Anda di halaman 1dari 29

MAKALAH JIWA

ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK KORBAN PEMERKOSAAN

DISUSUN : UNTUK MELENGKAPI TUGAS MATA KULIAH KEPERAWATAN


JIWA II
DOSEN PENGAMPU: Ns. Bettie Febriana, S.Kep.,M.Kep

Disusun Oleh:
ENDAH AYUNENGRUM
30901900065

PRODI S1 KEPERAWATAN
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG
TAHUN AJARAN 2020

1
KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur Saya Panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat
limpahan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga dapat menyusun makalah ini tepat pada waktunya.
Makalah ini membahas “ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK KORBAN
PEMERKOSAAN”. Dalam penyusunan makalah ini, saya banyak mendapat hambatan akan
tetapi dengan bantuan dari berbagai pihak hambatan itu bisa teratasi. Olehnya itu, saya
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu
dalam penyusunan makalah ini, semoga bantuannya mendapat balasan yang setimpal dari Tuhan
Yang Maha Esa. Saya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari
bentuk penyusunan maupun materinya. Kritik konstruktif dari pembaca sangat diharapkan untuk
penyempurnaan makalah selanjutnya. Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat
kepada kita sekalian.

Semarang, Maret 2021

Endah Ayunengrum
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................................................................2
BAB 1.........................................................................................................................................................4
PENDAHULUAN.......................................................................................................................................4
A. Latar Belakang..............................................................................................................................4
B. Rumusan Masalah.........................................................................................................................5
C. Tujuan Makalah............................................................................................................................5
Bab II...........................................................................................................................................................6
Pembahasan.................................................................................................................................................6
A. Pengertian Pemerkosaan...............................................................................................................6
B. Jenis-Jenis Korban Pemerkosaan.................................................................................................6
C. Tanda dan Gejala..........................................................................................................................7
D. Faktor Penyebab............................................................................................................................8
E. Batasan KarakteristiK..................................................................................................................9
F. Patofisiologi..................................................................................................................................10
G. Dampak-Dampak Korban Pemerkosaan...............................................................................14
H. Pengobatan...............................................................................................................................15
I. Asuhan Keperawatan..................................................................................................................16
J. Aspek Pemeriksaan Fisik............................................................................................................19
K. Aspek Pemeriksaan Penunjang..............................................................................................21
L. Diagnosa Keperawatan................................................................................................................23
BAB III......................................................................................................................................................32
PENUTUP.................................................................................................................................................32
A. KESIMPULAN............................................................................................................................32
B. SARAN.........................................................................................................................................33
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................................34

3
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pemerkosaan adalah sebuah tindakan pemaksaan maupun tindakan lain yang


dapat digolongkan sebagai pemaksaan atau ancaman atau tindakan lain yang dapat
digolongkan sebagai ancaman untuk melakukan penetrasi. Penetrasi ini juga tidak hanya
dimaknai sebagai masuknya penis ke dalam vagina, namun dimaknai secara luas sebagai
masuknya apapun, baik organ tubuh maupun non-organ tubuh, ke dalam bagian tubuh
apapun.

Di Indonesia sendiri kasus tindak pidana perkosaan setiap tahunnya meningkat,


korbannya bukan hanya dari kalangan dewasa saja namun juga merambat ke anak-anak.
Kebanyakan korban dari kasus pemerkosaan ini adalah anak dibawah umur yang tidak
berdaya dan takut untuk melakukan perlawanan. Bahkan korban-korban pemerkosaan ini
tidak hanya perempuan tetapi bisa juga laki-laki.

Pelaku pemerkosaan terhadap anak sering kali justru dari lingkungan terdekat
anak, yaitu rumah tangga, sekolah, dan lingkungan masyarakat. Pelakunya adalah orang
yang seharusnya menjaga dan melindung anak, seperti orang tua, kakak laki-laki, paman,
pacar, teman, guru, kepala sekolah, bapak/ ibu angkat dan bapak/ibu tiri. Hal ini
mencerminkan bahwa adanya kebobrokan moral di Indonesia. Perlu adanya penanganan
dan penelitian secara khusus tentang factor-faktor yang menyebabkan banyaknya kasus
pemerkosaan yang terjadi di negara ini.

Laporan dari tahun ke tahun kasus pemerkosaan pada anak mengalami


peningkatan yang terus menurus, menurut laporan dari Lembaga Perlindungan Saksi dan
Korban (LPSK) yang terjadi sejak 2016 sejumlah 25 kasus, meningkat pada 2017
menjadi 81 kasus, meningkat pada 2018 menjadi 206 kasus, dan pada Juni 2019 telah
mencapai 78 kasus. 80,23% yang melakukan kasus ini adalah orang terdekat dari anak
dan 19,77% lainnya dilakukan oleh orang tidak dikenal. Fenomena ini menggambarkan
adanya darurat kekerasan seksual pada anak.

Perlindungan Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan


Anak (Kemen PPPA), menyebutkan sejak Januari hingga 31 Juli 2020 tercatat ada 4.116
kasus kekerasan pada anak di Indonesia. dari angka tersebut yang paling banyak dialami
oleh anak adalah kekerasan seksual. Hal itu berdasarkan data Sistem Informasi Online
Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) sejak 1 Januari hingga 31 Juli 2020.
Dari angka ini (4.116 kasus), angka yang paling tinggi itu angka korban kekerasan
seksual, Jika dirincikan ada 2.556 korban kekerasan seksual, 1.111 korban kekerasan
fisik, 979 korban kekerasan psikis. Kemudian, ada 346 korban pelantaran, 73 korban
tindak pidana perdanganan orang (TPPO) dan 68 korban eksploitasi. Sebanyak 3.296
korban anak perempuan dan 1.319 anak laki-laki.

Korban pemerkosaan ini berpotensi mengalami dampak yang berupa trauma


parah karena peristiwa perkosaan dapat menyebabkan guncangan pada jiwa anak, dimana
guncangan kejiwaan ini dapat dialami saat kejadian tersebut terjadi maupun setelah
kejadian itu terjadi. Goncangan kejiwaan ini dapat disertai dengan reaksi fisik maupun
psikis, secara umum pemerkosaan ini dapat menimbulkan dapak sangat besar bagi anak
dari yang berjangka pendek maupun jangka panjang.

