Anda di halaman 1dari 97

1

PELAKSANAAN PEMBERIAN PEMBEBASAN BERSYARAT KEPADA

NARAPIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN PURWOKERTO

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi persyaratan memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada

Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman

OLEH:

ARINAL NURRISYAD HANUM

NIM E1A007135

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS HUKUM

PURWOKERTO

2012
2

PELAKSANAAN PEMBERIAN PEMBEBASAN BERSYARAT KEPADA

NARAPIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN PURWOKERTO

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi persyaratan memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada

Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman

OLEH:

ARINAL NURRISYAD HANUM

NIM E1A007135

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS HUKUM

PURWOKERTO

2012
3

HALAMAN PENGESAHAN

SKRIPSI

PELAKSANAAN PEMBERIAN PEMBEBASAN BERSYARAT KEPADA


NARAPIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN PURWOKERTO

Disusun oleh :

Arinal Nurrisyad Hanum

E1A007135

Diajukan untuk memenuhi persyaratan memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada

Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman

Diterima dan Disahkan

Pada Tanggal :………………………..

Pembimbing I/Penguji 1 Pembimbing II/Penguji II Penguji III

HaryantoD. A,S.H.M,Hum Dr.Setya W,S.H.M.H. Dr.Budiono,S.H.M.Hum


NIP. 195702251987021001 NIP. 196105271987021001 NIP.196311071989011001

Mengetahui

Dekan Fakultas Hukum UNSOED,

Hj. ROCHANI URIP SALAMI, S.H., M.S.


NIP. 19520603 198003 2 001
4

HALAMAN PERNYATAAN

Dengan ini saya :

Nama : ARINAL NURRISYAD HANUM


NIM : E1A007135
Judul : PELAKSANAAN PEMBERIAN PEMBEBASAN BERSYARAT
KEPADA NARAPIDANA DI LEMBAGA
PEMASYARAKATAN PURWOKERTO

Menyatakan bahwa skripsi yang saya buat ini adalah betul-betul hasil
karya saya sendiri dan tidak menjiplak hasil karya orang lain maupun dibuatkan oleh
orang lain.

Dan apabila ternyata terbukti saya melakukan pelanggaran sebagaimana


tersebut diatas, maka saya bersedia dikenakan sanksi apapun dari fakultas.

Purwokerto, Agustus 2012

ARINAL NURRISYAD HANUM


NIM. E1A007135
5

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karuniaNya.
Sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul: PELAKSANAAN
PEMBERIAN PEMBEBASAN BERSYARAT KEPADA NARAPIDANA DI
LEMBAGA PEMASYARAKATAN PURWOKERTO. Skripsi ini merupakan
salah satu persyaratan dalam memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas
Hukum Universitas Jenderal Soedirman.
Berbagai kesulitan dan hambatan Penulis hadapi dalam penyusunan skripsi
ini. Namun berkat bimbingan, bantuan materiil dan moril serta pengarahan dari
berbagai pihak, maka skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. Oleh karena itu
Penulis ingin menyampaikan terima kasih yang tulus dan sebesar-besarnya kepada:
1. Hj. Rochani Urip Salami, S.H, M.S, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas
Jenderal Soedirman.
2. Haryanto Dwi Atmodjo, S.H, M.Hum, selaku dosen Pembimbing I Skripsi, atas
segala bantuan, arahan, dukungan, dan masukan yang telah diberikan selama
penulisan skripsi ini.
3. Dr. Setya Wahyudi, S.H, M.H. selaku dosen Pembimbing II skripsi, atas segala
bantuan, arahan, dukungan dan masukan yang telah diberikan selama penulisan
skripsi ini.
4. Dr. Budiono, S.H, M.Hum, selaku dosen selaku Dosen Penguji, atas segala
masukan dan arahannya.
5. Bapak Bambang H, S.H., M.H, selaku Pembimbing Akademik.
6. Kepada kedua orang tuaku Bapak H. Hasbi Setyadji. S.E. M.M. dan Ibu
Hj.Mirzanah yang telah memberikan dukungan baik moril maupun materil.
7. Kakak dan adik-adikku Nurina Hanum dan Hashemi Rodhian Hanum yang telah
memberikan motifasi dalam penyelesaian skripsi ini.
8. Friska Mahardika yang telah memberikan motifasi dalam penyelesaian skripsi.
6

9. Seluruh dosen, staf dan karyawan di Fakultas Hukum Universitas Jenderal


Soedirman.
10. Bapak Sutaryo, Bc. IP, SH,MH. Selaku Kepala Lembaga Pemasyarakatan
Purwokerto
11. Bapak Suranto, S.Sos. M. Si. Selaku Kasubag Tata Usaha Lembaga
Pemasyarakatan Purwokerto
12. Bapak Efendi Wahyudi, Bc. IP. S.Sos. selaku Kasi Binadik
13. Bapak Aris Supriyadi, A.Md. IP. SH. selaku Kasubsi Bimaswat
14. Semua pihak-pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu.
Semoga amal kebaikan serta bantuan yang telah diberikan mendapat balasan
dari Allah Swt. Skripsi ini hanyalah hasil karya manusia biasa yang memiliki banyak
kekurangan, oleh karenanya kritik dan masukan demi kesempurnaan skripsi ini sangat
penulis harapkan.

Purwokerto, Agustus 2012

ARINAL NURRISYAD HANUM


E1A 007135
7

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL …………………………………………………… i

HALAMAN PENGESAHAN …………………………………………. ii

HALAMAN PERNYATAAN .………………………………………… iii

KATA PENGANTAR …………………………………………………. iv

DAFTAR ISI …………………………………………………………… vi

ABSTRAK ……………………………………………………………... ix

ABSTRACT …………………………………………………………….. x

BAB I. PENDAHULUAN

I. Latar Belakang Masalah ………………………………… 1

II. Perumusan Masalah ……………………………………... 6

III. Tujuan Penelitian ………………………………………… 6

IV. Kegunaan Penelitian …………………………………….. 7

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

1. Tindak Pidana

a. Istilah dan Pengertian Tindak Pidana ……………………. 8

b. Unsur-Unsur Tindak Pidana ……………………………… 11

2. Pidana dan Pemidanaan

a. Definisi Pidana Pemidanaan ………………………………. 13

b. Teori Tujuan Pemidanaan ………………………………… 16

c. Tujuan Pemidanaan ………………………………………. 18


8

3. Pembebasan Bersyarat (Voorwaardelijke Invrjheids Stelling)

a. Pengertian Pembebasan Bersyarat ………………………… 18

b. Dasar Hukum Pembebasab Bersyarat ……………………... 24

4. Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS)

a. Pengertian Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) ………….. 32

b. Fungsi Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) ……………… 33

BAB III. METODE PENELITIAN

1. Metode Pendekatan …………………………………………… 35

2. Spesifikasi Penelitian …………………………………………. 36

3. Lokasi Penelitian ……………………………………………… 37

4. Jenis dan Sumber Data ………………………………………… 37

5. Metode Pengambilan Sampel …………………………………. 39

6. Metode Pengumpulan Data ……………………………………. 39

7. Metode Pengelolaan Data ……………………………………... 41

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

1. Hasil Penelitian

a. Keadaan Umum Lembaga Pemasyarakatan Purwokerto… 42

b. Kondisi Umum Responden ……………………………… 45

c. Pembinaan Narapidana Di Lembaga Pemasyarakatan

Purwokerto ……………………………………………… 52
9

d. Pelaksanaan Pemberian Pembebasan Bersyarat Di Lembaga

Pemasyarakatan Purwokerto ……………………………. 55

e. Hambatan-Hambatan Dalam Pelaksanaan Pemberian

Pembebasan Bersyarat Di Lembaga Pemasyarakatan

Purwokerto ……………………………………………… 63

2. Pembahasan

a. Pelaksanaan Pemberian Pembebasan Bersayarat di Lembaga

Pemasyarakatan Purwokerto …………………………… 69

b. Hambatan-hambatan Yang Terjadi Dalam Pelaksanaan

Pemberian Pembebasan Bersyarat ……………………… 80

BAB V. PENUTUP

1. Simpulan ………………………………………………………… 82

2. Saran …………………………………………………………….. 83

DAFTAR PUSTAKA
10

ABSTRAK

Penelitian ini berjudul: “PELAKSANAAN PEMBERIAN PEMBEBASAN


BERSYARAT KEPADA NARAPIDANA DI LEMBAGA
PEMASYARAKATANPURWOKERTO”.

Dalam hukum pidana dikenal adanya sanksi penjara, Pidana penjara


merupakan jalan terakhir dalam sistem hukum pidana yang berlaku, untuk itu dalam
pelaksanaannya harus mengacu pada hak asasi manusia Dalam Pasal 14 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan mengatur mengenai
hak-hak seorang narapidana antara lain mendapatkan pembebasan bersyarat.
Penelitian ini dilakukan di Lembaga Pemasyarakatan Purwokerto. Metode
pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis sosiologis, yaitu
pendekatan yang menekankan pada pencarian-pencarian. Sumber data berupa data
primer dan data sekunder. Data disajikan secara sistematis serta dianalisis dengan
metode kuantitatif.
Pembebasan bersyarat adalah proses pembinaan narapidana di luar Lembaga
Pemasyarakatan setelah menjalani sekurang-kurangnya 2/3 masa pidananya dengan
ketentuan 2/3 masa pidana tersebut minimal 9 bulan. Dalam pelaksanaan pembebasan
bersyarat setiap narapidana yang diajukan mendapatkan pembebasan bersyarat
haruslah memenuhi syarat substantif dan juga syarat administratif selain itu juga
narapidana harus mendapatkan penjaminan dari pihak keluarga.
Berdasarkan hasil penelitian diketahui Pelaksanaan Pembebasan Bersyarat
oleh Lembaga Pemasyarakatan Purwokerto dianggap telah berhasil, karena dilihat
dari perbandingan data Pembebasan Bersyarat di Lembaga Pemasyarakatan
Purwokerto dari tahun 2007-2011 antara yang diusulkan dengan yang terealisasikan
mendekati dengan jumlah diusulkan dan jumlah yang terealisasi terus meningkat tiap
tahunnya. Hambatan yang terjadi dalam Pelaksanaan Pembebasan Bersyarat oleh
Lembaga Pemasyarakatan Purwokerto antara lain proses di Direktorat Jenderal
Pemasyarakatan sangat lama, pihak penjamin bukan dari pihak keluarga, masih
memiliki perkara lain diluar, narapidana melanggar hukum disiplin Lembaga
Pemasyarakatan, terdapat hambatan psikologis dari masyarakat dalam penerimaan
kembali narapidana

Kata Kunci: Pelaksanaan Pembebasan Bersyarat.


11

ABSTRACT

This research entitled “implementation of parole given to convict in Purwokerto


penitentiary”

In criminal law we recognized the existence of a prison sanction.


Imprisonment is a last resort in our criminal justice system. In the practice we must
referring into human rights. In Artictle 14 paragraph 1 Act No. 12 of 1995 of
Corrections who regulate the rights of prisoner to get parole system

This research was conducted in Purwokerto penitentiary. the approach of this


research used the juridical sociologic, which the approach that emphasizes the
pursuit. The source of data is a primary dan secondary data. Data are presented
systematically and analyzed by quantitative methods.

Parole is a process to refinement the characters of prisoner outside the


penitentiary after undergo at least 2/3 Conviction period with provision that 2/3
conviction period at least 9 month minimal. In the implementation of giving parole
every convict must fulfill the substantive and administrative terms and also must have
guarantee from the family.

Based on research result, revealed that implementation of parole given to


convict in Purwokerto penitentiary considered works. As seen from comparing data
about parole in purwokerto penitentiary from year 2007 to 2011, the ratio between
parole proposal with parole realization come near to 100% and increasing every year.
The obstacle on implementation parole among others need a long time to process
from Directorate General of Corrections, the insurer not from the family, the convict
still have other cases, the convict againts or have problem with the prisones
discipline, and there are psychological barriers of socialty in receipt of returned
prisoners.

Keyword: Implementation of Parole


12

BAB I

PENDAHULUAN

I. LATAR BELAKANG

Manusia disamping sebagai makhluk individu juga sebagai makhluk

sosial yang tidak dapat dipisahkan dari masyarakat. Dalam bermasyarakat

manusia memerlukan norma atau aturan untuk dapat menjaga keseimbangan

dalam melakukan hubungan-hubungan kemasyarakatan agar tidak terjadi

kekacauan. Salah satu norma yang berlaku dimasyarakat adalah norma hukum

yang memiliki sifat memaksa untuk ditaati dan dipatuti, karena apabila norma

hukum tersebut dilanggar maka akan dikenakan sanksi bagi siapa saja yang

melanggarnya.

Angka kejahatan yang terjadi di Indonesia semakin meningkat dari

waktu ke waktu. Hal tersebut diperparah dengan keadaan ekonomi bangsa ini

yang membuat masyarakat kita jauh dari kata sejahtera, banyak sekali

masyarakat Indonesia yang masih berada di bawah garis kemiskinan. Kondisi

yang demikian membuat mereka mau melakukan berbagai cara untuk

memenuhi kebutuhan hidupnya, tidak terkecuali dengan melakukan tindak

kejahatan. Tentunya semua pelaku tindak kejahatan akan di pidana sesuai

dengan ketentuan yang berlaku, tanpa mengecualikan siapa pun.

Dalam hukum pidana dikenal adanya sanksi pidana berupa kurungan,

penjara, pidana mati, pencabutan hak dan juga merampas harta benda milik

pelaku tindak pidana. Menurut Pasal 10 KUHP, jenis pidana yang dapat
13

dijatuhkan dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu pidana pokok dan pidana

tambahan. Pidana pokok terdiri dari pidana mati, penjara, kurungan (UU No. 20

Tahun 1946) dan denda, sedangkan pidana tambahan terdiri dari pencabutan

hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu dan pengumuman putusan

hakim.

Pidana penjara merupakan jalan terakhir (ultimum remidium) dalam

sistem hukum pidana yang berlaku, untuk itu dalam pelaksanaannya harus

mengacu pada hak asasi manusia mengingat para narapidana memiliki hak-hak

dasar yang harus dilindungi, salah satunya hak untuk hidup bebas atau untuk

merdeka yang harus dijunjung tinggi keberadaannya.

Mengenai tujuan pemidanaan di dalam hukum pidana dikenal dengan

adanya Teori Pembalasan, Teori Tujuan dan Teori Gabungan. Van Bemmelen

seorang ahli pidana menganut teori gabungan mengatakan :

“ Pidana bertujuan membalas kesalahan dan mengamankan masyarakat.


Tindakan ini dimaksudkan mengamankan dan memeliharan tujuan. Jadi
pidana dan tindakan bertujuan mempersiapkan untuk mengembalikan
terpidana ke dalam kehidupan bermasyarakat”. 1

Pada zaman penjajahan Belanda tujuan hukuman di Indonesia

menggunakan sistem kepenjaraan, dimana perlakuan atau tindakan perlakuan

terhadap narapidana bertitik tolak pada pemikiran yang rasional yaitu bahwa

manusia yang melanggar hukum adalah sebagai manusia yang jahat bahkan

1
Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, Pradnya Paramita, Jakarta,
1993, hal. 32.
14

ada kalanya dipandang bukan sebagai manusia. Hal ini tercermin pada sistem

perlakuan yang pelaksanaanya bersifat menindas dan bentuk bangunan

penjara yang pada umumnya memberikan kesan bahwa sistem pidana yang

ditujukan pada narapidana adalah agar mereka patuh dan taat kepada hukum

yang berlaku. Pandangan tersebut memang mempunyai tujuan untuk

memperbaiki narapidana, akan tetapi fokus perlakuannya ditujukan pada

individu Narapidana dengan peningkatan penjagaan dalam penjara secara

maksimal dengan isolasi yang ketat serta peraturan-peraturan yang keras. Hal

ini bukan saja menumbulkan penderitaan fisik saja tetapi juga penderitaan

psikis, karena bukan saja kehilangan kemerdekaannya dalam bergerak tetapi

juga mereka kehilangan hak-hak dasar sebagai manusia (Hak Asasi Manusia).

Setelah kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, dengan

mendasarkan pada pandangan hidup bangsa dan Negara Indonesia, yaitu

Pancasila dan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 sistem

pemenjaraan dirubah dengan sistem pemasyarakatan.

Untuk mempersiapkan narapidana mengintegrasikan kembali ke

masyarakat, maka kepada narapidana perlu diberikan keterampilan kerja

sebagai bekal hidupnya. Keterampilan ini ditujukan kepada narapidana agar

menjadi tenaga yang terampil yang menjadi elemen penting dalam

pembangunan nasional, seperti memberikan keterampilan mekanik, menjahit,

pendidikan, dan lain-lain. Dengan pembinaan ini, narapidana diharapkan

dapat bersosialisasi dengan baik ketika terjun kembali ke masyarakat.


15

Pada tanggal 27 April 1964 sistem pemasyarakatan diresmikaan sebagai

suatu sistem pembinaan narapidana menggantikan sistem kepenjaraan. Dalam

sistem pemasyarakatan berpandangan bahwa pemasyarakatan tidak lagi

semata-mata sebagai tujuan dari penjara, melainkan juga merupakan suatu

sistem serta cara pembinaan terhadap narapidana dengan cara pendekatan dan

pengembangan potensi yang ada dalam masyarakat, individu narapidana

sehingga nantinya narapidana memiliki keterampilan.

Aturan mengenai sistem pemasyarakatan yang berlaku saat ini adalah

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan yang

diundangkan pada tanggal 30 Desember 1995. Dalam Pasal 1 angka 2

menyatakan sebagai berikut :

“Sistem pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas


serta cara pembinaan warga binaan pemasyarakatan berdasarkan
Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara Pembina, yang dibina
dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas warga binaan
pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak
mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh
lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan dan
dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung
jawab”.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa asas dari sistem

pemasyarakatan adalah Pancasila sebagai falsafah Negara, sedangkan

tujuannya disamping melindungi keamanan dan ketertiban masyarakat juga

membina narapidana agar setelah selesai manjalani pidanannya dapat menjadi

manusia yang baik dan berguna.


