Anda di halaman 1dari 11

MODUL PENGAYAAN

GANGGUAN GINJAL

1. Tujuan
Fokus pada aspek tinjauan ini adalah kemampuan untuk:
 Memahami dan menginterpretasikan kondisi patofisiologi sebagai dasar
pemilihan obat yang rasional dan menjamin keberhasilan terapi untuk gangguan
ginjal.
 Mengidentifikasi, menganalisis dan mengevaluasi informasi terkait obat, kondisi
dan berbagai faktor spesifik pasien, aspek farmakoekonomi dalam menentukan
pilihan terapi, pengaturan regimen dosis, serta pemberian informasi yang tepat &
akurat untuk meningkatkan keberhasilan terapi untuk gangguan ginjal.
 Mengidentifikasi gejala adanya gangguan ringan (minor illness), menilai
kebutuhan pasien, menetapkan tindakan (merujuk atau memberikan terapi), dan
rekomendasi pilihan obat-obat untuk gangguan ginjal sesuai kebutuhan dengan
memperhatikan ketentuan regulasi.
 Mengevaluasi dan mengelola regimen obat untuk gangguan ginjal melalui
pemantauan kondisi pasien, komunikasi efektif dengan pasien, serta kolaborasi
dengan profesi kesehatan lain untuk memastikan efikasi dan keamanan
penggunaan obat.

2. Gangguan Ginjal
Fungsi ginjal adalah mengatur keseimbangan air, konsentrasi garam dalam darah,
keseimbangan asam-basa darah, serta ekskresi bahan buangan dan kelebihan garam
(Pearce, 2011). Gangguan ginjal ditemukan dalam bentuk Penyakit Ginjal Akut dan
penyakit Ginjal Kronik. Penyakit Ginjal Kronik (PGK) atau Gagal Ginjal Kronik (GGK)
merupakan gangguan fungsi ginjal yang progresif dan tidak dapat pulih kembali, di mana
tubuh tidak mampu memelihara metabolisme dan gagal memelihara keseimbangan cairan
dan elektrolit yang berakibat pada peningkatan ureum (Desfrimadona, 2016).

1
PGK sebagai suatu proses patofisiologi yang menyebabkan kerusakan struktural dan
fungsional ginjal ini masih menjadi permasalahan serius di dunia kesehatan (Mayuda dkk,
2017). Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2013 oleh Kementrian Kesehatan
RI, PGK ditemukan sebanyak 0,2% dari total jumlah penduduk Indonesia.
Berdasarkan Indonesian Renal Registry yang digagas oleh Perkumpulan Nefrologi
Indonesia (Pernefri) pada tahun 2016 lebih dari 8000 pasien PGK disebabkan oleh diabetes
(nefropati diabetik), dan merupakan penyebab terbanyak di Indonesia. Disusul oleh
hipertensi yang jumlahnya hampir 4000 penderita.

Gambar 1. Penyakit Ginjal

Jika penyakit ginjal kronik dapat dikenali secara dini, maka pengobatan dapat segera
dimulai, dengan demikian komplikasi akibat penyakit ini dapat dicegah. Demikian pula
pengenalan dan pengobatan hipertensi dan Diabetes Melitus secara awal serta
berkesinambungan dapat mencegah penyakit ginjal kronik
(http://p2ptm.kemkes.go.id/kegiatan-p2ptm/pusat-/diagnosis-klasifikasi-pencegahan-terapi-
penyakit-ginjal-kronis)

Tanda dan gejala yang timbul karena penyakit ginjal biasanya sangat umum (juga tampak
pada penyakit lain) seperti :
o Tekanan darah tinggi
o Perubahan jumlah kencing dan berapa kali kencing dalam sehari

2
o Adanya darah dalam kencing
o Rasa lemah serta sulit tidur
o Kehilangan nafsu makan
o Sakit kepala
o Tidak dapat berkonsentrasi
o Gatal
o Sesak
o Mual dan muntah
o Bengkak, terutama pada kaki dan pergelangan kaki,bengkak pada kelopak mata
waktu bangun tidur pagi hari

