Anda di halaman 1dari 8

MAKALAH KONSEP AKHLAK

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI

BAB I

PENDAHULUAN

BAB II

PEMBAHASAN

A.     Definisi Akhlak

B.     Proses Terbentuknya Akhlak

C.     Tujuan dan Cara mewujudkan Akhlak

D.     Manfaat mempelajari Akhlak

E.      Persentuhan Akhlak dengan Tasawuf

BAB III

PENUTUP

A.     SIMPULAN

B.     SARAN

DAFTAR PUSTAKA

BAB I

PENDAHULUAN

Kepribadian atau akhlak seseorang tidak terbentuk secara tiba – tiba. Terdapat suatu hukum yang
universal dalam pembentukan akhlak, mulai dari perilaku sampai terbentuk sebuah akhlak. setiap
muslim dituntut untuk mengenali akhlaknya dengan baik, agar dapat mengidentifikasi akhlak negatif
mereka, sehingga mereka dapat merubah akhlak negatif tesebut sesuai dengan akhlak seorang
muslim sejati. Untuk dapat mengenali dan merubah akhlak, kita harus mampu mengetahui
bagaimana proses terbentuknya akhlak, hal - hal apa saja yang dapat mempengaruhi terbentuknya
akhlak. 

Rasulullah SAW, sering sekali melakukan pendidikan pada umatnya akan pembentukan akhlak,
bagaimana kita dalam membentuk akhlak, faktor-faktor apa saja yang dapat mempengaruhi
terbentuknya kepribadian seorang muslim. Dimana dengan mengetahui faktor-faktor yang
mempengaruhi kepribadian tersebut, Rasulullah mengharapkan agar umat muslim dapat
membentuk akhlak atau kepribadian yang sesuai dengan agama Allah. Sehingga agar umat muslim
dapat memahami akhlaknya, maka seharusnya kita mempelajari sebab dan proses terbentuknya
akhlak dalam tinjauan hadist nabi Muhammad SAW.[1]

BAB II

PEMBAHASAN

A.    Definisi Akhlak

Ada dua pendekatan yang dapat digunakan untuk mendefinisikan akhlak, yaitu pendekatan linguistik
(kebahasaan), dan pendekatan terminologik (peristilahan).

Dari sudut kebahasaan, akhlak berasal dari bahasa Arab, yaitu isim mashdar (bentuk infinitif) dari
kata akhlaqa, yukhliqu, ikhlaqan, sesuai dengan timbangan (wazan) tsulasi majid af’ala yuf’ilu,
if’alan yang berarti al-sajiyah (perangai), ath-thabi’ah (kelakuan, tabi’at, watak
dasar), al-‘adat (kebiasann, kelaziman), al-maru’ah (peradaban yang baik), dan al-din (agama).

Untuk menjelaskan pengertian akhlak dari segi istilah ini kita dapat merujuk kepada berbagai
pendapat para pakar di bidang ini. Ibn Miskawaih (w. 421 H/1030 M) yang selanjutnya dikenal
sebagai pakar bidang akhlak terkemuka dan terdahulu misalnya secara singkat mengatakan, bahwa
akhlak adalah: “Sifat yang tertanam dalam jiwa yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan
tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan”.

Sementara itu, Imam Al-Ghazali (1059 – 1111 M.) yang selanjutnya dikenal sebagai Hujjatul
Islam (Pembela Islam), karena kepiawaiannya dalam membela Islam dari berbagai paham yang
dianggap menyesatkan, dengan agak lebih luas dari Ibn Miskawaih, mengatakan, akhlak adalah:
“Sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan macam-macam perbuatan dengan gampang dan
mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.

Sejalan dengan pendapat tersebut di atas, dalam Mu’jam al-Wasith, Ibrahim Anis mengatakan
bahwa akhlak adalah: “Sifat yang tertanam dalam jiwa, yang dengannya lahirlah macam-macam
perbuatan baik atau buruk, tanpa membutuhkan pemikiran dan pertimbangan.