B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan Pemerkosaan?


2. Apa saja jenis pemerkosaan?
3. Bagaimana dampak korban pemerkosaan yang dialami oleh anak?
4. Apa saja asuhan keperawatan yang dilakukan kepada korban pemerkosaan?

C. Tujuan Makalah

1. Untuk mengetahui apa itu pemerkosaan


2. Untuk mengetahui jenis-jenis pemerkosaan
5
3. Untuk mengetahui dampak pemerkosaan yang dialami oleh anak
4. Untuk mengetahui asuhan keperawatan yang akan dilakukan kepada anak korban
pemerkosaan.

BAB II

Pembahasan

A. Pengertian Pemerkosaan

Menurut Wirdjono Prodjodikoro mengungkapkan bahwa perkosaan adalah


“Seorang laki-laki yang memaksa seorang perempuan yang bukan istrinya untuk
bersetubuh dengan dia, sehingga sedemikian rupa ia tidak dapat melawan, maka dengan
terpaksa ia mau melakukan persetubuhan itu.”
R. Sugandhi menyatakan bahwa yang dimaksud dengan perkosaan adalah
“seseorang pria yang memaksa pada seorang wanita bukan isterinya untuk melakukan
persetubuhan dengannya dengan ancaman kekerasan, yang mana diharuskan kemaluan
pria telah masuk ke dalam lubang kemaluan seorang wanita yang kemudian
mengeluarkan air mani.
Jadi dapat disimpulkan bahwa Perkosaan adalah laki-laki yang memaksa seorang
wanita yang bukan istrinya untuk melakukan persetubuhan dengannya dengan suatu
tindakan kekerasan.

B. Jenis-Jenis Korban Pemerkosaan


1. Sadistic Rape
Perkosaan sadistis, artinya pada tipe ini seksualitas dan agresif berpadu dalam
bentuk yang merusak. Pelaku pemerkosaan telah nampak menikmati kesenangan
erotic bukan melalui hubungan seksnya, melainkan melalui serangan yang
mengerikan atas alat kelamin dan tubuh korban.
2. Anger Rape
Merupakan penganiayaan seksual yang bercirikan seksualitas yang menjadi
sarana untuk menyatakan dan melampiaskan rasa geram dan marah yang tertahan.
Tubuh korban disini seakan akan merupakan obyek terhadap siapa pelaku yang
memproyeksikan pemecahan atas frustasi-frustasi, kelemahan, kesulitan, dan
kekecewaan hidupnya.
3. Domination Rape
Merupakan suatu perkosaan yang terjadi ketika pelaku mencoba untuk gigih atas
kekuasaan dan superioritas terhadap korban. Tujuannya adalah penaklukan seksual,
pelaku menyakiti korban, namun tetap memiliki keinginan berhubungan seksual.\
4. Seductive Rape
Suatu perkosaan yang terjadi pada situasi-situasi yang merangsang yang tercipta
oleh kedua belah pihak. Pada mulanya korban memutuskan bahwa keintiman
personal harus dibatasi tidak sampai sejauh persenggamaan. Pelaku pada umumnya
mempunyai keyakinan membutuhkan paksaan, oleh karena tanpa itu tidak
mempunyai perasaan bersalah yang menyangkut seks.
5. Victim Precipitated Rape
Merupakaan perkosaan yang terjadi (berlangsung) dengan menempatkan korban
sebagai pencetusnya..
6. Exploitation Rape
Perkosaan yang menunjukkan bahwa pada setiap kesempataan melakukan
hubungan seksual yang diperoleh oleh laki-laki dengan mengambil keuntungan yang
berlawanan dengan posisi perempuan yang bergantung padanya secara ekonomis dan
social. Misalnya istri yang diperkosa oleh suaminya atau pembantu rumah tangga
yang diperkosa oleh majikannya, sedangkan pembantunya tidak mempersoalkan atau
mengadukan kasusnya ini kepada pihak yang berwajib.

C. Tanda dan Gejala


1. Terdapat stressor yang berat dan jelas (kekerasan, perkosaan), yang akan
menimbulkan gejala penderitaan yang berarti bagi hamper setiap orang.
2. Penghayatan yang berulang-ulang dari trauma itu yang dibuktikan oleh terdapatnya
paling sedikit satu dari hal berikut:

7
a. Ingatan berulang dan menonjol tentang peristiwa itu
b. Mimpi-mimpi berulang dari peristiwa itu
c. Timbulnya secara tiba-tiba perilaku atau perasaan seolah-olah peristiwa traumatik
itu sedang timbul kembali, karena berkaitan dengan suatu gagasan atau stimulus/
rangsangan lingkungan.
3. Penumpulan renspons terhadap atau berkurangnya hubungan dengan dunia luar
(“psychic numbing” atau “anesthesia emotional”) yang dimulai beberapa waktu
sesudah trauma dan dinyatakan paling sedikit satu dari hal berikut:
a. Berkurangnya secara jelas minat terhadap satu atau lebih aktivitas yang cukup berarti;
b. Perasaan terlepas atau terasing dari orang lain;
c. Afek (alam perasaan) yang menyempit (constricted affect) atau efek depresif
(murung, sedih, putus asa).
d. Paling sedikit ada dua dari gejala-gejala berikut ini yang tidak ada sebelum trauma
terjadi, yaitu:
e. Kewaspadaan atau reaksi terkejut yang berlebihan;
f. Gangguan tidur (disertai mimpi-mimpi yang menggelisahkan);
g. Perasaan bersalah karena lolos dari bahaya maut, sedangkan orang lain tidak, atau
merasa bersalah tentang perbuatan yang dilakukannya agar tetap hidup;
h. Hendaya (impairment) daya ingat atau kesukaran konsentrasi
i. Penghindaran diri dari aktivitas yang membangkitkan ingatan tentang peristiwa
traumatic itu;
j. Peningkatan gejala-gejala apabila dihadapkan pada peristiwa yang menyimbolkan
atau menyerupai peristiwa traumatic itu.