Bila ditemukan tanda dan gejala penyakit ginjal, maka yang harus dilakukan adalah :
 Kontrol gula darah pada penderita diabetes,
 Kontrol tekanan darah pada penderita hipertensi,
 Pengaturan pola makan yang sesuai dengan kondisi ginjal

Penyakit ginjal kronik tidak dapat disembuhkan,tetapi kita masih dapat mempertahankan
agar tetap berfungsi seoptimal mungkin, yaitu melalui :
 Terapi dengan obat-obatan
 Transplantasi (cangkok) ginjal
 Dialisis (cuci darah)
 Modifikasi gaya hidup

3. Klasifikasi PGK

Pengukuran fungsi ginjal terbaik adalah dengan mengukur Laju Filtrasi Glomerulus (LFG).
Melihat nilai laju filtrasi glomerulus ( LFG ) baik secara langsung atau melalui
perhitungan berdasarkan nilai pengukuran kreatinin, jenis kelamin dan umur seseorang.
Pengukuran LFG tidak dapat dilakukan secara langsung, tetapi hasil estimasinya dapat

3
dinilai melalui bersihan ginjal dari suatu penanda filtrasi. Salah satu penanda tersebut yang
sering digunakan dalam praktik klinis adalah kreatinin serum.

Menurut Chronic Kidney Disease Improving Global Outcomes (CKD KDIGO) klasifikasi
berdasarkan LFG adalah sebagai berikut :

Tabel 1. Klasifikasi PGK berdasarkan LFG

Berdasarkan albumin di dalam urin (albuminuria), penyakit ginjal kronis dibagi menjadi
seperti yang tercantum pada tabel 2 berikut ini.

Tabel 2. Klasifikasi PGK berdasarkan albumin dalam urin

* berhubungan dengan remaja dan dewasa


** termasuk nephrotic syndrome, di mana biasanya ekskresi albumin > 2200mg/ 24 jam

4. Patofisiologi Gangguan Ginjal (Wells dkk, 2015)


Penyakit Ginjal Akut (PGA) atau Acute Kidney Injury (AKI)
AKI adalah sindrom klinis yang umumnya didefinisikan sebagai penurunan fungsi ginjal
secara tiba-tiba sebagaimana dibuktikan oleh perubahan hasil pemeriksaan laboratorium,
serum kreatinin (sCr), nitrogen urea darah (BUN), dan output urin.
The Kidney Disease: Improving Global Outcomes (KDIGO) mengembangkan definisi
standar AKI sebagai berikut :

4
Dikatakan AKI jika salah satu dari kriteria berikut dipenuhi:
1. Peningkatan sCr setidaknya 0,3 mg / dL dalam waktu 48 jam
2. Peningkatan sCr paling tidak 1,5 kali nilai baseline dalam 7 hari
sebelumnya
3. Penurunan volume urin menjadi kurang dari 0,5 mL/kg/jam selama 6 jam
AKI dapat dikategorikan sebagai prerenal (hasil dari penurunan perfusi ginjal pada kondisi
jaringan parenkim tidak rusak, intrinsik (dihasilkan dari kerusakan struktural ke ginjal,
paling umum tubulus iskemik atau toksik), dan postrenal (dihasilkan dari obstruksi aliran
urin dari ginjal).

Penyakit Ginjal Kronik (PGK) atau Chronic Kidney Disease (CKD)


Penyakit ginjal kronis (PGK) didefinisikan sebagai kelainan pada struktur atau fungsi
ginjal, berlangsung selama 3 bulan atau lebih, dan memiliki implikasi bagi kesehatan.
Kelainan structural termasuk albuminuria lebih dari 30 mg / hari, adanya hematuria atau
red cell cast dalam sedimen urin, abnormalitas elektrolit karena gangguan tubular,
abnormalitas yang terdeteksi oleh histologi, kelainan struktural yang terdeteksi oleh
imaging, atau riwayat transplantasi ginjal.
PGK diklasifikasikan berdasarkan penyebab penyakit ginjal, kategori laju filtrasi
glomerulus (LFG), dan tingkat albuminuria berdasarkan rekomendasi baru dari KDIGO.
PGK stadium 5, yang sebelumnya disebut penyakit ginjal stadium akhir (End State Renal
Disease/ESRD), terjadi ketika LFG turun di bawah 15 mL / min / 1,73 m2 atau pada
pasien penerima terapi pengganti ginjal (RRT).
Prognosis tergantung pada penyebab penyakit ginjal, LFG pada saat diagnosis, derajat
albuminuria, dan adanya kondisi komorbiditas lainnya.

