Gambar 1. FDE retikular pada dada pada pasien kemoterapi dan gambaran
dropping melanin merata pada demis2
Urtikaria (L50) dan angioedema (T78.3) merupakan manifestasi alergi obat yang
melibatkan IgE.1,3 Urtikaria akut berlangsung 6 minggu sedangkan urtikaria kronik lebih
dari 6 minggu. Durasi urtikaria dan angioedema adalah 24-72 jam. Manifestasi klinis
angioedema pada urtikaria akut dapat mengakibatkan obstruksi nafas hingga kegawatan
apabila mengenai laring. Contoh obat yang menyebabkan urtikaria dan angioedema
adalah parasetamol dan alopurinol. Pasien dengan keluhan kronik dapat dilakukan serum
protein elektroforesis, autologous serum skin test (ASST), tes aktivasi basophil, atau
antinuclear antibody (ANA) untuk memastikan adanya autoimunitas. Pemeriksaan untuk
angioedema dapat berupa komplemen serm (C1q, C1 inhibitor, dan C4). Tatalaksana dari
urtikaria dan angioedema adalah identifikasi dan penghindaran faktor pencetus serta
pemberian antihistamin (AH) dengan pilihan utama AH1. Pengobatan urtikaria dan
angioedema akut dengan mengkombinasikan KS dan AH1 dan tambahan berupa pyrantel
pamoat. Urtikaria dan angioedema kronis diberikan AH1 non sedasi (nsAH). Apabila
pasien mengalami urtikaria parah atau angioedema maka harus ditambahkan terapi
kortikosteroid.3
Palmar-Plantar erythrodysesthesia (PPE) adalah toksisitas dermatologis yang
disebabkan oleh beberapa obat kemoterapi atau dikenal dengan Hand-Foot Syndrome
(HFS) yang ditandai dengan kesemutan dan nyeri yang berkembang menjadi kemerahan
simetris, bengkak, dan nyeri terutama pada telapak tangan dan telapak kaki. Hand-Foot
Skin Reaction (HFSR) adalah toksisitas dermatologis yang sangat terkait dengan inhibitor
multikinase. HFS biasanya muncul 2-12 hari setelah kemoterapi dengan ciri khas edema
dan eritema pada telapak tangan dan kaki yang berkembang menjadi lepuh, ulserasi, atau
nekrosis. Obat yang menyebabkan lesi ini adalah obat kemoterapi doxorubicin.
Tatalaksana yang dilakukan dibagi menjadi infeksi lokal, perubahan integritas kulit, dan
manajemen nyeri. Infeksi lokal harus diketahui melalui tes laboratorium, kultur area yang
dicurigai, penilaian suhu, peninjauan obat untuk penyesuaian, peninjauan CBC dan nilai
trombosit dan hemoglobin. Apabila kulit tidak mengalami komplikasi dan tidak ada
kontraindikasi, disarankan untuk merendam kaki setiap hari dengan air hangat dan garam
Epsom untuk melembuntkan pembentukan kalus, kompres dingin ke telapak tangan atau
telapak kaki bergantian off/on selama 15 menit untuk mengurangi rasa sakit. Manajemen
nyeri diberikan dengan agen topikal atau oral. Selain itu pemberian steroid oral untuk
pegilasi liposomal docorubicin, deksametason oral dapat dipertimbangkan. 1,4
Gambar 4. Lesi makula, plak eritema multiple pada regio facialis, erosi multiple
regio labialis, hiperemia dan secret pada mata, purpura dan makula multiple pada
regio thoraks anterior dan posterior serta abdomen.7
Reaksi anafilatik adalah reaksi alergi obat yang terjadi cepat atau segera setelah obat
diberikan yang dapat mengancam nyawa karena melibatkan organ saluran nafas atas dan
bawah serta sistem kardiovaskuler. Gejala yang ditimbulkan adalah demam hingga 40°C,
lesi pada membrane mukosa, limfadenopati, hepatosplenomegali, nyeri dan bengkak pada
sendi.1 Penanganan anafilaksis adalah dengan menhentikan sumber alergi, dalam hal ini
menghentikan pemakaian obat yang diduga menjadi etiologinya. Apabila pasien
mengalami henti napas atau henti jantung, maka Resusitasi Jantung Paru (RJP),
pemberian cairan infus, dan oksigen harus dilakukan. Obat-obatan yang dapat menangani
anafilaksis seperti epinefrin atau adernalin injeksi subkutan dengan dosis yang tepat, 0,01
mg/kg berat badan, dan dosis maksismumnya adalah 0,3 mg pada anak-anak serta 0,5 mg
pada orang dewasa. Dosis pada pemberian adrenalin adalah 0,5 ml. Tujuan dari obat ini
adalah mengurangi efek inflamasi karena alergen, melebarkan saluran napas atau
bronkodilatasim vasokontriksi sehingga aliran darah dan tekanan darah Kembali normal.
