Anda di halaman 1dari 8

TINJAUAN PUSTAKA

Pendekatan Diagnosis dan Tata Laksana Alergi Obat


Approach to Diagnosis and Treatment of Drug Allergy
Roy Akur Pandapotan1, Iris Rengganis2
1
Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/Rumah Sakit dr. Cipto Mangunkusumo,
Jakarta
2
Divisi Alergi dan Imunologi Klinik, Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/
Rumah Sakit dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta

Korespondensi:
Iris Rengganis. Divisi Alergi dan Imunologi Klinik, Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/Rumah Sakit
dr. Cipto Mangunkusumo. Jln. Pangeran Diponegoro 71, Jakarta 10430, Indonesia. email: irisrengganis@yahoo.com

ABSTRAK
Alergi obat merupakan salah satu masalah kesehatan yang cukup serius. Alergi obat dapat dideinisikan sebagai reaksi
simpang obat yang melibatkan mekanisme imunologis. Meskipun demikian, tidak mudah menentukan apakah suatu reaksi
simpang obat merupakan reaksi alergi dan dibutuhkan suatu pendekatan diagnosis yang sistematis. Selain anamnesis,
pemeriksaan isis, pemeriksaan penunjang alergi obat yang terdiri dari pemeriksaan penunjang umum dan khusus
yang dapat dilakukan baik in vivo, in vitro, maupun dengan biopsi. Tata laksana alergi obat adalah menghindari faktor
yang menimbulkan gejala, mengobati reaksi secara benar dan cara-cara khusus seperti threating through, tes dosing,
desensitisasi dan pramedikasi terhadap obat-obat tertentu.
Kata Kunci: alergi, diagnosis,obat, tata laksana

ABSTRACT
Drug allergy is a serious medical problem. Drug allergy can be deined as an adverse drug reaction involving immunological
mechanism. However, it is not easy to decide whether an adverse drug reaction is an allergic reaction, and it requires a
systematically diagnostic approach. Beside a thorough history taking and physical examination, there are general and
speciic laboratory examination to investigate drug allergy which can be done in vivo, in vitro, or biopsy. The management
of drug allergy include the avoidance of the precipitating event, and speciic methods to reduce the drug reaction which
include threating through, dosing test, desensitization, and the administration of premedication for certain drugs.
Keywords: allergy, diagnostic, drug, management

PENDAHULUAN mikroba merupakan penyebab utama alergi obat yang


Seluruh obat memiliki risiko menimbulkan efek terjadi.4
samping, namun hanya beberapa saja yang menimbulkan Pembiayaan untuk diagnosis dan tatalakasana
reaksi alergi. Alergi obat sendiri dapat dimengeri alergi obat juga menjadi perhaian khusus. Di salah satu
sebagai reaksi simpang obat yang melibatkan mekanisme rumah sakit publik di Australia Barat, pada tahun 2008
imunologis. Meskipun demikian, idak mudah menentukan dilaporkan sebanyak 10-20% pasien yang dirawat memiliki
apakah suatu reaksi simpang obat merupakan reaksi alergi alergi penisilin.5Sementara di Amerika Serikat, dilaporkan
atau bukan, dan dibutuhkan suatu pendekatan diagnosik bahwa alergi obat merupakan masalah yang paling
yang sistemais.1,2 banyak ditangani oleh divisi alergi pada pasien rawat
Di Inggris, dilaporkan terdapat 62.000 pasien yang inap. Alergi obat diSpanyol dilaporkan menjadi penyebab
dirawat inap karena alergi obat dan reaksi simpang obat tersering keiga setelah asma bronkial dan riniis, yang
selama tahun 1996-2000.1 Sementara itu, pada tahun menyebabkan pasien berobat ke klinik alergi rawat jalan.5,6
2014, sebuah studi muli-senter di Polandia melaporkan Penanganan alergi obat di Turki juga dilaporkan masih
prevalensi alergi obat sebanyak 8,4 %.3Di Thailand, sebuah belum opimal,sebab pada tahun 2012 baru terdapat
studi pada tahun 2008 melaporkan bahwa obat ani- 70 spesialis alergi dan 22 pusat alergi yang mampu

