Anda di halaman 1dari 15

KH.

Abdurrahman Wahid ( Gus Dur)

Oleh: Isnaeni Qurrota A’yuni

(11180331000030)

Abstrak

Ide-ide Gus Dur tidak bisa dipisahkan dari locus, dimana dia adalah seorang pemikir keagamaan
yang lahir dari tradisi pesantren, pejuang hak minoritas, politisi, pecinta sastra, peziarah kubur,
hingga seorang manusia biasa yang menggemari berbagai hal yang sepele laiknya, wayang,
sepak bola dan sebagainya. Dalam konteks tulisan ini, apa yang bisa diambil dari pribadi Gus
Dur adalah sikapnya yang konsisten terhadap hak minoritas dan kebebasan beragama.

Gus Dur telah meninggalkan kita, dan gerbong pemikiran toleransi Gus Dur kini telah diisi oleh
berbagai elemen Muda dalam NU. Tapi sayang, belum ditemukan dentuman besar dari anak-
anak muda NU yang telah dikader oleh Gus Dur. Absennya dentuman besar pasca Gus Dur
ditengarai dengan stagnasi pemikiran Islam kontemporer. Hal ini ditandai dengan tidak
ditemukannya gagasan-gagasan besar yang bisa mengguncangkan negara. Wacana Pemikiran
Islam Indonesia masih bersifat domestik dan sebatas mengkonsumsi pemikiran dari Barat atau
Timur Tengah.

Riwayat Hidup

Dibesarkan dilingkungan pesanntren dalam lingkungan perpolitikan yang keras dan memilukan
tahun (1940-1963), GusDur lahir pada hari Jum’at kliwon di Denanyar, dekat kota Jombang,
pada tangga; 4 asaya’ban 1359 H atau 7 September 1940 M. Ayahnya KH. Wahid Hasyim,
memberi nama Abdurrahman Ad-dakhil (karena terobsesi dengan seseorang yang gagah berani
yang mampu menaklukka spanyol) kakek dari pihak ayahnya kh Hasyim Asy’ari – Hj Ny. Naqiyah
Merupakan salah satu tokoh pendiri jamiyyah Nahdlatul Ulama pada tahun 1926. Sedangkan
kakek dari jalur ibunya, Shalihah adalah KH Bisyri Syansuri. Kedua kakek GusDur sama-sama
menjadi pengasuh pesantren yang bersifat tradisionalyang lebih menekankan pada sufisme
(miistisisme islam). Oleh karena itu sangat dihormati sebagai guru dan pembimbing rohani.
Sejak NU berdiri tahun 1926, sebagian besar pesantren menjadi bagian dari NU.

Kekuatan NU terbesar berada di Jatim, khususnya di Jombang yang merupakan kota kelahiran
kellularga Gusdur, baik dari pihak ayah maupun ibu. Meskipun demikian, perjalanan kehidupan
Gus Dur tidak mencerminkan kehidupan seorang Ningrat. Dia berproses dan hidup
sebagaimana layaknya masyarakat pada umumnya.1

Gus Dur pada masa kecil belajar di pondok pesantren Tebuireng Jombang, dalam usia lima
tahun, ia sudah lancar membaca al-Qur`an. Gurunya waktu itu adalah kakeknya sendiri, K.H.
Hasyim Asy`ari. Gus Dur kecil tidak seperti kebanyakan anak-anak seusianya, ia tidak tinggal
bersama ayahnya, akan tetapi ikut bersama kakeknya. Semasa di rumah kakeknya itulah Gus
Dur kecil mulai mengenal dunia politik, dari orang-orang yang tiap hari hilir mudik di rumah
kakeknya.2

Pada akhirnya, Gus Dur harus pindah ke Jakarta, ketika ayahnya diangkat sebagai Menteri
Agama Republik Indonesia, yakni pada tahun 1950, lima tahun setelah Indonesia Merdeka.Gus
Dur pun menyelesaikan sekolah dasarnya di Jakarta.

Untuk menambah pengetahuannya Gus Dur pun dikirim untuk mengikuti kursus-kursus pilihan
yang ditentukan oleh orang tuanya, seperti les privat bahasa Belanda dan oleh Willem Buhl
gurunya disuguhi selingan musik-musik klasik barat.Buku, bola, catur, musik dan film adalah
lima hal yang tak pernah lepas dari sosok Gus Dur ketika masih kecil. 3