Pemberian obat-obatan tambahan bisa diberikan, seperti antihistamin atau kortikosteroid
seperti dexamethasone 5 mg melalui intravena (IV) untuk alergi pada kulit, seperti gatal,
ruam, kemerahan, alergi pada hidung dan mata, dan mencegah reaksi alergi sekunder.
Efedrin 0,5 ml melalui injeksi intramuscular atau subkutan dapat diberikan sebagai
pemacu kerja jantung.8
3. Bagaimana upaya pencegahan yang dapat dilakukan agar tidak terjadi reaksi alergi, untuk
obat yang diberikan baik melalui jalur per oral, intra vena, inta muskular ataupun
subkutan?
Pencegahan utama yang harus dilakukan agar tidak terjadi reaksi alergi obat adalah
memiliki pengetahuan mengenai mekanisme, faktor risiko dan gejala klinis alergi obat,
serta anamnesis yang baik. Anamnesis yang relevan antara lain, deskripsi gejala, penyakit
atropi dan penyakit lainnya, serta pemicu dan faktor lingkungan hidup di sekitar
penderita. Apabila pasien diduga memiliki alergi obat, maka riwayat pemakaian obat
yang baru saja digunakan dan durasi antara pemakaian obat dan munculnya reaksi alergi
harus ditanyakan dalam rekam medik. 1
Obat-obatan oral yang biasa diberikan berupa pil, tablet, bubuk, sirup, dan kapsul.
Kontraindikasi dari pemberian obat-obatan oral antara lain, muntah dan tidak bisa
menelan obat, kesadaran menurun, dan perlunya tindakan suction. Pencegahan yang
dilakukan adalah dengan mengkaji apakah pasien memiliki alergi terhadap obat tersebut
dengan anamnesis. Mengetahui dengan jelas jenis dan kandungan obat, indikasi dan
kontraindikasi dari obat, dan dosis yang diberikan. Hal yang perlu dipertimbangkan
ketika memberikan obat oral pada pasien antara lain, jika pasien mulai batuk saat
pemberian obat, bisa dihentikan segera, dan aspirasi obat atau cairan dapat terjadi dengan
mudah, pasien harus mendapatkan intruksi yang lengkap mengenai cara meminum obat,
dosis, tujuan, dan kapan obat itu diminum, pada pasien anak-anak maupun lansia harus
melibatkan keluarga saat memberikan penyuluhan, serta apabila terdapat reaksi alergi
segera dilakukan tindakan dan penghentian obat.1,9
Pemberian obat secara subkutan (SC), intramuscular (IM), intracutan (IC), dan
intravena (IV) termasuk ke dalam pemberian obat parenteral. Injeksi subkutan (SC)
adalah menyuntikkan obat ke jaringan ikat longgar di bawah kulit di mana penyerapan
obat lambat dari intramuscular (IM) karena tidak memiliki banyak pembuluh darah.
