keadaan baik, dapat dikembalikan fungsinya dengan
pengobatan.6

3.8.2 Etiologi
• Terjadinya gangguan aliran bayangan penglihatan ke dalam otak
pada usia muda. Ambliopia pada umumnya mengenai satu mata.
• Merupakan gangguan perkembangan otak, tidak akibat kelainan
jaringan mata.
• Strabismus
• Anisometropia6

3.8.3 Gejala klinis


• Gangguan pada penglihatan terutama pada fenomena crowding.
• Sensitivitas kontras rendah
• Penglihatan stereoskopik kurang

36
• Mata tidak selamanya lurus.

3.8.4 Pemeriksaan
1. Uji Crowding Phenomenon
Penderita ambliopia kurang mampu untuk membaca
bentuk/huruf yang rapat dan mengenali pola apa yang dibentuk oleh
gambar atau huruf tersebut. Tajam penglihatan yang dinilai dengan
cara konvensional yang berdasar kepada kedua fungsi tadi selalu
mendekati normal.
Telah diketahui bahwa penderita ambliopia sulit untuk
mengidentifikasi huruf yang tersusun linear (sebaris) dibandingkan
dengan huruf yang terisolasi, maka dapat kita lakukan dengan
penderita diminta membaca kartu snellen sampai huruf terkecil yang
dibuka satu persatu atau yang diisolasi, kemudian isolasi huruf
dibuka dan pasien di suruh melihat sebaris huruf yang sama. Bila
terjadi penurunan tajam penglihatan dari huruf isolasi ke huruf
dalam baris maka ini disebut adanya fenomena crowding pada mata
tersebut. Mata ini menderita ambliopia. Hal ini disebut ”Crowding
Phenomenon”. Terkadang mata Ambliopia dengan tajam
penglihatan 20/20 (6/6) pada huruf isolasi dapat turun hingga 20/100
(6/30) bila ada interaksi bentuk (countour interaction).

Gambar 3.14: Balok Interaktif

37
2. Uji Density Filter Netral
Dasar uji adalah diketahui pada mata yang ambliopia secara
fisiologik berada dalam keadaan beradaptasi gelap sehingga bila
pada mata ambliopia dilakukan uji penglihatan dengan intensitas
sinar yang direndahkan (memakai filter density) tidak akan terjadi
penurunan tajam penglihatan.
Dilakukan dengan memakai filter yang perlahan-lahan di
gerakkan sehingga penglihatan pada mata normal turun 50% pada
mata ambliopia fungsional tidak akan atau hanya sedikit
menurunkan tajam penglihatan pada pemeriksaan sebelumnya.
Dibuat terlebih dahulu gabungan filter sehingga tajam
penglihatan pada mata yang normal turun dari 20/20 menjadi 20/40
atau turun 2 baris pada kartu pemeriksaan gabungan filter tersebut di
taruh pada mata di duga ambliopia.
Bila ambliopia adalah fungsional maka paling banyak tajam
penglihatan berkurang satu baris atau tidak terganggu sama sekali.
Bila mata tersebut ambliopia organik maka tajam penglihatan akan
sangat menurun dengan pemakaian filter tersebut.

Gambar 3.15: Tes Filter Densitas Netral

Keterangan :

38
a. Pada saat mata yang sehat ditutup, filter ditempatkan di depan
mata yang ambliopik selama 1 menit sebelum diperiksa
visusnya.
b. Tanpa filter pasien bisa membaca 20/40.
c. Dengan filter, visus tetap 20/40 (atau membaik 1 atau 2 baris)
pada Ambliopia fungsional.
d. Filter bisa menurunkan visus 3 baris atau lebih pada kasus-
kasus Ambliopia organik.
3. Uji Worth’s Four Dot
Uji untuk melihat penglihatan binokular, adanya fusi,
korespondensi retina abnormal, supresi pada satu mata dan juling.
Penderita memakai kaca mata dengan filter merah pada mata kanan
dan filter biru mata kiri dan melihat pada objek 4 titik dimana 1
berwarna merah, 2 hijau 1 putih. Lampu atau pada titik putih akan
terlihat merah oleh mata kanan dan hijau oleh mata kiri. Lampu
merah hanya dapat dilihat oleh mata kanan dan lampu hijau hanya
dapat dilihat oleh mata kiri. Bila fusi baik maka akan terlihat 4 titik
dan sedang lampu putih terlihat sebagai warna campuran hijau dan
merah. 4 titik juga akan dilihat oleh mata juling akan tetapi telah
terjadi korespondensi retina yang tidak normal. Bila dominan atau 3
hijau bila mata kiri yang dominan. Bila terlihat 5 titik 3 merah dan 2
hijau yang bersilangan berarti maka berkedudukan esotropia.