D. Faktor Penyebab

1. Pengaruh perkembangan budaya yang semakin tidak menghargai etika berpakaian


yang menututp aurat, yang dapat merangsang pihak lain untuk berbuat tidak senonoh
dan jahat.
2. Gaya hidup atau mode pergaulan diantara laki-laki dengan perempuan yang semakin
bebas, tidak atau kurang bisa lagi membedakan antara yang seharusnya boleh
dikerjakan dengan yang dilarang dalam hubungannya dengan kaedah akhlak
mengenai hubungan laki-laki dengan perempuan.
3. Rendahnya pengalaman dan penghayatan terhadap norma-norma keagamaan yang
terjadi di tengah masyarakat.nilai-nilai keagamaan yang semakain terkikis di
masyarakat atau pola relasi horizontal yang cenderung makin meniadakan peran
agama adalah sangat profesional untuk mendorong seseorang berbuat jahat dan
merugikan orang lain.
4. Tingkat kontrol masyarakat (social control) yang rendah, artinya berbagai perilaku
yang diduga sebagai penyimpangan, melanggar hukum dan norma keagamaan kurang
mendapatkan responsi dan pengawasan dari unsur-unsur masyarakat.
5. Putusan hakim yang merasa tidak adil, seperti putusan yang cukup ringan yang
dijatuhkan kepada pelaku. Hal ini dimungkinkan mendorong anggota-anggota
msyarakat lainnya untuk berbuat keji dan jahat. Artinya mereka yang hendak berbuat
jahat tidak merasa takut lagi dengan sanksi hukum yang akan diterimanya.
6. Ketidakmampuan pelaku untuk mengendalikan emosi dan nafsu seksualnya. Nafsu
seksualnya dibiarkan mengembara dam menuntunnya untuk dicarikan kompensasi
pemuasnya.
7. Keinginan pelaku untuk melakukan (melampiaskan) balas dendam terhadap sikap,
ucapan, (keputusan) dan perilaku korban yang dianggap menyakiti dan merugikan.

E. Batasan KarakteristiK

Fase Akut
1. Respons somatic
a. Peka rangsang gastrointerstinal (mual, muntah, anoreksia)
b. Ketidaknyamanan genitourinarius (nyeri, pruritus)
c. Ketegangan otot-otot rangka (spasme, nyeri).
2. Respon Psikologis
a. Menyangkal
b. Syok emosional
c. Marah
d. Takut akan mengalami kesepian, atau pemerkosa akan kembali

9
e. Rasa bersalah
f. Panik melihat pemerkosa atau adegan penyerangan
3. Respon Seksual
a. Tidak percaya pada laki-laki
b. Perubahan dalam perilaku seksual

Fase Jangka Panjang


Setiap respons pada fase akut dapat berlanjut jika tidak pernah terjadi resolusi
1. Respons Psikologis
a. Fobia
b. Mimpi buruk atau gangguan tidur
c. Ansietas
d. Depresi

F. Patofisiologi

Menurut Tower (2002) dalam Maria (2008) kekerasan seksual pada anak dapat
terjadi satu kali, beberapa kali dalam periode berdekatan, bahkan menahun. Walaupun
berbeda-beda pada setiap kasus, kekerasan seksual tidak terjadi begitu saja, melainkan
melalui beberapa tahapan antara lain:
1. Tahap awal, pelaku membuat korban merasa nyaman. Ia menyakinkan bahwa apa yang
dilakukannya “tidak salah” secara moral. Pelaku mencoba menyentuh sisi kebutuhan
anak akan kasih sayang dan perhatian, penerimaan dari orang lain, atau mencoba
menyamakannya dengan permainan dan menjanjikan imbalan material yang
menyenangkan. Pelaku dapat mengintimidasi secara halus ataupun bersikap memaksa
secara kasar.
2. Tahap kedua, adalah interaksi seksual. Perilaku yang terjadi bisa saja hanya berupa
mengintip sampai perilaku yang intensitasnya berat, yakni memaksa anak untuk
melakukan hubungan seksual. Setelah kejadian tersebut, pelaku mengancam agar
merahasiakan apa yang terjadi kepada orang lain.
3. Tahap berikutnya, adalah tahapan dimana korban mau menceritakan pengalamannya
kepada orang lain. Kemungkinan korban merahasiakan pengalamannya sampai berusia
dewasa, atau menceritakannya kepada orang yang mempunyai kedekatan emosional
dengannya, sehingga ia merasa aman. Pelaku “mencobai” korban sedikit demi sedikit,
mulai dari:
a. Pelaku membuka pakaiannya sendiri
b. Pelaku meraba-raba bagian tubuhnya sendiri
c. Pelaku memperlihatkan alat kelaminnya
d. Pelaku mencium korban dengan pakaian lengkap
e. Pelaku meraba bagian-bagian tubuh korban: payudara, alat kelamin, dan bagian
lainnya.
f. Masturbasi, dilakukan oleh pelaku sendiri atau pelaku dan korban saling
menstimulasi.
g. Oral sex, dengan menstimulasi alat kelamin korban
h. Sodomi
i. Petting
j. Penetrasi alat kelamin pelaku

Anak yang memiliki resiko mengalami kekerasan seksual biasanya adalah anak-anak
yang biasa ditinggalkan sendiri dan tidak mendapat pengawasan dari orang yang lebih dewasa,
terutama ibu. Tidak hanya kehadiran secara fisik, kedekatan emosional antara ibu dan anak pun
merupakan factor yang penting (Maria, 2008).