| Jurnal Penyakit Dalam Indonesia | Vol. 3, No. 1 | Maret 2016 | 45


Roy Akur Pandapotan, Iris Rengganis

melakukan tes provokasi oral. Padahal, dilaporkan 7% dari farmakologik dengan reseptor sel T atau molekul Major
75.627.384 penduduk Turki memiliki masalah alergi obat Histocompaibility Complex (MHC) dalam bentuk ikatan
saat dirawat.7,8 reversibel selain ikatan kovalen, yang dapat mengakikan
Berdasarkan data tersebut, alergi obat merupakan sel T.2,13,14
salah satu masalah kesehatan yang cukup serius.Arikel Reaksi obat sendiri dipengaruhi oleh berbagai faktor
ini akanmembahas mengenaipendekatan diagnosis dan risiko. Faktor risiko terebut antara lain jenis obat, berat
tatalaksana alergi obat. molekul obat, kimiawi obat, regimen pengobatan, faktor
pejamu, atopi, penyakit tertentu, gangguan metabolisme
DEFINISI dan lingkungan. Obat seperi β-laktam, sulfonamid, obat
Obat merupakansenyawa yang digunakan baik ani-inlamasi non-steroid, trimetoprim dan sulfametoksazol
untuk mencegah maupun mengobai penyakit atau untuk sering menimbulkan reaksi berat. Obat dengan berat
kepeningan diagnosis.Obat juga dapat digunakan pada molekul inggi lebih sering menimbulkan reaksi imun,
situasi tertentu, misalnya melumpuhkan sementara otot Regimen pemberian oral, intravena, intramuskular,
rangka dalam indakan pembedahan ataupun membuat subkutan dan topikal secara berurutan menyebabkan
seseorang inferil.2 Sementara itu, reaksi simpang obat induksi alergi meningkat. Usia muda dan jenis kelamin
(RSO) dideiniskan sebagai reaksi yang idak diinginkan wanita meningkatkan kecenderungan terjadinya alergi
atau pun reaksi yang berbahaya yang muncul pada dosis obat. Klasiikasi reaksi obat pembagiannya menurut
normal.9Alergi obat adalah reaksi simpang obat yang mekanisme digambarkan dalam Tabel 1 dan Gambar 1.2
melibatkan mekanisme imunologis. Dalam spesialisasi Infeksi virus, gangguan metabolisme seperi deisiensi
alergi imunologi, alergi obat merupakan RSO yang terjadi G6PD meningkatkan risiko alergi obat. Sedangkan cahaya
melalui reaksi imun yang terjadi melalui lgE atau reaksi UV dapat mengubah imunoenitas obat tertentu.2,15,16
hipersensiivitas cepat dengan berbagai mekanisme dan
presentasi klinis.2,10 DIAGNOSIS
Reaksi alergi obat bisa menyerupai alergi pada
MEKANISME, FAKTOR RISIKO DAN KLASIFIKASI umumnya seperi urikaria, anailaksis, asma dan penyakit
ALERGI OBAT serum. Gejala lain yang dapat muncul diantaranya adalah
Sebagian besar obat merupakan senyawa kimia jenis ruam kulit (terutama eksantema), iniltrasi eosinoil
dengan berat molekul yang rendah.Oleh karena itu,obat ke paru, panas, hepaiis, sindrom lupus dan nefriis
harus terlebih dahulu berikatan secara kovalen dengan intersisial akut. Reaksi ini cenderung bersifat spesiik
makromolekul seperi protein, membentuk konjugat yang idak bergantung pada dosis dan efek farmakalogi
mulivalen yang akan diproses dan dipresentasikan obat. Alergi obat jarang terjadi pada pajanan pertama,
terhadap sel limfosit T oleh sistem imun. Namun, sebagian lebih cenderung terjadi pada pajanan ulang karena reaksi
kecil obat dengan berat molekul yang besar seperi ini memerlukan memori (sensitasi) dengan gambaran
anibodi monoklonal memiliki banyak epitop sehingga reaksi yang terjadi pada pajanan berikutnya yangterjadi
dapat bersifat mulivalen.11,12 lebih cepat. Dalam beberapa hari setelah penghenian
Konsep mekanisme alergi obat yang umum diterima obat, reaksi alergi obat biasanya menghilang, kecuali
saat ini adalah konsep hapten, konsep pro-hapten dan pada kondisi yang manametabolit obat berperan sebagai
konsep p-i. Obat dengan molekul yang idak cukup besar hapten atau sudah terbentuknya kompleks imun. Hal
seperi penisilin, sulfonamide,sefalosporin pelemas otot, yang perlu diingat adalah alergi obat hanya terjadi pada
iopental,anituberkolosis, sisplain dan kuinidin perlu sebagian kecil penderita yang mendapat obat.2,17
terlebih dahulu berikatan dengan protein pembawa agar Berdasarkan pengetahuan akan mekanisme, faktor
dapatmenginduksi respon imun spesiik yang disebut risiko dan gejala klinis alergi obat, maka ada beberapa
konsep hapten. Sementara konsep pro hapten sendiri pertanyaan relevan yang perlu ditanyakan secara umum
menggambarkan bahwa ada sebagian obat yang bersifat dalam anamnesis, yaitu deskripsi gejala, penyakit atopi
idak reakif dan perlu mengalami konversi dahulu melalui dan penyakit lainnya, serta pemicu dan faktor lingkungan
proses metabolik, baik dengan enzim ataupun non- hidup di sekitar penderita. Keika ada kecurigaan mengenai
enzim untuk menjadi bentuk yang reakif. Contoh konsep munculnya reaksi alergi obat, maka harus ditanyakan
pro hapten yaitupada alergi obat sulfametoksazole. riwayat pemakaian obat yang baru saja digunakan dan
Sedangkan, berdasarkan konsep p-i sendiri, ditemukan hubungan waktu antara pemakaian obat dan munculnya
bahwa sebagian obat dapat memiliki interaksi direksi gejala. Alergi obat biasanya muncul setelah pajanan kedua