Setelah menamatkan dari sekolah dasar di Jakarta, Gus Dur melanjutkan ke SMEP di Tanah
Abang Jakarta, akan tetapi setelah setahun, dia dipindahkan ke SMEP Gowongan Yogyakarta.
Ibunya berharap, kepindahannya ke Yogya selain agar ia bisa melepaskan diri dari lingkungan
lama di Jakarta, juga kembali pada latar belakangnya sebagai anak kiai: mendekati pondok
pesantren.
1
Masyhud, Pluraslisme: studi atas pemikiran, sikap dan tindakan Gusdur, Yogyakarta, (Lontar media: 2018) digital
version hal. 22
2
Mohammad Rifai, Gus Dur: Biografi Singkat 1940-2009 (Jogjakarta: Garasi, 2010), hal. 33
3
Mohammad Rifai, Gus Dur, hal 39-41 .
Memang sebenarnya Gus Dur sudah mengalami pendidikan santri atau pesantren dan
religiusitas dari kedua orang tuanya. Ia belajar bahasa Arab ketika kecil dan mempunyai cukup
pengetahuan untuk dapat membaca Al-Qur`an dengan suara keras. Setelah beranjak remaja
pun ia belajar bahasa Arab secara sistematik.

Di kota Jogjalah minat baca dan kehausan Gus Dur akan ilmu pengetahuan muncul dan semakin
melesat jauh. Kota Jogja merupakan kota pelajar, dengan kehadiran universitas dan banyak
toko buku, atau buku-buku yang dimiliki kenalan gurunya atau gurunya sendiri, ataupun milik
sang bapak kos. Dari sinilah Gus Dur mengalami masa mencintai buku dan sering mengunjungi
took buku secara rutin. Di kota ini pula Gus dur menyukai pertunjukan wayang kulit. Selain itu
kebiasaan lamanya yang suka sekali menonton film menjadi rutinitas yang tak pernah
ditinggalkannya.

Setelah menamatkan sekolah di SMEP Yogya pada tahun 1957, Gus Dur pindah ke Magelang di
Pesantren Tegalrejo di bawah asuhan kiai karismatik, kiai Khudori, dari sinilah Gus Dur
mempelajari secara penuh dunia pesantren berserta keilmuannya. 4

Pada saat yang sama, selama dua tahun Gus Dur juga belajar paro waktu di Pesantren Denanyar
Jombang di bawah bimbingan kakeknya dari pihak ibu, Kiai Bisri Syansuri.setelah itu Gus Dur
melanjutkan ke pondok Pesantren Tambak Beras, di bawah asuhan Kiai Wahab Hasbullah, dari
pesantren ini hubungan Gus Dur dan Kiai Wahab Hasbullah sangat kental, sehingga Ia
mendapat dorongan untuk berproses dalam tahap belajar mengajar, bahkan Gus Dur pernah
menjadi kepala madrasah Modern. Dari pesantren inilah minat Gus Dur mulai bertambah, tidak
hanya pada studi ke-Islaman, tetapi tertarik pada studi tradisi sufistik dan mistik dari
kebudayaan dan tradisi Islam. Inilah awal dari kebiasaan Gus Dur yang sering berkunjung ke
makam-makam para wali, kiai, dan ulama pada tengah malam. 5

Pada akhirnya Gus Dur menyelesaikan studinya yang ia geluti di Indonesia dan selanjutnya
melanjutkan proses belajarnya ke luar negeri. Sebagaimana dari keturunannya, Gus Dur

4
Masyhud, Pluraslisme: studi atas pemikiran, sikap dan tindakan Gusdur, Yogyakarta, (Lontar media: 2018) digital
version hal. 32
5
Mohammad Rifai, Gus Dur, h. 49
memang dari keluarga yang haus akan ilmu pengetahuan, jadi wajar bila Gus Dur harus
melanjutkan studinya sampai ke luar negeri.

Awal belajar di luar negeri, pada tahun 1964-1969. Gus Dur masuk di Departement of Higher
Islamic and Arabic Studies, Al-Azhar Islamic University, Cairo Mesir.

Perjalanan proses belajar Gus Dur di Mesir tidak semulus dan semudah dijalankan, karena
memang harus terganjal dengan pengurusan terhadap pengakuan ijazahnya dan mata kuliah
yang sudah dipelajarinya di Indonesia.

Gus Dur merasa banyak hal dalam pelajaran yang diulang ketika belajar di Mesir, sehingga ia
begitu enggan melakukan studi formalnya dan sering tidak masuk kuliah. Di sinilah ia sering
menyalurkan hobinya mengikuti pertandingan sepak bola, membaca di perpustakaan-
perpustakaan yang besar, menonton film-film Perancis, dan ikut serta dalam diskusi di kedai-
kedai kopi yang sangat menarik. Dengan kondisi yang sedemikian, rupanya membuat Gus Dur
agak kecewa dan bosan, sehingga ia memutuskan untuk keluar dari Al-Azhar dan pindah ke
Baghdad.