A. Kemungkinan perilaku anak-anak dan remaja yang mengalami trauma:


Usia Korban Akibat yang normal Reaksi ketika Saat perlu ditangani
sedang stress oleh tenaga
profesional
1-5 tahun Menghisap jempol, Menangis tidak Keinginan menyendiri
mengompol, kurang terkontrol secara berlebihan
dapat mengontrol diri
Tidak mengenal waktu, Gemetaran karena Tidak ada respon
ingin menunjukkan ketakutan, tidak bisa terhadap perhatian
kemandirian bergerak khusus
Takut gelap/ binatang, Berlarian ketakutan

11
sehingga merasa terteror tanpa arah
di malam hari
Tidak mau lepas dari terlalu ketakutan dan
pegangan orang tua tidak mau ditinggal
sendirian
Rasa ingin tahu, Perilaku agresif
eksploratif (kembali menghisap
jari atau mengompol
lagi)
Tidak dapat menahan Amat sensitif
kencing maupun buang dengan suara dan
air besar cuaca
Kesulitan bicara Bingung, panic
Perubahan selera makan Sulit makan
5-11 tahun Rasa gelisah, ketakutan Perilaku regresif
yang jelas terlihat
(menjadi lebih
kenak-kanakan)
Mengeluh Gangguan tidur
Senang menempel
kepada orang tua atau Ketakutan akan
yang dianggap dekat cuaca
Pertanyaan yang agresif Pusing, mual, timbul
masalah penglihatan
dan pendengaran
Berkompetisi dengan Ketakutan yang
sebayanya/saudaranya tidak beralasan
untuk mencari perhatian
orang tua/ guru
Menghindar/ malas ke Menolak untuk
sekolah masuk sekolah, tidak
bisa konsentrasi, dan
senang berkelahi
Mimpi buruk, dan takut Tidak bisa
gelap beraktivitas dengan
baik
Menyendiri dari kawan-
kawan
Hilang minat/
konsentrasi di sekolah
Remaja awal Gangguan tidur Menarik diri, Disorientasi dan lupa
(11-14 tahun) menyendiri terhadap sesuatu
Tidak nafsu makan Depresi, kesedihan, Depresi berat dan
dan membayangkan tidak mau ketemu
bunuh diri orang
Menjadi pemberontak di Perilaku agresif Memakai obat-obatan
rumah atau tidak mau terlarang
mengerjakan tugasnya
Permasalahan kesehatan Depresi Tidak bisa merawat
(kulit, buang air besar, (makan, minum,
pegal-pegal, pusing) mandi)
Remaja Masalah psikosomatis
(gatal, sulit buang air Bingung
(14-18 tahun)
besar, asma)
Pusing/ perasaan Menarik diri dan Halusinasi, ketakutan
tertekan menyendiri akan membunuh diri
sendiri atau orang lain
Gangguan selera makan Perilaku antisocial Tidak dapat
dan tidur (mencuri, agresif, memutuskan hal-hal
dan mencari yang paling mudah
perhatian dengan sekalipun
bertingkah)
Mulai mengidentifikasi Menarik diri dan Terlalu
diri dengan kawan tidur terlalu pulas terobsesi/dikuasai oleh
sebaya ingin menyendiri atau ketakutan di satu pikiran
dengan menghindari waktu malam
dari acara keluarga

Protes, apatis Depresi


Perilaku yang tidak
bertanggung jawab
Tidak bisa
berkonsentrasi

G. Dampak-Dampak Korban Pemerkosaan

13
1. Dampak Fisik

Dampak ini merupakan dampak yang lebih menuju ke fisik korban


pelecehan. Ada dua jenis pelecehan tersebut. Menggunakan cara yang halus
atau kasar. Tetapi jika dipikirkan pasti jika dengan fisik sudah kaitannya
denganmenggunakan cara yang kasar karena sudah menimbulkan jejak di
bagian fisik. Misalnya seperti rasa sakit pada vagina, pendarahan yang
berlebihan, memar yang diakibatkan berasal dari sebuah pukulan atau
hentaman dari pelaku, mual dan yang terakhir bekas gigitan atau bekas dari
benda-benda yang digunakan untuk menganianya korban.
2. Dampak psikologis
Biasanya dampak psikologis dapat berjangka waktu pendek hingga
sampai yang berjangka waktu yang panjang tergantung tingkat kementalan
yang di derita atau diterima korban. Macam-macam dampak psikologis yang
dirasakan korban yaitu marah yang berlebihan kepada pelaku,sering
merasakan pusing apabila mengingat peristiwa tersebut,merasa tidak berharga
lagi,mulai agak takut berhubungan dengan laki-laki dikarenakan memiliki
pemikiran tidak ada laki-laki yang mau menerima kondisi korban,dan sangat
mungkin sekali memiliki keinginan yang besar untuk bunuh diri. Tiap korban
pasti merasakan hal-hal yang berbeda.
3. Dampak sosio-psikologis
Pada bidang sosio-psikologis biasanya didasarkan pada pemikiran dan
mitos-mitos mengenai pemerkosaan itu sendiri. Salah satunya yaitu ketakutan
yang diciptakan dari korban tersebut. Misalnya ketakutan mengenai apakah
masyarakat dapat menerima si korban atau malah beranggapan si korban
hanya dianggap sebagai beban serta juga dapat apakah sikorban bisa
berhubungan dengan laki-laki secara umum atau hingga secara khusus.

