Anda di halaman 1dari 8

BAB I

                         PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tasawuf bukan ilmu bukan ilmu yang stagnan ditempat. Walaupun nama tasawuf baru
terdengar mulai awal-awal abad ke II hijriyah, tetapi dalam perjalanannyamengalami
perkembangan yang cukup signifikan. Hadinya berbagai tokoh tasawuf memperkaya
cara pandang ilmu tasawuf.
Salah satu aliran pemikiran tasawuf adalah tasawuf irfani. Aliran ini terkenal dengan
cara pandang tokohnya yang susah untuk dipahami oleh orang yang awam. Bahkan
terdapat tokohnya yang sangat kontroversial yang mengundang perdebata dikalangan
ahli syariat dan ahli tasawuf. Oleh karena itu, menjadi keinginan kelompok kami untuk
menghimpun informasi menenai tasawuf irfani, sehingga dapat memberikan
pemahamanpada kami mengenai tasawuf irfani, serta para pembaca sekalian.
Dalam makalah ini akan dijelaskan apa yang dimaksud tasawuf irfanidan bagaimana
corak pemikiran dari tokoh-tokohnya.
B. Rumusan masalah
1. Apa pengertian tasawuf irfani?
2. Siapa sajakah tokoh-tokoh irfani dan bagaimana pemikirannya?
C. Tujuan
Dengan dibuatnya makalah ini, bertujuan agar dapat membeikan penjelasan mengenai
tasawuf irfani dan tokoh-tokohnya, bagaimana kehidupan mereka, dan cara pandang
mereka untuk menggapai sang pencipta.
                                 BAB II
                         PEMBAHASAN
A. Pengertian Tasawuf Irfani
Tasawwuf irfani adalah tasawwuf yang berusaha menyikap hakikat kebenaran atau
makrifat yang diperoleh dengan tidak melalui logika atau pembelajaran atau pemikiran
tetapi melalui pemberian tuhan (Mauhibah).
Ilmu yang diperoleh karena manusia melakukan tasawwuf berupa melakukan tasfiyat al-
qalb. Dengan hati yang suci seseorang dapat berdialog secara batini dengan tuhan
sehingga pengetahuan atau makrifat dimasukkan Allah ke dalam hatinya, hakikat
kebenaran tersingkap lewat ilham (intuisi).
Ajaran irfan sudah ada bersama kehidupan manusia. Jika seseorang tidak
menginginkan akalnya hanya terbatasi oleh materi dan memandang dunia ini sebagai
materi semata, begitu pula apabila ia tidak ingin melihat bahwa dunia ini hanya bersifat
rasional, dan pada waktu yang sama, dia juga tidak menafikkan wujud materi,
sebenarnya ia telah memiliki pola pemikiran irfani. Tidak seluruh irfani memiliki substansi
ajaran agama, baik dahulu maupun sekarang.
B. Konsep Pembelajaran Tasawuf Irfani
Untuk memperoleh ma’rifat – dalam istilah disebut dengan gnostik –manusia telah
memiliki potensi masing-masing. Syaratnya antara lain adalah kesucian jiwa dan
kesucian hati. totalitas jiwanya telah suci dan hatinya telah dipenuhi dengan dzikir
kepada tuhan,  hidupnya akan dipenuhi oleh kearifan dan bimbingan-Nya.
Untuk memperoleh kearifan atau ma’rifat, hati mempunyai fungsi esensial,
sebagaimana yang diungkapkan Ibnu Arabi dalam fushush Al-Hikam –nya:
“Kalbu dalam pandangan kaum sufi adalah tempat kedatangan kasyaf dan ilham. Ia pun
berfungsi sebagai alat untuk ma’rifat dan menjadi cermin yang memantulkan (tajalli)
makna-makna keghaiban.
