Anda di halaman 1dari 7

Aksiologi

BAB I

A. Pendahuluan

Peryataan di sekitar batas wewenang penjelajahan sains, kaitan ilmu dengan moral, nilai
yang menjadi acuan seorang ilmuan, dan tanggung jawab sosial ilmuan telah
menempatkan aksiologi ilmu pada posisi yang sangat penting. Karena itu, salah satu
aspek pembahasan integrasi keilmuan ialah aksiologi ilmu.
Dalam pembahasan terdahulu sama-sama kita telah membahas tentang hakekat apa/objek
yang dikaji (ontologis), dan bagaimana cara mendapatkan (epistimologis) ilmu, baik
ilmu-ilmu agama islam maupun ilmu-ilmu umum yang dikaitkan dengan integrasikedua
ilmu tersebut. Kini sampailah pada tahap pembahasan aksiologi (nilai kegunaan dari
ilmu-ilmu tersebut).

B. Rumusan masalah

1. Apa pengertian aksiologi?


2. Ilmu dan moral!
3. Kategori dasar aksiologi!
4. Sikap ilmuan!
5. Aksiologi dalam pandangan aliran-aliran filsafat!
6. Kaitan aksiologi dengan filsafat ilmu!

BAB II

PEMBAHASAN

1. PENGERTIAN AKSIOLOGI

Menurut bahasa Yunani, aksiologi berasal dari kata axios artinya nilai dan logos artinya
teori atau ilmu. Jadi aksiologi adalah teori tentang nilai. Aksiologi bisa juga disebut
sebagai the theory of value atau teori nilai. Berikut ini dijelaskan beberapa definisi
aksiologi. Menurut Suriasumantri (1987:234) aksiologi adalah teori nilai yang berkaitan
dengan kegunaan dari pengetahuan yang di peroleh. Menurut Kamus Bahasa Indonesia
(1995:19) aksiologi adalah kegunaan ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia, kajian
tentang nilai-nilai khususnya etika. Menurut Wibisono aksiologi adalah nilai-nilai sebagai
tolak ukur kebenaran, etika dan moral sebagai dasar normative penelitian dan penggalian,
serta penerapan ilmu.
Jadi Aksiologi adalah bagian dari filsafat yang menaruh perhatian tentang baik dan buruk
(good and bad), benar dan salah (right and wrong), serta tentang cara dan tujuan (means
and and). Aksiologi mencoba merumuskan suatu teori yang konsisten untuk perilaku etis.
Menurut Bramel Aksiologi terbagi tiga bagian :
1. Moral Conduct, yaitu tindakan moral, Bidang ini melahirkan disiplin khusus yaitu
etika.
2. Estetic expression, yaitu ekspresi keindahan, bidang ini melahirkan keindahan
3. Socio-politcal life, yaitu kehidupan social politik, yangakan melahirkan filsafat social
politik.
Dalam Encyslopedia of philosophy dijelaskan aksiologi disamakan dengan value and
valuation :
1. Nilai digunakan sebagai kata benda abstrak, Dalam pengertian yang lebih sempit
seperti baik, menarik dan bagus. Sedangkan dalam pengertian yang lebih luas mencakup
sebagai tambahan segala bentuk kewajiban, kebenaran dan kesucian.
2. Nilai sebagai kata benda konkret. Contohnya ketika kita berkata sebuah nilai atau nilai-
nilai. Ia sering dipakai untuk merujuk kepada sesuatu yang bernilai, seperti nilainya atau
nilai dia.
3. Nilai juga dipakai sebagai kata kerja dalam ekspresi menilai, memberi nilai atau
dinilai.
Dari definisi aksiologi di atas, terlihat dengan jelas bahwa permasalahan utama adalah
mengenai nilai. Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk
melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai.Teori tentang nilai yang
dalam filsafat mengacu pada masalah etika dan estetika.