Selanjutnya di dalam kitab Dairatul Ma’arif, secara singkat akhlak diartikan, “Sifat-sifat manusia yang
terdidik”.[2]

B.     Proses Terbentuknya Akhlak

1.      Arti Pembentukan Akhlak

Berbicara masalah pembentukan akhlak sama dengan berbicara tentang tujuan pendidikan, karena
banyak sekali dijumpai pendapat para ahli yang mengatakan bahwa tujuan pendidikan adalah
pembentukan akhlak. Muhammad Athiyah al-Abrasyi misalnya mengatakan bahwa pendidikan budi
pekerti dan akhlak adalah jiwa dan tujuan pendidikan islam. Demikian pula Ahmad D. Marimba
berpendapat bahwa tujuan utama pendidikan islam adalah identik dengan tujuan hidup Muslim,
yaitu untuk menjadi hamba Allah yaitu hamba yang percaya dan menyerahkan diri kepada-Nya
dengan memeluk agama Islam. (Abuddin Nata, 2013: 133).

Menurut sebagian ahli bahwa akhlak tidak perlu dibentuk, karena akhlak adalah
insting (garizah) yang dibawa manusia sejak lahir. Bagi golongan ini bahwa masalah akhlak adalah
pembawaan dari manusia sendiri, yaitu kecenderungan kepada kebaikan atau fitrah yang ada dalam
diri manusia, dan dapat juga berupa kata hati atau intuisi yang selalu cenderung kepada kebenaran.
Dengan pandangan seperti ini, maka akhlak akan tumbuh dengan sendirinya, walaupun tanpa
dibentuk atau diusahakan (ghair muktasabah). Kelompok ini lebih lanjut menduga bahwa akhlak
adalah gambaran batin sebagaimana terpantul dalam perbuatan lahir. Perbuatan lahir ini tidak akan
sanggup mengubah perbuatan batin. Orang yang bakatnya pendek misalnya tidak dapat dengan
sendirinya meninggalkan dirinya. Demikian sebaliknya.

Selanjutnya ada pula pendapat yang mengatakan bahwa akhlak adalah hasil dari pendidikan, latihan,
pembinaan dan perjuangan keras dan sungguh-sungguh. Kelompok yang mendukung pendapat yang
kedua ini umumnya datang dari ulama-ulama Islam yang cenderung pada akhlak. Ibnu Miskawaih,
ibn Sina, al-Ghazali, dan lain-lain termasuk kepada kelompok yang mengatakan bahwa akhlak adalah
hasil usaha (Muktasabah). Imama al-Ghazali misalnya mengatakan sebagai berikut: “Seandainya
akhlak itu tidak dapat menerima perubahan, maka batallah fungsi wasiat, nasihat, dan pendidikan
dan tidak ada pula fungsinya hadits nabi yang mengatakan, “perbaikilah akhlak kamu sekalian”.

Dengan uraian tersebut di atas kita dapat mengatakan bahwa akhlak merupakan hasil usaha dalam
mendidik dan melatih dengan sungguh-sungguh terhadap berbagai potensi rohaniah yang terdapat
dalam diri manusia. Jika program pendidikan dan pembinaan akhlak itu dirancang dengan baik,
sistematik dan dilaksanakan dengan sungguh-sungguh, maka akan menghasilkan anak-anak atau
orang-orang yang baik akhlaknya. Disinilah letak peran dan fungsi lembaga pendidikan.

Dengan demikian, pembentukan akhlak dapat diartikan sebagai usaha sungguh-sungguh dalam
rangka membentuk anak, dengan menggunakan sarana pendidikan dan pembinaan yang terprogram
dengan baik dan dilaksanakan dengan sungguh-sungguh dan konsisten. Pembentukan akhlak ini
dilakukan berdasarkan asumsi bahwa akhlak adalah hasil usaha pembinaan, bukan terisi dengan
sendirinya. Potensi rohaniah yang ada dalam diri manusia, termasuk di dalamnya akal, nafsu amarah,
nafsu syahwat, fitrah, kata hati, hatinurani, dan intuisi dibina secara optimal dengan cara dan
pendekatan yang tepat. [3]

2.      Aspek-aspek yang Mempengaruhi Bentuk Akhlak

Setiap perilaku manusia, didasarkan atas kehendak. Apa yang telah dilakukan oleh manusia timbul
dari kejiwaan. Walaupun pancaindera kesulitan melihat pada dasar kejiwaan namun dapat dilihat
dari wujud kelakuan. Maka setiap kelakuan pasti bersumber dari kejiwaan. (A. Mustofa, 1997: 82).