Faktor kerentanan meningkatkan risiko penyakit ginjal tetapi tidak secara langsung
menyebabkan kerusakan ginjal. Faktor tersebut diantaranya adalah usia lanjut, massa
ginjal berkurang dan lahir dengan berat badan rendah, ras atau etnis minoritas, riwayat
keluarga, berpenghasilan atau berpendidikan rendah, peradangan sistemik, dan
dislipidemia.

5
Faktor inisiasi secara langsung mengakibatkan kerusakan ginjal dan dapat dimodifikasi
dengan terapi obat. Faktor inisiasi diantaranya adalah diabetes mellitus, hipertensi,
glomerulonefritis, penyakit ginjal polikistik, Wegener granulomatosis, penyakit pembuluh
darah, dan nefropati HIV.

Faktor progresi mempercepat penurunan fungsi ginjal setelah inisiasi kerusakan ginjal.
Contohnya adalah glikemia pada penderita diabetes, hipertensi, proteinuria, hiperlipidemia,
obesitas, dan merokok.

5. Manifestasi Klinis (Wells dkk, 2015)

Manifestasi AKI

Manifestasi klinik pada pasien sangat bervariasi dan tergantung pada penyebab yang
mendasarinya.
Gejala pada pasien rawat jalan termasuk perubahan kebiasaan buang air kecil, berat badan
meningkat, dan nyeri panggul. Tanda-tanda termasuk edema, urin berwarna atau berbusa.

Manifestasi PGK
Pasien PGK dengan stadium 1 atau 2 biasanya tidak memiliki gejala atau gangguan
metabolisme seperti yang biasa terlihat pada stadium 3 sampai 5, seperti anemia,
hiperparatiroidisme sekunder, penyakit kardiovaskular (CVD), kekurangan gizi, dan
abnormalitas cairan dan elektrolit yang lebih umum ditemukan pada saat fungsi ginjal
memburuk.
Gejala uremik (kelelahan, lemah, napas pendek, kebingungan mental, mual, muntah,
perdarahan, dan anoreksia) umumnya tidak ditemukan pada PGK stadium 1 dan 2,
ditemukan minimal selama stadium 3 dan 4, dan umum ditemukan pada pasien dengan
stadium 5.
Pada stadium 5 mungkin juga mengalami gatal, intoleransi dingin, penambahan berat
badan, dan neuropati perifer.
Tanda dan gejala uremia merupakan dasar keputusan untuk menerapkan RRT.

6
6. Diagnosis (Wells dkk, 2015)
Pemeriksaan fungsi ginjal penting dilakukan untuk mengidentifikasi adanya penyakit ginjal
sedini mungkin agar penatalaksanaan yang efektif dapat diberikan.
Untuk mengetahui penurunan fungsi ginjal sejak dini dapat dilakukan dengan pemeriksaan
darah dan urin.
Pemeriksaan darah dengan melihat kadar kreatinin, ureum, Laju Filtrasi Glomerulus
(LFG). Pemeriksaan urin dengan melihat kadar albumin atau protein.
Riwayat medis dan pengobatan, pemeriksaan fisik, hasil pemeriksaan laboratorium, dan
imaging jika perlu, sangat penting dalam diagnosis AKI.
Kreatinin dalam serum tidak dapat digunakan secara tunggal untuk mendiagnosis AKI
karena tidak sensitif terhadap perubahan yang cepat pada LFG dan karena itu mungkin
tidak mencerminkan fungsi ginjal saat ini.
Penggunaan BUN di AKI sangat terbatas karena produksi urea dan pembersihan ginjal
sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor ekstrarenal seperti penyakit kritis, status volume,
asupan protein, dan obat-obatan.
Output urin yang diukur selama periode waktu tertentu memungkinkan penilaian jangka
pendek fungsi ginjal, tetapi kegunaannya terbatas pada kasus-kasus di mana terjadi
penurunan secara signifikan.
Selain BUN dan kreatinin, tes darah tertentu, pemeriksaan urinalisis dan sedimen
digunakan untuk membedakan penyebab AKI dan menjadi panduan untuk manajemen
pasien.

