Anda di halaman 1dari 3

1

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang
disebabkan oleh Salmonella typhi dan paratyphi. Penyakit ini masih dijumpai
secara luas di seluruh dunia, terutama di negara berkembang beriklim tropis
dan subtropis dengan kondisi sanitasi yang buruk (Abro et al., 2009).
Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan
karena penyakit ini mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang sangat luas
(Depkes RI, 2006). Dari laporan World Health Organization (2014), terdapat
21 juta kasus demam tifoid per tahun di dunia (67% berasal dari Asia
Tenggara) dan jumlah kematian 220.000 jiwa.
Di Indonesia demam tifoid merupakan penyakit endemik yang masih
menjadi masalah kesehatan masyarakat. Dari telaah kasus di Rumah Sakit
besar di Indonesia, kasus tersangka tifoid menunjukkan kecenderungan
meningkat dari tahun ke tahun dengan angka kesakitan 500 per 100.000
penduduk dan angka kematian antara 0,6 – 5 % (Depkes RI, 2006).
Berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia (2012), demam tifoid atau paratifoid
menempati urutan ke-3 dari 10 penyakit terbanyak dari pasien rawat inap di
rumah sakit tahun 2010 yaitu sebanyak 41.081 kasus dan sebanyak 274 orang
meninggal dunia (Case Fatality Rate 0,67 %) (Depkes RI, 2012).
Data Profil Kesehatan Provinsi Jawa Tengah menunjukkan bahwa
demam tifoid termasuk dalam kejadian luar biasa (KLB) pada tahun 2008
dengan attack rate sebesar 0,37% yang menyerang 4 desa di 4 kecamatan
dengan jumlah penderita 51 jiwa. Pada tahun 2009 terjadi peningkatan jumlah
penderita Demam Tifoid sebesar 150 jiwa yang menyerang 3 desa di 3
kecamatan dengan attack rate sebesar 2,69%. Tahun 2010 kasus KLB demam
Tifoid kembali terjadi dengan attack rate sebesar 1,36% yang menyerang 1
desa dengan jumlah penderita sebanyak 26 jiwa (Dinkes Jateng, 2010).
Beberapa faktor risiko yang mampu meningkatkan angka kejadian
demam tifoid yaitu faktor sanitasi lingkungan dan personal higiene. Penelitian
yang dilakukan oleh Kurniasih di rumah sakit Jasa Kartini Tasikmalaya pada
2

tahun 2011 menunjukkan bahwa faktor risiko tertinggi penyebab timbulnya


demam tifoid adalah faktor sanitasi lingkungan, yaitu sebanyak 87,92%
responden tidak memiliki sarana lingkungan yang memenuhi persyaratan
kesehatan, seperti tidak mempunyai jamban dan kurang tersedianya air bersih,
dan tidak menggunakan tempat sampah yang tertutup di dalam rumah.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Dian Herliyani di rumah sakit Al-
Islam Bandung pada tahun 2015, mendapatkan hasil bahwa faktor risiko yang
menyebabkan terjadinya demam tifoid adalah faktor personal higiene, yaitu
sebanyak 80% responden tidak mencuci tangannya sebelum makan dan tidak
mencuci tangan menggunakan sabun setelah buang air besar.
Temuan data Puskesmas II Cilongok pada Periode Januari – Mei 2016
menunjukkan bahwa demam tifoid merupakan 10 penyakit terbesar, dengan
angka kesakitan 1425,63 per 100.000 penduduk. Hal ini menunjukkan bahwa
angka kesakitan demam tifoid di wilayah kerja Puskesmas II Cilongok lebih
tinggi dibandingkan angka kejadian nasional. Dari 9 desa yang merupakan
wilayah kerja Puskesmas II Cilongok, kasus terbanyak terdapat di desa
Panusupan yaitu sebanyak 174 jiwa. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk
menganalisis faktor risiko demam tifoid pada masyarakat desa Panusupan di
Puskesmas II Cilongok sehingga dapat dilakukan pencegahan dan
pengendalian lebih lanjut mengenai faktor risiko demam tifoid tersebut dan
dapat mengurangi angka kejadian penyakit demam tifoid di wilayah puskesmas
II Cilongok.

B. Tujuan
1) Tujuan Umum
Melakukan analisis kesehatan komunitas (Community Health Analysis) di
Desa Panusupan wilayah kerja Puskesmas II Cilongok Kabupaten
Banyumas
2) Tujuan Khusus
a. Menentukan faktor risiko demam tifoid di Desa Panusupan di
Puskesmas II Cilongok
3

b. Mencari alternatif pemecahan masalah demam tifoid di Desa


Panusupan di Puskesmas II Cilongok
a. Melakukan intervensi terhadap penyebab masalah demam tifoid untuk
mengatasi masalah kesehatan di Desa Panusupan di Puskesmas II
Cilongok.

C. Manfaat
1. Manfaat Teoritis
Menjadi dasar untuk melakukan penelitian lebih lanjut tentang
permasalahan kesehatan yang terjadi di wilayah kerja Puskesmas II
Cilongok.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi mahasiswa
Menjadi dasar untuk penelitian lebih lanjut mengenai masalah
kesehatan di wilayah kerja Puskesmas II Cilongok.
b. Bagi masyarakat desa
Memberikan informasi kesehatan (promotif, preventif, dan
rehabilitatif) kepada masyarakat Desa Panusupan untuk penelitian
khususnya berkaitan dengan demam tifoid.
c. Bagi instansi terkait
Membantu program enam dasar pelayanan kesehatan puskesmas
berkaitan dengan promosi kesehatan terutama masalah demam tifoid
sehingga dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan menentukan
kebijakan yang harus diambil untuk menyelesaikan masalah.
d. Bagi Fakultas Kedokteran UNSOED
Untuk menambah bahan referensi yang dapat digunakan sebagai
acuan dalam penelitian selanjutnya.

Anda mungkin juga menyukai