konjungtivitis vernalis
1. definisi dan etiologi konjungtivitis vernal
Konjungtivitis vernal merupakan konjungtivitis kronik akibat alergi pada
kedua konjungtiva, bersifat rekuren, atopik, dan biasanya disertai dengan
pengeluaran mukus (Ilyas, 2004). Menurut Devan dan Ashraf (2007),
konjungtivitis vernal ini adalah penyakit konjungtiva kronis yang terjadi dalam
beberapa tahun, berulang pada musim panas, dan menghilang saat musim dingin.
Menurut Kansal dan Dasgupta (2001), konjungtivitis vernal adalah alergi pada
kedua mata yang dimulai pada masa prapubertas dan berlangsung selama 5-10
tahun, dan biasanya di tempat beriklim hangat.
Faktor Resiko:
-Umur 5 – 25 tahun
- Laki-laki
-Memiliki riwayat keluarga alergi
Beberapa faktor risiko yang menyebabkan terjadinya mata merah adalah sebagai
berikut:
Penggunaan Lensa Kontak
Penggunaan lensa kontak meningkatkan risiko mata merah dalam berbagai cara.
Larutan pembersih terinfeksi oleh bakteri atau bisa mengiritasi karena kandungan zat
kimia di dalamnya. Lensa kontak itu mungkin tidak sesuai dengan mata, sehingga
memicu terjadinya risiko konjungtivitis.
Mata Kering
Seseorang yang memiliki sindrom mata kering rentan mengalami mata merah. Oleh
karena itu, selalu antisipasi dengan penggunaan obat tetes mata hidrasi atau sesuai
dengan resep dokter.
Kebersihan Benda
Kebersihan yang buruk membuat kamu mudah mengalami mata merah karena
infeksi bakteri dalam benda yang sering digunakan, seperti handuk atau tangan
kamu sendiri. Pastikan semua benda bersih dan higienis, cuci tangan sesering
mungkin, dan hindari menggosok mata dengan tangan kotor.
3. patofisiologi konjungtivitis vernal
Perubahan struktur konjungtiva erat kaitannya dengan timbulnya radanginterstitial
yang banyak didominasi oleh reaksi hipersensitivitas tipe I. Padakonjungtiva akan
dijumpai hiperemi dan vasodilatasi difus, yang dengan cepat akandiikuti dengan
hiperplasi akibat proliferasi jaringan yang menghasilkan pembentukan jaringan ikat
yang tidak terkendali. Kondisi ini akan diikuti oleh hyalinisasi danmenimbulkan
deposit pada konjungtiva sehingga terbentuklah gambaran cobblestone.Jaringan ikat
yang berlebihan ini akan memberikan warna putih susu kebiruansehingga
konjungtiva tampak buram dan tidak berkilau. Proliferasi yang spesifik
padakonjungtiva tarsal, oleh von Graefe disebut pavement like granulations.
Hipertrofi papil pada konjungtiva tarsal tidak jarang mengakibatkan ptosis
mekanikLimbus konjungtiva juga memperlihatkan perubahan akibat vasodilatasi
danhipertofi yang menghasilkan lesi fokal. Pada tingkat yang berat, kekeruhan
padalimbus sering menimbulkan gambaran distrofi dan menimbulkan gangguan
dalamkualitas maupun kuantitas stem cells.Tahap awall konjungtivitis vernalis ini
ditandai oleh fase prehipertrofi. Dalamkaitan ini, akan tampak pembentukan
neovaskularisasi dan pembentukan papil yangditutup oleh satu lapis sel epitel
dengan degenerasi mukoid dalam kripta di antara papil serta pseudomembran milky
white. Pembentukan papil ini berhubungan denganinfiltrasi stroma oleh sel- sel PMN,
eosinofil, basofil dan sel mast
Tahap berikutnya akan dijumpai sel- sel mononuclear lerta limfosit makrofag.
Selmast dan eosinofil yang dijumpai dalam jumlah besar dan terletak superficial.