2. ILMU DAN MORAL


Ilmu merupakan sesuatu yang paling penting bagi manusia. Karena dengan ilmu semua
keperluan dan kebutuhan manusia bisa terpenuhi secara lebih cepat dan lebih mudah. Dan
merupakan kenyataan yang tidak bisa dipungkiri bahwa peradaban manusia sangat
berhutang kepada ilmu. Singkatnya ilmu merupakan sarana untuk membantu manusia
dalam mencapai tujuan hidupnya.
Ilmu tidak hanya menjadi berkah dan penyelamat manusia, tetapi juga bisa menjadi
bencana bagi manusia. Misalnya pembuatan bom yang pada awalnya memudahkan untuk
kerja manusia, namun kemudian digunakan untuk hal-hal yang bersifat negatif yang
meninbulkan malapetaka bagi manusia itu sendiri, seperti bom yang terjadi di Bali.
Disinilah ilmu harus diletakkan secara proporsional dan memihak kepada nilai-nilai
kebaikan dan kemanusiaan. Sebab jika ilmu tidak berpihak kepada nilai-nilai, maka yang
terjadi adalah bencana dan malapetaka.
Setiap ilmu pengetahuan akan menghasilkan teknologi yang kemudian akan diterapkan
pada masyarakat. Teknologi dapat diartikan sebagai penerapan konsep ilmiah dalam
memecahkan masalah-masalah praktis baik yang berupa perangkat keras (hardware)
maupun perangkat lunak (software). Dalam tahap ini ilmu tidak hanya menjelaskan gejala
alam untuk tujuan pengertian dan pemahaman, namun lebih jauh lagi memanipulasi
faktor-faktor yang terkait dalam gejala tersebut untuk mengontrol dan mengarahkan
proses yang terjadi. Di sinilah masalah moral muncul kembali namun dalam kaitannya
dengan faktor lain. Kalau dalam tahap kontempolasi moral berkaitan dengan metafisika
maka dalam tahap manipulasi ini masalah moral berkaitan dengan cara penggunaan ilmu
pengetahuan. Atau secara filsafati dalam tahap penerapan konsep terdapat masalah moral
ditinjau dari segi aksiologi keilmuwan.
. KATEGORI DASAR AKSIOLOGI
Terdapat dua kategori dasar aksiologi :
1. Objectivism, yaitu penilaian terhadap sesuatu yang dilakukan apa adanya sesuai
keadaan objek yang dinilai.
2. Subjectivism, yaitu penilaian terhadap sesuatu dimana dalam proses penilaian terdapat
unsur intuisi (perasaan).
Dari sini muncul empat pendekatan etika, yaitu :
1. Teori nilai intuitif
2. Teori nilai rasional
3. Teori nilai alamiah
4. Teori nilai emotif
Teori nilai intuitif dan teori nilai rasional beraliran obyectivis sedangkan teori nilai
alamiah dan teori nilai emotif beraliran subyektivis.
1. Teori Nilai intuitif (The Intuitive theory of value)
Teori ini berpandangan bahwa sukar jika tidak bisa dikatakan mustahil untuk
mendefinisikan suatu perangkat nilai yang absolut. Bagaimanapun juga suatu perangkat
nilai yang absolute itu eksis dalam tatanan yang bersifat obyektif. Nilai ditemukan
melalui intuisi karena ada tatanan moral yang bersifat baku. Mereka menegaskan bahwa
nilai eksis sebagai piranti obyek atau menyatu dalam hubungan antar obyek, dan validitas
dari nilai tidak bergantung pada eksistensi atau perilaku manusia. Sekali seseorang
menemukan dan mengakui nilai tersebut melalui proses intuitif, ia berkewajiban untuk
mengatur perilaku individual atau sosialnya selaras dengan preskripsi moralnya.
2. Teori nilai rasional (The rational theory of value)
Bagi mereka janganlah percaya pada nilai yang bersifat obyektif dan murni independent
dari manusia. Nilai tersebut ditemukan sebagai hasil dari penalaran manusia. Fakta
bahwa seseorang melakukan suatu yang benar ketika ia tahu degan nalarnya bahwa itu
benar, sebagai fakta bahwa hanyaorang jahat atu yang lalai ynag melakukan sesuatu
berlawanan dengan kehendak atau wahyu tuhan. Jadi dengan nalar atau peran tuhan nilai
ultimo, obyektif, absolut yang seharusnya mengarahkan perilakunya.
3. Teori nilai alamiah (The naturalistic theory of value)
Nilai menurutnya diciptakan manusia bersama dengan kebutuhan-kebutuhan dan hasrat-
hasrat yang dialaminya. Nilai adalah produk biososial, artefak manusia, yang diciptakan ,
dipakai, diuji oleh individu dan masyarakat untuk melayani tujuan membimbing perilaku
manusia. Pendekatan naturalis mencakup teori nilai instrumental dimana keputusan nilai
tidak absolute tetapi bersifat relative. Nilai secara umum hakikatnya bersifat subyektif,
bergantung pada kondisi manusia.
4. Teori nilai emotif (The emotive theory of value)
Jika tiga aliran sebelumnya menentukan konsep nilai dengan status kognitifnya, maka
teori ini memandang bahwa konsep moral dan etika bukanlah keputusan factual tetapi