16

Selain mengatur berbagai aspek terait dengan pemasyarakatan

sebagaimana telah disebutkan di atas, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995

tentang pemasyarakatan juga mengatur mengenai hak-hak seorang narapidana.

Pasal 14 ayat (1) merumuskan sebagai berikut:

Narapidana berhak :
a. melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya;
b. mendapat perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani;
c. mendapatkan pendidikan dan pengajaran;
d. mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak;
e. menyampaikan keluhan;
f. mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang
tidak dilarang;
g. mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan;
h. menerima kunjungan keluarga, penasihat hukum, atau orang tertentu
lainnya;
i. mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi);
j. mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga;
k. mendapatkan pembebasan bersyarat;
l. mendapatkan cuti menjelang bebas; dan
m. mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.

Berdasarkan ketentuan di atas, bahwa salah satu hak dari narapidana

adalah memperoleh pembebasan bersyarat. Pembebasan bersyarat menurut

Pasal 1 huruf b Keputusan Menteri Kehakiman Nomor M.01-PK.04.10 Tahun

1999 tentang Asimilasi, Pembebasan Bersyarat dan Cuti Menjelang Bebas

adalah proses pembinaan narapidana di luar Lembaga Pemasyarakatan yang

dilaksanakan berdasarkan Pasal 15 dan Pasal 16 Kitab Undang-undang Hukum

Pidana serta Pasal 14, 22, dan Pasa1 29 Undang- undang Nomor 12 Tahun 1995

tentang Pemasyarakatan.
17

Berdasarkan latar belakang di atas, penulis tertarik untuk mengkaji

mengenai pelaksanaan pemberian pembebasan bersyarat kepada narapidana

yang sedang menjalani pidana penjara di Lembaga Pemasyarakatan Purwokerto.

II. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat dirumuskan

permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimanakah Pelaksanaan Pemberian Pembebasan Bersyarat kepada

Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Purwokerto?

2. Hambatan-hambatan apa saja yang timbul dalam Pelaksanaan Pemberian

Pembebasan Bersyarat kepada Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan

Purwokerto?

III. TUJUAN PENELITIAN

1. Tujuan Objektif

Untuk mengetahui pelaksanaan pemberian pembebasan bersyarat di

Lembaga Pemasyarakatan Purwokerto.

2. Tujuan Subjektif

Untuk mengetahui faktor-faktor yang menjadi hambatan-hambatan dalam

pelaksanaan pembebasan bersyarat di Lembaga Pemasyarakatan

Purwokerto.
18

IV. KEGUNAAN PENELITIAN

Adapun kegunaan yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah

sebagai berikut:

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pengetahuan

dan memberikan tambahan wacana guna pengembangan ilmu

pengetahuan pada umumnya dan ilmu hukum pada khususnya

2. Manfaat Praktis.

a. Mengembangkan penalaran, membentuk pola pikir sistematis dan

dinamis, sekaligus untuk mengetahui sejauh mana kemampuan penulis

dalam menerapkan ilmu yang diperoleh selama menimba ilmu di

Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto.

b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan informasi

kepada masyarakat khususnya pegawai Lembaga Pemasyarakatan dan

Balai Pemasyarakatan mengenai Pelaksanaan Pembebasan Bersyarat.

c. Melengkapi syarat akademis guna mendapat gelar Sarjana Hukum di

Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto.


19

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Tindak Pidana

a. Istilah dan Pengertian Tindak Pidana

Terdapat beberapa istilah yang digunakan para ahli hukum dalam

mendefinisikan istilah tindak pidana. Menurut Jan Remmelink, tindak

pidana adalah perilaku yang pada waktu tertentu dalam konteks suatu

budaya dianggap tidak dapat ditolerir dan harus diperbaiki dengan

mendayagunakan sarana-sarana yang disediakan oleh hukum pidana.2

Wirjono Prodjodikoro menggunakan istilah “tindak pidana” dan

mengartikan tindak pidana sebagai tindakan yang melanggar berbagai

kepentingan yang dilindungi oleh hukum, dan kepentingan tersebut terdiri

dari tiga jenis yaitu kepentingan individu-individu, kepentingan

masyarakat, kepentingan Negara.3

Berbeda dengan Wirjono Prodjodikoro, Moeljatno menggunakan

istilah “perbuatan pidana” dan memberi makna perbuatan pidana sebagai

perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai

2
Jan Remmelink, “Hukum Pidana”, Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana Indonesia, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003, hal. 61.
3
Wirjono Prodjodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, PT. Rafika
Aditama, Bandung, 2003, hal.16.
20

sanksi yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan

tersebut.4

E. Utrecht dalam Leden Marpaung menggunakan istilah “peristiwa

pidana” karena yang ditinjau adalah peristiwa (feit) dari sudut hukum

pidana.5

Simons sebagaimana dikutip oleh M. Haryanto menggunakan istilah

strafbaar feit dalam mendefinisikan tindak pidana, dimana menurutnya

strafbaar feit adalah kelakuan (handeling) yang diancam dengan pidana,

yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan

yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggungjawab.6 Serupa

dengan Simons, Van Hamel juga menggunakan istilah strafbaar feit yang

diartikan sebagai kelakuan orang (menslijke gedraging) yang dirumuskan

dalam wet, yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidana (straf

waardig) dan dilakukan dengan kesalahan.7 Dari definisi yang

dikemukakan oleh Simons dan Van Hammel di atas, maka dapat diambil

kesimpulan bahwa strafbaar feit mengandung unsur:

1) perilaku manusia (gedragingen);

2) diancam dengan pidana;

4
M. Haryanto, Strafbaar Feit, Perbuatan Pidana, Tindak Pidana,
http://blogmhariyanto.blogspot.com/2009/07/strafbaar-feit-menurut-bambang-
poernomo.html, diakses tanggal 1 April 2011
5
Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Cetakan Keempat, Sinar
Grafika, Jakarta, 2008, hal. 7
9
M. Haryanto, Loc.Cit.
7
Ibid.
21

3) bersifat melawan hukum (wederrechtelijkheid);

4) berhubungan dengan kesalahan (schuld);

5) dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab

(toerekeningsvatbaar) atau schuldfahig.

Dalam hal penggunaan istilah, pembentuk undang-undang Belanda

tidak mengggunakan istilah “perbuatan” atau “tindak” (handeling),

melainkan “fakta” (feit-tindak pidana). Penggunaan istilah tersebut

dikarenakan pengertian feit mencakup omne quod fit, jadi keseluruhan

kejadian (perbuatan), termasuk kelalaian serta situasi dan kondisi lainnya

yang relevan.8

Konsekuensi dari penggunaan istilah starbaar feit menurut M.

Haryanto yaitu:

“istilah tersebut baru dapat dipakai setelah ada penetapan putusan


hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap, karena untuk
mengetahui orang bersalah atau tidak, melawan hukum atau tidak,
dapat dipertanggungjawabkan atau tidak harus melalui suatu proses
penyelesaian perkara pidana berdasarkan hukum pidana formil yang
berlaku”9

Selain istilah perbuatan pidana, starbaar feit dan tindak pidana,

terdapat istilah lain yang digunakan oleh para ahli hukum dalam

mendeskripsikan “tindak pidana”, yaitu istilah “delik”.

8
Jan Remmelink,Op,Cit., hal. 85.
9
M. Haryanto, Loc. Cit.
22

Kata “delik“ berasal dari bahasa Latin, yakni delictum. Dalam

bahasa Jerman disebut delict, dalam bahsa Perancis disebut delit dan dalam

bahasa Belanda disebut delict.10 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,

delik diartikan sebagai perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena

merupakan pelanggaran terhadap undang-undang.11 Beberapa ahli hukum

pidana menggunakan istilah “delik” dan masing-masing memberi definisi

sebagai berikut:12

1. Vos : Delik adalah feit yang dinyatakan dapat dihukum


berdasarkan undang-undang.

2. Van Hammel : Delik adalah suatu serangan atau ancaman terhadap


hak-hak orang lain.

3. Simons : Delik dalah suatu tindakan melanggar hukum yang


telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja
oleh seseorang yang tindakannya tersebut dapat
dipertanggungjawabkan dan oleh undang-undang
telah dinyatakan sebagai suatu perbuatan yang dapat
dihukum.

Dengan melihat pendapat-pendapat tersebut di atas, maka dapat

disimpulkan bahwa tindak pidana adalah perilaku manusia yang dilarang

oleh undang-undang dan diancam dengan sanksi pidana.

10
Leden Marpaung, 2008, Op. Cit., hal. 7.
11
Ibid.
12
Ibid., hal. 8.
23

b. Unsur-Unsur Tindak Pidana

Pemahaman mengenai unsur-unsur tindak pidana merupakan hal

mutlak yang harus dimiliki oleh aparat penegak hukum dalam upaya

penegakan hukum pidana. Dengan pemahaman tersebut, maka dapat

diketahui apakah suatu perbuatan/tindakan dapat dikategorikan sebagai

tindak pidana atau tidak.

D. Simons menyebutkan bahwa unsur-unsur dari tindak pidana

(strafbaar feit) terbagi menjadi 2 (dua) yaitu, unsur objektif dan unsur

subjektif. Terhadap unsur-unsur tersebut dapat diutarakan sebagai berikut:13

1) Unsur Subjektif
Unsur subyektif adalah unsur yang berasal dari dalam diri
pelaku.
a) Orang yang mampu bertanggung jawab;
b) Adanya kesalahan (dolus atau culpa). Perbuatan itu harus
dilakukan dengan kesalahan.
2) Unsur Objektif
Unsur obyektif merupakan unsur dari luar diri pelaku yang
terdiri atas:
a) Perbuatan manusia, berupa:;
i. Perbuatan positif atau perbuatan negatif;
ii. Berbust atau tidak berbuat atau membiarkan.
b) Akibat yang kelihatan dari perbuatan itu;
c) Mungkin ada keadaan tertentu yang menyertai perbuatan itu.

Sama halnya dengan pendapat sebelumnya, Lamintang dalam Leden

Marpaung membagi unsur tindak pidana (delik) menjadi 2 (dua), yakni unsur

13
Prof Sudarto, S.H., Hukum Pidana I, (Semarang: F.H. Universitas
Diponogoro,1990), Hal. 40-41.
24

subyektif dan unsur obyektif. Selanjutnya Lamintang menyatakan sebagai

berikut:

“Yang dimaksud dengan unsur subyektif adalah unsur yang melekat


pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku dan
termasuk di dalamnya segala sesuatu yang terkandung di dalam
hatinya. Adapun yang dimaksud dengan unsur obyektif adalah
unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu dalam
keadaan ketika tindakan-tindakan dari si pelaku itu harus
dilakukan”14

Menurut Moeljatno, tiap-tiap perbuatan pidana harus terdiri atas unsur-

unsur lahir, oleh karena itu perbuatan yang mengandung kelakuan dan akibat

yang ditimbulkan adalah suatu kejadian dalam alam lahir.15

1) sifat melawan hukum atau wederrechtelijkheid;

2) kualitas dari si pelaku;

3) kualitas, yakni hubungan antara suatu tindakan sebagai

penyebab dengan suatu kenyataan sebagai akibat.

2. Pidana dan Pemidanaan

a. Definisi Pidana dan Pemidanaan

Pidana berasal dari kata “straf” (Belanda), yang pada dasarnya

dapat dikatakan sebagai suatu penderitaan/nestapa yang sengaja dikenakan

atau dijatuhkan kepada seseorang yang melakukan perbuatan yang

14
Ibid., hal.11.
15
Ibid.,hal. 10
25

memenuhi syarat-syarat tertentu sehingga dapat dikatakan melakukan

tindak pidana.16

Menurut Moeljatno dalam Muladi dan Barda Nawawi Arief, istilah

hukuman yang berasal dari kata straf, merupakan suatu istilah yang

konvensional. Moeljatno menggunakan istilah yang inkonvensional, yaitu

pidana.17

Menurut Menurut van Hamel


“een bijzonder leed, tegen den overtreder van een door den staat
gehandhaafd rechtsvoorschrift, op den enkelen grond van die
overtreding, van wege den staat als handhaver der openbare
rechtsorde, door met de rechtsbedeeling belaste gezag uit te spreken.”
yang artinya suatu penderitaan yang bersifat khusus, yang telah
dijatuhkan oleh kekuasaan yang berwenang untuk menjatuhkan pidana atas
nama negara sebagai penanggung jawab dari ketertiban hukum umum bagi
seorang pelanggar, yakni semata-mata karena orang tersebut telah
melanggar suatu peraturan hukum yang harus ditegakkan oleh negara.18
Menurut professor Simons, pidana atau straf itu adalah :
“Het leed door de strafwet als gevolg aan de overtrading van de norm
verbonden, data an de schuldige bij rechterlijk vonnis wordt opglegd”
yang artinya adalah suatu penderitaan yang oleh undang-undang
pidana telah dikaitkan dengan pelanggaran terhadapa sesuatu norma, yang
dengan suatu putusan hakim telah dijatuhkan bagi yang bersalah”19
Sedangkan menurut Moeljatno dalam bukunya yang berjudul

“Asas-asas Hukum Pidana” 1985 antara lain sebagai berikut :

16
Prof Sudarto, S.H., Loc. Cit.Hal. 5.
17
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung:
Alumni, 2005), Hal.1.
18
P.A.F. Lamintang, Hukum Penitensier Indonesia, (Bandung: Armico, 1984),
Hal. 34
19
Ibid, Hal. 35
26

“Hukum pidana adalah bagian daripada keseluruhan hukum yang


berlaku di suatu Negara yang mengadakan dasar-dasr dan aturan-
aturan untuk menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh
dilakukan yang dilarang serta disertai ancaman atau sanksi yang
berupa pidana tertentu bari yang melanggar, menentukan kapan dan
dalam hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan
itu dapat dikenakan pidanan sebagaimana yang diancamkan, dan
menentukan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan
apabila ada orang yang telah melanggar larangan tersebut”.20
Dari ketiga rumusan mengenai pidana dapat diketahui, bahwa

pidana itu sebenernya hanyalah merupakan penderitaan atau suatu alat

belaka. Hal ini dapat menimbulkan arti bahwa pidana itu bukan suatu

tujuan, bahkan di Indonesia sering terjadi kesalahan dalam mengartikan

kata doel der straf yang di artikan tujuan dari pidana, padahal yang

dimaksud adalah tujuan dari pemidanaan.

Saat ini Sudarto, perkataan pemidanaan itu sendiri adalah sinonim

dengan penghukuman, sehingga Sudarto mengatakan :

“penghukuman itu berasal daru kata dasar hukum, sehingga dapat


diartikan sebagai menetapkan hukum atau memutuskan tentang
hukumnya (berechten). Menetapkan hukum untuk suatu peristiwa itu
htidak hanya menyangkut bidang pidana saja, perdata pun bisa. Oleh
karena itu tulisan berkisar pada hukum pidana, maka istilah tersebut
harus dipersempit artinya penghukuman dalam perkara pidana, yang
kerap kali sama dengan pemidanaan atau pemberian atau penjatuhan
pidana oleh hakim. Penghukuman dalam hal ini mempunyai makna
sama dengan sentence atau veroordeling.’21

20
Suharto RM, S.H, Hukum Pidana Materil, (Jakarta: Sinar Grafika, 1991), Hal. 4
21
Prof. Sudarto, S.H, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Purwokerto: F.H. Universitas
Jenderal Soedirman,1990) Hal. 71
27

Menurut “Wetboek van strafrecht voor indonesie”, yang kemudian

berdasarkan pasal 6 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1964 namanya

diubah menjadi “Kitab Undang-Undang Hukum Pidana”, terdapat dua (2)

jenis pidana, yaitu pidana pokok dan pidana tambahan.

b. Teori Tujuan Pemidanaan

Salah satu cara untuk mencapai tujuan hukum pidana adalah

dengan menjatuhkan pidana terhadap seseorang yang telah melakukan

tindak pidana. Pada dasarnya pidana itu merupakan suatu penderitaan dan

nestapa yang sengaja dijatuhkan Negara kepada mereka atau seseorang

yang telah melakukan tindak pidana.

Dalam hukum pidana dikenal beberapa teori tentang penjatuhan

pidana kepada seseorang yang melakukan tindak pidana, terdapat tiga (3)

golongan, yaitu :22

1) Teori Absolut atau Teori Pembalasan

Pidana itu merupakan suatu akibat hukum yang mutlak harus

ada sebagai suatu pembalasan kepada seseorang yang telah

melakukan kejahatan.

Menurut Andi Hamzah


“tujuan pembalasan (revenge) disebut juga sebagai tujuan untuk
memuaskan pihak yang dendam baik masyarakat sendiri maupun
pihak yang dirugikan atau menjadi korban kejahatan.”

22
Tolib Setiady,2010. Pokok-Pokok Hukum Penitensier Indonesia, hal. 52
28

Sehingga pidana dimaksudkan semata-mata hanya untuk

memberikan penderitaan kepada orang yang melakukan kejahatan.

Pada dasarnya teori pembalasan mempunyai 2 sudut, yaitu :

a. Sudut Subjektif (subjecteive vergelding) yang pembalasannya

ditujukan kepada orang lain yang berbuat salah;

b. Sudut Objektif (objectieve vergelding) yang pembalasannya

ditujukan untuk memenuhi perasaan balas dendam masyarakat.

2) Teori Relatif atau Teori Tujuan

Pidana itu bukanlah untuk melakukan pembalasan kepada

pembuat kejahatan, melainkan mempunyai tujuan-tujuan tertentu

yang bermanfaat.

Menurut Muladi dan Barda Nawawi

“Pidana dijatuhkan bukan quia peccatum est (karena orang membuat


kejahatan) melainkan ne peccatum (supaya orang jangan melakukan
kejahatan).

