Anda di halaman 1dari 10

BAB III PRESIPITASI

a. Siklus hidrologi
Siklus hidrologi adalah salah satu dari 6 siklus biogeokimia yang berlangsung di Bumi.
Siklus hidrologi merupakan siklus atau sirkulasi air yang berasal dari Bumi kemudian menuju
atmosfer dan kembali lagi ke Bumi yang berlangsung secara terus menerus. Karena
bentuknya memutar dan berlangsung secara terus-menerus inilah yang menyebabkan air
seperti tidak pernah habis. Siklus ini mempunyai peranan sangat penting bagi kelangsungan
hidup makhluk di Bumi. Karena adanya siklus inilah ketersediaan air di Bumi bisa selalu
terjaga

Gambar 8. Tahapan Siklus Hidrologi


Sebuah siklus mempunyai tahapan yang berangkai. Tahapan tersebut jika tergabung satu
dengan lainnya akan tercipta sebuah siklus. Dengan kata lain, siklus ini terjadi karena adanya
tahapan yang saling berkaitan satu sama lain dan bentuknya memutar. Siklus hidrologi ini
setidaknya mencakup 9 tahap, yakni evaporasi, transpirasi, evapotranspirasi, sublimasi,
kondensasi, adveksi, presipitasi, run off, dan infiltrasi. Siklus air secara umum dapat
digambarkan dalam gambar di atas. Gambar di atas menunjukkan langkah/tahap siklus
hidrologi yang membentuk gerakan memutar. Setiap tahapan akan di bahas sebagai berikut.
b. Tahapan siklus Hidrologi meliputi:
1. Evaporasi merupakan istilah lain dari penguapan. Siklus hidrologi akan dimulai dari
adanya penguapan. Penguapan yang mengawali terjadinya siklus hidrologi adalah penguapan
dari air yang ada di Bumi, seperti samudera, laut, danau, rawa, sungai , bendungan, bahkan di
areal persawahan. Semua air tersebut akan berubah menjadi uap air karena adanya
pemanasan dari sinar matahari. Hal inilah yang disebut dengan evaporasi/penguapan.
Evaporasi ini akan mengubah bentuk air yang semula cair menjadi uap air yang berwujud
gas. Karena menjadi wujud gas, hal ini memungkinkan bahwa gas tersebut dapat naik ke atas
(ke atmosfer) karena terbawa oleh angin. Semakin panas sinar matahari yang diterima, maka
akan semakin banyak air yang berubah menjadi uap air, dan semakin banyak pula yang
terbawa ke lapisan atmosfir Bumi.
2. Transpirasi adalah bentuk penguapan lain yakni penguapan yang berasal dari
jaringan makhluk hidup. Transpirasi terjadi di jaringan hewan maupun tumbuhan.
Sama halnya dengan evaporasi, transpirasi juga mengubah air yang berwujud cair dari
jaringan makhluk hidup menjadi uap air. Uap air ini juga akan terbawa ke atas, yakni ke
atmosfer. Namun, biasanya penguapan yang terjadi karena transpirasi ini jumlahnya lebih
sedikit/lebih kecil dari penguapan yang terjadi karena evaporasi.
3. Evapotranspirasi merupakan gabungan dari evaporasi dan juga transpirasi. Sehingga
dapat dikatakan bahwa evapotranspirasi ini merupakan total penguapan air atau penguapan
air secara keseluruhan, baik yang ada di permukaan Bumi atau tanah maupun di jaringan
makhluk hidup. Dalam siklus hidrologi, evapotranspirasi ini sangat mempengaruhi jumlah
uap air yang ternagkut ke atmosfer Bumi.
4. Sublimasi merupakan proses perubahan es di kutub atau di puncak gunung menjadi
uap air, tanpa harus melalui proses cair terlebih dahulu.
Sublimasi tidak sebanyak penguapan (evaporasi maupun transpirasi), namun meski sedikit
tetap saja sublimasi ini berkontribusi erat terhadap jumlah uap air yang terangkat ke atmosfer.
Dibanding dengan evaporasi maupun transpirasi, proses sublimasi ini berjalan lebih lambat
dari pada keduanya. Sublimasi ini terjadi pada tahap sikulus hidrologi panjang.
5. Kondensasi merupakan proses berubahnya uap air menjadi partikel es. Ketika uap air