Kemudian pada tahun 1970-1972 Gus Dur pindah kuliah di Fakultas Sastra Universitas Baghdad
Irak.Di sinilah Gus Dur mempunyai jadwal yang cukup ketat, mulai dari memfokuskan diri pada
riset mengenai sejarah Islam di Indonesia dan ia pun diberikan akses yang mudah untuk
pelaksanan tahapan risetnya. Ia juga mempelajari bahasa Perancis di kota ini, yang tidak
dilupakannya adalah sering melakukan ziarah kubur ke makam-makam wali kelas dunia dan
mempertajam ilmu tasawufnya. Gus Dur tetaplah Gus Dur, meskipun tidak lagi melakukan
diskusi-diskusi di kedai kopi, karena ketatnya jadwalnya akan tetapi ia menyempatkan
menonton film di bioskop.

Setelah menamatkan masa studinya di Timur Tengah, Gus Dur kemudian pindah ke Eropa untuk
melanjutkan studi pascasarjananya. Pada mulanya Gus Dur tinggal di Belanda dan berkeinginan
masuk di Universitas Leiden, akan tetapi yang terjadi pada beberapa universitas Eropa termasuk
Leiden tidak dapat menerima lulusan dari Universitas Baghdad. Gus Dur pun kecewa dengan hal
ini, untuk mengurangi beban kekecewaannya ia pun berkelana selama setahun di Eropa dan
pada pertengahan tahun 1971 Gus Dur balik ke Indonesia.

Sekembalinya dari Eropa ke Indonesia, Gus Dur pun masih saja tidak putus asa untuk
melanjukan studinya ke negeri Eropa, akhirnya Ia mendapatkan informasi adanya beasiswa ke
McGill, namun begitu niat sudah tertancap tapi urung terjadi, dikarenakan harus
melangsungkan resepsi pernikahannya. Kemudian setelah itu Gus Dur tinggal di Jombang dan
memulai langkah-langkah untuk mencari format perubahan yang harus dilakukannya dengan
cara berkeliling “silaturahim” Jawa, yang nantinya membuat Gus Dur benar-benar
mengurungkan niatnya untuk melanjutkan studinya ke luar negeri.

Gus Dur menjadi pelajar keliling di Eropa, belajar dari satu universitas ke universitas yang lain,
pada akhirnya juga sempat menetap di Belanda dan mendirikan Perkumpulan Pelajar Muslim
Indonesia dan Malaysia yang tinggal di Eropa.

Pada masa kuliahnya di luar negeri Gus Dur juga memiliki masa-masa dalam bekerja, ketika di
Mesir ia pernah mendapat pekerjaan di kedutaan Indonesia untuk Mesir, kemudian ketika di
Baghdad ia bekerja di Ar-Ramadhani, perusahaan ini mengkhususnya impor tekstil dari Eropa
dan Amerika, ketika di Eropa Ia juga bekerja di binatu milik orang Cina.ketika menetap di
Belanda Gus Dur dua kali sebulan pergi ke pelabuhan untuk bekerja sebagai pembersih kapal
tanker.

Beragam ilmu pengetahuan dan segala prosesnya dalam kemandirian, seorang Gus Dur mampu
menembus batas-batas sisi kemanusiaan yang wajar, bahkan upaya untuk dapat mandiri dalam
hidupnya pun ia mampu.

Begitulah Gus Dur dalam kisahnya mencari ilmu, selain diajar oleh guru informal yang kuat, bisa
jadi Gus Dur juga diberi karunia oleh Allah sehingga dapat cepat memahami sebuah bacaan dan
memiliki ingatan yang luar biasa akan bacaan tersebut. Mungkin inilah yang menjadi dasar bagi
seorang calon pemimpin di masa mendatang.

Dalam berproses membangun dan membina rumah tangga Gus Dur, boleh dibilang cukup unik,
perkenalannya di Jombang sebagai guru dan murid kemudian melewati jarak yang cukup jauh,
Gus Dur di Kairo dan Nuriyah di Jombang. awalnya selama beberapa tahun di kairo, Gus Dur
terus menghubungi Nuriayah lewat surat menyurat yang sangat teratur pada akhirnya Nuriyah
pun menerima Gus Dur sebagai teman hidupnya hingga melangsungkan pertunangan selama
kurun waktu dua tahun, setelah itu Gus Dur pun menikahi Nuriyah.

Gus Dur dikaruniai empat anak perempuan, mereka yaitu, Alissa Qotrunnada, Zannuba Arifah
Chafsoh, Anita Hayatunnufus, dan Inayah Wulandari. Dalam mendidik anaknya Gus Dur juga
selalu menerapkan praktik demokrasi, tidak otoriter terhadap persoalan yang dihadapi anak-
anaknya, Gus Dur hanya mengarahkan dan memberikan saran-saran dengan segala
konsekwensi terhadap beragam pilihannya.