Dalamhal ini hampir 80% sel mast dalam kondisi terdegranulasi. Temuan ini sangat
bermakna dalam membuktikan peran sentral sel mast terhadap konjungtivitis
vernalis.Keberadaan eosinofil dan basofil, khususnya dalam konjungtiva sudah
cukupmenandai adanya abnormalitas jaringan.Fase vascular dan selular dini akan
segera diikuti dengan deposisi kolagen,hialuronidase, peningkatan vaskularisasi
yang lebih mencolok, serta reduksi selradang secara keseluruhan. Deposisi kolagen
dan substansi dasar maupun selulermengakibatkan terbentuknya deposit stone yang
terlihat secara nyata pada pemeriksaan klinis. Hiperplasi jaringan ikat meluas ke atas
membentuk giant papil bertangkai dengan dasar perlekatan yang luas. Horner-
Trantas dot’s yang terdapat di
daerah ini sebagian besar terdiri dari eosinofil, debris selular yang
terdeskuamasi,namun masih ada sel PMN dan limfosit.
4. diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan mata.Pemeriksaan
laboratorium yang dilakukan berupa kerokan konjungtiva untuk mempelajari
gambaran sitologi. Hasil pemeriksaan menunjukkan banyak eosinofil dan
granula-granula bebas eosinofilik. Di samping itu, terdapat basofil dan granula
basofilik bebas.
5. diagnosis banding
Gambaran Lesi
-Trakoma :(kasus dini) papula kecil atau bercak merah bertaburandengan bintik
putih-kuning(folikel trakoma).
Tipesekresi
trakoma: Kotoran air berbusa atau “frothy” pada stadium lanjut.
Pulasan
trakoma:Kerokan epitel pada konjungtiva dan kornea memperlihatkan
ekfoliasi,proliferasi, inklusi seluler.
6. tata laksana
Menurut Nelson (2005), perawatan yang diberikan mempunyai tujuan untuk
mengurangi gejala yang ditimbulkan dan mencegah komplikasi pada penglihatan.
Menurut Grammar dan Greenberger (2009), penatalaksanaan konjungtivitis vernal
serupa dengan konjungtivitis alergi, dengan demikian perawatan yang diberikan
pada konjungtivitis alergi dapat diberikan juga pada konjungtivitis vernal. Serta
menghindarkan bahan yang mungkin dapat menimbulkan reaksi alergi (Ilyas,
2004). Jadi, penerapan perawatan pada konjungtivitis alergi dapat digunakan
untuk perawatan konjungtivitis vernal, yang dimaksudkan untuk mengurangi rasa
tidak nyaman yang dirasakan oleh pasien dan mencegah terjadinya komplikasi
pada mata.
rhinitis alergi
4.diagnosis
Diagnosis Rinitis Alergi
2.6.1 Anamnesis
Anamnesis dimulai dengan riwayat penyakit secara umum dan dilanjutkan
dengan pertanyaan yang lebih spesifik meliputi gejala di hidung termasuk
keterangan mengenai tempat tinggal/kerja dan pekerjaan penderita.
Gejala-gejala rinitis alergi yang perlu ditanyakan adalah:
1) Bersin-bersin lebih dari 5 kali setiap serangan
2) Rinore (ingus bening encer)
3) Hidung tersumbat yang menetap atau berganti-ganti
4) Gatal di hidung, tenggorok, langit-langit atau telinga
5) Mata gatal, berair, atau kemerahan
6) Hiposmia atau anosmia
7) Post nasal drip atau batuk kronik
8) Adanya variasi diurnal (memburuk pada pagi hari-siang hari dan membaik
saat malam hari)
9) Frekuensi serangan, beratnya penyakit, lama sakit, intermiten atau
persisten
10) Pengaruh terhadap kualitas hidup seperti adakah gangguan terhadap
perkerjaan, sekolah, tidur, dan aktivitas sehari-hari.
Selain itu perlu ditanyakan mengenai manifestasi penyakit alergi lain
sebelum atau bersamaan dengan rinitis seperti asma bronkhial, dermatitis atopik,
urtikaria, dan alergi makanan, riwayat atopi di keluarga, faktor pemicu timbulnya
gejala, dan riwayat pengobatan.
2.6.2 Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada pasien yang dicurigai menderita rinitis alergi
termasuk pemeriksaan tanda-tanda “outward” yaitu hidung, telinga, sinus,
orofaring posterior (daerah tenggorokan yang berada dibelakang mulut), dada, dan
kulit. Tanda-tanda outward yang menunjukkan rinitis alergi meliputi: bernafas
lewat mulut secara persisten, menggaruk hidung atau daerah lipatan hidung
transversal, sering pilek, batuk/membersihkan tenggorokan, dan allergic shiners
(daerah hitam di bawah mata akibat kongesti nasal) (Small, 2011). Pemeriksaan
hidung menunjukkan:
1) Rinoskopi anterior menggunakan cahaya yang cukup dan spekulum
hidung: udim dari konka inferior/media yang diliputi sekret cair, mukosa
pucat, kemungkinan adanya polip nasi.