H. Pengobatan

Ada dua macam terapi pengobatan yang dilakukan untuk korban pemerkosaan
yaitu,
1. Farmakoterapi
Terapi obat hanya dalam hal kekanjutan pengobatan pasien. Terapi
dengan anti depresiva pada gangguan stress pasca traumatic ini masih
controversial. Obat yang biasa digunakan adalah benzodiazepine, litium,
camcolit dan zat pemblok beta seperti propranolol, klonidin, dan
karbamazepin. Obat tersebut biasanya diresepkan sebagai obat yang sudah
diberikan sejak lama dan kini dilanjutkan sesuai yang diprogramkan.
2. Psikoterapi
a. Anxiety Management
Terapis akan mengajarkan beberapa keterampilan untuk mengatasi gejala
korban pemerkosaan dengan lebih baik.
b. Relaxation Training
Belajar untuk mengontrol ketakutan dan kecemasan secara sistematis dan
merelaksasikan kelompok otot-otot utama.
c. Breathing retraining
Belajar bernafas dengan perut secara perlahan-lahan, santai dan
menghindari bernafas dengan tergesa-gesa yang menimbulkan perasaan
tidak nyaman, bahkan reaksi fisik yang tidak baik seperti jantung berdebar
dan sakit kepala.
d. Positive thingking and self-talk
Belajar untuk menghilangkan pikiran negatiif dan mengganti dengan
pikiran positif ketika menghadapi hal-hal yang membuat stress (stressor).
e. Exposure therapy
Terapis membantu menghadapi situasi yang khusus, orang lain, obyek,
memori atau emosi yang mengingatkan pada trauma dan menimbulkan
ketakutan yang tidak realistic dalam kehidupan sehari-hari.
f. Exposure in the imagination
Terapis bertanya kepada penderita untuk mengulang cerita secara detail
tentang kenangan –kenangan traumatis sampai mereka tidak mengalami
hambatan untuk menceritakannya.
15
g. Exposure in reality
Terapis membantu untuk menghadapi situasi yang sekarang aman tetapi
ingin dihindari karena menyebabkan ketakutan yang sangat kuat (misalnya:
kembali ke sekolah setelah terjadinya pelecahan secara verbal). Ketakutan
itu akan bertambah kuat jika kita berusaha untuk mengingat situasi tersebut
disbanding berusaha akan melupakannya. Pengulangan situasi yang disertai
penyadaran yang berulang-ulang akan membantu menyadari bahwa situasi
lampau yang menakutkan tidak lagi berbahaya dan kita dapat
mengatasinya.
h. Play therapy
Terapi bermain digunakan untuk merapi anak-anak dengan trauma. Terapis
menggunakan permainan untuk memulai topic yang tidak dapat dimulai
secara langsung. Hal ini dapat membantu anak-anal untuk lebih nyaman
dalam berproses dengan pengalaman traumatiknya.

I. Asuhan Keperawatan

1. Pengkajian
Menurut Doenges et.al (2007) pengkajian anak yang mengalami
penganiayaan (seksual abuse) antara lain:
a. Aktivitas atau Istirahat
Masalah tidur (misalnya tidak dapat tidur/ tidur berlebihan, mimpi buruk,
berjalan saat tidur, tidur di tempat yang asing, mengalami keletihan).
b. Integritas ego
c. Pencapaian diri negatif, menyalahkan diri sendiri/ meminta ampun karena
tindakannya terhadap orang tua
d. Harga diri rendah (pelaku/korban penganiayaan seksual yang selamat)
e. Perasaan bersalah, marah, takut dan malu, putus asa dan atau tidak
berdaya
f. Minimisasi atau penyangkalan signifikan pelaku (mekanisme pertahanan
yang paling dominan/ menonjol)
g. Penghindaraan atau takut pada orang, tempat, objek tertentu, sikap
menunduk, takut (terutama jika ada pelaku)
h. Melaporkan factor stress (misalnya perubahan financial, pola
hidup)Permusuhan terhadap objek/ tidak percaya pada orang lain
Eliminasi
a. Enuresisi, enkopresis
b. Infeksi saluran kemih yang berulang
c. Perubahan tonus sfingter
Makan dan minum
a. Muntah sering, perubahan selera makan (anoreksia), makan berlebihan,
perubahan berat badan, kegagalan memperoleh berat badan yang sesuai.
b. Hygiene
c. Mengenakan pakaian yang tidak sesuai dengan kondisi cuaca
(penganiayaan seksual) atau tidak adekuat member perlindungan.
d. Mandi berlebihan/ ansietas (penganiayaan seksual), penampilan kotor/
tidak terpelihara.
Neurosensori
a. Perilaku ekstrem (tingkah laku sangat agresif/ menuntut), sangat amuk
atau pasivitas dan menarik diri, perilaku tidak sesuai dengan usia.
b. Status mental: memori tidak sadar, periode amnesia, laporan adanya
pengingatan kembali. Pikiran tidak terorganisasi, kesulitan konsentrasi/
membuat keputusan. Afek tidak sesuai, mungkin sangat waspada, cemas dan
depresi.
c. Perubahan alam perasaan, kepribadian ganda, cinta, kebaikan dan
penyesalan yang dalam setelah penganiayaan seksual terjadi
d. Kecemburuan patologis, pengendalian impuls yang buruk, ketrampilan koping
terbatas, kurang empati terhadap orang lain
e. Membantung, menghisap jempol, atau perilaku kebiasaan lain: gelisah
(korban selamat).

17
f. Manifestasi psikiatrik (misal: fenomena disosiatif meliputi kepribadian
ganda (penganiayaan seksual), gangguan kepribadian ambang (korban inses
dewasa)
g. Adanya deficit neurologis/ kerusakan SSP tanpa tanda-tanda cedera
eksternal
h. Nyeri atau ketidaknyamanan
i. Bergantung pada cedera/ bentuk penganiayaan seksual
j. Berbagai keluhan somatic (misalnya nyeri perut, nyeri pinggul kronis,
spastik, kolon, sakit kepala)
Keamanan
a. Memar, tanda bekas gigitan, bilur pada kulit, terbakar (tersiram air panas,
rokok), ada bagian botak di kepala, laserasi, pendarahan yang tidak wajar,
ruam/gatal di area genital, fisura anal, goresan kulit, hemoroid, jaringan
parut, perubahan tonus sfringter.
b. Cedera berulang, riwayat bermacam kecelakaan,fraktur/ cedera internal.
c. Perilaku mencederai diri sendiri (bunuh diri), keterlibatan dalam aktivitas
dengan risiko tinggi
d. Kurangnya pengawasan sesuai usia, tidak ada perhatian yang dapat
menghindari bahaya di dalam rumah
Seksualitas
a. Perubahan kewaspadaan/aktivitas seksual, meliputi masturbasi kompulsif,
permainan seks dewasa sebelum waktunya, kecenderungan mengulang atau
melakukan kembali pengalaman. Kecurigaan yang berlebihan tentang seks,
secara seksual, menganiaya anak lain.
b. Perdarahan vagina, laserasi himen linier, bagian mukosa berlendir
c. Adanya PMS, vaginitis, kutil genital atau kehamilan (terutama pada anak).
d. Interaksi sosial
Menarik diri dari rumah, pola interaksi dalam keluarga secara verbal kurang responsive,
peningkatan penggunaan perintah langsung dan pernyataan kritik, penurunan
penghargaan atau pengakuan verbal, merasa rendah diri. Pencapaian prestasi di sekolah
rendah atau prestasi di sekolah menurun.
J. Aspek Pemeriksaan Fisik