dari proses evaporasi, transpirasi, evapotranspirasi, dan sublimasi mencapai tinggi tertentu,
uap air akan berubah menjadi partikel es yang berukuran sangat kecil melalui proses
kondensasi. Perubahan wujud terjadi karena pengaruh suhu udara yang sangat rendah saat
berada di ketinggian tersebut. Partikel es yang terbentuk akan saling mendekati satu sama lain
dan bersatu hingga membentuk awan. Semakin banyak partikel es yang bersatu, maka akan
semakin tebal dan juga hitam awan yang terbentuk. Inilah hasil dari proses kondensasi.
6. Adveksi terjadi setelah partikel es membentuk sebuah awan. Adveksi merupakan
perpidahan awan dari satu titik ke titik lainnya namun masih dalam satu horisontal. Jadi
setelah partikel es membentuk sebuah awan hitam dan gelap, awan tersebut dapat berpindah
dari satu titik ke titik yang lain dalam satu horizontal.
Proses adveksi ini terjadi karena angin maupun perbedaan tekanan udara sehingga
mengakibatkan awan berpindah. Proses adveksi ini memungkinkan awan akan menyebar dan
berpindah dari atmosfer yang berada di lautan menuju atmosfer yang ada di daratan. Namun
perlu diketahui bahwa tahapan adveksi ini tidak selalu terjadi dalam proses hidrologi, tahapan
ini tidak terjadi dalam siklus hidrologi pendek.
7. Presipitasi merupakan proses mencairnya awan hitam akibat adanya pengaruh suhu
udara yang tinggi. Pada tahapan inilah terjadinya hujan. Sehingga awan hitam yang tebentuk
dari partikel es mencair dan air jatuh ke Bumi manjadi hujan. Namun, tidak semua presipitasi
menghasilkan air.
Jika presipitasi terjadi di daerah yang mempunyai suhu terlalu rendah, yakni sekitar kurang
dari 0ᵒC, maka prepitisasi akan menghasilkan hujan salju. Awan yang banyak mengandung
air tersebut akan turun ke litosfer dalam bentuk butiran salju tipis. Hal ini dapat kita temui di
daerah yang beriklim sub tropis, dimana suhu yang dimiliki tidak terlalu panas seperti di
daerah yang mempunyai iklim tropis.
8. Run Off terjadi ketika sudah di permukaan Bumi. Ketika awan sudah mengalami
proses presipitasi dan menjadi air yang jatuh ke Bumi, maka air tersebut akan mengalami
proses run off. Runoff/limpasan ini merupakan proses pergerakan air dari tempat yang tinggi
menuju ke tempat yang rendah yang terjadi di permukaan Bumi. Pergerakan dapat terjadi
melalui saluran, seperti saluran got, sungai, danau, muara sungai, hingga samudera. Proses ini
menyebabkan air yang telah melalui siklus hidrologi akan kembali menuju ke lapisan
hidrosfer Bumi.
9. Infiltrasi. Air yang sudah berada di Bumi akibat proses presipitasi, tidak semuanya
mengalir di permukaan Bumi dan mengalami run off. Sebagian dari air akan bergerak menuju
ke pori tanah, merembes, dan terakumulasi menjadi air tanah. Sebagian air yang merembes
ini hanyalah sebagian kecil saja. Proses pergerakan air ke dalam pori tanah ini disebut
sebagai proses infiltrasi. Proses infiltrasi akan secara lambat membawa  air tanah untuk
menuju kembali ke laut.
Setalah melalui proses run off dan infiltrasi, kemudian air yang telah mengalami siklus
hidrologi akan berkumpul ke lautan. Secara berangsun-angsur, air akan kembali mengalami
siklus hidrologi yang baru, dimana diawali dengan evaporasi. Dan itulah kesembilan dari
tahapan siklus hidrologi.
c. Macam-macam Siklus Hidrologi
Siklus hidrologi yang tahapannya telah dijelaskan di atas ternyata tidak hanya satu jenis saja.
Siklus hidrologi ini terdiri atas beberapa macam. Jenis siklus hidrologi dilihat dari panjang