7. Terapi Gangguan Ginjal (Wells dkk, 2015)


Terapi AKI
Tujuan terapi jangka pendek termasuk meminimalkan tingkat gangguan terhadap ginjal,
mengurangi komplikasi ekstrarenal, dan mempercepat pemulihan fungsi ginjal.
Tujuan akhir adalah pemulihan fungsi ginjal ke baseline pra-AKI.

Terapi Farmakologis
 Mannitol 20% biasanya dimulai dengan dosis 12,5 hingga 25 g IV selama 3 hingga 5
menit. Kerugiannya : pemberian secara IV, risiko hiperosmolalitas, dan kebutuhan untuk

7
pemantauan keluaran urin dan elektrolit serum dan osmolalitas karena manitol dapat
berkontribusi pada AKI.
 Loop diuretik secara efektif mengurangi kelebihan cairan tetapi dapat memperburuk AKI.
Equipotent dosis loop diuretik (furosemide, bumetanide, torsemide, dan ethacrynic asam)
memiliki khasiat yang serupa. Asam ethacrynic diberikan untuk pasien alergi-sulfa.
 Infus kontinyu loop diuretik untuk mengatasi resistensi diuretik dan memiliki efek
samping yang lebih sedikit daripada bolus intermiten. Loading dose IV awal (setara
dengan furosemide 40–80 mg) harus diberikan sebelum memulai infus kontinu (setara
dengan furosemide 10-20 mg / jam).
 Metolazon umumnya digunakan karena, tidak seperti tiazid lain, ia menghasilkan diuresis
yang efektif pada GFR kurang dari 20 mL / menit (0,33 mL /detik).

Terapi PGK
Diabetes dan Hipertensi Dengan PGK
• Perkembangan PGK dapat dibatasi dengan kontrol hiperglikemia dan hipertensi yang
optimal.
• Kontrol tekanan darah (BP) yang adekuat dapat mengurangi GFR dan albuminuria pada
pasien tanpa diabetes. Pedoman KDIGO merekomendasikan target tekanan darah < 140/90
mm Hg, jika ekskresi albumin urin kurang dari 30 mg / 24 jam.
• Jika ekskresi albumin urin > 30 mg / 24 jam, target tekanan darah < 130/80 mm Hg dan
mulai terapi lini pertama dengan angiotensin converting enzyme inhibitor (ACEI) atau
angiotensin II receptor blocker (ARB).
Tambahkan diuretik thiazide dikombinasi dengan ARB jika dibutuhkan penurunan
proteinuria tambahan. Nondihydropyridine calcium channel blockers umumnya digunakan
sebagai obat antiproteinurik lini kedua ketika ACEI atau ARB dikontraindikasikan atau
tidak ditoleransi.
• Klirens ACEI berkurang dalam PGK. Oleh karena itu, harus dimulai dengan dosis terendah
diikuti peningkatan dosis bertahap untuk mencapai target tekanan darah dan juga untuk
meminimalkan proteinuria. Tidak ada satu jenis ACEI yang lebih unggul dari ACEI yang
lain.