1. Pemeriksaan Tanda Vital


Tanda vital menurut Goldberg CMD dalam buku practical guide to Clinical
medicine university of california memiliki 3 peran penting yaitu :
a. Dapat mengidentifikasi dari suatu masalah medis yang bersifat akut
b. Merupakan cara yang paling cepat dalam mengukur besarnya suatu
penyakit dan bagaimana keadaan fisiologis tubuh sebagai hasil dari suatu
penyakit. Semakin buruk tanda vitalnya maka akan semakin parah penyakit
yang diderita oleh pasien
c. Merupakan pertanda dari sebuah penyakit kronis
Peran dokter dalam melakukan pemeriksaan tanda vital adalah:
1. Mengukur suhu tubuh pasien dengan metode oral, rectal, dan axiller
2. Mengukur denyut nadi pasien dengan menilai irama nadi dan kekuatan
dari setiap denyutan
3. Mengukur laju pernafasan pasien
4. Mengukur tekanan darah pasien dengan menggunakan monitor aneroid,
monitor digital dan dengan metode finger and wrist blood pressure
monitor

2. Pemeriksaan Top to Toe


Pemeriksaan top to toe memiliki peran penting bagi dokter yaitu membantu
dokter dalam memberikan perawatan / tatalaksana yang harus dilakukan pada
korban. Pemeriksaan top to toe dilakukan pada tubuh korban dan
didokumentasikan. Hasil dokumentasi ini digunakan sebagai barang bukti
medis dalam proses hukum yang merupakan proses penyelesaian suatu kasus
kejahatan seksual. Pemeriksaan top to toe dalam buku victim of sexual
violence: A hand book of helper berperan untuk menemukan adanya luka –
luka yang dialami korban yang akan didokumentasikan sebagai barang bukti
pada proses hukum korban. Apabila terdapat luka pada tubuh korban harus

19
dideskripsikan secara detail dan didokumentasikan.

3. Pemeriksaan Anogenital
Peran dokter menurut WHO dalam pemeriksaan anogenital ini terdiri dari
a. Memeriksa genitalia eksterna dan anus , memeriksa mons pubis , menilai
labia mayora , labia minora , hymen , clitoris dan perineum
b. Melakukan pemeriksaan dalam dengan menggunakan spekulum apabila
ditemukan adanya darah atau sekret dilakukan swab
c. Memeriksa anus korban dengan menggunakan rectal touche
d. Dokter pemeriksa disarankan untuk melakukan pemeriksaan digital rectal
examination apabila ketika melakukan anamnesis didapatkan dari
pengakuan korban adanya suatu objek yang dimasukkan ke lubang anus
Magalhães T dalam jurnal yang berjudul Biological Evidence Management for
DNA Analysis in Cases of Sexual Assault menyatakan bahwa pemeriksaan anogenital
sangat penting dalam mengumpulkan bukti – bukti yang selanjutnya didokumentasikan
untuk menjadi barang bukti dalam proses hukum kasus kejahatan seksual.
Pemeriksaan Anogenital menurut Kliegman R. dalam buku Nelson textbook of
pediatric berperan dalam menemukan luka yang bersifat akut berupa edema, eritema,
petekie, perdarahan atau laserasi, yang dikonfirmasi dengan menggunakan kolposkopi
untuk dokumentasi yang akan digunakan oleh penyidik dalam proses hukum suatu kasus
kejahatan seksual.
4. Dokumentasi Foto Hasil Pemeriksaan
Dokumentasi foto yang adekuat dan tersusun rapi diperlukan dalam
kasus kekerasan seksual. Daftar foto yang diambil beserta gambar kolposkopik
disusun dalam penomoran yang baik disertai deskripsi foto. Pemetaan tubuh
dan genitalia digunakan untuk menggambarkan cedera.
Dokumentasi foto hasil pemeriksaan ini menurut Margareth M. stark
berperan bagi dokter dalam meminta pendapat dan masukkan kepada dokter
lain. Dokumentasi pemeriksaan ini juga dapat digunakan sebagai media
pembelajaran bagi dokter lain dengan tetap menjaga kerahasiaan pasien.
Dokumentasi hasil pemeriksaan ini tidak boleh digunakan untuk kepentingan
non medis selain untuk kepentingan hukum.

K. Aspek Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan Swab dan Sampel


Menurut Magalhães T dalam jurnal berjudul Biological Evidence
Management for DNA Analysis in Cases of Sexual Assault sangat penting
untuk dijadikan sebagai bukti adanya kontak seksual antara korban dengan
pelaku dan membantu penyidik dalam menemukan pelaku kejahatan seksual.
Joanne Archambault menyatakan bahwa 44% tersangka didapatkan dengan
menggunakan analisis DNA yang diperoleh dari pemeriksaan swab dan
sampel, sehingga dengan melakukan pemeriksaan swab dan pengumpulan
sampel sangat membantu investigasi dan penyelesaian kasus kejahatan
seksual.
Pemeriksaan cairan biologis pada tubuh merupakan hal yang sangat
penting hal ini dikarenakan hasil dari pemeriksaan ini digunakan sebagai
bukti dalam sebuah kasus kejahatan seksual. Swab yang diperoleh dari tubuh
korban diperlukan untuk pemeriksaan DNA yang dapat digunakan oleh
penyidik dalam menemukan pelaku kejahatan seksual.
Peran dokter dalam mengumpulkan swab dan sampel yaitu :
a. Melakukan swab sesuai dengan teknik pemeriksaan yang benar
b. Melakukan pemeriksaan terhadap sampel dan swab yang didapat dari
tubuh korban bila terdapat fasilitas di rumah sakit / merujuk sampel
kepada laboratorium yang lebih berkompeten untuk dilakukan
pemeriksaan

2. Pemeriksaan darah dan urin


Pemeriksaan darah dan urin harus dilakukan terutama apabila ada
riwayat konsumsi obat – obat dan alkohol. Peran sampel darah dan urin
adalah untuk dilakukan pemeriksaan analisis toksikologi. Pemeriksaan