46 | Jurnal Penyakit Dalam Indonesia | Vol. 4, No. 1 | Maret 2017


Pendekatan Diagnosis dan Tata Laksana Alergi Obat

dan telah disingkirkan kemungkinan penyebab lain dari foot syndrome) biasanya muncul 2 sampai 12 hari setelah
manifestasi klinis yang muncul. Pengetahuan mengenai kemoterapi dengan ciri khas adanya edema dan eritema
farmakologi dan sifat alergen dari obat yang diberikan pada telapak tanan dan kaki yang berkembang menjadi
pening, terutama dalam keadaan dimana ada beberapa lepuh, ulserasi atau nekrosis. Lesi ini paling sering
obat yang diduga menimbulkan reaksi alergi.2,17 disebabkan oleh obat kemoterapi doxorubicin.2,17
Pemeriksaan isis pada pasien tersangka alergi obat Pemeriksaan penunjang pada pasien dengan alergi
harus dilakukan secara menyeluruh terhadap semua obat juga diperlukan dalam menegakkan diagnosis.
sistem untuk mencari semua presentasi klinis alergi Pemeriksaan yang pening diantaranya adalah tes kulit
obat. Manifestasi klinis tersering adalah pada organ kulit. untuk reaksi hipersensiivitas cepat (lgE), tes tempel,
Karakterisik dari lesi kulit pening untuk menentukan tes provokasi atau tes dosing, tes RAST, pengukuran
kemungkinan penyebab, pemeriksaan penunjang lanjutan lgG atau lgM yang spesiik untuk obat, pengukuran
dan tatalakasana alergi obat. Sejumlah manifestasi akivasi komplemen, pengukuran penglepasan histamin
kelainan kulit yang sering muncul pada reaksi alergi obat atau mediator lain dari basophil. Pemeriksaan laiinya
adalah pruritus, eksantema, urikaria, angioedema, erupsi yaitupengukuran mediator seperi histamin, prostaglandin,
bula, akne, ixed drug erupions, eritema muliform, leukotrin, triptase, transformasi limfosit, esai toksisitas
eritematosus lupus, psoriasis, purpura dan vaskuliis. leukosit dan evaluasi dengan bantuan komputer.17
Selain itu, juga data berupa reaksi kulit yang mengancam Manifestasi kulit lain yang mungkin muncul adalah
nyawa seperi sindrom Stevens-Johnson erupsi, toxic pustula. Pemigus yang muncul karena reaksi obat sering
epidermal necrolysis(TEN), dermaiis exfoliaif dan drug disebabkan oleh obat-obatan yang mengandung gugus
rash with eosinophilia and systemic symptoms(DRESS).17 thiol seperi captopril atau penisilin. Sementara pemigus-
Manifestasi kulit reaksi alergi obat yang tersering bula yang muncul di daerah tungkai, badan maupun
adalah eksantema (erupsi makulopapular). Lesi kulit membran mukosa sering disebabkan oleh obat seperi
biasanya gatal yang pada awalnya makula dan kemudian penghambat angiotensin convering enzyme (ACE),
berkembang menjadi papula dan akhirnya muncul sebagai furosemid, penisilin dan sulfsalazin. Purpura dan petekia
plak. Lesi kulit biasanya muncul mulai dari bagian tengah merupakan sigmata vaskuliis yang disebabkan oleh alergi
badan yang menyebar ke daerah ekstrimitas secara obat. Sementara itu, eritema muliforma merupakan lesi
bilateral. Exantem yang muncul biasanya merupakan makulopapular polimorik yang menyebar ke arah perifer
manifestasi hipersensiivitas ipe lambat yang muncul dan menimbulkan lesi target yang terdiri dari 3 zona yaitu
beberapa hari setelah penggunaan obat. Exantem yang papul/ lepuh di bagian paling tengah, yang dikelilingi oleh
dipicu obat ini idak berkembang menjadi reaksi anailaksis edema dan daerah eritema di wilayah paling luar. Dalam
karena biasanya idak melibatkan IgE. Beberapa obat yang bentuk yang paling berat, lesi eritema muliforma ini akan
diketahui menimbulkan eksantem adalah allopurinol, membentuk lepuh dan melibatkan membran mukosa.
aminopenisilin, sefalosporin, obat anieplepsi dan Eritema muliforma dapat muncul menyerupai sindrom
anibakteri sulfonamid.2,17,18 Stevens-Johnson (SJS).Namun, pada SJS didapatkan
Manifestasi kulit ixed drug erupion muncul pada karakterisik khusus yaitu adanya penyebaran makula-
sisi mukosa atau kulit yang sama yang terpajan ulang papula dan lepuh di daerah wajah, batang tubuh dan
terhadap penyebab alergi obat. Lesi ini berbentuk bulat, ekstrimitas proksimal. Pada SJS, didapatkan gejala
oval, berbatas tegas, kemerahan, plak yang sedikit konsitusional yang progresif. Gambaran klinis SJS dapat
terangkat, dengan ukuran diameter beberapa milimeter berkembang menjadi toksik epidermal nekrolisis (TEN),
sampai senimeter. Lesi ini juga dapat muncul dalam yaitu penyakit kulit yang dipicu reaksi alergi obat yang
bentuk vesikel atau bulat. Daerah predileksi pada lesi ini menyebabkan apoptosis sel epidermis dan mengakibatkan
diantaranya adalah pada daerah bibir, tangan dan genital pemisahan yang luas pada daerah dermoepidermal
(terutama pada pria). Lesi ixed drug erupionsini sering juncion, sehingga muncul gambaran kulit yang melepuh.
muncul pada reaksi alergi obat terhadap tetrasiklin, OAINS SJS dan TEN dapat merupakan bagian dari spektum suatu
dan karbamazepin.17,19 penyakit.Pada SJS didapatkan kurang dari 10% bagian
Urikaria dan angioedema adalah manifestasi yang tubuh yang mengalami epidermal detachment, sementara
paling sering muncul pada alergi obat yang melibatkan pada TEN lebih dari 30% dan 10%-30% diperimbangkan
IgE. Lesi kulit lupus yang diinduksi obat sering muncul sebagai sindrom overlap.17,19
pada daerah kulit yang terpapar cahaya. Palmar-plantar Reaksi obat yang mengancam nyawa merupakan
erythrodysesthesia (lebih sering dikenal sebagai hand reaksi anailakik yang melibatkan organ saluran nafas