atau pendeknya proses siklus hidrologi tersebut. Berdasarkan panjang dan pendeknya, siklus
hidrologi ini dibagi menjadi 3 macam, yakni siklus hidrologi pendek, siklus hidrologi sedang
dan siklus hidrologi panjang.
1. Siklus hidrologi pendek merupakan siklus hidrologi yang tidak mengalami proses
adveksi. Uap air yang terbentuk melalui siklus hidrologi akan diturunkan mealui hujan yang
terjadi di daerah sekitar laut tersebut. Penjelasan mengenai siklus hidrologi pendek ini adalah
sebagai berikut:
 Air laut yang terkena pemanasan sinar matahari akan mengalami penguapan dan
menjadi uap air
 Uap air tersebut akan mengalami kondensasi dan membentuk awan
 Awan yang terbentuk tersebut akan menjadi hujan di sekitar permukaan laut tersebut.
2. Siklus hidrologi sedang merupakan siklus hidrologi yang umum terjadi di Indonesia.
Hasil dari siklus hidrologi sedang ini adalah turunnya hujan di atas daratan. Hal ini karena
proses adveksi akan membawa awan yang terbentuk ke atas daratan. penjelasan mengenai
siklus hidrologi sedang ini adalah sebagai berikut:
 Air laut yang terkena pemanasan sinar matahari akan mengalami penguapan dan
menjadi uap air
 Uap air yang sudah terbentuk mengalami proses adveksi karena adanya angin dan
tekanan udara, sehingga bergerak menuju ke daratan
 Di atmosfer daratan, uap air tersebut akan membentuk awan dan kemudian akan
berubah menjadi hujan
 Air hujan yang jatuh di permukaan Bumi atau daratan akan mengalami run off,
menuju ke sungai dan kembali ke laut.
3. Siklus hidrologi Panjang merupakan siklus hidrologi yang umum terjadi di daerah
beriklim sub tropis atau di daerah pegunungan. Melalui siklus hidrologi panjang ini hujan
tidak langsung berbentuk air, namun turun dalam bentuk salju ataupun gletser terlebih
dahulu. Penjelasan mengenai siklus hidrologi sedang sebagai berikut:
 Air laut yang terkena pemanasan sinar matahari akan mengalami penguapan dan
menjadi uap air
 Uap air yang telah terbetuk tersebut mengalami proses sublimasi
 Kemudian terbentuklah awan yang mengandung kristal- kristal es
 Awan mengalami proses adveksi dan kemudian bergerak ke daratan
 Awan akan mengalami presipitasi dan turun sebagai salju
 Salju akan terakumulasi menjadi gletser
 Gletser tersebut akan mencair karena adanya pengaruh suhu udara dan membentuk
aliran sungai
 Air dari gletser dan mengalir di sungai tersebut kemudian akan kembali ke laut.
Itulah jenis siklus hidrologi yang dilihat dari panjang dan pendeknya proses yang terjadi.
Contoh dari setiap proses adalah hujan lokal di area lautan (siklus hidrologi pendek), hujan di
daerah tropis (siklus hidrologi sedang), dan hujan salju (siklus hidrologi panjang).
d. Hujan
Hujan adalah sebuah presipitasi berwujud cairan, berbeda dengan presipitasi non-cair
seperti salju, batu es dan slit. Hujan memerlukan keberadaan lapisan atmosfer tebal agar
dapat menemui suhu di atas titik leleh es di dekat dan di atas permukaan Bumi. Di Bumi,
hujan adalah proses kondensasi uap air di atmosfer menjadi butir air yang cukup berat untuk
jatuh dan biasanya tiba di daratan. Dua proses yang mungkin terjadi bersamaan dapat
mendorong udara semakin jenuh menjelang hujan, yaitu pendinginan udara atau penambahan
uap air ke udara. Virga adalah presipitasi yang jatuh ke Bumi namun menguap sebelum
mencapai daratan; inilah satu cara penjenuhan udara.
e. Jenis/Tipe hujan
1. Hujan Konvektif adalah hujan yang disebabkan oleh adanya arus konvektif yaitu
terjadi jika bumi mendapat panas, massa udara bersinggungan dengan permukaan udara
dingin di atas wilayah lautan akan naik