3) Teori Gabungan

Teori gabungan terbagi menjadi tiga (3) golongan, yaitu :

a) Menitik beratkan pidana pada pembalasan, tetapi

pembalasan itu tidak boleh melebihi daripada yang

diperlukan dalam mempertahankan ketertiban masyarakat;

b) Menitik beratkan pidana pada pertahanan kertertiban

masyrakat, tetapi tidak boleh lebih berat daripada beratnya


29

penderitaan yang sesuai dengan beratnya perbuatan si

terpidana;

c) Menitik beratkan sama baiknya antara pembalasan dan

juga pertahanan ketertiban masyarakat.

c. Tujuan Pemidanaan

Pemikiran mengenai tujuan dari suatu pemidanaan yang dianut

orang-orang saat ini sebenarnya bukan merupakan suatu pemikiran baru,

melaikan sedikit banyak telah mendapatkan dari para-para pemikir

berabad- abad yang lalu. Dari pemikiran para pemikir yang telah ada,

ternayata tidaklah memiliki kesamaan pendapat, namun pada dasarnya

terdapat tiga (3) pokok pikiran tentang tujuan yang akan dicapai dengan

adanya suatu pemidanaan, yaitu :23

1. Untuk memperbaiki pribadi dari penjahatnya itu sendiri;

2. Untuk membuat orang menjadi jera untuk melakuakan kejahatan-

kejahatan;

3. Untuk membuat penjahat-penjahat tertentu menjadi tidak mampu

untuk melakuakan kejahatan-kejahatan lain, yakni penjahat-

penjahat yang dengan cara-cara yang lain sudah tidak dapat

diperbaiki lagi.

23
Ibid, Hal. 31
30

3. Pembebasan Beryarat (Voorwaardelijke Invrjheids Stelling)

a. Pengertian Pembebasan Bersyarat

Pembebasan bersyarat adalah proses pembinaan narapidana di luar

Lembaga Pemasyarakatan setelah menjalani sekurang-kurangnya 2/3 (dua

per tiga) masa pidananya dengan ketentuan 2/3 (dua per tiga) masa pidana

tersebut minimal 9 (sembilan) bulan.24 Pembebasan bersyarat tersebut

merupakan bagian dari fungsi Lembaga Pemasyarakatan, yang merupakan

salah satu dari bagian sistem peradilan pidana Indonesia, yaitu Kepolisian,

Kejaksaan, dan Pengadilan.25 Ketentuan mengenai pembebasan bersyarat

di dalam peraturan perundang-undangan Indonesia, pertama kalinya

termuat dengan istilah pelepasan bersyarat di dalam Kitab Undang-

Undang Hukum Pidana (KUHP), dimana penyusunan KUHP dibuat

berdasarkan Wetboek van straftrecht voor Nederlandsch-Indie, yang

Hukum Pidana itu sendiri.26 Keberadaan ketentuan pelepasan bersyarat

dalam Wetboek van straftrecht voor Nederlandsch-Indie terpengaruh oleh

sistem pidana penjara di Inggris (progressive system), dimana

pembebasan bersyarat tersebut dimaksudkan sisa pidana terakhir dalam

24
Indonesia [g], Peraturan Pemerintah tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak
Warga Binaan Pemasyarakatan, PP No. 32 Tahun 1999, LN No. 69 Tahun 1999, TLN No. 3846,ps.
1 bagian 7.
25
Petrus Irwan Pandjaitan dan Wiwik Sri Widiarty, Pembaharuan pemikiran DR.
Sahardjo Mengenai Pemasyarakatan Narapidana, (Jakarta: Indhill Co, 2008), hlm. 23
26
R. Achmad S. Soemadipradja dan Romli Atmasasmita, Sistem Pemasyarakatan Di
Inodonesia, (Bandung: Penerbit Binacipta, 1979), hlm. 17.
31

rangka pengembalian terpidana dengan baik ke masyarakat.27

Pengertian pelepasan bersyarat tidak secara tersurat dituliskan

dalam KUHP. Ketentuan pelepasan bersyarat dalam KUHP yang

ditetapkan dengan K.B. No.33 tanggal 15 Oktober 1955 yang berlaku di

Indonesia pada tanggal 1 Januari1918 (vide Stb. 1917-497 jo 645)28,

mengalami perubahan melalui Stb. 1926-251 jo 486.29 Pada Pasal 15 lama

ditentukan bahwa pelepasan bersyarat diterapkan kepada penjatuhan

pidana penjara yang panjang. Pelepasan bersyarat akan diberikan apabila

tiga perempat dari pidananya telah dijalani dalam penjara, yang sekurang-

kurangnya harus tiga tahun. Sedangkan pada Pasal 15 KUHP yang diubah

dengan Stb 1926-251 jo 486, yang merupakan Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana yang berlaku hingga sekarang, pelepasan bersyarat dapat

diberikan kepada terpidana yang telah menjalani 2/3 (dua per tiga) dari

lamanya pidana penjara yang dijatuhkan kepadanya, yang sekurang-

kurangnya harus 9 (sembilan) bulan, dimana ketentuan ini juga berlaku

pada saat istilah pembebasan bersyarat digunakan. Selanjutnya, dalam

peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pelepasan

bersyarat, yaitu KUHP dan Ordonansi Pelepasan Bersyarat

27
E.Y. Kanter dan S. R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan
Penerapannya, cet. 3, (Jakarta: Storia Grafika, 2002), hlm. 473.
28
Bambang Poernomo, Pelaksanaan Pidana Penjara Dengan Sistem Pemasyarakatan,
(Yogyakarta: Liberty, 1985), hlm. 87.
29
E.Y. Kanter dan S. R. Sianturi, op. cit., hlm. 476.
32

(Voorwaardelijke Invrijheidsteeling) S. 1917-749, tidak terdapat ketentuan

mengenai bimbingan dan pembinaan terhadap terpidana yang menjalani

pembebasan bersyarat. Hal tersebut berbeda pada saat istilah pembebasan

bersyarat digunakan, yakni terdapat pengaturan mengenai bimbingan dan

pembinaan dalam ketentuan pembebasan bersyarat, yaitu dalam Undang-

UndangNomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, yang menyatakan

bahwa terpidana yang menjalani pembebasan bersyarat wajib mengikuti

bimbingan yang diberikan oleh Balai Pemasyarakatan (BAPAS).

Berdasarkan dari tujuan daripada penjatuhan pidana selain

pembalasan kepada pelaku atas kejahatannya juga bermaksud

mengamankan masyarakat, dari kedua tujuan tersebut juga bermaksud

untuk mempersiapkan dan memberikan narapidana tersebut bekal saat

dikembalikan ke dalam masyarakat.

Pembinaan narapidana yang dilaksanakan berdasarkan sistem

kemasyrakatan diharapkan mampuh untuk mencapai tujuan-tujuan dari

pemidanaan, untuk mewujudkan tujuan tersebut salah satu upayanya adalah

dengan pemberian pembebasan bersyarat.

Pelepasan bersyarat pada awalnya dikenal di dalam Wetboek Van

Strafrecht (WvS) Belanda, kemudian dirubah dengan Stb. 1926 No. 251 jo

486 yang merupakan kelanjutan dari Stb. 1917 No. 749 yang saat ini

dikenal sebagai Ordonnantie Op De Voorwaardelijke Invrjheids Stelling.


33

Lamintang mengatakan bahwa pembebasan bersyarat dibagi

menjadi dua golongan, yaitu :30

1) Pembebasan bersyarat dari kewajiban untuk menjalankan pidana


penjara dalam suatu lembaga pemasyarakatan seperti yang diatur
dalam Pasal 15 sampai Pasal 17 KUHP, lebih lanjut setelah diatur
dalam ordonansi tanggal 27 Desember 1917, Stb nomor 749 yang
juga dikenal sebagai ordonansi de voorwardelijjke invrijheidstelling
atau peraturan mengenai Pembebasan bersyarat.
2) Pembebasan bersyarat dari kewajiban untuk mendapatkan
pendidikan dalam suatu lembaga pendidikan suatu Negara seperti
yang dimaksud dalam Pasal 68 ayat (2) dan Pasal 69 ayat (1) dari
ordonansi pada tanggal 21 Desember 1917, Stb nomor 741 yang
juga dikenal sebagai dwangopveding regeling atau peraturan
mengenai pendidikan paksa.

Pembebasan yang akan dijelaskan lebih lanjut adalah pembebasan

bersyarat dari kewajiban untuk menjalankan pidana penjara sebagai mana

telah diatur dalam Pasal 15 sampai dengan Pasal 16 KUHP.

Dalam praktek dibidang hukum khususnya hukum pidana sering

dijumpai berbagai terjemahan yang berbeda-beda mengenai pembebasan

bersyarat. Dalam bahasa Belanda digunakan istilah voorwardelijje

invrijheidstelling yang jika diterjemahkan artinya Pembebasan Bersyarat. 31

BPHN menggartikannya dengan istilah pelepasan bersyarattanpa

menyadari bahwa istilah tersebut dapat menimbulkan salah penafsiran

terutama bagi orang awam, karena istilah pelepasan ini tidak lazim

30
P.A.F. Lamintang, 1984. Op. Cit., hal. 247-248.
31
Ibid, Hal. 250.
34

digunakan dalam hukum pidana dan BPHN sendiri sering mengalami

kesulitan dalam penggunaannya.32

Istilah pembebasan bersyarat akan Nampak lebih lazim digunakan

dalam hukum pidana jika dalam Pasal 191 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 192

ayat (1), Pasal 183 ayat (2) huruf b KUHP dan lain-lain.33

Dalam KUHP kita tidak ada Pasal yang menyebutkan pengertian

pembebasan bersyarat, KUHP hanya menyebutkan mengenai syarat-syarat

bahwa seorang narapidana berhak mendapatkan pembebasan bersyarat.

Pengertian pembebasan bersyarat ini akan nampak lebih jelas jika

kita melihat peraturan perundang-undangan diluar KUHP dan pendapat

para pakar bidang ilmu hukum.

Pembebasan bersyarat menurut ketentuan Pasal 1 huruf b

Keputusan Menteri Kehakiman Nomor M.01-PK.04.10 Tahun 1999

tentang Asimilasi, Pembebasan Bersyarat dan Cuti Menjelang Bebas

adalah :

Pembebasan bersyarat dan cuti menjelang bebas adalah proses


pembinaan narapidana di luar lembaga pemasyarakatan,
berdasarkan ketentuan Pasal 15 dan 16 KUHP serta Pasal 14, Pasal
22 dan Pasal 29 Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan.

32
Ibid, Hal. 250.
33
Ibid, Hal. 250.
35

Mengenai pengawasan terhadap narapidana yang sedang

menjalankan pembebasan bersyarat dilakukan oleh Kejaksaan Negeri dan

BAPAS. Pengawasan tersebut dimaksudkan untuk tetap memonitor segala

perbuatan narapidana dalam menjalani cuti yang diberikan. Apabila

nantinya dalam pelaksanaan bebas bersyarat terdapat narapidana ternyata

hidup secara tidak teratur, bermalas-malasan berkerja, bergaul dengan

residivis, mengulangi tindak pidana, menimbulkan keresahan dan

melanggar ketentuan mengenai pelaksanaan pembebasan bersyarat maka

pembebasan yang di berikan dicabut kembali.

b. Dasar Hukum Pembebasan Bersyarat

Dasar hukum yang utama mengenai pembebasan bersyarat adalah

tertuang dalam Pasal 15 dan Pasal 16 KUHP, disamping itu terdapat pula

aturan pelaksanaan yang lain dalam berbagai bentuk peraturan perundang-

undangan.

Dalam Pasal 15 dan Pasal 16 KUHP tersebut terdapat syarat-

syarat untuk mendapatkan pembebasan bersyarat bagi narapidana.

Pasal 15 KUHP :
(1) Jika terpidana telah menjalani dua pertiga dari lamanya pidana
penjara yang dijatuhkan kepadanya, sekurang-kurangnya harus
sembilan bulan, maka ia dapat dikenakan pelepasan bersyarat. Jika
terpidana harus menjalani beberapa pidana berturut- turut, pidana
itu dianggap sebagai satu pidana.
36

(2) Ketika memberikan pelepasan bersyarat, ditentukan pula suatu


masa percobaan, serta ditetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi
selama masa percobaan.
(3) Masa percobaan itu lamanya sama dengan sisa waktu pidana
penjara yang belum dijalani, ditambah satu tahun. Jika terpidana
ada dalam tahanan yang sah, maka waktu itu tidak termasuk masa
percobaan.

Pasal 15a KUHP :


(1) Pelepasan bersyarat diberikan dengan syarat umum bahwa
terpidana tidak akan melakukan tindak pidana dan perbuatan lain
yang tidak baik.
(2) Selain itu, juga boleh ditambahkan syarat-syarat khusus mengenai
kelakuan terpidana, asal saja tidak mengurangi kemerdekaan
beragama dan kemerdekaan berpolitik.
(3) Yang diserahi mengawasi supaya segala syarat dipenuhi ialah
pejabat tersebut dalam pasal 14d ayat 1.
(4) Agar supaya syarat-syarat dipenuhi, dapat diadakan pengawasan
khusus yang semata- mata harus bertujuan memberi bantuan
kepada terpidana.
(5) Selama masa percobaan, syarat-syarat dapat diubah atau di hapus
atau dapat diadakan syarat-syarat khusus baru; begitu juga dapat
diadakan pengawasan khusus. Pengawasan khusus itu dapat
diserahkan kepada orang lain daripada orang yang semula diserahi.
(6) Orang yang mendapat pelepasan bersyarat diberi surat pas yang
memuat syarat-syarat yang harus dipenuhinya. Jika hal-hal yang
tersebut dalam ayat di atas dijalankan, maka orang itu diberi surat
pas baru.

Pasal 15b KUHP :


(1) Jika orang yang diberi pelepasan bersyarat selama masa percobaan
melakukan hal-hal yang melanggar syarat-syarat tersebut dalam
surat pasnya, maka pelepasan bersyarat dapat dicabut. Jika ada
sangkaan keras bahwa hal-hal di atas dilakukan, Menteri
Kehakiman dapat menghentikan pelepasan bersyarat tersebut
untuk sementara waktu.
(2) Waktu selama terpidasna dilepaskan bersyarat sampai menjalani
pidana lagi, tidak waktu pidananya.
(3) Jika tiga bulan setelah masa percobaan habis, pelepasan bersyarat
tidak dapat dicabut kembali, kecuali jika sebelum waktu tiga bulan
lewat, terpidana dituntut karena melakukan tindak pidana pada
masa percobaan, dan tuntutan berakhir dengan putusan pidana
yang menjadi tetap. Pelepasan bersyarat masih dapat dicabut
37

dalam waktu tiga bulan bersyarat masih dapat dicabut dalam


waktu tiga bulan setelah putusan menjadi tetap berdasarkan
pertimbangan bahwa terpidana melakukan tindak pidana selama
masa percobaan.

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 15 KUHP tersebut diatas

dapat dilihat tentang syarat pemberian pembebasan bersyarat. Dalam hal

tersebut terdakwa harus telah menjalani hukuman sekurang-kurangnya dua

pertiga dari hukuman yang dijatuhkan oleh hakim atau sekurang kurangnya

Sembilan (9) bulan dan dalam jangka waktu yang telah ditentukan tidak

boleh melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum.

Permohonan pembebasan bersyarat bagi narapidana yang telah

memenuhi dua pertiga masa pidanannya yang sekurang-kurangnya

Sembilan (9) bulan sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 15 KUHP, maka

sebelum permohonan diajukan ke Kantor Wilayah Departemen Kehakiman

Republik Indonesia terlebih dahulu harus memenuhi syarat-syarat

sebagaimana yang telah ditentukan dalam Keputusan Menteri Kehakiman

Republik Indonesia Nomor. M.01.04.10 Tahun 1999 tentang Asimilasi,

Cuti menjelang bebas dan Pembebasan Bersyarat.

1) Syarat Substantif
a. Telah menunjukkan kesadaran dan penyesalan atas kesalahan
yang menyebabkan dijatuhi pidana;
b. Telah menunjukkan perkembangan budi pekerti dan moral
yang positif;
c. Berhasil mengikuti program kegiatan pembinaan dengan
tekun dan bersemangat;
d. Masyarakat telah dapat menerima program pembinaan
narapidana yang bersangkutan;
38

e. Selama menjalani pidana narapidana atau anak pidana tidak


pernah mendapat hukuman disiplin sekurang-kurangnya
dalam waktu 9 bulan terakhir;
f. Masa pidana yang dijalani; telah menjalani 2/3 darimasa
pidananya, setelah dikurangi masa tahanan dan remisi
dihitung sejak tanggal putusan pengadilan memperoleh
kekuatan hukum tetap dengan ketentuan 2/3 tersebut tidak
kurang dari 9 bulan.

2) Administratif
a) Salinan surat keputusan pengadilan;
b) Surat keterangan asli dari kejaksaan bahwa narapidanma yang
bersangkutan tidak mempunyai perkara atau tersangkut
dengan tindak pidana lainnya;
c) Laporan penelitian kemasyarakatan (Litmas ) dari balai
pemasyarakatan tentang pihak keluarga yang akan menerima
narapidana, keadaan masyarakat sekitarnya dan pihak lain
yang ada hubungannya dengan narapidana;
d) Salinan (daftar huruf F) daftar yang memuat tentang
pelanggaran tata tertib yang dilakukan narapidana selama
menjalankan masa pidana dari kepala lembaga
pemasyarakatan;
e) Salinan daftar perubahan atau pengurangan masa pidana,
seperti grasi, remisi, dan lain-lain dari kepala lembaga
pemasyarakatan;
f) Surat pernyataan kesanggupan dari pihak yang akan
menerima narapidana, seperti; pihak keluarga, sekolah, intansi
pemerintah/swasta dengan diketahui oleh pemerintah daerah
setempat serendah-rendahnya lurah atau kepala desa;
g) Surat keterangan kesehatan dari psikolog atau dari dokter
bahwa narapidana sehat baik jasmani maupun jiwanya dan
apabila di Lapas tidak ada Psikolog dan dokter, maka surat
keterangan dapat dimintakan kepada dokter puskesmas atau
rumah sakit umum;
h) Bagi narapidana atau anak pidana WNA diperlukan syarat
tambahan :
i. Surat keterangan sanggup menjamin kedutaan besar/
konsulat negara orang asing yang bersangkutan.
ii. Surat rekomendasi dari kepala kantor imigrasi setempat.
39

Selain ketentuan yang mengatur tentang syarat untuk pemberian

pembebasan bersyarat tersebut diatas, dalam pasal 16 KUHP juga diatur

tentang pihak yang berwenang untuk menetapkan pemberian pembebasan

bersyarat.