hanya merupakan ekspresi emosi dan tingkah laku. Nilai tidak lebih dari suatu opini yang
tidak bisa diverivikasi, sekalipun diakui bahwa penelitian menjadi bagian penting dari
tindakan manusia.
4. SIKAP ILMUWAN
Perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan telah menciptakan berbagai bentuk
kemudahan bagi manusia. Namun apakah hal itu selalu demikian? Bahwa ilmu
pengetahuan dan teknologinya merupakan berkah dan penyelamat bagi manusia, terbebas
dari kutuk yang membawa malapetaka dan kesengsaraan? Memang dengan jalan
mempelajari teknologi seperti membuat bom atom, manusia bias memanfaatkan
wujudnya sebagai sumber energi bagi sumber keselmatan manusia, tetapi dipihak lain hal
ini bias juga berakibat sebaliknya, yakni membawa manusia kepada penciptaan bom atom
yang menimbulkan mala petaka. Menghadapi hal yang demikian, ilmu pengetahuan yang
pada esensinya mempelajari alam sebagaimana adanya, mulai dipertanyakan untuk apa
ilmu itu dipergunakan? Untuk menjawab pertanyaan seperti itu, apakah para ilmuan harus
berpaling ke hakikat moral? Bahwa ilmu itu berkaitan erat dengan persoalan-persoalan
nilai moral.
Dihadapkan dengan masalah moral dan ekses teknologi yang bersifat merusak, para
ilmuan terbagi ke dalam dua golongan pendapat. Golongan berpendapat bahwa ilmu
harus bersifat netral terhadap nilai-nilai baik itu secara ontologis maupun aksiologis. alam
hal ini ilmuan hanyalah menemukan dan terserah kepada orang lain untuk
mempergunakannya, apakah akan dipergunakan untuk tujuan yang baik ataukah untuk
tujuan yang buruk. Golongan ini ingin melanjutkan tradisi kenetralan ilmu secara total,
seperti pada waktu era Galileo. Golongan kedua berpendapat bahwa netralitas ilmu
terhadap nilai-nilai hanyalah terbatas pada metafisik keilmuan, sedangkan dalam
penggunaannya haruslah berlandaskan nilai-nilai moral. Golongan kedua mendasarkan
pendapatnya pada beberapa hal, yakni :
1. ilmu secara faktual telah dipergunakan secara destruktif oleh manusia, yang dibuktikan
dengan adanya dua perang dunia yang mempergunakan teknologi-teknologi keilmuan.
2. ilmu telah berkembang semakin pesat dan makin esoteric hingga kaum ilmuan
mengetahui tentang ekses-ekses yang mungkin terjadi bila terjadi penyalahgunaan.
3. ilmu telah berkembang sedemikian rupa dimana terdapat kemungkinan bahwa ilmu
dapat mengubah manusia tanpa merendahkan martabat dan kemanusian yang paling
hakiki seperti pada kasus revolusi genetika dan teknik perbuatan sosial.
Berdasarkan ketiga hal diatas, maka golongan kedua berpendapat bahwa ilmu secara
moral harus ditujukan untuk kebaikan manusia tanpa merendahkan martabat atau
mengubah hakikat kemanusiaan.
Dari pendapat dua golongan di atas, kelihatannya netralitas ilmu terletak pada
epistemologisnya saja, artinya tanpa berpihak kepada siapapun, selain kepada kebenaran
yang nyata. Sedangkan menurut ontologis dan aksiologis, ilmu harus mampu menilai
mana yang baik dan mana yang buruk, yang mana pada hakikatnya mengharuskan
seorang ilmuan mempunyai landasan moral yang kuat. Tanpa ini seorang ilmuan akan
lebih merupakan momok yang paling menakutkan.
AKSIOLOGI DALAM PANDANGAN ALIRAN-ALIRAN FILSAFAT
Aksiologi dalam pandangan aliran filsafat dipengaruhi oleh cara pandang dan pemikiran
filsafat yang dianut oleh masing-masing aliran filsafat, yakni :
1. Pandangan Aksiologi Progresivisme
Tokoh yang berpengaruh dalam aliran ini adalah William James (1842-1910), Hans
Vahinger, Ferdinant Sciller, Georger Santayana, dan Jhon Dewey. Menurut
progressivisme, nilai timbul karena manusia mempunyai bahasa. dengan demikian,
adanya pergaulan dalam masyarakat dapat menimbulkan nilai-nilai. Bahasa adalah sarana
ekspresi yang berasal dari dorongan, kehendak, perasaan, dan kecerdasan dan individu-
individu. Dalam hubungan ini kecerdasan merupakan faktor utama yang mempunyai
kedudukan sentral. Kecerdasan adalah faktor yang dapat mempertahankan adanya
hubungan antara manusia dan lingkungannya, baik yang terwujud sebagai lingkungan
fisik maupun kebudayaan atau manusia.
2. Pandangan Aksiologi Essensialisme
Tokoh yang berpengaruh dalam aliran ini adalah Desiderius Erasmus, John Amos
Comenius (1592- 1670), John Locke (1632-1704), John Hendrick Pestalalozzi (1746-
1827), John Frederich Frobel (1782-1852), Johann Fiedirich Herbanrth (1776-1841),dan
William T. Horris (1835-1909). Bagi aliran ini, nilai-nilai berasal dari pandangan-
pandangan idealisme dan realisme karena aliran essensialisme terbina dari dua pandangan