Masa perjuangan seorang Gus Dur memang sangat panjang, berawal tapi bukan awal yang
diinginkannya, proses itu mengalir mulai dari sejak berada di Indonesia sampai di luar negeri
pun dilakukannya, mulai dari mengajar, menjadi kepala madrasah, membidangi banyak aktifitas
di luar negeri, menjadi komentator sosial dengan menulis di berbagai media cetak, bergerak
dalam lingkup LSM LP3ES, ketua PBNU, hingga menjadi Presiden RI ke-4. kesadaran Gus Dur
akan pergerakan untuk menemukan perubahan yang ideal cukup kuat, ia sangat anti kekerasan,
teguh, tangguh dan konsisten.

Gus Dur menderita banyak penyakit, bahkan sebelum menjabat sebagai Presiden sampai
setelahnya, penyakit yang ia alami seperti stroke, diabetes dan lainnya. Gus Dur wafat pada hari
Rabu, 30 Desember 2009, di rumah sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, pukul 18.45 wib,
dikarenakan oleh penyakit yang dideritanya sejak lama.

Gus Dur wafat bertepatan dengan ulang tahun ke-27 putri bungsunya, Inayah Wulandari, yang
lahir pada 31 desember 1982, selama Gus Dur dirawat di Rumah sakit RSCM, Inayah Termasuk
salah satu putri Gus Dur yang paling rajin menjaga Gus Dur.6

Karya-Karyanya

Gus Dur secara kelembagaan tidak pernah mendapatkan ijazah kesarjanaan namun ia seorang
yang cerdas, progresif dan cemerlang ide-idenya. Tetapi ia telah membuktikan bahwa ia adalah
6
Mohammad Rifai, Gus Dur, h. 51-55
seorang yang cerdas lewat idenya yang cemerlang dan kepiaweannya dalam berbahasa dan
retorika serta tulisan-tulisanya di berbagai media massa, majalah, esai, dan kegiatan-kegiatan
seminar, sarasehan serta buku-buku yang telah diterbitkan antara lain:

1. Bunga Rampai Pesantren (Darma Bahkti, 1979)


2. Muslim di Tengah Pergumulan (Leppenas, 1981)
3. Kiai Nyentrik Membela Pemerintah (Yogyakarta: LKiS, 1997)
4. Tabayyun Gus Dur (Yogyakarta: LKiS, 1998
5. Tuhan Tidak Perlu Dibela (Yogyakarta: LKiS, 1999)
6. Membangun Demokrasi (Remaja Rosda Karya, 1999)
7. Pergulatan Negara, Agama, dan Kebudayaan (Desantara, 2001)

Dari berbagai tulisannya baik buku, makalah dan esai-isai kompas tahun 90-an menunjukkan
tingkat intelektualnya. Dengan bahasa yang sederhana dan lancar, bahkan dalam penyampaian
lisanpun, Gus Dur diakui sangat komunikatif. Sebagaimana dikatakan Greg Barton meskipun
Gus Dur tidak mengenyam pendidikan –tidak memiliki gelar kesarjanaan- Barat namun berbagai
tulisannya menunjukkan ia seorang intelektual progresif dan jarang sekali dijumpai foot note
dalam berbagai tulisannya. Hal ini dikarenakan kemampuannya yang luar biasa dalam
memahami karya-karya besar tokoh-tokoh dunia (pemikir dunia seperti: Plato, Aristoteles, Karl
Max, Lenin, Max Weber, Snouck Hugronje, Racliffe Brown, dan Milinowski). Selanjutnya karya-
karya tersebut dieksplorasi secara kritis dan dikolaborasikan dengan pemikiran-pemikiran
intelektual Islam dalam memunculkan ide-ide pemikirannya. 7

Berikut daftar karya dalam perjalanan karir dan perjuangan Gus Dur:

a. Guru Madrasah Mu`allimat, Jombang (1959-1953)