Ketentuan dalam Pasal 16 KUHP adalah sebagai berikut :


Pasal 16
(1) Ketentuan pelepasan bersyarat ditetapkan oleh Menteri
Kehakiman atas usul atau setelah mendapat kabar dari pengurus
penjara tempat terpidana, dan setelah mendapat keterangan dari
jaksa tempat asal terpidana. Sebelum menentukan, harus ditanya
dahulu pendapat Dewan Reklasering Pusat, yang tugasnya diatur
oleh Menteri Kehakiman.
(2) Ketentuan mencabut pelepasan bersyarat, begitu juga hal-hal yang
tersebut dalam pasal 15a ayat 5, ditetapkan oleh Menteri
Kehakiman atas usul atau setelah mendapat kabar dari jaksa
tempat asal terpidana. Sebelum memutus, harus ditanya dahulu
pendapat Dewan Reklasering Pusat.
(3) Selama pelepasan masih dapat dicabut, maka atas perintah jaksa
tempat dimana dia berada, orang yang dilapaskan bersyarat orang
yang dilepaskan bersyarat dapat ditahan guna menjaga ketertiban
umum, jika ada sangkaan yang beralasan bahwaorang itu selama
masa percobaan telah berbuat hal-hal yang melanggar syarat-
syarat tersebut dalam surat pasnya. Jaksa harus segera
memberitahukan penahanan itu kepada Menteri Kehakiman.
(4) Waktu penahanan paling lama enam puluh ahri. Jika penahanan
disusul dengan penghentian untuk sementara waktu atau
pencabutan pelepasan bersyarat, maka orang itu dianggap
meneruskan menjalani pidananya mulai dari tahanan.

Mengenai bagaimana cara pengusulan pembebasan bersyarat, tentang

bagaimana cara Menteri Kehakiman meminta saran dari Dewan

Reklasering Pusat, tentang apa saja yang dapat diputuskan oleh Menteri

Kehakiman tersebut, Semua tidak diatur dalam Kitab Undang-undang


40

Hukum Pidana, melainkan diatur dalam Ordonansi Pembebasan Bersyarat

Tanggal 27 Desember 1917, Staatblad tahun1919 Nomor 744.

Menurut Pasal 1 dari Ordonansi tentang pembebasan bersyarat, usul

dari Kepala Lembaga Pemasyarakatan yang dikirim kepada Menteri

Kehakiman memuat :

1. penunjukan dengan secermat mungkin terpidana yang


bersangkutan;
2. penyebutan putusan hakim yang pidananya harus dijalankan oleh
terpidana tersebut, hari mulaidijalankannya pidana itu dan kapan
akan berakhir;
3. segala hal yang diketahui oleh kepala penjara tentang riwayat
hidup terpidana tersebut yangsekiranya perlu dicantumkan,
pekerjaan atau usaha apa yang telah pemah dijalankan
sebelumdijatuhi pidana, apa yang telah dipelajarinya,
kemungkinan cara mencari nafkah sesudahdilepaskan dan
berhubungan dengan itu usul untuk diberikan bekal uang atau tidak
kepada orangyang akan dilepaskan dengan bersyarat itu dari kas
pesangonnya;
4. syarat-syarat khusus yang dihubungkan dengan pelepasan
bersyarat itu yang antara lain dapatmengenai tempat tinggalnya di
dalam atau di luar suatu daerah;
5. tempat yang ingin dituju terpidana itu setelah dilepaskan dengan
bersyarat itu.

Pasal 2 Ordonansi ini juga menentukan bahwa usulan dari Kepala

Lembaga Pemasyarakatan harus terlampir dengan :

1. kutipan surat keputusan hakim yang menjadi dasar terpidana


tersebut menjalani pidananya disertaidaftar mutasinya;
2. daftar yang disahkan tentang pidana tata tertib yang telah
dijatuhkan kepadanya selama tiga tahunsebelum usul itu diajukan;
3. segala pemberitaan dan keterangan yang diperoleh berdasarkan
pasal 3 atau turunannya.
41

Setelah menerima usulan mengenai pembebasan bersyarat seseorang

narapidana dari Kepala Lembaga Pemasyarakatan, maka Menteri

Kehakiman akan mengusulkan usul tersebut kepada Dewan Reklasering

Pusat. Menteri Kehakiman akan memberikan putusannya mengenai

pembebasan bersyarat bagi seorang narapidana dengan menetapkan jangka

waktu yang ada dan menetapkan besarnya jumlah uang yang akan didapat

oleh narapidana sebagai bekal untuk memulai dengan usaha yang baru

setelah dibebaskan secara bersyarat dari Lembaga Pemasyarakatan. Dalam

Pasal 5 Ordonansi tentang Pembebasan Bersyarat menyebutkan sebagai

berikut :

1. Pada waktu pemberian pelepasan bersyarat, diberikan surat tanda


izin (Pas) kepada terpidana itu menurut model yang dilampirkan
pada ordonansi ini;
2. Syarat-syarat yang harus dipenuhi selama masa pidananya belum
selesai dicantumkan di bagian belakang surat izin itu;
3. Duplikat surat izin yang dibubuhi sidik jari terpidana itu
disampaikan kepada Kantor Besar Penjara (kini: Kementrian
Hukum dan Hak Asasi Manusia).

Pasal 15a ayat (1) dan ayat (2) KUHP hanya menyantumkan bahwa

bagi orang yang dibebaskan secara bersyarat itu dapat ditetapkan secara

syarat umum dan syarat khusus yang harus dipenuhi oleh seseorang

narapidana selama masa percobaan, akan tetapi tidak menjelaskan secara

rinci tentang kriteria yang harus digunakan untuk menetapkan syarat-syarat

tersebut, kecuali hanya membatasi bahwa syarat khusus berkenaan dengan


42

prilaku narapidana tidak boleh membatasi kebebasan untuk beragama dan

kebebasan berpolitik.

Pasal 19 Ordonansi pembebasan bersyarat mengatur syarat limitatife

hal-hal yang tidak boleh dilanggar seorang narapidana yang mendapatkan

pembebasan bersyarat, yaitu :

Terpidana yang dilepaskan dengan bersyarat dianggap berprilaku


bertentangandengan syarat-syarat umum yang dimaksud dalam pasal 15 a
Kitab Undang-undang Hukum Pidana bila :
1. ia hidup secara malas dan tidak terkendalikan.
2. ia bergaul dengan orang-orang yang terkenal jahat

Terhadap seorang narapidana yang sedang menjalani masa percobaan

pembebasan bersyarat kemudian melakukan pelanggaran seperti yang telah

ditentukan dalam Pasal 19 Ordonansi pembebasan bersyarat, maka

pembebasan bersyarat dapat dicabut kembali untuk sementara waktu atau

dapat di cabut sepenuhnya.

Mekanisme pencabutan pemberian pembebasan bersyarat ini dilakukan

oleh Dewan Reklasering Pusat atau usul dari Menteri Kehakiman setelah

Menteri Kehakiman mendapat surat dari Jaksa wilayah dimana tnarpidana

tersebut tinggal yang isinya sesuai dengan Pasal 12 ayat (2) huruf a dan b

juga pada ayat (3) Ordinansi pembebasan bersyarat, yaitu :

(2) Usul asisten residen agar keputusan tentang pelepasan bersyarat


dicabut memuat :
a. keterangan yang terinci mengenai orang yang dilepaskan dengan
bersyarat itu, sedapatmungkin dengan dilampirkan juga pasnya;
b. alasan-alasan yang menyebabkan diajukan usul itu.
43

(3) Pada usul ini dilampirkan berita-berita acara, catatan-catatan, dan


surat surat lain yang dipandangberguna, begitu pula berita acara
pemberiksaan orang yang dilepaskan dengan bersyarat itu,kecuali
jika memang ia tidak dapat didengar.

4. Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS)

a. Pengertian Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS)

Lembaga pemasyarakatan (LAPAS) adalah suatu tempat yang

dahulu dikenal dengan sebutan rumah penjara, yakni tempat di mana

orang-orang yang telah di jatuhi dengan pidana tertentu oleh hakim itu

harus menjalankan pidana mereka.

Sebutan lembaga pemasyarakatan merupakan gagasan dari dokter

Sahardjo yang saat itu menjabat sebagai Menteri Kehakiman. Gagasan

tersebut merupakan asalan dokter Sahardjo. untuk merubah rumah penjara

menjadikan tempat yang tadinya semata-mata hanya untuk memidana

seseorang menjadi tempat untuk membina atau mendidik orang-orang

terpidana agar setelah menjalankan pidana, mereka mempunyai

kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan masyarakat dan nantinya

dapat menjadi seorang warga Negara yang baik.34

Menurut Pasal 1 ayat (1) Kepmenkeh. RI. Nomor M-01-Pr-07-03

Tahun 1985 tentang Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Pemasyarakatan,

lembaga pemasyarakatan adalah

34
Ibid Hal. 169
44

“ Lembaga Pemasyarakatan Untuk selanjutnya dalam Keputusan ini


disebut LAPAS adalah unit pelaksana teknis dibidang Pemasyarakatan
yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada
KepalaKantor Wilayah Departemen Kehakiman.”

b. Fungsi Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS)

Dalam Pasal 3 Kepmenkeh. RI. Nomor M-01-Pr-07-03 Tahun 1985

tentang Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Pemasyarakatan Lembaga

pemasyarakatan dalam menjalankan tugasnya lembaga pemasyarakatn

tersebut memiliki fungsi, yaitu :

1) melakukan pembinaan narapidana/anak didik;


2) memberikan bimbingan, mempersiapkan sarana dan mengelola hasil
kerja;
3) melakukan bimbingan sosial/kerokhaniaan narapidana/anak didik;
4) melakukan pemeliharaan keamanan dan tata tertib Lembaga
Pemasyarakatan;
5) melakukan urusan tata usaha dan rumah tangga
Lembaga pemasyarakatan sendiri terdapat tiga (3) kelas, yang

masing-masing memiliki klasifikasi yang berbeda. Klasifikasi tersebut

berdasarkan pada kapasitas, tempat kedudukan dan kegiatan kerja dari

masing-masing lembaga pemasyarakatan. Menurut Pasal 4 Kepmenkeh. RI.

Nomor M-01-Pr-07-03 Tahun 1985 tentang Organisasi dan Tata Kerja

Lembaga Pemasyarakatan, lembaga pemasyarakatan di bagi 3 kelas, yaitu :

1) Lembaga Pemasyarakatan Kelas I.


Teridiri dari :
a) Bagian Tata Usaha;
b) Bidang Pembinaan Narapidana;
c) Bidang Kegiatan Kerja;
d) Bidang Administrasi Keamanan dan Tata Tertib;
45

e) Kesatuan Pengamanan LAPAS.

2) Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A.


Terdiri dari :
a) Sub Bagian Tata Usaha;
b) Seksi Bimbingan Narapidana/ Anak Didik;
c) Seksi Kegiatan Kerja;
d) Seksi Administrasi Keamanan dan Tata Tertib;
e) Kesatuan Pengamanan LAPAS.

3) Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B.


Terdiri dari :
a) Sub Bagian Tata Usaha;
b) Seksi Bimbingan Narapidana/ Anak Didik dan Kegiatan Kerja;
c) Seksi Administrasi Keamanan dan Tata Tertib;
d) Kesatuan Pengamanan LAPAS.
46

BAB III

METODE PENELITIAN

3. Metode Pendekatan

Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis

sosiologis. Yuridis sosiologis yaitu pendekatan yang menekankan pada

pencarian-pencarian. Yuridis itu sendiri adalah suatu penelitian yang

menekankan pada ilmu hukum, tetapi di samping itu juga sosiologis yaitu

berusaha menelaah kaidah-kaidah hukum yang berlaku di masyarakat.

Hukum tidak dimaknai sebagai kaidah-kaidah normatif yang

eksistensinya berada secara ekslusif di dalam suatu sistem legitimasi yang

formal, melainkan sebagai gejala empiris yang teramati di alam pengalaman.35

Keajegan-keajegan (regularities) ataupun keseragaman-keseragaman

(uniformaties) dalam gejala empiris tersebut, berkonsekuensi pada dapat

diamatinya hukum, dan melalui proses induksi, pertalian-pertalian kausalnya

dengan gejala-gejala lain non-hukum di dalam masyarakat akan dapat

disimpulkan.36

Dalam penelitian ini, peneliti akan terfokus pada pelaksanaan

pembebasan bersyarat di lembaga pemasyarakatan (LAPAS) Purwokerto.

Dilakukannya penelitian ini bertujuan untuk memperoleh kejelasan mengenai

efektivitas pelaksanaan pembebasan bersyarat yang dilakukan oleh aparat

35
Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, Cetakan Keenam, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hal.75.
36
Ibid., hal.76.
47

penegak hukum di lembaga pemasyarakatan (LAPAS) Purwokerto dalam

memberikan hak-hak yang dimiliki Narapidana, salah satunya pemberian

pembebasan bersyarat.

2. Spesifikasi Penelitian

Spesifikasi penelitian adalah deskriptif yaitu suatu penelitian yang

dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin dengan manusia,

keadaan atau gejala-gejala lainnya, serta hanya menjelaskan keadaan objek

masalahnya tanpa bermaksud mengambil kesimpulan yang berlaku umum.37

Menurut Bambang Sunggono penelitian deskriptif yaitu:

”penelitian dimana analisis data tidak keluar dari lingkup sample, bersifat
deduktif, berdasarkan teori atau konsep yang bersifat umum yang
diaplikasikan untuk menjelaskan tentang seperangkat data, atau
menunjukkan komparasi atau hubungan seperangkat data dengan
seperangkat data yang lain”38

Spesifikasi penelitian secara deskriptif bertujuan untuk memperoleh

gambaran tentang pelaksanaan pembebasan bersyarat di lembaga

pemasyarakatan (LAPAS) Purwokerto.

Dalam hal ini peneliti akan menggambarkan bagaimanakah

pelaksanaan pembebasan bersyarat di lembaga pemasyarakatan (LAPAS)

Purwokerto, faktor-faktor yang mempengaruhinya, hambatan-hambatan yang

ada,serta bagaimana cara memecahkan hambatan-hambatan tersebut.

37
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UII-Press, Jakarta, 1986, hal.10.
38
Bambang Sunggono, 2003, Op. Cit. hal.38.
48

3. Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di beberapa lokasi, yaitu di lembaga

pemasyarakatan (LAPAS) Purwokerto.

4. Jenis dan Sumber Data


Dalam penelitian ini menggunakan dua sumber data, yaitu :

a. Data Primer

Data Primer atau data dasar yang diperoleh langsung dari masyarakat,

dalam hal ini dari informan penelitian, bisa berupa uraian lisan atau

tertulis yang ditujukan oleh informan. Data primer yang digunakan

penulis dalam penelitian ini adalah data yang diperoleh dari hasil uraian

yang akan diberikan oleh Kepala lembaga pemasyarakatan (LAPAS)

Purwokerto, Kasub sie Pelayanan Tahanan, Staf Keamanan, Kabag

Pembinaan dan Pendidikan, Kasub sie Registrasi dan Pimpinan Tata

Usaha serta narapidana yang mendapatkan pembebasan bersyarat.

b. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh melalui bahan-bahan

kepustakaan. Data sekunder yang digunakan dalm penelitian ini yaitu

bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.

Bambang Sunggono membedakan ketiga data tersebut yaitu:39

39
Bambang Sunggono, 2003. Op. Cit., hal.113-114
49

2) Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang bersifat

mengikat, yang terdiri dari perundang-undangan, bahan hukum yang

tidak dikodifikasikan, yurisprudensi, traktat, serta bahan hukum dari

zaman penjajahan yang hingga kini masih berlaku.

Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah

Undang-Undang Dasar 1945, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

(KUHP), Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang

Pemasyarakatan, Keputusan Menteri Kehakiman Nomor M.01-

PK.04.10 Tahun 1999 tentang Asimilasi, Pembebasan Bersyarat dan

Cuti Menjelang Bebas, Kepmenkeh. RI. Nomor M-01-Pr-07-03

Tahun 1985 tentang Organisasi dan Tata Kerja Lembaga

Pemasyarakatan.

3) Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan

penjelasan mengenai bahan hukum primer. Bahan-bahan hukum

sekunder terdiri dari pustaka di bidang ilmu hukum, rancangan

peraturan perundang-undangan, artikel-artikel ilmiah, baik dari media

massa maupun internet.

4) Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk atau

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum

sekunder, misalnya Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dan

Kamus Hukum.
50

5. Metode Pengambilan Sampel

Sampel yang diambil menggunakan puerpostve sampling, karena di

lembaga pemasyarakatan purwokerto terdapat narapidana dan pegawai yang

menurut penulis dapat memberikan data yang dibutuhkan.

Sampel yang dimaksud adalah sebagai berikut :

a. Pegawai Lembaga Pemasyarakatan : Kepala Lembaga

Pemasyarakatan, Kasubag Tata Usaha, Ka. Urusan Kepeg dan

Keu, Ka. Urusan Umum, Kasi Binadik, Kasubsi Registrasi,

Kasubsi Bimaswat, Kasi Kegiatan Kerja, Kasubsi Kegiatan

Kerj, Kasubsi Sarana Kerja, Kasi Adm. Kamtib, Kasubsi

Pelaporan dan Tertib, Kasubsi Keamanan, Ka. KPLP.

b. Narapidana yang mendapatkan pembebasan bersyarat, dalam


hal ini adalah 5 orang narapidana.

6. Metode Pengumpulan Data

a. Data primer diperoleh secara langsung dari lokasi penelitian. Data primer

diperoleh dengan menggunakan metode wawancara dan observasi.

1) Wawancara

Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu.

Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak yaitu pewawancara


51

(interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan yang diwawancarai

(interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu.40

Dalam penelitian ini, teknik wawancara yang dipilih adalah

dalam bentuk “wawancara terstruktur” dan “wawancara tak

terstruktur”.Wawancara terstruktur yaitu menetapkan sendiri masalah

dan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan. Sedangkan wawancara tak

terstruktur adalah wawancara dimana peneliti mengajukan pertanyaan

secara lebih bebas dan leluasa, tanpa terikat oleh susunan pertanyaan

yang telah dipersiapkan sebelumnya.41

2) Observasi

Observasi berarti peneliti melihat dan mengamati apa yang

dilakukan atau dikerjakan oleh obyek penelitian dalam menjalankan

Pelaksanaan Pembebasan Bersyarat

Tujuan dari observasi ini adalah untuk mendiskripsikan

kegiatan yang terjadi, orang yang terlibat dalam kegiatan, waktu

kegiatan dan makna yang diberikan oleh para pelaku yang diamati

tentang suatu peristiwa yang bersangkutan.

b. Data sekunder diperoleh dengan cara melakukan studi pustaka dan studi
dokumen terhadap dokumen peraturan perundang-undangan, buku-buku
literatur dan dokumen-dokumen lainnya yang berkaitan dengan obyek

40
Lexy J Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung, Rosda Karya,
2002, hal. 135.
41
S.Nasution.1996. Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif.Yogyakarta.
Rekasarasin.Hal.72
52

atau materi penelitian. Studi pustaka merupakan cara memperoleh data-


data dengan memfokuskan pada data yang ada pada pustaka-pustaka baik
terorganisir maupun yang tidak. Studi pustaka dimaksudkan untuk
mencari data-data sekunder yang dibutuhkan guna menjelaskan data-data
primer. Sedangkan studi dokumentasi untuk memperoleh data yang
bersifat dokumen-dokumen resmi baik dari lembaga pemerintah maupun
non pemerintah. Studi dokumen bertujuan menerangkan data primer dan
juga data sekunder.

7. Metode Penyajian Data

Data yang diperoleh akan disajikan dalam bentuk teks naratif, yaitu

menguraikan data secara sistematis, logis dan rasional yang diawali dengan

bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.

Tujuan peenyajian data ini dilakukan agar memudahkan bagi pembaca

secara kronologis memahami isi data yang dapat diungkapkan melalui

penafsiran-penafsiran yang digunakan. Data disajikan dalam bentuk uraian-

uraian yang disusun secara sistematis, logis, dan rasional. Keseluruhan data

yang diperoleh dalam penelitian ini akan dihubungkan satu dengan yang

lainnya disesuaikan dengan pokok permasalahan yang diteliti sehingga

merupakan suatu kesatuan yang utuh.


53

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

1. Keadaan Umum Lembaga Pemasyarakataan Purwokerto

Lembaga Pemasyarakatan Purwokerto adalah Lembaga

Pemasyarakatan kelas II A dengan kapasitas 350-400 narapidana yang terdiri

dari 5 (lima) orang KASI dan ditambah dengan 2 (dua) orang SUBSI

(Subseksi) yang pada awal berdirinya Lembaga Pemasyarakatan Purwokerto

adalah Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B yang hanya berkapasitas 228

narapidana dan berstruktur organisasinya hanya terdiri dari 4 (empat) orang

narapidana. Lembaga Pemasyarakatan Purwokerto diresmikan pada tahun

1968 dengan luas tanah 6250 m2 dan luas bangunan 5000m2 .

Lembaga Pemasyarakatan Purwokerto berlokasi di pusat kota

adminitrasi Purwokerto yaitu di desa Sokanegara Kecamatan Purwokerto

Timur, Jalan Jenderal Soedirman No. 104 dengan batas-batasnya adalah :

a. Sebelah utara : Jalan Jenderal Soedirman.

b. Sebalah Selatan : Bangunan Rumah Penduduk.

c. Sebelah barat : Komplek Pertokoan.

d. Sebelah timur : Jalan Penjara.

Lembaga Pemasyarakatan Purwokerto menjalankan fungsinya sebagai

unit pelaksanaan teknis pemasyarakatan yang menampung, merawat dan


54

membina narapidana yang berada dibawah naungan Kementerian Hukum dan

Hak Asasi Manusia.

Bapak Waluyo Tri Surianto selaku Ka. Urusan Umum menambahkan

bahwa :

“ Pada tahun 2001 Lembaga Pemasyarakatan Purwokerto melakukan


pemugaran sehingga kondisi Lembaga Pemasyarakatan Purwokerto saat ini
sudah dalam kondisi yang baik meskipun masih ada kekurangan. Dengan
adanya pemugaran tentunya Lembaga Pemasyarakatan Purwokerto
memiliki fasilitas-fasilitan yang baru untuk menunjang pelaksanaan
pembinaan. Salah satunya adalah mesjid sebagai tempat beribadah dan
kegiatan rohani khususnya bagi narapidana yang beragama muslim. Untuk
narapidana non muslim sementara kegiatan rohani dan beribadahnya
dilakukan di aula karena keterbatasan lahan dan biaya sehingga Lembaga
Pemasyarakatan Purwokerto belum dapat menyediakan tempat beribadah
untuk agama lainnya. Bangunan Lembaga Pemasyarakatan Purwokerto
dikelilingi dengan tembok tinggi dan terdiri dari terdapat gerbang berlapis
untuk mencegah kemungkinan narapidana yang kabur dan dilengkapi pos
penjagaan disetiap bloknya.”42

Daya tampung Lembaga Pemasyarakatan Purwokerto adalah 350-400

narapidana, pada waktu penulis melakukan penelitian pada tanggal 23 Febuari

tahun 2012, jumlah narapidana yang ada sebanyak 259 narapidana dan 92

tahanan dengan jumlah pegawai Lembaga Pemasyarakatan Purwokerto 102

orang yang terdiri dari 85 pegawai Laki-laki dan 17 pegawai Wanita.

Pembinaan terhadap warga binaan Pemasyarakatan dapat dilaksanakan

dengan lancer, tertib dan mencapai tujuan yang diharapkan, maka diperlukan

sarana prasarana yamg menunjang, baik fisik maupun non fisik. Sarana fisik

diantaranya adalah gedung bangunan Lembaga Pemasyarakatan berserta

42
Wawancara dengan Bapak Waluyo Tri Surianto selaku Ka. Urusan Umum
55

komponen-komponen serta sarana penunjang yang berupa peralatan untuk

pembinaan, sedangkan non fisiknya berupa kinerja pegawai Lembaga

Pemasyarakatan sendiri yang harus menaati tata tertib pegawai dan juga

menjalankan tugas dan kewajibannya dengan baik.

Lembaga Pemasyarakatan Purwokerto juga memiliki sebuah klinik

yang dilengkapi dengan peralatan medis sederhana sehingga kurang

mendukung kelancaran dalam melakukan pelayanan medis pasien, tenaga

medis yang ada hanya berjumlah 1 orang perawat Lembaga Pemasyarakatan

yang dibantu oleh staff kesehatan.

Menurut penuturan Bapak Efendi Wahyudi selaku Kasi Binadik :

“Selain kurang memadai perawatan medis, stok obat-obatan yang ada


pun sangat terbatas, sehingga sangat kurang membantu proses
penyembubuhan narapidana atau tahanan yang sakit. Bilamana ada
narapida atau tahanan yang sakit dideritanya tergolong serius dan harus
segera mendapatkan tindak lebih lanjut maka pihak petuga Lembaga
Pemasyarakatan dengan persetujuan dokter Lembaga Pemasyarakatan
pasien tersebut dibawa ke rumah sakit terdekat untuk mendapatkan
pertolongan.”43

Menurut Penunturan Bapak Enuch Siswanto sebagai Kasi Kegiatan Kerja

“Fasilitas Lembaga Pemasyarakatan Purwokerto lainnya adalah berupa


bengkel kerja dan sarana olah raga. Bengkel kerja sendiri sudah secara
maksimal dimanfaatkan dan berjalan dengan baik karena telah tersedia
tenaga ahli dan mesin-mesin besar yang dapat digunakan narapidana untuk
menghasilkan sesuatu. Adapun yang telah dihasilkan bengkel kerja
Lembaga Pemasyarakatan Purwokerto adalah sapu glagan, keset, mebelair,
souvenir, kolam ikan dan alat-alat pertanian.”44

43
Wawancara dengan Bapak Efendi Wahyudi, selaku Kasi Binadik.
44
Wawancara dengan Enuch Siswanto sebagai Kasi Kegiatan Kerja
56

2. Keadaan Umum Responden

Pada waktu dilakukan pengambilan data (Febuari; 2012) jumlah

narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Purwokerto adalah 259 narapidana.

Pada tahun 2011 sebanyak 90 narapidana telah mengajukan permohonan

pembebasan bersyarat dan yang terrealisasi hanya sebayak 67 narapidana.

Tabel 1. Jumlah Pegawai Lembaga Pemasyarakatan Purwokerto

No. Jenis Kelamin Frekuensi


1. Pria 85
2. Wanita 17
Jumlah 102
Sumber : Data primer diolah

Berdasarkan Tabel 2 dapat diketahui bahwa jumlah Pengawai

Lembaga Pemasyarakatan Purwokerto 102 orang yang terdiri dari 85 Pegawai

laki-laki dan 17 pegawai perempuan.

Tabel 2. Pelaksanaan Pemberian Pembebasan Bersyarat

No. Jenis Kelamin Frekuensi Prosentase


1. Pria 15 100%
2. Wanita 0 0%
Jumlah 15 100%
Sumber : Data primer diolah

Berdasarkan Tabel 2 dapat diketahui bahwa penulis mengambil 15


orang responden yang semua respondennya adalah Pria dengan prosentase
100 % yang terdiri dari 10 orang responden dari pegawai Lembaga
Pemasyarakatan dan 5 orang responden adalah narapidana yang sedang
57

menjalani proses mendapatkan pembebasan bersyarat dan sesuai dengan


metodelogi penelitian yang penulis gunakan.

Tabel 3. Pendidikan Pegawai Lembaga Pemasyrakatan Purwokerto


No. Pendidikan Terakhir Frekuensi Prosentase
1. SD 1 1%
2. SLTP 2 2%
3. SLTA 70 69%
4. D3 4 4%
5. S1 23 22%
6. S2 2 2%
Jumlah 102 100%
Sumber : Data primer diolah

Berdasarkan Tabel 3 dapat diketahui bawha pada umumnya

Pendidikan pegawai Lembaga Pemasyarakatan Purwokerto adalah tamatan

SLTA yaitu 70 orang pegawai dengan prosentase 69 %, 23 orang

berpendidikan S1 dengan prosentase 22 %, D3 ada 4 orang dengan prosentase

4 % , SLTP ada 2 orang dengan prosentase 2 %, S2 ada 2 orang dengan

prosentase 2 % dan 1 orang tamatan SD dengan prosentase 1 %.

Adapun struktur organisasi Lembaga Pemasyarakatan kelas II A

Purwokerto berdasarkan Pasal 25 Surat Keputusan Menteri Kehakiman

Republik Indonesia Nomor : M.01.PR.07.03 tentang Organisasi dan Tata

Kerja Lembaga Pemasyarakatan adalah sebagai berikut :

LAPAS Kelas IIA terdiri dari:

a. Sub Bagian Tata Usaha;


b. Seksi Bimbingan Narapidana/ Anak Didik;
c. Seksi Kegiatan Kerja;
58

d. Seksi Administrasi Keamanan dan Tata Tertib;


e. Kesatuan Pengamanan LAPAS.

Sedangkan Struktur Organisasi Lembaga Pemasyarakatan kelas IIA

Purwokerto berdasarkan Pasal 25 Surat Keputusan Menteri Kehakiman

Republik Indonesia Nomor : M.01.PR.07.03 tentang Organisasi dan Tata

Kerja Lembaga Pemasyarakatan adalah sebagai berikut :45

1. Kepala Lembaga Pemasyarakatan : Sutaryo, Bc. IP, SH,MH.


2. Kasubag Tata Usaha : Suranto, S.Sos. M. Si.
a. Ka. Urusan Kepeg dan Keu : Mudi Artati.
b. Ka. Urusan Umum : Waluyo Tri Surianto, SH.
3. Kasi Binadik : Efendi Wahyudi, Bc. IP. S.Sos.
a. Kasubsi Registrasi : M. Bahrun, A.Md. IP. SH.
b. Kasubsi Bimaswat : Aris Supriyadi, A.Md. IP. SH.
4. Kasi Kegiatan Kerja : Enuch Siswanto, A. Ks.
a. Kasubsi Kegiatan Kerja : Suroto.
b. Kasubsi Sarana Kerja : Arnold Tambunan.
5. Kasi Adm. Kamtib : Setya Adi Hernowo, SH.
a. Kasubsi Pelaporan dan Tertib : Prihadianto.
b. Kasubsi Keamanan : Budi Ripto Nugroho, SE.
6. Ka. KPLP : Agus Nugroho, SH.
Masing-masing Kasi mempunyai fungsi dan tugas masing-masing dan

di bantu oleh 2 orang Kasubsi untuk melakukan tugas dan fungsinya dan

bertanggung jawab kepada Kepala Lembaga Pemasyarakatan (KALAPAS).

Tabel 4. Usia Responden Narapidana

No. Usia Responden Frekuensi Prosentase


1. 20 Tahun 1 20%
2. 28 Tahun 1 20%
3. 30 Tahun 1 20%
4. 33 Tahun 2 40%

45
Wawancara dengan Bapak Suranto sebagai Kasubag Tata Usaha
59

Jumlah 5 100%
Sumber : Data primer diolah

Berdasarkan Tabel 4 dapat diketahui usia responden dari narapidana

adalah yang berusia 22 tahun 1 orang dengan prosentase 20 %, berusia 28

tahun 1 orang dengan prosentase 20 %, berusia 30 tahun 1 orang dengan

prosentase 20 % dan yang berusia 33 tahun 2 orang dengan prosentase 40 %.

Tabel 5. Pendidikan terakhir Responden Narapidana

No. Pendidikan Responden Frekuensi Prosentase


1. SD 2 40%
2. SMK 2 40%
3. STM 1 20%
Jumlah 5 100%
Sumber : Data primer diolah

Berdasarkan tabel 5 dapat diketahui bahwa pendidikan terakhir dari

narapidana yang menjadi responden adalah 2 orang narapidana berpendidikan

SD dengan prosentase 40 %, 2 orang narpidana berpendidikan SMK dengan

prosentase 40 % dan 1 orang narapidana berpendidikan STM dengan

prosentase 20 %.

Tabel 6. Pekerjaan Terakhir Responden Narapidana

No. Usia Responden Frekuensi Prosentase


1. Supir 3 60%
2. Mahasiswa 1 20%
3. Pegawai Swasta 1 20%
Jumlah 5 100%
Sumber : Data primer diolah
60

Berdasarkan Tabel 6 dapat diketahui bahwa pekerjaan terakhir dari

narapidana yang menjadi responden adalah 3 orang berkerja menjadi supir

dengan prosentase 60 %, 1 orang mahasiswa dengan prosentase 20 % dan 1

orang bekerja sebagai karyawan swasta dengan prosentase 20 %.

Tabel 7. Jenis Tindak Pidana yang Dilakukan Responden

No. Nama Responden Frekuensi Prosentase


1. Penggelapan 1 20%
2. Pencurian 2 40%
3. Kesusilaan 2 40%
Jumlah 5 100%
Sumber : data primer diolah

Berdasarkan Tabel 7 dapat diketahui bahwa jenis tindak pidana yang

dilakukan responden adalah sebagai berikut : jenis tindak pidana Penggelapan

dilakukan oleh 1 orang dengan prosentase 20 %, jenis tindak pidana

Pencurian dilakukan oleh 2 orang dengan prosentase 40 % dan untuk tindak

pidana kesusilaan ada 2 orang dengan prosentase 40 %.

Tabel 8. Lama Pidana Responden

No. Lama Pidana Frekuensi Prosentase


1. 1-5tahun 3 60%
3. 5-10 tahun 2 40%
Jumlah 5 100%
Sumber : Data primer diolah

Berdasarkan Tabel 8 dapat diketahui bahwa lama pidana yang dijalani

responden adalah sebagai berikut : 1-5 tahun ada 3 orang dengan prosentase

60 %, 5-10 tahun ada 2 orang dengan prosentase 40 %.


61

Tabel 9. Responden Mengetahui tentang adanya Pembebasan

Bersyarat

No. Nama Responden Mengetahui Tidak mengetahui


1. Santoso  
2. Sugianto  
3. Mansur Sulaiman  
4. Sucipto  
5. Mukti Alfian  
Prosentase 100% 0%
Sumber : data primer diolah

Berdasarkan Tabel 9 dapat diketahui bahwa responden yang

mengetahui adanya hak mengenai Pembebasan Bersyarat adalah 5 orang atau

dengan prosentase 100 % semua responden mengetahui akan adanya hak

sebagai narapidana yang salah satunya adalah Pembebasan Bersyarat.

Tabel 10. Tanggapan Responden dan keluarga mengenai Pembebasan

Bersyarat

No. Tanggapan Keluarga Frekuensi Prosentase


1. Senang 5 100%
2. Tidak Senang 0 0%
Jumlah 5 100%
Sumber : Data primer diolah

Berdasarkan Tabel 10 dapat diketahui bahwa tanggapan dari

responden dan keluarga responden dengan adanya hak mengenai Pembebasan

Bersyarat adalah senang dengan prosentase 100 %.


62

Tabel 11. Kelengkapan Prasyaratan Pembebasan Bersyarat Responden

No. Kelengkapa Prasyarat Frekuensi Prosentase


1. Lenkap 5 100%
2. Tidak Lengkap 0 0%
Jumlah 5 100%

Berdasarkan Tabel 11 dapat diketahui bahwa kelengkapan syarat

narapidana baik itu berupa syarat Adminitratif ataupun juga syarat Substantif

untuk mendapatkan Pembebasan Bersyarat telah terpenuhi dan semua

responden sudah melengkapi syarat tersebut dalam prosentase 100 %..

Tabel 12. Lama Responden Mengajukan Pembebasan Bersyarat

No. Lama Pengajuan Frekuensi Prosentase


1. 3-6 Bulan 2 40%
2. 6-9 Bulan 2 40%
3. 9-12 Bulan 1 20%
Jumlah 5 100%
Sumber : Data primer diolah

Berdasarkan Tabel 12 dapat diketahui bahwa lamanya responden

mendapatkan Pembebasan Bersyarat setelah mengajuankan atau pengusulan

Pembebasan Bersyarat adalah sebagai berikut : 3-6 bulan ada 2 orang dengan

prosentase 40 %, 6-9 bulan ada 2 orang dengan prosentase 40 % dan 9-12

bulan ada 1 ornag dengan prosentase 20%.