3.8.5 Penatalaksanaan
Ambliopia, pada kebanyakan kasus dapat ditatalaksana dengan
efektif selama satu dekade pertama. Lebih cepat tindakan terapeutik
dilakukan, maka akan semakin besar pula peluang keberhasilannya. Bila
pada awal terapi sudah berhasil hal ini tidak menjamin penglihatan
optimal akan tetap bertahan, maka para klinisi harus tetap waspada dan
bersiap untuk melanjutkan penatalaksanaan hingga penglihatan
”matang” (sekitar umur 10 tahun).
Penatalaksanaan ambliopia meliputi langkah – langkah berikut:

39
1. Menghilangkan (bila mungkin) semua penghalang penglihatan
seperti katarak.
2. Koreksi kelainan refraksi.
3. Paksakan penggunaan mata yang lebih lemah dengan membatasi
penggunaan mata yang lebih baik.

Oklusi dan Degradasi Optikal


Oklusi
Terapi oklusi sudah dilakukan sejak abad ke-18 dan merupakan
terapi pilihan yang keberhasilannya baik dan cepat dapat dilakukan
oklusi penuh waktu (full time) atau paruh waktu (part-time).
1. Oklusi Full Time
Pengertian oklusi full- time pada mata yang lebih baik adalah
oklusi untuk semua atau setiap saat kecuali 1 jam waktu berjaga
(occlusion for all or all but one waking hour). Arti ini sangat penting
dalam penatalaksanaan ambliopia dengan cara penggunaan mata
yang “rusak”. Biasanya penutup mata yang digunakan adalah
penutup adhesif (adhesive patches) yang tersedia secara komersial.
Penutup (patch) dapat dibiarkan terpasang pada malam hari
atau dibuka sewaktu tidur. Kacamata okluder (spectacle mounted
ocluder) atau lensa kontak opak, atau Annisa’s Fun Patches dapat
juga menjadi alternatif full-time patching bila terjadi iritasi kulit atau
perekat patch-nya kurang lengket. Full-time patching baru
dilaksanakan hanya bila strabismus konstan menghambat
penglihatan binokular karena full-time patching mempunyai sedikit
risiko yaitu bingung dalam hal penglihatan binokular.
Ada suatu aturan / standar mengatakan full-time patching
diberi selama 1 minggu untuk setiap tahun usia misalnya penderita
ambliopia pada mata kanan berusia 3 tahun harus memakai full-
timepatch selama 3 minggu lalu dievaluasi kembali. Hal ini untuk
menghindarkan terjadinya ambliopia pada mata yang baik.

40
2. Oklusi Part-time
Oklusi part-time adalah oklusi selama 1-6 jam per hari akan
memberi hasil sama dengan oklusi full-time. Durasi interval buka
dan tutup patch-nya tergantung dari derajat ambliopia.
Ambliopia Treatment Studies (ATS) telah membantu dalam
penjelasan peranan full-time patching dibanding part-time. Studi
tersebut menunjukkan pasien usia 3-7 tahun dengan ambliopia berat
(tajam penglihatan antara 20/100 = 6/30 dan 20/400 = 6/120 ), full-
time patching memberi efek sama dengan penutupan selama 6 jam
per hari. Dalam studi lain, patching 2 jam/hari menunjukkan
kemajuan tajam penglihatan hampir sama dengan patching 6
jam/hari pada ambliopia sedang/moderate (tajam penglihatan lebih
baik dari 20/100) pasien usia 3 – 7 tahun. Dalam studi ini, patching
dikombinasi dengan aktivitas melihat dekat selama 1 jam/ hari.
Idealnya terapi ambliopia diteruskan hingga terjadi fiksasi
alternat atau tajam penglihatan dengan Snellen linear 20/20 (6/6)
pada masing–masing mata. Hasil ini tidak selalu dapat dicapai.
Sepanjang terapi terus menunjukkan kemajuan maka
penatalaksanaan harus tetap diteruskan.