Apabila ditinjau dari segi akhlaknya kejiwaan maka perilaku dilakukan, atas dasar pokok-pokok
sebagai berikut.

a.       Insting

Definisi insting oleh ahli jiwa masih ada perselisihan pendapat. Namun perlu diungkapkan juga,
bahwa menurut James, insting ialah suatu alat yang dapat menimbulkan perbuatan yang
menyampaikan pada tujuan dengan berfikir lebih dahulu ke arah tujuan itu dan tiada dengan
didahului latihan perbuatan itu.
Untuk lebih mendekatkan pengertian “INSTING”, maka ada beberapa sifatnya, (Menurut A. Mustofa,
1997: 82 – 85) antara lain:

1)      Kekuatan insting ini berbeda menurut perbedaan orang dan bangsanya, ia kuat dan lemah
menurut ketinggian akal bagi seseorang atau bangsa, dan mengingat keadaan yang meliputinya.

2)      Saat tapaknya insting yang bermacam-macam ini tidak terbatas dan tidak teratur dalam
manusia, sebagaimana teraturnya pada binatang.

3)      Banyak terjadi pertentangan antara insting-insting, sehingga menimbulkan kegoncangan dan


keragu-raguan dalam kelakuan manusia, seperti orang yang mempunyai insting suka memiliki serba
kuat dan ia mempunyai juga insting yang kuat untuk menghasilkan kebaikan bagi pergaulan umum.

4)      Insting-insting itu kelihatan dalam bentuk pendorong untuk berbuat, insting marah mendorong
timbulny akata yang tajam atau membalas dendam, dan insting suka mengetahui mendorong untuk
mengemukakan pertanya-pertanyaan, membaca buku, dan menyelidiki hal-hal yang belum
diketahui.

5)      Insting itu adalah asas bagi perbuatan manusai. Dia melakukan perbutan yang bermacam-
macam dalam sehari-harinya: ia bangun tidur, berpakaian, makan pagi, dll perbuatan yang beraneka
warna.

b.      Pola Dasar Bawaan (Turunan)

Pada awal perkembangan kejiwaan primitif, bahwa ada pndapat yang mengatakan kelahiran
manusia itu sama. Dan yang membedakan adalah faktor pendidikan. Tetapi pendapat baru
mengatakan tidak ada dua orang yang keluar di alam kewujudan sama dalam tubuh, akal dari
akhlaknya.

Ada teori yang mengemukakan masalah turunan (bawaan), yaitu:

1)      Turunan (pembawaan) sifat-sifat manusia. Di mana-mana tempat orang membawa turunan


dengan beberapa sifat yang bersamaan. Seperti bentuk, pancaindera, perasaan, akal dan kehendak.
Dengan sifat-sifat manusia yang diturunkan ini, manusia dapat mengalahkan alam di dalam
beberapa perkara, sedang seluruh binatang tidak dapat menghadapinya.

2)      Sifat-sifat bangsa. Selain adat kebiasaan tiap-tiap bangsa, ada juga beberapa sifat yang
diturunkan (dibawa) sekelompok orang terdahulu kepada orang sekarang. sifat-sifat ini ialah
menjadikan beberapa orang dari tiap-tiap bangsa berlainan dengan beberapa bangsa lain, bukan saja
dalam bentuk mukanya bahkan juga dalam sifat-sifat yang mengenai akal. Bagaimana juga telah
ditetapkan orang ahli pengetahuan perbedaan jens manusia (Ethnologists). Maka bangsa Neger,
Mongol dan bangsa Latin dan lain-lainnya mempunyai sifat-sifat yang bersamaan dengan manusia
lain, akan tetapi di samping itu tiap-tiap dari mereka mempunyai sifat-sifat yang tertentu yang
membedakan dengan lainnya.

c.       Lingkungan

Lingkungan ialah suatu yang melingkungi tubuh yang hidup. Lingkungan tumbuh-tumbuhan oleh
danya tanah dan udaranya, lingkungan manusia ialah apa yang melingkunginya dari negeri, lautan,
sungai, udara dan bangsa.