 Kalbu merupakan pengetahuan tentang hakikat, termasuk di dalamnya adalah hakikat
ma’rifat, kalbu yang dapat memperoleh ma’rifat adalah kalbu yang telah suci dari
berbagai noda atau akhlak buruk yang sering di lakukan manusia.Al-Ghazali menyebut
penyucian kalbu dengan tathhir al-qalb,yaitu menyucikan kalbu dari akhlak buruk dan
sifat-sifat bahimiyyah (hewan berkaki empat), sehingga yang menjadi pakaian kalbu
adalah sifat-sifat malaikat.
Karena kalbu merupakan bagian jiwa, kesucian jiwa sangat mempengaruhi
kecemerlangan kalbu dalam menerima ilmu. Kalbu ytang telah suci akan mampu
menembus alam malakut (misalnya, alam malaikat). Menurut Al-Ghazali, kalbu
merupakan sesuatu yang sejenis dengan malaikat. Ketika berada di alam malaikat
inilah, kalbu mampu memperolah ilmu pengetahuan dari tuhan. Tampaknya kaum sufi
memandang kesucian kalbu sebagai prasyarat untuk berdialog secara batiniah dengan
tuhan. Mereka mengemukakan alasan bahwa  tuhan hanya dapat didekati oleh jiwa
yang suci. Ilmu pengetahuan yang dihasilkan dari kondisi dialogis batiniah dengan
perangkat kalbu yang suci inilah yang mereka sebut dengan ilmu ma’rifat dan secara
spesifik dapat memperoleh ilmu laduni, yaitu ilmu yang datang melalui ilham yang
dibisikan melalui hati manusia.
Dengan demikian, kalbu berpotensi untuk berdialog dengan tuhan.inilah yang dimaksud
Al-Ghazali dengan ungkapan bahwa di luar akal dan jiwa, terdapat alat yang dapat
menyingkap pengetahuan ghaib dan hal-hal yang akan terjadi di masa mendatang.
Penyingkapan pengetahuan seperti ini merupakan wacana irfaniyyah. dengan sarana
kalbu itulah, ilmu ma’rifat dapat di peroleh manusia.
Dari pembahasan dan uraian di atas, dapatlah dipahami bahwa hati (kalbu) menjadi
sarana untuk memperoleh ma’rifat. Kalbu yang mampu memperoleh ma’rifat. kalbulah
yang mampu mengetahui ma’rifat pengetahuan, karena kalbu telah di bekali potensi
untuk berdialog dengan tuhan. Hal ini mengisyaratkan bahwa ma’rifat tidak spontanitas
dimiliki sembarang orang, tetapi hanya dimilki oleh orang-orang yang telah berupaya
untuk memperolahnya.
Di samping melalui tahapan-tahapan maqamat dan ahwal, untuk memperoleh ma’rifat,
seseorang harus melalui upaya-upaya tertentu, seperti sebagai berikut ini.
1. Riyadhah
Riyadhah adalah ltihan kejiwaan melalui upaya membiasakan diri agar pembiasaan
biasanya dilakukan terus-menerus secara rutin sehingga seseorang benar-benar
terlatih, khususnya dalam menahan diri agar jauh dariperbuatan maksiyat dan dosa.
Riyadhah bukan perkara yang mudah, sehingga dalam pelaksanaannya diperlukan
mujahadah, yaitu kesungguhan dalam berusaha meninggalkan sifat-sifat buruk (Anwar
dan Solihin, 2000: 79). Dengan kata lain, riyadlah dapat diartikan sebagai salahsatu
metode sufistik dengan latihan amal-amal positif (salih) secara istiqamah dan
mujahadah guna melenyapkan pengaruh negatif (maksiat) dan jiwa yang terkontiminasi
dosa. Menurut Anwar dan Solihin, setelah riyadhoh berhasil dilakukan, maka salik akan
memperoleh ilmu makrifat.