Gambar 9. Hujan konvektif


Hujan konvektif atau hujan deras, berasal dari awan konvektif seperti kumulonimbus atau
cumulus kongestus. Hujan ini jatuh deras dengan intensitas cepat berubah. Hujan konvektif
jatuh di suatu daerah dalam waktu relatif singkat, karena awan konvektif memiliki bentangan
horizontal terbatas. Sebagian besar hujan di daerah tropis bersifat konvektif; namun, selain
hujan konvektif, hujan stratiform juga diduga terjadi. B. Geerts (2002), Robert Houze (1997)
2. Hujan orografis adalah hujan yang terjadi akibat pengangkatan (uplift) udara yang
disebabkan adanya rintangan berupa gunung/pegunungan

Gambar 10. Hujan orografis


Hujan orografis terjadi di sisi atas angin pegunungan dan disebabkan oleh gerakan udara
lembap berskala besar ke atas melintasi pegunungan, mengakibatkan pendinginan dan
kondensasi adiabatik. Di daerah berpegunungan dunia yang mengalami angin relatif
tetap, iklim yang lebih lembab biasanya lebih menonjol di sisi atas angin gunung daripada
sisi bawah angin gunung.
3. Hujan siklonik/hujan badai
Terdiri dari;
 badai tropis ektra terjadi pada sekitar garis lintang 60 dan;
 badai tropis : terjadi sekitar katulistiwa 0. Hujan ini dihasilkan dari siklonik (angin
topan) yang disebabkan oleh pengangkatan udara yang menyatu ke dalam suatu
daerah
Siklon tropis sumber curah hujan sangat deras, terdiri dari massa udara besar beberapa ratus
mil dengan tekanan rendah di pusatnya dan angin bertiup ke pusat searah jarum jam (belahan
Bumi selatan) atau berlawanan arah jarum jam (belahan Bumi utara) Chris Landsea, 2007.
Meski siklon dapat mengakibatkan kematian dan kerusakan properti yang besar, inilah faktor
penting dalam penguasaan hujan atas suatu daerah, karena siklon dapat membawa hujan yang
sangat dibutuhkan di wilayah kering (Climate prediction center, 2005). 
Wilayah di sepanjang jalurnya dapat menerima jatah hujan setahun penuh melalui satu kali
peristiwa siklon tropis (Jack Williams, 2005). 
f. Pengukuran curah hujan
Salah satu bentuk presipitasi di Indonesia adalah hujan, maka ada 5 unsur yang harus di
tinjau:
a) Intensitas (i) ; laju curah hujan atau tinggi air persatuan waktu (mm/menit,
mm/jam,dll)
b) Durasi atau lamanya waktu (t) ; lamanya curah hujan yang terjadi dalam menit atau
jam.
c) Tinggi hujan (d) ; jumlah/banyaknya hujan yang dinyatakan dalam ketebalan air di
atas permukaan datar, dalam mm.
d) Frekuensi (T); frekuensi terjadinya hujan, biasanya dinyatakan dengan waktu ulang
(return period). Misal sekali dalam T tahun
e) Luas (A) luas geografis curah hujan, dalam km2
Penakar hujan
Penakar hujan biasa. Terdiri dari corong dan penampung yang diletakkan pada ketinggian
tertentu. Banyaknya penangkapan akan bertambah dan berkurang sangat dipengaruhi oleh
turbulensi angin.
Air hujan yang terkumpul di dalam penampung diukur dengan gelas pengukur, maka tinggi
hujan d dapat dihitung dengan rumus
D = V/A
Dimana : d = tinggi air
V = volume air hujan
A = luas permukaan corong
Pencatat hujan (recording gauge)
Biasanya dibuat sedemikian rupa sehingga dapat bekerja secara otomatis.
a) Pencatat jungkit (tipping bucket) alat ini dibagi dua ruangan yang diatur, jika yang
satu terisi kemudian menjungkit dan menjadi kosong, lalu menyebabkan ruangan lain
berada di posisi yang akan diisi oleh corong. Setiap jungkit menunjukkan tinggi hujan
(d). Pencatatannya secara otomatis dan bertahap
b) Pencatat pelampung (type siphon); curah hujan tertangkap corong, tertumpah ke
penampung, dengan terisinya penampung maka pelampung akan terangkat. Pelampung
dihubungkan dengan alat penulis yang dapat membuat grafik pada drum pencatat. Jika
pencatatan mencapai d = 10 cm air dalam penampung akan tersedot keluar oleh siphon
sehingga penampung menjadi kosong yang sekaligus membawa alat penulis ke posisi
nol.
Frekuensi pengukuran
a) Sekali dalam sehari . misalnya pada setiap jam 07.00 atau jam 08.00 pagi hari.
Banyaknya penangkapan diukur dengan gelas pengukur
b) Sekali seminggu atau sebulan, dilakukan dengan alat pencatat otomatis dengan
penggantian kertas setiap minggu atau setiap bulan. Jika alat pencatatnya berupa
punched tape yang dihubungkan dengan komputer, maka setiap selang waktu pendek
data curah hujan dapat disimpan dalam memori komputer
g. Menaksir data hujan yang hilang
• Cara rata-rata aljabar
Jika stasiun pengamat adalah stasiun A,B,C,D dan stasiun D ada data hujan yang hilang,
maka data hujan yang hilang tersebut dapat diperkirakan dengan rumus:
Hd = 1/3 (Ha+Hb+Hc)
Dimana ;
Hd = hujan yang hilang pada stasiun D
Ha,Hb,Hc = data hujan yang teramati pada stasiun A,B,C
Cara tersebut berlaku jika perbedaan antara data hujan pada stasiun terdekat untuk jangka
waktu tahunan rata-rata < 10%
• Cara perbandingan normal (ratio normal)
Diperkirakan dengan menggunakan persamaan :
Hd = 1/3 ((Rd/Ra.Ha)+(Rd/Rb.Hb)+(Rd/Rc.Hc))
Dimana;
Hd = hujan yang hilang pada stasiun D
Ha,Hb,Hc = data hujan yang teramati pada stasiun A,B,C
Ra,Rb,Rc = hujan tahunan rata-rata pada masing-masing stasiun
Cara ini dapat dipakai jika perbedaan data hujan untuk jangka waktu tahunan rata-rata antara
stasiun terdekat > 10%
• Cara kebalikan kuadrat jarak
Diperkirakan dengan menggunakan persamaan :