Lingkungan ada dua macam yaitu:

1)      Lingkungan alam
2)      Lingkungan pergaulan

d.      Kebiasaan

Ada pemahaman singkat bahwa kebiasaan perbuatan yang diulang-ulang terus sehingga mudah
dikerjakan bagi seseorang. Seperti kebiasaan berjalan, berpakaian, berbicara, berpidato, mengajar
dan lain sebagainya.

Orang berbuat baik atau buruk karena dua faktor kebiasaan, yaitu:

1)      Kesukaan hati terhadap pekerjaan

2)      Menerima kesukaan itu, yang akhirnya menampikkan perbuatan. Dan diulang-ulang terus
menerus.

Adapun fungsi kebiasaan yaitu:

1)      Menghemat waktu

2)      Menghemat waktu dan perhatian

e.       Kehendak

Suatu perbuatan ada yang berdasar atas kehendak dan bukan hasil kehendak. Contoh yang
berdasarkan kehendak adalah menulis, membaca, mengarang atau berpidato dan lain sebagainya.
Adapun contoh yang berdasarkan bukan kehendak adalah detik hati, bernafas dan gerak mata. [4]

C.      Tujuan dan Cara mewujudkan Akhlak

1.      Tujuan

Pada dasarnya, tujuan pokok akhlak adalah agar setiap muslim berbudi pekerti, bertingkah laku,
berperangai, atau beradat-istiadat yang baik sesuai dengan ajaran Islam. Kalau diperhatikan, ibadah-
ibadah inti dalam Islam memiliki tujuan pembinaan akhlak mulia.

Dengan demikian, tujuan akhlak terbagi menjadi dua macam, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus.
Tujuan umumnya adalah membentuk kepribadian seorang muslim yang memiliki akhlak mulia, baik
secara lahirian maupun batiniah.

Adapun tujuan akhlak secara khusus adalah:

a.       Mengetahui tujuan utama diutusnya Nabi Muhammad saw

b.      Menjembatani kerenggangan antara akhlak dan ibadah mengimplementasikan pengetahuan


tentang akhlak dalam kehidupan[5]

Ada beberapa tujuan dalam mempelajari ilmu akhlak, yaitu sebagai berikut:

a.       Irsyad  : Artinya dapat membedakan antara amal yang baik dan amal yang buruk.

b.      Taufiq  : Perbuatan kita sesuai dengan tuntunan rasulullah saw dan dengan akal yang sehat.

c.       Hidayah : Berarti seseorang akan gemar melakukan yang baik dan terpuji serta menghindari
yang buruk dan tercela.

Jika tujuan Ilmu Akhlak tersebut dapat tercapai, maka manusia akan memiliki kebersihan batin yang
pada gilirannya dapat melahirkan perbuatan yang terpuji. Dari perbuatan yang terpuji ini akan
lahirlah keadaan masyarakat yang damai, harmonis, rukun, sejahtera lahir dan batin, yang
memungkinkan ia dapat beraktivitas guna mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan kebahagiaan
hidup di akhirat.

2.      Cara Mewujudkan Akhlak

Pembinaan akhlak adalah merupakan tumpuan perhatian pertama dalam Islam. Hal ini dapat dilihat
dari salah satu misi kerasulan nabi Muhammad saw yang utama adalah untuk menyempurnakan
akhlak yang mulia. Dalam salah satu haditsnya, beliau menegaskan, “Hanya saja Aku diutus untuk
menyempurnakan akhlak yang mulia”. (HR. Ahmad).

Pembinaan akhlak dalam Islam juga terintegrasi dengan pelaksanaan rukun iman. Hasil analisis
Muhammad al-Ghazali terhadap rukun islam yang lima telah menunjukkan dengan jelas, bahwa
dalam rukun islam yang lima itu terkandung konsep pembinaan akhlak. Diantaranya, syahadat,
shalat, zakat, puasa, dan naik haji.[6]

D.    Manfaat mempelajari Akhlak

Berkenaan dengan manfaat mempelajari Ilmu Akhlak ini, Ahmad Amin mengatakan sebagai berikut:

Tujuan mempelajari Ilmu Akhlak dan permasalahannya menyebabkan kita dapat menetapkan
sebagian perbuatan lainnya sebagian yang baik dan sebagian perbuatan lainnya sebagai yang buruk.
Bersikap adil termasuk baik, sedangkan berbuat dzolim termasuk perbuatan yang buruk, membayar
utang kepada pemiliknya termasuk perbuatan baik, sedangkan mengingkari utang termasuk
perbuatan yang buruk.