2. Tafakur (Refleksi)
Secara harfiyah tafakur berarti memikirkan sesuatu secara mendalam, sistematis, dan
terperinci (Gulen, 2001:34). Menurut imam Al-Gazali (dalam Badri,1989), jika ilmu sudah
sampai pada hati, keadaan hati akan berubah, jika hati sudah berubah, perilaku anggota
badan juga akan berubah.
3. Tazkiyat An-Nafs
“Dan jiwa serta penyempurnaanya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa
itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang
mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya”
(QS Asy-Syam [91]:7-10). Secara harfiyah (etimologi) Tazkiyat An-Nafs terdiri dari dua
kata, yaitu “Tazkiyat” dan “An-Nafs”. Kata ‘tazkiyat’ dari bahasa arab, yakni isim
mashdar dari kata ‘zakka’ yang berarti penyucian (Ma’aluf dalam Solihin, 2003: 130).
Kata ‘An-Nafs’ berarti jiwa dalam arti psikis. Dengan begitu dapat diketahui Tazkiyat An-
Nafsi bermakna penyucian jiwa. Tazkiyat An-Nafs merupakan salah satu tuagas yang
diemban Rasulullah SAW. Perihal tersebut dapat dilihat dalam (QS Al-Jumu’ah [62]:2).
Muhammad Ath Thakhisi berpendapat, Tazkiyat An-Nafs adalah mengeluarkan jiwa dari
ikatan-ikatan hawa nafsu, riyak, dan nifak, sehingga jiwa menjadi bersih, penuh cahaya,
dan petunjuk menuju keridhaan Allah.
4. Dzikrullah
Istilah ‘zikr’ berasal dari bahasa Arab, yang berarti mengisyaratkan, mengagungkan,
menyebut atau mengingat-ingat (Munawir dalam Solihin, 2004: 85). Berzikir kepada
Allah berarti zikrullah, atau mengingatkan diri kepada Allah sebagai Tuhan yang
disembah dengan sebaik-baiknya, Tuhan Maha Agung dan Maha Suci (Al-Jilani,2003:
97). Dzikrullah adalah tuntunan masalah ruhiyah atau yang berhubungan  dengan
masalah pengalaman ruhiyah (batin). Al-qur’an mengisyaratkan tentang dzikrullah,
karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan
bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku (QS Al-Baqarah
[2]: 152).
Secara etimogis, kata irfan merupakan kata jadian (mashdar) dari kata arafa
(mengenal/pengenalan). Adapun secara etimologis, irfan diidentikkan dengan makrifat
sufistik. Ahli irfan adalah yang bermakrifat kepada Allah. Terkadang, kata itu diidentikkan
dengan sifat-sifat inheren tertentu yang tampak pada diri seseorang ‘arif (yang
bermakrifat kepada Allah), dan menjadi hal  baginya.
C. Tokoh-Tokoh Tasawuf Irfani
Di antaranya para tokoh tasawuf Irfani adalah Rabi’ah Al-Adawiyyah, Dzul An-Nun Al-
Mishri, Abu Yazid Al-Busthami, dan Abu Mansur Al-Hallaj.
1. Robi’ah Al-Adawiyah
a. Biografi singkat Robi’ah Al-Adawiyah
 Nama lengkap Rabi’ah adalah Rabi’ah binti ismail Al-Adawiyah Al-Bashriyah Al-
Qaisiyah. Ia diperkirakan lahir pada tahun 95 H/713 M atau 99/717 M di suatu
perkampungan dekat kota bashrah [Irak] dan wafat di kota itu pada tahun 185 H/ 801 M.