b. Dosen Universitas Hasyim Asy`ari, Jombang (1972-1974)
c. Dekan Fakultas Ushuludin Universitas Hasyim Asy`ari, Jombang (1972-1974)
d. Sekretaris Pesantren Tebuireng, Jombang (1974-1979)
e. Pengasuh Pondok Pesantren Ciganjur, Jakarta (1976-2009)
f. Pendiri dan anggota Fordem (forum Demokrasi), 1990.
7
Barton Greg, Biografi Gus Dur, Yogyakarta: LKiS, 2003. H. 27
g. NU (Nahdlatul Ulama), katib Awwal PBNU 1980-1984, Ketua dewan Tanfidz
PBNU, 1994-2000.
h. Pendiri PKB (Partai Kebangkitan Bangsa)
i. P3M (Pusat Pengembangan Pemberdayaan Pesantren dan Masyarakat)
j. Pendiri The Wahid Institut.
k. Gerakan Moral rekonsiliasi Nasional, 2003, sebagai penasihat.
l. Solidaritas korban pelanggaran ham, 2002, sebagai penasihat.
m. Festifal Film Indonesia, 1986-1987, sebagai juri.
n. Ketua Umum Dewan Kesenian Jakarta, 1982-1985.
o. Himpunan Pemuda Pelajar Indonesia di Cairo Mesir, 1965, sebagai wakil ketua.
p. Non Violence Peace Movement, Seoul, Korea Selatan Presiden, 2003-sampai
beliau meninggal.
q. International Strategic Dialogue Center, Universitas Netanya, Israel.
r. Anggota dewan Internasional bersama Mikhail Gorbachev, ehud barak dan carl
bild, 2003-sampai beliau meninggal.
s. International Islamic Christian Organization for Reconciliation and
Reconstrukction (IICORR), London, Inggris. Sebagai presiden kehormatan, 2003-
sampai beliau meninggal.
t. International and Interreligious Federation for World Peace (IIFWP). New York,
Amerika Serikat. Anggota dewan penasihat Internasional. 2002-sampai beliau
meninggal.
u. Association of Muslim Community Leaders (AMCL), New York, Amerika Serikat,
Presiden, 2002.
v. Shimon Perez Center for Peace, Tel Aviv, Israel. Pendiri dan anggota. 1994-
sampai beliau meninggal.
w. World Conference on Religion and Peace (WCRP), New York, Amerika Serikat,
Presiden, 1994-1998.
x. International dialogue project for area study and law, den hag, belanda, sebagai
penasihat, 1994.
y. The Aga khan Award for Islamic Architecture, anggota dewan juri, 1980-1983.
z. Dengan kegigihannya dalam perjuangan dan pemikirannya atas kemanusiaan
baik di Indonesia maupun di dunia Gus Dur banyak sekali mendapatkan gelar
kehormatan dari berbagai lembaga dan mendapat berbagai penghargaan dari
berbagai lembaga lokal, nasional maupun internasional.

Kemudian Gus Dur juga diakui kapasitasnya di kalangan akademik sehingga beberapa kali
mendapat gelar dari berbagai universitas. 8

Pemikirannya Tentang Demokrasi

Demokrasi dan proses ke arah demokratisi selalu terkait dengan peran partai politik. Selama
belum ada penguatan terhadap partai politik, maka selama itu pula belum ada pilar yang ideal
bagi tegaknya demokrasi. Namun keharusan adanya partai politik yang kuat dan mandiri tidak
selalu dapat dipenuhi dalam waktu singkat. Hal itu tidak terlepas dari upaya rasionalisasi yang
masih dibutuhkan terhadap sistem politik dan upaya penumbuhan budaya demokrasi yang
sehat sebagai landasan pemberdayaan partai politik.

Demokrasi merupakan salah satu tema besar dalam pemikiran politik Abdurrahman wahid.
Penerimaan konsep demokrasi adalah pilihan logis yang bagi Abdurrahman wahid menganggap
sebagai salah satu dimensi dalam ajaran Islam. Menurut K.H. Abdurrahman Wahid, ada
beberapa alasan mengapa Islam disebut sebagai agama demokrasi, yaitu : 9

1. Islam adalah agama hukum, yang berarti agama Islam berlaku bagi semua orang tanpa
pandang bulu, dari pemegang jabatan tertinggi hingga rakyat hukum yang sama.
2. Islam memiliki asas permusyawaratan. Dengan demikian dalam permusyawaratan
terdapat tradisi membahas dan tradisi bersama-sama mengajukan pemikiran secara
bebas dan terbuka yang diakhiri dengan kesepakatan.
3. Islam selalu berpandangan memperbaiki kehidupan. Kehidupan umat manusia itu
tarafnya tidak boleh tetap, harus ada peningkatan agar bisa menghadapi kehidupan
selanjutnya.
8
INCReS,Beyond The Symbols, h. 36-37.
9
Listiyono Santoso, Teologi Politik K.H. Abdurrahman Wahid, Yogyakarta : Ar-Ruzz, 1999. h. 204
Sejak berakhirnya kekuasaan Presiden Soeharto pada Tahun 1998, Indonesia terlatih memasuki
proses transisi menuju demokrasi. Era KePresidenan  B.J. Habibie yang tampil setelah itu
mencoba mengintroduksi berjalanya prinsipprinsip kehidupan yang demokratis dengan
memberlakukan berbagai macam aneka kebebasan, maka lahirlah pelaksanaan kebebasan Pers,
Pelepasan narapidana politik dan tahanan politik, Penerapan sistem multipartai, Pelaksanaan
pemilihan umum yang jauh lebih jujur dan adil dibandingkan pada masa orde baru, Pemulihan
kebebasan berpendapat dan berkumpul, serta pemulihan kompetisi politik. 10