2) Nasoendoskopi
Terdapat gambaran konka bulosa atau polip nasi kecil di meatus
medius dan keadaan kompleks ostiomeatal
2.6.3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang diagnosis dipertimbangkan sesuai dengan fasilitas
yang ada. Adapun pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara lain skin
prict test (SPT/tes cukit kulit), IgE serum total, IgE serum spesifik, maupun
pemeriksaan histologis. SPT merupakan tes yang paling sesuai karena mudah
dilakukan, dapat ditoleransi oleh sebagian besar penderita termasuk anak. Tes ini
mempunyai sensitivitas dan spesifisitas tinggi terhadap hasil pemeriksaan IgE
spesifik. (Suprihati, 2004)
Sekitar 12-18 ekstrak alergen terstandar digunakan dalam setiap
pemeriksaan SPT bergantung pada jenis kit SPT komersial yang digunakan.
Beberapa ekstrak alergen merupakan alergen yang telah dicampur, sehingga total
jumlah alergen yang diuji mencapai 50. Histamin hidroklorin (10mg/Ml) dan
saline gliserol digunakan berturut-turut sebagai kontrol positif dan kontrol negatif.
SPT dilakukan pada permukaan volar kulit yang sehat lengan bawah pasien, 5 cm
dibawah siku dan 5 cm diatas pergelangan tangan, dengan jarak alergen masingmasing
20-30 mm. Pada permukaan kulit diteteskan masing-masing 1 tetes dari
setiap ekstrak alergen, kemudian ditusuk menggunakan lanset steril. Dua puluh
menit kemudian weal dihitung diameternya. Pemeriksaan diaggap valid apabila
ukuran kontrol positif ≥ 4mm dan kontrol negatif ≤ 3 mm. Reaksi dianggap positif
apabila diameter weal lebih besar > 2mm dibanding kontrol negatif. Diameter
weal ≤ 3mm dianggap negatif. (Aburuz, 2011)
Adapun pemeriksaan IgE serum total dinilai kurang bermanfaat sedangkan
IgE serum spesifik tergolong mahal.Pemeriksaan histologis dilakukan bila ingin
menentukan jenis rinitis antara alergi/non alergi dan rinitis akibat infeksi dan
menindaklanjuti respons terhadap terapi atau melihat perubahan morfologik dari
mukosa hidung (Suprihati, 2004)
5.diagnosis banding
6.tata laksana
1 Kontrol Lingkungan
Alergen yang sangat berperan pada rinitis alergi di negara tropis seperti
Indonesia adalah tungau debu rumah, serpihan kulit binatang, dan alergen kecoa.
(Suprihati, 2004). Untuk tungau debu, menutupi matras dan bantal dengan sarung
yang dari bahan khusus dapat membantu mengurangi paparan. Sprei harus dicuci
setiap dua minggu sekali di air panas (>55˚) untuk membunuh tungau yang
mungkin ada. Usahakan sesedikit mungkin menggunakan furnitur dengan bahan
kain/kain berbulu. Pembersihan menyeluruh pada karpet dengan pembersih
vakum dapat membantu, tapi lebih baik lagi apabila tidak menggunakan karpet
sama sekali dan menggunakan lantai dari bahan yang dapat dibersihkan seperti
keramik, bahan plastik, ataupun kayu. Tungau debu berkembang dalam ruangan
dengan kelembaban diatas 50%, jadi dehumidification, penggunaan AC, atau
keduanya dapat membantu. Sedangkan untuk jamur di dalam rumah, fungisida
seperti Clorox dan Lysol dapat membantu untuk membersihkan basement, ruang
sempit, tembok dingin, dan tempat berkembang jamur lainnya. (Randall, 2003;
Sheikh, 2013; Suprihati, 2004).
Sedangkan untuk alergen di luar rumah seperti serbuk sari, pasien
sebaiknya mengurangi aktivitas di luar rumah selama jumlah serbuk sari yang
menjadi alergen sedang tinggi. Menutup jendela dan menggunakan AC lebih
membantu dibanding menggunakan kipas angin biasa. Begitu pula pada pasien
yang alergi terhadap jamur tertentu sebaiknya mengurangi keluar rumah saat
jamur sedang berkembang pesat seperti pada masa panen. Apabila memiliki alergi
terhadap binatang tertentu, cara terbaik adalah dengan tidak memelihara binatang
tersebut dan menghindarinya secara total (Randall, 2003)
Meskipun merupakan terapi yang paling ideal, eliminasi total dari alergen
penyebab rinitis sulit dilakukan. Selain itu tuntutan aktivitas sehari-hari yang tidak
dapat ditinggalkan juga merupakan kendala bagi penderita. Oleh karena itu
tersedia terapi farmakologis untuk mengurangi gejala.