Tabel 13. Sudah Mendapatkan Pembebasan Bersyarat

No. Keterangan Frekuensi Prosentase


1. Sudah mendapatkan 0 0%
2. Dalam proses 5 100%
Jumlah 5 100%
Sumber : Data primer diolah
63

Berdasarkan Tabel 13 dapat diketahui bahwa dari semua responden

belum ada yang mendapatkan Pembebasan Bersyarat atau dengan prosentase

100% responden belum ada yang mendapatkan Pembebasan Bersyarat.

3. Pembinaan Narapidana Di Lembaga Pemasyarakatan Purwokerto

Proses pembinaan narapidana bertujuan agar nantinya narapidana

setelah bebas dapat diterima dalam masyrakat lagi namun tujuan utama atau

pokok dari pembinaan narapidana adalah, yaitu :46

a. Untuk memperbaiki pribadi dari narapidana itu sendiri;

b. Untuk membuat narapidana bahagia dunia akhirat;

c. Untuk membuat narapidana berpartisipasi aktif dan positif dalam

masyarakat dalam pembangunan;

d. Untuk membuat narapidana dapat memiliki keterampilan khusus

agar tidak melakukan tindak pidana lagi.

Untuk mencapai tujuan dari proses pembinaan maka diperlukan

tahap-tahapan pembinaan yang harus dilakukan oleh Lembaga

Pemasyarakatan, adapun proses pembinaan narapidana yang dilakukan

melalui 3 tahapan yaitu :

a. Tahap Awal (Maximum Security) ±1/3 masa pidana.

1) Admisi dan Oriental

46
Wawancara dengan Bapak Aris Supriyadi selaku Kasubsi Bimaswat
64

Masa Pengenalan dan Penelitian Lingkungan (max 1 bulan)

2) Pembinaan Kepribadian

a) Pembinaan kesadaran beragama;

b) Pembinaan Bangsa dan Negara;

c) Pembinaan Intelektual;

d) Pembinaan Kesadaran Hukum.

b. Tahap Lanjutan (Medium Security) ±1/3 -1/2 masa pidana.

1) Pembinaan kepribadian lanjutan.

Program pembinaan ini merupakan kelanjuatan pembinaan

kepribadian tahap awal.

2) Pembinaan kepribadian.

a) Keterampilan untuk mendukung usaha-usaha mandiri;

b) Keterampilan untuk mendukung usaha industry kecil;

c) Keterampilan yang dikembangkan sesuai bakat masing-

masing;

d) Keterampilan untuk mendukung usaha-usaha industri/

pertanian dan teknologi tinggi/ madya.

3) Asimilasi dalam Lembaga Pemasyarakatan terbuka (open

camp) dan Lembaga Pemasyarakatan tertutup (Half way

hause/work) ±1/2 -2/3 masa pidana

c. Tahap Akhir (Minimum Security) ±2/3 masa pidana bebas.

1) Integrasi;
65

2) Pembebasan Bersyarat;

3) Cuti menjelang Bebas;

4) Bebas sebenarnya;

5) Kembali ke dalam masyarakat.

Dalam proses pembinaan Lembaga Pemasyarakatan berkerja sama

dengan beberapa instansi antara lain instansi penegakan hukum seperti

POLRI; Kejaksaan Negeri; Pengadilan Negeri. Instansi lainnya adalah

DEPKES; DEPNAKES; DEPERINDAG; DEPAG; DEPDIKNAS; PEMDA,

dan juga dengan instansi swasta seperti Perseroan; kelompok; LSM dan

perusahaan.

4. Pelaksanaan Pembebasan Bersyarat Di Lembaga Pemasyarakatan

Purwokerto.

Menurut Bapak Efendi Wahyudi, selaku Kasi Binadik berpendapat

bahwa :47

“Pembebasan Bersyarat merupakan salah satu hak narapidana yaitu


dimana proses pembinaan Narapidana yang berada di luar Lembaga
Pemasyarakatan setelah menjalani sekurang-kurangnya 2/3 (dua per tiga)
masa pidananya dengan ketentuan 2/3 (dua per tiga) masa pidana tersebut
minimal 9 (sembilan) bulan yang dilakukan berdasarkan ketentuan Pasal
15-16 KUHP.”

.Ketentuan mengenai pembebasan bersyarat di dalam peraturan

perundang- undangan Indonesia, pertama kalinya termuat dengan istilah

pelepasan bersyarat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP),

47
Wawancara dengan Bapak Efendi Wahyudi, selaku Kasi Binadik.
66

dimana penyusunan KUHP dibuat berdasarkan Wetboek van straftrecht voor

Nederlandsch-Indie, yang Hukum Pidana itu sendiri. Keberadaan ketentuan

Pembebasan Bersyarat dalam Wetboek van straftrecht voor Nederlandsch-

Indie terpengaruh oleh sistem pidana penjara di Inggris (progressive system),

dimana pelepasan bersyarat tersebut dimaksudkan sisa pidana terakhir dalam

rangka pengembalian terpidana dengan baik ke masyarakat.

Bapak Aris Supriyadi selaku Kasubsi Bimaswat, pun menambahkan

“Pemberian Pembebasan Bersyarat memiliki maksud dan tujuan , yaitu


agar nantinya para narapidana memperoleh kesempatan untuk beradaptasi
dan berbau kembali dengan masyarakat luas agar menjelang kebebasannya
nantinya eks naarapidana tidak tersisikan dan terkucilkan dalam
masyarakat.”48
Dalam pemberian Pembebasan Bersyarat permaslahan yang penulis

bahas adalah mengenai bagaimanakah pelaksanaan Pembebasan Bersyarat di

Lembaga Pemasyarakatan Purwokerto sebagaimana yang dirumuskan dalam

Passal 15 KUHP – Pasal 16 KUHP.

Dari rumusan Pasal 15 ayat (1), (2) dan (3) KUHP tersebut maka dapat

disimpulkan bahwa Pembebasan Bersyarat merupakan hak narapidana yang

telah menjalani 2/3 masa pidana, tetapi tidak begitu saja para narapidana

tersebut mendapatkan Pembebasan Bersyarat, mereka harus memenui syarat-

syarat yang telah ditentukan berdasarkan ketentuan yang ada, adapun syarat-

syarat sebagaimana yang telah ditentukan dalam Keputusan Menteri

48
Wawancara dengan Bapak Aris Supriyadi selaku Kasubsi Bimaswat
67

Kehakiman Republik Indonesia Nomor. M.01.04.10 Tahun 1999 tentang

Asimilasi, Cuti menjelang bebas dan Pembebasan Bersyarat.

1. Syarat Substantif
a. Telah menunjukkan kesadaran dan penyesalan atas kesalahan
yang menyebabkan dijatuhi pidana;
b. Telah menunjukkan perkembangan budi pekerti dan moral
yang positif;
c. Berhasil mengikuti program kegiatan pembinaan dengan
tekun dan bersemangat;
d. Masyarakat telah dapat menerima program pembinaan
narapidana yang bersangkutan;
e. Selama menjalani pidana narapidana atau anak pidana tidak
pernah mendapat hukuman disiplin sekurang-kurangnya
dalam waktu 9 bulan terakhir;
f. Masa pidana yang dijalani; telah menjalani 2/3 darimasa
pidananya, setelah dikurangi masa tahanan dan remisi
dihitung sejak tanggal putusan pengadilan memperoleh
kekuatan hukum tetap dengan ketentuan 2/3 tersebut tidak
kurang dari 9 bulan.

2. Syarat Administratif

a. Salinan surat keputusan pengadilan;


b. Surat keterangan asli dari kejaksaan bahwa narapidanma yang
bersangkutan tidak mempunyai perkara atau tersangkut
dengan tindak pidana lainnya;
c. Laporan penelitian kemasyarakatan (Litmas ) dari balai
pemasyarakatan tentang pihak keluarga yang akan menerima
narapidana, keadaan masyarakat sekitarnya dan pihak lain
yang ada hubungannya dengan narapidana;
d. Salinan (daftar huruf F) daftar yang memuat tentang
pelanggaran tata tertib yang dilakukan narapidana selama
menjalankan masa pidana dari kepala lembaga
pemasyarakatan;
e. Salinan daftar perubahan atau pengurangan masa pidana,
seperti grasi, remisi, dan lain-lain dari kepala lembaga
pemasyarakatan;
f. Surat pernyataan kesanggupan dari pihak yang akan
menerima narapidana, seperti; pihak keluarga, sekolah, intansi
pemerintah/swasta dengan diketahui oleh pemerintah daerah
setempat serendah-rendahnya lurah atau kepala desa;
68

g. Surat keterangan kesehatan dari psikolog atau dari dokter


bahwa narapidana sehat baik jasmani maupun jiwanya dan
apabila di Lapas tidak ada Psikolog dan dokter, maka surat
keterangan dapat dimintakan kepada dokter puskesmas atau
rumah sakit umum;
h. Bagi narapidana atau anak pidana WNA diperlukan syarat
tambahan :
1) Surat keterangan sanggup menjamin kedutaan
besar/ konsulat negara orang asing yang
bersangkutan.
2) Surat rekomendasi dari kepala kantor imigrasi
setempat.

Selain ketentuan yang mengatur tentang syarat untuk pemberian

pembebasan bersyarat tersebut diatas, dalam pasal 16 KUHP juga diatur

tentang pihak yang berwenang untuk menetapkan pemberian pembebasan

bersyarat.

Ketentuan dalam Pasal 16 KUHP adalah sebagai berikut :

Pasal 16

(1) Ketentuan pelepasan bersyarat ditetapkan oleh Menteri Kehakiman


atas usul atau setelah mendapat kabar dari pengurus penjara tempat
terpidana, dan setelah mendapat keterangan dari jaksa tempat asal
terpidana. Sebelum menentukan, harus ditanya dahulu pendapat
Dewan Reklasering Pusat, yang tugasnya diatur oleh Menteri
Kehakiman.
(2) Ketentuan mencabut pelepasan bersyarat, begitu juga hal-hal yang
tersebut dalam pasal 15a ayat 5, ditetapkan oleh Menteri
Kehakiman atas usul atau setelah mendapat kabar dari jaksa tempat
asal terpidana. Sebelum memutus, harus ditanya dahulu pendapat
Dewan Reklasering Pusat.
(3) Selama pelepasan masih dapat dicabut, maka atas perintah jaksa
tempat dimana dia berada, orang yang dilapaskan bersyarat orang
yang dilepaskan bersyarat dapat ditahan guna menjaga ketertiban
umum, jika ada sangkaan yang beralasan bahwaorang itu selama
masa percobaan telah berbuat hal-hal yang melanggar syarat-syarat
tersebut dalam surat pasnya. Jaksa harus segera memberitahukan
penahanan itu kepada Menteri Kehakiman.
69

(4) Waktu penahanan paling lama enam puluh ahri. Jika penahanan
disusul dengan penghentian untuk sementara waktu atau pencabutan
pelepasan bersyarat, maka orang itu dianggap meneruskan
menjalani pidananya mulai dari tahanan.

Mengenai bagaimana cara pengusulan pembebasan bersyarat, tentang

bagaimana cara Menteri Kehakiman meminta saran dari Dewan Reklasering

Pusat, tentang apa saja yang dapat diputuskan oleh Menteri Kehakiman

tersebut, Semua tidak diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana,

melainkan diatur dalam Ordonansi Pembebasan Bersyarat Tanggal 27

Desember 1917, Staatblad tahun1919 Nomor 744.

Menurut Pasal 1 dari Ordonansi tentang pembebasan bersyarat, usul

dari Kepala Lembaga Pemasyarakatan yang dikirim kepada Menteri

Kehakiman memuat :

1. penunjukan dengan secermat mungkin terpidana yang bersangkutan;


2. penyebutan putusan hakim yang pidananya harus dijalankan oleh
terpidana tersebut, hari mulaidijalankannya pidana itu dan kapan
akan berakhir;
3. segala hal yang diketahui oleh kepala penjara tentang riwayat hidup
terpidana tersebut yangsekiranya perlu dicantumkan, pekerjaan atau
usaha apa yang telah pemah dijalankan sebelumdijatuhi pidana, apa
yang telah dipelajarinya, kemungkinan cara mencari nafkah
sesudahdilepaskan dan berhubungan dengan itu usul untuk diberikan
bekal uang atau tidak kepada orangyang akan dilepaskan dengan
bersyarat itu dari kas pesangonnya;
4. syarat-syarat khusus yang dihubungkan dengan pelepasan bersyarat
itu yang antara lain dapatmengenai tempat tinggalnya di dalam atau
di luar suatu daerah;
5. tempat yang ingin dituju terpidana itu setelah dilepaskan dengan
bersyarat itu.
70

Pasal 2 Ordonansi ini juga menentukan bahwa usulan dari Kepala

Lembaga Pemasyarakatan harus terlampir dengan :

1. kutipan surat keputusan hakim yang menjadi dasar terpidana


tersebut menjalani pidananya disertaidaftar mutasinya;
2. daftar yang disahkan tentang pidana tata tertib yang telah
dijatuhkan kepadanya selama tiga tahunsebelum usul itu
diajukan;
3. segala pemberitaan dan keterangan yang diperoleh berdasarkan
pasal 3 atau turunannya.

Tutur Bapak Aris Supriyadi selaku Kasubsi Bimaswat selain harus

memenuhi syarat Subtantif dan syarat Adminitratif terebut narapidana yang

akan mendapatkan Pembebasan Bersama juga harus memenuhi kriteria-

kriteria tertentu lainnya agar dapat melakukan pengusulan Pembebasan

Bersyarat, diantaranya adalah :49

1. Jenis tindak pidana yang dilakukan;


2. Lama masa pidana;
3. Berkelakuan baik selama di dalam Lembaga Pemasyarakatan;
4. Mengikuti pembinaan dengan baik;
5. Tidak melanggar disiplin Lembaga Pemasyarakatan ± 9 bulan;
6. Kemungkinan penghidupan baik pekerjaan maupun tempat tinggal
napi setelah mendapatkan Pembebasan Bersyarat.

Dalam proses pengajuan Pembebasan Bersyarat narapidana harus

mengisi Surat Pernyataaan yang diisi oleh keluarga dari narapidana yang

bersangkutan serta harus diketahui dan disetujui oleh masyarakat setempat

yang diwakili oleh kepala desa atau pun lurah. Dalam hal ini keluarga yang

mengisi surat penyataan tersebut dikarenakan pihak keluarga yang di jadikan

penjamin dari narapidana itu sendiri, selain keluarga yang bolen menjadi
49
Wawancara dengan Bapak Aris Supriyadi selaku Kasubsi Bimaswat
71

penjamin adalah Lembaga/ Badan atau pun Organisasi Sosial. (terlampir

dalam Lampiran).

Setelah pihak penjamin mengisi surat pernyataan tersebut barulah

proses pengajuan Pembebasan Bersyarat diserahkan kepada Tim Pengamat

masyarakat untuk dip roses., adapun tahap-tahapnya pengajuan Pembebasan

Bersyarat di Lembaga Pemasyarakatan Purwokerto adalah sebagai berikut :50

1) Tim Pengamat Pemasyarakatan Setelah mendengar pendapat

anggota tim serta mempelajari laporan dari BAPAS, kemudian tim

pengamat pemasyarakatan mengusulkan kepada Kepala Lembaga

Pemasyarakatan Puwokerto yang terhitung dalam formlir yang

telah ditetapkan.

2) Kepala Lembaga Pemasyarakatan Puwokerto segera meneliti

dengan mempelajari usulan tersebut pada angka 1 apabila

menyetujui usulan tersebut maka tim pengamat pemasyarakatan

Lembaga Pemasyarakatan selanjutnya meneruskan usulan tersebut

kepada Kepala kantor wilayah Kementrian Hukum dan Hak Asasi

Manusia Jawa Tengah lengkap dengan persyaratan lainnya.

3) Kepala kantor wilayah Kementrian Hukum dan Hak Asasi

Manusia Jawa Tengah wajib segera meneliti dan mempelajari

usulan Kepala Lembaga Pemasyarakatan Purwokerto tersebut dan

setelah itu memperhatikan hasil sidang TPP Kantor wilayah


50
Wawancara dengan Bapak Efendi Wahyudi, selaku Kasi Binadik.
72

Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia Jawa Tengah, maka

Kantor wilayah Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia Jawa

Tengah dapat menyatakan :

1) Menolak usul Kepala Lembaga Pemasyarakatan Purwokerto

tersebut dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari sejak

usulan diterima segera menyampaikan surat penolakan

disertai alasan-alasannya kepada Kepala Lembaga

Pemasyarakatan Purwokerto serta tembusan disampaikan

kepada Direktorat Jenderal Pemasyarakatan.

2) Menyetujui usul Kepala Lembaga Pemasyarakatan

Purwokerto dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari sejak

usulan diterima segera meneruskan kepada Direktorat

Jenderal Pemasyarakatan.

4) Direktorat Jenderal Pemasyarakatan segera meneliti dengan

mempelajari usul Kantor Wilayah Kementrian Hukum dan Hak

Asasi Manusia Jawa Tengah sebagaimana dimaksud pada angka 3

huruf b dengan mempertimbangkan hasil sidang TPP Direktorat

Jenderal Pemasyarakatan, maka dalam jangka waktu 30 hari sejak

usul diterima Direktorat Jenderal Pemasyarakatan dapat

menyatakan :

1) Menolak usul Kepala Kantor wilayah Kementrian Hukum dan

Hak Asasi Manusia Jawa Tengah dengan menyampaikan surat


73

penolakan disertakan alasan kepada Kantor wilayah

Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia Jawa tengah

dengan tembusan disampaikan kepada Kepala Lembaga

Pemasyarakatan Purwokerto.