Jurnal Penyakit Dalam Indonesia | Vol. 4, No. 1 | Maret 2017 | 47


Roy Akur Pandapotan, Iris Rengganis

atas dan bawah serta sistem kardiovaskuler. Reaksi ini angioedema. Sedangkan tes tempel dapat digunakan
juga dapat muncul sebagai demam yang dapat mencapai sebagai pemeriksaan garis pertama untuk beberapa
40○C. Reaksi obat secara umum dapat menimbulkan gejala kondisi seperi pada eksantema pustulosis akut
yang sangat bervariasi seperi lesi membran mukosa, sistemik, dermaiis kontak, eritema muliforme., erupsi
limfadenopai, hepatosplenomegali, nyeri dan bengkak eksantema, ixed drug erupion, reaksi foto alergi, purpura
pada sendi.2,17 leukositoklasik, vaskuliis, SJS dan TEN. Dibandingkan tes
intradermal, tes tusuk lebih spesiik namun kurang sensiif.
PEMERIKSAAN PENUNJANG UMUM Tes intradermal diperimbangkan untuk dikerjakan apabila
Pemeriksaan penunjang umum berdasarkan indikasi setelah 20 menit hasil tes tusuk terhadap alergen yang
di antaranya adalah pemeriksaan darah perifer lengkap diduga kuat sebagai penyebab hasilnya negaif. Beberapa
dengan hitung jenis, laju endap darah, c-reacive protein, obat sudah terbuki menunjukkan hasil yang spesiik yaitu
tes autoanibodi, tes imunologis khusus, pemeriksaan anibioik β-laktam, makrolida, aminoglikosida, rifampisin,
rontgen dan elektrokardiograi. Jika reaksi alergi obat glikopepida, tetrasiklin, polipepida, imidazol, nitrufuron,
melibatkan ginjal, maka diperlukan pemeriksaan trimetoprim, sulfonamid, kotrimoksasol, isoniazid,
urinalisis untuk mencari proteinuria, eosinoil dan casts pentamidin, streptogramin dan beberapa obat anestesi
pada urin. Adanya eosinoil pada urin dan peningkatan untuk relaksan otot.2,17,21
kadar total IgE dapat mengarahkan kepada adanya Jika ada kecurigaan adanya reaksi hipersensiivitas
nefriis intersiial.2,20 Jika ada kecurigaan vaskuliis yang lambat (ipe IV) terhadap obat topikal yang diberikan,
disebabkan alergi obat, maka perlu dilakukan pemeriksaan maka sebaiknya dilakukan pemeriksaan tes tempel. Tes
laju endap darah, C-reacive protein, tes komplemen dan tempel diketahui berguna sebagai penunjang diagnosis
beberapa tes autoanibodi seperi aninuclear anibody untuk eritema muliform, eksantema, eksema, namun
(ANA), aninuclear cytoplasmic anibody (c-ANCA),dan idak untuk reaksi nonlimfosiik. Tes tempel dibaca setelah
perinuclear cytoplasmic anibody (p-ANCA). Hasil tes ANA 12 jam atau 48-72 jam jika ada eritema dan vesikulasi.
yang posiif mengarahkan kepada diagnosis dari sindrom Pembacaan tes tempel dilakukan berdasarkan skor dimana
lupus imbas obat.2,17 jika hanya makulopapular yang idak jelas digambarkan
sebagai reaksi meragukan, jika terdapat eritema, iniltrasi
PEMERIKSAAN PENUNJANG KHUSUS atau papul dianggap sebagai lemah posiif (non vesikuler),
Pemeriksaan penunjang yang khusus untuk alergi jika terdapat vesikel dianggap posiif kuat, dan jika
obat tebagi menjadi pemeriksaan in vivo dan in vitro. terdapat lepuh maka diintrepretasi sebagi ekstrim posiif.2
Beberapa pemeriksaan penunjang khusus yang pening
untuk menunjang diagnosis alergi obat adalah tes kulit Tes In Vitro
untuk reaksi hipersensiivitas cepat (lgE), tes tempel, tes Beberapa kondisi dapat membuat pemeriksaan in
provokasi atau tes dosing, radioallergosorbent test (RAST), vitro lebih dipilih dibanding pemeriksaan in vivo, yaitu
mengukur lgG atau lgM yang spesiik untuk obat, mengukur jika penderita menunjukkan demograisme, ikiosis atau
akivasi komplemen, mengukur pelepasan histamin atau ekzema sistemik, menggunakan anihistamin kerja panjang
mediator lain dari basoil, mengukur mediator seperi atau anidepresan trisiklik, berisiko jika obat dihenikan,
histamin, prostaglandin, leukotrien, triptase, transformasi penderita menolak tes kulit atau dugaan inggi resiko
limfosit, uji toksisitas leukosit, evaluasi dengan bantuan anailaksis dengan tes kulit terhadap alergen tertentu.17,21
komputer.2,17 Pemeriksaan serum triptase, RAST, dan Enzyme-
linked Immunosorbent Assay (ELISA) digunakan pada
Tes In Vivo kondisi alergi obat melalui reaksi ipe I dengan anailaksis.
Tes kulit yang menunjukkan nilai prediksi yang Keika terjadi reaksi anailaksis akibat alergi obat, maka
kuat adalah tes intradermal untuk IgE. Tes kulit hanya perlu dilakukan penulusuran secara restrospekif. Reaksi
dapat dipakai pada sejumlah obat seperi penisilin, anailaksis dapat dideteksi dengan pemeriksaan histamin
insulin dan kimopapain. Pembacaan tes kulit dilakukan dan atau N-methylhistamin pada urin 24 jam. Pemeriksaan
setelah 15-20 menit dalam reaksi cepat dan setelah 24- RAST dan ELISA dapat mengukur IgE terhadap beberapa
72 jam dalam reaksi lambat. Tes kulit dapat berupa tes obat dalam sirkulasi sehingga dapat dipakai untuk
tusuk, tes intradermal ataupun tes tempel. Beberapa ideniikasi penyebab. Pada beberapa obat seperi
indikasi pemeriksaan tes tusuk adalah reaksi anailaksis, eritromisin, trimetoprim, sulfometoksazol, rifampisin,
bronkospasme, konjungiviis, riniis dan urikaria/ vankomisin dan isoniazid dilaporkan adanya penemuan