21
toksikologi ini sangat dipengaruhi oleh lama waktu ketika korban meminum
obat atau alkohol hingga melapor ke rumah sakit. Semakin lama durasi
korban melapor sesudah meminum obat atau alkohol maka semakin kecil
pula zat – zat yang dapat ditemukan dalam darah akibat proses dari
metabolisme tubuh.
Pemeriksaan darah berperan dalam membantu dokter mencegah
penyakit menular seksual terutama HIV. Pemeriksaan darah juga membantu
dokter dalam mencegah penularan penyakit hepatitis B yang ditularkan
melalui cairan tubuh.
Peran dokter dalam pemeriksaan darah dan urin adalah :
a. Mengambil sampel darah dan urin yang dapat digunakan untuk
pemeriksaan toksikologi dan intoksikasi obat
b. Mengambil sampel darah yang digunakan untuk pemeriksaan serologi
khususnya penyakit menular seksual
c. Memeriksa sampel darah dan urin korban di laboratorium dan
menjelaskan hasil kepada penyidik

3. Pemeriksaan Kehamilan
Pemeriksaan kehamilan dengan metode β – HCG sangat penting untuk
dilakukan. Didalam buku victim of sexual violance : A hand book for Helper
digunakan pemeriksaan ini digunakan untuk membuktikan apakah korban
hamil akibat dari kasus kejahatan seksual sehingga dokter dapat melakukan
tatalaksana yang tepat untuk kehamilannya.
Korban yang dinyatakan hamil akibat kasus kejahatan seksual dalam
buku Rape Investigation Handbook dapat dilakukan pemeriksaan DNA
dengan menggunakan sampel dari kehamilan dan fetus dari korban. Hasil
pemeriksaan DNA tersebut dapat digunakan sebagai bukti kasus kejahatan
seksual tersebut.
Di Indonesia , fungsi dari pemeriksaan kehamilan adalah sebagai bukti
yang ditulis dalam visum et repertum yang akan digunakan oleh penyidik
untuk menindaklanjuti sebuah kasus kejahatan seksual.
Peran dokter dalam pemeriksaan kehamilan adalah :
a. Melakukan tes kehamilan atau pregnancy test
b. Menginterpretasikan hasil pemeriksaan tes kehamilan

L. Diagnosa Keperawatan

1. Harga diri rendah kronis b.d kurangnya pengakuan dari orang lain d.d nada gaya
bicara tinggi, kasar dan penuh emosi.
2. Resiko harga diri rendah b.d kurang mendapat kasih sayang d.d perubahan
perilaku seperti membentak dan sering marah.
3. Koping tidak efektif b.d ketidakadekuatan pemecahan masalah d.d melakukan
tawuran.
4. Kemarahan yang diekspresikan secara berlebihan dan tidak terkendali secara
verbal samapai mencederai orang lain dan merusak lingkungan.
5. Gangguan identitas diri b.d gangguan peran sosial d.d pencarian jati diri yang
emosional.

 Intervensi Keperawatan

Tujuan dan Kreteria


NO Diagnosa Keperawatan Intervensi
Hasil
1 Harga diri rendah kronis Setelah dilakukan  Monitor Verbalisasi
berhubungan dengan tindakanan yang merendahkan
ketidakefektifan keperawatan selama diri sendiri
mengatasi masalah 2x24 jam. Harga diri  Monitor tingkat
kehilangan ditandai klien terpenuhi dengan harga diri setiap
dengan pasien tampak Kriteria Hasil: waktu sesuai
putus asa dan merasa  Percaya diri kebutuhan
dirinya kotor. klien (5)  Identifikasi
 Kontak mata (5) budaya,rasjenis
 Konsentrasi (5) kelamin dan usia
terhadap harga diri
 Diskusikan
kepercayaan
terhadap penilaian
diri
 Diskusikan
pengalaman yang
meningkatkan
harga diri
 Latih cara berpikir
dan berperilaku
positif
 Latih meningkatkan

23
kepercayaan dan
kemampuan dalam
menangani situasi
2 Ansietas berhubungan Setelah dilakukan  Identifikasi saat
dengan krisis situasional tindakanan tingkat ansietas
ditandai dengan pasien keperawatan selama berubah
merasa dirinya tidak 2x24 jam. Trauma  Identifikasi
aman. klien teratasi dengan kemampuan
Kriteria Hasil: mengambil
 Verbalisasi keputusan
khawatir (5)  Monitor tanda-
 Perilaku gelisah tanda ansietas
(5)  Temani pasien
 Perilaku tegang untuk mengurangi
(5) kecemasan,jika
memungkinkan
 Dengarkan dengan
penuh perhatian
 Gunakan
pendekatan yang
tenang dan
menyakinkan
 Anjurkan keluarga
tetap bersama
pasien,jika perlu
 Latih teknik
relaksasi
3 Koping tidak efektif Setelah dilakukan  Identifikasi dampak
berhubungan dengan tindakanan situasi terhadap
krisis situasional keperawatan selama peran dan hubungan
ditandai dengan 2x24 jam.  Identifikasi metode
perubahan perilaku dan Koping klien terpenuhi penyelesaian ifikasi
pola pikir. dengan Kriteria Hasil: kebutuhan dan
 Verbalisasi keinginan terhadap
kemampuan dukungan sosial
mengatasi  Gunakan
masalah (5) pendekatan yang
 Partisipasi tenang dan
Sosial(5) menyakinkan
 Kemampuan  Anjurkan keluarga
membina terlibat
hubungan (5)  Latih ketrampilan
sosial
4 Isolasi Sosial Setelah dilakukan  Identifikasi tingkat
berhubungan dengan tindakanan stressor
perubahan status mental keperawatan selama  Identifikasi stressor
ditandai dengan perilaku 2x24 jam. Isolasi sosial  Lakukan reduksi
pasien yang menyendiri klien teratasi dengan ansietas(mis.anjurk
dan sering menangis. Kriteria Hasil: an napas dalam
 Verbalisasi sebelum prosedur)
Isolasi(5)  Bicarakan perasaan
 Perilaku marah,sumber dan
menarik diri (5) makna marah
 Afek  Berikan
murung/sedih kesempatanuntuk
(5) menenangkan diri
 Gunakan metode
untuk
meningkatkan
kenyamanan dan
ketegangan spiritual
 Anjurkan mengatur
waktu untuk
mengurangi
kejadian stress