2) Menyetujui usul Kepala Kantor wilayah Kementrian Hukum

dan Hak Asasi Manusia Jawa Tengah dan segera menerbitkan

keputusan Pembebasan Bersyarat yang dimaksud yang

tembusannya disampaikan kepada :

1) Kepala Kantor Wilayah Kementrian Hukum dan Hak

Asasi Manusia Jawa Tengah;

2) Kepala Lembaga Pemasyarakatan Purwokerto dengan

dilampirkan buku Pembebasan Bersyarat untuk

narapidana yang diberi izin;

3) Kepala Kejaksaan Negeri yang mengawasi;

4) Kepala Polisi setempat;

5) Kepala Balai Pemasyarakatan setempat;

6) Direktorat Jenderal Pemasyarakatan.

5. Hambatan-Hambatan Dalam Pelaksanaan Pembebasan Bersyarat Di

Lembaga Pemasyarakatan Purwokerto.

Pelaksanaan Pembebasan Bersyarat tidaklah selamanya dapat

berjalan dengan baik, akan tetapi terkadang akan mengalami hambatan-


74

hambatan dalam pelaksanaannya. Adapun beberapa faktor yang menjadi

hambatan pelaksanaan Pembebasan Bersyarat di Lembaga Pemasyarakatan

Purwokerto. Berdasarkan hasil wawancara dari Pegawai Lembaga

Pemasyarakatan Purwokerto dan juga dari beberapa orang narapidana

penulis mendapatkan hasil sebagai berikut :51

a. Wawancara dengan pegawai Lembaga Pemasyarakatan Purwokerto


a) Bapak Efendi Wahyudi, Bc. IP. S.Sos. selaku Kasi Binadik
mengatakan bahwa hambatan-hambatan yang terjadi adalah :
a) Proses pengusulan untuk memperoleh Pembebasan
Bersyarat bagi narapidana, masih belum dilaksanakan
sesuai dengan kebijakan yang dialur dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku.;
b) Kebijakan pentahapan dalam proses pemberian
Pembebasan Bersyarat pada kenyataannya membutuhkan
wakiu yang cukup Iama;
c) Ketidak konsistenan dalam menerapkan kebijakan yang
ada terutama masalah mekanisme teknis maupun
substantif dalam pemberian Pembebasan Bersyarat;
d) Kurangnya kepedulian instansi terkait yang masih
menekankan pada kebijakan masing-masing,
2) Bapak M. Bahrun, A.Md. IP. SH. selaku Kasubsi Registrasi
mengatakan bahwa hambatan-hambatan yang terjadi adalah :
a) Kendala pada narapidana itu sendiri;
b) Pihak keluarga.
3) Bapak Aris Supriyadi, A.Md. IP. SH. selaku Kasubsi Bimaswat
mengatakan bahwa hambatan-hambatan yang terjadi adalah :
a) Penjamin narapidana bukan dari keluarga, sehingga
BAPAS tidak akan menyetujuinnya;
b) Narapidana yang mendapatkan Pembebasan Bersyarat
masih memiliki perkara lain diluar;
c) Melanggar disiplin dalam Lembaga Pemasyarakatan;
d) Proses di Direktorat lama.
4) Bapak Suranto, S.Sos. M.Si. selaku Kasubag Tata Usaha
mengatakan bahwa hambatan-hambatan yang terjadi adalah :

51
Wawancara dengan pegawai Lembaga Pemasyarakatan Purwokerto pada tanggal 8
maret 2012
75

a) Narapidana itu sendiri sering berbuat ulah dan tidak


memenuhi syrat Substantif dan Administratif;
b) Kendala pihak keluarga dan masyarakat yang enggan
menerima mantan narapidana karena malu atau merasa
tercemar.
b. Wawancara dengan narapidana52

1) Bapak Santoso mengatakan bahwa hambatan-hambatan yang terjadi


selama menuggu mendapatkan Pembebasan Bersyarat adalah jika
melanggar disiplin atau tata tertib Lembaga Pemasyarakatan seperti
berkelahi sesama narapidana maka haknya mendapatkan
Pembebasan bersyarat akan dibatalkan.
2) Bapak Sugianto mengatakan bahwa hambatan-hambatan yang
terjadi adalah apabila melanggar disiplin atau tata tertib Lembaga
Pemasyarakatan maka haknya mendapatkan Pembebasan bersyarat
akan dibatalkan dan lama prosesnya.
3) Bapak Mansur Sulaiman mengatakan bahwa hambatan-hambatan
yang terjadi adalah kalau tidak tertib atau berkelahi maka haknya
mendapatkan Pembebasan bersyarat akan dibatalkan dang a akan
diberikan lagi ditambah lama prosesnya.
4) Bapak Sucipto mengatakan bahwa hambatan-hambatan yang terjadi
adalah jika bukan keluarga yang menjamin sering kali dicurigain
dan diterima dan lama proses mendapatkan Pembebasan Bersyarat.
5) Bapak Mukti Alfian mengatakan bahwa hambatan-hambatan yang
terjadi adalah apabila berkelahi maka pengusulan Pembebasan
Bersyarat dibatalkan dan lama prosesnya.

b. Dokumen-dokumen

Berdasarkan data-data yang ada yng penulis dapatkan dari

dukomen Lembaga Pemasyarakatan Purwokerto mendapatkan

jumlah narapidana yang mendapatkan Pembebasan Bersyarat adalah

sebagai berikut :

52
Wawancara dengan narapidana Lembaga Pemasyarakatan Purwokerto pada
tanggal 9 maret 2012
76

Tabel 14. Pemberian Pembebasan Lembaga Pemasyarakatan

Purwokerto Periode Oktober 2007-Juni 2008.

Bulan Diusulkan Realisasi


Oktober 13 narapidana 13 narapidana
November 9 narapidana 9 narapidana
Desember 4 narapidana 4 narapidana
Januari 4 narapidana 4 narapidana
Febuari 2 narapidana 2 narapidana
Maret 3 narapidana 3 narapidana
April 9 narapidana 9 narapidana
Mei 2 narapidana 2 narapidana
Juni 5 narapidana 5 narapidana
Jumlah 51 narapidana 51 narapidana
Sumber : Data primer diolah

Dari tabel 14 dapat kita ketahui jumlah narapidana yang

diusulkan mendapatkan Pembebasan Bersyarat pada periode Oktober

2008-Juni 2008 adalah 51 narapidana dan yang terrealisasi 51

narapidana.

Tabel 15. Pemberian Pembebasan Lembaga Pemasyarakatan

Purwokerto Periode Januari 2008-November 2008.

Bulan Diusulkan Realisasi


Januari 4 narapidana 4 narapidana
Febuari 2 narapidana 2 narapidana
Maret 3 narapidana 3 narapidana
April 9 narapidana 9 narapidana
Mei 2 narapidana 2 narapidana
77

Juni 5 narapidana 5 narapidana


Juli 8 narapidana 8 narapidana
Agustus 15 narapidana 15 narapidana
September 2 narapidana 2 narapidana
Oktober 16 narapidana 0 narapidana
November 11 narapidana 0 narapidana
Jumlah 77 narapidana 50 narapidana
Sumber : Data primer diolah

Dari tabel 15 dapat kita ketahui jumlah narapidana yang

diusulkan mendapatkan Pembebasan Bersyarat periode Januari 2008-

November 2008 adalah 77 narapidana dan yang terrealisasi 50

narapidana.

Tabel 16. Pemberian Pembebasan Lembaga Pemasyarakatan

Purwokerto Periode Januari 2009-Oktober 2009.

Bulan Diusulkan Realisasi


Januari 5 narapidana 5 narapidana
Febuari 6 narapidana 6 narapidana
Maret 0 narapidana 0 narapidana
April 0 narapidana 0 narapidana
Mei 12 narapidana 12 narapidana
Juni 5 narapidana 5 narapidana
Juli 0 narapidana 0 narapidana
Agustus 5 narapidana 5 narapidana
September 13 narapidana 13 narapidana
Oktober 0 narapidana 0 narapidana
November 9 narapidana 0 narapidana
Desember 0 narapidana 0 narapidana
78

Jumlah 55 narapidana 46 narapidana


Sumber : Data primer diolah

Dari tabel 16 dapat kita ketahui jumlah narapidana yang

diusulkan mendapatkan Pembebasan Bersyarat periode Periode

Januari 2009-Oktober 2009 adalah 46 narapidana dan yang

terrealisasi 46 narapidana.

Tabel 17. Pemberian Pembebasan Lembaga Pemasyarakatan

Purwokerto Periode Januari 2010-September 2010.

Bulan Diusulkan Realisasi


Januari 8 narapidana 8 narapidana
Febuari 2 narapidana 2 narapidana
Maret 9 narapidana 9 narapidana
April 8 narapidana 8 narapidana
Mei 8 narapidana 8 narapidana
Juni 6 narapidana 6 narapidana
Juli 8 narapidana 8 narapidana
Agustus 6 narapidana 6 narapidana
September 5 narapidana 5 narapidana
Jumlah 60 narapidana 60 narapidana
Sumber : Data primer diolah

Dari tabel 17 dapat kita ketahui jumlah narapidana yang

diusulkan mendapatkan Pembebasan Bersyarat periode Periode

Januari 2010 - September 2010 adalah 60 narapidana dan yang

terrealisasi 60 narapidana.
79

Tabel 18. Pemberian Pembebasan Lembaga Pemasyarakatan

Purwokerto Periode Januari 2011-Desember 2011.

Bulan Diusulkan Realisasi


Januari 5 narapidana 5 narapidana
Febuari 4 narapidana 4 narapidana
Maret 6 narapidana 6 narapidana
April 1 narapidana 1 narapidana
Mei 0 narapidana 0 narapidana
Juni 15 narapidana 15 narapidana
Juli 15 narapidana 15 narapidana
Agustus 11 narapidana 11 narapidana
September 11 narapidana 0 narapidana
Oktober 0 narapidana 0 narapidana
November 12 narapidana 10 narapidana
Desember 10 narapidana 0 narapidana
Jumlah 90 narapidana 67 narapidana
Sumber : Data primer diolah

Dari tabel 18 dapat kita ketahui jumlah narapidana yang

diusulkan mendapatkan Pembebasan Bersyarat periode Periode

Januari 2011 - Desember 2011 adalah 90 narapidana dan yang

terrealisasi 67 narapidana.
80

B. Pembahasan

1. Pelaksanaan Pemberian Pembebasan Bersyarat di Lembaga

Pemasyarakatan Purwokerto

a. Pengertian Pembebasan Bersyarat

Pembebasan bersyarat adalah proses pembinaan narapidana di

luar Lembaga Pemasyarakatan setelah menjalani sekurang-kurangnya

2/3 (dua per tiga) masa pidananya dengan ketentuan 2/3 (dua per tiga)

masa pidana tersebut minimal 9 (sembilan) bulan. Pembebasan bersyarat

merupakan bagian dari fungsi Lembaga Pemasyarakatan, yang

merupakan salah satu dari bagian sistem peradilan pidana Indonesia,

yaitu Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan dan juga merupakan hak

yang dimiliki oleh setiap narapidana. Ketentuan mengenai pembebasan

bersyarat di dalam peraturan perundang- undangan Indonesia, pertama

kalinya termuat dengan istilah pelepasan bersyarat di dalam Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dimana penyusunan KUHP

dibuat berdasarkan Wetboek van straftrecht voor Nederlandsch-Indie.

Keberadaan ketentuan Pelepasan Bersyarat dalam Wetboek van

straftrecht voor Nederlandsch-Indie terpengaruh oleh sistem pidana

penjara di Inggris (progressive system), dimana Pembebasan Persyarat

tersebut dimaksudkan sisa pidana terakhir dalam rangka pengembalian

terpidana dengan baik ke masyarakat.


81

b. Syarat-syarat Pembebasan Bersyarat

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 15 KUHP dapat dilihat

tentang syarat pemberian pembebasan bersyarat. Dalam hal tersebut

narapidana telah menjalani hukuman sekurang-kurangnya dua pertiga

dari hukuman yang dijatuhkan oleh hakim atau sekurang kurangnya

Sembilan (9) bulan dan dalam jangka waktu yang telah ditentukan tidak

boleh melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum.

Permohonan pembebasan bersyarat bagi narapidana yang telah

memenuhi dua pertiga masa pidanannya yang sekurang-kurangnya

Sembilan (9) bulan sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 15 KUHP,

maka sebelum permohonan diajukan ke Kantor Wilayah Departemen

Kehakiman Republik Indonesia terlebih dahulu harus memenuhi syarat-

syarat sebagaimana yang telah ditentukan dalam Keputusan Menteri

Kehakiman Republik Indonesia Nomor. M.01.04.10 Tahun 1999 tentang

Asimilasi, Cuti menjelang bebas dan Pembebasan Bersyarat. Adapun

syarat-syaratnya adalah sebagai berikut :

1. Syarat Substantif
a) Telah menunjukkan kesadaran dan penyesalan atas
kesalahan yang menyebabkan dijatuhi pidana;
b) Telah menunjukkan perkembangan budi pekerti dan moral
yang positif;
c) Berhasil mengikuti program kegiatan pembinaan dengan
tekun dan bersemangat;
d) Masyarakat telah dapat menerima program pembinaan
narapidana yang bersangkutan;
82

e) Selama menjalani pidana narapidana atau anak pidana tidak


pernah mendapat hukuman disiplin sekurang-kurangnya
dalam waktu 9 bulan terakhir;
f) Masa pidana yang dijalani; telah menjalani 2/3 darimasa
pidananya, setelah dikurangi masa tahanan dan remisi
dihitung sejak tanggal putusan pengadilan memperoleh
kekuatan hukum tetap dengan ketentuan 2/3 tersebut tidak
kurang dari 9 bulan.

2. Syarat Administratif
a) Salinan surat keputusan pengadilan;
b) Surat keterangan asli dari kejaksaan bahwa narapidanma
yang bersangkutan tidak mempunyai perkara atau tersangkut
dengan tindak pidana lainnya;
c) Laporan penelitian kemasyarakatan (Litmas) dari balai
pemasyarakatan tentang pihak keluarga yang akan menerima
narapidana, keadaan masyarakat sekitarnya dan pihak lain
yang ada hubungannya dengan narapidana;
d) Salinan (daftar huruf F) daftar yang memuat tentang
pelanggaran tata tertib yang dilakukan narapidana selama
menjalankan masa pidana dari kepala lembaga
pemasyarakatan;
e) Salinan daftar perubahan atau pengurangan masa pidana,
seperti grasi, remisi, dan lain-lain dari kepala lembaga
pemasyarakatan;
f) Surat pernyataan kesanggupan dari pihak yang akan
menerima narapidana, seperti; pihak keluarga, sekolah,
intansi pemerintah/swasta dengan diketahui oleh pemerintah
daerah setempat serendah-rendahnya lurah atau kepala desa;
g) Surat keterangan kesehatan dari psikolog atau dari dokter
bahwa narapidana sehat baik jasmani maupun jiwanya dan
apabila di Lapas tidak ada Psikolog dan dokter, maka surat
keterangan dapat dimintakan kepada dokter puskesmas atau
rumah sakit umum;
h) Bagi narapidana atau anak pidana WNA diperlukan syarat
tambahan :
1) Surat keterangan sanggup menjamin kedutaan besar/
konsulat negara orang asing yang bersangkutan.
2) Surat rekomendasi dari kepala kantor imigrasi
setempat.
83

Selain ketentuan yang mengatur tentang syarat untuk pemberian

pembebasan bersyarat tersebut diatas, dalam pasal 16 KUHP juga diatur

tentang pihak yang berwenang untuk menetapkan pemberian

pembebasan bersyarat.

Ketentuan dalam Pasal 16 KUHP adalah sebagai berikut :


Pasal 16
(1) Ketentuan pelepasan bersyarat ditetapkan oleh Menteri
Kehakiman atas usul atau setelah mendapat kabar dari
pengurus penjara tempat terpidana, dan setelah mendapat
keterangan dari jaksa tempat asal terpidana. Sebelum
menentukan, harus ditanya dahulu pendapat Dewan
Reklasering Pusat, yang tugasnya diatur oleh Menteri
Kehakiman.
(2) Ketentuan mencabut pelepasan bersyarat, begitu juga hal-hal
yang tersebut dalam pasal 15a ayat 5, ditetapkan oleh Menteri
Kehakiman atas usul atau setelah mendapat kabar dari jaksa
tempat asal terpidana. Sebelum memutus, harus ditanya dahulu
pendapat Dewan Reklasering Pusat.
(3) Selama pelepasan masih dapat dicabut, maka atas perintah
jaksa tempat dimana dia berada, orang yang dilapaskan
bersyarat orang yang dilepaskan bersyarat dapat ditahan guna
menjaga ketertiban umum, jika ada sangkaan yang beralasan
bahwaorang itu selama masa percobaan telah berbuat hal-hal
yang melanggar syarat-syarat tersebut dalam surat pasnya.
Jaksa harus segera memberitahukan penahanan itu kepada
Menteri Kehakiman.
(4) Waktu penahanan paling lama enam puluh ahri. Jika penahanan
disusul dengan penghentian untuk sementara waktu atau
pencabutan pelepasan bersyarat, maka orang itu dianggap
meneruskan menjalani pidananya mulai dari tahanan.

c. Prosedur Pengajuan Pembebasan Bersyarat

Mengenai bagaimana cara pengusulan pembebasan bersyarat,

tentang bagaimana cara Menteri Kehakiman meminta saran dari Dewan


84

Reklasering Pusat, tentang apa saja yang dapat diputuskan oleh Menteri

Kehakiman tersebut, Semua tidak diatur dalam Kitab Undang-undang

Hukum Pidana, melainkan diatur dalam Ordonansi Pembebasan

Bersyarat Tanggal 27 Desember 1917, Staatblad tahun 1919 Nomor

744.