48 | Jurnal Penyakit Dalam Indonesia | Vol. 4, No. 1 | Maret 2017


Pendekatan Diagnosis dan Tata Laksana Alergi Obat

IgE yang spesiik. Hasil posiif metode pengukuran IgE dari data anamnesis. Tiga hal yang menjadi dasar
ini dapat digunakan untuk mengideniikasi adanya tatalaksana alergi obat adalah menghindari faktor yang
risiko pada penederita, namun hasil negaif idak dapat menimbulkan gejala, pengobatan reaksi yang benar dan
menyingkirkan risiko tersebut. Jika dibandingkan dengan cara-cara khusus.2
tes tusuk, metode ini kurang sensiif.2,21
Tabel 1. Pembagian reaksi obat menurut mekanisme2
Pada alergi obat yang melalui mekanisme Mungkin
Terbuki/diduga kuat Menimbulkan reaksi
hipersensiivitas ipe II, evaluasi tes auto-anibodi seperi menimbulkan
menimbulkan reaksi alergi pseudoalergi
Coombs dan autoanibodi ani-trombosit perlu dilakukan. reaksi alergi
Anibioik Kuinolon Opiat
Pemeriksaan C3, C4, krioglobulin dan C1q-binding perlu β-laktam (penisilin, Sulfonamid Aspirin dan AINS
dikerjakan jika alergi obat dicurigai melibatkan mekanisme sefalosporin,monobaktam,
karbapenem)
hipersensiivitas ipe III. Tes tempel spesiik, tes proliferasi
Insulin Dilanin Heparin
limfosit dan isolasi klon yang spesiik dikerjakan apabila Kemopapain Protamin Inhibitor ACE
terdapat kecurigaan hiperseniivitas ipe IV.2,17 Streptokinase Pelemas otot Adiif
Serum heterologous Anestesi lokal Larutan protein plasma
Anibodi IgG dan IgM spesiik untuk obat dapat
Tetanus (Toksoid–Tetanus/ Kemoterapi Larutan
diukur dengan ELISA dan radioimmunoassay (RIA). Tes Diteri-Td) pengganiberbahan
Coombs digunakan sebagai penapis untuk tes IgG spesiik gelain
Lateks Transfusi Tartazin
pada kondisi hemolisis yang diinduksi obat. Pemeriksaan
Agen biologik baru Hemodilaisis Kontras
pelepasan histamin dan mediator lain dari basoil baru (campak, mumps, MMR,
dapat dilakukan pada laboratorium tertentu dan esai ini vaksin asal telur)

cukup rumit. Pemeriksaan mediator dalam serum seperi


kadar histamin dan PGD2 sangat rumit dan lama, sehingga Jika memungkinkan, maka pencegahan pemberian
lebih relevan memeriksakan metabolit histamin atau PGD2 obat merupakan pilihan utama. Perlu diingat sebisa
pada urin. Pemeriksaan akivasi komplemen memiliki mungkin menghindari obat yang telah diketahui
kelemahan, yaitu reaksi obat idak dapat dibedakan dari menimbulkan reaksi alergi dan obat yang idak memiliki
reaksi lainnya. Pemeriksaan transfomasi limfosit cukup efek klinis yang pening. Penapisan melalui uji tusuk
kompleks dan sangat jarang digunakan. Pemeriksaan diperlukan terutama jika akan memberikan pengobatan
toksisitas limfosit dikerjakan dengan melihat limfosit ani serum asing seperi globulin ani-imosit. Rute
perifer penderita dan diukur persentase limfosit yang mai pemberian obat yang diketahui dapat menimbulkan reaksi
dengan menggunakan indeks toksisitas metabolit obat paling berat adalah rute intravena.Oleh karena itu, jika
yang dilepas. Pada pasien dengan reaksi obat di kulit yang memungkinkan rute ini dihindari terutama pada pasien
lambat dapat diperiksakan ambang perforin, granzim B dengan riwayat reaksi alergi obat yang berat. Perhaian
dan TNF-α untuk mengukur derajat penyakit.2,17,21 khusus harus diberikan pada anibioik terutama penisilin
karena sering menimbulkan reaksi anailaksis. Keika
Biopsi pernah terjadi reaksi obat, maka pasien dan orang yang
Pada kondisi didapatkan vaskuliis, purpura yang bertanggung jawab atas pasien wajib dinformasikan dan
dapat teraba, plak dan ulkus, maka pemeriksaan biopsi dilakukan pencatatan di rekam medik.2,22
perlu dikerjakan. Pada pemeriksaan biopsi ini kadang Pengobatan reaksi cepat pada alergi obat prinsip
diperlukan pemeriksaan imunoluoresen untuk mencari nya adalah pemberian epinefrin, pengehenian obat
endapan imunoglobubin dan komplemen pada vaskuliis yang diberikan, pemberian anihistamin (jika terdapat
kulit.2 urikaria, angioedema dan pruritus) dan perimbangan
untuk pemberian korikosteroid oral. Sedangkan untuk
PENANGANAN ALERGI OBAT reaksi lambat, pada dasarnya sama dengan pada reaksi
alergi obat cepat kecuali pemberian epinefrin.Namun,
Prinsip Umum reaksi alergi obat lambat dapat berlanjut meskipun obat
Penanganan alergi obat dimulai dengan mengenali penyebab sudah dihenikan.2,17,23
reaksi obat berdasarkan mekanisme yang terbagi menjadi
3 kelompok seperi pada Tabel 1.2 Cara-Cara Khusus
Berdasarkan Tabel 1, maka prioritas tatalaksana Terdapat beberapa cara khusus yang pening dalam
obat mengarah kepada datar obat-obatan terutama yang tatalaksana alergi obat diantaranya adalah threaing
terbuki kuat menimbulkan reaksi alergi yang diperoleh through, test dosing, desensiisasi dan pramedikasi