Dimana :
Hd = hujan yang hilang pada stasiun D
Ha,Hb,Hc= data hujan yang teramati pada masing-masing stasiun
dxA,dxB,dxC= jarak dari masing-masing stasiun ke stasiun D
Menghitung hujan rata-rata
• Cara rata-rata Aljabar
Tinggi rata-rata curah hujan didapatkan dengan mengambil nilai rata-rata hitung pengukuran
hujan dipos penakar hujan di dalam areal tersebut. Perhitungan cara rata-rata aljabar
menggunakan persamaan

Dimana :
Rh = rata-rata hujan
H1,H2,H3,Hn = hujan pada masing-masing stasiun
Cara ini dapat digunakan untuk daerah datar, stasiun pengamat hujan lebih dari Satu
Menghitung hujan rata-rata
• Cara poligon Thiessen
Perhitungan dengan cara poligon thiessen dilakukan berdasarkan rerata timbang (weight
average). Setiap stasiun penakar mempunyai daerah pengaruh yang dibentuk dengan
menggambarkan garis sumbu tegak lurus terhadap penghubung antara 2 pos.

Dimana :
Hn = hujan pada stasiun n
An = luas daerah yang dipengaruhi oleh stasiun n
Cara ini sering dipakai karena daerah aliran tidak selamanya datar.
Poligon thiessen dapat dipakai
• Pada daerah dataran atau daerah pegunungan
• Stasiun hujan paling sedikit 3 buah
• Dapat membuat segitiga (poligon) yaitu membuat garis hubung tiga stasiun
membentuk segitiga
Poligon thiessen dapat juga dihitung dengan menggunakan persamaan:
Dimana; W adalah faktor bobot yang diperoleh dari luas daerah pengaruh stasiun dibagi luas
total

• Cara Isohyet
Dengan cara ini kita harus menggambarkan dulu kontur tinggi hujan yang sama (isohyet).
Cara ini menggunakan persamaan

Dimana; Hn = tinggi hujan pada garis isohyet


A = Luas area yang dipengaruhi oleh garis kontur
Cara ini merupakan cara yang paling teliti, namun dituntut persyaratan ;
ü Curah hujan tersebar merata
ü Dapat diterapkan pada daerah dataran dan pegunungan

Anda mungkin juga menyukai