tersebut.
a. Teori nilai menurut idealisme
Idealisme berpandangan bahwa hukum-hukum etika adalah hukum kosmos karena itu
seseorang dikatakan baik, jika banyak berinteraksi dalam pelaksanaan hukum-hukum itu.
Menurut idealisme, sikap, tingkah laku, dan ekspresi perasaan juga mempunyai hubungan
dengan kualitas baik dan buruk. Orang yang berpakaian serba formal seperti dalam
upacara atau peristiwa lain yang membutuhkan suasana tenang haruslah bersikap formal
dan teratur. Untuk itu, ekspresi perasaan yang mencerminkan adanya serba kesungguhan
dan kesenangan terhadap pakaian resmi yang dikenakan dapat menunjukkan keindahan
pakaian dan suasana kesungguhan tersebut.
b. Teori nilai menurut realisme
Menurut realisme, sumber semua pengetahuan manusia terletak pada keteraturan
lingkungan hidupnya. Realisme memandang bahwa baik dan buruknya keadaan manusia
tergantung pada keturunan dan lingkungannya. Perbuatan seseorang adalah hasil
perpaduan antara pembawa-pembawa fisiologis dan pengaruh-pengaruh lingkungannya.
George Santayana memadukan pandangan idealisme dan realisme dalam suatu sintesa
dengan menyatakan bahwa “nilai” itu tidak dapat ditandai dengan suatu konsep tunggal,
karena minat, perhatian, dan pengalaman seseorang turut menentukan adanya kualitas
tertentu. Walaupun idealisme menjunjung tinggi asas otoriter atau nilai-nilai, namun tetap
mengakui bahwa pribadi secara aktif menentukan nilai-nilai itu atas dirinya sendiri.
3. Pandangan Aksiologi Perenialisme
Tokoh utama aliran ini diantaranya Aristoteles (394 SM) St. Thomas Aquinas.
Perenialisme memandang bahwa keadaan sekarang adalah sebagai zaman yang
mempunyai kebudayaan yang terganggu oleh kekacauan, kebingungan dan
kesimpangsiuran. Berhubung dengan itu dinilai sebagai zaman yang membutuhkan usaha
untuk mengamankan lapangan moral, intelektual dan lingkungan sosial dan kultural yang
lain. Sedangkan menyangkut nilai aliran ini memandangnya berdasarkan asas-asas
’supernatular‘, yakni menerima universal yang abadi. Dengan asas seperti itu, tidak hanya
ontologi, dan epistemolagi yang didasarkan pada teologi dan supernatural, tetapi juga
aksiologi. Tingkah laku manusia dipengaruhi oleh potensi kebaikan dan keburukan yang
ada pada dirinya. Masalah nilai merupakan hal yang utama dalam perenialisme, karena ia
berdasarkan pada asas supernatural yaitu menerima universal yang abadi, khususnya
tingkah laku manusia. Jadi hakikat manusia terletak pada jiwanya. Oleh karena itulah
hakikat manusia itu juga menentukan hakikat perbuatan-perbuatannya.
4. Pandangan Aksiologi Rekonstruksionisme
Aliran rekonstruksionalisme adalah aliran yang berusaha merombak kebudayaan modern.
Sejalan dengan pandangan perenialisme yang memandang bahwa keadaan sekarang
merupakan zaman kebudayaan yang terganggu oleh kehancuran, kebingungan,dan
kesimpangsiuran. Aliran rekonstruksionalisme dalam memecahkan masalah,
mengembalikan kebudayaan yang serasi dalam kehidupan manusia yang memerlukan
kerja sama.
KAITAN AKSIOLOGI DENGAN FILSAFAT ILMU
Nilai itu bersifat objektif, tapi kadang-kadang bersifat subjektif. Dikatakan objektif jika
nilai-nilai tidak tergantung pada subjek atau kesadaran yang menilai. Tolak ukur suatu
gagasan berada pada objeknya, bukan pada subjek yang melakukan penilaian. Kebenaran
tidak tergantung pada kebenaran pada pendapat individu melainkan pada objektivitas
fakta. Sebaliknya, nilai menjadi subjektif, apabila subjek berperan dalam memberi
penilaian; kesadaran manusia menjadi tolak ukur penilaian. Dengan demikian nilai
subjektif selalu memperhatikan berbagai pandangan yang dimiliki akal budi manusia,
seperti perasaan yang akan mengasah kepada suka atau tidak suka, senang atau tidak
senang.
Bagaimana dengan objektivitas ilmu? Sudah menjadi ketentuan umum dan diterima oleh
berbagai kalangan bahwa ilmu harus bersifat objektif. Salah satu faktor yang
membedakan antara peryataan ilmiah dengan anggapan umum ialah terletak pada
objektifitasnya. Seorang ilmuan harus melihat realitas empiris dengan mengesampingkan
kesadaran yang bersifat idiologis, agama dan budaya. Seorang ilmuan haruslah bebas
dalam menentukan topik penelitiannya, bebas melakukan eksperimen-eksperimen. Ketika
seorang ilmuan bekerja dia hanya tertuju kepada proses kerja ilmiah dan tujuannya agar
penelitiannya berhasil dengan baik. Nilai objektif hanya menjadi tujuan utamanya, dia
tidak mau terikat pada nilai subjektif.

BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
Aksiologi adalah bagian dari filsafat yang menaruh perhatian tentang baik dan buruk
(good and bad), benar dan salah (right and wrong), serta tentang cara dan tujuan (means
and and). Aksiologi mencoba merumuskan suatu teori yang konsisten untuk perilaku etis.
Ilmu merupakan sesuatu yang paling penting bagi manusia. Karena dengan ilmu semua
keperluan dan kebutuhan manusia bisa terpenuhi secara lebih cepat dan lebih mudah. Dan
merupakan kenyataan yang tidak bisa dipungkiri bahwa peradaban manusia sangat
berhutang kepada ilmu. Singkatnya ilmu merupakan sarana untuk membantu manusia
dalam mencapai tujuan hidupnya.
Aksiologi mempunyai dua kategori dasar yaitu: Objectivism dan Subjectivism.
Dari sini muncul empat pendekatan etika, yaitu :
1. Teori nilai intuitif
2. Teori nilai rasional
3. Teori nilai alamiah
4. Teori nilai emotif
Perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan telah menciptakan berbagai bentuk
kemudahan bagi manusia. Namun apakah hal itu selalu demikian? Bahwa ilmu
pengetahuan dan teknologinya merupakan berkah dan penyelamat bagi manusia, terbebas
dari kutuk yang membawa malapetaka dan kesengsaraan? Memang dengan jalan
mempelajari teknologi seperti membuat bom atom, manusia bias memanfaatkan
wujudnya sebagai sumber energi bagi sumber keselmatan manusia, tetapi dipihak lain hal
ini bias juga berakibat sebaliknya, yakni membawa manusia kepada penciptaan bom atom
yang menimbulkan mala petaka. Menghadapi hal yang demikian, ilmu pengetahuan yang
pada esensinya mempelajari alam sebagaimana adanya, mulai dipertanyakan untuk apa
ilmu itu dipergunakan? Untuk menjawab pertanyaan seperti itu, apakah para ilmuan harus
berpaling ke hakikat moral? Bahwa ilmu itu berkaitan erat dengan persoalan-persoalan
nilai moral.
Aksiologi dalam pandangan aliran filsafat dipengaruhi oleh cara pandang dan pemikiran
filsafat yang dianut oleh masing-masing aliran filsafat, yakni :
1. Pandangan aksiologi paranialisme
2. Pandangan aksiologi essensialisme
3. Pandangan aksiologi rekontruksionisme
4. Pandangan aksiologi Progresivisme

DAFTAR PUSTAKA
Azra Azyumardi, Integrasi Keilmuan, (Jakarta: PPJM dan UIN Jakarta Press)
Prof. Dr. Amsal Bkhtiar, M.A, Filsafat Ilmu, Raja Grafindo Perkasa, Jakarta 2008.
http://dinulislami.blogspot.com/2009/10/aksiologi.html

Anda mungkin juga menyukai