Apa yang dilakukan Presiden K.H. Abdurrahman Wahid adalah kelanjutan logis dari apa yang
dijalankan Habibie. Pada masa kekuasaan Presiden K.H. Abdurrahman Wahid dalam
melanjutkan proses demokratisasi ditandai oleh adanya amandemen UUD 1945 demi
menciptakan kedudukan legislatif yang seimbang dengan kedudukan eksekutif, Kembalinya DPR
mendapat keleluasaan menjalankan politik legislasi untuk menghasilkan  berbagai Undang-
undang, dikontrolnya militer oleh pemerintahan sipil dengan peran dwi fungsinya yang
dikurangi secara mendasar, Kembalinya partai mendapatkan haknya untuk berkuasa dan
berperan penuh. Namun demikian, pada fase ini ada sedikit permasalahan antara Pers dan
kekuasaan. Walaupun tidak sampai ada pemberangusan Pers, Presiden K.H. Abdurrahman
Wahid sedikit banyak merasa dipojokkan oleh kritik-kritik keras Pers melalui apa yangbiasa
dikatakan sebagai “pemelintiran” berita dan informasi.

Demokrasi, sebagaimana juga halnya dengan Negara. menurut K.H. Abdurrahman Wahid,
tidaklah pernah sempurna dan memuaskan. Kerelaan untuk menerima kenyataan ini justru
membangkitkan tekad selalu mengusahakan perbaikan terus menerus, agar menghampiri
kesempurnaan, sekaligus menjaga agar tidak terjadi kemerosotan dan kemacetan, apalagi
penyimpangan dan ketimpangan yang tidak perlu.11

Bagi K.H. Abdurrahman Wahid, demokrasi adalah sebuah proses. Ia selalu berada dalam bentuk
kesementaraan, dalam keadaan menjadi. Tetapi hal ini tidak boleh dijadikan alasan,
sebagaimana yang sering dilakukan oleh kaum apolgis, untuk menunda-nunda dilaksanakanya
sistem demokratis, apalagi dengan mengeluarkan dalih yang merendahkan, seperti “belum
10

11
Abdurrhman Wahid, Mengurai Hubungan Agama Dan Negara, Jakarta : PT. Grasindo,  1999. H. 213
siapnya rakyat untuk menjalankan kedaulatan rakyat dan “kurang terdidiknya rakyat” untuk
bisa menghargai kebebasan demi pelaksanaan hak warga negaranya, yang semua itu dijadikan
alasan untuk menunda sebuah perubahan.

Di atas telah disinggung pandangan K.H. Abdurrahman Wahid tentang demokrasi sebagai suatu
proses. Salah satu maksudnya ialah untuk menyatakan bahwa demokrasi tidak dipandang
sebagai suatu sistem yang pernah selesai dan sempurna atau bisa dikatakan dalam bentuk
kesementaraan, dalam keadaan menjadi. Kesukaran dari akibat pernyataan ini ialah bahwa
akan timbul reaksi yang akan menggunakan sifat “sementara” dan “tidak sempurna” dari proses
demokrasi itu, sebagai alasan pembelaan (apologia bagi sistem yang ada : bukankah itu
mengharuskan kita menerima keadaan yang ada dengan sabar, karena memang kondisi
demokrasi sekarang belum mencapai tingkat yang memuaskan semua pihak).

Oleh karena itu, demokrasi sebagai proses juga mengandung makna bahwa kadar pelaksanaan
konkret dari prinsip demokrasi itulah yang dijadikan ukuran terpenting. Dengan sistem
ketatanegaraan yang sama, artinya dengan susunan kekuasaan yang secara formal sama, bisa
didapat keadaan demokrasi yang berlain-lainan. Pada suatu waktu tertentu misalnya, sebuah
lembaga legislatif lebih berimbang pengaruhnyadengan eksekutif. Keadaan atau kondisi
demokrasi kita bisa berubah-ubah, berkembang baik atau merosot ke bawah, tergantung dari
imbangan kekuatan yang berlaku.

Demokrasi yang kita inginkan ituberoperasi dalam kenyataan kemajemukan masyarakat, yaitu
adanyaberbagai golongan dan kelompok, besar dan kecil, yang berbeda-beda bahkan
bertentangan, yang berdasarkan baik suku, agama, keyakinan, kelompok kepentingan, maupun
pengelompokan dengan dasar lainnya, yang sama-sama berhak untuk  dipertimbangkan
aspirasinya dalam mengambil keputusan politik.