Jurnal Penyakit Dalam Indonesia | Vol. 4, No. 1 | Maret 2017 | 49


Roy Akur Pandapotan, Iris Rengganis

terhadap obat-obat tertentu. Dalam keadaan ekstrim, induksi toleransi pada renderita yang mengalami reaksi
yaitu saat obat kausal sangat diperlukan, maka pilihan alergi (melalui IgE), cepat dan sistemik terhadap obat yang
yang dapat diambil adalah obat diteruskan bersamaan dapat dipasikan dengan tes kulit misalnya pada penisilin.
pemberian anthistamin dan korikosteroid untuk menekan Teknik desensisasi menggunakan protokol yang prinsip
alergi. Hal ini disebut treaing through, namun berisiko dasarnya adalah pemberian bertahap dosis obat yang
potensial mengakibatkan reaksi berkembang menjadi diingkatkansecara perlahan, mulai dari dosis subalergenik
eksfoliaif atau sindrom SJS dan memicu keterlibatan dan diteruskan sampai dosis penuh. Pada saat dilakukan
organ internal.2 desensiisasi, jika terapi dihenikan, pada 50% penderita
Pada kondisi tes kulit atau RAST terhadap anailaksis dapat terjadi kembali. Protokol desensiisasi
obat anibioik idak dapat dikerjakan dan dipikirkan telah tersedia terhadap berbagai kelas obat, salah satu nya
kemungkinan alergi rendah, idak disertai reaksi berat seperi pada Tabel 1.2,17,25
dan mengancam nyawa, maka dapat dikerjakan tes dosing Pada obat-obat tertentu yang mekanisme
atau provocaive drug challenge/graded drug challenge/ reaksinya idak melibatkan IgE, desensiisasi telah dapat
incremental drug challenge. Tes ini idak mengubah respon dilakukan dengan hasil yang baik. Obat-obat tesebut
sistem imun. Prinsip dasar tes ini adalah pemberian obat diantaranyaadalah aspirin, AINS, alopurinol, preparat
secara hai-hai dan bertahap, sehingga reaksi ringan emas, sulfametoksazol dan sulfasalazin. Desensiisasi
yang diketahui mungkin terjadi akan segera diketahui dan cepat pada anailaksis dilakukan dengan pemberian dosis
dapat dengan mudah diatasi. Tes ini dapat dipakai sebagai bertahap selama beberapa jam seperi pada penisilin.
satu-satunya cara absolut untuk menyatakan ada idaknya Biasanya dimulai dengan jumlah p/1.000.000 sampai
hubungan eiologi antara obat, sehingga bila penderita 1/100.000 dosis terapeuik. Jika pemberian melalui
menunjukkan toleransi terhadap obat yang diberikan, intravena, dosis yang diberikan intravena dilipatgandakan
berari idak ada alergi. Tes ini terbagi menjadi tesdosing seiap 15 menit dengan pemantauan penderita secara
cepat dan lambat. hai-hai. Reaksi ringan, seperi urikaria atau pruritus,
Pada tes dosing, obat diberikan dengan dosis awal biasanya dapat menghilang spontan, sehingga pra-terapi
yang kecil, kemudian diingkatkan serial sampai dicapai dosis dengan anihistamin atau steroid pada desensiisasi
penuh. Interval waktu peningkatan dosis yaitu 24-48 jam bila idak dilakukan agar reaksi ringan dapat diideniikasi.
dipikirkan reaksi hipersensiivitas lambat dan 20-30 menit Desensiisasi lambat dilakukan dengan carapeningkatan
bila dipikirkan reaksi lgE. Pada tes dosing lambat dikerjakan dosis dan pemberian dengan jarak 24-48 jam, kecuali
bila reaksi yang diduga terjadi adalah reaksi lambat seperi bila pengobatan diperlukan lebih cepat. Prosedur ini
dermaiis. Pada kondisi ini jarak antara pemberian obat memerlukan waktu 2 minggu atau lebih.2,26
dijadikan 24-48 jam, prosedur biasanya selesai dalam 2 Pada penderita yang pernah menunjukan reaksi
minggu. Pemeriksaan tes dosing saat ini semakin sering serupa anailaksis (non-lgE), misalnya radiokontras,
dikerjakan pada penderita HIV yang akan diberikan premedikasi atau terapi proilaksis atau pra-terapi
trimetoprim/sulfamtoksazole. Saat ini sudah tersedia pening dilakukan sebelum pemberian obat. Premedikasi
beberapa protokol untuk tes dosing terhadap beberapa atau proilaksis dengan pemberian anihistamin dan
obat seperi sulfonamid, relaksan otot, asiklovir, zidovudine, korikosteroid saja atau dalam kombinasi dengan
pentamidin dan penisilamin, ihinbitor ACE dan heparin. β-adrenergik bertujuan menurunkan insidens dan
Selain itu, termasuk juga obat yang jarang menimbulkan reaksi beratmisalnya reaksi anailaksis yang diimbulkan
reaksi alergi seperi β-blocker dan obat-obatan yang dapat zat kontras. Baik tes dosing, desensiisasi, maupun
menimbulkan reaksi serupa alergi (pseudo-alergi) seperi premedikasi memiliki kebahayaan menimbulkan reaksi
opiate, anestesi lokal, aspirin, dan tartazin.2,17,24 alergi yang fatal, reaksi anailaksis dan reaksi psikiatrik
Desensiisasi adalah pilihan tatalaksana pada non-alergi. Oleh karena itu, perlu diperhaikan aspek
kondisi yangsudah dipasikan terdapat alergi obat.Namun medikolegal dan informed consent dalam melakukan
dmeikian, idak ada pilihan obat yang lain. Desensiisasi prosedur ini. Hal-hal yang perlu diperhaikan diantaranya
sendiri dapat dikerjakan pada reaksi IgE, pada reaksi adalah obat yang akan diberikan merupakan obat esensial
yang idak terjadi melalui IgE, desensiisasi cepat pada yang idak bisa diganikan obat lain, adanya ruang bagi
anailaksis dan desensiisasi lambat.17 pasien untuk menolak setelah memahami keuntungan
Pada reaksi yang melibatkan IgE, desensiisasi dan risiko indakan, dan sarana terapi darurat yang harus
dikerjakan dengan tujuan memperoleh reaksi yang ringan disiapkan saat melakukan prosedur.2,17
melalui eliminasi IgE. Terapi ini dilakukan dengan cara