Selanjutnya, Mustafa Zahri mengatakan bahwa tujuan perbaikan akhlak itu, ialah untuk
membersihkan kalbu dari kotoran-kotoran hawa nafsu dan amarah sehingga hati menjadi suci
bersih, bagaikan cermin yang dapat menerima Nur cahaya Tuhan.

Keterangan tersebut memberi petunjuk bahwa ilmu akhlak berfungsi memberikan panduan kepada
manusia agar mampu menilai dan menentukan suatu perbuatan untuk selanjutnya menetapkan
bahwa perbuatan tersebut termasuk perbuatan yang baik atau yang buruk.

Selain itu Ilmu Akhlak juga akan berguna secara efektif dalam upaya membersihkan diri manusia dari
perbuatan dosa dan maksiat. Diketahui bahwa manusia memiliki jasmani dan rohani. Jasmani
dibersihkan secara lahiriyah melalui fikih, sedangkan rohani dibersihkan secara bathiniyah melalui
akhlak.

Dengan demikian, secara ringkas dapat dikatakan bahwa Ilmu Akhlak bertujuan untuk memberikan
pedoman atau penerangan bagi manusia dalam mengetahui perbuatan baik atau buruk. Terhadap
perbuatan yang baik ia berusaha melakukannya, dan terhadap perbuatan yang buruk ia berusaha
untuk menghindarinya.[7]

Selain itu, berkenaan dengan manfaat mempelajari ilmu akhlak, Ahmad Amin dalam Rosihon Anwar
(2010: 28 – 29) mengatakan bahwa “Tujuan mempelajari akhlak dan permasalahannya
menyebabkan kita dapat menetapkan  sebagian perbuatan lainnya sebagai yang baik dan sebagian
lainnya yang buruk. Bersikap adil termasuk baik, sedangkan berbuat dzolim termasuk buruk;
membayar utang kepada pemiliknya termasuk perbuatan baik, sedangkan mengingkari utang
termasuk perbuatan buruk.”

Adapun menurut A. Mustofa (1997: 26) mengatakan bahwa orang yang berakhlak karena ketakwaan
kepada Tuhan semata-mata, maka dapat menghasilkan kebahagiaan, antara lain:

1.      Mendapat tempat yang baik di dalam masyarakat


2.      Akan disenangi orang dalam pergaulan

3.      Akan dapat terpelihara dari hukuman yang sifatnya manusiawi dan sebagai makhluk yang
diciptakan oleh Tuhan

4.      Orang yang bertakwa dan berakhlak mendapat pertolongan dan kemudahan dalam
memperoleh keluhuran, kecukupan, dan sebutan yang baik.

5.      Jasa manusia yang berakhlak mendapat perlindungan dari segala penderitaan dan kesukarab.

Ada apula menurut Dr. Hamzah Ya’cub dalam A. Mustofa (1997: 31 – 39) menyatakan bahwa hasil
atau hikmah dan faedah dari akhlak, adalah sebagai berikut:

1.      Meningkatkan derajat manusia

2.      Menuntun kepada kebaikan

3.      Manifestasi kesempurnaan iman

4.      Keutamaan di hari kiamat

5.      Kebutuhan pokok dalam keluarga

6.      Membina kerukunan antar tetangga

7.      Untuk mensukseskan pembangunan bangsa dan negara

8.      Dunia betul-betul membutuhkan akhlakul karimah

E.     Persentuhan Akhlak dengan Tasawuf

Para ahli Ilmu Tasawuf pada umumnya membagi tasawuf kepada ketiga bagian. Pertama tasawuf
falsafi, kedua tasawuf akhlaki dan ketiga tasawuf amali. Ketiga macam tasawuf ini tujuannya sama,
yaitu mendekatkan diri kepada Allah dengan cara membersikan diri dari perbuatan yang tercela dan
menghias diri dengan perbuatan yang terpuji. Dengan demikian, dalam proses pencancapaian tujuan
bertasawuf seseorang harus lebih dahulu berakhlak mulia. Ketiga macam tasawuf ini berbeda dalam
hal pendekatan yang digunakan.