Ia dilahirkan sebagai purti keempat dari keluarga yang sangat miskin. Karena ia putri
keempat, orang tuanya menamakannya Rabi’ah. Kedua orang tuanya meninggal ketika
ia masih kecil. Konon, pada saat terjadinya bencana perang bashrah, ia dilahirkan
penjahat dan dijual kepada keluarga atik dari suku Qais Banu adwah. Dari sini, ia
dikenal dengan Al-Qaisiyah atau Al-Adawiyah. Pada keluarga ini pulalah, ia bekerja
keras, tetapi akhirnya di bebaskan lantaran tuanya melihat cahaya yang memancar di
atas kepala Rabi’ah dan menerangi seluruh ruangan rumah pada saat ia sedang
beribadah.
b. Ajaran Tasawuf Robi’ah Al-Adawiyah
Dalam perkembangan mistisme dalam islam, Robi’ah Al-Adawiyah tercatat sebagai
peletak dasar tasawwuf berdasarkan cinta kepada Allah. Sementara generasi
sebelumnya merintis aliran asketisme dalam islam berdasarkan rasa takut dan
pengharapan kepada Allah. Rabi’ah pula yang pertama-tama mengajukan pengertian
rasa tulus ikhlas dengan cinta yang berdasarkan permintaan ganti dari Allah.
Sikap dan pandangan Rabi’ah Al-‘Adawiyah tentang cinta dipahami dari kata-katanya,
baik yang langsung maupun yang disandarkan kepadanya. Al-Qusyairi meriwayatkan
bahwa ketika bermunajat, Rabi’ah berdoa, “ Tuhanku, akankah kau bakar kalbu yang
mencinta-Mu oleh api neraka ?” Tiba-tiba, terdengar suara, “Kami tidak akan melakukan
itu. Janganlah engkau berburuk sangka kepada Kami”.
2. Dzu An-Nur Al-Mishri
a. Biografi singkat Dzu An-Nur Al-Mishri
Dzu An-Nur Al-Mishri adalah nama julukan bagi seorang sufi yang hidup di sekitar
pertengahan abad III Hijriyah. Nama lengkapnya Abu Al-Faidh Tsauban bin Ibrahim. Ia
dilahirkan di Ikhmim, dataran tinggi Mesir, pada tahun 180 Hijriyah (796 M) dan wafad
pada tahun 246 Hijriyah (856 M). Julukan “Dzu An-Nur” diberikan kepadanya
sehubungan dengan berbagai kekeramatannya yang Allah berikan kepadanya. Di
antaranya ia pernah mengeluarkan seorang anak dari perut buaya di Sungai Nil dalam
keadaan selamat atas permintaan ibu dari anak tersebut.
Asal mula Dzu An-Nur Al-Mishri tidak banyak diketahui, tetapi riwayatnya sebagai
seorang sufi banyak diutarakan. Dalam perjalanan hidupnya, Dzu An-Nur Al-Mishri
selalu berpindah dari suatu tempat ke tempat lain. Ia pernah menjelajahi berbagai
daerah di Mesir, mengunjungi Baitul Maqdis, Baghdad, Mekah, Hijaz, Syiria,
Pegunungan Lebanun, Anthokiah, dan Lembah Kan’an. Hal ini memungkinkannya untuk
memperoleh pengalaman yang banyak dan mendalam. Ia hidup pada munculnya
sejumlah ulama terkemuka dalam bidang ilmu hadist, fiqh, dan tasawuf sehingga ia
dapat mengambil pelajaran dari mereka. Ia pernah mengikuti pengajian Ahmad bin
Hanbal. Ia mengambil riwayat hadist di antaranya dari Malik dan Al-Laits. Adapun yang
pernah mengambil riwayat darinya, antara lain Al-Hasim bin Mush’ib An-Nakha’i.
Gurunya dalam bidang tasawuf adalah Saqran Al-Abd atau Israfil  Al-Maghribi. Ini
memungkinkan baginya untuk menjadi seorang yang alim, baik dalam ilmu syariat
maupun tasawuf.