50 | Jurnal Penyakit Dalam Indonesia | Vol. 4, No. 1 | Maret 2017


Pendekatan Diagnosis dan Tata Laksana Alergi Obat

REAKSI

Reaksi Tipe A Reaksi Tipe B


-Tergantung dosis -Tidak tergantung dosis
-Dapat diprediksi -Tidak dapat diprediksi
-Lebih umum -Jarang

Overdosis Intoleransi

Efek samping Idiosinkrasi


(farmakogenetik)

Interaksi obat Alergi Obat

Reaksi Imunologi Reaksi Pseudoalergi


(Klasifikasi Gell dan Coombs)

Tipe IV
Tipe I Tipe III -Kerusakan dengan
Tipe II perantaraan sel T
-Perantaraan IgE -ADCC -Kerusakan kompleks imun
-Anafilaksis -IgG/IgM berkatan -Ikatan Ab-Ag dalam jumlah
-Urtikaria dengan Ag pada sel besar
-Angioedema -Komplemen
-Bronkospasme -Fagosit
-Hipotensi
Gambar 1 Klasifikasi reaksi obat2
Gambar 1 .Klasiikasi reaksi obat2

Tabel 2. Protokol desensiisasi penisilin2 SIMPULAN


Penisilin
Penisilin V
Penisilin G
Penisilin G Penisilin G Alergi obat adalah reaksi simpang obat yang
V oral, parenteral
oral iap 15 parenteral parenteral melibatkan mekanisme imunologis. Konsep mekanisme
iap 15 iap 20
menit iap 20 menit iap 20 menit
menit menit alergi obat yang umum diterima saat ini adalah konsep
1 100 100 0.1 ID
hapten, konsep pro-hapten dan konsep p-i. Reaksi
2 200 100 0.2 SK
3 400 100 0.4 SK obat sendiri dipengaruhi berbagai faktor risiko seperi
4 800 100 0.8 SK jenis obat, berat molekul obat, kimiawi obat, regimen
5 1.600 1.000 0.1 ID
pengobatan, faktor pejamu, atopi, penyakit tertentu,
6 3200 1.000 0.5 SK
7 6.400 1.000 0.6 SK gangguan metabolisme dan lingkungan.
8 12.000 10.000 0.1 ID Reaksi alergi obat bisa menyerupai alergi pada
9 24.000 10.000 0.2 SK umumnya. Keika ada kecurigaan mengenai munculnya
10 48.000 10.000 0.4 SK
11 80.00 10.000 0.8 SK reaksi alergi obat, maka harus ditanyakan riwayat
12 160.000 100.000 0.1 ID pemakaian obat yang baru saja digunakan dan hubungan
13 320.000 100.000 0.3 SK waktu antara pemakaian obat dan munculnya gejala.
14 640.000 100.000 0.6 SK
Diubah ke Penisilin G IV Pemeriksaan isis pada pasien tersangka alergi obat harus
15 125.000 1.000.000 0.1 ID dilakukan secara menyeluh terhadap semua sistem untuk
16 250.000 1.000.000 0.2 SK mencari semua presentasi klinis alergi obat. Pemeriksaan
17 500.000 1.000.000 0.2 IM
18 1.125.000 1.000.000 0.4 IM penunjang alergi obat terdiri dari pemeriksaan penjunjang
19 1.000.000 Diteruskan umum dan khusus, yang dapat dilakukan baik in vivo, in
dengan Infus
vitro, maupun dengan biopsi.
IV