Degradasi Optikal
Metode lain untuk penatalaksanaan ambliopia adalah dengan
menurunkan kualitas bayangan (degradasi optikal) pada mata yang lebih
baik hingga menjadi lebih buruk dari mata yang ambliopia, sering juga
disebut penalisasi (penalization). Sikloplegik (biasanya atropine tetes
1% atau homatropine tetes 5%) diberi satu kali dalam sehari pada mata
yang lebih baik sehingga tidak dapat berakomodasi dan kabur bila
melihat dekat. Pendekatan ini mempunyai beberapa keuntungan
dibanding dengan oklusi yaitu tidak mengiritasi kulit dan lebih baik
dilihat dari segi kosmetik. Dengan atropinisasi, anak sulit untuk
”menggagalkan” metode ini. Evaluasinya juga tidak perlu sesering
oklusi.

41
Metode pilihan lain yang prinsipnya sama adalah dengan
memberikan lensa positif dengan ukuran tinggi (fogging) atau filter.
Metode ini mencegah terjadinya efek samping farmakologis atropine.

42
BAB IV
KESIMPULAN

1. Kelainan refraksi adalah keadaan dimana bayangan tegas tidak dibentuk pada
retina (macula lutea). Pada kelainan refraksi terjadi ketidakseimbangan sistem
optik pada mata sehingga menghasilkan bayangan kabur.
2. Dikenal istilah emetropia yang berarti tidak adanya kelainan refraksi dan
ametropia yang berarti adanya kelainan refraksi seperti miopia, hipermetropia,
astigmat, dan presbiopia
3. Miopia adalah salah satu bentuk kelainan refraksi dimana sinar yang datang
sejajar dari jarak yang tak berhingga difokuskan di depan retina saat mata tidak
berakomodasi. Kelainan ini dapat dikoreksi dengan menggunakan lensa sferis
negatif.
4. Hipermetropia atau rabun dekat merupakan keadaan gangguan kekuatan
pembiasan mata dimana sinar sejajar jauh tidak cukup dibiaskan sehingga titik
fokusnya terletak di belakang retina. Kelainan ini dapat dikoreksi dengan
menggunakan lensa sferis positif.
5. Astigmatisma adalah keadaan dimana terdapat variasi pada kurvatur kornea
atau lensa pada meridian yang berbeda yang mengakibatkan berkas cahaya
tidak difokuskan pada satu titik.
6. Presbiopia merupakan kelainan penglihatan yang diakibatkan makin
berkurangnya kemampuan akomodasi mata sesuai dengan makin meningkatnya
umur.
7. Ambliopia adalah berkurangnya visus atau tajam penglihatan unilateral atau
bilateral walaupun sudah dengan koreksi terbaik tanpa ditemukannya kelainan
struktur pada mata atau lintasan visual bagian belakang.
8. Kelainan-kelainan refraksi dan ambliopia dapat dikoreksi dengan menggunakan
lensa yang sesuai. Dan perkembangan ilmu pengetahuan menyediakan
modalitas terapi pembedahan untuk penatalaksanaan kelainan-kelainan refraksi
dan ambliopia.

43
DAFTAR PUSTAKA

1. Kemenkes RI. 2010. Gangguan Penglihatan Masih Menjadi Masalah


Kesehatan. (https://www.kemkes.go.id/article/view/845/gangguan-penglihatan-
masih-menjadi-masalah-kesehatan.html) Diakses pada 8 Juni 2021.
2. Suhardjo & Hartono. 2007. Ilmu Kesehatan Mata. Yogyakarta: Universitas
Gadjah Mada. Hal. 162-182.
3. Vaganesha NG. 2018. Hubungan Pemberian Vitamin A Saat Balita Terhadap
Kejadian Miopia pada Murid Kelas Satu Sekolah Dasar di Kecamatan
Kwadungan, Ngawi. Skripsi. Yogyakarta: Universitas Muhammadiyah
Yogyakarta. Hal. 4-13.
4. Basyir I. 2016. Perbedaan Penglihatan Stereoskopis pada Penderita
Anisometropia Ringan-Sedang dan Berat. Skripsi. Semarang: Universitas
Diponegoro.
5. Ilyas S & Yulianti SR. 2017. Ilmu Penyakit Mata. Edisi ke – 5. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI. Hal 72-82.
6. Ilyas S. 2009. Ikhtisar Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Hal
319 – 330.
7. Eva PR et al. 2018. Vaughan & Asbury’s General Ophthalmology. 19th Edition.
United States: McGraw-Hill Education. Hal 27-915.
8. Artini W, Hutauruk JA & Yudisianil. 2011. Pemeriksaan Dasar Mata. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI. Hal 34 -36.
9. Khurana AK. Comprehensive Ophtalmology. Edisi ke – 4. New Delhi: New Age
International. Hal 19 – 39.

44

Anda mungkin juga menyukai