Sebagai seorang sufi kenamaan, Dzu An-Nur Al-Mishri memiliki beberapa ajaran. Ajaran
tersebut mempunyai pengaruh yang cukup kuat di kalangan masyarakat muslim,
khususnya bagi pengamal sufistik. Di antara ajaran-ajaran tasawuf Dzu An-Nur Al-Mishri
adalah sebagai berikut.
a. Pandangan Dzu An-Nur Al-Mishri Tentang Ma’rifat
Dzu An-Nur Al-Mishri adalah pelopor paham ma’rifat. Walaupun istilah ma’rifat
sebelumnya sudah dikenal, namun pengertian mak’rifat versi tasawuf barulah dikenal
dengan kemunculannya. Disamping itu, jasa yang paling besar adalah ajarannya yang
menetapkan keharusan melewatimaqamat dan ahwal dalam perjalanan menuju
ma’rifat.dengan kata lain, sejak kemunculannya Dzu An-Nur Al-Mishri berkembanglah
pengertian ma’rifat yang khas didunia sufi. Setelahitu mulailah tersusun amalan-amalan
tertentu dalam upaya mendekatkan diri kepada Allah, yang dikenal dengan maqamat
dan ahwal.
 Pertama, ia membedakan antara ma’rifat sufiyyah dengan ma’rifat aqliyyah. Ma’rifat
yang pertama menggunakan pendekatan kalbu yang bisa di gunakan para sufi,
sedangkan ma’rifat yang kedua menggunakan pendekatan akal yang biasa digunakan
para teolog.
Kedua, menurut Dzu An-Nur Al-Mishri, ma’rifat sebenarnya adalah musyahadah
qalbiyyah (penyaksian hati), sebab ma’rifat merupakan fitrah dalam hati manusia sejak
azali.
Ketiga, teori-teori ma’rifat Dzu An-Nur Al-Mishri mempunyai gnosisme ala Neo-Platonik.
Teori-teorinya ini kemudian di anggap sebagai jembatan menuju teori-teori wahdah asy-
syuhud dan ittihad. Ia pun dipandang sebagai orang yang pertama kali memasukkan
unsur filsafat ke dalam tasawuf
b. Pandangan Dzu An-Nun Al-Mishri Tentang Maqamat Dan Ahwal
Pandangan Dzu An-Nun Al-Mishri tentang maqamat, dikemukakan pada beberapa hal
saja, yaitu taubat, sabar, tawakal, dan ridho. Menurutnya bahwa simbol-simbol zuhud
adalah sedikit cita-cita, mencapai ke fakiran, dan memiliki rasa cukup yang disertai
kesabaran. Kendatipun demikian, dapat dikatakan bahwa jumlah maqam yang disebut
Al-Mishri  lebih sedikit dibandingkan dengan para sufi sesudahnya.
Menurut Dzu An-Nun Al-Mishri, ada dua macam taubat, yaitu taubat awam dan taubat
khawas. Orang awam bertaubat karena kelalaian (dari meningat Tuhan). Dalam
ungkapan lain, ia mengatakan bahwa sesuatu yang dianggap sebagai kebaikan oleh
abrar justru di anggang sebagai dosa oleh muqarrabin. Pandangan ini mirip dengan
pertanyaan Al-Junaidi yang mengatakan bahwa taubat adalah melupakan dosa. Pada
tahap ini orang-orang yang mendambakan hakikat tidak lagi mengingat dosa mereka
karena terkalahkan oleh perhatian yang tertuju pada kebesaran Tuhan dan dzikir yang
berkesinambungan.
Lebih lanjut, Dzu An-Nun Al-Mishri membagi taubat menjadi tiga tingkatan, yaitu:
1. Orang yang bertaubat dari dosa dan keburukannya
2. Orang yang bertaubat dari kelalaian dan kealpaan mengingat Tuhan
3. Orang yang bertaubat karena memandang kebaikan dan ketaatannya.
3. Abu Yazid Al-Busthami
a. Biografi singkat Abu Yazid Al-Busthami
Nama lengkapnya adalah Abu Yazid Taufur bin Isa bin Surusyan Al-Busthami, lahir di
daerah Bustam (Persia) tahun 874 dan wafat tahun 947 M. Nama kecilnya adalah Taifur.