.2 Terapi Farmakologis
Terapi farmakologis untuk rinitis alergi saat ini termasuk antihistamin,
dekongestan, antikolinergik, intranasal cromolyn, leukotriene modifiers, dan
steroid inhalan. Panduan ARIA tahun 2007 menyarankan pendekatan stepwise
pada terapi rinitis alergi.
Pada rinitis intermiten ringan, disarankan menggunakan antihistamin oral
atau intranasal, dekongestan intranasal, dan dekongestan oral (tidak pada anak).
Untuk rinitis intermiten sedang-berat dan rinitis persisten ringan, terapi yang
disarankan adalah antihistamin oral atau intranasal, antihistamin oral bersama
dekongestan, kortikosteroid intranasal, dan chromones.
Rinitis persisten sedang-berat membutuhkan kortikosteroid intranasal
sebagai terapi lini pertama, dan tambahan kortikosteroid atau dekongestan kerja
cepat jika terjadi sumbatan. Jika gejala tidak berkurang maka bisa ditambahkan
antihistamin oral dan dekongestan dan atau ipratropium. (Braido, 2008)
1) Antihistamin
Antihistamin merupakan preparat farmakologik yang paling sering
dipakai sebagai lini pertama pengobatan rinitis alergi. Antihistamin yang
digunakan adalah antagonis H-1, yang bekerja secara inhibitor kompetitif
pada reseptor H-1 yang terdapat di ujung saraf dan epitel kelenjar pada
mukosa, sehingga efektif menghilangkan gejala rinore dan bersin akibat
dilepaskannya histamin pada rinitis alergi. Antihistamin dibagi dalam 2
golongan yaitu golongan antihistamin generasi-1 (klasik) dan generasi-2
(non sedatif). Antihistamin generasi-1 terbukti secara klinis efektif
mengurangi gejala bersin dan rinore, tetapi mempunyai efek samping
sedatif karena dapat menembus sawar otak. Antihistamin generasi kedua
seperti astemizol, loratadin, setirizin, dan terfenadin dapat menutup
kelemahan antihistamin lama karena bersifat non-sedatif dan mempunyai
masa kerja yang panjang.
2) Dekongestan
Pada rinitis alergi, pengaruh berbagai mediator akan menyebabkan
vasodilatasi pembuluh darah yang menimbulkan buntu hidung.
Dekongestan merupakan obat yang bersifat agonis alfa adrenergik yang
dapat berikatan dengan reseptor alfa adrenergik yang ada di dalam mukosa
rongga hidung dan menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah konka,
akibatnya mengurangi buntu hidung. Dekongestan dapat digunakan secara
sistemik (oral), yakni efedrin, fenil propanolamin, dan pseudo-efedrin atau
secara topikal dalam bentuk tetes hidung maupun semprot hidung yaitu
fenileprin, efedrin, dan semua derivat imidazolin. Penggunaan secara
topikal ini lebih cepat dibanding penggunaan sistemik.
3) Kortikosteroid
Kortikosteroid adalah obat antiinflamasi yang kuat dimana
penggunaan secara sistemik dapat dengan cepat mengatasi inflamasi yang
akut sehingga hanya untuk penggunaan jangka pendek yakni pada gejala
hidung buntu yang berat. Yang sering dipakai adalah kortikosteroid topikal
(beklometosa, budesonid, flusolid, flutikason, mometasonfuroat dan
triamsinolon).
.3 Imunoterapi
Imunoterapi terdapat beberapa jenis, diantaranya desensitasi, hiposensitasi
dan netralisasi. Desensitasi dan hiposensitasi membentuk blocking antibody.
Keduanya untuk alergi inhalan yang gejalanya berat, berlangsung lama dan hasil
pengobatan lain belum memuaskan.
4 Pembedahan
Tindakan konkotomi (pemotongan konka inferior) perlu dipikirkan bila
konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara
kauterisasi memakai AgNO3 25 % atau triklor asetat. (Lumbanraja, 2008;
Ilavarase, 2011)
7.komplikasi
8.prognosis
9.pencegahan