TEMPE
Oleh :
( ) Sri Muliani
BAB I. PENDAHULUAN
4.2 Pembahasan
Pada praktikum kali ini dilakukan pembuatan tempe dengan konsentrasi
ragi yang berbeda-beda, yaitu 0,25 g, 0,5 g, 0,75 g, dan 1 g dengan dua perlakuan
yaitu menggunakan daun pisang dan plastik. Pada pembuatan tempe
menggunakan daun pisang dengan konsentrasi ragi 0,25g, dapat dilihat bahwa
terjadi pertumbuhan jamur dengan terbentuknya miselia pada permukaan biji
kedelai. Tetapi miselia yang tumbuh tidak optimal sehingga dibagian tengah
kacang kedelainya masih terurai tidak terikat dengan miselium. Menurut (Radiati
dan Sumarto, 2016) pembuatan lubang kemasan (aerasi) berperan dalam
penyediaan oksigen untuk pertumbuhan kapang. Aerasi yang terlalu sedikit
menyebabkan kapang kekurangan oksigen sehingga pertumbuhannya terhambat.
Sehingga menyebabkan bagian tengah tempe belum padat dan terurai. Sedangkan
pada pembuatan tempe menggunakan plastik dan daun pisang dengan konsentrasi
ragi 0,5g menghasilkan tempe yang bagus yaitu aroma khas tempe, berwarna puti,
teksturnya keras, penampakannya menyatu dan tidak terdapat kontaminan. Pada
pembuatan tempe menggunakan plastik dengan konsentrasi ragi 0,75g dan 1g
menghasilkan aroma busuk, teksturnya lembek, warna coklat dan kuning pudar,
penampakan yang berlendir dan tidak menyatu serta adanya kontaminan. Hasil ini
juga dialami oleh (Radiati dan Sumarto, 2016) dalam pembuatan tempe
menggunakan plastik lubang yang terlalu banyak memperlihatkan terdapatnya
warna hitam. Ketika lubang kemasan terlalu banyak, kapang akan tumbuh dengan
cepat dan terjadi sporulasi.
Sporulasi akan menyebabkan munculnya spora berwarna hitam pada permukaan
tempe. Menurut Sulistyowati dkk (2014) perubahan warna tempe menjadi
kecoklatan karena terjadi proses pembusukan tempe dan perubahan flavor yang
disebabkan karena degradasi protein lanjut sehingga terbentuk amonia.
Kandungan lemak kedelai sebesar 18-20% sebagian besar terdiri atas asam
lemak (88,10%). Selain itu terdapat senyawa fosfolipida (9,8%) dan glikolipida
(1,6%) yang merupakan komponen utama membrane sel. Protein kedelai
mengandung 18 asam amino, yaitu 9 jenis asam amino essensial dan 9 jenis asam
amino nonessensial. kedelai mengandung asam amino essensial meliputi sistin,
isoleusin, leusin, lisin, metionin, fenilalanin, treonin, triptofan dan valin. Di
samping itu, kandungan asam amino dalam kedelai juga ditunjang dengan adanya
asam amino non essensial seperti alanin, glisin, arginin, histidin, prolin, tirosin,
asam aspartate dan asam glutamate (Dwinaningsih, 2010; Astawan dkk., 2013).
Antioksidan yang terdapat dalam tempe berupa isoflavon dalam bentuk aglikon
dan glukosida. Senyawa aglikon di antaranya adalah genistein, daidzein, dan
glisitein serta isoflavone. Dalam 100 g kedelai mentah mengandung 128,35 mg
isoflavon. Isoflavon yang terdapat dalam kedelai berbeda-beda, tergantung
genetik, umur benih, dan lokasi penanaman. Komponen isoflavon malonyl dalam
kedelai akan menurun seiring dengan lamanya pemasakan. Perendaman,
pemasakan, dan fermentasi menurunkan kadar isoflavon glukosida dan malonyl,
tetapi meningkatkan bioavailabilitas isoflavone (Astawan dkk., 2013).
Perendaman, bertujuan agar terjadi fermentasi asam laktat dan terjadinya
kondisi asam sehingga mendorong pertumbuhan mold tempe, yang akan tercapai
jika pH sekitar 3,5–5,2. Adanya campuran kulit kacang dalam tempe akan
menghambat pertumbuhan bakteri asam laktat selama perendaman dan
menurunkan acidification kacang. Pertumbuhan bakteri ditandai dengan keluarnya
bau asam saat perendaman serta adanya busa dipermukaan air perendaman.
Sedangkan perebusan bertujuan untuk membuat biji kacang semakin lunak. Selain
itu juga akan membunuh bakteri yang hidup dan berkembang biak selama
perendaman. Kacang dengan dua kali perebusan akan lebih bersih, lebih lama
daya simpannya, dan rasa tidak asam (Radiati dan Sumarto, 2016).
Ternyata bahan baku pembuatan tempe tidak hanya dari kacang kedelai
saja, tetapi ada juga inovasi tempe yang berbahan baku non-kedelai. Seperti pada
penelitian (Radiati dan Sumarto, 2016), yang mengembangkan tempe dari kacang
merah, kacang hijau, kacang bogor, dan kacang tanah. Selain itu Andaka dkk
(2016) menjadikan limbah biji nagka sebagai alternatif bahan baku pembuatan
tempe dan (Dwinaningsih, 2010) membuat tempe dari campuran beras dan
angkak.
Tempe yang berkualitas tergantung dari penggunaan ragi dan waktu
fermentasi yang sesuai. Ciri-ciri tempe yang berkualitas yaitu memiliki warna
yang putih yang disebabkan adanya miselia jamur yang tumbuh pada permukaan
biji kedelai. Memiliki struktur yang kompak dan padat yang disebabkan oleh
miselia jamur yang menghubungkan biji-biji kedelai tersebut. Memiliki aroma
yang segar dan khas kedelai, permukaan tempe hangat ketika disentuh, tidak
berlendir dan tidak ada serabut yang berwarna hitam ataupun abu-abu (Sihmawati
dkk., 2017).
BAB V. KESIMPULAN
A. Diagram Alir
1. Metode I
Bahan
Direndam
semalaman
A
A
Ragi tempe
Digemparkan merata pada kertas karton Tapioka
1 gr, 0,5 gr,
1sdm
2 gr
Diinkubasi
dengan suhu
ruang (2-3hari)
A
A
Hasil
2. Metode II
Bahan
Direndam air
12-18 jam
A
A
Hasil
B. Dokumentasi