Menurut Pasal 1 dari Ordonansi tentang pembebasan bersyarat,

usul dari Kepala Lembaga Pemasyarakatan yang dikirim kepada

Menteri Kehakiman memuat :

1) Penunjukan dengan secermat mungkin terpidana yang


bersangkutan;
2) Penyebutan putusan hakim yang pidananya harus dijalankan
oleh terpidana tersebut, hari mulaidijalankannya pidana itu dan
kapan akan berakhir;
3) Segala hal yang diketahui oleh kepala penjara tentang riwayat
hidup terpidana tersebut yangsekiranya perlu dicantumkan,
pekerjaan atau usaha apa yang telah pemah dijalankan
sebelumdijatuhi pidana, apa yang telah dipelajarinya,
kemungkinan cara mencari nafkah sesudahdilepaskan dan
berhubungan dengan itu usul untuk diberikan bekal uang atau
tidak kepada orangyang akan dilepaskan dengan bersyarat itu
dari kas pesangonnya;
4) Syarat-syarat khusus yang dihubungkan dengan pelepasan
bersyarat itu yang antara lain dapatmengenai tempat tinggalnya
di dalam atau di luar suatu daerah;
5) Tempat yang ingin dituju terpidana itu setelah dilepaskan
dengan bersyarat itu.

Pasal 2 Ordonansi ini juga menentukan bahwa usulan dari

Kepala Lembaga Pemasyarakatan harus terlampir dengan :

1) Kutipan surat keputusan hakim yang menjadi dasar terpidana


tersebut menjalani pidananya disertaidaftar mutasinya;
85

2) Daftar yang disahkan tentang pidana tata tertib yang telah


dijatuhkan kepadanya selama tiga tahunsebelum usul itu
diajukan;
3) Segala pemberitaan dan keterangan yang diperoleh
berdasarkan pasal 3 atau turunannya.

Setelah menerima usulan mengenai pembebasan bersyarat

seseorang narapidana dari Kepala Lembaga Pemasyarakatan, maka

Menteri Kehakiman akan mengusulkan usul tersebut kepada Dewan

Reklasering Pusat. Menteri Kehakiman akan memberikan putusannya

mengenai pembebasan bersyarat bagi seorang narapidana dengan

menetapkan jangka waktu yang ada dan menetapkan besarnya jumlah

uang yang akan didapat oleh narapidana sebagai bekal untuk memulai

dengan usaha yang baru setelah dibebaskan secara bersyarat dari

Lembaga Pemasyarakatan. Dalam Pasal 5 Ordonansi tentang

Pembebasan Bersyarat menyebutkan sebagai berikut :

1) Pada waktu pemberian pelepasan bersyarat, diberikan surat


tanda izin (Pas) kepada terpidana itu menurut model yang
dilampirkan pada ordonansi ini;
2) Syarat-syarat yang harus dipenuhi selama masa pidananya
belum selesai dicantumkan di bagian belakang surat izin itu;
3) Duplikat surat izin yang dibubuhi sidik jari terpidana itu
disampaikan kepada Kantor Besar Penjara (kini: Kementrian
Hukum dan Hak Asasi Manusia).

Mekanisme yang dilaksanakan di Lembaga Pemasyarakatan

Purwokerto dalam melaksanakan Pembebasan Bersyarat adalah sebagai

berikut :
86

1) Narapidana harus mengisi Surat Pernyataaan yang diisi oleh

keluarga dari narapidana yang bersangkutan serta harus diketahui

dan disetujui oleh masyarakat setempat yang diwakili oleh kepala

desa atau pun lurah. Dalam hal ini keluarga yang mengisi surat

penyataan tersebut dikarenakan pihak keluarga yang di jadikan

penjamin dari narapidana itu sendiri, selain keluarga yang boleh

menjadi penjamin adalah Lembaga/ Badan atau pun Organisasi

Sosial.

2) Setelah pihak penjamin mengisi surat pernyataan tersebut barulah

proses pengajuan Pembebasan Bersyarat diserahkan kepada Tim

Pengamat masyarakat untuk diproses.

Adapun tahap-tahapnya pengajuan Pembebasan Bersyarat di

Lembaga Pemasyarakatan Purwokerto adalah sebagai berikut :

1) Tim Pengamat Pemasyarakatan Setelah mendengar pendapat

anggota tim serta mempelajari laporan dari BAPAS, kemudian tim

pengamat pemasyarakatan mengusulkan kepada Kepala Lembaga

Pemasyarakatan Puwokerto yang terhitung dalam formlir yang

telah ditetapkan.

2) Kepala Lembaga Pemasyarakatan Puwokerto segera meneliti

dengan mempelajari usulan tersebut pada angka 1 apabila

menyetujui usulan tersebut maka tim pengamat pemasyarakatan

Lembaga Pemasyarakatan selanjutnya meneruskan usulan tersebut


87

kepada Kepala kantor wilayah Kementrian Hukum dan Hak Asasi

Manusia Jawa Tengah lengkap dengan persyaratan lainnya.

3) Kepala kantor wilayah Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia

Jawa Tengah wajib segera meneliti dan mempelajari usulan

Kepala Lembaga Pemasyarakatan Purwokerto tersebut dan setelah

itu memperhatikan hasil sidang TPP Kantor wilayah Kementrian

Hukum dan Hak Asasi Manusia Jawa Tengah, maka Kantor

wilayah Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia Jawa Tengah

dapat menyatakan :

a) Menolak usul Kepala Lembaga Pemasyarakatan

Purwokerto tersebut dalam jangka waktu 14 (empat

belas) hari sejak usulan diterima segera

menyampaikan surat penolakan disertai alasan-

alasannya kepada Kepala Lembaga Pemasyarakatan

Purwokerto serta tembusan disampaikan kepada

Direktorat Jenderal Pemasyarakatan.

b) Menyetujui usul Kepala Lembaga Pemasyarakatan

Purwokerto dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari

sejak usulan diterima segera meneruskan kepada

Direktorat Jenderal Pemasyarakatan.

4) Direktorat Jenderal Pemasyarakatan segera meneliti dengan

mempelajari usul Kantor Wilayah Kementrian Hukum dan Hak


88

Asasi Manusia Jawa Tengah sebagaimana dimaksud pada angka 3

huruf b dengan mempertimbangkan hasil sidang TPP Direktorat

Jenderal Pemasyarakatan, maka dalam jangka waktu 30 hari sejak

usul diterima Direktorat Jenderal Pemasyarakatan dapat

menyatakan :

a) Menolak usul Kepala Kantor wilayah Kementrian

Hukum dan Hak Asasi Manusia Jawa Tengah dengan

menyampaikan surat penolakan disertakan alasan

kepada Kantor wilayah Kementrian Hukum dan Hak

Asasi Manusia Jawa tengah dengan tembusan

disampaikan kepada Kepala Lembaga Pemasyarakatan

Purwokerto.

b) Menyetujui usul Kepala Kantor wilayah Kementrian

Hukum dan Hak Asasi Manusia Jawa Tengah dan

segera menerbitkan keputusan Pembebasan Bersyarat

yang dimaksud yang tembusannya disampaikan

kepada :

(1) Kepala Kantor Wilayah Kementrian Hukum dan

Hak Asasi Manusia Jawa Tengah;

(2) Kepala Lembaga Pemasyarakatan Purwokerto

dengan dilampirkan buku Pembebasan Bersyarat

untuk narapidana yang diberi izin;


89

(3) Kepala Kejaksaan Negeri yang mengawasi;

(4) Kepala Polisi setempat;

(5) Kepala Balai Pemasyarakatan setempat;

(6) Direktorat Jenderal Pemasyarakatan.

Pasal 19 Ordonansi pembebasan bersyarat mengatur syarat

limitatife hal-hal yang tidak boleh dilanggar seorang narapidana yang

mendapatkan pembebasan bersyarat, yaitu :

Terpidana yang dilepaskan dengan bersyarat dianggap


berprilaku bertentangandengan syarat-syarat umum yang dimaksud
dalam pasal 15a Kitab Undang-undang Hukum Pidana bila :
1) Ia hidup secara malas dan tidak terkendalikan.
2) Ia bergaul dengan orang-orang yang terkenal jahat

Terhadap seorang narapidana yang sedang menjalani masa

percobaan pembebasan bersyarat kemudian melakukan pelanggaran

seperti yang telah ditentukan dalam Pasal 19 Ordonansi pembebasan

bersyarat, maka pembebasan bersyarat dapat dicabut kembali untuk

sementara waktu atau dapat di cabut sepenuhnya.

Mekanisme pencabutan pemberian pembebasan bersyarat ini

dilakukan oleh Dewan Reklasering Pusat atau usul dari Menteri

Kehakiman setelah Menteri Kehakiman mendapat surat dari Jaksa

wilayah dimana tnarpidana tersebut tinggal yang isinya sesuai dengan

Pasal 12 ayat (2) huruf a dan b juga pada ayat (3) Ordinansi

pembebasan bersyarat, yaitu :


90

(1) Usul asisten residen agar keputusan tentang pelepasan bersyarat


dicabut memuat :
(a) Keterangan yang terinci mengenai orang yang dilepaskan
dengan bersyarat itu, sedapatmungkin dengan
dilampirkan juga pasnya;
(b) Alasan-alasan yang menyebabkan diajukan usul itu.

(2) Pada usul ini dilampirkan berita-berita acara, catatan-catatan, dan


surat surat lain yang dipandangberguna, begitu pula berita acara
pemberiksaan orang yang dilepaskan dengan bersyarat itu,
kecuali jika memang ia tidak dapat didengar.

Pelaksanaan Pembebasan bersyarat di Lembaga Pemasyarakatan

Purwokerto telah berjalan dengan sangat baik dikarenakan Lembaga

Pemasyarakatan Purwokerto telah mengikuti sebagaimana yang telah

diatur dalam Undang-undang baik itu dalam Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana (KUHP), Keputusan Menteri Kehakiman Republik

Indonesia Nomor. M.01.04.10 Tahun 1999 tentang Asimilasi, Cuti

menjelang bebas dan Pembebasan Bersyarat Keputusan Menteri

Kehakiman Republik Indonesia Nomor M.01-PR.07.03 Tahun 1985,

Tentang Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Pemasyarakatan, Undang-

Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan., Ordonansi

Pembebasan Bersyarat Tanggal 27 Desember 1917, Staatblad

tahun1919 Nomor 744 dan juga hampir semua narapidana yang

diusulkan untuk mendapatkan Pembebasan Bersyarat mendapatkannya

atau terrealisasikan, hanya ada beberapa narapidana yang tidak

terrealilasi atau gagal mendapatkan Pembebasan Bersyarat yang

dikarenakan diri narapidana itu sendiri melanggar atau tidak mematuhi


91

tata tertib disiplin yang berlaku di Lembaga Pemasyarakatan

Purwokerto dan juga dapat dilihat dari meningkatnya jumlah narapidana

yang mendapatkan Pembebasan Bersyarat dari tahun ketahun.

2. Hambatan-Hambatan Yang Terjadi Dalam Pelaksanaan Pemberian

Pembebasan Bersyarat.

Pelaksanaan Pembebasan Bersyarat di Lembaga Pemasyarakatan

Purwokerto sudah berjalan dengan cukup baik, akan tetapi terkadang akan

mengalami hambatan-hambatan dalam pelaksanaannya. Adapun beberapa

factor yang menjadi hambatan pelaksanaan Pembebasan Bersyarat di

Lembaga Pemasyarakatan Purwokerto. Berdasarkan hasil wawancara dari

Pegawai Lembaga Pemasyarakatan Purwokerto, Pengamatan oleh penulis

serta berdasarkan dokumen-dokumen yang dimiliki Lembaga

Pemasyarakatan Purwokerto adalah sebagai berikut :

a. Peraturan perundang-undangan.

Prosedur pengusulan Pembebasan Bersyarat terlalu rumit dan

memakan waktu yang cukup lama untuk sampai mendapatkan

keputusan diterima atau ditolak, sehingga menimbulkan rasa gelisah

dalam diri narapidana sendiri dalam menunggu hasil keputusan

pengajuan Pembebasan Bersyarat.


92

b. Penjamin narapidana sehingga BAPAS tidak menyetujuinya.

Banyak narapidana yang penjaminnya bukan dari keluarga narapidana

itu sendiri, sehingga nantinya menyulitkan dalam proses pengawasan

apabila nantinya narapidana tersebut melanggar disiplin Lemabaga

Pemasyarakatan.

c. Masih memiliki perkara lain di luar.

d. Melanggar hukum disiplin dalam Lembaga Pemasyarakatan yang

menyebabkan narapidana tersebut terancam gagal mendapatkan

Pembebasan Bersyarat.

e. Proses di Direktorat Jenderal Pemasyarakatan sangat lama karena

merupakan pemusatan dari seluruh Lembaga Pemasyarakatan di

Indonesia.
93

BAB V

PENUTUP

A. Simpulan

Setelah dilakukan analisis dari hasil penelitian mengenai Pelakasanaan

Pemberian Pembebasan Bersyarat yang diberikan Kepada Narapidana di

Lembaga Pemasyarakatan Purwokerto, maka simpulannya adalah sebagai

berikut:

1. Pelaksanaan Pemberian Pembebasan Bersyarat oleh Lembaga

Pemasyarakatan Purwokerto dianggap telah berhasil, karena dapat dilihat

dari perbandingan data Pembebasan Bersyarat di Lembaga

Pemasyarakatan Purwokerto dari tahun 2007-2011 antara yang diusulkan

dengan yang terealisasikan mendekati dengan jumlah diusulkan dan

jumlah yang terrealisasi terus meningkat dari tahun ke tahun.

2. Pelaksanaan Pemberian Pembebasan Bersyarat oleh Lembaga

Pemasyarakatan Purwokerto ternyata ada kendala atau hambatan, baik

hambatan internal maupun hambatan eksternal diantaranya adalah :

a. Prosedur pengusulan Pembebasan Bersyarat terlalu rumit

dan memakan waktu yang cukup lama untuk sampai

mendapatkan keputusan diterima atau ditolak pengusulan

tersebut.
94

b. Penjamin pihak keluarga narapidana itu sendiri tidak

bersedia menjadi penjamin atau pun pihak keluarga dari

narapidana tidak diketahui keberadaannya.

c. Melanggar hukum disiplin dalam Lembaga

Pemasyarakatan yang menyebabkan narapidana tersebut

gagal mendapatkan Pembebasan Bersyarat.

d. Terdapat hambatan Psikologis dari masyarakat dalam

penerimaan kembali narapidana dalam masyarakat yang

mengakibatkan terhambatnya proses integrasi narapidana

dalam kehidupan social masyarakat.

e. Proses di Direktorat Jenderal Pemasyarakatan sanagat lama

karena merupakan pemusatan dari seluruh Lembaga

Pemasyarakatan di Indonesia.

B. Saran

Setelah melakukan penelitian terhadap Pelaksanaan Pemberian

Pembebasan Bersyarat di Lembaga Pemasyarakatan Purwokerto dan

memperhatikan data-data yang penulis peroleh, maka penulis mencoba

memberikan saran-saran sebagai bahan evaluasi, yaitu :

1. Perlu semakin meningkatkan kualitas dan profesionalisme dari petugas

dalam melaksanakan proses pembinaan.


95

2. Untuk lebih menunjang profesionalisme dan kualitas perlu ditingkatkan

juga kesejahteraan dan rotasi atau mutasi pegawai Lembaga

Pemasyarakatan agar tidak terjadi kejenuhan dan dapat meningkatkan

kinerja pegawai Lembaga Pemasayarakatan.

3. Proses pengintergrasian yang lebih luas dan memberikan penyuluhan

kepada masyarakat agar masyarakat lebih memahami arti pentingnya

Pembebasan Bersyarat, terutama di lingkungan tempat narapidana

menjalani Pembebasan Bersyarat.

4. Proses administrasi yang lebih cepat perlu dilakukan agar tidak terlalu

lama dalam menunggu proses Pembebasan Bersyarat.

5. Perlunya peningkatan koordinasi antara instansi terkait agar terjadi

hubungan yang harmonis dan koorpratif sehingga mempermudah proses

birokrasi dan administrasi yang bermuara pada cepatnya proses

Pemberian Pembebasan Bersyarat.


96

DAFTAR PUSTAKA

Literatur:

Abidin, A.Z. dan A. Hamzah,2008. Bentuk-bentuk Khusus Perwujudan Delik dan


Hukum Penitersier.Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Achmad R. S. Soemadipradja dan Romli Atmasasmita, 1979. Sistem Pemasyarakatan


Di Inodonesia, Bandung: Penerbit Binacipta.
Amirudin
, 2004.Pengantar Metode Penelitian Hukum,Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada.

Hamzah, Andi, 1993. Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia. Jakarta: Pradnya
Paramita.

Kanter. E.Y. dan S. R. Sianturi, 2002. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan
Penerapannya, cet. 3, Jakarta: Storia Grafika.

Lamintang, P.A.F.,1984. Hukum Penitensier Indonesia.Bandung: CV. ARMICO.

Moleong, J Lexy.2002.Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Rosda Karya.

Poernomo, Bambang. 1985. Pelaksanaan Pidana Penjara Dengan Sistem


Pemasyarakatan. Yogyakarta: Liberty.

Sahardjo, 2008.Mengenai Pemasyarakatan Narapidana, Jakarta: Indhill Co.

Soekanto, Soerjono. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI-Press

Sudarto, S.H.,1990, Hukum Pidana I. Semarang: Yayasan Sudarto d/a Fakultas


Hukum UNDIP.

Sugiono.2008. Metode PenelitianKuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung:


ALFABETA.

Suharto, R.M,. 1991. Hukum Pidana Materil. Jakarta: Sinar Grafika.

Sunggono, Bambang.2003Metode Penelitian Hukum, Cetakan Keenam, Jakarta: PT.


Raja Grafindo Persada,
97

Waluyo, Bambang,2000. Pidana dan Pemidanaan. Jakarta: Sinar Grafika.

Setiady, Tolib.2010. Pokok-Pokok Hukum Penitersier.Jakarta: ALFABETA.

Soesilo, R. 1996. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Bogor: Politeia

Sumber Lain:

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Lembaran Negara


Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 77

Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor M.01-PR.07.03 Tahun


1985, Tentang Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Pemasyarakatan.

Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor M.01-PK.04.10 Tahun


1999, Tentang Asimilasi, Pembebasan Bersyarat dan Cuti Menjelang Bebas.

Ordonansi Pembebasan Bersyarat Tanggal 27 Desember 1917

Staatblad tahun1919 Nomor 744.

http://blogmhariyanto.blogspot.com/2009/07/strafbaar-feit-menurut-bambang-
poernomo.html, diakses tanggal 1 April 2011

Anda mungkin juga menyukai