Hubungan antara ilmu Akhlak dengan Ilmu tasawuf lebih lanjut dapat kita ikuti uraian yang diberikan
Harun Nasution. Menurutnya ketika mempelajari tassawuf ternyata pula bahwa Al-Qur’an dan al-
Hadits mementingkan akhlak. Al-qur’an dan al-Hadits menenkankan nilai-nilai kejujuran, kesetia
kawanan, persaudaraan, rasa kesosialan, keadilan, tolong menolong, murah hati, suka memberi
maaf, sabar, baik sangka, berkata benar, pemurah, keramahan, bersih hati, berani, kesucian, hemat,
serupa ini yang harus dimiliki oleh seorang Muslim, dan dimassukan kedalam dirinya dari semasa ia
kecil.

Sebagaimana diketahui bahwa dalam taswuf masalah ibadah amat menanjol, karena bertasawuf itu
pada hakikatnya melakukan serangkaian ibadah seperti salat, puasa, haji, dzikir, dan lain sebagainya,
yang semuanya itu dilakukan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. Ibadah yang dilakukan
dalam rangka bertasawuf itu ternyata erat hubungannya dengan akhlak. Dalam hubungan ini Harun
Nasution lebih lanjut mengatakan, bahwa Ibadah dalam Islam erat sekali hubungannya dengan
pendidikan akhlak. Ibadah dalam Al-Qur’an dikaitkan dengan takwa, dan takwa berarti
melaksanakan perintah Tuhan dan menjauhi larangan-Nya, yaitu orang yang berbuat baik dan jauh
dari yang tidak baik. Inilah yang dimaksud dengan ajaran amal ma’ruf nahi munkar, mengajak orang
pada kebaikan dan mencegah orang dari hal-hal yang tidak baik. Tegasnya orang yang bertakwa
adalah orang yang berakhlak mulia. Harun Nasution lebih lanjut mengatakan, kaum sufilah, terutama
yang pelaksanaan ibadahnya membawa kepada pembinaan akhlak mulia dalam diri mereka. Hal itu,
dalam istilah sufi disebut dengan al-takhalluq bi akhlaqillah, yaitu berbudi pekerti dengan budi
pekerti Allah, atau al-ittishaf bi shifatillah, yaitu mensifati diri dengan sifat sifat yang dimiliki Allah.[8]

BAB III

PENUTUP

A.    SIMPULAN

Usaha-usaha pembinaan akhlak melalui berbagai lembaga pendidikan dan melalui berbagai macam
metode terus dikembangkan. Ini menunjukkan bahwa akhlak perlu dibina. Dari pembinaan tersebut
akan terbentuk pribadi-pribadi muslim yang berakhlak mulia, taat kepada Allah dan rasul-Nya
hormat kepada ibu bapak dan sayang kepada sesama mahluk ciptaan Allah. 

Dengan demikian pembentukan akhlak dapat diartikan sebagai usaha-usaha sungguh-sungguh dalam
rangka membentuk akhlak anak, dengan menggunakan sarana pendidikan dan pembinaan yang
terprogram dengan baik dan dilaksanakan dengan sungguh-sungguh dan konsisten.

B.     SARAN

Sebagai umat manusia kita harus senantiasa taat menjalankan perintahnya agama, yaitu dengan
menjalankan segala perintah Allah, serta meninggalkan apa-apa yang dilarang olehnya, di abad 21
ini, mungkin banyak diantara kita yang masih berkurang memperhatikan dan mempelajari akhlak.
Yang perlu diingat, bahwa Tauhid sebagai inti ajaran Islam yang memang seharusnya kita
utamakan,disamping mempelajari akhlak. Karena tauhid merupakan realisasi akhlak seorang hamba
terhadap Allah, seseorang yang bertauhid dan baik akhlaknya berarti ia adalah sebaik-baiknya
manusia.

DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Rosihon, Akhlak Tasawuf. Pustaka Setia, 2010. Bandung

http://open-mi.blogspot.com/2012/12/sebab-sebab-dan-proses-terbentuknya.html (kamis, 04
september 2014 15:22

Mustofa, A., Akhlak Tasawuf, 1997, CV. Pustaka Setia. Bandung

Nata, Abibuddin, Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia, 2013. Rajawali Pers, cet 12 .Jakarta

Anda mungkin juga menyukai