13
Jurnal Penyakit Dalam Indonesia | Vol. 4, No. 1 | Maret 2017 | 51
Roy Akur Pandapotan, Iris Rengganis

Tiga hal yang menjadi dasar tatalaksana alergi obat 22. Lieberman P, Nicklas RA, Oppenheimer J, et al. The diagnosis and
management of anaphylaxis: 2010 Update. J Allergy Clin Immunol.
adalah menghindari faktor yang menimbulkan gejala, 2010;126(3):477–80.
pengobatan reaksi yang benar dan cara-cara khusus. 23. Frew A. Generalprinciples oinvesigaingand managingdrug
allergy. Br J Clin Pharmacol. 2011;71(5):642-6.
Cara-cara khusus yang pening dalam tatalaksana alergi 24. Sullivan TJ, Yecies LD, Shatz GS, et al. Desensiizaion of paients
obat diantaranya adalah threaing through, tes dosing, allergic to penicillin using orally administered beta-lactam
anibioics. J Allergy Clin Immunol. 1982;69(3):275–82.
desensiisasi dan pramedikasi terhadap obat-obat
25. Solensky R. Drug desensiizaion. Immunol Allergy Clin North Am.
tertentu. 2004;24(3):425–43.
26. Harris AD, Sauberman L, Kabbash L, et al. Penicillin skin tesing: a way
to opimize anibioic uilizaion. Am J Med. 1999;107)2):166–8.
DAFTAR PUSTAKA
1. Sadreddini HA, Starkey ES. Drug allergy:diagnosis and managemen
tofdrug allergyin adults, children and young people; a look at NICE
guidance. London:Naional Insitute for Health and Care Excellence
(UK);2014.
2. Baratawidjaja, KG., Rengganis, Iris. Alergi Dasar Edisi ke-10. Jakarta:
FKUI; 2009.hal.459-92.
3. Liebhart J,Dobek R,Małolepszy J, et al. ThePrevalenceof Allergic
Diseases in Poland - the Results of the PMSEAD Study in Relaion to
Gender Diferences. Adv Clin Exp Med.2014;23(5):757-62.
4. Sangasapasviliya A,Prakongwong T, Ayuthaya PK. Drug
hypersensiivity in Phramongkutklao Hospital. J Med Assoc
Thai.2010;93(Suppl 6):S106-11.
5. Bourke J,Pavlos R,James I, Phillips E. Improving the Efeciveness
of Penicillin Allergy De-labeling. J Allergy Clin Immunol
Pract.2015;3(3):334-84.
6. Gamboa PM. The epidemiology of drug allergy-related
consultaions in Spanish Allergology Services: Alergológica-2005. J
Invesig Allergol Clin Immunol. 2009;19(Suppl2):45-50.
7. England RW, Ho TC, Napoli DC, Quinn JM. Inpaient consultaion of
allergy/immunology in a teriary care seing. Ann Allergy Asthma
Immunol. 2003;90(4):393-7.
8. The Hacetepe Method is an eicient, safe and cost efecive
method of drug allergy work-up. Fuat Kalyoncu A. Allergol
Immunopathol (Madr).2015;43(1):103-4
9. Warrington R, Silviu-Dan F. Drug allergy. Allergy Asthma Clin
Immunol. 2011;7(Suppl 1):S10.
10. Khan DA, Solensky R: Drug allergy. J Allergy Clin Immunol.
2010;125(2 Suppl 2):S126-37.
11. Pichler WJ, Naisbit DJ, Park BK. Immune pathomechanism
of drug hypersensiivity reacions. J Allergy Clin Immunol.
2011;127(Suppl):S74-81.
12. McKinnon RP, Wildsmith JA. Histaminoid reacions in anaesthesia.
Br J Anaesth. 1995;74:217-28.
13. Posadas SJ, Pichler WJ. Delayed drug hypersensiivity nreacions -
new concepts. Clin Exp Allergy. 2007;37(7):989-99.
14. Sanderson JP, Naisbit DJ, Farrell J, Ashby CA, Tucker MJ, Rieder MJ,
et al. Sulfamethoxazole and its metabolite nitroso sulfamethoxazole
simulate dendriic cell cosimulatory signaling. J Immunol.
2007;178(9):5533-42.
15. Barranco P, Lopez-Serrano MC: General and epidemiological aspects
of allergic drug reacions. Clin Exp Allergy. 1998;28(Suppl 4):61-2.
16. Thong BY, Tan TC. Epidemiology and risk factors fordrug allergy.Br J
Clin Pharmacol. 2011;71(5):684-700.
17. Joint Task Force on Pracice Parameters; American Academy of
Alergy, Asthma and Immunology; American College of Allergy,
Asthma and Immunology; Joint Council of Allergy, Asthma and
Immunology. Drug allergy: an updated pracice parameter. Ann
Allergy Asthma Immunol. 2010;105(4):259-73.
18. McKenna JK, Leiferman KM. Dermatologic drug reacions. Immunol
Allergy Clin North Am. 2004;24(3):399–423.
19. Roujeau JC. Clinical heterogeneity of drug hypersensiivity.
Toxicology. 2005;209(2):123–9.
20. Ooi BS, Pesce AJ, First MR, et al. IgE levels in intersiial nephriis.
Lancet.1974;303(7869):1254–6.
21. Sogn DD, Evans R, Shepherd GM, et al. Results of the Naional
Insitute of Allergy and Infecious Diseases collaboraive clinical
trial to test the predicive value of skin tesing with major and
minor penicillin derivaives in hospitalized adults. Ann Intern Med.
1992;152(5):1025–32.

52 | Jurnal Penyakit Dalam Indonesia | Vol. 4, No. 1 | Maret 2017

Anda mungkin juga menyukai