Injeksi ini hanya untuk obat dosis kecil yang larut dalam air dan tidak mengiritasi karena
mengandung reseptor nyeri. Daerah injeksi SC adalah lengan atas belakang, abdomen
dari bawah ig sampai batas Krista iliaka dan bagain paha atas depan. 9
Injeksi intramuscular (IM) adalah injeksi pada otot yang memiliki banyak pembuluh
darah sehingga absorpsi obat lebih cepat daripada SC. Tujuan rute ini agar absorpsi obat
lebih cepat, dosis obat yang diberikan lebih besar dibanding melalui subkutan, dan
mencegah atau mengurangi iritasi obat.9
Injeksi intracutan (IC) adalah pemberian obat dengan suntikan ke dalam jaringan kulit
di lengan bawah bagian dalam atau di tempat lain, biasanya digunakan sebagai skin test,
hanya diberikan pada pasien yang memerlukan antibiotic, dan untuk menentukan
diagnosis penyakit tertentu. Tes kulit ini digunakan untuk menunjukkan nilai prediksi
yang kuat. 9
Pemberian obat melalui intravena (IV) adalah rute absorbs obat paling cepat dengan
menginjeksi obat langsung ke dalam pembuluh darah menggunakan spuit pada lengan
(vena basalika dan vena sefalika), tungkai (vena saphenous), leher (vena jugularis),
kepala (vena frontalis atau vena temporalis). Tujuan dari rute ini agar reaksi obat cepat
diabsorbsi, menghindari terjadinya kerusakan jaringan, dan memasukan dosis obat yang
besar. Pemberian obat melalui intravena dapat menghindari first pass effect oleh hati,
yaitu metabolisme obat oleh hati sebelum masuk ke sirkulasi yang diserap oleh usus yang
dapat menyebabkan obat menjadi inaktif dan menurunkan kadar obat yang masuk ke
sirkulasi sistemik.9,10
Gambar 6. Posisi jarum pada injeksi intradermal (skin test) dan indurasi kulit
setelah injeksi intradermal.10
Pemeriksaan penunjang umum berdasarkan indikasi antara lain, pemeriksaan darah
perifer lengkap dengan hitung jenis, laju endap darah, c-reactive protein, tes autoantibodi,
tes imunologis khusus, pemeriksaan rontgen dan elektrodiografi. Apabila pasien memiliki
alergi obat yang melibatkan ginjal, bisa dilakukan pemeriksaan urinalis untuk melihan
proteinuria, eosinophil pada urin yang menunjukkan nefritis interstitial, peningkatan
kadar total IgE, dan cast pada urin. Apabila pasien dicuriga vasculitis karena reaksi alergi
obat maka harus dilakukan pemeriksaan laju endap darah, C-reactive protein, tes
komplemen, dan beberapa tes autoantibodi, seperti anatinuclear antibody (ANA),
antinuclear cytoplasmic antibody (c-ANCA), dan perinuclear cytoplasmic antibody (p-
ANCA). Apabila hasil tes ANA positf maka diagnosis yang diberikan adalah sindrom
lupus imbas obat.1
DAFTAR PUSTAKA
1. Rengganis, I, dan Pandapotan, R.A. Pendekatan Diagnosis dan Tata Laksana Alergi
Obat. Jurnal Penyakit Dalam Indonesia. 2017; 4(1): 46-52.
2. Meidiyanti, P., Radiono, S., Budiyanto, A. Reticulate Fixed Drug Eruption Yang
Disebabkan Obat Kemoterapi: Sebuah Varian Baru. MDVI. 2020; 47(2):73-76.
3. Wirantari N, dan Prakoeswa CRS. Urtikaria dan Angioedema: Studi Retrspektif.
Berkala Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin-Periodical of Dematology and
Venereology. 2014;26(3):213-219.
4. Sherriff, C., et al. Symptom Management Guidelines: Palmar-Plantar
Erythrodysesthesia (PPE). Provincial Health Services Authority. 2019:1-6.
5. Made, HD., Made, W., Prima, S. Pemfigus Vulgaris disertai Infeksi Methicillin
Resistant Staphylococcus Aureus: Sebuah Laporan Kasus. MDVI. 2019; 46(4):182-
187.
6. Hirawan, H., Djati, FK, Mulitasari, ER. Laporan Kasus: Petekie pada Rongga Mulut
Akibat Faktor Latrogenik pada Pasien Anak. JKG Unej. 2020;17(2):57-59.
7. Limbara, EN dan Karmila, ID. Eritema Multiforme Mayor Pada Anak Diduga
Disebabkan Oleh Parasetamol dan Herbal. SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
FK Universitas Udayana. 2020:1-19.
8. Salsabila, NA. Analisis Pencegahan dan Penanganan Anafilaksis di Masyarakat.
Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret. 2019:1-9.
9. Adventus, MRL., Mahendra, ND., Mertajaya, IM. Farmakologi. Jakarta: Fakultas
Vokasi UKI. 2019.
10. Noviani, N., dan Nurilati, V. Bahan Ajar Keperawatan Gigi: Farmakologi. Jakarta:
Kemenkes RI. 2017.
11. Hermasari, BK., et al. Buku Pedoman Keteranpilan Klinis Teknik Injeksi dan Pungsi.
Surakarta: Universitas Sebelas Maret. 2019.