Demokrasi dan mekanismenya tidak akan bisa dan memang tidak perlu, melenyapkan
perbedaanyang ada. Semboyan kekeluargaan. Sebagai sebuah perjuangan, maka demokrasi
bermakna dalam proses bukan dalam produk semata. Ini terlihatbahwa ketika Abdurrahman
wahid memberikan kritik secara tajam tentang sulitnya menegakkan demokrasi. Meskipun sulit,
dia tetap berkeyakinan bahwa demokrasi tetap harus diperjuangkan.
“Di negeri kita, demokrasi belum tegak dengan kukuh dan masih lebih berupa hiasan luar yang
bersifat kosmetik belaka daripada sikap yang melandasi pengaturan hidup yang sesungguhnya.
Dalam suasana demikian ini, unsur-unsur masyarakat yang ingin melestarikan kepincangan
sosial yang ada dewasa ini tentu akan berusaha sekuat tenaga membendung aspirasi demokrasi
yang hidup dikalangan mereka yang telah sadar akan perlunya kebebasan ditegakkan di negeri
ini.

Kalau tidak ada usaha sungguh-sungguh untuk menegakkan demokrasi yang benar di negeri ini,
tentu aspirasi-aspirasi itu akan terbendung oleh kekuatan-kekuatan anti demokrasi itu
karenanya, dari sekarang sebenarnya telah di tuntut darikita kesediaan bersama untuk
memperjuangkan kebebasan dan menyempurnakan demokrasi yang hidup di negeri kita.
Perjuangan itu haruslah dimulai dengan kesediaan menumbuhkan moralitas baru dalam
kehidupan bangsa, yaitu moralitas yang terlibat dengan penderitaan rakyat di bawah”. 12

Dalam terminologi ini, semakin jelas bahwa Perspesktif K.H. Abdurrahman Wahid tentang
demokrasi bukanlah diletakkan dalam kerangka perjuangan untuk kepentingan umat Islam
semata, melainkan sebagai cita-cita yang bersifat universal. Jika penegakan demokrasi hanya
difokuskan pada kepentingan kelompokatau agama tertentu, justru mengakibatkan terjadinya
polarisasi dalam masyarakat. Polarisasi tersebut bisa mengakibatkan keterpurukan Negara ini
ke dalam konflik-konflik yang tidak terselesaikan. Demokrasi tidak pernah berhubungan dengan
kepentingan suatu golongan atau kelompok tertentu, melainkan berhubungan dengan
kebenaran dan keadilan. K.H. Abdurrahman Wahid menganggap bahwa dalam perjalanan
sepuluh tahun terakhir telah tercapai bentuk yang sangat baik baik terhadap upaya tersebut di
atas, yaitu proses demokratisasi.

Harapan bagi tegaknya demokratisasi seperti ini menunjukkan bahwa K.H. Abdurrahman Wahid
tidak berupaya meminggirkan nilai agama dalam pendapat tersebut, melainkan hanya
memberikan suatu kontribusi tentang betapa pentingnya menegakkan demokrasi tanpa harus
melibatkan diri pada formalisasi agama. Tanpa formalisasi agama pun, demokratisasi
sesungguhnya merupakan bagian integral dari nilai-nilai agama.

12
Listiyono Santoso, Teologi Politik K.H. Abdurrahman Wahd. H. 207
Salah satu sebab yang menghambat kiprah demokratisasi bagi K.H. Abdurrahman Wahid di
kalangan lembaga keagamaan adalah perbedaan hakikat nilai-nilai dasar yang dianut keduanya.
Sebuah agama senantiasa bertititk tolak dari pandangan normatif yang diajarkan oleh kitab
sucinya. Pola pikir ini pada akhirnya menganggap bahwa hanya ada satujenis kebenaran yang
dapat diterima sebuah agama, yaitu kebenaran agamanya sendiri. Sedangkan dalam demokrasi,
justru membuka peluang seluas-luasnya bagi perubahan nilai oleh masyarakat. Peluang
tersebut dirasakan dapat “mengancam” keabadian nilai-nilai keagamaan. 13

Dalam hal ini pandangan K.H. Abdurrahman Wahid tentang demokrasi, setidaknya ditujukan
pada tiga hal:

- Pengembangan wawasan kebangsaan dengan entry pointmenolak segala bentuk


eksklusivisme dan sekterianisme.
- Kegigihan dalam mengupayakan civil societyyang berdaya.
- Penghargaan terhadap pluralisme ataukemajemukan masyarakat Indonesia.14

Satu hal yang menarik dalam pemikiran K.H. Abdurrahman Wahid adalah bahwa meskipun
demokrasi di anggap sebagai pilihan yang rasional di tengah masayarakat yang majemuk seperti
Indonesia, tetapi ia berkeyakinan bahwa emokrasi bukanlah proses yang selalu berakhir dengan
memuaskan dan sempurna. Itulah sebabnya ia menyarankan agar demokrasi harus
diperjuangkan secara terus menerus. Demokrasi bagi K.H. Abdurrahman Wahid tidaklah
mengobati apa-apa, demokrasi hanya ingin meluruskan pemerintahan yang tadinya otoriter
menjadi lebih peduli pada rakyat.