Kakeknya bernama Surusyan, seorang penganut agama Zoroaster, kemudian masuk
dan menjadi pemeluk islam di Bustam. Keluarga Abu Yazid termasuk berada di
daerahnya, tetapi ia lebih memilih hidup sederhana. Sejak dalam kandungan ibunya,
Abu Yazid mempunyai kelainan. Menurut ibunya, bayi yang ada didalam kandungannya
akan memberontak sampai muntah kalau  sang ibu memakan makanan yang diragukan
kehalalannya.
Sewaktu meningkat usia remaja, Abu Yazid juga terkenal sebagai murid yang pandai
dan seorang anak yang patuh mengikuti printah agama dan berbakti kepada orang
tuanya. Suatu kali gurunya menerangkan suatu ayat dari surat Luqman, “berterima
kasihlah kepada Aku dan kepada kedua orang tuamu.” Ayat ini sangat menggetarkan
hati Abu Yazid. Ia kemudian berhenti belajar dan menuju rumah ntuk menemui ibunya.
Ini suatu gambaran bagaimana ia memenuhi setiap panggilan Allah. Perjalanan Abu
Yazid untuk menjadi seorang sufi membutuhkan waktu puluhan tahun. Sebelum
membuktikan dirinya sebagai seorang sufi, ia terlebih dahulu menjadi seorang fakih dari
madzhab Hanafi. Salah seorang gurunya yangterkenal adalah Abu Ali As-Sindi. Ia
mengajarkan kepada Abu Yazid tentang ilmu tauhid, ilmu hakikat, dan ilmu lainnya.
Hanya saja ajaran sufi  Abu Yazid tidak ditemukan dalam bentuk buku.
Dalam menjalani kehidupan zuhud, selama 13 tahun Abu Yazid mengembara di gurun-
gurun pasir di Syam, dengan tidur, makan, dan minum sedikit sekali.
b. Ajaran Tasawuf Abu Yazid Al-Busthami
1) Fana’ dan Baqa’
Ajaran tasawuf terpenting Abu Yazid adalah fana’ dan baqa’. Dari segi bahasa fana’
berasal dari kata faniya yang berarti musnah atau lenyap. Dalam istilah tasawuf fana’
berarti hilangnya semua keinginan hawa nafsu seseorang, tidak ada pamrih dari segala
perbuatan manusia, sehingga ia kehilangan segala perasaannya sehingga dapat
membedaan sesuatu secara sadar, dan ia telah menghilangkan semua kepentingan
ketika berbuat sesuatu.
Adapun baqa’ berasal dari kata baqiya, dari segi bahasa adalah tetap, sedangkan
berdasarkan istilah tasawuf berarti mendirikan sifat-sifat terpuji kepada Allah. Paham
baqa’ tidak dapat dipisahkan dengan paham fana’. Keduanya merupakan paham yang
berpasangan. Jika seorang sufi mengalami fana’, ketika itu juga ia sedang menjalani
baqa’.
2) Ittihad
Ittihad adalah tahapan selanjutnya yang dialami seorang sufi setelah melalui tahapan
fana’ dan baqa’. Hanya saja dalam literatur klasik, pembahasan tentang ittihad ini tidak
dikemukakan.
Dalam tahapan ittihad, seorang sufi bersatu dengan tuhan. Antara yang mencintai dan
yang dicintai menyatu, baik substansi maupun perbuatannya. Dalam ittihad, identitas
telah hilang, identitas telah menjadi satu.sufi yang bersangkutan dengan fana’nya, tak
mempunyai kesadaran lagi dan berbicara dengan nama tuhan.