25
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Perkosaan adalah laki-laki yang memaksa seorang wanita yang bukan


istrinya untuk melakukan persetubuhan dengannya dengan suatu tindakan
kekerasan. Jenis – jenis pemerkosaan yaitu Sadistic Rape, Anger Rape,
Domination Rape, Seductive Rape, Victim Precipitated Rape, Exploitation Rape.
Selain itu masyarakat di Indonesia mempunyai beberapa fakta dan mitos tentang
Pemerkosaan yang sebenarnya ada beberapa yang benar namun ada juga beberapa
yang hanya sebuah pemikiran dari masyarakat. Adapun penyebab terjadinya
pemerkosaan adalah pengaruh perkembangan budaya, gaya hidup/ mode
pergaulan, rendahnya penghayatan tentang norma-norma agama, tingkat kontrol
masyarakat yang rendah, putusan hakim yang tidak adil, ketidakmampuan pelaku
untuk mengendalikan emosi dan nafsu seksualnya, dan keinginan pelaku untuk
melakukan balas dendam.
Dampak-dampak yang didapatkan oleh anak korban pemerkosaan antara lain
seperti dampak fisik, dampak psikologis, dan dampak sosio-psikologis, dampak ini
pula dapat di alami dengan beberapa fase-fase dan dalam jangka waktu yang
panjang. Kemungkinan dampak-dampak anak korban pemerkosaan yang berbeda
dengan seharusnya maka kita sebagai seorang perawat harus melakukan berbagai
terapi seperti terapi farmakologi dan non-farmakologi. Sebagai perawat pula kita
harus mengkaji tentang pemeriksaan fisik, pengkajian pola fungsional dan
pemeriksaan penunjang (Pemeriksaan Swab dan Sampel, Pemeriksaan darah dan
urin, dan Pemeriksaan Kehamilan). Adapula diagnosis-diagnosis keperawatan
seperti Sindrom Pasca Trauma, Harga Diri Rendah, Ketidakberdayaan,
Keputusasaan, Isolasi Sosial, dan Resiko Bunuh Diri. Diagnosa-diagnosa ini akan
diatur sesuai dengan masalah yang dialami oleh pasien dengan menggunakan
intervensi dan kriteria hasil sesuai agar mendapatkan hasil yang diharapkan.

B. SARAN

Pemerkosaan yang terjadi di Indonesia merupakan suatu masalah yang


harus ditindaklanjuti oleh masyarakat karena sebagaimana kita ketahui bahwa
tindak pemerkosaan dapat merusak citra dan moral bangsa serta dapat merusak
bibit-bibit bangsa Indonesia dimasa depan. Maka dari itu pemerintah dan
masyarakat harus bekerja sama dalam memerangi masalah pemerkosaan ini
dengan menanamkan nilai-nilai agama, moral, adat-istiadat, dan penegakan
hukum yang sesuai.

27
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, 2011, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual,
Bandung, Refika Aditama, Hlm 41
Elen Nur A., Raudlatul Jannah. 2014. Konstruksi Identitas Korban dan Pelaku Pemerkosaan di
Media Online Detik.com
Ega Paat; Eka Pane; Kurnia Mundung. 2018. Asuhan Keperawatan Jiwa … Jiwa II
Rena Yulia, 2013, Viktimologi:Perlindungan Hukum terhadap Korban Kejahatan, Yogyakarta,
Graha Ilmu, hlm 21.
Tim Keperawatan Jiwa UI, Asuhan Keperawatan Klien Korban Pemerkosaan
Angga & Ridwan Arifin, 2018, Penerapan Bantuan Hukum Bagi Masyarakat Kurang Mampu di
Indonesia. DIVERSI: Jurnal Hukum, Vol. 4 No.2, hlm. 218 - 236.
doi:10.32503/diversi.v4i2.374
Goldberg CMD. A Practical Guide to Clinical Medicine. 2015; Available from:
https://meded.ucsd.edu/clinicalmed/ vital.htm
Fetterman, Anne, RN B, Kang, Steven M. Vital Signs (Body Temperature, Pulse Rate,
Respiration Rate, Blood Pressure). 2015; Available from:
https://www.urmc.rochester.edu/enc yclopedia/content.aspx?ContentTyp
eID=85&ContentID=P00866
World Health Organization. 4 Assessment and examination of adult victims of sexual violence. :
30–56.
Magalhães T, Dinis-Oliveira RJ, Silva B, Corte-Real F, Nuno Vieira D. Biological Evidence
Management for DNA Analysis in Cases of Sexual Assault. Sci World J. 2015;2015.
Kliegman R, Stanton B, Geme JS, Schor NF, Behrman RE. Nelson Textbook of Pediatrics
[Internet]. Elsevier; 2015. (Nelson Textbook of Pediatrics). Available from:
https://books.google.co.id/books?id =mseNCgAAQBAJ
Magalhães T, Dinis-Oliveira RJ, Silva B, Corte-Real F, Nuno Vieira D, Magalhães T, et al.
Biological Evidence Management for DNA Analysis in Cases of Sexual Assault. Sci
World J [Internet]. 2015;2015:1–
Dr. Meidiana Dwidiyanti, S.Kp., M. S. A. M. R. A. N. F. R. D. D. V. S. W. R. A. M. U. D. N. K.
(2020). Buku Keperawatan Kesehatan Jiwa. In Penerbit CV. Tigamedia Pratama Jl.
Bulusan VI No. 42 Tembalang Semarang 50277 www.tigamedia.id.
Nurhalimah. (2016). Buku Modul Keperawatan Jiwa. BMC Public Health.
Yusuf, A. (2015). Keperawatan Kesehatan Jiwa. Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa.

29

Anda mungkin juga menyukai