Demokrasi pada akhirnya menjadi pilihan logis bagi realitas sosial empirik negara Indonesia,
yaitu dengan menolak tunduk kepada kekuatan diktator mayoritas sekaligus juga pada tirani
minoritas. Dengan kata lain, demokrasi mengharuskan semua pihak untuk tetap diperlakukan
sama di depan Undang Undang, tidak melebihkan yang mayoritas,sekaligus juga tidak
menganak emaskan yang minoritas. Demokrasi yang demikian menjadi impian dan perjuangan

13
Abdurrhman Wahid, Mengurai Hubungan Agama Dan Negara, h. 165
14
Listiyono Santoso, Teologi Politik K.H. Abdurrahman Wahd. H. 220
K.H. Abdurrahman Wahid sejak awal kemunculannya selalu terlibat bagi upaya penegakan
demokrasi di Indonesia.

Kesimpulan

Indonesia adalah salah satu bangsa di dunia yang memiliki heteroginitas masyarakat baik dalam
hal budaya dan lainnya, jika hal ini tidak dikelola dengan baik maka akan menjadi mala petaka
yang dahsyat. Di satu sisi pluralitas masyarakat dapat menjadi kekuatan jika dikelola dengan
baik dan profesional, namun jika tidak, perbedaan cara pandang antar individu bangsa yang
plural menjadi faktor penyebab disintegrasi bangsa dan konflik yang berkepanjangan.

Sikap yang tepat menurut Abdurrahman Wahid dalam menghadapi pluralitas masyarakat baik
pluralitas agama maupun budaya serta pluralitas etnik adalah menempatkan setiap kelompok
masyarakat setara dengan kelompok lain dalam hal apapun tanpa ada diskriminasi dan
ketidakadilan.

Menurut Abdurrahman Wahid nilai-nilai universal Islam lebih penting ketimbang formalisasi
Islam yang hanya bersifat legalitas-simbolis, ia cenderung menutamkan substansi Islam karena
dengan demikian nilai-nilai universal islam tidak hnya milik orang islam tapi juga milik non
muslim seperti: demokrasi, keadilan, persamaan.

Bagi Gus Dur sikap kritis harus tetap dilakukan guna memberikan masukan bagi perbaikan
kehidupan. Ia tidak hanya menggunakan pemikiran Islam tradisional tetapi keilmuan
kesarjanaan Barat, keduanya saling melengkapi dalam rangka pemecahan masalah umat.
Dengan demikian hukum Islam akan selalu dinamis dan dengan demikian tidak akan kehilangan
relevansinya.

Cara belajar pun harus dirubah dari metode ceramah menjadi problem solving, dari menghafal
materi sebanyak-banyaknya menjadi penguasaan metodologi, dari mekanik menjadi organik,
dari memandang ilmu sebagai hasil final menjadi memandang ilmu sebagai proses yang
dinamis. Pendidik memandang anak didik sebagi pribadi otonom dengan segala potensi yang
dimilikinya sehingga akan tercipta daya kreatifitas peserta didik. Dengan demikian
demokratisasi pendidikan saat ini, dengan menempatkan kebijakan-kebijakan pendidikan  yang
berpihak pada nasib masyarakat di bawah. Dengan demikian pola penyeragaman dari atasan
seharusnya berubah dengan pola yang mengedepankan kebutuhan rakyat (dalam hal ini siswa)
di bawah. Materi pendidikan seharusnya mencakup nilai-nilai universal yang dimikili agama
diantaranya: nilai-nilai persamaan, keadilan, keterbukaan, kejujuran serta adab sopan santun.

Daftar Pustaka

Masyhud, Pluraslisme: studi atas pemikiran, sikap dan tindakan Gusdur, Yogyakarta, Lontar
media: 2018 (digital version)

Rifai, Muhammad, Gus Dur: Biografi Singkat 1940-2009 Jogjakarta: Garasi, 2010
INCReS, Beyond The Symbols

Wahid, Abdurrhman, Mengurai Hubungan Agama Dan Negara, Jakarta : PT. Grasindo,  1999

Santoso, Listiyono, Teologi Politik K.H. Abdurrahman Wahid, Yogyakarta : Ar-Ruzz, 1999

Greg, Barton, Biografi Gus Dur, Yogyakarta: LKiS, 2003

Anda mungkin juga menyukai