4. Abu Manshur Al-Hallaj
a. Biografi singkat Abu Manshur Al-Hallaj
Nama lengkap Abu Manshur Al-Hallaj adalah Abu Al-Mughist Al-Husain bin Manshur
bin Muhammad Al-Baidhawi. Ia lahir di Baidha, sebuah kota kecil di wilayah persia, pada
tahun 244 H (855 M). Ia tumbuh dewasa di kota Wasith, dekat Baghdad. Pada usia 16
tahun, ia belajar kepada seorang sufi terkenal saat ini, yaitu Sahl bin Abdullah At-Tusturi
di Ahwaz. Dua tahun kemudian ia pergi ke bashrah dan berguru kepada Amr bin
Utsman Al-Makki yang juga seorang sufi, dan pada tahun 878 Masehi, ia memasuki kota
Baghdad dan belajar kepada Al-Junaidi Al-Baghdadi. Setelah itu, ia pergi mengembara
dari satu negeri ke negeri lain, menambah pengetahuan dan pengalaman dalam ilmu
tasawuf. Ia digelari Al-Hallaj karena penghidupannya yang diperoleh dari memintal wol.
Dalam sebuah perjalanan dan pengembaraannya ke berbagai kawasan Islam seperti
Khurasan, Ahwas, India, Turkistan, dan Mekah, Al-Hallaj telah banyak memperoleh
pengikut. Ia kemudian kembali ke Baghdad pada tahun 296 H (909 M). Di Baghdad,
pengikuitnya semakin bertambah banyak karena kecaman-kecamannya tarhadap
kebobrokan pemerintah yang berkuasa pada waktu itu. Secara kebetulan ia bersahabat
dengan kepala rumah tangga istana, Nashr Al-Qusyairi, yang mengingatkan sistem tata
usaha yang baik dan pemerintahan yang bersih.
b. Ajaran Tasawuf: Hulul dan Wahdat Asy-Syuhud
Di antara ajaran tasawuf Al-Hallaj yang paling terkenal adalah al-hulul dan wahdat asy-
syuhud yang kemudian melahirkan paham wihdat al-wujud (kesatuan wujud) yang
dikembangkan Ibn ‘arabi. Al-Hallaj memang pernah mengaku bersatu dengan tuhan
(hulul). Kata al-hulul, berdasarkan pengertian bahasa, berarti menempati suatu tempat.
Adapun menurut istilah ilmu tasawuf, al-hulul berarti paham yang mengatakan bahwa
Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat didalamnya
setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan.
                             BAB III
                           PENUTUP
A. Kesimpulan
Tasawuf irfani adalah tasawuf yang berusaha menyikap hakikat kebenaran atau makrifat
diperoleh dengan tidak melalui logika atau pembelajaran atau pemikiran, tetapi melalui
pemberian tuhan secara langsung. Adapun tokoh-tokoh dari asawufirfani antara lain :
Robi’ah Al-Adawiyah, Dzu An-Nur Al-Mishri, Abu Yazid Al-Busthami, Abu Manshur Al-
Hallaj.
Pemikiran dari masing-masing tokoh taswuf irfani berbeda-beda dilihat dari cara
pandang, latar belakang tokoh dan corak pemikirannya. Dari situlah kita dapat
mengkajinya untuk menambah ilmu pengetahuan.
B. Saran
Demikian makalah ini kami buat, kritik dan saan yang membangun dari pembaca sangat
kami harapkan demi perbaikan makalah selanjutnya.
                    DAFTAR PUSTAKA
Drs. Samsul Munir Amin, M.A., Ilmu Tasawuf (Jakarta:Amhas, 2015).
Drs. H. Ahmad Bangun Nasution, M.H., Dra. Hj. Rayani Hanum Siregar, M.H,
pengenalan, pemahaman, dan pengaplikasiannya disertai biografi dan tokoh-tokoh sufi
(Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2015

Prof. Dr. M. Solihin, M.Ag, Dr. Rosihon Anwar, M.Ag, ilmu tasawuf  (Bandung:CV Pustaka
Setia, 2008),

Anda mungkin juga menyukai