8
Anemia dengan PGK
• Definisi anemia menurut KDIGO: Hemoglobin (Hb) kurang dari 13 g / dL untuk pria
dewasa dan kurang dari 12 g / dL untuk dewasa perempuan.
Mulai terapi Erythropoietic Stimulating Agent (ESA) pada semua pasien PGK dengan Hb
antara 9 dan 10 g / dL. Target Hb masih kontroversial.
• Kekurangan zat besi adalah penyebab utama resistensi terhadap pengobatan anemia dengan
ESA. Suplementasi zat besi diperlukan oleh sebagian besar pasien PGK untuk persediaan
zat besi yang terbuang bersama kehilangan darah yang berkelanjutan dan meningkatnya
kebutuhan zat besi.
• Terapi besi parenteral meningkatkan respons terhadap terapi ESA dan mengurangi dosis
yang diperlukan untuk mencapai dan mempertahankan target indeks. Sebaliknya, terapi
oral dibatasi karena penyerapan yang buruk dan ketidakpatuhan terhadap terapi terutama
karena efek samping.
• Sediaan besi IV memiliki profil farmakokinetik yang berbeda, yang tidak berkorelasi
dengan efek farmakodinamik.
• Efek samping dari zat besi IV termasuk reaksi alergi, hipotensi, pusing, dispnea, sakit
kepala, sakit punggung bagian bawah, artralgia, sinkop, dan radang sendi. Beberapa reaksi
ini dapat diminimalkan dengan mengurangi dosis atau laju infus. Sodium ferric gluconate,
sukrosa besi, dan ferumoxytol memiliki catatan keamanan yang lebih baik daripada produk
dekstran besi.
• Pemberian epoetin alfa subkutan (SC) lebih disukai karena akses IV tidak diperlukan, dan
dosis SC yang mempertahankan indeks target adalah 15% hingga 30% lebih rendah dari
dosis IV.
• Darbepoetin alfa memiliki waktu paruh lebih lama daripada epoetin alfa dan aktivitas
biologis yang lebih lama. Dosis diberikan lebih jarang, dimulai seminggu sekali ketika
diberikan IV atau SC.
• ESA ditoleransi dengan baik. Hipertensi adalah efek samping yang paling umum.

Pustaka
Badan Penelitian dan pengembangan Kesehatan Kementrian
Kesehatan RI Tahun 2013. Riset Kesehatan Dasar 2013.

9
Desfrimadona 2016. Kualitas Hidup Pasien Gagal Ginjal Kronik dengan Hemodialisa di
RSUP DR M Djamil Padang Tahun 2016. Diploma thesis, Universitas Andalas.

http://p2ptm.kemkes.go.id/kegiatan-p2ptm/pusat-/diagnosis-klasifikasi-pencegahan-terapi-
penyakit-ginjal-kronis

Mayuda, A, Chasani, S, Saktini, S 2017. Hubungan Antara Lama hemodialisis dengan


Kualitas Hidup Pasien Penyakit Ginjal Kronik (Studi di RSUP Dr. Kariadi Semarang).
Jurnal Kedokteran Diponegoro ,Volume 6, Nomor 2.

The International Society of Nephrology 2013. KDIGO 2012 Clinical Practice Guideline
for the Evaluation and Management of Chronic Kidney Disease. Kidney International
Supplements. Volume 3 (1).

Wells, BG, DiPiro JT, Schwinghammer TL, DiPiro CV 2015. Pharmacotherapy Handbook,
ninth ed. Mc Graw Hill Company, Inc. p 779-797.

STUDI KASUS
Seorang pasien, wanita, usia 65 tahun, datang ke dokter dengan keluhan sakit pinggang
berkepanjangan. Setelah melalui pemeriksaan dokter, diagnosisnya adalah artritis.
Dokter memberikan resep Ibuprofen 400 mg setiap 8 jam, untuk pengobatan selama 1
minggu. Pasien tersebut juga menderita hipertensi sudah lama dan sedang mengkonsumsi
obat lisinopril 20 mg/hari. Hasil laboratorium sebelumnya menunjukkan kadar kreatinin
dan ureum lebih tinggi dari normal. Nilai estimasi Laju Filtrasi Glomerulusnya : 50
ml/min/1,73 m2.

Diskusikan kasus tersebut

1. Pedoman penatalaksanaan terapi gagal ginjal


2. Mekanisme kerja, dosis, efek samping, KI, interaksi obat
3. Monitoring terapi
4. Rekomendasi gaya hidup

10
11

Anda mungkin juga menyukai